Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 17 Januari 2012

Kangen untuk Dirinya


by: Melissa Olivia (@moliviatjia)
.
.

Awalnya aku tak pernah berpikir dia mampu membuka pintu hatiku yang telah lama tertutup rapat.
Awalnya aku tak mengacuhkannya, tapi dia terus saja gigih mengetuk pintuku hingga akhirnya aku membuka sedikit celah pintu untuknya. Ingin tahu apa mau dan maksudnya.
Siapa sangka pelan tapi pasti dia berhasil membuatku membukakan pintuku untuknya, mempersilahkan dia masuk dan mengisi ruang kosongku.
Ketika dia hadir, bersenda gurau dengannya membuat hatiku terasa penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika dia pergi, aku merasakan ada yang kurang.
Absen raganya membuatku mengenang wajah dan tawanya, juga tingkah sok malu-malunya. Membuatku susah berkonsentrasi, mengenang yang akhir pekan yang dilalui bersamanya.
Rasanya ingin sekali Senin-Jumat itu lekas berlalu supaya aku dapat bertemu dengannya lagi. Ingin berinteraksi lebih banyak tanpa bantuan media. Ingin tahu kabar terbaru dan menjahilinya... Ingin merengkuh tangan besarnya yang hangat.
Ya pelan-pelan tanpa kusadari aku sering memikirkan dirinya saat ia tak ada di sisiku. Dan aku baru tahu bahwa inilah rasanya kangen dengan seseorang dan kangen ini untuk dirinya.
I Miss You

Kangen

Oleh Neng Onen

.

kangen itu adalah sebuah perasaan yang cukup membuat kita memiliki berbagai arti dan setiap orang memiliki persepsi tersendiri. dan saya cukup bersahabat dengan rasa yang satu ini, karena hubungan jarak jauhlah yang membuat saya bersahabat dengannya. 
kangen, terdiri dari satu kata dan 6 huruf tapi entah mengapa begitu sulit untuk saya ungkapkan dan cetuskan, untuk saya kangen itu seperti minum obat saat sakit, diminum pahit rasanya, tidak diminum sakit semakin jadi, sama saja bohong bukan?
    Tuhan adil memang, menciptakan rasa yang begitu indah seperti ini, dengan rasa seperti tak disangka kita dapat merasakan betapa pentingnyaseseorang didalam hidup kita dikalaia tidak ada disamping kita :)ketika rasa rindu ini menyelimuti tidak ada kata menunggu yang ada hanya kalimat tanya, kapan kita berjumpa? atau paling pahit adalah berharap lupa dan musnah, jika rasa ini menunggu saya rasa ini akan pecah dan meledak. mengapa? setiap kali menunggu ini akan terus bertambah dan bertambah hingga melewati ambang batas dan semoga rasa ini tidak pernah terhapuskan untuk orang-orang yang saya cintai diluar sana .... 

    mulailah bersahabat dengan rasa kangen karena rasa ini begitu indah jika dinikmati ...........

Juga Gerimis di Taman Kota


Oleh : @yellohelle
 .
Orang-orang ini menulis surat cinta. Aku hanya bisa menulis riuh kepala.

Untuk kamu yang menyisakan partikel mikroskopik tubuhmu di pori paru-paruku:
 
Aku selalu ingin bertanya tentang sisa-sisa ampas kopi yang mengendap di dasar gelasmu: apakah pernah mengendap namaku di dasarnya? Apakah tentangku pernah menyisa jejak di kepala? Kau kadang lupa menabur gula-gula. Aku menyimpannya dalam kantung-kantung hantu yang kupeluk di bawah jas hujan, dan kusebar di tengah gerimis.
Aku suka bau manis yang dibagikan ibukota.

Aku selalu ingin bertanya tentang rindang daun-daun yang tidak kita ketahui namanya. Aku ingat Goenawan Mohamad dan Di Kebun Jepun-nya. Aku selalu ingin bertanya, mengapa kau membedakanku dari yang lain? Mengapa aku membedakanmu dari yang lain?
Hujan hanya sebentar di kota ini, dan rajutan setengah lingkar pelangimu tertinggal di Yogyakarta.
Aku mengemisi masa kini pada kamu yang menangisi masa lalu. Barangkali aku tak lebih dari kayu-kayu di perapian, yang sebentar hangat untuk mati mengangkasa. Aku suka bau manis dari gerimis di taman kota.
Aku selalu ingin bertanya tentang pelukan yang kau sisipkan di persimpangan. Kadang aku lupa bahwa kita tak pernah saling mengenal. Aku bahkan tidak mengetahui diriku sendiri. Aku selalu ingin bertanya kau siapa; tapi aku yang juga tak kukenali ini menjawabi, kau juga tak mengenal dirimu sendiri.
Aku suka suara angin tipis di pelupukmu yang resah.
Mengapa kita tidak bisa memeluk lebih banyak tetesan hujan?
Mengapa kita tidak bisa mengantungi lebih banyak bibit waktu?
Mengapa kita tidak bisa mengemasi lebih banyak nyanyian rindu?

Aku ingat sebuah kecupan yang kita bagi di antara nyanyian pohon-pohon tua dan semen batu yang basah. Jangan berpikir, kau bilang. Kau lelah, kau bilang. Apa ada yang salah, kau bilang. Aku bilang tidak ada. Aku bilang tidak apa. Tidak ada apa-apa. Tapi barangkali ada yang salah: aku bahagia.

Mengapa kau menulis tentang aku?
Mengapa kau menulis bukan tentang aku?
Mengapa kau menyisihkan masa lalu?
Mengapa kau tidak menyisihkan masa lalu?

Mengapa detak jantungmu bersisa sepuluh jam perjalanan kereta dari Jakarta?
Aku ingin menjejaki kaki pada hilirmu. Aku ingin ikut serta dalam alirmu.

Mereka bilang, tulislah sebuah surat cinta. Aku tak suka surat cinta, kubilang.
Aku sudah tak lagi membingkai kanak-kanak, kubilang. Aku sudah tak lagi ingin rebah pada sihir para penyair, kubilang. Bahkan kubilang, aku sudah tak ingin menulisi catatan-catatan getir.
Aku tak ingin apa-apa, selain isi kepalamu untuk ingat jalan pulang.

Aku sudah lupa caranya kita berbicara lewat kata-kata.
Rindu hanya kosong peluru.

Aku ingin habis dalam sisa-sisa debu semesta yang berserakkan di aspal merah.
Aku ingin habis dalam lengket akar-akar daun kemangi di dinding putih.
Aku ingin habis dalam serat-serat tembakaumu yang kulinting pada selembar risau.

Aku masih ingin memeluk lebih banyak tetesan hujan.
Aku masih ingin mengantungi lebih banyak bibit waktu.
Aku masih ingin mengemasi lebih banyak nyanyian rindu.
Aku masih menyimpan terlalu banyak ingin. Kamu.

Partikel mikroskopikmu tertinggal di pori paru-paruku. Aku bernafas dan menghirupimu.
Mengapa manis sisa kopi di bibirmu? Juga gerimis di taman kota.
Aku selalu ingin bertanya mengapa denyut jantungmu tertinggal jauh di Yogyakarta.

2012


Pak, Di Matamu Ada Air Terjun


Oleh: @yellohelle
Ada seribu kupu-kupu, Pak. Seribu kupu-kupu, bukan hanya satu. Bisakah Bapak bayangkan rasanya? Aku menyaksikan seribu kupu-kupu hitam terbang keluar jendela. Sayang jendela di tempatku terlalu tinggi untuk digapai lewat juluran tangan mesti ditopang kaki yang berjingkatan.
Rasanya manis luar biasa, Pak. Dan aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Kira-kira pukul 2 selepas tengah malam ketika aku dengan peluh dan lusuh terjaga dari mimpi kejaran anak harimau di perkampungan, aku mendengar bunyi derat di bawah tempat tidurku. Seperti bunyi-bunyian besi yang tersangkuti gempal-gempal yang memaksa keluar. Aku tidak berani menengok ke kolong, Pak. Aku selalu ingat cerita makhluk rombeng yang akan memakan anak-anak nakal dengan memunculkan kepala berlidah ular dari kolong kasur mereka. Untuk pertama kalinya di kamar ini aku ingat kau, Pak. Dan aku ingat mereka meneriakiku anak nakal. Makanya mereka mengusirku dari rumahmu, Pak. Makanya aku tidak berani menengok ke kolong.
Sementara suara besi itu semakin mengangguku. Tempat tidurku bergetar.
Pak, aku selalu ingat ketika aku menemani ibu mencari kayu bakar di hutan. Aku kelelahan dan ibu terpaksa berjalan lambat. Kita di hutan hingga gelap. Aku ingat, Pak, sepasang tangan-tangan kasar berbicara tanpa kata, kau boleh memejamkan matamu bila kau takut pada suara-suara yang tak kau tahu dari mana dan dari apa asalnya. Usiaku sekarang dua puluh empat, Pak. Apakah aku masih boleh memejamkan mata karena ketakutan? Pak, kau tidak pernah menjawab apakah anak laki-laki boleh ketakutan. Kau tidak pernah menjawab. Tapi mereka bilang, pejamkan mata. Maka aku memejamkan mata.
Aku mendengar suara detak pendulum. Begitu jauh.
Aku melihat hitam kelopak mata dari dalam dan ranai pendulum yang entah dimana letaknya. Aku kembali pada masa kecil. Aku bisa mencium bau kotoran sapi yang melekat di kausku dan kuku-kuku kaki yang lepas tertinggal di lumpur yang lengket. Aku ingin kembali pada guyuran air timba yang diiriingi omelan ibu. Aku juga ingat bau hujan dan tanah yang basah, juga bau luapan sungai yang menampar-nampari batu. Aku bisa mendengar suara loncatan katak, hanya sejengkal dari telinga.
Tidak ada damai dari memejamkan mata, Pak. Pejaman mata hanya mesin proyeksi hantu masa lalu. Dan ia tidak mengubah apa-apa: suara derat di bawah kolong kasur masih terdengar dan makin menakutkan. Lalu suara ibu begitu tegas di sanggurdi, “Laki-laki harus tahu caranya berdoa.”
Tapi, Pak, aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Aku hanya bisa memejamkan mata lebih lama. Yang kusaksikan dari ibu yang berdoa hanya ia memejamkan mata begitu lama. Tanpa suara. Tanpa mimik muka untuk kuterka. Dan ia bilang ia berdoa, Pak. Apakah dengan aku sekarang memejamkan mata lebih lama maka aku sedang berdoa?
Apakah doa hanya mesin pemanggil hantu-hantu masa lalu, Pak? Apakah doa hanya mesin longsong peluru atas rindu yang telah kukubur di pagi yang bisu? Apakah doa hanya untuk mereka yang berpura-pura dungu? Pak, aku sudah memejamkan mata terlalu lama, namun doa tidak mengubah apa-apa. Apakah karena aku tak berkata apa-apa dalam doa? Apa yang harus kukatakan dalam doa?
Pak, aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Ranjangku bergetar semakin hebat. Semakin cepat pula suara-suara setan masa lalu itu berteriakan di telinga. Dan mataku yang terpejam hanya menahan lelah dari montase-montase yang berguliran terlalu cepat mengisi hitam kelopak : bayi yang melempari mangkuk besi, anak laki-laki yang membakar serbet dapur, anak laki-laki yang melempari kepala kawannya dengan batu, remaja laki-laki yang menggerami paksa selaput dara kawannya, remaja laki-laki yang meninju bapak tua, hingga pada laki-laki yang tak kunjung dewasa menggenggam pisau dan berteriak kesetanan menghujamkannya pada tubuh yang terbaring di lantai………
Kenapa doa hanya menayangkan rekaman diriku sendiri, Pak? Sialan benar.
Ah. Masih ada yang lebih sialan:  kekosongan yang direnggut kamar ini, Pak.
Jauh merenggut ke dalam liang tubuhku yang tak pernah siapa pun sentuh. Barangkali aku butuh ibu sekarang, Pak. Aku ingin bertemu. Tapi ada sebuah suara di dalam kepala yang berkata, kunjungan sore kemarin adalah yang terakhir. Aku sudah cukup bertemu ibu. Dan sebuah suara yang lain berkata, Pak, aku merindukan yang lain selain ibu. Bukan, bukan perempuan yang pernah kunikmati. Bukan juga beberapa botol kawan yang kusembunyikan di sudut kamar.
Aku masih bertanya pada siapa aku ingin bertemu, tapi aku keburu berguling dari tempat tidurku yang terlempar.
Astaga, Pak! Ada begitu banyak kupu-kupu menyeruak terbang dari kolong kasurku! Tidak ada makhluk rombeng yang akan memakanku, Pak! Hanya seribu kupu-kupu hitam yang cantik sekali! Seribu, Pak! Kepakan sayapnya bising namun merdu. Mereka mengajakku ikut terbang ke luar jendela, Pak! Tapi jendelaku terlalu tinggi. Pak! Bantu aku menggapai jendela! Aku ingin ikut seribu kupu-kupu terbang ke langit hitam, Pak! Pak! Apakah ini yang disebut doa?
Bau darah, bau alkohol, bau tangisan, bau tanah, bau lumpur, bau bubur bayi, bau rokok, bau kulit - semua bau naik ke udara, Pak! Udaraku penuh oleh bau-bau masa lalu, Pak! Dan bau darah yang paling nyata, Pak! Dan merahnya menyala….. Astaga! Dan ada kau, Pak, di kamarku! Bagaimana bisa?
Apakah ini yang disebut doa, Pak?!

Pak, pasti ada lebih dari seribu kupu-kupu. Seperti tidak habis kepakannya mengisi kamarku, penuh. Terus terbang dan mengisi kamar, berdesakan. Beberapa sayap hitamnya menghalangi hidungku, Pak, juga mulutku. Dan aku lihat kau, Pak. Di sana, di sudut ruangan. Bersama bau darah yang terlalu nyata. Hanya nafasku yang semakin habis dibawa terbang seribu kupu-kupu hitam keluar jendela. Aku melihat kau di sudut ruangan, tak tersentuh seribu kupu-kupu.
Pak, di matamu ada air terjun.
Mengapa, Pak? Apakah ini yang disebut doa? Di kakiku nyata merah darah. Air terjun di matamu terlalu deras dan aku tak mampu menampungnya. Aku habis terseret kupu-kupu hitam ke jendela.

Pak, air terjun di matamu semakin deras, bersama nafasku yang habis bersama seribu kupu-kupu. Ringan sekali, Pak. Pasti ini, kan, Pak, yang disebut berdoa?
Dan aku hanya bisa mencium bau darah. Juga teriakan sipir di ujung lorong penjara, “TAHANAN NOMOR 047 MENCOBA BUNUH DIRI DI SEL!”

Pak, aku paham sekarang..Aku kangen sekali kembali memanggilmu Tuhan.
Dan seribu kupu-kupu telah membawa kerat oksigenku lepas di udara. Untuk apa air terjun di matamu itu, Pak?

2012

Jadi Begini Rasanya

Oleh @myturtlylife
.
.


Waktu pun deras bergulir
Menyeret detik, menggulung menit
Angin malam lembut mendesir
Menghalau mentari dari kaki langit

Ribuan bintang berkelip,
Seakan m’reka hendak berkisah
Tentang bayangmu yang tak raib
Menghantui dalam setiap gelisah

Ada s’lamat tinggal yang tak terucap
Namun tak henti menggema di kalbu
Ada cinta yang tak boleh terungkap
Namun tak henti berkobar menggebu
Jadi begini pahitnya, jadi begini pedihnya
Jadi begini rasanya rindu…

Ke manakah hati harus mengadu
Saat cinta berujung pada sendu?

Rabu, 11 Januari 2012

10 MENIT YANG SEMPURNA. SEBUAH MONOLOG

Oleh: Bety Oktarina (@I_am_BOA)



Benda tajam berkilat itu masih tergenggam erat ditangannya yang bergetar hebat. Aku terus menatap ke arahnya. Badannya terlalu tegang hingga akhirnya melemas. “Lalu maumu bagaimana?” aku mendesak. Ia mengarahkan kursi rodanya menuju tempat tidur. “Beri aku waktu sejenak,” ucapnya lirih. Aku memejamkan mataku yang terlalu letih. Aku tidak kuat lagi. Aku tidak mau berpikir apapun saat ini. Dari balik mataku yang tertutup aku tahu dia balik menatap ke arahku.

“Kau benar-benar menempatkanku pada posisi yang sulit!” akhirnya aku berkata memecah kesunyian. “Pada awalnya aku begitu menikmati untuk bersamamu. Sekarang aku terlalu lelah. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu, meskipun kau ingin sekali aku pergi. Untuk apa? Agar kau bisa mengacaukan dirimu karena kau bahkan tidak perduli lagi pada hidupmu? Apa kau pikir kau satu-satunya yang mengalami hal ini di dunia? Tidak. Ada banyak mereka yang bahkan lebih menderita darimu namun masih terus berjuang. Tolong, setidaknya perdulilah pada hidupmu.”

Ia tertawa dengan penuh air mata. “ Inilah yang paling benar. Apa yang dapat mereka harapkan dari aku? Lihat badanku. Lihat wajahku. Aku hanya akan menjadi duri bagi hidup keluargaku, orang-orang yang aku kasihi. Inilah yang paling benar.”

“Apa yang benar? Kepada mereka yang ingin membantu kau selalu berkata aku baik-baik saja. Tapi matamu mengatakan berbeda. Apakah itu yang disebut kebenaran? Dan sekarang lihat dirimu. Mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Apa itu akan memecahkan masalah? Setelah kecelakaan itu, setelah ia pergi dari hidupmu, setelah semua perjuanganmu, kau merasa tak punya lagi harapan. Lalu apa? Dulu kau kuat. Dan seharusnya sekarangpun begitu. Tunjukkan pada dunia bahwa kau bisa bangkit.” Bibirku bergetar hebat.

“Jika kau mengakhiri hidupmu, apa yang akan dilakukan keluargamu? Kau tidak boleh lakukan itu. Kau hanya menempatkan mereka di tempat tergelap, sama seperti yang kau lakukan padaku. Kau sudah pernah mengalami kegelapan itu. Apa kau sanggup melihat mereka merasakan hal yang sama? Mereka yang selalu menyemangatimua untuk terus berjuang? Ingatlah betapa kau bisa tertawa bahagia hanya karena gurauan mereka.”

“Pikirkanlah. Aku tahu ini bukanlah apa yang benar-benar kau inginkan. Jangan dengarkan suara-suara yang hanya ingin menjebakmu. Kau masih punya aku. Selalu ada aku. Kita bisa berbagi tentang ini. Kita bisa melewati ini bersama. Jangan sungkan untuk mengadu padaku. Jangan pernah lagi anggap dirimu lemah. Kau tahu kau bisa menemukan keberanian itu dalam dirimu. Keberanian itu aku.” Dia tetap membisu.

Sepuluh menit berlalu aku pikir cukup untuknya. Aku ambil pisau dari tangannya. Kutuntun kursi rodanya dengan lembut menuju cermin di ujung kamar. “Keluarlah. Sambut hidupmu. Jalani dengan dirimu yang baru. Aku katakan aku sudah lelah untuk selalu terjebak dalam dirimu.” Perlahan ia membuka mata. Sendu ia menatap lurus ke arahku. “Maafkan aku. Mulai hari ini aku berjanji, akan menjadi sekuat dirimu.” Dengan tersenyum lembut ia membelai diriku, yang juga tersenyum dari balik cermin.

Selasa, 03 Januari 2012

Namanya Edgar

Oleh: by: @wahyu_antari

Aku meniup lapisan debu yang menutupi buku itu. Kubuka lembar pertama dan menemukan nama Edgar di bagian awal. Kubuka lembar berikutnya. Nama itu semakin banyak tercetak di sana, lengkap dengan goresan dan icon yang menggambarkan berbagai macam ekspresi, bahkan di beberapa foto hasil dari hobi fotografiku, melempar anganku ke beberapa tahun silam, tepat saat aku membeli buku bersampul merah jambu ini.

Namanya Edgar
Itu yang dia ucapkan saat pertama kali kami berkenalan. Masih kuingat hari itu. Dia memakai kaos merah berlogo DC, celana khaki selutut, sepasang sandal abu-abu yang kemudian kusadari senada bola matanya. Kata ayah, kita bisa menilai first impression seseorang dari cara mereka bersalaman. Kalau mereka menjabat tanganmu erat, berarti orang tersebut menghargai dan menghormatimu. Itu penilaian pertamaku. Jabatannya erat, hangat menjalari telapak tanganku seperti musim panas yang pernah kurasakan ketika menghabiskan setahun di San Fransisco, pada tahun terakhir masa kuliah dulu.

Namanya Edgar.
Dia adalah pemilik senyum termanis yang pernah kulihat selama dua puluh sekian tahun kehidupanku. Senyum itu tak pernah lepas dari bibirnya yang menawan. Saat bicara, mendengarkan, memesan secangkir kopi, ataupun meminta bill pada pelayan. Diam-diam kuamati kapan senyum itu berubah dari senyum simpul, senyum lebar, hingga senyum tipis yang bahkan tidak akan terlihat jika tidak diperhatikan baik-baik.

Namanya Edgar.
Dia yang tiba-tiba menghampiriku saat aku duduk di pojok Starbucks, ditemani segelas cokelat hangat dan sepiring cheese cake yang sisa setengah.
“Are you okay?” Pertanyaan pertamanya setelah duduk di depanku.
“Yeah, I’m good,” jawabku berpura-pura, tidak ingin siapapun tahu kalau kepalaku sedang memutar begitu banyak kejadian menyebalkan hari itu. Mulai dari kegagalan lolos beasiswa S2 sebuah universitas di Inggris hingga pertengkaranku dengan Aji beberapa jam lalu. Aji yang selama satu tahun ini menjadi orang terdekat, berteriak keras dan berkata kasar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya hanya karena aku menolak menemaninya datang ke sebuah acara. Puncaknya ketika dia meneriakkan kata putus, aku pergi. I will never ever begging love from someone.

Namanya Edgar.
Dia menemaniku sepanjang sore hingga malam, mengantarkanku pulang dengan selamat setelah aku puas menceritakan semuanya. Aku bukan tipe orang yang gampang terbuka pada orang baru. Biasanya butuh waktu dua-tiga kali pertemuan sebelum bisa benar-benar akrab. Tidak untuk Edgar. Sore itu kami mengobrol banyak hal, tertawa-tawa hingga pengunjung lain menoleh, berbisik-bisik ketika ada sekumpulan remaja duduk di meja depan, lalu kembali bicara dengan nada super serius.
“Gagal itu biasa. The failure exist to teach you, to make you learn to survive,” komentarnya yang membuatku sadar bahwa aku akan kembali mencoba agar bisa lolos beasiswa dan bisa kuliah pasca-sarjana di universitas impian.

Namanya Edgar.
Menjemputku suatu sore di kantor, pertemuan keempat kami. Satu diantaranya terjadi sehari setelah kejadian di Starbucks. Edgar menemukanku berteduh di sebuah warung depan kantor, menawarkan jasa untuk mengantarku pulang dan sepanjang jalan yang macet kami tertawa menyanyikan lagu-lagu Top 40 yang diputar sebuah radio.
“This is Jakarta, and to live in it, you have to deal with the traffic. Kalau nggak mau kena macet, sana pindah ke Kutub Utara aja,” candanya sukses menghadirkan gelak tawa kami berdua. Dalam sekali seumur hidupku, macet tak lagi menyebalkan.

Namanya Edgar.
Yang mengajakku makan malam di batagor pinggir jalan, menikmati pengamen yang mendendangkan lagu-lagu populer milik Dewa, Peterpan, bahkan Nidji. Hari itu minus senyum bersemangatnya. Wajahnya tampak kusut. Dan setelah menghabiskan sepiring batagor, segelas es teh manis dan dua potong pisang goreng, aku tahu penyebabnya. Masalah keluarga dan orang yang dianggap bisa memberikan support malah menghujaninya lewat berbagai macam permintaan sepele. Pacarnya. Temanku.

Namanya Edgar.
Dialah orang yang membuat Sasha, teman terbaikku selama sepuluh tahun terakhir, bersemangat melewati kuliahnya di Sidney, menjadi tokoh utama dalam ceritanya ketika kami hang out, merubahnya agar tidak lagi melirik laki-laki lain seperti yang dulu sering dilakukannya. No more flirt when I met this guy, kata Sasha saat merayakan hari jadi mereka yang ketiga, di hari pertama aku akhirnya berkenalan dengan kekasihnya.
“Aku dan Sasha kayaknya makin nggak cocok, Lex, makin sering berantem,” cerita Edgar lemah. “Kayaknya aku mau putus aja deh, dari pada makin nggak nyaman kayak gini. I just can’t stand with her anymore. Aku capek, Lex, bosan harus jadi pacar yang sempurna buat dia. Aku nggak bisa jadi diri sendiri. I think it’s enough.”

Namanya Edgar.
Pelukan pertama kami ketika dia mengantarku pulang malam itu. Dalam mobilnya, sebelum aku turun. “Makasih ya udah dengerin ceritaku, Alexandra, aku senang bisa share ini sama kamu. Makasih nggak ikut ngerecokin aku.”
Aku balas tersenyum. Kami bertatapan lama. Cukup lama untuk bisa menilai keindahan bola mata abu-abunya. Cukup lama untuk menyadari ada luka kecil tepat di sudut alisnya dan jerawat kecil di sudut hidungnya yang mancung. “Sama-sama, Gar, good night.”

Namanya Edgar.
Kami menghabiskan beberapa minggu terakhir lebih intens dari biasanya. Edgar sering mampir ke kantor saat makan siang, menemaniku memotret matahari terbit atau sekedar duduk menikmati keindahan hamparan bintang di langit malam yang luas. Kami mengobrol tentang apa saja. Berdiskusi mengenai buku-buku kesukaanku, band kesayangannya, makanan favorit kami, hingga kejadian konyol yang kami lakukan di masa lalu. Aku suka caranya tertawa. Jauh lebih membuat hangat ketimbang saat dia tersenyum. Aku suka caranya mengacak-acak rambutku. Aku suka caranya mencubit ujung hidungku atau mengecup singkat keningku di sela-sela tawa itu.

Namanya Edgar.
Yang menciumku lembut, membuatku melayang saking bahagianya dan nadiku berdenyut seratus kali lipat lebih kencang. Itu bukan ciuman pertamaku, tapi jelas ciuman terbaik yang pernah kurasakan. “How was that?” tanya Edgar bercanda, melepas bibirnya sejenak agar kami bisa menghirup udara. “Awesome. You’re such a damn good kisser,” balasku singkat karena sedetik berikutnya bibir Edgar kembali menyapu bibirku. Lembut. Manis.
“I love you, Alexandra, I truly mean it when I say it.”

Namanya Edgar.
Orang yang menjadi sumber pertengkaranku dan Sasha selama masa persahabatan kami. Orang yang membuat Sasha melancarkan perang dingin untuk pertama kalinya. Padahal dulu setiap kami bertengkar, baik aku maupun Sasha akan saling menghubungi untuk minta maaf. Kali ini berbeda. Sasha memilih berdiri berseberangan denganku karena seorang Edgar. Ketika ibu bertanya kenapa Sasha tidak pernah terlihat batang hidungnya, aku berkata kalau dia sedang sibuk. Dan dia memang sibuk. Karena tiga minggu kemudian, sepucuk undangan datang ke rumah. Bertuliskan nama Natasha Swihardjo & Edgar Bharata.

Namanya Edgar.
Dia menemuiku di taman kota tempat kami sering menghabiskan sore dengan makan jagung bakar atau membeli arum manis kesukaanku. Wajahnya tanpa ekspresi. Rambutnya acak-acakan. Tanpa berkata apa-apa, dia memelukku. Terlalu erat hingga aku hampir tak bisa bernapas.
“Maafin aku, Lex, maaf. Harusnya aku nggak membiarkan diriku jatuh cinta sama kamu. Harusnya aku bisa menahan diri. Harusnya aku sadar dan bertindak logis. Maaf karena sudah menyakitimu.”

Aku diam.

Pria inilah alasan Sasha kembali ke Jakarta, ketimbang menerima pekerjaan yang ditawarkan sebuah kantor hukum bergengsi di Australia. Pria pertama yang selalu menjadi Prince Charming dalam angan-angan Sasha, yang membuatnya ingin menjadi Nyonya Edgar Bharata. Tahukah dia bagaimana perjuangan Sasha selama ini? Apakah dia lupa kalau Sasha amat sangat mencintainya?
“Aku tahu,” ucapku getir. “Memang seharusnya Sasha yang bersama kamu, bukan aku. Sasha lebih pantas dan berhak. Aku... maaf, I really don’t want to hurt her. She is my bestfriend. Please take care of her, Gar, jangan bikin Sasha nangis.”
Kupeluk Edgar lebih erat sebagai pelukan terakhir. Kuhirup bau rambutnya yang segar, harum tubuhnya yang wangi. “Congratulation for the wedding, aku usahain untuk datang.”
Edgar menggeleng dalam pelukan itu. “Enggak perlu. Aku nggak akan bisa melakukannya kalau ada kamu di sana. Aku nggak akan sanggup. You’re just to special for me, Alexandra.”
Itu pelukan terakhir. Juga pertemuan terakhir. Karena aku tak pernah muncul lagi di hadapannya. Tidak untuk dua tahun kemudian. Aku hanya mendengar kabar pernikahan yang meriah dan mewah dari beberapa teman, melihat fotonya yang di-post seseorang di situs jejaring sosial, memilih mengabaikannya dan menutup rapat semua kisah itu saat kedua kakiku melangkah memasuki pesawat yang akan terbang ke London, dua malam setelah pernikahan akbar putra-putri keluarga Swihardjo dan Bharata.

Namanya Edgar.
Menjadi alasanku kembali menginjakkan kaki ke tanah air setelah dua tahun menetap di negara orang. Membuatku segera pergi menemui Sasha yang menghubungiku lewat telepon minggu malam lalu, saat London tengah diguyur hujan deras. Suaranya terisak. Sasha menangis sekian menit sebelum bercerita. Hari itu juga kuputuskan untuk pulang. Toh kuliah sudah selesai, tinggal menunggu upacara kelulusan saja.
“He needs you. Please,” isak Sasha sebelum menutup telepon.
Panggilan pertama setelah pertengkaran kami, setelah perang dingin demi seseorang yang dua tahun lalu mengucap janji sehidup semati dengannya di depan altar.

Namanya Edgar.
Senyumnya masih menawan. Rambutnya masih wangi. Hanya saja sepasang mata abu-abunya tak lagi berbinar ceria. Tubuhnya diam tak bergerak. Hanya ada bunyi mesin yang memenuhi isi kamar, selang-selang yang terpasang di sekujur tubuhnya. Edgar tak menatapku. Dia mungkin tak tahu kalau aku datang. Karena ketika aku menginjakkan kaki memasuki sebuah kamar di rumah sakit internasional ini, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Sasha memelukku. Menangis.
Om dan Tante Swihardjo maupun Bharata ada di sana. Melihatku sedih. Kutemukan arti tatapan itu setelah Sasha menyeretku keluar kamar, menceritakan apa yang terjadi selama dua tahun terakhir ini. Memberitahu apa yang sudah kulewatkan selama ini.
“Edgar nggak pernah berhenti mencintai kamu, Lex. Dia selalu menyebut nama kamu, mikirin kamu, bahkan menggunakan nama kamu untuk anak pertama kami. Edgar pernah bilang, satu-satunya alasan dia bertahan dalam pernikahan ini hanya karena janji ke kamu untuk jaga aku. Demi kamu.” Sasha menarik napas panjang, menyulut sebatang rokok yang biasa dia lakukan sejak kuliah. “Bahkan di saat terakhirnya, dia masih tetap manggil nama kamu. Cuma nama kamu yang dia ingat setelah koma dalam kecelakaan itu. Cuma kamu, Lex.”

Namanya Edgar.
Tertulis begitu jelas dalam buku bersampul merah jambu di tanganku. Nama yang menjadi penggerak tulisan-tulisan dalam tiap lembarnya. Nama yang terpatri begitu jelas pada halaman terakhir, tepat di bawah foto matahari pagi yang kuambil dari puncak apartement-nya. Di sana tergores tulisan yang dia tulis lewat tinta biru, You are my sunshine, Alexandra.

Namanya Edgar. Dialah kisah yang tertulis di buku penuh debu ini.

Sampul Cokelat Tua

Oleh: @_raraa


Aku meniup lapisan debu yang menutupi buku itu, menggores permukaannya dengan jari hingga terbentuk garis lurus. Sampul berwarna cokelat tua dengan selotip yang menguning karena waktu, di tengahnya. Sobek, dulu.

Di sudut kanan atas masih ada namaku, ditulis dengan sekedarnya anak kecil yang baru belajar huruf. Kertasnya sudah saling menempel, urutan alfabet di lembarnya sudah memudar, dan sebagian besar benar-benar sudah hilang.
Aku layangkan lagi kenangan itu, kenangan sederhana di atas lembaran kucel berusia belasan tahun di tanganku. Kenangan saat Nenekku duduk berdiam di kursi rotan miliknya, matanya memerhatikan tiap gerak tanganku. Aku meliriknya diam-diam, sama seperti yang beliau lakukan di tengah kesibukannya menonton tayangan TV. Berkali-kali aku menghampirinya, bertanya apakah tulisanku benar. Dan berkali-kali pula beliau hanya menjawab ''Salah!'', hingga aku enggan melanjutkan usahaku.

Aku mengusap lagi lembaran pertama buku bersampul warna cokelat tua, merasakan atmosfer masa lalu, menyerap lagi sisa-sisa ingatan yang tersisa. Tentang mata tajam menusuk yang terus memaksaku pergi ke sekolah, tentang senyum diam-diam saat tengah malam ketika melihat huruf-huruf 'Salah'nya.

Aku menyusuri lagi spasi-spasi tak beraturan lebarnya di atas lembaran kertas rapuh berusia belasan tahun, mencari semangat yang baru saja kehilangan sumbernya. Mencari nafas yang beberapa jam lalu diambil lagi oleh-Nya, mencari permukaan kertas yang mungkin akan mengingatkan pada jasad kaku Nenekku. Mungkin senyumnya terselip diantara huruf yang disebutnya 'Salah', mungkin suaranya menjelma menjadi coretan menyilang di atas kata yang dulu susah payah kubuat.

Aku mengusapnya lagi, sampul berwarna cokelat tua compang-camping di tanganku. Iya, selotip yang menguning, hanya dua senti. Aku melihatnya, Nenekku ada di sana. Tangisku memaksanya menyambung kembali sobekan sampul buku pertamaku, membongkar semua isi laci demi selotip untuk dua senti. Atau mungkin untuk tangisku. Untuk cucu satu-satunya.