Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Deadline. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Deadline. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Maret 2011

Waktu, Deadline, Misteri

Oleh Salita Romarin (@wilhelrose)



Pukul 13.30
Ah, pekerjaan yang seperti biasa. Tapi hari ini matahari seperti sedang bahagia. Buktinya hari ini panasnya seperti memanggang kulitku habis. Aku sedang menuju kembali ke restaurant tempatku bekerja. Seperti biasa, mengantar pizza.
Pukul 14.45
 “Den, lu nggak ada kerjaan ya?”
“Haha! Iya, jam segini mah emang bukan shift gue kali. Lu lupa ya?”
“Hahahaha! Kirain gue lu males-malesan, Bro. Ntar Mbak Rini marah-marah lho.”
“Santai kali. Ntar gue nganter lagi jam 5 sorean lah…”
Pukul 16.55
“Den, ini pesenan ada 3, ke alamat ini ya, udah saya tulisin. Jangan telat. Oke?”
“Siap, Mbak!”
Pukul  17.40
Sial! Sial! Kenapa bensin harus habis sekarang sih? Kenapa juga tadi lupa ngecek. Aaaah!! Nggak akan bisa  tepat waktu nganter pesanan. Kacau. Gaji bisa melayang. Gimana ya? Oke, jangan panik. Kepaksa deh harus dorong sampe pom bensin. Untung pesenannya tinggal 1 lagi dan udah nggak terlalu jauh. Doroong! Dorooong!
Pukul 17.59
Yeah! Beres! Kebut langsung dah! Tinggal satu lagi. Wah, kayaknya yang satu ini lagi pesta kecil-kecilan nih anak-anak bimbel. Kayaknya ada yang ulang tahun. Hmm, kalo aja bisa nyicip. Eh, sialan! Dasar anak SMA maen selip aja sembarangan. Hampir aja. Ayo, motorku, lari yang kenceng… Kita harus kejar waktu nih! Deadline! Ayoo! Sebentar lagi, satu lampu merah lagi dan beberapa meter kita sampe.
Pukul 18.06
 Nah, itu dia tempatnya! Oke, parkir di mana nih? Ah, di situ kayaknya bisa. Huff, belum telat. Alhamdulillah…
Pukul 18.11
Ah, beres… Pesanan beres. Bisa rehat dulu sebentar. Hmm, langsung ke resto aja deh. Wah, kebetulan, jalan udah sepi. Oke, kunci motor tadi di sebelah mana ya? Ah, ini dia. Sip, langsung balik. Oke, keluar dari parkiran sekarang.

Koran Pikiran Rakyat, keesokan hari
Bandung (10/06) Telah terjadi sebuah kecelakaan di Jalan Ir. H. Djuanda no.XX (Bangunan Bimbingan Belajar Pasti Bisa). Kejadian terjadi sekitar pukul 18.13 menurut beberapa saksi yang ada di TKP. Pak Oyo, penjual makanan depan bimbel mengatakan bahwa motor pengantar pizza baru saja keluar beberapa meter dari tempat parkir ke jalan raya ketika sebuah motor yang melaju dengan kecepatan sangat tinggi menghantam motor delivery pizza yang baru keluar dari tempat parkir. Pengendara motor yang menabrak itu mengalami luka yang cukup berat. Sementara pengantar pizza tewas seketika.

BATAS WAKTU SENJA



 Oleh @mazmocool


Cermin itu retak seketika kala Senja datang menghampirinya. Sepertinya cermin itu sudah tidak kuasa lagi menjadi saksi kesedihan Senja. Sontak wajah Senja ikut terpecah belah. Senja memungut serpihan kecil yang tergeletak persis di kakinya. Dia berusaha mencari bayangan dirinya dalam serpihan itu. Matanya tajam menatap lekat ke cermin itu. Bukan bayangannya yang terlihat, tetapi sesosok rapuh yang berusia senja tengah berdiri dalam kesendirian. Tanpa terasa, air mata Senja mengalir di sudut kelopak matanya. Entah sudah berapa ratus kali air mata itu mengalir di kelopak mata sendu gadis itu.

"Siapakah sosok itu? Kenapa bayangnya selalu hadir saat aku bercermin? Mungkinkah itu bayanganku?" tanya Senja dalam hati.

Senja mengamati setiap titik wajah di cermin itu. Bentuk matanya, bentuk hidungnya dan bahkan letak tahi lalatnya sama persis dengan wajahnya. Semakin melihatnya, hati Senja semakin teriris.

"Hei, kenapa kamu menangis?" terdengar suara tanpa sosok nyata di bilik kecil itu. Sepertinya suara itu berasal dari perempuan usia senja yang ada di cermin itu.

"Ah aku nggak apa-apa kok," kata Senja sambil mengusap air matanya. Senja masih terpaku dalam diam. Pikirannya menerawang seakan ingin menggapai sebuah impian. Impian yang entah kapan akan dapat diwujudkan.

"Kamu nggak usah menangis. Tataplah di sekelilingmu. Jangan lemah karena  kamu sangat berharga bagi mereka," kata perempuan berusia senja itu lagi.

Senja masih tetap tak bergeming. Dia teringat senyum-senyum polos yang menemaninya setiap hari di ruang kelas berdinding papan. Mereka tersenyum tulus untuk memberikan semangat hidup kepada Senja. Senyumpun terulas ringkas di sudut bibir Senja.

"Nah, begitu kan lebih baik. Ingat senyummu adalah kekuatan hatimu," kata perempuan berusia senja itu dalam seulas senyum.

Senja seakan menemukan kembali kekuatan hatinya saat bayangan itu samar-samar menghilang. Tinggallah bayangan wajah seorang gadis berusia tiga puluh limaan yang sedang tersenyum, tersembunyi disana. Senja segera mengumpulkan serpihan cermin dan menaruhnya ke dalam tempat sampah. Sepertinya dia ingin membuang kesedihan dan bayangan buram di masa yang akan datang.

Senja berlalu meninggalkan bilik kecil itu. Diraihnya tas kerjanya dan melangkah perlahan menuju ruang depan. Dilihatnya seorang perempuan berusia senja tengah asyik duduk di kursi goyang. Di pangkuannya teronggok sebuah kain berwarna merah marun. Dia adalah bunda Senja.

Senja berhenti sejenak untuk berpamitan kepada bundanya. Matanya tertuju pada seonggok kain berwarna merah marun yang berada di pangkuan bundanya. Kain merah marun yang senantiasa menemani bundanya setiap hari dalam kesendiriannya saat ditinggal Senja pergi bekerja.

"Senja berangkat kerja dulu bunda," kata Senja sambil mencium tangan bundanya yang tak lagi kencang.

"Hati-hati anakku," jawab bunda Senja dengan penuh kasih.

Senja segera melangkah menuju tempatnya bekerja yang tak jauh dari rumahnya. Tempat dimana dia bisa mendarmabaktikan ilmunya, sekaligus tempat pengabdiannya bagi bangsa dan negara. Setidaknya bagi dia, dia bisa merasa berguna dan membuat ibunya bangga.

Waktu terasa lambat berjalan, saat dalam bekerja Senja teringat kain merah marun yang selalu menjadi teman setia bundanya.

"Untuk apa bunda setiap hari merenda kain itu?" Pertanyaan itu selalu saja menghantui pikiran Senja. Dia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan setiap hari oleh bundanya. Tenggorokannya selalu saja tercekat saat dia ingin menanyakannya pada bundanya. Senja berusaha mengumpulkan segenap rasa yang terserak untuk bisa menemukan kekuatan untuk bertanya. Perlahan namun pasti Senja bisa kembali fokus ke pekerjaannya. Niat untuk bertanya menjadi pendorong semangatnya menjalani hari.

Jam dinding di ruang kelas itu hampir menunjukkan pukul satu. Terlihat wajah-wajah belia tersenyum menunggu saat pelajaran berakhir. Tak lama bel tanda pulang berdentang. Seketika sekolah itu sepi tanpa tawa riuh anak-anak yang tengah bermain-main.

Senja masih termangu di depan kelas itu. Entah apa yang dipikirkannya. Sampai akhirnya, ada suara yang membawanya kembali ke dunia nyata.

"Bu Senja, saya duluan ya, soalnya sudah dijemput suami saya," kata bu Nelcy yang seumuran dengannya.

Senja mengiyakan dalam senyum getir. Dia berpikir betapa bahagianya bu Nelcy yang telah bersuami dan bahkan telah memiliki dua orang putra. Hati Senja merasa teriris membayangkan kebahagiaan mereka.

Langkah kaki Senja terhenti saat sampai di depan rumah. Rumah terlihat sepi tanpa penghuni. Tangannya yang tak lagi muda berusaha membuka daun pintu dengan paksa. Ternyata terkunci. Matanya berusaha mencari-cari bundanya di sekitar rumahnya. Namun yang dicarinya tak kunjung ditemukannya.

Tiba-tiba dilihatnya seorang tetangganya tampak tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. Orang itu tampak tergesa-gesa. Ternyata dia adalah Hari, mantan kekasihnya yang telah meninggalkannya tujuh tahun yang lalu dan memilih wanita lain sebagai pendampingnya.

"Senja, ada yang gawat," kata Hari terengah-engah.

"Ada apa Har?" tanya Senja kaget.

"Bundamu barusan dibawa ke rumah sakit oleh paman Anto," kata Hari sambil mengatur napasnya yang masih terengah-engah.

"Bunda kenapa Har? Sakit jantungnya kambuh lagi ya?" tanya Senja penuh kecemasan.

"Saya juga nggak tahu. Sudahlah ayo saya antar kamu ke rumah sakit sekarang," kata Hari sambil menarik tangan Senja.

Senja langsung naik ke boncengan motor Hari. Hari segera melarikan motor itu ke rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit, angin siang itu menerbangkan aroma yang membuat Senja ke memori masa silam. Aroma tubuh yang dulu sempat menghiasi relung hatinya, kini tergambar nyata di depannya. Gambaran nyata yang telah meruntuhkan asanya untuk membina hidup bersama. Senja tak mau larut dalam memori dan kembali fokus ke bundanya yang tengah terbaring di rumah sakit.

Lima belas menit berlalu, dan sampailah mereka di pelataran parkir rumah sakit umum itu. Bau obat terasa menyengat saat Senja dan Hari melangkah masuk ke ruang VIP. Sesosok raga rapuh tergolek lemah di ranjang besi kamar itu. Selang infus tampak bergelantungan di sisi ranjang dan bermuara pada urat nadi tangan bundanya.

Senja segera menghampiri bundanya. Bundanya hanya bisa tersenyum tanpa sepatah kata. Senja memeluk tubuh bundanya dan menumpahkan segenap rasa sayangnya. Air mata itu kembali menetes haru. Tangan bundanya mengelus rambut panjang Senja dengan penuh kasih.

Tak lama kemudian, bunda Senja sudah membaik kondisinya. Mereka tersenyum seperti biasanya. Bunda Senja menegaskan bahwa keadaannya baik-baik saja. Hari yang duduk tak jauh dari sana menyaksikan dengan haru.

"Bunda tidak apa-apa Nak," kata bunda Senja sambil kembali mengelus rambut Senja.

Senja hanya tersenyum sambil mengelus rambut bundanya yang sudah nampak memutih rata. Memutih karena usia tanpa seorangpun yang mampu untuk melawannya.

"Syukurlah bunda. Senja senang mendengarnya," kata Senja sambil mengusap air matanya.

"Kamu kesini sama nak Hari ya?" tanya bunda Senja yang dari tadi sudah melihat Hari duduk di sudut ruangan itu.

"Iya bunda," kata Senja sambil memberikan isyarat kepada Hari untuk mendekat.

"Gimana keadaan ibu?" tanya Hari dengan santun.

Bunda Senja tersenyum sekilas dan menjawab, "Alhamdulillah ibu tidak apa-apa nak Hari. Nak Hari sendiri gimana kabarnya. Sudah lama nggak silaturahmi ke rumah lagi."

"Alhamdulillah, saya juga baik-baik saja bu. Maaf bu, bukannya saya bermaksud memutuskan silaturahmi, tapi sejak saya cerai dengan istri saya, saya memutuskan untuk merantau ke luar kota. Kebetulan sedang libur makanya sejak dua hari lalu saya pulang kampung," kata Hari panjang lebar.

Bunda Senja hanya mengangguk pelan mendengarkan cerita Hari. Sesekali bunda Senja terbatuk kecil. Sementara itu, Senja hanya memperhatikan percakapan keduanya. Dia masih membisu sampai akhirnya matanya tertuju pada seonggok kain merah marun. Kain yang senantiasa disulam renda oleh bundanya.

Senja meraih kain itu dan memperhatikan setiap detilnya. Sepertinya itu adalah sebuah kebaya yang berhias renda di tepinya. Beberapa bagian tampak masih belum direnda dengan sempurna.

"Bunda, boleh saya bertanya?" tanya Senja tiba-tiba.

Kekuatan bunda dalam menghadapi sakitnya adalah kekuatan Senja untuk merangkai kata demi kata menjadi sebuah tanya. Senja berusaha merangkai tanya dengan sederhana agar bundanya lebih mudah untuk menjelaskannya.

"Senja anakku. Itu adalah kebaya yang sengaja bunda siapkan untukmu sejak lama. Bunda ingin nanti saat bunda selesai merenda kebaya itu, kamu telah menemukan seseorang sebagai pendamping hidupmu. Bunda ingin kamu memakai kebaya itu di hari bahagiamu nanti," kata bunda Senja sambil berlinang air mata.

Air mata Senja ikut larut dalam harapan bundanya. Hari yang sejak tadi termangu ikut merasakan kesedihan mereka.

Senja mengamati kebaya itu dengan seksama. Sepertinya hanya tinggal hitungan hari saja kebaya itu akan selesai direnda oleh bunda. Itu adalah batas waktu yang diberikan bunda untuknya. Sejenak kegelisahan melanda hati kecil Senja. Bunda mengerti kegelisahan anak gadisnya.

"Senja, anakku. Kamu nggak usah terlalu mikirin kata-kata bunda. Anggap saja itu sebagai penyemangat bagimu agar kamu bisa bangkit dari keterpurukanmu selama ini," kata bunda Senja berusaha mengusir kegelisahan hati Senja.

Senja merasa tenang dengan perkataan bundanya dan dia juga meminta bundanya untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dulu. Yang terpenting baginya adalah kesehatan bundanya.

Hampir dua jam berlalu, mereka bertiga berbincang hangat. Sesekali mereka terdengar tawa kecil tanda bahagia. Hari segera pamit dan berjanji untuk datang menjenguk kembali ke rumah sakit nanti malam.

Senja melepas kepergian Hari dengan seulas senyum harapan. Sepeninggal Hari mereka berdua kembali terlibat perbincangan hangat tentang berbagai hal. Sampai akhirnya, malampun datang mengganti senja. Mereka berdua masih berada dalam ruangan yang sama, namun suasana hati yang berbeda.

Malam merambat perlahan saat Hari kembali masuk ke ruang perawatan itu. Hari tampak membawa bungkusan dan menyodorkannya kepada Senja. Ternyata bungkusan itu berisi nasi goreng kesukaannya. Nasi goreng seafood pedas yang dijual pak Yanto di depan toko bangunan. Senja tersenyum dan segera menghabiskan nasi goreng penuh kenangan itu.

Hari-hari berikutnya Hari rutin mengunjungi bunda Senja di rumah sakit. Intensitas komunikasi membuat hubungannya dengan Senja kembali membaik. Hari sepertinya ingin membuka kembali hati Senja dan mengobati luka lama yang ada. Niat itu sudah disampaikan kepada bunda Senja, saat Senja meninggalkan mereka berdua untuk bekerja. Bunda Senja sepertinya tidak keberatan dengan niatan itu. Bunda Senja tahu bahwa Hari seorang yang baik. Perceraian Hari itupun terjadi bukan karena faktor dari Hari, tetapi istrinya yang berselingkuh dengan pria lain.

Seminggu kemudian, bunda Senja sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan untuk dibawa pulang. Seperti biasa bunda selalu berusaha menyelesaikan sulaman rendanya sebagai batas waktu bagi Senja untuk mengakhiri masa lajangnya. Hari semakin sering bersilaturahmi ke rumah Senja dan setia menemani bunda menyulam renda itu.

"Senja, ada satu hal yang ingin aku katakan ke kamu," kata Hari di beranda rumah Senja kala senja itu.

"Apa itu Hari?" tanya Senja sambil membetulkan letak duduknya di samping Hari.

"Kalau kamu nggak keberatan, aku ingin menjadikanmu sebagai pendamping hidupku. Gimana Senja," kata Hari dalam nada yakin dan mantap.

Keyakinan Hari dalam setiap abjad yang terangkai menjadi kata-kata ternyata belum mampu membuat Senja yakin dengan hatinya. Senja tiba-tiba gelisah dalam gundah. Seketika Senja merasa berada dalam sebuah persimpangan. Dia bingung harus lurus dalam sendu ataukah belok kiri dalam kelu. Pikirannya menerawang dalam bimbang tentang jalan yang akan dipilihnya. Dia bingung antara dua pilihan yang membingungkan. Semua karena batas waktu yang diberikan bunda. Dia bingung apakah harus merangkai hari bersama orang yang pernah melukai hatinya ataukah dia akan merangkai hari sendiri sampai menjadi seperti perempuan berusia senja yang hadir di setiap dia bercermin, seorang perempuan yang pura-pura tegar dalam kesendirian dalam tawa sampai usia senja. Dia hanya bisa berharap semoga benang sulam bunda habis untuk sementara sampai dia menemukan jawaban penuh keyakinan akan masa depannya.

Batas Akhir

Oleh Ninda Syahfi (@nindasyahfi) 


Ah! Rasanya aku bosan. Dor.

Hidup ku biasa saja, layaknya seorang gadis normal, harus multi - talenta. Harus bisa ini dan itu. Aku masih hidup dengan cara tradisional; harus bisa memasak makanan utama, mencuci dan menyetrika baju dengan benar, serta melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Tidak ada beda dengan babu, hanya saja menjadi babu di rumah sendiri.

Ah! Rasanya ingin tertawa. Ha.

Semua bahagia, terutama aku. Aku berhasil mewujudkan cita - citaku; hidup sederhana, namun berjaya. Aku berhasil menyelesaikan sekolah, dan kuliah dengan baik, juga bekerja di tempat yang menarik. Aku pun berteman dengan mereka yang istimewa. Kemudian menikah dengan lelaki super keren, dan memiliki putri kembar yang lucu.

Ah! Rasanya ingin menangis. Hiks.

Batas akhir? Tidak pernah suka pada pasangan kata ini. Membatasi dan mengakhiri. Padahal, aku sedang menikmati hidup indahku. Hidup indah, yang dilengkapi dengan semua hal yang aku inginkan. Semua ada di sekitarku. Sangat sempurna kalau saja tidak ada batas akhir.

Aku harus bersiap karena semua orang telah menungguku. Ramai sekali sepertinya di luar. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Ah! Si tua itu sudah tiba bersama keluarga ala kadarnya. Waktu yang diberikan Tuhan sudah habis. Semalam adalah batas akhirnya. Batas akhir untukku bermimpi. Mimpi paling indah, yang akan didambakan semua orang jika mereka berada di posisiku sekarang; dijodohkan dengan kakek tua-genit-tidak-tahu-malu. Aneh sekali melihatnya bangga, menikahi bocah SMP sekecilku, agar semua hutang orang tuaku padanya, terbayarkan. Gila!


AKU HARUS NIKAH!

Oleh Riezky Oktorawaty ( @riezkylibra80 )

Salimah bolak balik tak tentu tujuan. Dia panik, sang Bapak masuk Rumah Sakit. Kecelakaan motor tadi pagi membuat semua mimpinya porak poranda.
            “Nduk.. “
            “Iya Pak,” sahut Salimah mendekati dipan.
            “Kamu masih ingat tho, janjimu ke Bapak..”
            “Masih kok Pak..” jawab Salimah lemas.
            Obrolan singkat Salimah dan Bapak sebelum akhirnya Bapak tak sadarkan diri.
            Seminggu yang lalu Salimah lulus SMU, demi merajut mimpi, dia menyampaikan keinginan nya kepada sang Bapak. Ya.. Mimpi Salimah sederhana, dia hanya ingin menjadi TKI, agar bisa menyenangkan hati Bapak. Semenjak kepergian Ibu, Salimah sangat bergantung pada Bapak, karena itu dia ingin membalas budi.
            Namun Bapak tidak menyetujui keinginan keinginan Salimah. Bapak hanya menginginkan Salimah untuk menikah. Tekad Salimah sangat kuat, dia tetap kokoh pendirian, pergi ke Malaysia menjadi TKI.
            “Aku pingin kuliah Pak, makanya aku jadi TKI aja, biar cepet dapet duit” minta Salimah pada Bapak.
            “Ya sudah, Bapak tahu, kamu tidak mungkin bisa Bapak larang…, tapi.. Bapak punya syarat..”
            “Apa itu Pak, Insyaallah Salimah bisa penuhi sebelum berangkat ke Malaysia..”
            “Bapak Cuma kasih kamu waktu 2 tahun saja ya nduk, setelah itu kamu harus pulang, nemenin Bapak disini, di kampung ini..” pinta Bapak.
            “Terimakasih ya Pak, Salimah janji, setelah 2 tahun Salimah pulang ke sini, kuliah di sini..” sanggup Salimah sambil memeluk Bapak.
Tapi semuanya porak poranda, keberangkatan ke Malaysia yang sudah disiapkan sebelum kelulusan nya, gagal. Bapak kecelakaan motor, dan kondisinya parah. Dokter yang merawat Bapak, angkat tangan.
            “Dok.. bagaimana Bapak saya..”
            “Maaf.. semuanya tergantung kehendak Tuhan, Kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Jawab Dokter.
Salimah kebingungan, apa yang harus dia lakukan, dia tak punya lagi sanak saudara, hanya Bapak seorang. Salimah teringat permintaan Bapak, yaa.. pernikahan. Deadline pernikahan Salimah bukan 2 tahun, melainkan hanya dalam hitungan hari atau bahkan jam. Siapapun tak akan pernah tahu kehendak Tuhan.
Aku Harus Nikah! Kata-kata ini lah yang ada di benak Salimah. Salimah tidak ingin mengecewakan Bapak. Salimah sangat menyayangi dan mencintai Bapak.
Salimah membuka koran dan melihat iklan Biro Jodoh. Salimahpun mempunyai ide untuk memasang iklan Jodoh buat nya.
Salimah, Gadis, 18tahun, Islam, SEGERA MENIKAH! Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, Aku ingin membahagiakan Bapak yang terbaring di Rumah Sakit karena kecelakaan, Aku membutuhkan pria serius, Waliku yaitu Bapak ku, umur beliau hanya hitungan hari atau bahkan jam, Aku tak tahu lagi. Berminat, hubungi RS. Pelita Hati.
Sehari setelah iklan terpasang, kondisi Bapak tak jua membaik, Salimah semakin panik. Dimanakah calon suamiku? Aku harus nikah! Hanya kata-kata ini saja yang bergelayut di benak Salimah
            Pintu kamar terbuka pelan, Dokter bersama suster, hendak melakukan pemeriksaan rutin. Saat sang suster selesai dengan tugas nya dan meninggalkan kamar, Dokter belum juga beranjak dari situ.
            “Maaf.. apa ini kamu yang memasang iklan jodoh..” tanya Dokter sambil menyodorkan koran kepada Salimah.
            “Iya, Dok, itu saya, saya punya janji sama Bapak, saya harus nikah..” jawab Salimah menahan tangis.
            “Menikahlah dengan saya, kamu bersedia..”
Salimah terdiam terpaku dan tak percaya yang dia dengar, Dokter ini tidak hanya baik dan ramah, melainkan juga tampan. Seindah inikah jodohku, Tuhan. Dokter mendekati dipan Bapak dan membisikkan kata ke telinga Bapak. Salimah tak pernah tahu apa yang dibisikan Dokter kepada Bapak.
Hari ini adalah hari pernikahan, Bapak sebagai Wali pun belum mampu menikahkan Salimah. Penghulu lah yang menikahkan Salimah dan Dokter.
Seminggu setelah pernikahan, dan sekaligus hari ini juga selamatan 7 hari meninggalnya Bapak. Salimah ikhlas dengan keputusan Tuhan. Namun dia masih penasaran, apa kata-kata yang dibisikkan Dokter kepad Bapak.
“Mas, saya penasaran, apa yang Mas bisikkan ke Bapak waktu itu..”
            Dokter pun menjawab peryanyaan Salimah dengan membisiki telinga Salimah, dan membuat Salimah tersenyum simpul, dan haru.
            Pak.., ijinkan saya menikahi putri Bapak, saya ingin menjadi jawaban Deadline putri Bapak ke Bapak. Menikahinya!

Berjudi Dengan Waktu


Oleh Ifnur Hikmah (@iiphche)

Benda persegi panjang itu tampak begitu menggoda. Berwarna putih gading dengan tonjolan busa yang terlihat begitu nikmat untuk segera direbahi.
Kasur. Itulah sahabat terbaik para penggila waktu alias mereka yang berkejaran dengan waktu demi sebuah target. Dan setelah seharian penuh berkeliaran kian kemari mengejar narasumber, pulang ke rumah dan bertemu kasur  jelas terasa sebagai suatu barang mewah.
Serta merta ku rebahkan diri di atasnya. Pelukan lembut selimut sutra membungkus tubuh lelahku. Hempasan pelan kepala di bantal bulu melenakanku. Pagutan Teddy Bear menghangatkan sekujur tubuhku. Alangkah nikmatnya.
Hampir saja aku melayang ke alam mimpi ketika daun pintu terayun membuka. Seberkas wajah dengan gurat-gurat usia melongok di sana.
“Baru pulang Jen?”
“Iya Mi,” jawabku pelan. Lelah benar-benar menguasaiku.
Mami berjalan mendekat. Sisi kiri tempat tidur berderak ketika beliau mendudukkan tubuhnya yang tetap ramping meski telah memasuki usia senja. “Kamu kelihatan capek.”
“Minggu depan kita naik cetak sedangkan aku masih punya hutang satu tulisan lagi. Jadilah seharian ini aku mengejar narasumber.”
“Ya sudah.  Kamu mandi dan istirahat ya.”
“Sepertinya aku segera membuat transkrip wawancara tadi, Mi. Aku, takut nggak kekejar waktunya.”
Mami manggut-manggut. Beliau tentu telah terbiasa dengan ritme klerjaku yang selalu berpacu dengan waktu. Sebagai penanggung jawab rubrik fashion di MODE, aku seolah tak pernah lepas dari yang namanya tergesa-gesa. Banyaknya event yang harus diliput, pergerakan mode yang seolah tak berniat sedikitpun untuk menyamakan langkah denganku, hingga ke kerewelan model yang harus ku tangani membuatku tak pernah berani berjudi dengan waktu. Aku pasti kalah, dan telah ku sadari itu. Buktinya, selalu aku yang keteteran memanfaatkan kehadiran waktu.
Tak pernah sekalipun waktu berkompromi denganku.
“Jangan terlalu dipaksakan. Kalau lelah, istirahat saja,” nasihat Mami, as usual.
Ku tarik nafas dalam-dalam, sekedar untuk mengusir sesak di dada. “Aku nggak mau berjudi dengan waktu, Mi. Waktu selalu berlari meninggalkanku. Sementara aku? Semakin hari aku semakin di renggut usia sehingga langkahku tak lagi semantap dulu ketika berlari mengejar waktu. Aku tidak ingin ketertinggalanku semakin jauh,” jawabku.
“Oh ya? Serius kamu berpikir seperti itu?” tanya mami ringan. Tapi, aku adalah anaknya. Sembilan bulan berada dalam kandungannya dan 30 tahun hidup di bawah perlindungannya membuatku hafal setiap makna terpendam di balik semua ucapannya.
Ku layangkan mata lelah kepada mami. Benar saja, mami tengah tersenyum-senyum penuh arti ke arahku. Ada sesuatu di balik raut wajahnya. “Maksud mami apa?”
Bukannya aku tidak tahu maksud mami. Semua makna tersirat itu tercetak jelas di wajahnya, dan tak butuh waktu lama untuk menyadarinya. Namun, aku hanya ingin memastikan.
“Kamu bilang kamu tak ingin berjudi dengan waktu. Kamu juga menyadari semakin hari, kamu semakin direnggut usia. Tidak bisakah kamu menempatkan pemikiran tersebut dalam hal lain? Hal yang jauh lebih penting dalam hidupmu,” urai mami berteka teki.
Ku tarik tubuhku yang terasa berat untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur. Ku tatap mami yang kini berada tepat di hadapanku. “Pekerjaan, itu yang penting untukku.”
Tangan mami bergerak untuk membelai rambut ikalku yang awut-awutan. “Dirimu sendiri jauh lebih membutuhkan perhatian ketimbang pekerjaanmu itu.”
“Mi, kita sudah sering membicarakan ini, oke?” Aku tak tahan lagi. Makin hari mami semakin sering mengungkit hal sensitif ini. Ada saja hal yang memberi celah untuknya dan dia selalu berhasil menemukan celah itu.
“Memang, tapi kamu tak pernah memberikan jawaban pasti untuk mami.”
Lagi, ku tarik nafas dalam-dalam. “Bukannya aku nggak mau memberikan jawaban tapi memang jawabannya belum ada.”
“Tapi sampai kapan Jena? Dulu kami bilang umur 25 kamu akan menikah, tapi  nyatanya? Kamu terlanjur terlena dalam pekerjaanmu. Lalu kamu mundurkan target hingga usia 28 tahun. Dan sekarang sudah lewat dua tahun tapi kamu belum juga menunjukkan tanda-tanda.”
“Mi, Jena capek. Bisa kan pembicaraan ini kita tunda sampai aku tidak capek?” kilahku.
“Kapan kamu tidak capek? Pekerjaanmu itu begitiu menyita waktu dan kamu rela menceburkan dirimu dalam-dalam.”
“Salah Jena memilih jadi wanita karier?”
“Tidak. Justru mami bangga melihat kemandirianmu. Tapi, seperti yang sudah kamu sadari kalau usiamu semakin bertambah,” mami terus mencecarku.
“Baru 30 tahun Mi. Zaman sekarang bukan hal memalukan lagi wanita melajang di kepala tiga.”
“Mami ngerti. Zaman memang telah berubah, nggak sama dengan waktu mami muda dulu Tapi kebutuhan biologis dan kodrat kamu sebagai perempuan tidak berubah.”
Ku edarkan pandang ke sekeliling kamar –yang entah kenapa terasa menyempit. Ku edarkan  pandang kemana saja, selain menatap ke kedalaman mata mami yang penuh harap itu.
Ah, bukannya aku tak mau membahagiakan mami. Bukannya aku mau mengecewakan mami, tapi ini semua di luar kuasaku. Aku bukannya tak ingin menikah, hanya saja hingga saat ini aku belum berhasil memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang itu.
“Jangan-jangan benar kata orang,” celetuk mami.
Ku tatap mami dengan dahi berkernyit. “Maksud mami?”
“Karena kamu pernah menolak lamaran seorang pria makanya sekarang waktu berbalik menghukummu,” jawab mami datar.
Aku tersentak. “Mami. Itu hanya mitos,” protesku.
“Buktinya, sejak kamu menolak lamaran Damar, kamu selalu dikecewakan pria-pria yang dekat denganmu.”
Damar. Nama itu kembali menelisik masuk ke hatiku setelah enam tahun berlalu. Damar, pria yang begitu sempurna untukku tetapi sayangnya hadir di waktu yang kurang tepat. Tiga tahun memadu kasih membuat Damar nekat mengajukan proposal dihadapan orang tuaku. Mami yang memang sudah ingin menimang cucu dari anak perempuannya satu-satunya terlihat antusias dengan lamaran Damar. Masalahnya, waktu itu aku tengah asyik-asyiknya menikmati pekerjaan baruku dan tenggelam dalam kesibukanku. Selain itu, usiaku masih terlalu muda -24 tahun- untuk membina rumah tangga. Sedangkan Damar dikejar-kejar waktu dan orang tuanya di tengah usianya yang hampir menginjak kepala tiga. Aku belum bisa. Meski Damar menerimanya dengan lapang dada, hubungan kami jadi terasa hambar. Tiga bulan setelah lamarannya, kami pun putus.
Selepas Damar ada dua pria yang dekat denganku dan mereka berdua juga yang menorehkan luka di hatiku dengan alasan perselingkuhan. Lelah bermain hati, aku pun menenggelamkan diri dalam pekerjaan sampai-sampai aku berhasil menduduki posisiku sekarang di usia yang tergolong muda. Dan sejenak, masalah hatipun terlupakan.
Hingga kemudian mami seperti kebakaran jenggot melihatku yang santai-santai saja saat usiaku memasuki kepala tiga. Mulailah dia berkoar-koar mengenai pernikahan, setiap saat dan tak mengenal tempat. Awalnya ku coba untuk menganggapnya sebagai angin lalu namun lama kelamaan kupingku panas juga. Selanjutnya hatiku ikut-ikutan panas. Dan mami senang-senang saja menyemburkan oksigen di tengah kecamuk bara di hatiku.
Seperti malam ini.
“Itu artinya aku dan Damar bukan jodoh Mi.”
“Lalu kapan kamu akan menemukan jodohmu?” tanya mami dengan nada putus asa.
Aku hanya angkat bahu. Bagaimana aku tahu jawabannya sementara siapa jodohku kelak masih tersimpan rapi di tangan Sang Penguasa? “Mungkin waktu bisa menjawabnya. kelak.”
“Itulah yang mami khawatirkan. Kamu seolah tak peduli dengan usia dan perjalanan waktu yang kian mengikis usiamu.”
“Makanya mami doakan aku.”
“Mami selalu mendoakanmu. Itu pasti. Tapi kalau hanya doa tanpa dibarengi usahamu, percuma saja toh?”
“Aku berusaha kok. Hanya saja sekarang belum terlihat hasilnya.”
“Kamu selalu saja berkelit,” mami terkekeh. “Sekarang begini saja, mami mau mengajukan penawaran untukmu.”
Oooo… apa ini? Aku mencium rahasia ini sengaja disimpan mami setelah mengajakku berbincang kesana kemari. Ini seperti ‘gong’ terakhirnya dan aku yakin, sangat yakin, penawaran yang dimaksud mami pasti membuatku terguncang.
Ku tatap mami dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Apa?”
“Tahun ini kamu genap 30 tahun. Mami memberimu ultimatum terakhir. Jika sampai ulang tahun nanti kamu belum juga menemukan pria yang cocok, maka kamu harus mengikuti cara mami.”
Aku tersentak. Benar kan? Kecurigaanku terbukti. Lagi-lagi mami berniat melakukan perjodohan untukku.
“Kali ini mami serius. Mami takkan mengizinkan apapun –terutama kamu- mengacaukannya,” geram mami. Sepertinya mami masih kesal dengan dua kali usaha perjodohannya menjadi kacau karena dengan sengaja aku meminta tugas keluar kota sehari menjelang perjodohan.
“Mami?”
“Mami serius Jena. Dan menjelang hari ulang tahunmu mami akan terus berdoa supaya dibukakan pintu hati dan pikiranmu. Semoga kamu bisa menyadari kehadiran seorang pria sempurna di luar sana,” tekad mami.
Aku melongo. Batas waktunya adalah hari ulang tahunku? Itu berarti enam bulan lagi. Bagaimana mungkin aku bisa mencari pacar –calon suami- dalam tempo sesingkat itu. “Mustahil Mi. Aku minta pengunduran waktu,” kelitku.
Mami menggeleng pasti. “Bukannya kamu yang selalu bilang tidak ingin berjudi dengan waktu?”
Aku tertunduk lesu. Mami mengacak rambutku yang memang sudah kusut. “Jika kamu yakin, maka kamu pasti bisa menemukannya.”
Yang benar saja. Batas waktunya adalah enam bulan lagi. Bagaimana mungkin?
Ku lemparkan tatapan protes tapi mami keburu beranjak. Ku buka suara menyampaikan protes tapi mami melambaikan tangan di udara sebagai isyarat menyuruhku diam.
“Tapi Mi…..”
Mami mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil Seolah tak pernah berkata apa-apa, beliau melangkah ringan menuju pintu dan keluar dari kamarku.
Sepeninggal mami, tulisan besar ENAM BULAN membayang di pelupuk mataku. ENAM BULAN batas toleransi dari mami. Gila, yang benar saja.
Seketika kelelahan yang sedari tadi membayang berganti dengan kegelisahan. Dan kata-kata ENAM BULAN menari tanpa dosa di depan mataku. Arghhhhhhh. Tenggat waktu ini jauh lebih parah dibanding tenggat waktu yang diberikan pemimpin redaksi super galak sekalipun dan upaya memenuhinya juga seribu kali lebih berat ketimbang wawancara tokoh ternama sekalipun.
Di tengah-tengah kekalutanku, pintu kamar kembali terbuka. “Ingat ya Jen, enam bulan. Hanya itu waktu yang kamu punya. Jangan coba-coba berjudi dengannya.”
Selepas berkata seperti itu, mami menghilang, meninggalkan aku yang hanya bisa melongo di tempat tidur.

Lima Hari


Oleh @karinaismyname

"Lima hari lagi", ucapnya. Dokter berkata usiaku tersisa lima hari lagi. Aku termenung. Tatapan mataku kosong. Akhirnya tiba juga deadlineku, hanya saja lebih cepat dari yang aku kira. Jujur, aku tidak merasa terlalu terkejut.
Sesaat kemudian aku pulang ke rumah dan melihat suamiku yang sedang menyiapkan makan malam. Aku menghampirinya dan dia mengecup keningku. Ia memasak hidangan favoritku; tumis kangkung, cumi goreng tepung, dan sayur asem. Lalu kami berdua menyantap masakan suamiku, seperti 10 tahun silam--kami selalu makan makan berdua.
Kuputuskan untuk memberitahu suamiku mengenai "deadline lima hari" secara halus. Aku memulainya ketika kami menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi di ruang keluarga, duduk berdekatan di sofa setelah makan malam. Aku mengajukan beberapa pertanyaan untuk suamiku dan ia menjawab dengan santai, sambil menyaksikan televisi.
"Bagaimana jika suatu saat kau harus makan malam seorang diri?" Lalu suamiku menjawab, "Tidak akan terjadi. Aku akan mencarimu untuk makan denganku, di manapun engkau berada."
"Bagaimana jika aku tetap tidak bisa melahirkan seorang anak?" Ia pun menjawab, "Kita dapat mengadopsi seorang anak, jika kau mau."
"Bagaimana jika minggu depan aku meninggalkanmu dan tidak akan kembali? Apa yang akan kau lakukan?"
Ini pertanyaan terakhir mengenai deadlineku untuknya.
"Tergantung apa maumu. Jika kau ingin aku untuk mengikhlaskan kepergianmu, maka aku akan melakukannya. Asalkan aku dapat melihatmu pergi meninggalkanku dengan tenang tanpa beban, aku yakin aku akan baik-baik saja."
Jawabannya membuatku yakin bahwa ia memang akan baik-baik saja. Kehidupan manusia terus berjalan, walaupun kita tidak dapat menduga deadline masing-masing.
"Lima hari lagi kan?" kali giliran suamiku yang bertanya padaku. Tatapannya terpaku pada televisi.
Aku terdiam. Pasti ia sudah mengetahui hal ini sebelum aku mengunjungi dokter. Suamiku melanjutkan kata-katanya.
"Mari kita habiskan lima hari menuju deadline ini seperti biasa. Habiskan hari-hari kita bersama, seperti biasa. Aku tidak ingin deadline itu terasa berbeda. Anggap saja kau akan pergi ke suatu tempat dan menungguku dengan sabar di sana. Suatu saat kita akan bersama-sama lagi, hanya saja deadlineku sedikit lebih lama darimu. Tapi jika deadlineku ternyata lebih cepat, berjanjilah kau akan melakukan hal yang sama. Oh, pertandingan 2nd half sudah di mulai. Ayo kita simak."
Air mataku menetes mendengar kata-katanya, namun hatiku terasa ringan. "Aku yakin, Manchester United pasti menang kali ini," ujarku mantap.
"Kita lihat saja," sahut suamiku.
Tiba-tiba deadlineku terasa sangat lama. Bukan lima hari, melainkan 5 tahun lagi. Tidak, 50 tahun lagi. Aku tidak takut, karena selama lima hari ke depan suamiku akan tetap berada di sisiku.
Aku tersenyum dan mulai menyaksikan pertandingan.


***

Karina, Jakarta, 22:20, 9-3-2011

12 Jam Menunggu Surga


Oleh Gia Anatasha

Tubuhku sekarang sudah terbujur kaku terbaring di atas segala penyesalan dan noda yang pernah aku torehkan, jiwaku telah melayang entah mengembara kemana... Berkali-kali aku mencoba untuk memasuki surga, tetapi berkali-kali juga aku di tolak oleh malaikat.

"Malaikat mengapa aku berkali-kali sudah mencoba untuk memasuki surga, tetapi mengapa juga aku selalu sulit memasukinya?" tanyaku kepada malaikat
"Apa kamu ingat dosa apa yang pernah kamu perbuat ketika kamu masih hidup?" jawab malaikat
"Apa dosaku? Ketika dulu aku masih hidup aku sering melaksanakan perintah allah seperti sholat, mengaji, berpuasa bahkan aku sering beramal (shodaqoh). Seingat saya, saya juga tidak pernah melakukan dosa besar seperti Zinah, memfitnah, dengki ataupun murtad" jawabku
"Ketahuilah di dalam ucapan mu, kamu pernah membuat seseorang menangis dan batinnya teriris karena ucapan mu itu" kata malaikat
"Tapi aku..."
"Fikirkan dosamu itu dan minta maaflah kepadanya lalu kembalilah kesini, insya allah pintu ini akan terbuka lebar untukmu" kata malaikat

Lalu aku pergi meninggalkan malaikat dan meninggalkan sejuta kerinduanku untuk mengetuk pintu surga.

"Ya allah dosa apakah yang telah hamba perbuat sehingga hamba tidak dapat mengecup surgamu? Apakah hamba pernah melakukan dosa besar tanpa di sadari..? tapi apakah dosa itu ya allah, mohon tunjukkanlah semuanya." kataku dengan hati kecewa

Di dalam fikiranku selalu terputar kata-kata malaikat tadi. Sontak aku terkaget dengan apa yang waktu dulu aku lakukan, ternyata ketika aku masih hidup dulu aku sering membuat orang tuaku menangis terutama ibu, kulihat ibuku yang sedang menangis tiada henti di depan tubuhku yang kaku. Alangkah dosanya aku ketika dulu aku sering membuatnya menangis dan sekarang aku ingin memeluk ibu dan membasuh kedua telapak kakinya sambil ku ciumi, agar aku dapat menebus dosa besarku.

12 jam waktu yang telah aku buang untuk memikirkan dan menerawang dosaku yang ada di ujung sana, tetapi disini.. Disinilah seorang ibu yang dekat denganku tetapi aku tak mampu menerawang dosaku padanya alangkah bodohnya aku ini, walaupun ibuk tak mendengar kata maafku, tetapi cukup bagi allah membukakan pintu surganya untuk ku. Biar kini kulihat senyum ibu dari surga..

My Rainbow


Adyta Purbaya / @dheaadyta
adytapurbaya.blogspot.com

***
“Dhea, jangan lupa liputan yang kemaren yah…”
Mendongak sedikit dari kubikel, melihat punggung yang berbicara berjalan menjauh.
“Itu ditunggu after lunch loh, Dhe…”
Tidak mengangguk pun membantah. Diam. Lelah.
Handphone bergetar.
New message(s) received : Soraya Ak.08
Tugas Advanced yang bagian elu-nya jangan lupa yah, say! Besok bawa.. mau di satuin sama yang lain..
“Dhe,  foto yang buat edisi minggu depan udah di edit kan? ntar after lunch gue ambil yah.. bos minta besok udah naik layout
Huft.. Tarik nafas. Tahan. Lama. Satu. Dua. Tiga. Buang.
“Dhe…”
Menoleh malas. Apalagi sih?
“Mau titip kopi?”
Tetangga seberang kubikel yang selalu tersenyum ramah.
Cukup jawab dengan sedikit gelengan dan kembali berkutat dengan segala jenis tugas yang akan diambil after lunch.
“Okay. Aku hanya merasa kamu nampaknya lelah sekali”
Nampaknya?
Handphone bergetar lagi. kali ini telpon.
Malas. Melirik sedikit. Nama Pelangi di layar.
Mencoba mengingat apa yang harus aku kerjakan untuknya?
“Hallo, sayang?”
“Kamu lagi dimana?” suara jernih itu.
“Di kantor, sayang. Ngedit naskah hasil liputan kemaren”
Hening.
“Kamu capek banget pasti, yah?”
Diam. Retoris.
“Nanti pulang jam berapa? Aku jemput, yah? Jangan nolak! Kita ke teashop langganan kamu. Kamu butuh segelas teh untuk menjernihkan pikiran kembali”
Masih diam.
“Semangat yah, sayang. I love you”
Klik.
Dia pacar aku? Bukan.
Tapi? sayang?
Yang jelas… dia adalah warna diantara kelamnya himpitan garismati.
Jadi siapa dia?
He’s my rainbow. That’s all. Don’t ask more.