Oleh: Clarice Natasha /@C_arice
Dalam hidupku, aku selalu melihat satu orang ini. Walau jika banyak sekali orang-orang berlalu lalang di sekitarku. Pasti dengan sangat mudah aku menemukan dirinya. Dirinya yang selalu berada dalam pikiranku. Aku sangat mengagumi dirinya, ah lebih tepatnya mungkin, aku sangat menyayanginya. Sangat. Pertama kali saat aku melihat dirinya, aku sudah terlanjur jatuh ke dalam lubang cinta. Mungkin hal itu sudah bertahun-tahun lamanya tapi tetap saja, aku masih sangat menyayangi dirinya.
Dia memperlihatkanku arti hidup yang sebenarnya. Dia mengajarkan banyak sekali dalam hidupku. Termasuk cinta dan rasa kasih sayang. Dia yang membuatku mengetahui apa sebenarnya hidup dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku sangat menyayanginya. Namun sekarang aku melalui satu hal lagi yang tak dapat dicerna kepalaku. Yaitu hal yang bernama, takdir.
“Aku sangat mencintainya, Megumi.”
Aku terkejut. Sangat terkejut. Suaraku tertelan dan aku membisu. Kenapa dia mengatakan hal itu padaku? Aku hanya dapat menatap langit. Tak kuasa aku menahan air mata yang pastinya akan turun dengan derasnya. Dengan segenap perasaan aku menahannya. “Aku benar-benar mencintainya. Mungkin akan terdengar berlebihan. Namun dia sangat berarti bagiku.” Tuhan, tolong aku. Tolong bantulah diriku. Tolong hentikan kata-katanya yang sangat menyakitkan itu. “Kamu mau membantuku?” Tolong jangan teruskan.
Aku memejamkan mataku. Menelan kata-kata yang akan kulontarkan tadi. Dengan seluruh kekuatanku aku menatap matanya. Tanganku mencengkram rokku dengan kuatnya. Dan pada akhirnya aku melontarkan kata-kata yang pahit. Kata-kata yang aku sendiri tak percaya untuk mengatakannya.
“Tentu.”
Mengapa harus perempuan yang kau cintai itu dia?
Kata-kata yang terus berulang dalam benakku. Apa kau tak tau kalau akulah yang selalu berada di sisimu. Yang selalu bersamamu dan menghiburmu? Lalu mengapa kau memilih dirinya? Saat ada seseorang yang begitu mencintaimu dengan seluruh hatinya? Aku melihat diriku di kaca itu. Aku mengenakan gaun putih dan berdandan. Kesedihan dalam hatiku tak tertahankan. Kenapa hal seperti ini harus terjadi? Tapi mau tak mau, aku tetap harus tersenyum. Aku menyalami dia dan tentu saja, perempuan itu.
Aku berjalan selambat mungkin saat memegangi belakang gaun perempuan itu. Dia bagaikan mawar putih yang begitu cantik. Kenapa kau harus begitu sempurna? Sehingga aku tak dapat menemukan satupun kekurangan dalam dirimu? Dan peristiwa itu terjadi. Hal yang paling mengerikan yang pernah kulihat sebelumnya. Dia menyematkan cincin itu kedalam jemari perempuan itu. Aku sudah tak sanggup lagi. Air mataku yang dari dulu ingin aku keluarkan akhirnya berlimpah juga. Semua kekesalan dan kesedihan. Keperihan dan kesesakan.
Airmata itu terus bergulir. Kedua tanganku menutupi wajahku yang tak kuasa menahankan kesedihan itu. Ya Tuhan, kenapa aku harus menyaksikan ini? Kalau saja aku dapat meminta satu hal, aku akan meminta cinta. Aku ingin merasa dicintai. Aku ingin sekali dirinya untuk mencintaiku. Tapi aku tak dapat mengeluarkan sedikitpun suara. Oh kenapa, kenapa? Aku tak dapat mengatakannya, aku sangat mencintainya. Tapi dia tak pernah menoleh ke belakang dan terus berjalan dengan dirinya. Dirinya yang terlihat begitu bahagia di samping perempuan itu. Kenapa? Karena sudah tak sanggup lagi. Aku meninggalkan sebuah surat di buket bunganya, yang terpikir olehku hanya. Apakah ia akan membacanya?
Kalau kau membaca ini kau pasti sudah menjadi orang yang sangat bahagia. Selamat. Hanya itu yang dapat aku ucapkan. Tapi maaf aku tak dapat mendukungmu lagi. Ini sudah mencapai batas akhirku. Aku sudah tak sanggup menopangmu lagi karena sejujurnya. Aku sangat mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Tapi kau tak pernah tau bukan? Sudah lupakan saja diriku, aku memang hanya akan selalu menjadi seorang sahabat. Tidak lebih dari itu bukan? Tapi aku hanya ingin kau tau. Itu saja. Kalau kau menanyakanku apa yang aku inginkan dari surat ini. Aku hanya meminta, agar kamu memaafkanku atas keegoisanku untuk seenaknya mencintaimu.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label meminta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label meminta. Tampilkan semua postingan
Senin, 01 Agustus 2011
Kami Sayang Adri
Oleh: Rahmi Afzhi Wefielananda
Twitter : @Afzhi_
Bel masuk telah berbunyi. Namun, guru belum datang. Kelas ini sunyi.
Tidak ada keributan seperti sedia kala. Keributan yang selalu
dikatakan bak pasar sayur oleh para majelis guru. Kelas terheboh yang
tidak jera akan hukuman. Kelas yang terkenal akan seorang murid yang
dikenal dengan sebutan ‘aktor nakal’, yang menjadi pelopor dalam
keributan kelas. Dia hampir tidak pernah mendengarkan nasehat guru.
Hampir setiap hari. Kalau dihitung-hitung, 97% guru sering dibuat
kesal akan ulahnya.
Meski pun begitu, kami menyayanginya. Kami sering meminta kepada
Tuhan, memohon kepada-Nya agar mengubah sikapnya. Agar dia sadar
dengan kesalah-kesalahannya. Agar dia berubah menjadi anak yang baik,
sopan dan santun meski pun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Semua
itu kami lakukan karena kami sayang kepadanya. Tepai, hari ini Adri
sang aktor nakal tak tampak lagi. Tak tampak batang hidungnya yang
mancung, matanya yang bulat, mukanya yang panjang, dan sepatunya yang
kebesaran. Tidak ada lagi sang pemimpin kehebohan. Semua dirundung
duka.
* * *
“Apa lo butuh bantuan? Jangan ragu-ragu giru dong. Bilang aja. Kita
kan saudara. Kita satu kelas sebagai keluarga,” ujar Adri aktor nakal
yang juga dikenal sebagai anak yang peduli dan memegang arti
kekeluargaan di dalam kelas. Aku kaget. Tidak menyangka. Ternyata,
semua perkataan teman-teman di kelas terbukti, bahwa Adri juga
memiliki sisi baik. Adri memang sering tidak menghiraukan perkataan
guru. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tetapi, itu hanya dalam
masalah-masalah kecil. Seperti dia yang paling sering permisi dan
bermain-main kalau guru mengajar, meribut di dalam kelas, dan hampir
setiap hari meminjam PR kepada teman. Menurutku hanya nasehat-nasehat
tentang itu yang selalu di peringatkan guru kepadanya. Hanya itu.
Itulah sebabnya, teman-temanku selalu mendoakannya agar mendengarkan
semua perkataan mulia yang disampaikan orang tua-orang tua kami di
sekolah. Dan bagiku, inilah pertama kalinya Adri menunjukkan sisi
baiknya padaku. Disaat semua teman sekelas sudah pulang, tinggal aku
yang sibuk memikirkan tentang persiapan kelas menghadapi pentas seni
sekolah karena aku adalah seorang ketua kelas dan juga Adri yang
sedang mengerjakan hukuman menulis kalimat ‘Saya akan berusaha menjadi
anak baik’ sebanyak 500 kali. Berdua saja. Biasanya, Adri selalu
kutegur jika meribut. Tetapi, nampaknya dia tidak marah. Buktinya,
sekarang dia menawarkan bantuan kepadaku yang sedang kewalahan.
“Bahan-bahan untuk pentas lusa belum lengkap, Ri. Baju adat yang akan
dipakai penari piring belum sempat kusewa. Padahal hari ini, aku harus
pulang kampung bersama keluarga untuk menjenguk nenek yang sedang
sakit.”
“Lo gak usah pusing gitu kali Sarah. Kan ada gue. Biar gue yang
beliin. Mana uangnya? Terus nyewanya dimana? Gue siap sedia kok.”
“Tapi, kamu kan lagi ngerjain hukuman kamu? Lagian tempat nyewanya
jauh. Di salon X di pasar H. 5 km dari sini. Jalan rayanya ramai.
Rawan kecelakaan. Kamu kan kalau bawa motor sering ngebut-ngebutan.”
“Tugasnya udah selesai kok. Gak papa. Gue janji deh buat gak ngebut,”
jawabnya serius.
“Serius?”
“Seratus rius!!”
“Oke deh ini uangnya dan ini gambar model bajunya. Makasih ya, Ri.
Kamu mau bantuin aku,” aku menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan
kepadanya.
“Kita kan keluarga. Jadi harus saling membantu.”
Terharunya aku mendengar kata-kata itu.
* * *
‘Sar, kamu udah tau belum? Kalau Adri kecelakaan. Dia ditabrak oleh
mobil yang sopirnya nyetir ugal-ugalan di jalan raya deket pasar H.
Sekarang dia kritis di Rumah Sakit ABCD’ Itu isi pesan yang aku terima
dari Nora di perjalananku saat pulang dari rumah nenek. Aku kaget
bukan kepalang. Ini semua salahku. Kenapa aku membiarkan Adri pergi ke
pasar itu? Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tak mau tahu. Aku harus
bertanggung jawab kepada Adri. Harus. Lalu kuminta ayahku untuk
mengantarku ke rumah sakit tempat Adri di rawat. Ayahku setuju. Segera
mobil berbalik arah. Setelah itu melaju kencang. Namun…
Malang bagiku. Setiba di rumah sakit, aku sudah kehilangan Adri.
Banyak teman-temanku yang berada di sana. Semuanya menangis. Adri
telah menghadap yang Maha Kuasa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Menyalahkan diri. Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri. “Kamukah teman
Adri yang menjadi ketua kelas?” tanyanya kepadaku.
“Iya,bu,” jawabku tersedu.
“Tabahkan hatimu, nak. Semua ini bukan salahmu. Ini sudah takdir
Tuhan. Saya ibunya Adri. Adri sempat menyampaikan pesannya untuk semua
teman-temannya. Dan ini rekamannya,” ibu yang matanya sembab karena
menangis itu memberikan sebuah radio kecil.
“Teman-teman maafkan semua kesalahan yang aku lakukan selama ini. Aku
selalu merepotkan kalian. Aku tidak peduli dengan kalian yang
memintaku untuk sopan kepada guru. Dan aku juga ingin memberi tahu,
kecelakaan ini bukan karena salah siapa-siapa. Ini adalah takdir
Tuhan. Dan tolong sampaikan permintaan maafku untuk guru-guru kita
yang tercinta,” itulah isi perkataan Adri. Aku memberikan radio itu
kembali kepada Ibu Adri. Setelah itu, beliau memberikan 7 stel baju
kepadaku. Baju adat. Adri masih sempat membelinya sebelum peristiwa
itu terjadi. Kami semua terharu. Sampai akhir hidupnya pun Adri masih
membantu kami. Serempak kami semua menengadahkan tangan. Berdoa
dipimpin Fahrul meminta kepada Tuhan agar memberikan tempat yang baik
di sisi-Nya untuk Adri. Selamat jalan Adri. Kami sayang kepadamu■
Twitter : @Afzhi_
Bel masuk telah berbunyi. Namun, guru belum datang. Kelas ini sunyi.
Tidak ada keributan seperti sedia kala. Keributan yang selalu
dikatakan bak pasar sayur oleh para majelis guru. Kelas terheboh yang
tidak jera akan hukuman. Kelas yang terkenal akan seorang murid yang
dikenal dengan sebutan ‘aktor nakal’, yang menjadi pelopor dalam
keributan kelas. Dia hampir tidak pernah mendengarkan nasehat guru.
Hampir setiap hari. Kalau dihitung-hitung, 97% guru sering dibuat
kesal akan ulahnya.
Meski pun begitu, kami menyayanginya. Kami sering meminta kepada
Tuhan, memohon kepada-Nya agar mengubah sikapnya. Agar dia sadar
dengan kesalah-kesalahannya. Agar dia berubah menjadi anak yang baik,
sopan dan santun meski pun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Semua
itu kami lakukan karena kami sayang kepadanya. Tepai, hari ini Adri
sang aktor nakal tak tampak lagi. Tak tampak batang hidungnya yang
mancung, matanya yang bulat, mukanya yang panjang, dan sepatunya yang
kebesaran. Tidak ada lagi sang pemimpin kehebohan. Semua dirundung
duka.
* * *
“Apa lo butuh bantuan? Jangan ragu-ragu giru dong. Bilang aja. Kita
kan saudara. Kita satu kelas sebagai keluarga,” ujar Adri aktor nakal
yang juga dikenal sebagai anak yang peduli dan memegang arti
kekeluargaan di dalam kelas. Aku kaget. Tidak menyangka. Ternyata,
semua perkataan teman-teman di kelas terbukti, bahwa Adri juga
memiliki sisi baik. Adri memang sering tidak menghiraukan perkataan
guru. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tetapi, itu hanya dalam
masalah-masalah kecil. Seperti dia yang paling sering permisi dan
bermain-main kalau guru mengajar, meribut di dalam kelas, dan hampir
setiap hari meminjam PR kepada teman. Menurutku hanya nasehat-nasehat
tentang itu yang selalu di peringatkan guru kepadanya. Hanya itu.
Itulah sebabnya, teman-temanku selalu mendoakannya agar mendengarkan
semua perkataan mulia yang disampaikan orang tua-orang tua kami di
sekolah. Dan bagiku, inilah pertama kalinya Adri menunjukkan sisi
baiknya padaku. Disaat semua teman sekelas sudah pulang, tinggal aku
yang sibuk memikirkan tentang persiapan kelas menghadapi pentas seni
sekolah karena aku adalah seorang ketua kelas dan juga Adri yang
sedang mengerjakan hukuman menulis kalimat ‘Saya akan berusaha menjadi
anak baik’ sebanyak 500 kali. Berdua saja. Biasanya, Adri selalu
kutegur jika meribut. Tetapi, nampaknya dia tidak marah. Buktinya,
sekarang dia menawarkan bantuan kepadaku yang sedang kewalahan.
“Bahan-bahan untuk pentas lusa belum lengkap, Ri. Baju adat yang akan
dipakai penari piring belum sempat kusewa. Padahal hari ini, aku harus
pulang kampung bersama keluarga untuk menjenguk nenek yang sedang
sakit.”
“Lo gak usah pusing gitu kali Sarah. Kan ada gue. Biar gue yang
beliin. Mana uangnya? Terus nyewanya dimana? Gue siap sedia kok.”
“Tapi, kamu kan lagi ngerjain hukuman kamu? Lagian tempat nyewanya
jauh. Di salon X di pasar H. 5 km dari sini. Jalan rayanya ramai.
Rawan kecelakaan. Kamu kan kalau bawa motor sering ngebut-ngebutan.”
“Tugasnya udah selesai kok. Gak papa. Gue janji deh buat gak ngebut,”
jawabnya serius.
“Serius?”
“Seratus rius!!”
“Oke deh ini uangnya dan ini gambar model bajunya. Makasih ya, Ri.
Kamu mau bantuin aku,” aku menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan
kepadanya.
“Kita kan keluarga. Jadi harus saling membantu.”
Terharunya aku mendengar kata-kata itu.
* * *
‘Sar, kamu udah tau belum? Kalau Adri kecelakaan. Dia ditabrak oleh
mobil yang sopirnya nyetir ugal-ugalan di jalan raya deket pasar H.
Sekarang dia kritis di Rumah Sakit ABCD’ Itu isi pesan yang aku terima
dari Nora di perjalananku saat pulang dari rumah nenek. Aku kaget
bukan kepalang. Ini semua salahku. Kenapa aku membiarkan Adri pergi ke
pasar itu? Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tak mau tahu. Aku harus
bertanggung jawab kepada Adri. Harus. Lalu kuminta ayahku untuk
mengantarku ke rumah sakit tempat Adri di rawat. Ayahku setuju. Segera
mobil berbalik arah. Setelah itu melaju kencang. Namun…
Malang bagiku. Setiba di rumah sakit, aku sudah kehilangan Adri.
Banyak teman-temanku yang berada di sana. Semuanya menangis. Adri
telah menghadap yang Maha Kuasa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Menyalahkan diri. Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri. “Kamukah teman
Adri yang menjadi ketua kelas?” tanyanya kepadaku.
“Iya,bu,” jawabku tersedu.
“Tabahkan hatimu, nak. Semua ini bukan salahmu. Ini sudah takdir
Tuhan. Saya ibunya Adri. Adri sempat menyampaikan pesannya untuk semua
teman-temannya. Dan ini rekamannya,” ibu yang matanya sembab karena
menangis itu memberikan sebuah radio kecil.
“Teman-teman maafkan semua kesalahan yang aku lakukan selama ini. Aku
selalu merepotkan kalian. Aku tidak peduli dengan kalian yang
memintaku untuk sopan kepada guru. Dan aku juga ingin memberi tahu,
kecelakaan ini bukan karena salah siapa-siapa. Ini adalah takdir
Tuhan. Dan tolong sampaikan permintaan maafku untuk guru-guru kita
yang tercinta,” itulah isi perkataan Adri. Aku memberikan radio itu
kembali kepada Ibu Adri. Setelah itu, beliau memberikan 7 stel baju
kepadaku. Baju adat. Adri masih sempat membelinya sebelum peristiwa
itu terjadi. Kami semua terharu. Sampai akhir hidupnya pun Adri masih
membantu kami. Serempak kami semua menengadahkan tangan. Berdoa
dipimpin Fahrul meminta kepada Tuhan agar memberikan tempat yang baik
di sisi-Nya untuk Adri. Selamat jalan Adri. Kami sayang kepadamu■
Langganan:
Postingan (Atom)