Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label percaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label percaya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2011

Dedicate to you: I Love You

oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)




“Apa aku jahat?”

“Tidak.”

“Apa aku terlihat jelek sekarang?”

“Tidak.”

Itulah yang kusuka darinya. Dia, sekalipun tak pernah kudengar dari mulutnya; menjatuhkanku, menyalahkanku, berpikiran buruk tentang aku. Dia selalu mengatakan hal yang baik, masukan tanpa emosi yang bisa otak tumpulku mengerti. Dia melihatku tidak hanya dari satu ujung garis seperti orang lain yang mengatakan kalau aku ini pelacur, perempuan hina atau apapun namanya itu. Bahkan ketika diriku sendiri bilang kalau aku ini manusia rendahan yang sama sekali tak memiliki budi luhur. Dia tidak begitu, karena dia selalu bisa menarikku dari semua benang kusut yang sebenarnya walaupun kau ulur satu-satu takkan mampu.

Dia bukan siapa-siapa, bukan keluarga apalagi pacarku—laipula mana mau aku. Dia awalnya hanya orang asing yang kukenal sekilas, tapi entah kenapa bisa begitu perhatian atas Hemofilia pura-pura yang kuakui waktu kami berkenalan. Tolol, berkali kubilang aku hanya bercanda, tapi ia baru percaya ketika hampir tiga bulan kami entah bagaimana akhirnya dekat. Dan selama itu pula dia terus bilang jangan lupa makan, jangan lupa minum obat, bah, aku tidak tahu bagaimana kerja otaknya.

Tapi jangan salah, dia tidak idiot, dia tampan, badannya tegap, ototnya penuh hasil dari coba-coba ikut pencinta alam. Dan aku tahu gadis-gadis diluar sana bersedia adu panco demi kencan semalam dengannya. Dan aku, entah sedang beruntung atau apa, hanya bermodal kisah hampir diperkosa dan ditusuk garpu makan, sukses membuatnya selalu ada dimanapun kubutuhkan. Ketika aku tinggi, ketika aku takut, ketika aku jatuh, dan ketika aku pulang sempoyongan habis dari klub malam.

Dia selalu mengajarkan aku hal-hal ajaib yang sebenarnya aku sendiri tak yakin perlu. Salah satunya, dia pernah mengajarkanku bagaimana menghisap asap rokok supaya langsung masuk dan menyesap di paru-paru. Bilang tak yakin, tapi akupun sama tololnya karena manut.

Dia itu seperti tiang dan aku membelotnya dengan menjadi kabel-kabel yang melintang tak tentu arah dan pembawa masalah. Ketika salah satu pacarku berselingkuh, dia menghajarnya tanpa ampun tapi kemudian lagi-lagi dengan tololnya aku malah memukulnya dengan meraung-raung sambil mengatakan kenapa menghajar pacarku, ketika hutang karena judiku menumpuk, percaya tidak percaya memang dia yang menyelesaikannya dengan mengorbankan seluruh uang bulanannya hanya untukku, ketika aku memutuskan hubungan dengan pacarku yang tak berduit dan dengan menjijikannya menawarkan aku makanan seharga sepuluh ribu, bukan kelasku tapi toh akhirnya aku merasa bersalah juga, merasa mata duitan dan dengan polosnya bertanya apa aku salah, pada dia yang selalu ada itu. Tentu saja dia menjawab ‘tidak’.

Pernah suatu waktu aku bertanya mengapa ia selalu menjawab begitu, dia bilang dia percaya padaku, selalu percaya padaku. Dia bilang aku hanya tidak tahu bagaimana caranya menjalani hidup. Tapi dia selalu percaya padaku, selalu mendukungku, menambah semangatku, melonjakkan kepercayaan diriku ketika perutku mulai turun. Dia bilang, aku ini adiknya. Dia percaya nantinya aku bisa hidup seribu kali lebih baik, satu hal yang tak kumengerti: dia percaya aku baik hati.

Dia tak pernah marah padaku, tapi aku sering marah padanya. Aku marah karena dia telat menjemputku, aku marah karena teleponku lama baru diangkatnya, aku marah jika dia punya pacar padahal aku sendiri bisa tiap malam berganti pasangan. Aku selalu meninggalkannya, tapi kuingat hanya sekali dia meninggalkan aku ketika pacarnya masuk rumah sakit dan dia berlari meninggalkan aku termangu didepan pagar rumah sendirian. Karena hal itu saja aku marah besar padanya, padahal selain itu dia tak pernah meninggalkan aku sendirian.

Termasuk ketika ternyata aku hamil satu bulan. Kubilang padanya, dia hanya diam. Hanya bertanya siapa, akan meminta pertanggung jawabannya. Kubilang tak usah. Dia diam, memandangiku dengan raut wajahnya yang kusam. Lama, akhirnya dia bilang dia yang akan bertanggung jawab, menikahiku, memberikan nama untuk jabang bayi diperutku kelak. Kubilang tak perlu. Matanya sendu, aku tahu dia sangat kecewa padaku. Dia bertanya apa aku

berencana menggugurkan, lalu sedetik kemudian dia bilang jangan, dia percaya aku akan bisa menguruskan. Kubilang tak akan kugugurkan. Aku tahu matanya memerah.

**

Sepuluh tahun sejak aku terakhir kali melihat air matanya terjatuh. Aku sudah pergi, hari itu kuputuskan untuk berhenti membuatnya lelah atas sikap-sikapku. Akhirnya memang aku yang terus meninggalkannya, meninggalkan orang yang selalu percaya padaku, selalu membelaku, selalu ada disampingku. Tapi aku tak terlalu lama berduka, aku tahu dia akan lebih baik begitu.

Hari ini anakku berumur sembilan tahun. Kukirimkan fotonya yang lucu, dan secarik surat pendek ke alamat tempat tinggalnya dulu:

Foto anakku, namanya Daffa, namanya sama denganmu. Dia sudah sembilan tahun. Aku selalu menceritakan tentangmu padanya, dia suka padamu. Doakan dia selalu sehat ya J

Nb: Kau ingat dulu aku ingin mengatakan sesuatu saat kau ulang tahun, tapi tidak kesampaian? Aku mau bilang, I love you. Terimakasih karena selalu percaya padaku. Aku akan hidup seribu kali lebih baik dari dulu.

Salam sayang,

Jingga.

Entah sampai atau tidak.

Dia Percaya Padaku

oleh: Lidya Christina Yowendro (@Lid_Yang)


Dia jarang bicara. Setiap kali aku menemuinya, dia selalu diam. Mereka yang menemaninya selalu bermain denganku dengan senang. Tetapi dia tidak. Nampaknya begitu. Tampangnya selalu masam.

Sejak pertemuan pertama dengannya, aku tahu dia akan menjadi teman terbaikku. Aku tahu dia hanya menganggapku angin yang lewat begitu saja. Dia tidak pernah bertanya bagaimana hariku, bagaimana makananku siang tadi. Dia juga tidak pernah membicarakan rahasianya padaku, tidak seperti teman-temanku yang lain.

Tetapi itu semua dugaanku saja. Semuanya hanya anggapanku terhadap pribadinya. Hingga hari itu.

Seperti biasa, aku menemaninya berjalan di taman. Tiba-tiba dia ingin ke tempat lain yang tidak pernah dia pergi.

Mau kemana dia? Aku tidak tahu. Aku hanya bertugas menuntunnya, menemaninya. Kami meninggalkan taman, menuju ke jalan raya. Mobil berlalu lalang dengan cepatnya. Nampaknya dia bingung akan tempat yang ingin dikunjunginya.

Oh, iya! Aku teringat sesuatu. Tempat pelatihanku di dekat sini. Akan ku bawa dia ke sana. Terserahlah apa yang dia akan katakan pada orang tuanya.

Dari pada hanya berjalan tanpa tujuan, aku membawanya melewati jalan raya yang sedang ramai dengan kendaraan, membawanya melewati tempat-tempat yang tidak pernah dia pergi.

Dengan bangga aku membawanya pulang beberapa jam kemudian. Orang tuanya kelihatan cemas. Sangat cemas.

Dia ditarik ke dalam kamar. Aku menempelkan telinga ku ke dekat pintu. Aku ingin mendengarkan percakapan mereka.

“Kamu kemana tadi?!” Sepertinya itu suara ibunya.

“Tidak kemana-mana,” jawabnya tenang.

Dan mulailah dia diserang dengan omelan dari orang tua dan familinya.

“Bagaimana kalau kamu kecelakaan? Jalan raya pada jam segitu banyak mobil!”

“Lalu?”

Wah, pikirku. Kalem betul anak ini.

“Lalu?! Anjing itu tidak bisa menyelamatkanmu kalau terjadi sesuatu.”

Eh! Kata-kata ibunya benar-benar tidak menyenangkan hatiku. Aku bisa menyelamatkannya!

“Dia bisa,” katanya. “Aku percaya itu. Karena aku percaya dia.”

Ternyata dia telah mempercayaiku mulai saat kami bertemu. Ternyata dia mempercayakan hidupnya yang begitu berharga padaku. Dengan matanya yang buta itu, yang dia bisa percayai hanya aku, anjing penuntunnya yang selalu menemaninya.

Katak Berkalung Berlian

oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com


Seutas tali serupa titik tenggelam di dasar sungai berbatu. Sepasang kaki menjejak kuat di atas sebuah batu hitam yang licin. Kaki yang masih goyah dari dalam hati. Mencari pijakan yang tepat agar bisa meraih seutas tali nylon warna biru yang ujungnya serupa lingkaran. Tali itu bergoyang tanpa terhanyut dalam arus kecil sungai itu.

Sepasang kaki itu tampak makin goyah dalam rasa tidak percaya. Tidak percaya atas cerita cinta nan duka. Rinai hujan pagi itu semakin menguatkan rasa dalam aroma putus asa. Putus asa yang mengikat jiwa dan membunuh rasa percayanya di atas sungai tepi desa itu.

Kedua tangan kekarnya berhasil meraih ujung tali melingkar itu. Diraih dan mencoba mengamankannya dari terjangan air yang lembut menyapa kakinya. Tali itupun akhirnya menyatu di lehernya dan tiba-tiba menjadi serupa kalung berlian yang menggoda jiwa lelahnya untuk tidak melepaskannya. Senyum menggurat terlukis di sudut bibir basah dalam terjangan rinai hujan. Rinai hujan yang menyembunyikan tatapan kosong dan melarutkan air mata pada kelopaknya.

Kilatan cahaya yang menari di bawah gulita angkasa semakin menguatkan rasa percaya pada ketenangan hidupnya setelah ini. Ketenangan hidup yang dia percaya mampu membebaskan jiwanya dari seluruh nestapa. Rasa percaya yang dia percaya. Padahal rasa itu hadir dari ketidakpercayaannya terhadap kesetian separuh jiwanya.

Kedua tangannya masih memegang sisi kalung berlian di lehernya. Berharap rinai hujan semakin membabi buta dan

meluapkan air sungai untuk menghanyutkan hatinya yang terluka. Terluka yang membuatnya tak mau terluka lagi. Kepercayaannya pada keindahan dunia mulai luntur bersama rinai hujan yang jatuh dan menyatu dengan arus air sungai.

Raganya sedikit bergetar saat nyanyian katak di tepi sungai menggetarkan daun telinganya. Matanya nanar mencari sumber suara. Pandangan tertumbuk pada sepasang katak yang tengah memadu kasih. Pandangan lekat itu tak bisa memungkiri hati kecilnya, bahwa sebenarnya dia masih percaya adanya cinta. Meskipun bukan cinta dari ketidaksetiaan separuh hatinya yang telah meninggalkannya.

Sepasang katak itu semakin mengumbar kemesraan di sudut pandangannya. Seakan ingin memberi tahu betapa indahnya hidup bila ada cinta. Cinta dari yang mencintai dan dicintai. Desah menggoda katak betina membuat katak jantan percaya bahwa dia bisa memiliki katak betina itu selamanya.

Air sungai tiba-tiba mengalir deras hampir sampai lututnya dan membuat batu tempatnya berpijak tak lagi nampak. Dia masih nampak berdiri kokoh saat seekor katak hanyut dan menabrak kaki kanannya. Seekor katak itu terus hanyut bersama aliran sungai dan hilang entah kemana.

Di sudut pandangnya yang lain, seekor katak tampak berdendang di tepi sungai. Tepi sungai tempat sepasang katak tadi memadu kasih. Ternyata itu bukanlah dendang kesedihan. Tetapi dendang agar didengar oleh katak lainnya. Seekor katak meloncat mendekati dendang itu. Dan keduanyapun akhirnya memadu kasih.

"Byurrr!"

Raga yang sedari tadi berdiri di atas batu arus sungai itupun tercebur ke dalam sungai. Kalung berlian terlepas di dasar sungai. Kedua tangannya mengayuh berusaha meminggirkan raganya. Kedua kakinya menjejak-jejak air berusaha menyelamatkan diri. Dalam dendang katak yang tengah memadu kasih itu dia berhasil menyelamatkan diri. Raga basahnya terdampar di tepi sungai dalam rasa percaya akan kekuatan cinta sang Maha Pencipta. Kekuatan cinta yang ditunjukkan oleh sepasang katak yang masih tetap tabah untuk mencari pasangan lagi setelah pasangannya hanyut.

"Astaghfirullah!"

Asma-asma suci terus mengalir dari bibirnya yang mulai membiru. Sejenak dia mencoba menghirup udara yang terjebak dibalik rinai hujan. Udara yang membuatnya kembali percaya bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Udara yang memenuhi paru-parunya membuat raga letihnya menemukan kembali kekuatannya. Bangkit dalam seulas senyum menatap sepasang katak yang masih larut dalam sebuah percintaan.

Perlahan namun pasti kakinya menjejak tepi sungai. Mendaki sedikit untuk bisa mencapai badan jalan. Di sepanjang pendakian kecilnya, daun-daun bergesekan basah dalam sepoi, membuatnya percaya bahwa daun-daun itu larut dalam bahagia melihat dirinya membatalkan niatnya.

Tak sampai sepertiga putaran jarum pendek sebuah arloji, dia sudah berhasil mencapai badan jalan. Seperempat jam yang akhirnya bisa mengembalikan kepercayaan dirinya, bahwa dirinya lebih berguna bagi sesama daripada mati sia-sia. Pandangan matanya merayunya untuk melangkah mendekati pinggir jembatan bercat biru. Langkah kakinya

terhenti saat kedua tangannya sibuk membuka ikatan sebuah tali nylon warna biru. Akhirnya ikatan itupun terbuka. Dengan sigap kedua tangannya menarik dan menggulung tali itu. Senyumnya terikat pada ujung tali yang melingkar. Ujung tali melingkar yang tenggelam di dasar sungai bersama kalung berliannya. Dalam pelukan hujan diapun melangkah kembali meniti masa depannya dalam rasa percaya, bahwa dia bisa menemukan kembali sosok pengganti separuh hatinya yang lebih memilih orang lain untuk menjadi pendamping hidupnya.

Bunda, Aku sudah 21 tahun

oleh: @lymirza

http://lylikemuzics.blogspot.com

Kepercayaan orangtua adalah segala-galanya bagiku. Karena itulah, aku selalu berusaha menjaganya. Menghindari tempat-tempat yang mereka larang untuk didatangi, juga menghindari kegiatan yang mereka anggap tidak penting.

Tapi, apakah kepercayaan selalu berarti melarang melakukan sesuatu?

Aku selalu diinterogasi berlebihan saat bilang akan pergi. Mau kemana? Sama siapa? Pulang jam berapa? Lalu ponselku akan bordering di saat tengah bergurau dengan teman-teman. Ya, telpon dari Bunda. Oh, aku merasa seperti anak sekolah dasar.

Aku tak boleh keluar malam. Padahal, ada banyak hal di luar sana yang sangat mengasyikkan untuk dilakukan di malam hari. “Kamu kan perempuan. Masa keluar malam sih. Kayak perempuan nggak bener aja,” begitu kata Bunda.

Ya, Bunda benar. Karena aku perempuan. Tapi, terkadang timbul rasa berontak dalam hatiku. Aku kan tidak pergi ke tempat yang tidak baik. Aku juga tahu jam malamku. Oke, jam malam yang diberikan Bunda adalah jam 6 sore. Tapi, jam malam yang aku mau adalah jam 9 malam.

Bunda begitu mengekangku. Dia seperti tak menyadari bahwa sekarang aku sudah besar. Aku sudah 21 tahun, Bunda.

Bunda selalu ingin tahu siapa teman-temanku. Oke, aku tidak keberatan mengenalkan semua teman-temanku padanya. Termasuk Rici, pacarku.

Awalnya aku tak memberi tahu Bunda kalau aku punya pacar. Baru setelah satu tahun aku dengan Rici, kuajak dia ke rumah menemui Bunda. Bunda marah saat tahu aku berpacaran. “Kamu kan masih kuliah. Kok udah pacar-pacaran sih!” serunya.

Oh, begitukah Bunda melarang putrinya yang seorang mahasiswi berpacaran? Rasanya aneh dinilai belum pantas berpacaran di usia 21 tahun, saat kamu sudah menjadi mahasiswi yang tengah mengerjakan skripsi. Bunda, apa itu wajar? Argh, ingin sekali kuteriakkan pertanyaan itu pada Bunda. Tapi tak pernah terlontar.

Lalu selama beberapa pekan terus kuajak Rici mampir ke rumah. Sebenarnya dia yang minta. “Supaya Bundamu percaya kalau aku bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Dan kita buktiin juga sama Bunda, kalau kita pacaran kan bukannya melakukan hal yang buruk,” kata Rici kala itu.

Ya, aku harus membuat Bunda percaya pada Rici. Setelah mengenal Rici, Bunda tidak membolehkanku pergi berdua dengan Rici. Apalagi kalau tahu kami akan pergi nonton bioskop. Bunda akan mati-matian melarangku pergi.

“Ya ampun, Bunda, aku kan cuma nonton sama Rici,” kataku sedikit memaksa.

“Nggak. Nanti kalau kalian terbawa suasana, lalu ciuman gimana?” sahut Bunda tegas.

“Bunda, apa aku keliatan kayak cewek gampangan yang mau dicium gitu aja sama pacarnya? Apa aku keliatan kayak cewek murahan yang bisa diapain aja sama pacarnya? Kenapa sih Bunda belum juga bisa percaya sama aku? Aku udah besar, Bunda. Aku tahu mana yang baik dan buruk. Bunda sudah mengajarkan semuanya padaku.” Balasku. Aku sadar, nada bicaraku agak tinggi.

Bunda terdiam. Seperti tak menyangka putrinya akan berkata begitu.

“Apa aku pernah melakukan hal yang memalukan, Bunda? Apa aku pernah melakukan hal yang Bunda larang? Nggak pernah kan, Bunda?!” lanjutku. “Lalu, kenapa Bunda belum juga bisa percaya untuk membiarkan aku hidup dengan hidupku?”

Aku pergi ke kamarku. Meninggalkan Bunda yang masih terdiam.

Aku menangis sejadinya. Aku sadar telah melakukan hal buruk pada Bunda. Tapi bagaimana? Sepertinya ini sudah sampai pada puncaknya. Atas perasaan tidak terima diperlakukan seperti anak kecil.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

“Iya. Masuk aja,” kataku.

Terlihat sosok Bunda saat pintu itu terbuka. Ia mendekatiku, lalu memelukku erat.

“Maafkan Bunda, sayang,” katanya terisak. “Bukannya Bunda nggak percaya sama kamu, tapi semua itu Bunda lakukan karena Bunda sayang sama kamu.”

Aku memutuskan diam.

“Bunda tahu dan sadar betul kalau kamu itu sudah besar. Apalagi saat kamu mengenalkan Rici pada Bunda.” Bunda melepaskan pelukannya dan menatap wajahku dalam. “Kamu tahu kenapa Bunda melarang kamu keluar malam? Padahal Bunda tahu kok apa tujuanmu pergi.”

Aku menggeleng.

“Bunda takut kamu ketagihan pergi malam. Dulu Bunda juga sering keluar malam. Karena kost, jadi mau tak mau harus keluar saat mencari makan malam. Dan memang, semua terasa lebih menyenangkan. Saat kita berkumpul dengan teman-teman dan bersenda gurau sampai lupa waktu, saat pergi mencari tempat makan yang belum pernah dikunjungi, atau saat mengunjungi tempat-tempat indah yang terlihat lebih memukau di malam hari.

Semua memang membuat lupa. Saat kita sadar, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan kamu tahu apa yang bikin Bunda lalu nggak pernah main di malam hari lagi?”

Aku menggeleng.

“Suatu hari, sahabat Bunda datang ke kost-an Bunda. Dia meminta izin untuk menginap selama beberapa hari. Bunda heran. Dia kan tinggal dengan orangtuanya waktu itu. Akhirnya Bunda

biarkan dia menginap. Mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarganya.” Bunda menghela nafas panjang. Lalu melanjutkan ceritanya.

“Ternyata masalah yang dia hadapi lebih dari yang Bunda duga. Dia hamil. Hamil di luar nikah.”

Aku tertegun. Kupeluk Bunda dengan erat, tanpa berkata apa pun.

“Saat itu juga, Bunda memutuskan untuk mengurangi pergi di malam hari. Termasuk berjanji pada diri sendiri, akan melarang putri Bunda pergi di malam hari untuk sesuatu yang masih bisa dilakukan di siang hari. Bunda takut, Sayang. Takut itu terjadi padamu.”

“Maaf, Bunda. Aku ngerti sekarang dengan segala ketakutan Bunda.” “Bunda juga minta maaf ya, Sayang. Mungkin cara Bunda yang salah. Tidak seharusnya Bunda memperlakukanmu seperti anak kecil.”

Bunda melepaskan pelukanku. Diciumnya keningku penuh kasih sayang.

“Besok, kamu ajak Rici ke rumah. Kita makan siang bareng. Biar Bunda yang masak,” kata Bunda sambil tersenyum.

Percaya Pasti Bertemu

oleh: @optimuspras

Bumi selalu berputar pada porosnya, dengan tanpa lelah berputar mengelilingi matahari sehingga terjadi siang dan malam di bumi, berputar secara konstan dan setia pada jalur putar yang telah ditentukan. Sehingga malam percaya bahwa dirinya pasti akan bertemu dengan siang. Dan bulan percaya bahwa dirinya pasti bertemu lagi dengan sang pembuat sinar kehidupan (matahari). Sehingga bintang pun lebih percaya diri untuk menemani sang bulan. Seperti percayanya manusia terhadap sang pemilik rusuknya, mengapa tulang yang hilang itu bukan tulang yang lurus, atau tulang penopang yang besar? Karena rusuk memang diambil dari satu diagfragma yang memungkinkan manusia untuk bisa bernafas dengan lega, dengan di ambilkan dari tulang rusuk, diharapkan mampu memberikan kenyamanan ketika bernafas. Nafas sejuta udara yang di hirup ketika manusia lahir ke dunia, merupakan rasa percaya manusia akan kehidupan kelak. Membawa sejuta impian untuk bermimpi dan sukses adalah berangkat dari rasa percaya kepada sesuatu yang menurutnya mampu untuk dilakukan dan sukses, kalaupun dia merasakan belum mampu, dia akan bertanya kepada ilalang bahwa apa yang seharusnya dia miliki. Begitu juga dengan pasangan rusuk itu, dia akan mencari pasangannya yang tidak pernah membuat rusuk itu lurus Percayalah bahwa jodoh, rezeki dan mati adalah hak preogative dari Tuhan, bahwa manusia di bumi hanya sebagai perencana dan finally touch nya ada di tangan Tuhan. Dan percayalah kita akan bertemu satu diantaranya, semuanya hanya menunggu sang waktu sebagai pengeksekusi tunggal.

Percaya

oleh: @geeshaa

Aku berlari-lari dengan heboh menuju ke Gedung Daya Khatulistiwa di daerah Jakarta Selatan—masalahnya, aku sudah terlambat nyaris setengah jam. Parah, parah, parah. Padahal ini kan hari pertamaku masuk kerja!

Setelah sekitar 15 menit berlari, sampailah aku di hadapan gedung 51 lantai itu. Setelah member salam selamat pagi kiri-kanan kepada security dan resepsionis, aku segera masuk lift menuju ke lantai 21. Di dalam lift itu, ada dua orang bapak-bapak yang sedang bercakap-cakap dengan mengenakan kemeja necis yang salah satunya berkepala botak. Satu lagi, seorang ibu-ibu yang berusia sekitar 30 tahunan yang tersenyum kepadaku setelah membaca name tag-ku yang tergantung di saku kemejaku. Entahlah, ia tersenyum tulus padaku ataukah karena melihat name tag-ku yang mungkin ganjil untuknya. Aku balas tersenyum sekenanya, karena sebentar kemudian pintu lift terbuka.

Bingo, lantai 21.

Aku lalu berjalan dengan cepat—namun sambil meminimalisasi keributan dari sepatu pantofelku yang terantuk lantai di setiap kali kumelangkah, menuju ke seseorang yang duduk di kubikel paling dekat dengan pintu lift.

“Maaf, Bu. Kalau Ruang Nusantara dimana ya?” tanyaku dengan sopan kepadanya. Sebelum menjawab, matanya menggerayangi penampilanku dari atas kepala sampai kakiku.

“Di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah lorong beralaskan karpet berwarna merah marun. “Mentok belok kanan.” Lanjutnya.

“Oh, oke. Makasih, Bu.” Aku lalu beranjak pamit dan menuju arah yang tadi ditunjukkan.

Beberapa langkah dari kubikelnya, Si Ibu sedikit berseru, “Cepetan De, sudah mulai dari tadi acaranya!” Beliau sepertinya menyadari kalapu penampilanku menunjukkan kalau aku adalah pegawai baru yang seharusnya mengikuti acara pembukaan On the Job Training di ruang tersebut. Akupun mempercepat laju kakiku—nyaris berlari. Kalau aku bisa terbang, aku pasti sudah melesat dalam sekejap.

Akhirnya aku sampai di Ruang Nusantara sambil terengah-engah. Siapa sangka? Tepat saat itu, acara perkenalan baru dimulai. Aku segera mencari bangku yang kosong di antara ke-20 peserta OJT yang lain. Aku lalu duduk sambil mengatur ritem napasku. Sambil menunggu Bapak HRD itu menuju ke hadapanku untuk bersalaman.

“Ardi,” teman di sampingku memperkenalkan dirinya kepada Bapak HRD itu, yang ternyata namanya Kusno, jika kulihat dari name tag-nya sih.

Nah, kini giliranku.

“Kusno,” ujarnya singkat, memperkenalkan diri padaku sambil menyodorkan tangannya ke arahku. Aku segera menyambut tangannya dan kamipun berjabat tangan dengan erat.

“Percaya, Pak.” Kataku mantap. Untung saat ini aku sudah berhasil menghilangkan suara ngos-ngosan akibat napasku yang berantakan.

Tiba-tiba Pak Kusno tertawa lantang. Aku melongo.

“Iyalah! Memang anda harus percaya sama saya, nama saya Kusno! Masa saya bohong sama anda!” ia masih terkekeh mendengar perkataanku sebelumnya. Ah, inilah kan. Si Bapak salah tangkap.

“Bukan, Pak. Maksud saya, nama saya Percaya.” Jawabku sambil menunjukkan name tag-ku ke arahnya. Pak Kusno terlihat tersentak dan terhenyak. Mungkin ia bingung harus tertawa atau menertawakan dirinya sendiri.

Tangan Tuhan

oleh: Anya Yuthika (@anyayuthika)



Dengan menangis aku masuk ke mobil. Sedikit diseret kakakku, sebetulnya. Tipikal film-film yang laris di pasaran, juga deskripsi novel-novel yang menyentuh jiwa, langit sore itu pun menangis. Sedih. Seperti aku sekarang.

Brak! Kakakku menutup pintu mobilnya. Aku tahu ia pasti marah. Ya, aku tahu, dengan keadaan yang seperti ini; anggota keluarga yang tidak lengkap dan uang seadanya.. wajar kalau ia ingin sekali mendominasi kehidupanku sesuai dengan yang bisa ia lakukan untukku. Aku pernah berkali-kali belajar untuk ikhlas. Namun ternyata tidak bisa. Maka dari itu aku menyimpulkan bahwa keinginan, kemampuan, dan determinasi tinggi terhadap sesuatu bukanlah sesuatu yang harus diikhlaskan--melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan agar menjadi kenyataan.
"Apa aku bilang!" kakakku memulai ceramah panjangnya. "Mustahil untuk kamu jadi dokter, Ran! Coba berkaca di cermin, siapa kamu?! Darimana kamu bisa makan setiap harinya? Darimana kamu bisa hidup selayak ini?"

Aku hanya diam. Masih menangis. Menangisi kakakku yang menyerah terhadap hidup. Kak, apakah Kakak tidak bisa mencoba untuk percaya? Akan esensi berusaha? Akan arti sebuah cita-cita? Akan Tuhan?
"Itu aku, Ran! Aku yang tahu kemampuan kamu! Uang kita sedikit, kamu tidak bisa sekolah kedokteran. Sudahlah, kamu lulus SMA saja sudah cukup. Kamu diam saja di rumah, sama Mbak Yura, toh dia juga baik sama kamu. Kamu jualan sajalah sama dia. Yang kerja ke kantor itu cukup aku!"

Ingin sekali aku membantah. Entah kenapa setiap perkataan kakakku itu seperti penuh dengan kebohongan. Kak, pernahkah Kakak berharap dan berdoa?

Aku berharap dan berdoa banyak. Tahun lalu aku bertemu dengan seorang ibu setengah baya. Ibu Harman, namanya. Bertahun-tahun ia menikah dan tidak dikaruniai anak. Seperti air mengalir ibu setengah baya tersebut menawarkan kepadaku, kalau-kalau aku ingin masuk ke sekolah kedokteran. Mereka akan menyanggupi biayanya untukku. Ah, rezeki memang datang darimana saja, bukan? Susah payah aku mendapatkan persetujuan dari kakakku waktu itu. Ia bersikeras agar aku bersekolah saja dengan uang yang bisa ia hasilkan setiap bulannya. Tapi mengapa kita harus menolak rezeki jika Tuhan sudah memberikannya kepada kita?

"Apa aku bilang, si ibu tua itu hanya ingin menyenangkan kamu sesaat saja! Lihat sekarang, setelah suaminya meninggal! Memangnya dia ingat sama kamu? Jadinya terbengkalai tuh semua yang harus ia bayar untuk sekolah kedokteranmu. Sudahlah, Ran, jangan nangis terus. Kamu sih ga percaya aku dari dulu!"

Aku melotot marah pada kakakku. Mengapa ada orang yang sengotot dia?

"Namanya bukan Ibu Tua dan dia tidak melupakan kewajibannya untuk membayar sekolahku! Kakak ga dengar ya penjelasan dia tadi?! Ada masalah dengan gaji yang biasa dikirim instansi untuk suaminya sejak suaminya meninggal dua bulan lalu. Hanya sedang diurus saja, nanti pun dia akan terima gaji lagi. Bukannya dia ingin agar aku berhenti sekolah kedokteran!"

Kakakku menekan gas. Mobil melaju entah berapa kali lebih ngebut daripada sebelumnya. Ia marah. Dan aku senang ia marah. Aku sudah muak berada di bawah dominasi keputus-asaannya.

"Seharusnya Kakak ga jemput aku. Aku masih mau sekolah kedokteran!" aku membentak Kakakku. Murkaku sudah di puncak. Tangisku sudah surut.

"Oh gitu? Jadi kamu lebih percaya ibu tua yang ga punya hubungan darah apapun dibanding kakakmu ini?!! Hahahahahaha! Raaan, Ran.. sampai kapanpun orang seperti kamu--seperti kita, ga akan bisa jadi dokter! Mau pake uang Ibu Harman, mau pake uang presiden sekali pun! Coba kamu pikir!! Jangan menginginkan yang mustahil!"

Mobil masih melaju, namun sekarang memelan. Aku diam, tidak mau lagi menanggapi kakakku. Hujan mulai mereda. Hanya masih ada rintik-rintik, aku bisa melihatnya membasahi kaca mobil pelan-pelan.

Oke, aku biarkan Kakak menang. Untuk ke sekian kalinya.

"Nah, sekarang kamu percaya aku kan, Ran? Kamu percaya sama Kakak, kan?"

Tidak, Kak. Aku percaya Tuhan. Tangan Tuhan yang akan menjadikan aku sebagai dokter. Bukan Kakak

Aku dan Papa

oleh: @meiizt

“Papa, aku tak peduli orang mau berkata apa tentang papa. Mereka mengatakan ini, itu, papa begini, papa begitu, biarkan saja. Aku tak terusik dengan pendapat-pendapat konyol mereka tentang papa. Yang tahu semua tentang papa hanya aku. Orang lain hanya melihat kondisi papa dari luar saja. Aku tak peduli, aku benar kan, pa?”

Papa tersenyum.

“Papa, aku ingin papa tahu kalau aku selalu percaya sama papa. Meskipun papa sering tidak menepati janji papa, tapi aku tetap sayang dan percaya pada papa. Seperti empat bulan lalu, ketika aku meminta es krim dan kita janjian di tempat favorit kita sejak dulu. Sore itu aku sudah menunggu selama tiga jam, tapi aku tak pernah mengeluh menunggu papa. Aku sudah memesan banana split kesukaan papa agar nanti papa tak perlu menunggu pesanan lama-lama. Aku tak menyentuh es krim itu sedikitpun. Es krimku juga belum kusentuh, aku mau memakannya bersama papa. Tapi sampai malam datang, sampai mama menjemputku dan memarahiku sepanjang jalan pulang, papa tak pernah datang. Es krim yang cantik itu sudah tak berbentuk lagi, pa. Tapi tak apa, aku tetap percaya pada papa.”

Papa tersenyum.

“Begitu juga dua bulan lalu, saat ulang tahun Frans, tetangga kita. Setiap tahun kita selalu bermain bersama di pantai merayakan ulang tahunnya. Aku sudah menyiapkan semuanya, pa. Baju gantiku, baju ganti papa, kado untuk Frans, aku sudah membungkusnya dengan rapi. Aku benar-benar tak sabar menunggu esok tiba. Kita akan liburan bersama, pa. Tapi esoknya, saat akan berangkat, papa tak kunjung muncul juga. Entah apakah papa sakit perut dan tertahan di kamar mandi atau belum bangun? Yang jelas saat aku meminta mereka member waktu sedikit saja menunggu papa, mereka malah menjauh dan berangkat tanpa kita. Mereka meninggalkan kita, pa. Betapa sakit hatiku, Frans dan keluarganya sekarang jadi jahat. Aku pun berlari-lari dan berteriak di belakang mobil mereka, meminta mereka menunggu sebentar saja. Tapi mama lalu menghentikanku dan menyeretku masuk ke dalam rumah, sambil menjewer kupingku. Ah, tak ikut mereka pun tak apa-apa. Aku masih bisa menghabiskan waktu menyenangkan di rumah bersama papa, iya kan pa?”

Papa tersenyum.

“Papa lagi-lagi tak menepati janji, tapi aku tetap percaya sama papa kok. Satu bulan yang lalu ada pentas seni di sekolahku. Tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak pergi ke sekolah, mama melarangku pergi. Padahal, setiap tahun aku selalu menyanyi di acara sekolah itu. Suaraku yang bagus ini tentu saja warisan dari papa. Aku tak peduli, aku ingin menyanyi disana. Semua teman-teman dan guruku pasti sudah menungguku. Mereka pasti mengharapkan aku akan menyanyi dan menghibur mereka. Dan aku ingin papa menyaksikanku menyanyi, jadi sebelum kabur ke sekolah, aku menyelipkan kertas pesan di bawah pintu kamar papa. Kita akan bertemu di lapangan sekolah ya, pa. Aku akan menunggu papa di bawah pohon mangga yang paling besar. Saat mama berbelanja ke pasar, aku segera menyelinap lewat jendela. Dan, hop! Aku berhasil melompat keluar. Papa pasti bangga padaku, karena aku bisa melarikan diri dari kekangan mama, hehehe. Di sekolah sangat ramai lho pa, dan aku menunggu papa di abwah pohon sambil menyanyi keras-keras. Karena aku menunggu papa, aku tidak bisa tampil di panggung. Tapi tak apa, aku masih bisa menyanyi disini. Belum lama aku menunggu, tiba-tiba mama datang. Mama lalu menggendongku pulang, padahal aku sudah menangis menolak pulang. Papa belum datang, aku meu menunggu papa. Tapi mama tak pernah mau mengerti. Mama jahat ya, pa? Tapi biarlah, aku hanya sayang pada papa.”

Papa tersenyum.

“Pa, kemarin adalah ulang tahunku. Tapi, entah kenapa aku tak ada di rumah. Aku sedang duduk di suatu tempat entah dimana, di atas ranjang putih di dalam ruangan serba putih. Di depanku ada seorang laki-laki tua botak yang berkacamata, dan dia tersenyum memandangku. Aku tak berani menatapnya lama-lama, aku membuang muka saja. Dia berbicara, banyak bicara, tapi aku tak mendengarkan. Aku tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku ingat papa selalu bilang, aku tak boleh bicara dengan orang asing kan, pa? Jadi, aku acuhkan saja laki-laki tua botak ini. Oh ya pa, kemarin papa tak menepati janji papa lagi. waktu umurku delapan tahun, papa berjanji akan membuatkanku kue cokelat setiap hari ulang tahunku. Kue cokelat yang besar, dengan boneka dari gula-gula di atasnya. Lalu ada namaku, ada lilin warna-warni, dan ada senyuman papa. Lalu papa akan menyanyikan lagu selamat ulang tahun padaku dengan suara papa yang merdu. Kemudian kita sama-sama memakan kue itu, hari itu selalu special karena papa menyuapiku kue sampai habis. Ah, kenyang sekali rasany. Aku sangat suka kue buatan papa. Tapi kenapa kemarin papa tak datang? Ada kue cokelat dari mama kemarin, tapi tak seenak buatan papa. Tapi aku percaya papa akan datang, kalau tidak kemarin, pasti hari ini. Aku percaya itu. Dan aku akan selalu menunggu papa untuk datang.”

Papa tersenyum.

***

“Bagaimana kondisi anak saya, dok?” seorang ibu muda sedang berbicara dengan dokter di luar sebuah ruangan berjendela kaca besar itu. Di dalam ruangan itu ada seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang sedang memegang foto seorang lelaki yang sedang tersenyum.

“Belum ada perkembangan berarti, bu. Kalila setiap hari selalu berbicara dengan foto ayahnya, dan dia bahkan tak mempedulikan kami. tapi kami harap Ibu tak patah semangat, kami akan terus berusaha memberikan terapi untuk menyembuhkan Kalila.”

“Iya dok, saya sangat mengharapkan bantuag dokter,” Ibu muda itu mulai terisak. Dengan tatapan nanar ia memandang anaknya di dalam ruangan itu, air matanya bercucuran tanpa henti.

“Kalila… kalila… papamu sudah meninggal, nak….”