Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 27 Oktober 2011

Awan Mendung dan Panas Mentari‏

Oleh: FA Triatmoko HS (@fa_triatmoko)


Awan mendung berduyun-duyun, dengan gagah sekaligus menyeramkan, mulai menutupi wajah suatu negeri antah berantah. Namun, satu di antaranya berwajah masam.

"Ayah, aku tak pernah suka jadi awan mendung!" kata segumpal awan mendung kecil.

"Mengapa tak suka, nak?"

"Lihat saja. Penduduk di bawah sana pasti langsung menghindariku. Tak ada yang mau main denganku. Kita ini selalu membawa ketakutan; bahkan bencana!"

"Tapi inilah tugas kita nak. Apa kau mau melepaskan diri darinya?"

"Jika memang harus!" Serangkai petir terlepas dari mata awan kecil.

Sejenak mereka terdiam, sambil berpandangan.

"Aku akan pergi!" lanjutnya.

Ayah masih dan hanya terdiam melihat awan kecil membebaskan tangan dari gandengannya lalu melayang sendirian.

Awan kecil kemudian kembali ke jalur yang telah dilaluinya tadi, dengan wajah muram.

Ia melihat sebuah desa dengan mayoritas atap rumah daun kelapanya sudah terlepas. Beberapa pohon sudah tumbang. Penduduk desa sedang berkeringat membersihkan rumah mereka dari lumpur. Dua ekor tikusmengapung tak bernyawa di sungai yang meluap.

Awan kecil makin sedih. Dan ia pun menangis.

Kemudian ia menengok ke jalur yang tak dilalui kawanannya.

Di sana, tanah sudah pecah pecah. Daun-daun lesu mencoklat. Penduduk desa bersusah payah mencangkul sawah yang tak akan bisa dipanen hasilnya. Dan tak jauh dari situ, seekor rusa mati di samping sungai kecil yang sama matinya.

Awan kecil terhenti dalam hening. Air matanya makin deras.

Sayup-sayup ia mendengar suara, "Terus. Terus. Aku haus."

Tersadar, ia segera kembali ke tempat ayahnya berada.

"Ayah! Aku mau jadi mendung!"

"Aku mau turun menjadi hujan!"

"Aku mau menangis dalam bahagia, seperti seorang yang berkorban bagi sesamanya yg kesulitan."

"Baiklah nak! Kutunggu kau di tanah sini ya!"

Dengan senyuman, awan kecil terjun dan memecahkan dirinya.

Panasnya Jogja

Oleh : Farah Rizki (@farfarfarah)



Jogja. Desember.

Jum’at. Suhu Jogja 32 ®Celcius

“Sori Riz, nanti aku mo ke tempat Pak Doni buat ngomongin kerjaan. Bsk aja y ktm nya..?”

Suda dua minggu aku dan Sakti nggak ketemu. Dan selalu ada aja alasan Sakti buat nggak ketemu aku. Entah alasannya lagi banyak kerjaan, mau pergilah, mau itulah. Seperti menghindar. Dan itu tadi.. “Riz..?” kemana panggilan sayangnya dia..? biasanya dia panggil aku “Ay..”

Mau tak mau intuisi seorang wanitaku muncul. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Dan sudah satu minggu ini aku bersabar padanya. Aku menahan diri untuk nggak bertanya macam-macam. Seperti ketika NIsa, temenku cerita padaku.

“Serius Riz, aku nggak bohong, pas aku berangkat ke semarang kemarin dulu itu aku liat Sakti pergi ke Semarang juga sama mbak Dina, boncengan naek motor. Emang dia nggak bilang sama kamu pergi sama siapa..?” Tanya Nisa seminggu yang lalu.

Memang sih benar, Sakti bilang mau pergi ke Semarang, tapi bukan sama Dina, sama mbak Icha dia bilang. Masih ingat seminggu yang lalu Sakti ngabarin kalo dia mau ke Semarang, nganterin Icha, temennya ngurus perizinan ke Semarang. Icha, bukan Dina. Tapi kok Nisa bilang gitu ya…

Aku yakin sekali kalau Nisa nggak bohong. Berarti….

Dina, teman dekat Sakti, pacarku. Tapi, aku sama sekali nggak suka sama Dina. Karna aku tau, Dina sangat menyukai Sakti. Dan itu sudah terjadi sebelum Sakti kenal aku. Aku tau betul tanda-tanda Dina suka sama pacarku. Setiap kali aku bilang ke Sakti kalo Dina suka sama dia, Sakti malah marah-marah sama aku. Dan itu sudah sering terjadi. Tapi itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Sekarang aku sudah mulai nggak mempersoalkan masalah Dina sama Sakti. Walupun persahabatan mereka tak wajar. Berat sebelah. Tapi, kini, setelah cerita Nisa sama aku..? Dalam hati rasanya udah mendidih. Mulai dari Sakti yang menghindari aku, dan sekarang..?

Panasnya hati ini udah kayak panasnya Jogja mungkin, yang nggak ujan-ujan berminggu-minggu.

Sabtu. Suhu Jogja 33®Celcius.

Hari itu suhu Jogja semakin panas, aku sedang berada di kantin saat itu. Sabar Riz, sabar…jangan sampai kebawa emosi.. mungkin Nisa salah lihat. Kataku dalam hati.

Tapi bagaimana kalu Nisa benar..? Belum lagi kejadian 2 minggu yang lalu. Masih terekam jelas dua minggu yang lalu, waktu aku maen ke kosnya Sakti. Saat itu Sakti tidur, aku yang bosan ditinggal tidur iseng-iseng mainin hape miliknya. Karna penasaran, aku iseng buka inbox sms.nya. Aku tau itu ngak boleh, tapi waktu itu rasanya aku pengeeen banget ngecek. Dan benar saja, di inbox.nya aku lihat nama Dina ada disana. Perasaanku mulai nggak enak. Dan benar saja ketika aku membuka isi pesannya.

DEG.

Pesan pertama, seminggu yang lalu, hari minggu pagi. Dina bilang mau nganterin sarapan ke kos Sakti.? Hah, ini kan pas aku sms ngajak ketemu Sakti. Tapi, waktu itu dia bilang nggak bisa ketemu karna mau mbenerin pintu kosnya sama bapak kos. Tapi kenapa.. kenapa begini..? Langsung saat itu juga, panas hatiku terasa terbakar. Aku yang nggak tahan langsung pulang, tanpa pamit ke Sakti yang masih tidur.

Aah tenang Riza, tenang… kamu harus tenang menghadapi masalah ini. Begitu kataku dalam hati sambil berlinangan air mata sepanjang perjalanan pulang. Dan aku memilih untuk memndamnya. Tidak menanyakan ke Sakti.

Tapi sekarang, aku tak ingin memendamnya lagi. Dua kejadian itu, semakin membuatku yakin aku harus menanyakan ada apa dengan Sakti, secepatnya. Tapi, aku tak boleh terbawa emosi. Aku harus sabar.

Minggu siang.

Sakti uda selesai belum ya kerja kelompoknya… sms ah.. Hari itu aku sudah mandi untuk kedua kalinya, saking panasnya hawa Jogja.

“Yang udah selesai..? I have something special for you” isi smsku ke Sakti terkirim. Aku pun menunggu.

5 menit kemudian. Belum ada balasan.

“Masih sibuk ya yang…? ” Aku sms lagi ke hape Sakti.

15 menit kemudian. Hapeku masih saja terdiam.

Apa Sakti ketiduran ya..? hari ini aku sudah memasak cah sawi, tempe goreng, dan pete bakar kesukaan Sakti. Aku berencana membuat kejutan buat dia. Bikin sarapan. Sekalian nunjukin ke Sakti kalau nggak cuma Dina, sahabatnya aja yang bisa masak. Tapi aku, Riza, ceweknya, juga bisa masak.

30 menit kemudian.

Ah, aku langsung samperin ke kosan Sakti aja deh. Dengan semangat 45, aku langsung meluncur ke kosan Sakti. Pasti dia seneng deh, dimasakin. Jarang-jarang kan aku masak. Tanpa dandan, dan hanya

dengan baju rumahan, aku langsung membawa motor kesayanganku ke kosan Sakti yang lumayan jauh itu.

Tampak di perempatan jalan, suhu Jogja 34,5 ® Celcius.

Makin panas aja ni dunia. Pikirku dalam hati. Untung hatiku lagi nggak panas. Aku sudah membayangkan senyum Sakti waktu lihat aku membawa masakan kesukaannya. Aah… memang bikin adem kalau mbayangin senyum pacar tersayang. Sambil senyum-senyum dan bersenandung kecil. Aku melewati jalanan yang panas itu. Tak berapa lama kemudian aku pun sampai di depan kosan Sakti.

“Assalamualaikum…”

Belum aku melepas helm yang masih nangkring di kepala, aku hanya bisa terdiam. Mematung di depan pintu. Tak bisa berkata-kata. Tak bisa merasakan apa-apa. Hatiku yang tadinya sejuk, tiba-tiba langsung berubah menjadi panas. Terbakar. Nafas memburu. Mata berair. Dan kemudian mati rasa. Ketika aku melihat, di depan mataku, Sakti sedang duduk berhadapan dengan Dina, makan sekotak nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya, tapi tanpa pete bakar. Bagiku, mungkin saat itulah hawa terpanas di Jogja yang pernah kurasakan.

Yogyakarta, Desember. 2010.

Selasa, 25 Oktober 2011

‘Baru’ Yang Berteman Dengan ‘Lama’

Oleh Novia Permatasari (@missSaori)


Beberapa orang menyukai kehidupan barunya. Dengan kebiasaan yang baru, tempat yang baru, dan orang-orang yang baru. Ketika kita menemukan sesuatu yang baru, rasanya memang menyenangkan. Siapa yang tidak senang mendapatkan mobil baru, teman baru, atau pun ilmu baru? Andien misalnya, begitu mendapatkan sesuatu yang baru, dunia Andien seketika tersita untuk ‘bergulat’ dengan si Baru tersebut. Betapa merananya si Lama, dia hanya duduk di pojok ruangan menyaksikan Baru dielu-elukan dan ditimang-timang. Beberap hari kemudian, Andien menemukan Lama sudah terpajang di tempat tidurnya. Entah mengapa, dengan segera Andien menyingkirkan Lama dan menggantinya dengan Baru. Rupanya Andien lebih menyukai tekstur Baru yang lebih lembut dan empuk. Baru juga lebih bergaya dan mengikuti tren masa kini. Sebulan sudah Lama tergeletak di gudang rumah Andien. Kakak Andien, Santi, memungutnya dan membawanya ke kamar. Santi yang mahasiswa jurusan desain sedang mengerjakan tugas kuliah, dan kali ini Baru dilibatkannya ke dalam tugas itu.
Ketika bermain ke kamar kakaknya, Andien menemukan sesuatu yang cantik duduk di atas meja belajar kakaknya. Ia pun bertanya, “Itu punya kakak? Cantik yah.” Sedikit kaget, Santi membalas, “Loh? Emang kamu gak tau itu punyamu yang dulu disimpan di gudang?” Tak disangka, Lama yang sempat diasingkan Andien ke dalam gudang itu kini telah berubah menjadi cantik dan modern. “Kalo gitu boleh ya kuambil lagi”, pinta Andien. Meilhat wajah adiknya yang memohon dengan sangat tersebut, Santi pun menanyakan kesungguhan Andien untuk merawat Lama dengan baik. Setelah kesepakatan Andien dengan kakaknya selesai, Lama pun dibawanya ke kamar, dan disandingkannya dengan Baru yang sudah lebih dulu tebaring di kasur. Baru pun mendapat teman baru, Lama yang sempat terasing selama beberapa lama di gudang rumah.


Setiap Hari, Tak Ada Yang Lama

Oleh Ajeng Wismiranti (@duatiga888)
 
“Maaf, tak lama lagi, pak. Mohon maaf atas kekurangan kami.” Jelas Marhamah pada seorang pelanggan yang marah-marah karena belum bisa dibayarkan rekeningnya. Jaringan pembayaran rekening listrik yang sedari pagi error, masih saja menguras tenaga dan kelapangan dada Marhamah.
‘Mesti banyak istighfar atas permasalahan yang bukan perbuatanku.’ Semangatnya dalam hati.
“Mbak, mbak. Beli voucher listrik.” Kata seorang ibu mengagetkan lamunan Marhamah.
“Maaf, bu, sedang ada gangguan jaringan. Silakan kembali siang nanti.” Jelas Marhamah mempertahankan senyum.
‘Nyatanya tak bisa. Senyumku ini hanya terlihat. Tapi yang terasa, tetap saja berbeda. Kadang kita memang harus memperjuangkan perasaan kita agar tetap terlihat baik di depan khalayak. Ya, hanya untuk menjaga keharmonisan dan ukhuwah antar sesama manusia.’ Lamunnya lagi.

“It’s not about the money, money, money...” lagu Jessie J yang dijadikan nada panggil hp Marhamah pun bernyanyi. Tapi ternyata lagu itu tak cukup menyadarkan lamunan Marhamah. Ia malah meneruskan,
‘ini bukan tentang uang. Ya. Karena kesabaran dan kelapangan dada tak cukup dibeli dengan uang,  tak di jual di apotik mana pun, juga tak pernah di pajang di toko-toko elit di mal mana pun.’ Dering kedua, ia baru tersadar.
“Iya halo. Kenapa mas?” Jawab Marhamah.
“Mar, jaringan akan kembali normal. Tolong beritahukan pelanggan agar bersabar menunggu. Kira-kira sepuluh menit lagi. Saya tinggal menunggu konfirmasinya, okay.” Jelas Rizal, IT dari kantor pusat.
“Oke, Mas Rizal. Terima kasih atas informasinya.” Jawab Marhamah, lalu menutup sambungan teleponnya.

Tiga jam berlalu. Buah kesabaran itu akhirnya diecap Marhamah dengan manis. Ia bergegas pulang dengan membawa cukup kenikmatan. Ya, bersabar memang tak mudah. Kita sering dituntut tangguh, namun tetap berwibawa. Kita pun dituntut tegar, tapi tanpa air mata.
Tapi di akhir beres-beresnya, Marhamah dihadang oleh seorang ibu tua. Masih di depan loket pembayaran listrik yang dijaganya, Marhamah melihat tak begitu jauh darinya, sosok tua yang kuat berjalan dan senyum tanpa bosan.
“Nak, saya mau beli voucher listrik. Listrik di rumah saya sudah mati. Saya mau beli yang dua puluh ribu saja. Lumayan untuk satu bulan.” Sapa ibu tua itu, sambil melepas sandal jepit biru lusuhnya, dan masuk ke dalam loket.
“Ibu, pakai saja sandalnya. Silakan masuk.” Jawab Marhamah spontan dari lamunan lagi, barusan. Lamunan bahwa tak mungkin menolak kehadiran ibu tua yang pasti telah susah payah berjalan ke sini hanya untuk membeli voucher listrik. Iya pikir, ke mana anaknya, cucunya, atau entah siapa yang sebenarnya bisa ia suruh untuk datang ke sini. Mengapa ia harus melakukannya sendiri?
Lamunannya masih tersambung oleh percakapannya bersama ibu tua itu.
“Silakan duduk ibu, tunggu sebentar. Saya akan transaksikan permintaan ibu.

Selang beberapa menit,

“Nikmatnya dunia ini ya, nak.” Kata si ibu tiba-tiba menghentikan kerja tangan Marhamah.
“Ya, nikmat sekali.” Lalu menatap Marhamah dan memalingkannya lagi ke jalan raya.
“Seandainya Allah tidak mengadakan kenikmatan di dunia ini, apakah manusia mampu bertahan hidup?” Lanjutnya, “Seandainya Allah tidak menganugerahi kesabaran dan kelapangan di dalam hati kita, apakah kita akan kuat menghadapi hidup yang getir dan kaya akan penindasan ini?”
Lanjut si ibu, kini dengan beberapa tetes air mata. Marhamah pun tak tertarik melanjutkan kerjanya. Transaksinya yang tinggal menunggu konfirmasi pembayaran dibiarkannya hanya untuk menatap fasih sang ibu.

“Sepuluh tahun lalu, suami saya berpesan, kelak kau akan mendapatkan kenikmatan yang melimpah ruah atas segala kesabaranmu, istriku. Ya, kesabaranmu mengurusku yang lumpuh ini, yang tidak berguna ini. Mungkin bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Dan, dua anak kita yang tak sempat hidup dari rahimmu, juga akan mendoakan ibunya yang penuh dengan samudera kesabaran.” Curah si ibu tua yang tak malu lagi menangis. Ia melanjutkan,
“Setiap hari adalah baru, hari baru adalah hari di mana kita memulai perasaan baru, tanpa menengok perasaan di hari sebelumnya, seperti perasaan sedih, kecewa, dendam, maupun pahit. Setiap hari adalah baru, hari baru adalah hari di mana kita memperbaharui kecintaan kita pada siapa yang telah membahagiakan kita, Tuhan. Meski Tuhan tak pernah baru, tapi saya yakin, Dia selalu punya beribu juta cara baru untuk membahagiakan kita, membahagiakan saya.”
Marhamah pun tak kuat menahan bulir-bulir kecil yang menyeruak ingin menggelincir di atas kedua pipinya. Marhamah pun tersenyum dan...
“Ibu, atas Nama Bapak Suhardja Syailendra, betul?” potong Marhamah atas curahan hati ibu tua itu. Si ibu pun tersenyum mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Marhamah.
“Harganya dua puluh ribu ya, bu. Uangnya pas ya, bu.” Kata Marhamah sembari menerima uang pas dua puluh ribuan dari si ibu dan memberi struk bukti pembayaran sahnya. Dan si ibu pun masih tetap tak bosan dengan senyumannya, sedari tadi. Lalu pergi dan menenteng sepasang sandal jepitnya ke luar loket, memakainya kembali, dan pergi meninggalkan jejak harum pembelajaran, bagi Marhamah.

Jumat, 21 Oktober 2011

HAI, GUE. HALO


Oleh Reynaldo Siahaan (@reynaldosiahaan)


Namanya Doni. Mahasiswa tingkat akhir yang masih sering berkeliaran di kampus karena masih menyisakan banyak kredit untuk mencapai kelulusan.  Salah satunya adalah mata kuliah filsafat, mata kuliah yang biasanya hanya diambil oleh mahasiswa baru. Mata kuliah ini sangat tidak disukai oleh Doni. Satu-satunya yang membuat dia berminat karena keberadaan si mahasiswi baru, Tia.

“Hai, nama gue Doni. Kita sekelas di kelas filsafat. Boleh kenalan?”
“Ah, tidak tidak. Terlalu frontal.
 
“Hai, sepertinya kita pernah ketemu di kelas mana gitu. Dimana ya?”
“Apaan sih. Kenapa gue malah nanya nanya kelas? Mikir mikir.”
 
“Hai. Sori, kemarin pulpennya ketinggalan di bangku. Ini saya kembalikan. Boleh tahu namanya?”
“Yaelah, dia kan ga pernah ngeluarin pulpen di kelas. Ketauan banget bohongnya.”
 
“Hai. Gue Doni. Lu siapa?”
“Nah gue siapa nanya-nanya begini ama dia. Aaarrgghh, goblok amat gue.”
 
“Hai. Gue Doni. Senior di sini. Kalau butuh apa-apa, call gue aja ya.”
“Gile aja. Kok gue terkesan seperti preman kampus.”
 
Lima belas menit berlalu, Doni masih berada di depan kamar kecil menunggu saatnya bisa berpapasan dengan Tia saat keluar. Doni berencana untuk berkenalan dengan Tia. Beberapa saat kemudian, Tia keluar bersama teman-temannya. Doni tersentak dari tempat duduknya dan segera menyampaikan salamnya.
 
“Hai, gue Do*… .. … ,” ucapan Doni terhenti.
“Halo.” balas Tia dengan sekilas melirik Doni kemudian lanjut berjalan.
 
Lima belas menit menunggu dan berlatih. Tia bahkan tidak menghiraukannya.
Doni yang masih berada di depan kamar kecil memperlihatkan wajah yang saya sebagai penulis cerita susah mendeskripsikannya. Dua orang teman Doni yang kebetulan lewat segera mendekatinya.
“Napa lu don?” tanya seorang dari  mereka.
 
Sesaat kemudian, Doni berdiri tegak.
“Gilee.. Dia bilang HALO ke gue.” ucap Doni sambil tersenyum simpul.

Merindu 'Hallo'-mu




Oleh Tengku Reza (@TengkuAR)

“Hallo Babe…”, terdengar Ardi menjawab dengan sangat khas setiap kutelepon.
“Yang, besok kamu bisa antar aku nggak? Beli kado ulang tahun untuk temanku, Lia. Besok sih enaknya jam duaan kali ya? Aku mau beli kadonya deket rumah deh, mungkin di PIM, terus abis itu kita bisa nonton atau cuma sekedar makan, mau nggak? Pasti seru tuh!”, cerocosku saking senangnya merencanakan tentang hari esok dan ini memang sudah jadi tabiatku berbicara tanpa koma.
Babe, aku lagi nyetir nih. Nanti kalau sudah sampai rumah langsung aku telepon ya?”
“Iya Yang. Janji ya sampai rumah langsung telepon aku.”, balasku cengengesan karena tidak enak telah menganggu konsentrasinya menyetir.
Akhirnya pembicaraan kita pun  ditutup untuk sementara. Memang sudah menjadi kebiasaan Ardi bila sedang berkendara tidak ingin disibukkan oleh hal-hal sepele seperti menelepon yang hanya sekedar mengobrol tidak penting.
Aku dan Ardi sudah hampir lima tahun menjalin hubungan pacaran dan telah merencanakan untuk menuju jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu menikah sekitar dua tahun lagi. Tak sabar rasanya menunggu hari pernikahan itu datang.
Sedari awal aku telah yakin bahwa Ardilah yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Dia lah yang akan menjadi pelabuhan terakhirku. Aku dan Ardi terpaut perbedaan umur tiga tahun namun itu tidak menjadi masalah. Meski dalam masa-masa tiga tahun berpacaran ada saja aral merintang yang mendewasakan hubungan kita dan semua bis kita lewati. Sekarang aku makin sayang dan cinta dengan Ardi.
***

Sejam kemudian…
“Hallo Babe. Aku baru sampai rumah nih. Tapi sekarang masih di garasi. By the way, tadi ada yang mau omongin, apa Babe?”, Ardi memanggil mesra di ujung telepon.
“Iya Yang. Tadi itu aku cuma mau minta temenin kamu buat cari kado besok karena temanku ada yang ulang tahun hari minggu ini. Bisa nggak?”, suaraku memanja berbeda dengan awalku meneleponnya karena rasa tidak enakku tadi.
“Oh begitu. Aku bisa kok. Tapi besok memang kamu mau cari kado dimana dan jam berapa? Karena seminggu ini aku capek banget di kantor dan kayaknya aku mau tidur lebih awal. Biar besok bisa fresh  deh diliat kamu.”, ucap Ardi sedikit menggombal.
“Kamu ini! Jadi besok itu aku mau cari kado ke PIM sekitar jam duaan jalan dari rumah. Dan kamu juga bisa kan tuh bangun tidurnya siang biar mirip kebo. Terus aku juga pasti seneng pas dijemput nanti liat kamu fresh kayak sayur yang baru turun di pasar induk.”, ledekku membalas gombalannya sambil menahan tawa.
“Babe… besok awas kamu ya! Pokoknya besok habis aku cabik-cabik.”, suara Ardi pun meninggi setelah diledek oleh Lia
“Silahkan aja! Aku tunggu besok! Dah Sayang. I love you!”, aku buru-buru menutup teleponnya.
Dan malam ini dapat dipastikan aku akan bermimpi indah.
***

Esok harinya. Sekitar pukul 10:00 WIB.
Pasti Ardi jam segini belum bangun deh. Aku telepon ah sekalian mau godain lagi.”, pikiran isengku muncul pagi itu.
Tuut-tuut-tuut…
“Tidak ada respon. Tidak ada jawaban. Tidur. Baiklah akan aku coba lagi nanti.”, pikirku sambil menahan rasa iseng.
***

Dua jam kemudian…
Tuut-tuut-tuut…
“Hallo Babe…”, Ardi akhirnya menjawab teleponku dengan suara masih berat seperti orang bangun tidur.
“Hallo Sayang. Jadi kan hari ini. Kamu pasti baru bangun tidur deh. Terus mau jemput aku jam berapa? Aku udah siap nih.”, ucapku iseng.
“Eh? Aku banru bangun nih Babe. Kata kamu semalam jam dua mau dijemput. Ini masih jam duabelas kan? Kok jadi dipercepat?,” kata Ardi sedikit bingun dan panik.
Yess!! Aku sukses!”, balasku dan kemudian aku tertawa.
“Terima kasih ya Babe udah ngerjain aku siang ini. Lihat aja nanti aku nggak akan datang jemput kamu.”, Ardi sungut dan ngambek karena aku kena aku kerjai.
I love you Sayang!”
***

Jam dua…
Akhirnya jam dua pun tiba. Aku sekarang sudah siap dijemput oleh pangeranku yang ganteng. Sayangnya dia tidak menaiki kuda putih tapi selalu membawa motor besarnya.
Hati-hati dijalan ya. Aku sudah cantik loh. I love you.
Pesan singkat pun aku kirim ke nomor telepon selulernya.
Sejam berlalu…
Berkali-kali aku menghubungi telepon selulernya namun tak tidak aktif. Aku coba telepon ke rumahnya tapi kata orang rumahnya Ardi sudah jalan dari jam satu tadi.
Yang kamu dimana? Benaran ngambek ya karena tadi aku kerjai? Aku minta maaf ya. Please jangan ngambek. Tolong kabari aku.
Pesan singkat ke khawatiranku pun terkirim.
Jam lima…
Ini sudah tidak lucu menurutku. Tidak biasanya Ardi ngambek denganku hingga sebegininya. Aku benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Dimana dia? Telepon selulernya pun masih belum aktif. Tak ada ide dia pergi kemana, karena hari ini aku hanya tahu jadwalnya bersamaku. Pikiranku mulai terbelah kemana-mana.
Jam tujuh…
Aku urungkan semua rencanaku hari ini. Aku pasrah. Kesalahanku mungkin fatal baginya. Namun…
Nomor telepon rumahnya Ardi?”, pikiranku bertanya.
“Hallo... iya ini Lia, Tante. Ada apa ya? Kenapa Tante menangis? Tan... Ardi dimana?”, aku menjawab telepon tersebut dengan terbata-bata namun aku hanya mendapatkan tangisan dari orangtuanya Ardi. Lalu…
“APA?! Ardi meninggal karena kecelakaan?”
Saat itu aku tak bisa apa-apa dan pikiranku langsung menerawang jauh ke pembicaraan terakhirku semalam dengan Ardi bahwa dia tidak akan datang menjemputku. Apakah itu pertanda yang harusnya aku ketahui. Tak terpikirkan aku akan hidup tanpanya. Semua rencana untuk dua tahun ke depan pun sirna. Dan di sini aku merindukan ‘hallo’-mu. I love you, Ardi!

HALO


Oleh Meirna Larasati  (@meirnyeh)


Boy’s side
“Halo?” Jawabnya.
 Klik.
 Aku matikan ponselku. Suaranya! Aku mendengar suaranya! Dan astaga… kenapa aku matikan ponselku? Bodoh! Aku terlalu gugup begitu mendengar suaranya yang indah itu. Aku mencobanya menghubunginya lagi. Terdengar nada tunggu.
“Halo?”
Aku tertegun. Tenggorokanku terasa tercekat. Bahkan untuk mengatakan ‘halo’ pun aku tak sanggup.
“Halo?!” Suaranya meninggi. Pasti ia kesal. Refleks, aku matikan lagi ponselku. Ini salahku, menelpon seorang gadis malam-malam begini. Lagipula aku terlalu pengecut sehingga aku menyembunyikan nomor ponselku. Ditambah lagi, aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku saat mendengar suaranya.
Lea. Gadis yang aku hubungi tadi. Adik kelasku. Kulitnya putih dan mungil. Tingginya tidak melebihi bahuku. Rambut panjang lurusnya hitam sebahu. Wajahnya manis, dengan kedua bola mata cokelat terang, hidung mancung, bibir tipis serta kedua lesung pipit yang menghiasi pipinya ketika ia tersenyum atau tertawa.
Dia berhasil membuatku, Vino Pradana, kapten tim basket putra yang cukup terkenal di sekolah ini jatuh hati untuk pertama kalinya. Tidak seperti gadis-gadis lain yang sibuk mencari perhatianku atau pun bersolek. Gadis itu sederhana, namun mempesona.
Ah.. sudah jam setengah dua belas. Mungkin dia sudah tidur. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan usahaku esok hari. Semoga besok aku bisa berbicara dengannya.
Ya, semoga saja….

Girl’s side
“Halo?” Jawabku.
Klik.
Teleponnya diputus. Hidden number. Siapa sih yang menelponku malam-malam begini? Orang iseng, ya?  Tak lama kemudian ponselku berbunyi lagi.
“Halo?”
Aku menunggunya berbicara. Setidaknya dia harus mempunyai alas an yang tepat untuk menghubungiku pukul sebelas malam begini. Namun dia masih saja terdiam.
“Halo?!” aku meninggikan suaraku. Aku mulai kesal. Lagi- lagi ia memutus teleponnya. Ih! Aku membanting ponselku ke kasur di ikuti rebahan tubuhku. Kira-kira siapa ya, yang iseng begini? Pikirku.
Ah! Aku teringat kejadian tadi siang di sekolah saat Yoga, teman sekelasku yang juga anggota tim basket putra meminta nomor ponselku. Ketika aku tanya untuk apa, dia bilang Kak Vino yang memintanya. Terbayang wajah kakak kelasku itu.
Vino Pradana. Siapa sih yang tidak kenal dia? Murid kelas dua belas IPA yang juga ketua tim basket putra itu?  Tampan, pintar, tinggi dan juga jago bermain basket. Begitu dia lewat gadis manapun pasti terkagum-kagum melihat sosoknya yang rupawan.  Termasuk aku.
Harus akui, aku mengaguminya. Ya… aku tau bahwa aku harus tau diri. Lagipula… aku yang kecil dan tidak menarik ini mana cocok bersanding dengannya? Tapi…. Yoga bilang, kak Vino-lah yang meminta nomorku. Perlahan pipiku terasa panas. Bolehkah aku berharap lebih?
Ya ampun! Aku keasyikan melamun sampai tidak sadar sekarang sudah hamper jam dua belas. Aku pun bersiap tidur, Sebelum tidur, aku berdoa. Semoga saja penelepon itu benar-benar kak Vino. Bukan hal yang mustahil, ‘kan?
Ya, aku harap begitu….

Halo? di Tengah Malam


Oleh: Finesta Biyantika (@finesta)



Jawab panggilanku dan kau akan tahu sesuatu.
.
Drrrtt… drrrtt…
“Engghh―siapa sih yang nelpon pagi-pagi buta begini? Ngantuk banget nih,” rutukku pelan. Kuraba-raba sekitarku, mencari si biang keladi yang telah mengganggu lelapnya tidurku. Ah, ketemu. Ternyata ponselku ada tepat di samping bantalku, pantas saja. Kuingatkan diriku agar lain kali aku tidak akan mengaktifkan ponselku saat tidur.
Drrrtt―huh, tak sabaran sekali sih orang yang menelponku ini, “Halo?” puas kau, hah? Sudah kujawab nih panggilanmu.
“…,” hening. Grr, ini siapa sih? Nomornya pun aku tidak kenal. Hanya orang isengkah? Kurang ajar sekali! “Halo? Siapa disana? Ada perlu apa ya malam-malam begini?”
Sekali lagi hanya keheningan yang menjawab suaraku. Aku mulai kesal. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengakhiri pembicaraan satu arah―yang dalam hal apapun sama sekali tidak menguntungkanku, malah sebaliknya.
Kutengok jam dindingku. Ah―baru jam 1 pagi. Aku memilih melanjutkan tidurku. Kutarik selimutku sampai menutupi seluruh badan―yang tanpa sadar kusibakkan ke samping saat mencari ponselku tadi. Posisi yang paling pas untuk kembali tidur sampai tiba-tiba―
Drrrtt… drrrtt…
“Ha―ah, siapa lagi itu?” desahku miris. Oh, ternyata cuma sebuah pesan singkat. Nomor tak kukenal, sepertinya nomor seseorang yang menelponku tadi. Sebaiknya kubaca saja.
KAU AKAN MATI, ANAK KECIL!
E-eh? Apa maksudnya ini? Ada apa sih sebenarnya? Kurasa aku tak melakukan hal buruk hari ini, tapi kenapa orang ini sepertinya benci sekali padaku? Pakai mengancamku segala, lagi. Ah―lebih baik tak usah kupikirkan, paling-paling hanya orang iseng tak punya kerjaan.
Drrrtt… drrrtt…
“Halo?” ucapku agak keras. Masa bodoh dengan tata-krama yang diajarkan ibu, toh orang yang menelponku ini pasti juga tak mengenal tata-krama. Bayangkan saja, menelpon orang pagi buta begini? Dasar sinting-tak-punya-tata-krama!
“Kupastikan kau tak akan bisa berbicara lebih dari itu jika masih saja mencaci-maki diriku,” ucap orang itu. Deg! Tahu dari mana dia aku mencaci-makinya?
“Oh, aku tahu semuanya―semua tentangmu. Semua catatan hidupmu ada padaku, karena―karena kau akan mati sekarang juga! Hahaha.” tawa orang itu―mengerikan sekali. Nada bicaranya dingin dan kejam. Dan tadi―apa dia bilang? Aku akan mati? Sekarang? Tidaakk!!!
Hah… hah… hah…
Kurasakan jantungku berdetak begitu cepat, seakan-seakan habis berlari. Tidak―bahkan sehabis berlari pun jantungku tak akan berdetak secepat ini. Kuedarkan pandanganku ke sekitar―gelap sekali. Kuraba daerah sekitarku. Tanganku membentur sesuatu―ah tampaknya sebuah lampu meja. Lantas kunyalakan saja. Sepertinya ini kamarku―aku pasti baru saja bangun tidur. Mimpi yang tadi… buruk sekali, seperti nyata. Aku benar-benar merasakan itu memang terjadi padaku di dunia nyata. Ah sudahlah, hanya mimpi. Tapi kok―kenapa sepi? Padahal sudah jam 6. Biasanya kan ibu sudah berisik membangunkanku.
Aku pun berniat keluar kamar saja. Cklek. Pintu sudah terbuka. Kulangkahkan kedua kakiku keluar kamar. Namun―dimana ini? Dimana aku sekarang? Mengapa terasa begitu asing di penglihatanku?
Mengapa aku berada di pemakaman dekat rumahku? Dan mengapa semua keluargaku menangis di sebuah gundukan tanah yang bernisan―namaku? APA?! NAMAKU?!


Just Hallo, Please...

Oleh: ifnur hikmah (@iiphche)



"Let me know, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu berdering?"

Tatapan sangar tertuju ke benda persegi yang sedari tadi hanya diam membisu. Sial! Mengapa disaat-saat seperti ini benda mati tersebut justru memilih untuk bungkam? Padahal disaat aku sedang ingin beristirahat dengan tenang, dia tak henti-hentinya menjerit.
"Come on. Ringing ringing ringing..." rapalku, seperti seorang nenek sihir merapalkan mantra Abrakadabra.
Namun, si Blackberry hitam dengan goresan dan penyot disana sini itu masih betah dengan keterdiamannya.
"Hei, lo nggak akan berdering kan?" desahku putus asa.
Hening manyahutiku.
Sudahlah, mungkin memang sekarang aku harus menyadari kalau karma itu benar-benar ada. Aku yang menyulut api, jadi bukan hal yang mengherankan kan jika aku yang kemudian terpanggang didalamnya? Dan seperti karma-karma yang pernah menimpa siapapun sebelum ini, aku pun kian terpuruk dalam penyesalan. Penyesalan yang berawal dari keterlambatanku menyadari akan hadirnya sebuah rasa yang merambati hatiku.
***

Two days ago
"Stop calling me, oke?"
Teriakanku membahana di ruang redaksi. Beruntung sekarang sudah malam jadi tidak akan ada yang merasa terganggu dengan jeritanku. Oh, kecuali satu orang yang saat ini tengah mengkeret didepanku. Dia menatapku takut-takut, seolah-olah aku ini monster kelaparan dan dia kelinci putih yang tengah menyesal telah mengumpankan diri ke kandang monster.
"Tapi Rha."
Aku mendelik dan otomatis pelototan mataku langsung membungkamnya.
"Gue nggak suka ya lo telepon-telepon terus. Ganggu tahu." Aku semakin ganas memuntahkan repetanku.
Robby kembali mencoba peruntungan dengan membuka mulutnya. "Rha, aku..."
"Lo kayak orang kurang kerjaan tahu. Pagi, siang, sore, malam, senin, minggu, kapan aja lo telepin gue. Emang lo pikir gue nggak punya kegiatan lain apa?"
"I know Rha. Maaf."
"Maaf maaf, tapi lo selalu ulangi lagi kan?"
"Tell me another way to make you feel what I feel. Tell me another way to make you notice me. Tell me another way to make you know that I love you so much." Robby berkata cepat, seolah-olah dia takut kalau-kalau aku memotong ucapannya lagi.
Namun, aku hanya melongo. Inilah kali pertama dia mengutarakan perasaannya secara gamblang dihadapanku. Meski aku tersentuh -hello! Perempuan mana yang nggak klepek-klepek begitu tahu ada cowok yang head over heels falling for her? Nothing!- tapi aku tidak bisa menoleransi ini lagi.
Aku capek dengan semua telepon-telepon Robby. Aku capek dengan semua tingkah kekanak-kanakannya. Aku capek dengan perhatiannya. Aku capek dengan dia karena aku tidak menyukainya. Oke, as a friend or office-mate, aku bisa. Tapi lebih dari itu, I'm sorry Robby, I can't.
Namun, Robby tidak pernah mengerti. Bombardir kata "Hallo" via telepon terus berlanjut.
"Kalau lo sayang sama gue, stop it. Don't call me again, even you wanna say one word, just hallo. Don't do this," tegasku.
***

Kemakan omongan sendiri itu tidak menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan.
Dua hari ini aku mendapatkan apa yang aku mau: terbebas dari Robby. Alih-alih berbahagia atas terkabulnya keinginanku, aku malah seperti orang kebakaran jenggot. Setiap menit aku selalu melihat Blackberry, berharap ada sederet angka tertera disana. Namun hasilnya nihil. Nol besar. Robby benar-benar mematuhi ucapanku.
Damn! Ada apa denganku? Kenapa aku jadi uring-uringan seperti ini?
Astaga! Aku merindukan saat-saat teleponku berdering dan mendapati nama Robby disana. Aku merindukannya. Tanpa kusadari aku telah larut dalam permainannya dan tanpa kusadari juga aku telah terbuai olehnya. Telepon-telepon itu telah menjadi keseharianku, dan aku menikmatinya -sial, aku baru menyadarinya sekarang.
"Please, ringing..."
Percuma.
Blackberry hitam yang sudah bapuk itu tetap terdiam.
"Please Robby. Just one word for me. Just Hallo. Please..."
Detik itu juga kusadari keinginanku tak akan terkabul. Ah, pasti aku telah melukai perasaan Robby. Sangat melukainya. Dan kini aku terkapar karena terlambat menyadari perasaan yang muncul ke permukaan hati.
"Just Hallo, Robby..." desahku sia-sia.
No more phone call from Robby, even for one word, Hallo.

Rabu, 19 Oktober 2011

Anak-anak itu enak

Oleh: Ifnu Mahyudin


Anak-anak itu enak, masih ingat kah ketika kita masih anak-anak, kita bebas bermain, melakukan apa yang kita suka tanpa pikir panjang apa yang terjadi nantinya. Kita pun bebas menginginkan apapun yang kita mau, cukup dengan menangis maka orang tua akan luluh susah payah untuk menuruti apa yang kita mau.

Anak-anak itu enak, siapa bilang anak-anak itu ga enak. Coba lihat anak-anak dipinggir jalan. Walaupun dia hidup dengan orang tua yang ga ada tanggung jawab, orang tua yang hanya mau enaknya pas buat anak, orang tua yang hanya duduk dipinggir jalan menikmati anak-anaknya mengemis melawan bahaya. Namun anak-anak itu masih bisa tersenyum polos, melakukan itu.

Anak-anak itu enak, walau kita melihat banyak anak-anak yang menderita yang diakibatkan orang tua, dengan polosnya dia akan cepat melupakan hal itu, walau orang tua selalu memanfaatkan hal itu, tapi anak-anak ga pernah mau tau, yang mereka pikirkan hanya bebas ingin melakukan sesuatu.

Anak-anak itu enak, coba bandingkan dengan kita remaja ataupun dewasa. Saat kita berantem dengan teman sebaya kita, saat kita anak-anak besoknya pasti akan segera berbaikan dan bermain bersama, berbeda terbalik dengan saat kita remaja ataupun dewasa, kita selalu mengadukan hal tersebut kepada teman pro pada kita, justru hal ini kan memperkeruh masalah dan bahkan bisa menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Anak-anak itu enak, aku menyesal terlalu cepat menjadi dewasa, aku ingin bebas seperti anak-anak tanpa tuntutan ini itu, aku ingin bebas bermain dengan siapapun, aku ingin hidup seperti anak-anak yang bebas bagaikan air begitu tersendat mudah diatasi dan kembali mengalir kemanapun yang aku mau menuju mimpiku,.. aku yakin masa anak-anak itu lebih enak dari masa SMA. Anak-anak itu enak, seandainya kita melakukan salah terhadap teman sebaya orang tua selalu membela kita. Dan berkata” nama juga anak-anak sekarang bertengkar besok juga maen bareng lagi”

Selalu ada Mainan Baru

Oleh Dhitta Puti Sarasvati
@warnapastel

Di stasiun kereta. Seorang kakak dan seorang adik bermain di dalam
kardus. Tampaknya mereka bermain peran. Si kakak suka sekali mengatur

"Kamu harus begini! Kamu harus begitu," katanya pada sang adik dengan
melapisi tubuhnya dengan kain selempangan yang biasa digunakan untuk
menggendong bayi. Tak lama kemudian sang kakak matanya bersinar-sinar.
Dia melompat keluar kardus, lalu diambilnya sebuah batu. Batu
dilemparkannya ke depan.

"Kejar!" Teriaknya pada sang adik. Mereka berdua berlari mengejar
batu. Setiap kali ditangkap, dilempar lagi, dikejar lagi sampai bosan.

Tapi sang kakak selalu cemerlang. Kini waktunya untuk bermain
jual-jualan. Ibu mereka sendiri sedang sibuk menjual tahu
dibelakangnya. Sang kakak memilih berjualan es teh manis. Dengan
khayalannya, plastik-plastik yang dia temukan di sepanjang stasiun
kereta disulapnya menjadi es teh manis. Adiknya menjadi pembeli.

"Harganya lima ribu. Mana uangnya?," tanyanya.

Adiknya bingung saja.

"Nih, pakai ini saja," kata sang kakak sambil mengambil segenggam
tutup botol plastik.

Memang sedikit sok mengatur dia!

"Bayarnya pakai ini!"kata sang kakak sambil memberikan beberapa tutup
botol pada adiknya.

"Mana uangnya?" tanyanya lagi sambil mengambil beberapa tutup botol
dari adiknya.

Sebuah plastik dan satu tutup botol diberikan lagi pada adiknya sambil
berkata, "Ini es tehnya dan ini kembaliannya!"

Seorang pengunjung membuang es teh benaran. Esnya masih dalam
plastik yang terikat. Ada lubang kecil di ujungnya. Ada tetes the
yang menetas perlahan keluar dari lubang tersebut. Sebenarnya isinya
plastiknya masih lumayan penuh, mungkin dibuang sang pengujung karena
rasanya terlalu manis.

Sang kakak, dengan mata awas memandang es tersebut. Diambilnya plastik
berisi es the tersebut. Ditekannya. Air the di dalamnya muncrat jauh.
Ditekannya sekali lagi agar airnya muncrat lebih jauh lagi! Dia
tertawa lepas. Adiknya ikut-ikutan tertawa.

Sang ibu yang tadinya sibuk melayani pembeli, sedang sedikit santai.
Dilihatlah putrinya bermain dengan sisa es!

"Jangan main es! Taruh itu," teriaknya tanpa alasan yang pasti.

Sang kakak menurut saja pada ibu tersayangnya. Dia tenang saja
seakan-akan berkata, "Akan selalu ada mainan baru, Lihat saja nanti!"

Anak-anak dari Cinta

Oleh: Ajeng Wismiranti
FB: http://www.facebook.com/profile.php?id=1573834043
Twitter : @duatiga888 http://twitter.com/#!/duatiga888

Kembali ke atas tanah. Di dalam rumah yang terlihat asri dan berseri.
“Apa yang kau lihat, nak?” tanya seorang ibu kepada seorang anak pengemis.
“Temanku, bu. Ia sedang menagis. Bunga-bunga tak jadi mekar karena kesedihannya.” Jawab sang anak lelaki itu, miris. Namanya Rama. Tujuh tahun semenjak dilahirkan, ia tak pernah melihat sosok kedua orang tuanya. Hidupnya miskin. Sangat miskin. Tapi suaranya kaya, ketika mobil dan motor berhenti di pinggiran lampu merah.
“Ia sering bercanda, padahal. Ceria dan menarik. Ia seringkali mengesankan orang-orang hingga tak pernah iba melihatnya. Tapi sekarang kok beda. Maaf ya, bu, mengganggu.” Ucap Caca, kakak angkat Rama, teman sepermainan di lampu merah.
“Ayo, Rama. Kita harus segera pulang. Nanti kakak khawatir.”
“Ya, kak. Tapi, aku tak mau meninggalkannya. Anak cantik itu, dan boneka kucingnya yang juga gelisah. Sepertinya ia menginginkan sesuatu dariku” Jawab Rama, bertahan.
“Siapa dia? Kakak tak melihatnya.” Jawab Caca, melongok ke arah rumah itu.
“Ayo, lekas pulang.” Jawab Caca sambil menarik pergelangan tangan Rama.
Rama pun pergi dengan kepala yang masih menoleh ke arah anak cantik yang masih menatapnya. Seketika, seekor kucing mengikutinya. Putih, agak kotor dan basah.
“Kak, sebentar. Ada kucing. Sepertinya ia kehujanan.” Kata Rama pada Caca, lalu ia mengambil kucing itu dan menaruhnya di depan dada.
Kucing itu menutup matanya. Dan Rama bergegas memberinya makanan, seadanya. Kucing itu pun terbangun mengendus aroma tempe goreng yang sengaja disisihkan Rama sisa makan malamnya. Tak lama, Rama pun tertidur dan tersadar keesokan paginya.
“Meong... Meong... meong...” terdengar suara kucing sambil menggerak-gerakkan tangan Rama.
“Kau sudah bangun rupanya? Bagaimana tidurmu, putih?” sapa pagi Rama pada Putih, kucing barunya. Tanpa diduga, Putih berjalan dan sedikit berlari, lambat laun kencang bak ketinggalan kereta pengantar panganan. Rama bingung, dan segera mengikutinya. Entah, putih seolah ingin mengajak Rama kepada sesuatu. Suatu tempat, atau mungkin...
“Putih, putih... tunggu. ” kejar Rama terengah.
Hampir ditangkapnya, putih berhenti di depan sebuah rumah yang tak asing buat Rama. Ya! Rumah kemarin sore yang Rama lihat dengan seorang anak cantik yang menghiasinya. Rama pun terhenti, menggendong Putih, dan menoleh kembali ke arah pintu rumah itu. Ia memikirkan sesuatu yang belum pernah terasa di benaknya. Rindu. Ya! Entah mengapa ia begitu rindu dan ingin menghampiri kerinduan yang sedang bersambung itu.
“Aw.. astaghfirullah..” kaget Rama.
Duri kecil menggigit telapak kakinya yang telanjang. Dilihatnya duri itu sambil duduk menaruh Putih di sampingnya dan menepi dedaunan.
“Tolong... tolong... tolong...” Suara kecil berteriak dari dalam rumah. Rama segera menoleh dan melihat sosok api besar sedang nikmat melahap bagian dalam rumah itu. Larian kecil Rama cukup menghabiskan satu menit sebelum akhirnya balok-balok kayu meruntuh dan membakar luar rumahnya.
“Hey, kamu. Tunggu aku di situ. Sabar. Aku akan menolongmu. Tunggu.” Usaha Rama menyelinp di antara tamparan api yang sedari tadi memanaskan tubuhnya. Didekatnya lagi jarak antara dia dengan anak cantik itu. Anak cantik bergaun pesta putih dengan anak kucing putih yang mulai cemong. Mata Rama semakin membelalak ketika dilihatnya balok kayu akan segera menjatuhi kepala anak cantik itu. Rama bergegas berlari, tanpa peduli dengan kaki telanjangnya. Tapi balok kayu lain telah lebih dulu menghantam punggungnya. Ia jatuh. Pusing dan kepanasan.
“Ayah... Ibu... aku ikut. Jangan tinggalkan aku.” Isak anak cantik itu sambil erat menggendong kucing putihnya. Kucingnya makin keras mengeong. Anak cantik itu makin terlihat gelisah. Ini kegelisahan beruntun, bagi Rama. Ia takut. Resahnya tak kalah panas dengan bara api yang sedari tadi menggelitik kulit luarnya. Ia bangun kembali, tapi jatuh lagi karena kakinya tersangkut lubang lantai yang telah digerogoti usia. Ia panik. Anak kecil itu makin tak terlihat. Yang jelas terlihat hanya monster merah menyala yang kian menutupi tubuh anak cantik itu. Dan... Sepasang suami istri, muda yang tiba-tiba mungcul dan sibuk berlari menggendong sebuah tas dan kotak perhiasan. Astaghfirullah.
“Tidaaak...” teriak Rama. Seketika melihat balok kayu besar dengan lapisan bara tiba-tiba menampar kepalanya.
“Meong...”
Putih masih berada di samping mata kakinya. Rama masih berdiri tegak segar melihat Putih dengan senyum yang terengah. Ya! Yang barusan terlihat adalah alam lain. Bukan kenyataan yang sekarang ini sedang ia hembuskan napasnya.
“Aku tahu, putih, kau mengajakku ke sini untuk memberitahukan keberadaannya.”
“Anak cantik itu temanmu kan? Teman bermainmu, jiwa yang perhatian padamu. Jiwa yang setia memberimu makan dan minum. Jiwa yang tak pernah jijik pada bulu-bulumu, dan setia menggendongmu ke manapun kakinya berlari.” Pungkas Rama membelai kepala Putih.
“Aku pun demikian,...” lanjut Rama, sambil menatap Putih, lembut. “Pernah merasa kehilangan yang tak tergambarkan. Aku memang kehilangan. Tapi aku tak pernah merasakan bagaimana wujud saat kehilangan itu terjadi. Yang aku tahu, ada yang hilang dari hidupku. Ya! Darahku. Tempat di mana asal darahku mengalir. Dua darah yang bercampur membentukku. Tapi, Putih, aku punya kak Caca yang tiba-tiba menghampiriku iba. Aku ingat, ketika di antara gunungan sampah, kak Caca mendekatkan hidungnya pada hidungku sambil senang. Menarik harumku yang harum sampah, dengan tarikan napas cinta. Ya! Aku kenal hirupan itu. Itu memang cinta. Cinta yang aku pikir seharusnya aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Entah mereka telah tiada, atau masih ada. Yang jelas, aku masih merasakan keberadaan mereka. Di sini.” Tutup Rama sambil memegang dadanya.

Minggu, 16 Oktober 2011

SIAPAKAH YANG HARUS DIPILIH?

Oleh: (Millaty Ismail)


Semua mahluk di dunia ini pasti sudah tahu sekali dengan cerita Adam dan Hawa. Adam, manusia pertama yang diciptakan Tuhan, merasa kesepian lalu diciptakanlah seorang pendamping yang bernama Hawa. Mungkin memang Tuhan mau menciptakan manusia berpasang-pasangan supaya tidak kesepian.
Lalu Hawa digoda setan selanjutnya dia menggoda Adam untuk memakan buah terlarang dan akhirnya mereka terusir dari surga yang menurut cerita sangat indah juga menyenangkan. Mengapa diusir? Mengapa tidak tinggal saja di surga? Mungkin Tuhan punya skenario yang menarik. Baiklah, saya mengerti.
Kemudian cucu, cicit, serta keturunan Adam dan Hawa beranak pinak sampai sekarang. Tapi mengapa mereka harus terpecah menjadi bangsa yang berbeda dari mulai hunian di dunia, tampilan fisik, bahasa dan juga agama? Mungkin Tuhan ingin membuat seru hidup di dunia. Nyatanya memang seru sekaligus ribet dan yang lebih memusingkan lagi ketika jatuh cinta dengan pria yang berbeda agama karena Adam dan Hawa tidak ada masalah beda agama.
Siapakah yang harus dipilih? Tuhan di berada di atas sana, tak pernah terjangkau atau keturunan Adam dan Hawa yang secara nyata berbeda?
*****
Di usia 35 tahun, saat bertemu teman reuni pasti ada saja yang menanyakan, “Mana suamimu?” Atau “Kok belum menikah juga?” Saya berusaha menjawab, “Mungkin jodoh saya belum dilahirkan.” Atau “Mungkin jodoh saya kecelakaan lalu meninggal dan Tuhan belum sempat mencarikan penggantinya soalnya urusan Tuhan banyak sekali.” Atau “Mungkin kamu memilih?’ Jawaban saya selalu dibalik oleh beberapa orang yang tidak mengerti begitu sulitnya mencari pendamping hidup
Yah mereka memang tidak mengerti. Beberapa kali saya jatuh cinta dengan seorang pria bule. Mereka pun jatuh cinta pada saya, menurut pengakuannya. Awalnya hubungan berjalan indah tapi pasti akan berakhir dengan kesedihan. Menurut mereka, “Sebuah hubungan harus diawali dengan kumpul bersama untuk saling mengenal kepribadian masing-masing.” Tapi menurut saya, “Hubungan sebaiknya diawali dengan perkawinan yang sah.”
Mengapa, Tuhan selalu mempertemukan saya dengan lali-laki yang berbeda prinsip setelah saya mendekati Tuhan? Mengapa harus ada perbedaan jika semua manusia adalah keturunan Adam dan Hawa? Mungkin Tuhan selalu mencari perhatian terhadap umatnya.
Atau Mungkin Tuhan ingin menguji kesabaran saya!
Kesabaran? Mungkin ini kata yang paling digemari di langit sana.
Jadi sekali lagi siapakah yang harus dipilih?
*****

Harga Mati

Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)


Dengan puluhan rumus yang terpatri di benakku, dapatkah aku menghitung peluang kebersamaan kita?


“Ran, udah makan belum? Temenin makan yuk, laper nih!” ajak Faisal tanpa basa-basi.

Dengan senyum sumringah yang seketika menghiasi wajahnya, Kirana mengangguk cepat. Sontak bangun dari duduknya. “Boleh, mau makan dimana?”

“Kantin aja, yuk.”

Kirana tersenyum lagi, kali ini berjalan mengikuti Faisal yang sudah ngeloyor duluan. Mereka berhenti di depan tukang soto dan memesan seporsi untuk masing-masing. Kirana mengulum senyum malu. Faisal mengajaknya makan bersama! Berapa persen kemungkinan cowok itu suka padanya?

“Malem minggu mau kemana Ran?” Faisal bertanya di sela aktivitas makannya.

“Hm...” Kirana mendadak salah tingkah. Mungkinkah Faisal akan mengajaknya malam mingguan? “Engga kemana-kemana kayaknya, kenapa emang?”

Faisal angkat bahu. “Nggak apa-apa, kirain mau malem mingguan kemana,” jawabnya sambil nyngir.

“Paling juga mau kerjain tugas, nyicil supaya pas Minggu nggak terlalu capek.”

“Rajin banget dasar, emang lo mau kuliah apa sih, Ran? Kedokteran ya?”

Kirana tersenyum spontan. Faisal tahu cita-citanya padahal ia bukan termasuk orang yang senang gembar-gembor perihal masa depan. Tidak seperti Anida, teman sekelas mereka, yang sepertinya seantero sekolah sudah tahu mengenai cita-citanya sebagai penyanyi. Pertanyaannya: apakah mungkin Faisal juga ada hati pada Kirana?

“Iya Sal, mau banget jadi dokter! Kok tau sih?” tanya Kirana penuh selidik.

Faisal meneguk teh panasnya sebelum menjawab. “Tau dong, mau jadi dokter kulit kan?”

Lagi-lagi, sebuah fakta tersembunyi mengenai dirinya yang diketahui pemuda ini. “Iya, mau ambil spesialis kulit dan kecantikan,” jawabnya kalem.

“Pasti bisa Ran, lo kan pinter, rajin, dan konsisten. Apalagi nilai lo di sekolah bagus terus, udah gitu lo sering ikut lomba, pasti banyak piala dan sertifikat.”

Dipuji seperti itu oleh cowok yang disukainya, wajah Kirana merona merah. Ia mencoba tertawa untuk menutupi rasa malunya. Lagi-lagi pernyataan itu menyeruak ke permukaan, mungkinkah Faisal merasakan hal yang sama dengan Kirana? Mungkinkah sebentuk perhatian dari pemuda ini dapat meningkatkan peluang kebersamaan mereka menjadi lebih dari 50%? Atau malah sampai 75%?

“Ah, lo bisa aja Sal, tapi Amin deh.”

Faisal tertawa pelan. “Amin gitu Ran, orang yang sungguh-sungguh pasti sukses kok.”

Kirana tersenyum sungguh-sungguh. Sejak tadi ia penasaran ingin melontarkan pertanyaan yang sama. “Lo sendiri malem minggu mau kemana?” tanyanya dengan intonasi sedatar mungkin.

“Nina minta ditemenin ke toko buku, gue sih iya aja mumpung nganggur. Bosen juga di rumah, ade gue si Ila pasti diapelin cowoknya.”

Glek! Kirana menelan ludah. Faisal mau malam mingguan sama Nina? Mungkinkah Faisal juga menyukai Nina? Tapi, itu Nina yang mengajak. Sedangkan mereka sekarang, Faisal yang mengajak. Mungkinkah yang disukai Faisal adalah Kirana?

Gadis itu tersenyum hambar seraya mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetnya. Melihat itu, Faisal menggeleng cepat. “Gue yang bayar aja, Ran,” potongnya cepat kemudian mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu ke abang tukang soto.

Kirana berdiri duluan lalu ngeloyor pergi begitu saja tanpa menunggu Faisal. Mood-nya sudah keburu jelek. Mau ditraktir atau tidak, sepertinya kemungkinan Faisal menyukai dirinya atau tidak akan tetap berada pada rasio yang sama. Harga mati yang sama.

Lima puluh banding lima puluh.

***

Jika dan Mungkin

Oleh: (@missSaori)

Malam ini aku duduk di kamar berteman dengan televisi dan laptop. Kini aku sendiri, tak ada lagi Sabtu malam bersama teman-teman yang biasa berkumpul bersama di warung kopi langganan, sekedar main poker atau sharing seputar permasalahan masing-masing. Tak ada lagi kekasih yang pundaknya bisa dijadikan sandaran dibawah langit malam yang penuh bintang. Tak ada lagi Ibu yang membuatkan camilan untuk bermalam minggu sekeluarga. Semua itu kini tak ada lagi di tiiap Sabtu malamku. Mungkin semua karena kini aku telah berada jauh dari mereka. Mereka di Yogyakarta, dan aku di Ibukota. Jika aku tak diterima bekerja di Jakarta, aku masih bisa merasakan itu semua. Tapi Tuhan mahaadil, karena jika aku masih berada di kondisi yang sama, mungkin saat ini aku tidak akan mendapatkan kemajuan yang berarti.
Jika aku masih di Yogyakarta, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang reporter di sebuah perusahaan media ternama. Aku tidak akan pernah duduk di meja sambil memasang earphone di telinga, mengetik hasil wawancara dengan orang-orang ternama. Aku tidak akan pernah menikmati makanan serba mewah di restoran baru dengan gratis. Aku tidak akan pernah bisa menonton konser artis internasional dengan cuma-cuma. Dan yang paling penting adalah, ilmu jurnalistik yang selama ini aku idam-idamkan tidak akan bertambah, bahkan mungkin semakin pudar karena tak terlatih.
Satu hal yang aku pelajari dari adanya kata 'jika' dan 'mungkin' dari kehidupan ini adalah selalu ada kemungkinan jika kita mau mengorbankan kemungkinan yang lain. Untuk kalian, 'jika' dan 'mungkin' yang selalu ada, aku ucapkan terimakasih telah masuk dan mewarnai kehidupanku.

Atas nama 'jika' dan 'mungkin',

Jumat, 14 Oktober 2011

Kiana, sih!

oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)


Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas ketika ponsel Kiana bervibrasi dua kali, menunjukkan adanya pesan masuk. Dengan setengah mengantuk, gadis itu meraihnya dan menbaca dengan cepat. Dari melihat nama pengirimnya saja Kiana sudah tahu kalau isinya nggak jauh dari urusan kelas atau sekolah.

From : Saira Nabila
IPA 5, besok jangan lupa bawa kamus perancis buat ulangan ya, inget loh, semua harus bawa. Jangan lupa yaa, selamat belajar buat yang masih belajar dan selamat tidur buat yang lainnya J

Kamus! Kiana hampir saja lupa. Meskipun kadang si nona jarkom satu ini bikin kesal karena sms-smsnya yang bisa dibilang sering banget menuh-menuhin inbox Kiana, untuk kali ini Kiana cukup berterimakasih karena sudah diingatkan.
Hanya sekedar berterimakasih karena gadis ini tidak beranjak dari tempat tidurnya. Hanya mengerling rak buku tempat terakhir kali ia meletakkan kamus dan bersiap untuk tidur.

***

Terlambat adalah kata pertama yang terlintas di benak Kiana tatkala retinanya mendapati jarum pendek jam dindingnya tengah menunjuk ke angka enam lewat sedikit. Sambil grasak-grusuk Kiana bangun dan langsung menghambur ke kamar mandi, mandi secepat kilat, kemudian sarapan juga secepat kilat. Semuanya dikerjakan dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.
“Kiana, ini udah jam tujuh kurang, mau berangkat bareng nggak, sih!?” seru Miro, kakak sulungnya dari luar rumah.
“Sebentar A, ini tinggal dikit lagi makannya.” Kiana balas berteriak. Dalam satu tegukan Kiana menghabiskan minumannya dan cepat-cepat berlari keluar. Bisa gawat kalau harus berangkat naik angkutan umum, bisa-bisa dia malah nggak jadi sekolah.
“Nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Miro sedetik setelah Kiana naik ke kursi penumpang. Adiknya yang satu itu memang paling sering banget kena sindrom lupa, sedikit-sedikit lupa, Miro sudah hafal banget.
“Kayaknya sih nggak ada, udah A jalan aja, ntar telat,” jawab Kiana.
Kening Miro berkerut. Kayaknya? Yang begini biasanya nggak beres nih, pikirnya. “Bener ya? Awas ya kalau sampai ada yang ketinggalan,” ujar Miro lalu menyalakan motornya.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Kiana mulai berpikir mengenai kegiatan apa saja yang akan dilaluinya hari ini. Biasanya hal ini ia lakukan saat mandi namun berhubung seluruh kegiatannya pagi ini dilakukan dengan secepat kilat, berpikir saja jadi tidak sempat.
Ia mengeluarkan ponsel pintarnya, niatnya mau online twitter. Iseng, penasaran siapa saja yang jam segini lagi berkicau di timeline. Tiba-tiba kedua mata Kiana membelalak melihat tweet seorang temannya.

@arishaaa hampir lupa bawa kamus buat ulangan perancis, untung @sairanabila ngingetin. Goodluck ya sayang ulangannya :***

Glek! Kiana menahan ludah. Refleks ia menepuk pundak Miro berkali-kali. “Apaan Na?” tanya Miro tanpa memperlambat laju sepeda motornya.
“Kamus aku ketinggalan A, gimana dong? Aku bener-bener lupa,” jawab Kiana. Semakin panik ketika motor Miro mulai memasuki area parkir sekolah.
“Terus gimana? Kan tadi gue udah nanya sebelum berangkat.” Miro menjawab jengkel. Heran, Kiana ini benar-benar nggak bisa meng-organize barang-barang pribadinya dengan baik. “Cepet turun dulu deh sekarang,” lanjutnya sambil buka helm.
“Gimana dong A? Semalem aku inget tapi terus lupa masukin, gimana dong kan harus semua bawa baru boleh pakai kamus. Gimana dong?” Kiana nyerocos panjang lebar, membuat Miro ikut-ikutan panik akibat urgensi yang dirasakan adiknya.
KRIIIIING!
“Ngga tau ah, udah sana masuk. Cuma kamus doang kan? Santai aja, udah bel lagian,” ujar Miro sambil ngeloyor pergi.

***

Sesampainya di kelas, teman-teman Kiana sudah sibuk menulisi kamus mereka dengan berbagai contekan yang diperlukan. Ulangan Perancis memang bukan hal yang mudah. Kiana sendiri tidak pernah suka pelajaran itu.
“Na, bawa kamus kan?” tanya Bilqis teman sebangkunya sambil lalu.
Kiana menggeleng pasrah. Siap banget kalau harus didamprat teman-teman sekelas. “Lupa Qis.”
Belum sempat Bilqis menjawab, Saira sudah bereaksi duluan. “Lupa? Ya ampun Kiana, kan semalem udah aku ingetin, jangan lupa bawa kamus. Terus sekarang gimana dong?”
“Duh, maaf banget Ra, gue semalem niatnya mau langsung masukin ke tas, tapi malah ketiduran dan paginya telat bangun.” Biar bagaimana pun, membela diri sendiri itu penting.
Saira berdecak sebal. Kiana yakin cewek itu pasti nyesel sudah buang pulsa seratus dua puluh lima perak untuk sms Kiana. “Pinjem IPS deh, kalau nggak salah hari ini mereka juga ulangan,” sarannya.
Kiana mengangguk cepat. Baru saja hendak meletakkan tas di mejanya, Madam Susie sudah berjalan masuk dengan membawa setumpuk soal ulangan. “Bonjour, classe,” sapanya dalam intonasi formal. “Sudah siap untuk ulangan hari ini? Ada yang tidak bawa kamus?”
Mati deh gue, batin Kiana. Dengan perasaan deg-degan dan takut, ia mengacungkan tangannya. Madam Susie tersenyum senang, senang karena murid-muridnya akan menjalani ulangan dengan murni. Tanpa bantuan kamus sama sekali. “Ya, sesuai perjanjian kita, satu tidak pakai kamus, semua tidak pakai kamus. Di atas meja hanya ada alat tulis, kita mulai ulangantiga menit lagi,” titahnya kemudian mulai membagikan soal.
Seisi kelas tampak jengkel, melirik Kiana dengan tatapan ‘gara-gara elu sih’ sambil mencibir. Beberapa bahkan bergumam “Kiana, sih!” tanpa malu-malu. Sia-sia saja usaha mereka mempersiapkan contekan di dalam kamus.
Kiana terhenyak ketika mulai membawa soal. Susah sekali! Ia yakin, habis ulangan ini dirinya pasti disemprot anak-anak kelas. Hanya karena sebuah kamus yang masih tersimpan rapi di rak bukunya.

Ku Masukkan “Agamaku adalah Cinta” dalam kamus Hidupku

Oleh: @maunentia


“Aku ingin, bila nanti ada orang yang bertanya pada ku, apa agamaku?? Aku bisa menjawab : agamaku adalah cinta, dan aku ingin memasukkan itu dalam kamus hidupku.”

------------*****

Tepatnya aku tak ingat lagi sudah berapa jam, sudah berapa kilometer, waktu yang kuhabiskan bersamanya, di sini, didalam mobil mu yang berderum lembut menyusuri jalan-jalan Jakarta… dan akhirnya aku menyadari bahwa yang kita lakukan ini hanya akan menghabiskan bensin… betapa, sudah berapa jam ku lalui, sudah berapa kilo meter ku tempuh di dalam mobil ini hanya untuk duduk, diam mengamatimu yang duduk manis di sebelahku, memegang kemudi mobil, dan kau hanya diam…

Aku diam, kamu diam….

-----------*****

Kita selalu seperti ini, berlari dengan mobil menyusuri jalanan Jakarta berjam-jam lamanya… dan selama lima tahun terakhir ini, masalah kita selalu sama, aku adalah wanita dengan Jilbab di kepalaku dan kamu adalah lelaki dengan kalung salib di lehermu…

Mungkin dulu hanya ada kau dan aku, tapi lewat sebuah senyuman, kemudian kau dan aku menjelma menjadi kita…

kita tertawa dan mencoba berbagi asa, saling memandang dan berbagi perasaan nyaman…. beberapa keadaan mengikat kaki kita untuk melangkah di jalan yang sama, dan ketika setelah beberapa waktu berlalu, kita masing-masing benar-benar menjerat diri kita satu sama lain…

aku tak bisa pergi darimu, kau tak mau pergi dariku… namun tetap saja kita tak kan pernah menjadi sepasang kekasih…

kita saling mencintai, namun kita bertahan untuk tidak saling memiliki….

------------*****

Lima tahun bukan waktu yang singkat, dan kita tetap menjadi kita yang saling mencintai, namun bertahan untuk tidak saling memiliki…

-----------*****

Kembali lagi pada malam itu dan di mobil itu, entah sudah berapa jam berlalu sejak kau menjemputku di tempat kontrakanku, memaksaku masuk ke mobilmu, dan menemaniku menyusuri jalan Jakarta yang telah sepi di tengah malam, kau hanya berkata tentang Ibu mu yang ingin kau menikah. Pastinya bukan dengan aku. Kemudian kau diam, diam sepanjang jalan. Aku juga diam, namun otakku berfikir keras, bagaimana, mengapa, apa yang harus ku lakukan.

----------*****

Di Jalan MH. Thamrin, jalan yang mungkin sudah kita lewati lebih dari 3 kali malam ini, di depan Sarinah, tiba-tiba kau menginjak rem, dan mobil berdecit kencang, aku terbangun dari lamunanku, kemudian menengok jam di tangan ku 02.45 am. Kau hentikan mobil mu dan kemudian menoleh melihatku…

Dan kau menutup kebisuan malam itu dengan berkata :

“Aku ingin, bila nanti ada orang yang bertanya pada ku, apa agamaku?? Aku bisa menjawab : agamaku adalah cinta, dan aku ingin memasukkan itu dalam kamus hidupku.”

Aku tertegun, aku tersenyum, kemudian tak terasa ku rasakan air membanjiri mataku, terasa panas meleleh di pipi ku… sesaat kemudian aku sudah menangis dengan gilanya… suara tangisanku memenuhi keheningan malam di dalam mobil itu… dan kau merengkuh kepalaku, aku membanjiri bahumu dengan air mataku…

“… Tuhan memang satu, kita yang tak sama….”

Rabu, 12 Oktober 2011

Kuselipkan Seribu Rupiah di Bawah Pintumu #3


Oleh Gabby Laupa (@GabbyLaupa)

Kuselipkan seribu di bawah pintumu, ketika senja jatuh perlahan dalam jangkauan pandang. Seribu itu tak berarti untuk orang lain, tapi sangat berarti untukku dan untukmu—untuk kita. Tidak terlihat seberkas cahayapun dari kamarmu. Entah kamu yang tidur atau memang menyendiri dalam kegelapan seperti biasa. Seribu itu kuselipkan, untukmu.
Teringat percakapan siang hari yang lalu. Seribu itu menjadi masalah. Hanya candaan yang berujung murka. Seandainya tidak kupermasalahkan seribu itu, mungkin aku tidak akan berada di depan pintumu mematung seperti ini.
“Cintaku padamu seperti seribu rupiah ini,” ujarmu waktu itu. Aku mengernyit terdiam. Bisu tak bisa berkata. “Iya seribu ini, lihat deh baik-baik,” terangnya lagi padaku. Maksudnya belum kuterima, intinya belum kutangkap. Kuperhatikan serbu rupiah yang ada di tangannya. Kumal dan lecek, ujungnya sedikit sobek dan ada coretan nomor telepon di bagian yang seharusnya berwarna putih gading.
“Cinta kamu ke aku berarti kumal dan lecek? Atau aku bisa dibeli dengan seribu rupiah?” balasku sekenanya. Giliran wajahnya yang mengernyit heran. Mata elangnya menatapku nanar.
“Ah udah deh, padahal biasanya kamu yang sok-sok puitis romantis. Giliran aku yang sok-sok puitis malah kamunya kayak gini,” balasnya—sekenanya juga. Aku kaget. Dan yang kutahu setelah itu acara jalan-jalan kita gagal. Tidak ada kecupan perpisahan ketika kamu mengantarku pulang.
Aku berpikir keras sambil melihat selembar seribuan seharian ini. Menelitinya hingga ke detail terkecil. Melihat nomor seri yang tercantum, berusaha menyingkap misteri yang ada dalam si seribu ini. Hingga akhirnya aku tersadar akan sesuatu.
Satu juta tidak akan menjadi satu juta jika tidak ada seribu. Satu milyar juga. Uang seribu ini yang paling banyak dipegang oleh orang—lihat bentuknya yang kumal dan lecek. Seribu ini terkesan sepele, tapi bermakna. Mungkin itu maksudmu padaku kemarin.
Dan aku berakhir disini, masih menebak-nebak sebetulnya makna dari seribu rupiah kumal ini. Tapi satu yang aku yakin, cintaku padamu seribu kali lebih besar daripada cinta Brisseis kepada Achilles ataupun Kate Middleton kepada Pangeran William.

Kuselipkan Seribu Rupiah di Bawah Pintumu #2


Oleh Dian Hutami (@diideehutami)


“ya ampun seribu doang! kopet amat sih lo!”
Sang sahabat terdiam, matanya hanya menatapnya. Akhirnya dengan berat ia berkata, “itu bukan seribu. Itu sejuta, dan walaupun lo bayar lagi sekarang, seribu gue tetep ilang.”
“iya gue tau seribu juga duit.bisa buat sekali naik angkot ciumbuleuit-st hall, daripada jalan kaki coba. gausah jual mahal deh, nih!” serunya sambil mengangsurkan seribuan baru miliknya. Sepertinya sisa berkah Lebaran masih agak awet di dompetnya. Namun sang sahabat menggeleng lalu pergi. 
Beberapa hari kemudian, ia bertemu dengan temannya yang lain. sudah beberapa hari itu ia tidak bertemu sahabatnya, yang entah mengapa ngambek cuma gara- gara seribu. “lo tau dia kemana nggak? Masa dia ngambek sih cuma gara- gara seribuan itu. Padahal dia sendiri yang nyuruh gue ambilin duit dari dompetnya. Itu kan konsekuensi dia sendiri.”
Temannya mendelik, menatapnya balik dengan pandangan curiga. “Yang lo ambil seribuan di mana?” 
“Di sebelah kantong uang kertasnya ada resetling lagi, abisnya diluar ga ada duit seribu jadi itu gue buka deh. eh ada seribuan nongol di sana, ya gue ambil aja. kenapa sih?”
Temannya menggeleng. “ya ampun. itu bukan uang biasa. itu seribu dari mantannya yang meninggal tiga tahun lalu itu. dia dikasih itu pas sebelum mantannya kecelakaan, gara- gara mereka bercanda soal utang seribu beli minuman. Lo tau kan betapa dia sayang banget sama mantannya itu.”
Ia terkejut, menyesali fakta bahwa ia, sebagai seorang sahabat, bahkan tidak tahu soal hal tersebut. “jadi harus apa gue? dia bilang seribu apapun nggak akan bisa ngeganti itu.”
sang teman tersenyum. “kasih aja dia seribuan lo. biarin dia tau, kalo lebih baik dia melepas masa lalu. biarin dia tau, kalo sekarang lo mau ngasih dia seribuan lagi dengan arti baru, sekarang itu artinya lo siap ngingetin dia dengan seribu alasan kenapa hidup baru lebih penting buat dia. Sekarang dia lagi pergi keluar kota, tunggu aja dia pulang.”
Tapi bukan itu yang ia lakukan. ia mendatangi kamar kos sang teman, lalu menyelipkan uang seribu di bawah pintunya. Ia yakin sang teman akan mau mendengar penjelasan tentang makna baru uang seribu ketika nanti ia pulang.
“gue siap bantu lo bikin seribu, bahkan sejuta, kenangan baru sama gue dan teman- teman lain.” 

Kuselipkan Seribu Rupiah di Bawah Pintumu #1


Oleh Olga Cinintya (@OlgaCinintya)


Kuselipkan uang seribu rupiah di bawah pintu kamarmu, di Minggu sore yang sejuk ini. Bukan dengan maksud buruk, bukan dengan niat jahat, mungkin hanya niat suratan. Oke, lupakan. Semua mungkin bertanya, mengapa uang seribu rupiah? Bukan sepuluh ribu, atau seratus ribu? Maklum diriku hanyalah seorang anak kuliah biasa, tak sanggup bila harus menaruh uang seratus ribu. Pada kenyataannya, ada kisah dibalik uang seribu rupiah ini.
            Kisah kita bermula di sebuah warteg samping kampus Minggu sore. Engkau hendak pergi dengan teman-temanmu seusai makan bersama mereka dan aku terduduk sendiri. Ada sesuatu yang kau tinggalkan di atas meja yang tak lain dan tak bukan uang seribu rupiah. Tersadar, aku pun mengambil uang itu. Sempat terpikir uang ini berguna untuk membayar es teh manis yang kubeli, setan dan malaikat pun berbisik di bahu kiri & kananku. Namun kuputuskan untuk tidak melakukannya dan bergegas mengejarmu.
            Berusaha memanggil tapi kau tak kunjung menoleh. Aku yang benci olahraga pun kesal karena harus berlari hanya demi mengembalikan uang seribu rupiah! Hingga akhirnya aku meraih pundakmu dan kau pun menoleh. Aku terpana, terkesima, apapun itu. Bagaikan artis-artis iklan sampo yang rambutnya terurai indah akibat hembusan kipas angin, senyummu yang manis bagaikan coklat Ayam Jago. Terkejut, aku teringat akan kenyataan bahwa kita tinggal di bawah satu atap kost-an yang sama. Sejak saat itu aku teringat terus akan dirimu. Tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya kuputuskan, setiap hari Minggu, kuselipkan uang seribu rupiah di bawah pintu kamarmu dan hal ini terus berlanjut.
            Hari ini, kau membuka pintumu di saat aku hendak menaruh seribu rupiah ini. Kita terkejut! Kau bertanya, “sedang apa disini?” dan jelas kau lupa padaku. Tak tahu memberi alasan apa, kukatakan saja uang yang mulus itu kembalian dari tukang galon dan bergegas pergi. Kau pun bingung, aku pun malu.
Bodoh, padahal hati kecilku yang pengecut ini ingin bilang bahwa, inilah bentuk kecil untuk seribu cintaku padamu.