Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label target. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label target. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 November 2011

Target-Target Anya‏

Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)

“Sudahkah kau tetapkan targetmu?” Bunga membaca tulisan yang terpampang di majalah dinding sekolah. Menjelang Ujian Nasional bulan Mei mendatang, kalimat-kalimat motivasi seperti ini tersebar di seluruh penjuru sekolah. tujuannya tentu saja untuk menambah semangat para murid. Tetapi alih-alih menambah semangat, ini justru membuat sebagian murid menjadi stress.

“Sudah dong!” Anya menyahut cepat. Dalam intonasinya terselip rasa bangga terhadap diri sendiri.

“Oh ya? Yang bener Nya?”

“Yup. Target gue semester ini jadi ranking satu di kelas dengan nilai rata-rata di atas 91 dan menang lomba cerpen sosial 2011 Desember nanti. Terus tahun depan NEM-nya di atas 54 dan diterima di Arsi ITB lewat jalur undangan. Tahun 2016 jadi sarjana arsitektur dan nerbitin novel yang nantinya bakal jadi best-selling book terus nikah, tahun 2017—“

“Stop stop stop!” sergah Bunga. “Ngga kebanyakan target apa? Kasian hidup lo dibayang-bayangi target segitu banyak,” lanjutnya, realistis. Anya memang pintar, dengan nilai rapot yang sejauh ini rata-ratanya 89 koma sekian, Bunga cukup yakin ia bisa diterima di PTN lewat jalur undangan. Bakat menulisnya juga lumayan, Bunga adalah salah satu pembaca setia cerpen-cerpen karangan Anya.

Anya menggeleng cepat. “Jadi orang tuh harus berani mimpi Bungaaa, hidup harus punya target.”

Bunga tak menjawab lagi. Daripada mengomentari target-target Anya yang sudah fully planned, lebih baik ia mulai menyusun targetnya sendiri



Anya menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sangat menggiurkan untuk ditiduri. Waktu memang menunjukkan bahwa saat ini baru pukul lima, tetapi cuaca gerimis di luar seperti berbisik ‘tidurlah... tidurlah...’ di telinga Anya.

Ia lelah. Sudah lebih dari dua minggu Anya berusaha melakukan segalanya untuk mencapai target yang telah ia buat. Mulai dari belajar empat jam sehari seperti anjuran Bu Yuni, menulis dua halaman sehari seperti tips dari Sitta Karina, penulis favoritnya, hingga bangun tidur jam tiga pagi untuk me-review beberapa materi pelajaran. Anya bosan dengan segala rutinitasnya.

Tok tok tok

Anya mengehela nafas kemudian berjalan gontai menuju pintu setelah sebelumnya menyambar buku biologi kelas sepuluh, nyicil untuk ujian nanti. Rupanya kakaknya, Laras. Tanpa dipersilakan gadis yang usianya hanya terpaut dua tahun dari Anya itu melangkah masuk dan duduk di sisi tempat tidur. Kedua matanya membelalak penasaran tatkala melihat tulisan yang terpampang di dinding kamar. Target Anya.

“Cieee, rajin banget bikin target segala,” godanya.

Anya membalik halaman buku biologi tanpa menatap Laras.

“Terus, apa aja nih usaha kamu dalam merealisasikan target-target ini?” lanjut Laras lagi.

“Belajar yang rajin dong, Mba.”

Laras manggut-manggut, berpura-pura puas akan jawaban yang dilontarkan adiknya. “Terus kalau jadi penulis, usahanya apa?” tanyanya lagi. Laras juga sama-sama menekuni hobi menulis. Saat ini ia sedang kuliah semester tiga di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD.

“Nulis setiap hari, sehari minimal dua halaman.”

Laras membelalak lagi. “Bahkan di saat kamu lagi nggak mood? Apa nggak terlalu maksain diri?”

Anya terdiam. Ia sadar kata-kata Laras ada benarnya. Ia sendiri merasa akhir-akhir ini menulis karena merasa itu kewajiban, rutinitas yang harus dipenuhi. Bukannya menulis karena ia semata-mata ingin menulis seperti ketika pertama kali hobi itu menariknya.

“Terserah kamu deh Nya, aku nggak mau sok tua. Yang jelas, jangan mau diperbudak sama target kamu sendiri ya,” ujar Laras kemudian melangkah keluar. “Oh ya, aku kesini mau pinjem sisir,” tambahnya kemudian.

Anya tak jadi membaca biologi mood-nya keburu luntur. Ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang: merevisi targetnya.

Resolusi

Oleh: @TengkuAR


Hari ke tiga puluh satu bulan dua belas, 2010

“HAPPY NEW YEAR!!”
Serempak suara teriakan dari orang-orang di sekelilingku terdengar di lounge, tempat aku dan kekasihku menghabiskan malam tahun baru 2010 menuju 2011.
‘Happy new year, Beb.”, ucapku sambil mendaratkan ciuman di pipinya. Dan Via terlihat tersipu malu dengan membalas ucapan yang sama kepadaku.
“Aku sayang kamu. Dan aku mau kita selamanya.”, Via menambahkan harapan tahun barunya malam itu.
“I love you, Beb.”
Selanjutnya yang terjadi hanyalah kemeriahan malam tahun baru hingga pagi menjelang.
***

Hari pertama awal bulan, di tahun baru, 2011

“Waduh kacau! Jam berapa nih? Jam empat sore? Nggak salah?”, aku memaki diri sendiri karena terbangun kaget seharusnya sedang berada dikantor, lalu untuk memastikan kulihat jam di dinding kamar dan memang benar bahwa saat itu jam empat sore. Lama kuberpikir dan kusadari bahwa hari ini aku memang masih libur tahun baru. Bodoh! Makiku lagi.
Sedikit tenang, aku mulai melakukan aktivitasku membersihkan tempat tidur dan mandi.
Lamunanku pun berjalan tentang hari ini, maksudnya tentang setahun ke depan ini. Aku harus membuat resolusi. Tidak boleh ada yang meleset. Niatlah yang hanya kubutuhkan. Aku pasti bisa.
Blackberryku pun menjadi pengingat utama. Di mulai dari…
“Graduation. Check! Job. Check! Fixie. Check! iPod. Check! iPhone. Check! New motorcycle. Check!”
Ya, itulah beberapa resolusiku berupa barang. Selebihnya aku hanya ingin selalu sehat.
***

Hari ke dua puluh lima bulan keempat, 2011

Tuuut-tuuut-tuuut…
“Halo.”
“Di, ini Mama, uang untuk kamu beli sepeda udah Mama kasih ke Kakakmu ya. Nanti minta aja. Kata kakakmu, dia sudah booking sepeda temannya yang mau kamu beli.”, suara Mamaku pun keluar tanpa bisa diberhentikan dan aku hanya bisa menanggapi dengan ucapan, “Iya, Ma.”.
Memang sudah dua minggu aku meminta kepada Mama untuk dibelikan sepeda supaya aku bisa ikut Car Free Day yang sedang nge-trend di pergaulan anak zaman sekarang.
Akhirnya, salah satu resolusiku terkabul dan terima kasih untuk Mama. Pecah telor! Semoga ini menjadi jalan pembuka untuk setiap resolusi yang kutargetkan.
***

Hari ke tujuh belas bulan kelima, 2011

“Mama pokoknya mau kamu kelar kuliahnya tahun ini karena tadi Mama dapat telepon dari dosen kamu yang bilang bahwa tahun ini adalah tahun terakhir kamu untuk menyelesaikan skripsi. Pokok Mama cuma mau minta satu aja, kamu lulus Di!”, dengan sesenggukan Mama berbicara dan aku pun tak kuasa ikut terlena melihat kondisinya yang menyedihkan karena ulahku.
“Harus bisa! Lulus adalah daftar resolusi prioritas utamaku! HARUS!”, aku menyemangati diri sendiri.
***

Hari ke enam bulan sepuluh, 2011

“Kalian lulus! Selamat semoga ke depannya lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga.”, ucap salah satu pembicara di ruangan itu mengucapkan selamat. Anak-anak yang disebutkannya lulus dengan nilai terbaik, termasuk aku, selebihnya, tidak kurang dari lima jari yang tidak lulus.
Kabar gembira.
“Ma, Ardi lu..lulus. Sekarang masih di..di tempat sidang. U…udah dulu ya Ma.”, aku terbata-bata dengan menahan air mata bahagia yang ingin keluar, makanya buru-buru kututup teleponnya.
Resolusi keduaku terwujud! Terima kasih Tuhan dan Mama. Ini saatnya!
***

Hari ke dua puluh sembilan bulan kedua belas, 2011

“Hari ini aku jadi orang yang bahagia sedunia. Aku punya kamu dan aku punya pekerjaan pertamaku. Beberapa hal yang aku inginkan tahun ini terwujud, itu karena kamu dan keluargaku. Many thanks to you, Beb. Love you more! Kiss!”
Aku mengirimkan pesan singkat pagi itu kepada kekasihku yang kemungkinan masih tidur. Aku patut bersyukur atas apa yang aku lakukan dan dapatkan setahun ini meskipun tidak semuanya namun satu persatu aku telah terlihat. Resolusiku yang belum terwujud di tahun ini mungkin akan tetap kujadikan resolusi di tahun depan. Tetap menjadi target sebagai bentuk motivasi.

Note to reader: "Be sure you positively identify your target before you pull the trigger." -Tom Flynn
***