Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label 4 menit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 4 menit. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 April 2011

Lelaki Jarum Jam Matahari

Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com

Para warga mengenalinya dari keranjang bambu yang tersangkut di sebatang pohon jati yang roboh menjulur ke sungai. Tapi kami melihatnya bahkan pada detik pertama ia terjatuh. Kerumunan warga semakin banyak. Namun semua tak dapat berbuat apa-apa. Kecuali kamu.

*****

“Hore!!! Ayo kita buat jam matahari!” teriakmu waktu itu. Kau letakkan sebuah batu di pinggir sungai lalu kau berjalan mundur di jalan setapak hingga bayangan kepalamu tepat menyundul batu itu. Lalu kau mulai menjengkalkan jarak bayangan dengan telapak kaki sambil berhitung “Satu, dua, tiga, empat, enam...”

“Lima, Pur!” potongku. Lalu kau dengan gugup mengulanginya lagi. Mengulangi semuanya. Mulai dari memindahkan batu (ini kau lakukan seolah ketika salah hitung maka batu itu sudah tak suci lagi pada posisi itu dan harus digeser) lalu mundur mengepaskan bayanganmu dan mulai berhitung lagi.

Aku selalu tak dapat menahan senyum, karena kau pasti akan melakukannya berkali-kali, entah terlewat menghitung pada angka lima, enam, tujuh dan seterusnya. Dan sepertinya pelajaran jam Matahari dari Bu Wanti membuatmu jadi suka dengan angka-angka, meskipun tak membuatmu jadi mau akrab dengan matematika.

Entahlah, apa yang ada di kepalamu sehingga kau mampu tersenyum saat teman-teman mengejekmu bodoh, goblok, si tinggal kelas dan sebagainya. Hingga kini aku masih bertanya-tanya kenapa kau tak begitu tertarik dengan matematika atau bahkan pelajaran-pelajaran sekolah lainnya. Dan jika mengingat-ingat itu semua aku akan jadi merasa bersalah karena tak membelamu saat teman-teman mengejek “Pur goblok karena ndak pernah pakai sepatu, otakknya kan di kaki! hahahaha...!”

Ah maafkan aku Pur.

*****

“Kamu kapan pulang ke Jakarta lagi.”

“Minggu sore Bu.”

“Lha kok cepet bener, Ibu kan masih kangen”

“Kan senin sudah kerja lagi.”

“Kamu ini udah jadi robot kantor, waktunya habis buat kerja, kapan cari jo..”

“Eh Bu, Pur apa kabarnya?”

“Ah kamu itu kalau diajak ngomong .”

Beberapa menit berikutnya (yang tak terasa menjadi berjam-jam) dengan berapi-api ibu menceritakan tentang kekagumannya terhadap Pur. Bagaimana segelitir dari pemuda-pemudi desa ini yang masih bertahan hidup mengabdi pada desa, sawah, ladang dan palawija. Sementara pemuda-pemudi yang lain lebih memilih hidup merantau sekadar menjadi buruh-buruh pabrik di kota-kota besar (tentu saja penjelasan ini sangat menyinggungku). Sementara warga desa yang bertahan pun telah menjual sawah-sawah mereka dan segera disulap jadi pabrik-pabrik tekstil yang pembuangan limbahnya digelontorkan begitu saja dan mencemari sungai.

Aku pun baru menyadari bahwa desa ini telah banyak terjadi bencana, mulai dari banjir bandang, serangan hama, hingga tanah longsor karena hutan jati dan pinus di hulu yang terus ditebangi, serta sawah ladang yang mulai beralih fungsi.

“Mau bawa oleh-oleh apa besok.”

“Telur asin Bu, ada?”

“Nah kalau kau mau beli, biar besok sore diantar Pur, soalnya dia yang biasa menjual telur bebeknya ke sana, barangkali nanti kamu dikasih murah kalau ke sananya sama Pur.”

“Baiklah bu besok sore aku akan menemui Pur, eh maksudku beli telur asin.”

*****

Dua menit. Seperti masih segar bunyi “byuuur!!” di telingaku saat Pur melompat masuk ke dalam arus sungai yang begitu deras karena terjangan banjir. Aku baru menyadari bahwa arus sebesar ini akan sangat sulit menyelamatkan Wono, bocah desa yang kami lihat sendiri terjatuh dari sepeda dan terperosok ke dalam sungai lalu terhanyut bersama keranjangnya yang penuh dengan hijau rumput.

Tiga menit. Kerumunan warga terbelah, seorang berpakaian coklat-coklat dengan memakai topi bulat berwarna krem mendekat ke arah sungai. Sepertinya dia kepala pabrik itu. “Tenang-tenang bapak ibu, saya sudah menelfon tim SAR, mereka akan datang lengkap dengan peralatan yang canggih!” katanya penuh pongah sambil tangan kanannya menjungjung tinggi telefon genggamnya sementara tangan kirinya berkacak pinggang. Namun begitu, warga menanggapinya dengan dingin.

Aku menatap arlojiku. Sudah empat menit, namun belum tampak tanda-tanda satu sosok pun yang muncul. Semua tampak tegang dan beberapa warga perempuan sudah ada yang mulai menangis.

Siapa yang mampu bertahan lebih lama lagi dalam arus sungai seperti sapi gila yang tengah mengamuk ini. Seketika aku lepaskan arlojiku lalu kutaruh di atas bebatuan di bibir sungai, ku pukul-pukul hingga pecah. Tapi waktu tak juga behenti apalagi bergerak mundur.

Aku berdiri lunglai, matahari senja memanjangkan bayangan gedung pabrik tekstil di atas permukaan sungai yang bergolak. Di bawah arusnya, mungkin sebuah jarum jam matahari telah patah.

Empat Menit Tiga Cinta

Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com


Tangan-tangan yang berpadu lembut dalam irama gending Jawa malam itu menggoda anganku untuk larut di dalamnya. Nada-nada diatonis terdengar membahana di setiap sudut aula berhias janur itu. Membius setiap raga yang terpana akan keindahannya. Setiap raga yang senantiasa menghargai karya leluhur bangsa.

Sebuah panggung berdiri megah dengan latar dekorasi yang indah. Sebuah singgasana para raja dan ratu semalam bertahta dengan bahagia di salah satu bagiannya. Empat mata tersenyum bahagia di hari bahagia itu. Gending-gending Jawa merasuk ke gendang telinga setiap tamu yang ada disana.

Di belakang panggung di sebuah kamar rias, seorang perempuan tengah dipercantik oleh seorang penata rias. Tak lama polesan-polesan tipis rata memenuhi wajah cantiknya. Perempuan itu adalah Nita, seorang penari Jawa profesional. Tak lama usai sudah prosesi itu. Nita dengan pakaian tari lengkap siap menghibur tamu yang hadir.

Gerakan gemulai Nita membius semua mata yang ada disana. Gerakan demi gerakan seperti menyatu dalam kesedihan Nita. Kesedihan yang disembunyikan dalam setiap senyuman manis dalam keterpaksaan. Rosa tahu itu karena dia bisa merasakannya. Tarian berdurasi empat menit itu usai sudah. Gemuruh tangan yang beradu menutup penampilan Nita. Nita segera melangkah kembali ke belakang panggung. Gerakan lembutnya seperti hilang begitu saja berganti dengan langkah tergesa.

"Ros, kita langsung pulang yuk," ajak Nita pada Rosa yang sedari tadi memperhatikan Nita dari belakang panggung.

Rosa segera bergegas merapikan perlengkapan kosmetiknya dan segera menyusul langkah Nita. Sambil mengangkat kainnya, Nita melangkah semakin cepat seirama dengan degup jantung Rosa. Degup jantung yang terus berdebar menyaksikan empat menit penampilan Nita.

"Sudahlah Nit. Toh semuanya sudah lewat," kata Rosa sambil menutup pintu mobilnya.

Mobil merah itupun melaju di jalanan kota yang mulus meninggalkan kesedihan Nita di aula itu. Hanya jejak rodanya yang tertinggal di halaman parkirnya bersama isak Nita.

Rosa berusaha menenangkan Nita yang masih saja terisak. Bulir air matanya melelehkan riasan di wajah sendunya. Kesedihan nampak benar di wajah Nita. Sama halnya dengan Rosa. Bedanya Rosa lebih pandai menyembunyikan perasaannya. Rosa lebih kuat karena ini bukan yang pertama baginya.

"Sudahlah Nit. Kan tadi cuma empat menit kamu tampil di hadapan Bowo," kata Rosa berhati-hati untuk menjaga perasaan sahabatnya.

"Memang sih Ros cuma empat menit. Tapi kamu tahu nggak kalau tadi itu rasanya seperti ratusan tahun aku tersiksa oleh perasaanku sendiri. Kamu bisa bayangin kan gimana rasanya aku menyaksikan orang yang kucintai bersanding di pelaminan dengan perempuan lain," kata Nita setengah terisak.

Rosa hanya terdiam dalam deru mobilnya. Suasana hening tiba-tiba hadir diantara keduanya. Tanpa sepatah kata keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Pikiran Nita masih terpaku pada sosok pria yang selama ini dicintainya. Tak beda dengan Rosa. Pikiran Rosa tertuju pada sosok pria yang sama, pria mantan kekasih Nita yang juga sangat dicintainya diam-diam.

"Ah seandainya kamu tahu perasaanku saat ini Nit," kata Rosa dalam hati. Rosa berusaha tersenyum tanpa tahu arti dari senyuman itu. Senyuman hambar dari seseorang yang terluka.

"Ros," kata Nita lirih membuyarkan lamunan Rosa.

"Ada apa Nit?" tanya Rosa lirih.

"Kamu tahu nggak, kenapa aku ambil job ini?" tanya Nita sambil melepaskan selendang dan atribut yang dipakainya.

"Emang apaan Nit?" tanya Rosa nyaris tanpa ekspresi.

"Aku hanya ingin melihat kebahagiaan Bowo, meskipun itu cuma empat menit. Empat menit itu sangat berarti bagiku, karena aku bisa melihat langsung kebahagiaan Bowo yang bersanding dengan perempuan pilihan orang tuanya. Itu sudah cukup bagiku," kata Nita sambil menyeka air mata di sudut matanya dengan selembar tisu.

"Itu juga alasanku Nit mau menemanimu malam ini," kata Rosa singkat.

Raut wajah Nita tiba-tiba berubah keheranan. Dia sempat ragu-ragu dengan pendengarannya. Keraguan atas jawaban teman karibnya yang tidak pernah dia duga.

"Maksudmu apa Ros?" tanya Nita.

Rosa tergugup karena tidak menyadari jawaban yang telah diucapkan akan menghadirkan tanya dalam diri Nita. Rosa berusaha mengumpulkan kekuatan hatinya yang larut dalam degup jantungnya. Rosa juga berusaha menemukan abjad demi abjad yang terserak di relung sukmanya.

"Nit, asal kamu tahu ya. Jujur saja, sebenarnya aku juga menderita selama empat menit penampilanmu tadi. Seandainya aku belum tanda tangan kontrak kerja, aku pasti takkan sanggup hadir disana," kata Rosa sambil meminggirkan mobilnya.

Tak terdengar lagi deru mobil itu bersama sepinya hati keduanya. Hening.

"Nit, mungkin saat ini adalah saat yang tepat bagiku untuk menceritakan padamu. Mungkin bagimu empat menit tadi itu serasa seratus tahun, tapi bagiku adalah siksaan batin selama seribu tahun," kata Rosa.

Rosa menghela napas panjang. Nita hanya bisa memandangi wajah Rosa dengan penuh keheranan.

"Jujur saat ini aku posisinya sama seperti kamu. Bedanya aku lebih bisa menerima kenyataan ini. Sebenarnya empat menit setelah Bowo memutuskanmu, dia langsung menyatakan cintanya padaku. Karena aku mencintainya, akupun menerimanya. Maafkan aku Nita," kata Rosa sengau dalam isak tangis.

"Jadi selama ini kita mencintai pria yang sama? Oh my God. Kenapa kamu nggak pernah cerita Ros?" kata Nita sambil mengguncang-guncang bahu Rosa.

Rosa hanya terdiam dalam guncangan. Hatinya seketika pecah bersama linangan air matanya. Nitapun tak jauh beda. Air mata mengalir dengan deras di pelukan Rosa.

"Aku hanya nggak ingin menyakitimu Nit. Tapi sudahlah toh semuanya sudah berlalu. Bowo sudah menjadi milik orang lain dan bukan milik salah satu dari kita, karena itu pasti akan lebih menyakitkan," jawab Rosa terbata-bata.

"Iya Ros. Bagi kita mungkin belum seberapa dibanding hati Bowo yang selama empat menit tadi terbagi menjadi tiga cinta. Semoga Bowo bahagia, karena itu adalah kebahagiaan kita," kata Nita tak kalah harunya.

Keduanya semakin erat berpelukan. Pelukan dua orang sahabat yang sama-sama merasa tersakiti oleh seorang pria yang sama. Mereka berbagi kesedihan dalam setiap derai air mata yang mengalir. Mengalir bersama hati yang mencoba menemukan makna sebuah keikhlasan dalam merelakan kepergian seseorang. Seseorang yang pernah memberikan cinta yang sama untuk mereka berdua.