Oleh: (Millaty Ismail)
Semua mahluk di dunia ini pasti sudah tahu sekali dengan cerita Adam dan Hawa. Adam, manusia pertama yang diciptakan Tuhan, merasa kesepian lalu diciptakanlah seorang pendamping yang bernama Hawa. Mungkin memang Tuhan mau menciptakan manusia berpasang-pasangan supaya tidak kesepian.
Lalu Hawa digoda setan selanjutnya dia menggoda Adam untuk memakan buah terlarang dan akhirnya mereka terusir dari surga yang menurut cerita sangat indah juga menyenangkan. Mengapa diusir? Mengapa tidak tinggal saja di surga? Mungkin Tuhan punya skenario yang menarik. Baiklah, saya mengerti.
Kemudian cucu, cicit, serta keturunan Adam dan Hawa beranak pinak sampai sekarang. Tapi mengapa mereka harus terpecah menjadi bangsa yang berbeda dari mulai hunian di dunia, tampilan fisik, bahasa dan juga agama? Mungkin Tuhan ingin membuat seru hidup di dunia. Nyatanya memang seru sekaligus ribet dan yang lebih memusingkan lagi ketika jatuh cinta dengan pria yang berbeda agama karena Adam dan Hawa tidak ada masalah beda agama.
Siapakah yang harus dipilih? Tuhan di berada di atas sana, tak pernah terjangkau atau keturunan Adam dan Hawa yang secara nyata berbeda?
*****
Di usia 35 tahun, saat bertemu teman reuni pasti ada saja yang menanyakan, “Mana suamimu?” Atau “Kok belum menikah juga?” Saya berusaha menjawab, “Mungkin jodoh saya belum dilahirkan.” Atau “Mungkin jodoh saya kecelakaan lalu meninggal dan Tuhan belum sempat mencarikan penggantinya soalnya urusan Tuhan banyak sekali.” Atau “Mungkin kamu memilih?’ Jawaban saya selalu dibalik oleh beberapa orang yang tidak mengerti begitu sulitnya mencari pendamping hidup
Yah mereka memang tidak mengerti. Beberapa kali saya jatuh cinta dengan seorang pria bule. Mereka pun jatuh cinta pada saya, menurut pengakuannya. Awalnya hubungan berjalan indah tapi pasti akan berakhir dengan kesedihan. Menurut mereka, “Sebuah hubungan harus diawali dengan kumpul bersama untuk saling mengenal kepribadian masing-masing.” Tapi menurut saya, “Hubungan sebaiknya diawali dengan perkawinan yang sah.”
Mengapa, Tuhan selalu mempertemukan saya dengan lali-laki yang berbeda prinsip setelah saya mendekati Tuhan? Mengapa harus ada perbedaan jika semua manusia adalah keturunan Adam dan Hawa? Mungkin Tuhan selalu mencari perhatian terhadap umatnya.
Atau Mungkin Tuhan ingin menguji kesabaran saya!
Kesabaran? Mungkin ini kata yang paling digemari di langit sana.
Jadi sekali lagi siapakah yang harus dipilih?
*****
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Kemungkinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kemungkinan. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 Oktober 2011
Harga Mati
Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)
Dengan puluhan rumus yang terpatri di benakku, dapatkah aku menghitung peluang kebersamaan kita?
“Ran, udah makan belum? Temenin makan yuk, laper nih!” ajak Faisal tanpa basa-basi.
Dengan senyum sumringah yang seketika menghiasi wajahnya, Kirana mengangguk cepat. Sontak bangun dari duduknya. “Boleh, mau makan dimana?”
“Kantin aja, yuk.”
Kirana tersenyum lagi, kali ini berjalan mengikuti Faisal yang sudah ngeloyor duluan. Mereka berhenti di depan tukang soto dan memesan seporsi untuk masing-masing. Kirana mengulum senyum malu. Faisal mengajaknya makan bersama! Berapa persen kemungkinan cowok itu suka padanya?
“Malem minggu mau kemana Ran?” Faisal bertanya di sela aktivitas makannya.
“Hm...” Kirana mendadak salah tingkah. Mungkinkah Faisal akan mengajaknya malam mingguan? “Engga kemana-kemana kayaknya, kenapa emang?”
Faisal angkat bahu. “Nggak apa-apa, kirain mau malem mingguan kemana,” jawabnya sambil nyngir.
“Paling juga mau kerjain tugas, nyicil supaya pas Minggu nggak terlalu capek.”
“Rajin banget dasar, emang lo mau kuliah apa sih, Ran? Kedokteran ya?”
Kirana tersenyum spontan. Faisal tahu cita-citanya padahal ia bukan termasuk orang yang senang gembar-gembor perihal masa depan. Tidak seperti Anida, teman sekelas mereka, yang sepertinya seantero sekolah sudah tahu mengenai cita-citanya sebagai penyanyi. Pertanyaannya: apakah mungkin Faisal juga ada hati pada Kirana?
“Iya Sal, mau banget jadi dokter! Kok tau sih?” tanya Kirana penuh selidik.
Faisal meneguk teh panasnya sebelum menjawab. “Tau dong, mau jadi dokter kulit kan?”
Lagi-lagi, sebuah fakta tersembunyi mengenai dirinya yang diketahui pemuda ini. “Iya, mau ambil spesialis kulit dan kecantikan,” jawabnya kalem.
“Pasti bisa Ran, lo kan pinter, rajin, dan konsisten. Apalagi nilai lo di sekolah bagus terus, udah gitu lo sering ikut lomba, pasti banyak piala dan sertifikat.”
Dipuji seperti itu oleh cowok yang disukainya, wajah Kirana merona merah. Ia mencoba tertawa untuk menutupi rasa malunya. Lagi-lagi pernyataan itu menyeruak ke permukaan, mungkinkah Faisal merasakan hal yang sama dengan Kirana? Mungkinkah sebentuk perhatian dari pemuda ini dapat meningkatkan peluang kebersamaan mereka menjadi lebih dari 50%? Atau malah sampai 75%?
“Ah, lo bisa aja Sal, tapi Amin deh.”
Faisal tertawa pelan. “Amin gitu Ran, orang yang sungguh-sungguh pasti sukses kok.”
Kirana tersenyum sungguh-sungguh. Sejak tadi ia penasaran ingin melontarkan pertanyaan yang sama. “Lo sendiri malem minggu mau kemana?” tanyanya dengan intonasi sedatar mungkin.
“Nina minta ditemenin ke toko buku, gue sih iya aja mumpung nganggur. Bosen juga di rumah, ade gue si Ila pasti diapelin cowoknya.”
Glek! Kirana menelan ludah. Faisal mau malam mingguan sama Nina? Mungkinkah Faisal juga menyukai Nina? Tapi, itu Nina yang mengajak. Sedangkan mereka sekarang, Faisal yang mengajak. Mungkinkah yang disukai Faisal adalah Kirana?
Gadis itu tersenyum hambar seraya mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetnya. Melihat itu, Faisal menggeleng cepat. “Gue yang bayar aja, Ran,” potongnya cepat kemudian mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu ke abang tukang soto.
Kirana berdiri duluan lalu ngeloyor pergi begitu saja tanpa menunggu Faisal. Mood-nya sudah keburu jelek. Mau ditraktir atau tidak, sepertinya kemungkinan Faisal menyukai dirinya atau tidak akan tetap berada pada rasio yang sama. Harga mati yang sama.
Lima puluh banding lima puluh.
***
Dengan puluhan rumus yang terpatri di benakku, dapatkah aku menghitung peluang kebersamaan kita?
“Ran, udah makan belum? Temenin makan yuk, laper nih!” ajak Faisal tanpa basa-basi.
Dengan senyum sumringah yang seketika menghiasi wajahnya, Kirana mengangguk cepat. Sontak bangun dari duduknya. “Boleh, mau makan dimana?”
“Kantin aja, yuk.”
Kirana tersenyum lagi, kali ini berjalan mengikuti Faisal yang sudah ngeloyor duluan. Mereka berhenti di depan tukang soto dan memesan seporsi untuk masing-masing. Kirana mengulum senyum malu. Faisal mengajaknya makan bersama! Berapa persen kemungkinan cowok itu suka padanya?
“Malem minggu mau kemana Ran?” Faisal bertanya di sela aktivitas makannya.
“Hm...” Kirana mendadak salah tingkah. Mungkinkah Faisal akan mengajaknya malam mingguan? “Engga kemana-kemana kayaknya, kenapa emang?”
Faisal angkat bahu. “Nggak apa-apa, kirain mau malem mingguan kemana,” jawabnya sambil nyngir.
“Paling juga mau kerjain tugas, nyicil supaya pas Minggu nggak terlalu capek.”
“Rajin banget dasar, emang lo mau kuliah apa sih, Ran? Kedokteran ya?”
Kirana tersenyum spontan. Faisal tahu cita-citanya padahal ia bukan termasuk orang yang senang gembar-gembor perihal masa depan. Tidak seperti Anida, teman sekelas mereka, yang sepertinya seantero sekolah sudah tahu mengenai cita-citanya sebagai penyanyi. Pertanyaannya: apakah mungkin Faisal juga ada hati pada Kirana?
“Iya Sal, mau banget jadi dokter! Kok tau sih?” tanya Kirana penuh selidik.
Faisal meneguk teh panasnya sebelum menjawab. “Tau dong, mau jadi dokter kulit kan?”
Lagi-lagi, sebuah fakta tersembunyi mengenai dirinya yang diketahui pemuda ini. “Iya, mau ambil spesialis kulit dan kecantikan,” jawabnya kalem.
“Pasti bisa Ran, lo kan pinter, rajin, dan konsisten. Apalagi nilai lo di sekolah bagus terus, udah gitu lo sering ikut lomba, pasti banyak piala dan sertifikat.”
Dipuji seperti itu oleh cowok yang disukainya, wajah Kirana merona merah. Ia mencoba tertawa untuk menutupi rasa malunya. Lagi-lagi pernyataan itu menyeruak ke permukaan, mungkinkah Faisal merasakan hal yang sama dengan Kirana? Mungkinkah sebentuk perhatian dari pemuda ini dapat meningkatkan peluang kebersamaan mereka menjadi lebih dari 50%? Atau malah sampai 75%?
“Ah, lo bisa aja Sal, tapi Amin deh.”
Faisal tertawa pelan. “Amin gitu Ran, orang yang sungguh-sungguh pasti sukses kok.”
Kirana tersenyum sungguh-sungguh. Sejak tadi ia penasaran ingin melontarkan pertanyaan yang sama. “Lo sendiri malem minggu mau kemana?” tanyanya dengan intonasi sedatar mungkin.
“Nina minta ditemenin ke toko buku, gue sih iya aja mumpung nganggur. Bosen juga di rumah, ade gue si Ila pasti diapelin cowoknya.”
Glek! Kirana menelan ludah. Faisal mau malam mingguan sama Nina? Mungkinkah Faisal juga menyukai Nina? Tapi, itu Nina yang mengajak. Sedangkan mereka sekarang, Faisal yang mengajak. Mungkinkah yang disukai Faisal adalah Kirana?
Gadis itu tersenyum hambar seraya mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetnya. Melihat itu, Faisal menggeleng cepat. “Gue yang bayar aja, Ran,” potongnya cepat kemudian mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu ke abang tukang soto.
Kirana berdiri duluan lalu ngeloyor pergi begitu saja tanpa menunggu Faisal. Mood-nya sudah keburu jelek. Mau ditraktir atau tidak, sepertinya kemungkinan Faisal menyukai dirinya atau tidak akan tetap berada pada rasio yang sama. Harga mati yang sama.
Lima puluh banding lima puluh.
***
Jika dan Mungkin
Oleh: (@missSaori)
Malam ini aku duduk di kamar berteman dengan televisi dan laptop. Kini aku sendiri, tak ada lagi Sabtu malam bersama teman-teman yang biasa berkumpul bersama di warung kopi langganan, sekedar main poker atau sharing seputar permasalahan masing-masing. Tak ada lagi kekasih yang pundaknya bisa dijadikan sandaran dibawah langit malam yang penuh bintang. Tak ada lagi Ibu yang membuatkan camilan untuk bermalam minggu sekeluarga. Semua itu kini tak ada lagi di tiiap Sabtu malamku. Mungkin semua karena kini aku telah berada jauh dari mereka. Mereka di Yogyakarta, dan aku di Ibukota. Jika aku tak diterima bekerja di Jakarta, aku masih bisa merasakan itu semua. Tapi Tuhan mahaadil, karena jika aku masih berada di kondisi yang sama, mungkin saat ini aku tidak akan mendapatkan kemajuan yang berarti.
Jika aku masih di Yogyakarta, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang reporter di sebuah perusahaan media ternama. Aku tidak akan pernah duduk di meja sambil memasang earphone di telinga, mengetik hasil wawancara dengan orang-orang ternama. Aku tidak akan pernah menikmati makanan serba mewah di restoran baru dengan gratis. Aku tidak akan pernah bisa menonton konser artis internasional dengan cuma-cuma. Dan yang paling penting adalah, ilmu jurnalistik yang selama ini aku idam-idamkan tidak akan bertambah, bahkan mungkin semakin pudar karena tak terlatih.
Satu hal yang aku pelajari dari adanya kata 'jika' dan 'mungkin' dari kehidupan ini adalah selalu ada kemungkinan jika kita mau mengorbankan kemungkinan yang lain. Untuk kalian, 'jika' dan 'mungkin' yang selalu ada, aku ucapkan terimakasih telah masuk dan mewarnai kehidupanku.
Atas nama 'jika' dan 'mungkin',
Malam ini aku duduk di kamar berteman dengan televisi dan laptop. Kini aku sendiri, tak ada lagi Sabtu malam bersama teman-teman yang biasa berkumpul bersama di warung kopi langganan, sekedar main poker atau sharing seputar permasalahan masing-masing. Tak ada lagi kekasih yang pundaknya bisa dijadikan sandaran dibawah langit malam yang penuh bintang. Tak ada lagi Ibu yang membuatkan camilan untuk bermalam minggu sekeluarga. Semua itu kini tak ada lagi di tiiap Sabtu malamku. Mungkin semua karena kini aku telah berada jauh dari mereka. Mereka di Yogyakarta, dan aku di Ibukota. Jika aku tak diterima bekerja di Jakarta, aku masih bisa merasakan itu semua. Tapi Tuhan mahaadil, karena jika aku masih berada di kondisi yang sama, mungkin saat ini aku tidak akan mendapatkan kemajuan yang berarti.
Jika aku masih di Yogyakarta, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang reporter di sebuah perusahaan media ternama. Aku tidak akan pernah duduk di meja sambil memasang earphone di telinga, mengetik hasil wawancara dengan orang-orang ternama. Aku tidak akan pernah menikmati makanan serba mewah di restoran baru dengan gratis. Aku tidak akan pernah bisa menonton konser artis internasional dengan cuma-cuma. Dan yang paling penting adalah, ilmu jurnalistik yang selama ini aku idam-idamkan tidak akan bertambah, bahkan mungkin semakin pudar karena tak terlatih.
Satu hal yang aku pelajari dari adanya kata 'jika' dan 'mungkin' dari kehidupan ini adalah selalu ada kemungkinan jika kita mau mengorbankan kemungkinan yang lain. Untuk kalian, 'jika' dan 'mungkin' yang selalu ada, aku ucapkan terimakasih telah masuk dan mewarnai kehidupanku.
Atas nama 'jika' dan 'mungkin',
Langganan:
Postingan (Atom)