Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label rambut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rambut. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 September 2011

Rambut Binar

Oleh @ydiwidya
widyarifianti.tumblr.com

Namanya Rama, seorang biasa yang menyukai perempuan yang luar biasa cantiknya, Binar. Rambut Binar merupakan salah satu faktor penunjang kecantikannya. Setiap Binar berjalan di koridor sekolahnya, kemilau rambut legamnya merasuk ke setiap sanubari pemandangnya. Penggemar Binar di sekolahannya pun tak terbatas pada kaum adam. Para gadis yang sedang sibuk mencari jati diri pun saban hari mendatangi Binar. Menanyakan apa sih rahasia kecantikan Binar?
Binar pun hanya tersipu sambil menjawab, “Setiap perempuan itu cantik. Mereka punya daya tariknya tersendiri, tinggal dimaksimalkan…”
Ya, Binar memang bijak. Hal itulah yang membuat Rama jatuh hati padanya. Hati Binar selembut rambutnya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada Binar. Maka dengan segenap daya yang Rama punya, Rama memutuskan untuk melamar Binar setelah mereka lulus SMA. Kesempatan yang terlalu berani sepertinya, tapi Binar menyukainya. Di saat lelaki lain memujanya sampai setengah gila. Rama datang kepadanya menyuguhkan komitmen. Dan Binar hanya bisa menjawab Ya, ketika Rama melamarnya.
Binar dan rambut indahnya tak berhenti menjadi legenda di SMA mereka. Bahkan nama Rama pun ikut melegenda karena berhasil mempersunting Binar di usia muda. Kecantikan dan kepiawaian Binar menjaga kehormatannya pun menepis anggapan miring yang melanda setiap orang yang menikah muda. Tak berhenti disitu, rahasia keindahan rambut Binar pun ikut melegenda. Bahwa keindahan rambutnya adalah konsekuensi dari rutinitasnya berkeramas dengan sabun batangan setiap dua hari sekali. Awalnya Rama tak percaya dengan hal itu. Rama menyangka Binar hanya berkelakar untuk membuat para ‘penggemarnya’ semakin penasaran. Namun, ketika melihat tumpukan sabun batangan yang tersusun rapi di kamar mandi rumah mereka, Rama seketika langsung percaya.
Menanggapi hal itu, Rama langsung membelikan Binar shampoo berbotol-botol untuk menutrisi rambut panjang Binar setiap harinya. Binar pun menuruti kehendak suaminya itu. Namun, hasilnya jauh dari yang diharapkan. Rambut Binar rontok. Rama pun memberikan botol-botol shampoo Binar kepada orang yang membutuhkan dan menggantikan dengan berbatang-batang sabun yang dulu biasa Binar pakai.
“Apakah kamu tetap mencintai aku kalau rambutku sudah tidak indah lagi?” tanya Binar suatu ketika. Tangan Binar sibuk mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk kala itu.
“Saya tetap mencintai kamu. Bahkan jika kulit putihmu sudah menghitam dan rambut hitammu sudah memutih…” jawab Rama sambil berpaling dari pekerjaannya di laptop. Binar tersenyum sambil membelai rambut ijuk Rama.
Kebiasaan Binar berkeramas dengan dua sabun batangan per dua hari sekali masih berlanjut sampai sekarang. Dan Rama pun tidak pernah lupa untuk membelikan Binar bertumpuk-tumpuk sabun setiap dua minggu sekali. Namun kini, ada satu kebutuhan Binar bertambah. Kini Binar rajin berganti-ganti sikat gigi. Awalnya frekuensi Binar berganti-ganti sikat gigi hanya seminggu sekali. Rama pun memaklumi hal itu. Tapi kini…
“Darimana saja kamu?” tanya Rama ketika menjumpai Binar baru pulang dari warung. Koran yang belum tuntas dibacanya, langsung Rama lempar ke sofa terdekat.
“Beli sikat gigi,” ucap Binar singkat.
“Beli sikat gigi? Untuk apa?” tanya Rama heran.
“Ya untuk sikat gigi lah…untuk apa lagi?” Binar balik bertanya.
“Apa yang kamu sembunyikan, Binar?” tanya Rama. Perlahan digenggamnya tangan Binar. Binar tak menjawab, hanya menangis.
Semakin Rama bertanya, Binar semakin mengunci mulutnya. Hubungan mereka yang awalnya erat kini terpisahkan oleh jurang rahasia. Hanya keterbukaan yang bisa mempersatukan mereka kembali dan hal itu hanyalah isapan jempol bagi mereka. Rama tak sempat tahu rahasia Binar dan Binar pun tak sempat bercerita pada Rama sebelum Binar pergi dari sisi Rama. Mungkin karena Binar sudah jengah dengan pertanyaan Rama, pikir Rama.
Namun, kepergian Binar menyisakan tanda tanya besar di benak Rama. Rama pun bertekad untuk mencari tahu rahasia Binar sendiri. Dari helai-helai rambut Binar yang rontok…dan dari tempat sampah Binar yang penuh sikat gigi berdarah.
Rama menangis, ia menciumi helaian rambut Binar yang jatuh ke lantai. Hari ini sudah tepat setahun lamanya sejak kepergian Binar dari sisinya. Binar kabur tanpa sempat menitipkan sekalimat alamat pada salah satu kerabat yang dipercayanya sekalipun.
Rama pun hanya bisa berdoa sambil terus mencari. Helai demi helai rambut Binar ia kumpulkan dalam satu stoples. Peninggalan yang tak sengaja Binar berikan. Hal yang dapat mengobati rindu Rama pada Binar selain memori tentang kebersamaannya dengan Binar.
Sudah genap dua tahun Binar meninggalkan Rama. Dua tahun yang menggenapkan pencarian Rama akan Binar. Pada suatu malam, Binar menelpon adiknya dan adiknya memberitahu Rama tentang keberadaan Binar saat ini.
Binar masih ada.
Rama tersenyum. Ia sangat bersemangat menyambut cintanya yang sempat menghilang. Tak sia-sia ia menjaga hatinya dua tahun belakangan ini. Namun, semangat yang dimiliki Rama seolah tak bersisa lagi ketika melihat Binar terbaring lemah di rumah sakit. Alat-alat kemoterapi melilit tubuhnya. Lagi-lagi…Rama menangis.
“Untuk apa kamu datang kesini?” tanya Binar lirih.
“Untuk kamu…” jawab Rama.
“Untuk aku?”
“Kenapa kamu nggak bilang?!” teriak Rama menghakimi.
“Percuma…aku malah akan semakin menambah beban kamu,” ucap Binar.
“Kamu nggak percaya sama saya? Saya tetap sayang kamu apapun yang terjadi!”
“Hahaha…” Binar tertawa kecil akan pengakuan Rama. “Dulu kamu bilang...kamu akan tetap mencintaiku. Dari rambutku masih hitam bahkan sampai rambutku memutih…” kenang Binar.
Rama mengangguk.
“Rambutku bahkan belum sempat memutih, Ram…tidak akan sempat…” ucap Binar. Rama tersedu sambil mengelusi kepala Binar yang licin.
“Kamu tetap kamu yang saya sayang…tanpa rambutmu sekalipun. Rambutmu itu kepunyaan Tuhan, justru saya yang salah karena tidak bisa terus menjaga kamu dan rambut kamu…” Rama masih tersedu. Ia menyesali karena ia absen menjaga Binar.
“Ada dimana saya ketika helaian rambut kamu rontok? Ada dimana saya ketika rambutmu dihabisi kanker?!” sesal Rama.
“Sudahlah…seperti yang kamu bilang, rambutku ini kepunyaan Tuhan. Kita hanya harus…mengikhlaskannya…” ucap Binar terlihat tabah. Ketabahan yang membuat Rama iri.
“Saya ingin menebus ketidakberadaan saya dulu…Saya ingin merawat kamu, Saya ingin menumbuhkan rambutmu lagi…” ucap Rama.
“Nanti saja…” sahut Binar.
“Kenapa nanti?”
“Ram…kamu bilang rambutku ini kepunyaan Tuhan kan?” bukannya menjawab, Binar malah bertanya. Napasnya semakin berat, seperti ada yang mencekiknya. Rama mengangguk lesu menjawab pertanyaan Binar.
“Aku juga…kepunyaan Tuhan. “ Binar tersenyum.
Senyum yang membuat Binar terlihat cantik, meskipun tanpa rambutnya. Senyum yang membuat Binar tetap ‘hidup’…sekalipun hanya di hati Rama.
Ya, tak ada yang abadi. Termasuk rambut Binar, juga Binar…

Realita

Oleh: alfiusidha​rtaputra


Rambutku tidak bisa tumbuh lagi?! Mataku terbelalak. Aku sedikit protes kepada dokter yang memeriksaku. Aku pikir dia bercanda. Dia bilang aku terkena penyakit, dimana semua rambut yang ada di tubuhku tidak bisa tumbuh lagi. Tidak pernah sekalipun aku mendengar tentang penyakit ini. Bahkan dokter tidak tahu nama penyakit ini dan apa penyebabnya. Dia hanya memberi surat rujukan kepadaku. Ini kasus yang sangat langka. Aneh.

Sudah dua bulan aku merasakan kulitku panas sekali seperti terbakar. Tidak setiap saat, sih. Tapi jika sedang kambuh, sangat parah. Padahal ruang kelas di kampusku ber-AC, begitu pun dengan kamar kos-ku. Tidak jarang aku menangis menahan rasa panas. Sampai-sampai teman sekelasku mengantar aku pulang ketika kelas sedang berlangsung.

Dokter menanyakan apa rambutku sering rontok. Tidak. Dia menanyakan hal itu lebih dari tiga kali. Dokter saja tidak percaya, apalagi pasiennya. Hanya rasa panas saja yang terasa jika rambutku sedikit tertarik. Pernah suatu kali keponakanku tidak sengaja menjambak rambutku karena dia terjatuh. Dia jadikan rambutku sebagai pegangan. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya. Aku menangis. Keponakanku juga. Dia menangis karena teriakanku. Aku kaget. Dia juga. Rasanya seperti disiram air keras. Panas, sakit, perih. Ah, tidak karuan.

Aku jadi ingat, apa ini ada hubungannya dengan perawatan kulit yang aku jalani? Aku memang ketergantungan dengan laser sebagai pengobatan untuk jerawat di wajahku. Maklum, aku harus selalu terlihat sempurna semenjak aku bergabung dengan suatu kelas modeling. Tidak wajib. Aku yang mau. Penampilan sangat diutamakan di sana. Apakah ini penyebabnya? Tetap saja, dokter tidak berani menduga-duga. Tapi apa yang dikatakan dokter tidak cukup membuatku galau. Aku tenang-tenang saja. Aku suka dengan penampilanku sekarang. Tidak perlu repot-repot lagi pergi ke salon untuk merapikan rambut yang tumbuh tak beraturan.

Pikiranku yang kemana-mana itu membuatku lupa sejenak, bahwa aku terkena penyakit aneh. Aku hanya menceritakan penyakitku ini pada Rose. Temanku dari kecil.

"Serius kamu, Ta?"

"Serius! Dokter sendiri yang bilang. Seminggu lebih dia melakukan pemeriksaan padaku. Makanya aku jarang masuk kelas selama seminggu kebelakang," aku menjelaskan kepada Rose.

Rose sedikit tidak percaya.

"Kata dokter apa nama penyakitnya?"

"Nah itu dia. Dokter aja tidak tahu."

"Ya ampun. Lalu kapan kamu akan check up lagi?"

"Entahlah. Aku merasa saat ini baik-baik saja. Toh kalau pun aku periksakan lagi, apa ada obat untuk menyembuhkannya? Ini kan penyakit langka." aku membalikkan badan. Kini aku bisa melihat mainan bintang yang tertempel di atap kamarku.

"Hey Lita, dengar. Apa kamu tidak malu dengan penampilanmu sekarang?" Rose menutup majalah yang ia baca. Terlihat wajah Rose sedikit gereget. Mungkin karena sikapku yang cuek.

"Memang apa yang salah dengan penampilanku sekarang?" jawabku.

"Apa yang salah?! Bercerminlah Lita! Tak sehelai pun rambut ada di kepalamu! Orang-orang pasti akan memandangmu sebagai wanita yang aneh!"

"Aduh, Rose. Kamu engga pernah lihat-lihat majalah ya?"

Rose sedikit menggeser majalah yang tadi dibacanya. Aku melanjutkan.

"Kamu tidak tahu ya? Model-model di luar negeri, banyak sekali yang kepalanya botak! Dan mereka terlihat percaya diri, karena memang penampilannya unik, dan terlihat berbeda dari model-model yang lain." aku tersenyum. Aku bisa melihat model-model tak berambut di atap kamarku. Berjalan mengelilingi mainan bintang, dengan percaya diri yang amat sangat. Sebelum Rose membuyarkan semuanya.

"Unik?! Unik apanya! Geli melihatnya. Mereka kan sudah profesional. Memang itu pekerjaanya. Nah, kalau kamu? Lulus saja belum. Bagaimana kalau ternyata kamu tidak jadi model? Kamu harus sembuh Realita!"

"Sembuh dari apa?"

"Dari cara pikirmu yang gila. Ya dari penyakitmu!"

"Hahaha," aku menertawakannya. Rose memang sangat perhatian padaku. Tapi kami sering berdebat karena pendapat kami bertentangan.

"Kamu tenang saja Rose, aku akan baik-baik saja. Aku pasti menjadi seorang model profesional. Lagian aku kan ikut kelas modeling. Aku tinggi. Cantik. Tubuhku proporsional, " aku tidak mau mengalah dalam pembicaraan kali ini.

Rose diam. Aku menang. Oh, belum. Dia melanjutkan.

"Ya aku tahu. Tapi bagaimana dengan kesehatanmu?"

Aku hanya mengacungkan kedua jempolku. Bahkan yang di kaki pun ku angkat. Aku menang.

Ini kali pertamaku memotong habis semua rambut di kepalaku. Sehari sebelum dokter mem-vonis bahwa mahkota di atas kepalaku tidak akan pernah tumbuh lagi. Aku memang sangat terobsesi dengan model-model dari luar. Khususnya yang tidak berambut. Mereka punya keunikan sendiri. Begitu pun denganku. Aku punya penyakit yang unik. Apa? Penyakit? Lagi-lagi aku lupa. Menurutku ini penyakit yang tidak penting. Kalau tidak bisa tumbuh, ya sudah. Mau apa lagi? Menyebabkan kematian? Tidak. Aku meyakinkan diriku, walau sebenarnya aku tidak tahu apapun.

Di sekolah modeling, aku terbilang sangat cepat berkembang. Aku sering mengikuti berbagai acara. Memang acaranya kecil. Hanya di mall-mall. Tapi sedikit banyaknya, itu bisa lebih menumbuhkan rasa percaya diri.

Pada suatu acara di satu mall, aku menjadi model yang keluar terakhir, karena kostum yang kupakai sedikit lebih heboh dari model-model yang lain. Dan kali ini berbeda. Aku menggunakan wig! Guruku bilang tidak cocok dengan kostum kalau aku berpenampilan seperti biasanya. Selesai acara, aku langsung ke back stage. Belum sempat aku masuk, seorang pria menghampiriku. Tinggi, putih, bersih. Sepertinya dia dikirim oleh Tuhan untuk mendampingiku. Mengisi kekosonganku selama ini. Ah, menghayal lagi.

"Hai," suaranya lembut, tapi tidak kemayu.

"Ya? Siapa ya?"

"Aku Alex, aku lihat penampilanmu barusan. Mengagumkan sekali," dia melempar senyuman kepadaku. Aku hanya menatapnya. Aku tak sadar bahwa dia menungguku menyambut tangannya yang dari tadi mengajakku bersalaman.

"Oh. Ya. Terima kasih," entah mengapa aku menjadi terbata-bata.

"Saya Alex," lagi-lagi dia tersenyum. Tanganku masih dalam genggamannya.

"Oh. Ya." Lita! Sadarlah!

"Mm., sorry. Aku Lita. Realita."

"Bagus juga namanya."

"Iya, hahahaha." Ya tuhan. Nada tertawaku garing sekali.

"Kalau tidak ada acara lagi, mau ikut makan siang?"

"Tidak, kok. Tidak ada. Kebetulan aku juga mau cari makan siang."

"Wah kebetulan, kita bareng aja."

"Boleh. Kalau gitu aku ganti baju dulu ya?"

Mimpi apa aku semalam. Tiba-tiba saja pria tampan mengajakku makan siang. Memang dia orang asing. Tapi aku yakin dia orang baik. Aku hanya berganti pakaian. Sisa-sisa make-up sengaja tidak aku bersihkan. Aku ingin segera makan siang. Dia masih menungguku di luar back stage. Aku menghampirinya.

"Ayo. Mau makan dimana kita?" dia terkejut melihat wajahku masih penuh dengan make-up.

"Kita ke foodcourt aja, disana banyak makanan."

"Ayo."

"Engga cuci muka dulu?"

"Hahaha, gausah, cuek aja lagi."

"Hahaha." Alex tertawa melihat ekspresi wajahku.

Kami makan berhadapan. Dia banyak bertanya. Banyak juga cerita. Ternyata kami seumuran, hanya beda beberapa bulan. Memang seperti sinetron. Bertemu dengan orang asing, makan bareng, tukar cerita, kemudian akrab. Tapi aku mengalaminya sendiri. Di luar dugaan. Sampai satu pertanyaan Alex membuat jantungku berhenti berdetak.

"Lita, apa itu asli?" dia menunjuk rambutku.

"Ini? Hahaha. Kamu ngomong apa sih." aku tidak mengindahkan pertanyaannya.

"Aku lihat penampilan pertamamu, kok." dia tersenyum padaku.

"Pertama? Yang mana?"

"Ya, pertama kali kamu tampil. Kamu lebih cantik tanpa wig itu."

Aku terdiam. Ternyata Alex sudah memperhatikanku dari awal. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia selalu hadir setiap aku tampil. Di mana pun itu. Alex tahu kalau aku tidak berambut. Tapi dia tidak tahu, kalau kepala ini, bahkan tubuhku, tidak akan pernah ditumbuhi rambut lagi.

Dia suka dengan penampilanku. Kalau begitu, apa lagi yang menghalangi kami. Bertahun-tahun sudah aku bersama Alex. Ya, seminggu setelah makan siang itu kami berpacaran. Sampai hari ini. Dan mulai saat itu, aku suka memakai wig menghindari agar Alex tidak malu ketika jalan berdua denganku. Tanpa disadari, wig kepunyaanku mulai memenuhi kamarku. Aku seperti mengoleksi wig, mulai dari yang panjang, sampai yang pendek.

***

Satu bulan lagi aku akan menikah dengan Alex. Alex belum tahu juga mengenai penyakitku. Aku juga sudah tidak pernah memeriksakan ke dokter. Aku merasa keadaanku baik-baik saja.

***

Tiga bulan setelah menikah, aku sering merasakan sakit kepala yang amat sangat. Aku tidak menghiraukannya. Sampai aku hamil, dan sejak aku melahirkan anak pertamaku dari Alex, semua kulitku menjadi bersisik seperti ikan. Untungnya Kintan, anak pertama kami baik-baik saja. Ketika Kintan berumur satu tahun, aku harus pergi meninggalkan suami dan yang pasti Kintan untuk selamanya. Tapi aku tetap bisa melihat mereka berdua berkembang bersama. Sampai akhirnya Kintan bisa berkomunikasi dengan Alex. Kintan selalu bilang, bahwa dia sering melihat wajahku setiap dia melihat boneka tempat aku menyimpan wig. Ya, itu memang mama, Kintan.

Kamu Tetap Indah

Oleh: Landina Amsayna
Twitter: @LandinaAmsayna

Aku masih terpaku di depan cermin. Ah! Perawatan rambut di salon itu memang benar-benar hebat. Rambut panjang ikalku dibuat rapi bergelombang. Juga serangkaian creambath dan lain-lain, membuatnya halus dan jatuh. Tak henti-hentinya aku membelai rambutku sendiri, kagum.
Handphone di atas kasurku berdering. Terlihat nama Revand Saputra di layar.
"Hallo, Rev." Sapaku memulai.
"Kebiasaan ya, ngga ada romantisnya sama sekali."
"Haha... Kayak nggak tau aku aja deh kamu."
"Hehe.. Iya, iya. Eh, besok kita jalan, yuk."
"Jangan besok, sayang. Aku harus ke toko buku, cari materi tambahan buat ulangan."
"Dasar anak pintar. Ya udah, besok aku temenin, ya."
"Oke, deh! Thanks, dear."
"Sip! See ya..."
Klik. Telfon ditutup.
Aku membaringkan tubuhku di kasur. Aku merasakan sakit tiba-tiba di dadaku. Aku memang biasa merasakan sakit di dada, namun sepertinya kali ini berbeda. Sakitnya lebih menusuk tajam. Aku terbatuk-batuk. Aku merasa ada yang keluar dari tenggorokanku. Perlahan kulihat telapak tanganku. Ah, ada darah lagi di sana. Segera aku membersihkannya sebelum terlihat oleh ibuku.
Ini ketiga kalinya aku mendapati batukku mengeluarkan darah. Dulu, sakitku tidak separah ini, walau memang aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasakan sakitku memburuk. Sepertinya aku harus memberitahukannya pada ibu. Namun aku tak begitu punya keberanian, aku takut melihat ibu menangis.

***

"Kita berangkat sekarang?"
"Yup! Ayo naik!"
"Kamu bisa nyetir mobil?" Tanyaku ragu.
"Iya, sayang. Udah ayo naik." Ujarnya memanja.
Aku menurut.
Sesampainya di sana aku sibuk mencari buku untuk tambahan materi. Ya, sebagai anak kelas 1 SMP yang akan menghadapi Ujian Kenaikan Kelas, ulangan-ulangan harian mulai membludak.
Setelah semua buku yang kuinginkan sudah kudapat, aku diajak Revand menikmati donat di salah satu tempat kesukaannya.
"Vina, rambut kamu cantik banget, deh."
"Orangnya engga, nih?"
"Ya, orangnya juga, dong."
"Ah, gombal." Jawabku mencubitnya sambil tersipu.
Ah, aku mulai merasa sakit lagi di dadaku. Kali ini disertai sesak yang teramat. "Revand..." Ujarku lirih. Tak sempat aku menggapai tangannya, semua sudah gelap.

***

"Sayang, kamu sadar akhirnya." Kata ibuku seraya membelai halus rambutku.
Aku tak begitu mampu mengeluarkan suara. Sesak menyeruak dalam dadaku.
"Kamu ikut ibu, ya. Kamu harus periksa."
Tak kuasa aku menolak, aku menurut akhirnya.
Di rumah sakit, aku disuruh berbaring di sebuah alat berwarna putih panjang, ada yang melingkar di sana. Aku tak mengerti itu apa, tapi mengetahuinya cukup membuatku berfikir bahwa aku memang tidak baik-baik saja.
Hasilnya keluar tak lama.
"Baiklah, saya yakin ibu dan Vina bisa kuat mendengar semua ini." Kata-kata dokter Vian cukup membuat detak jantungku memacu lebih cepat.
"Anak saya kenapa, dok?" Tanya ibuku dengan gundah.
Dokter Vian menghela nafas sebentar, "Ibu dan Vina harus kuat, ya." Dia memberikan jeda di sana, "Vina positif menderita kanker paru-paru stadium 2."
"Apa??!" Ibu memekik. Aku mulai menangis.
"Kalian harap tenang. Saya yakin Vina masih bisa disembuhkan. Tapi, resikonya cukup berat. Karna Vina baru berusia 12 tahun."
"Dokter, gimana caranya agar aku sembuh? Katakan saja." Tanyaku dengan terisak.
"Gabungan kemoterapi, radioterapi, dan oprasi. Tapi saya tak begitu yakin ini bisa berhasil. Vina terlalu lemah."
"Saya yakin Vina bisa, dok. Vina anak yang kuat. Ya kan, Vin?" Aku mengangguk dengan pasti.
Akhirnya dokter Vian menyetujui dilakukannya terapi dan oprasi untukku. Secercah harapan mulai menyambangi hatiku.

***

Hari ini aku menjalani kemoterapi pertamaku. Rasanya, sakit. Setelahnya aku mengalami mual dan muntah yang berkepanjangan. Dan yang sungguh tak kuduga, rambutku lenyap tak bersisa. Aku menangis dengan tenaga seadanya.
"Bu, Vina ngga mau dikemo lagi. Rambut Vina hilang." Ujarku dengan tenaga seadanya.
"Sayang, kamu harus menjalani beberapa kemo lagi untuk sembuh. Rambut kamu bakalan tumbuh lagi kok."
"Tapi Vina jelek, bu."
"Engga, sayang. Kamu tetap manis." Ibu membelaiku.
Revand kekasihku dan Cherryl sahabatku menyembul di balik pintu, menghampiriku.
"Kalian jangan temui aku. Aku jelek. Aku malu."
Revand menggapai tanganku, "Vina, kamu tetap cantik bagiku, sayang. Aku ngga pernah melihat kamu dari sisi manapun kecuali hati kamu."
"Iya, Vina. Apapun yang terjadi, kita tetep sayang sama lo. Ga perduli gimana fisik lo. Karna gue sahabat lo, dan Revand cowok lo." Cherryl memelukku dengan sayang.
"Kalian serius tetep mau bareng-bareng aku?"
"Tentu, sayang."
"Pastinya. Pokoknya lo musti sembuh, demi kita. Okey?"
"Makasih ya, Revand, Cherryl." Kami berpelukkan dalam haru. Tangisan kami tak terbendung.
Ibu, Revand, Cherryl, aku janji akan berjuang mengalahkan kanker yang menggerogoti paru-paruku ini. Demi kalian, kekasihku, dan sahabatku. :)

Selamat Jalan Mahkotaku

oleh : @Afzhi_

Rambut hitam yg mencerah
Itu dahulu
Berjatuhan d pundak mendarat di bumi
Kejadianku sekarang

Dia memberi tanda
Perih sakit sebatang tubuh
Tanah akan menutupi lekukan tubuhku

Nanti
Di saat kepalaku licin
Rambut terbang bagaikan kupu-kupu tak berteman lagi

Aku Suka Rambutku!

Oleh: tiara nabila zein
@thyrnabila


Hitam, panjang, lembut, wangi dan sedikit bergelombang di ujungnya.
Dulu aku benci ini.
Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin sambil menyisir rambutku.
Dulu aku meyukai kegiatan ini.
Sekarang, aku menyisir rambutku hanya untuk merapikan diri. Bahkan aku tak suka menatap rambutku lagi di cermin.
Aku merindukanmu.
Aku juga tak lagi berkeinginan untuk meluruskan rambutku.
Aku hanya ingin bersamamu.
Selalu saja merasa seperti ini setiap menyisir rambut sambil menatap cermin.
Aku melemparkan sisir ke meja riasku asal.
Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Mataku menerawang.

***

“Nabila, bangun. Udah bel.”katanya lembut sambil mengusap rambutku pelan.
Aku terbangun. Badanku terasa pegal. Ternyata aku tertidur selama jam istirahat tadi.
“Makasih udah dibangunin.”kataku lembut sambil menatap sosok lelaki di hadapanku.
Ia tersenyum lalu mengacak rambutku
“Tidur jam berapa semalam? Kok sampe ketiduran ?”tanyanya sambil tersenyum.
“Lupa.”jawabku
“Selamat siang anak-anak!”
“Bu Guru dateng. Aku balik ke bangkuku ya.”katanya sambil sekali lagi mengacak rambutku.
Aku sedikit cemberut sambil merapikan rambutku.

***
Kenapa kejadian itu berputar lagi di otakku?
Aku merindukanmu..
Ku pejamkan mataku, berharap segera tertidur.
“Aku suka rambut kamu. Lembut. Wangi.”
Suara itu lagi. Aku selalu merasa mendengarmu mengucapkan itu sambil mengecup pucuk kepalaku.

***

“Dit, aku dateng. Maaf. Udah lama banget aku ga maen kasini.”
Mataku kebas.

***

“Halo. Kamu masih di salon kan?“suara dari seberang
“Iya. Ini lagi mulai. Kamu mau kesini?”
“Iya dong. Ini lagi di jalan.”
“Emm..sayang, aku potong rambut ya. Bolah kan?”
“Kenapa mesti dipotong sih? rambut kamu kan bagus. Aku suka rambut kamu yang panjang agak bergelombang.”
“Kalo gitu aku catok ya, biar agak lurusan dikit.”
“Engga boleh!”
“Kenapa ga boleh sih?”
“Rambut kamu udah bagus kaya gitu! Kamu creambath aja.”
“Pokoknya aku mau catok rambut aku! Aku pengen punya rambut lurus.”
“Engga boleh!!”

Klik.. Ditya menutup sambungan telepon.

Aku benci seperti ini. Ditya aneh. Ia tak pernah mengijinkanku memotong rambutku. Apalagi mencatok rambut. Ia bilang catok rambut bikin rambut gak sehat. Iya aku tahu. Tapi aku pengen rambutku lurus. Bukan bergelombang seperti ini. Ditya bilang ia lebih suka rambutku yang seperti ini. Asalkan selalu lembut dan wangi. Ia selalu menungguiku di salon hanya untuk memastikan aku tak aneh-aneh dengan rambutku.

***
Aku benci mengingat kejadian itu.
Sekarang aku menyesal pernah berfikiran seperti itu. Aku menyesal berdebat dengannya hanya soal catok. Aku menyesal dengan sambungan telepon terakhir itu. Gak seharusnya aku bertengkar dengannya di telepon hanya untuk meributkan soal rambut. Iya. Itu terakhir kalinya aku bisa ngobrol dengannya. Aku menyesali itu. Bahkan kata “love u” yang selalu ia ucapkan di ujung percakapan kamipun tak terucap lagi.
Aku kembali menatap rumah baru Ditya. Tempatnya beristirahat.
Aku mengusap pelan nisan bertuliskan ADITYA WAJAYA SAPUTRA.
“Dit, liat nih. Rambutku udah tambah panjang. Makin panjang makin bagus deh. Jadi lucu. Keriting-keriting di ujungnya. “kataku sambil tertawa sumbang.
“Janji deh aku ga bakal nyatok rambut lagi. Aku udah ga pengen punya rambut lurus lagi. Aku suka kaya gini aja.”

“Aku kangen sama kamu.” ucapku lirih.

Rambut Cakrawala

Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita

Selepas SMA, Cakrawala memanjangkan rambutnya. Di tingkat keempat perkuliahannya, panjang rambutnya sudah hampir mencapai pinggang. Ia menjadi satu di antara beberapa mahasiswa berambut gondrong lain. Mereka mudah dikenali dan mengundang penasaran untuk didekati.

Cakrawala kadang menggerai rambutnya atau mengikatnya begitu saja sehingga menjadi seperti ekor atau bulatan telur di belakang kepala. Teman berambut gondrongnya yang lain malah mengikat rambutnya di atas kepala sehingga membuatnya tampak seperti abdi raja dari Era Majapahit.

Rambut Cakrawala bergelombang dan tumbuh dengan lebat. Para mahasiswi sering memandanginya dengan penuh kekaguman. “Kok rambutnya bisa lebat gitu? Pakai sampo apa sih?” Cakrawala menggoyang-goyangkan mahkotanya dan menunjukkan ekspresi sok heran pada para teman perempuannya itu.

Rambut yang menakjubkan itu melekatkan mata mereka untuk mengamat-amati dari dekat. Meski kemudian mereka temukan ketombe, semut, kutu, atau bahkan laba-laba mendekam di balik kerimbunan rambut tersebut, tetap saja menimbulkan perasaan iri kala mengamatinya dari jauh.

Bahkan ibu Cakrawala pun memendam rasa yang sama. Dalam suasana santai di rumah, kadang ia duduk di belakang putranya. Ia ambil segenggam rambut megar tersebut, dibelainya, lalu ia ambil segenggam lagi, segenggam, dan segenggam lagi. Kadang ia menyisirinya. Cakrawala hanya menoleh, kaget sebentar, lantas melanjutkan lagi aktivitasnya menonton TV atau memainkan kucing peliharaan mereka.

Dulu ibu Cakrawala juga memiliki rambut berombak tebal yang membuatnya jadi primadona di kalangan lelaki. Namun harta kebanggaannya itu kian lama kian menipis. Perjalanan usia menghiasinya dengan semburat putih. Maka kini ia hanya bisa mengelus-elus milik putranya, sang pewaris, sembari mengenang masa-masa kenikmatannya dulu.

Dulu ia suka mengepang rambutnya. Juga melumurinya dengan urang-aring agar tampak berkilau. Cakrawala semakin kaget ketika ibunya tahu-tahu menumpahkan cairan itu di atas kepalanya. Ia hendak lekas beranjak namun Ibu memegangi rambutnya disertai omelan agar ia tidak ke mana-mana. Maka selanjutnya Cakrawala diam saja menunggui ibunya selesai bermain-main dengan rambutnya. Esok harinya di kampus ia dihujani decak terkesima dari teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan.

“Bagus kan? Ibuku yang pingin,” begitu saja penjelasannya ketika teman-temannya itu mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Lama-lama Cakrawala risih dengan perlakuan ibunya. Ibunya bahkan melebihkan uang sakunya agar ia bisa memberi perawatan pada rambutnya di salon. Kelebihan itu malah ia gunakan untuk keperluan lain. Cakrawala jadi semakin malas pulang ke rumah. “Daripada rambutku dipegang-pegang terus sama Ibu,” pikirnya.

Jadi Cakrawala pulang ke rumah hanya ketika ia butuh uang. Kadang ia sekadar menumpang tidur, ganti baju, atau menukar barang. Lalu ia akan pergi lagi dengan ransel lapangan, jaket, handuk, peralatan mandi, notes kecil, dan tas selempang kecil. Ia akan menaruh barang-barangnya itu di kosan teman—siapapun itu, selalu berganti-ganti—dan setelahnya pergi ke manapun sekehendak hatinya. Handuk dan notes kecil merupakan barang yang wajib ia bawa dalam tas selempangnya. Ia akan pulang ke rumah lagi ketika uangnya habis, pakaian yang melekat di badannya butuh dicuci, atau membutuhkan sesuatu yang harus ia bawa tapi ditaruhnya di rumah. Kadang Ibu melepas kepergiannya sampai pintu depan. Ia berusaha untuk tidak menangkap pandangan sang ibu yang seakan meratapi rambutnya yang tiada pernah dapat perawatan khusus. Ia keramas dan menyisir rambutnya hanya kalau ingat.

Sampai suatu ketika Cakrawala harus praktek lapangan ke provinsi lain. Cuaca di sana sangat gerah sampai-sampai mandi pun rasanya percuma. Saat Cakrawala melewati sebuah rumah penduduk, anak-anak di pelataran ramai-ramai meneriakinya, “Awas ada Sule, prikitiw!”

Teman perempuan yang memboncengnya (sewaktu mereka harus mengambil data di kantor petugas yang berwenang) sesekali mengeluh, “Cak, rambutmu masuk-masuk ke mulutku…” Terasa olehnya tangan gadis itu berusaha membenahi rambutnya agar tidak menggelora ke mana-mana.

Hampir dua minggu telah berlalu. Suatu senja Cakrawala pergi ke luar komplek tempat mereka menginap bersama seorang teman laki-lakinya. Tidak ada teman-temannya yang lain mengira kalau mereka menuju ke suatu tempat yang sebenarnya ingin Cakrawala kunjungi sejak mula mereka di sana. Cakrawala ingat kalau sebaiknya ia membawa oleh-oleh untuk ibunya. Ia telah sampai di tempat tujuannya dan duduk di kursi yang disediakan. Pria di belakangnya berkata, “Wah, ini kayak motong rambut tiga orang!”

“Tapi bayarnya tetep seorang kan, Pak?” Cakrawala menengadah. Tukang cukur di belakangnya mengukur panjang rambut Cakrawala dengan jengkalnya. Dapat tiga. Tidak lupa Cakrawala bilang pada pria itu supaya rambutnya jangan langsung disapu habis.

Dua hari kemudian Cakrawala pulang ke rumahnya dengan menggendong carrier besar dan kumal. Sang Ibu menyambut putranya yang baru pulang dari praktek di ujung barat Pulau Jawa itu. Ia sudah tidak sabar melihat sang putra menggerai rambutnya yang selalu diikat bulat ke belakang.

Setelah menurunkan carrier-nya, Cakrawala mengeluarkan sebuah bungkusan. “Oleh-oleh, Bu,” katanya. Ibu membuka bungkusan itu seiring Cakrawala yang membuka ikatan rambutnya hingga mengembang rambut sepanjang bagian bawah telinga. Ibu terbelalak lantas jatuh lemas.

Haven't Met You Yet

Oleh: @teguhpuja


Aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu.

Kita hanya bercengkrama, bertukar rasa rindu dan menjejaki satu sama lain melalui dunia maya. Kita hanya bertukar sapa, berusaha mengakrabkan satu sama lain melalui dunia yang aku pun tak tahu apakah benar-benar nyata atau tidak. Kadang, aku sendiri tidak percaya. Mengapa aku bisa jatuh hati dan mulai mencintaimu, meski sebelumnya kita tidak pernah duduk berdua bersama dalam satu kursi panjang yang mempertemukan kita satu sama lain. Kadang, aku sendiri seringkali meragu. Mengapa perhatianku bisa teralihkan dan terbagi sekian besarnya, hanya untuk menemanimu di saat kita 'bertemu', bertatap muka melalui jejaring yang menghubungkan kita. Kadang, aku sendiri tertegun, tidak bisa berkata banyak. Mengapa sekian banyak waktu yang kuhabiskan denganmu, tidak pernah sekali pun membuatku merasa bosan, atau bahkan menyesal. Aku selalu senang ketika berada di dekatmu. Aku selalu senang ketika tahu ada kamu di 'seberang'ku, menunggui setiap pesan yang tercetak dari layar chat box jejaring kita, atau jika kita sedang jenuh dengan riak dan ramainya jejaring itu, kita berpindah ke tempat lain yang lebih 'mendukung' kebersamaan kita. Berbalas IM denganmu dan sesekali membiarkan canda kita terbangun dari detik pertama kita bercerita dan bertukar kabar setiap harinya selalu membuatku merasa hangat. Hangat dengan keceriaanmu. Hangat dengan manisnya tutur katamu.

Aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu.

Aku hanya bisa melihat satu atau dua foto yang kamu punya di jejaring dan menjadi avatar di IM-mu. Wajahmu terlihat sangat manis. Bercahaya. Dengan rambut hitam sebahu. Satu kali pernah kutanyakan kepadamu, mengapa hanya sekian foto itu saja yang bisa kulihat di jejaringmu. Kamu dengan malu-malu menjawab.

"Aku bukan orang yang cantik, Mas. Aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Aku tidak semanis yang mas mungkin pikirkan."

Ah, mengapa kamu berbicara seperti itu, Farida. Dari setiap diskusi kecil kita, aku tahu kamu istimewa. Ya, seistimewa setiap momen yang kita bagi bersama. Mengapa harus merasa malu untuk sekadar memperlihatkan siapa dirimu? Mengapa harus merasa malu untuk menjadi dirimu sendiri? Bukankah kamu istimewa, seistimewa Tuhan yang menciptamu. Dengan segala kelebihan dan karunia yang Tuhan beri untukmu.

"Aku malu, Mas. Aku tidak secantik wanita-wanita yang mungkin mas bisa temukan di Ibukota sana. Aku tidak semenarik mereka yang setiap harinya bisa menyempatkan diri membeli kosmetik, baju, aksesoris dan mengikuti trend fashion yang ada di luaran sana. They know what's in and what's out. Dan aku, old-fashioned, Mas. Bukan orang yang mengerti gaya dan juga tidak pandai merawat diri."

"Kamu tidak harus mengikuti mereka, Farida. Kamu sudah menjadi teramat istimewa buatku."

"Bagaimana mungkin mas bisa berbicara seperti itu? Mas pun sendiri tidak pernah sekali pun bertemu denganku."

"Aku memang belum pernah sekali pun berkesempatan untuk bertemu denganmu. Namun aku yakin, kamu memang layak untuk aku percaya. Aku yakin, kamu memang layak untuk aku cintai."

"Bagaimana mungkin mas bisa mencintaiku? Mas pun sendiri belum mengetahui aku seutuhnya. Hanya selembar foto dengan rambut hitam sebahuku saja yang mungkin selama ini mas lihat. Mas belum pernah sekali pun melihat wajahku. Mas belum pernah sekali pun bertatap muka denganku langsung."

Aku terdiam. Tidak lantas menjawab pesanmu. Aku biarkan kamu sejenak, memberimu ruang untuk mengungkapkan apa yang kamu rasa di 'seberang' sana.

"Apa mas bisa semudah itu memilih dan yakin dengan seseorang? Sementara mas selama ini hanya melihat rambut hitam sebahu orang yang mas belum kenal sepenuhnya. Apa mas bisa semudah itu percaya?"

Sejujurnya aku meragu. Sejujurnya aku memang tidak sepenuhnya yakin. Jika hanya sekadar mempertimbangkanmu, dengan hanya membiarkanku mengenali sosokmu, hanya melalui hitamnya rambut sebahu yang kamu punya. Aku memang berharap bisa melihat wajahmu. Meyakinkanku bahwa sosokmu akan menjadi lebih sempurna dalam benakku ketika aku bisa memandangmu utuh dan kita bisa bertemu terlebih dahulu.

"Mas Arif, tolong jawab aku."

Namun apalah artinya, jika cinta hanya berdasarkan rupa saja, apalah artinya jika cinta hanya berdasarkan kuasa dan keturunan saja. Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu, itu artinya aku memang sudah memutuskan diriku untuk berusaha mencintaimu apa adanya.

"Sejujurnya, aku pun sedikit meragu, Farida."

"Jika mas memang meragu, kenapa mas bisa semudah itu mengatakan bahwa mas mencintaiku?"

"Aku sudah memutuskan untuk begitu."

"Memutuskan apa?"

"Memutuskan untuk tetap mencintaimu, apa adanya."

Kamu terdiam.

Sekian menit kutunggu jawabmu.

Apa yang kamu pikirkan sekarang Farida? Apakah mustahil bagimu untuk menerimaku masuk dalam kehidupanmu? Apakah mustahil bagiku untuk menyibak rambut hitam sebahumu itu dan melihat dengan jelas, utuh, wajahmu itu? Apakah mustahil bagiku untuk menjejaki ruang dan waktu bersamamu? Aku tidak mau menjadi sebatas teman mayamu. Aku tidak mau menjadi sebatas 'sahabat terbaik'mu di dunia maya. Aku ingin menjadi 'nyata' dalam hidupmu. Aku ingin menjadi 'sahabat' yang 'nyata', yang kamu biarkan aku menemanimu dari hari ke hari.

Aku masih menunggumu Farida.

Apa jawabmu?

Apa yang ada dalam pikiranmu?

Farida, aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu. Sekali pun tidak.

Kita hanya bercengkrama, bertukar rasa rindu dan menjejaki satu sama lain melalui dunia maya. Kita hanya bertukar sapa, berusaha mengakrabkan satu sama lain melalui dunia yang aku pun tak tahu apakah benar-benar nyata atau tidak. Kadang, aku sendiri tidak percaya. Mengapa aku bisa jatuh hati dan mulai mencintaimu, meski sebelumnya kita tidak pernah duduk berdua bersama dalam satu kursi panjang yang mempertemukan kita satu sama lain. Kadang, aku sendiri seringkali meragu. Mengapa perhatianku bisa teralihkan dan terbagi sekian besarnya, hanya untuk menemanimu di saat kita ‘bertemu’, bertatap muka melalui jejaring yang menghubungkan kita. Kadang, aku sendiri tertegun, tidak bisa berkata banyak. Mengapa sekian banyak waktu yang kuhabiskan denganmu, tidak pernah sekali pun membuatku merasa bosan, atau bahkan menyesal. Aku selalu senang ketika berada di dekatmu. Aku selalu senang ketika tahu ada kamu di ‘seberang’ku, menunggui setiap pesan yang tercetak dari layar chat box jejaring kita, atau jika kita sedang jenuh dengan riak dan ramainya jejaring itu, kita berpindah ke tempat lain yang lebih ‘mendukung’ kebersamaan kita. Berbalas IM denganmu dan sesekali membiarkan canda kita terbangun dari detik pertama kita bercerita dan bertukar kabar setiap harinya selalu membuatku merasa hangat. Hangat dengan keceriaanmu. Hangat dengan manisnya tutur katamu.

Aku ingin kau menggenapiku. Dan mengizinkanku menyibak sosok manis dan hangat dibalik rambut hitam sebahumu itu.

Aku menginginkannya, sungguh, dengan penuh harap.

Aku, yang mencintaimu.