Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 30 April 2011

Best of The Late Maret-April 2011

Best of the late untuk periode Maret-April, jatuh pada...

Dongeng Kertas oleh Yudha Patria Yustianto!

Kenapa? Dengan analisis ala Best of the Night, mari kita analisis.

Kriteria 1: Kalimat pertama dimulai dengan deskripsi setting tempat yang membuat cukup ingin membaca, walau tidak terlalu spektakuler atau mengganggu penggambarannya. Skor: 2

Kriteria 2: Akhirnya ada dan cukup mengejutkan, walau tidak terlalu jelas jika hanya dibaca sekali. Ada makna di balik akhir yang sedikit simbolik itu, sederhana dan cukup menyentuh. Skor: 3.

Kriteria 3: Penggunaan tanda baca sudah benar. Skor: 4.

Kriteria 4: Cerita yang ditulis unik dan jarang ditulis. Dongeng kertas? Tidak terlalu banyak. Eksplorasinya terasa. Skor: 4.

Kriteria 5: Tidak ingat ini tema yang mana ya hehe :) Mohon diingatkan di komentar kalau bisa.

Kriteria 6: Eksplorasi bahasa cukup terasa. "Kemarin dia hanya setinggi gagang sapu, sekarang setinggi lemari" salah satu contoh lucu. Skor: 4.

Selamat ya! Terus menulis!

Best of The Night 29 April 2011

Cerita terbaik untuk tema "Topi dan Sepatu" adalah...

Sebuah Topi dan Sepasang Sepatu oleh Arden Setiawan (@namelesshero)

Kenapa?

Kriteria 1: Kalimat pertama singkat, tapi memiliki masalah awal yang membuat kita ingin terus membaca. Kenapa bocah itu bergerak-gerak tidak wajar? Skor: 3.

Kriteria 2: Twist dalam cerita ini adalah salah satu kekuatan utamanya. Twistnya unik dan mengejutkan. Jarang cerita seperti ini, seperti dongeng-dongeng lama tentang kesetiaan dan pengabdian. Skor: 4.

Kriteria 3: Kesalahan penulisan umum dalam cerita ini adalah adanya spasi sebelum tanda baca seperti tanda petik atau tanda seru. Seharusnya tidak seperti itu. Tapi selebihnya sudah baik. Skor: 4.

Kriteria 4: Cerita yang ditulis tidak benar-benar baru tapi cukup unik. Penyampaiannya yang membuatnya unik. Skor: 3.

Kriteria 5: Cerita sesuai dengan tema. Topi dan sepatu menjadi plot device penting. Skor: 4.

Kriteria 6: Eksplorasi kata cukup terasa. Kata-kata seperti "Tidak ada beda antara mencuri debu di jalan atau mencuri emas di tambang" atau "Memilih-milih barang tidak berguna yang seakan tanpanya mereka tidak bisa hidup" cukup menarik. Skor: 4.

Selamat ya, semoga bisa terus menulis! :) Yang lain jangan kecewa, bukan berarti tidak bagus. Cukup ketat nih persaingannya! Selamat akhir pekan!

TOPI ITU SEPATU, SEPATU ITU TOPI


Oleh : @mazmocool

Sepasang kaki bergetar di sebuah halte angkutan. Sendiri. Tinggal lima puluh langkah lagi dia akan menjejakkan kakinya di tempat semestinya. Tempat dimana dia bisa tiduran saat hujan turun menyapa bumi. Seperti saat ini. Saat seharusnya dia bisa bercengkrama dengan bonekanya. Boneka yang selama ini menemani saat-saat sendirinya ketika orang tuanya larut dalam kesibukannya masing-masing.

Hawa dingin menembus kulit tubuhnya, tatkala angin lembab menyapa tubuhnya yang terbalut pakaian seragam SMA. Hawa dingin itu seperti menambah kebekuan bagi hatinya untuk mengambil sebuah tindakan. Kebekuan hati yang berujung pada sebuah keraguan. Keraguan pada langkah selanjutnya setelah dari halte. Apakah dia langsung pulang dengan kondisi seperti ini ataukah mampir ke dokter terlebih dahulu.

Wajah gadis bermata mungil dibalik topi kain yang sudah agak lusuh itu terlihat meringis menahan sakit pada telapak kakinya. Luka yang menganga akibat keteledorannya pada saat dia turun dari angkutan. Semua karena niatnya yang berusaha mengamankan sepatu barunya dalam tas hitamnya agar tidak basah oleh kubangan bekas hujan. Tanpa sengaja telapak kakinya menginjak pecahan kaca. Darah berwarna merah kecoklatan nampak masih menggenang di sekitar telapak kakinya. Luka yang membuat tidak memungkinkan untuk mengenakan kembali sepatunya.

Dalam kesendirian di halte kala hujan itu, dia masih belum bisa memutuskan. Dia merutuk dalam hati saat dia menyesal karena tidak membawa kaos kaki. Kaos kaki yang sebenarnya bisa dijadikan pembalut sementara untuk kakinya yang luka. Dia mulai menyalahkan sopirnya yang hampir tiga minggu tidak dapat mengantarnya ke sekolah karena sakit demam berdarah.  Sebenarnya dia tahu kondisi lingkungan rumah sopirnya yang tidak sehat, sehingga si sopir bisa saja terserang penyakit kapan saja. Tapi dia tidak peduli akan hal itu, yang dia pedulikan hanyalah dirinya sendiri. Buliran air mata hampir saja menetes dari sudut matanya, saat mendung dalam pikirannya menjadi terang saat hujan tinggal menyisakan rinainya. Dia mulai menyobek kain halus topi kesayangannya dan menyulapnya menjadi sebuah bentangan kain yang bisa digunakan untuk membalut luka di kakinya.

Meskipun dia merasa berat tapi dia memaksakan tekadnya untuk melakukan hal itu. Meskipun harus mengorbankan topi kesayangannya. Dengan tertatih dia menyatukan langkah berjingkatnya diantara rinai hujan yang tipis itu. Sementara tangan kirinya mengangkat rok panjangnya, tangan kanannya memayungi kepalanya dengan tas yang berisi sepatu barunya. Aktivitas mulai nampak di balik rinai hujan siang itu. Tubuh-tubuh agak basah mulai menghiasi jalanan berlubang yang dilaluinya.

Tak sampai lima belas menit, sampailah dia di rumahnya yang megah. Dilemparkannya tas berisi sepatu begitu saja dan tergeletak pasrah di teras rumah. Dibukanya ikatan kain yang membebat lukanya.  Dengan bantuan pembantunya luka di kakinya pun mendapat perawatan. Perih dia rasakan saat obat itu mencoba memberikan pertolongan pertama. Diapun segera masuk ke kamar dan mengganti pakaian seragamnya yang berhias titik-titik hujan di beberapa bagiannya.

Dia bersyukur karena akhirnya dia bisa beristirahat. Direbahkannya raga lelahnya di atas kasur empuknya. Dia pun memeluk boneka kesayangannya. Tiba-tiba angannya tertumbuk pada peristiwa yang dia alami barusan. Peristiwa bisul di kakinya yang pecah barusan memberikan dia banyak pelajaran hidup. Pelajaran hidup tentang kehidupan manusia yang bagaikan topi dan sepatu. Dia menjadi sadar bahwa dalam hidup yang berada di atas tak selamanya tetap di atas, seperti topinya yang dia gunakan untuk membebat luka bekas bisulnya yang pecah. Pelajaran lainnya yaitu yang berada di bawah pun suatu saat bisa menjadi di atas, seperti sepatu barunya yang memayunginya saat dia berusaha melindungi tubuhnya dari hujan. Penyesalan menghampirinya dan mengubahnya menjadi bulir air mata di sudut matanya. Air mata yang mengalir dari penyesalan akan sikap buruknya tadi yang menyalahkan sopirnya yang sedang sakit. Dia menyadari tidak seharusnya dia seperti itu, karena bagaimanapun juga sopirnya telah banyak berjasa bagi keluarganya. Gadis itu pun terisak sambil berdoa dalam hati semoga sopirnya cepat sembuh.

Minim



Oleh @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com



“Mana mereka?!”
“Siapa?”
“Laki-laki dan perempuan yang lewat sini tadi!”
“Oh, perempuan berbaju coklat, yang bareng om-om berkaca mata hitam. Ada perlu apa?”
“Laki-lakinya suamiku, sekarang kau cari mereka! Cepat!”
Heran, punya istri secantik ini kok masih suka selingkuh.
****
“Ini, cuma ini yang kutemukan di dekat Pohon Akasia.”
“Kenapa cuma topi sama sepatu, kemana mereka?!”
“Sumpah, aku sudah cari keliling-keliling tak ketemu mereka, pakaiannya pun tak ada. Tapi memang tepian hutan ini suka dijadikan tempat mesum.”
“Jadi kau pikir suamiku selingkuh, gitu?!”
“Bub bub bukan Mbak, eh Bu, eh... aduh, maaf-maaf.”
Sejak kapan suamiku makan mangsanya beserta pakainnya sekaligus.
“Tapi memang, perempuan tadi pakainnya minim, seksi sekali.”
“......”
“Ah, tapi tetep kok Mbak jauh lebih cantik dari dia. Hehe.. Atau begini saja, Mbak istirahat dulu, sepertinya capek dan lapar. Nanti kita coba cari lagi.”
“Oke, sekarang buka topi dan sepatumu, juga pakaianmu.”
“Eh, serius Mbak?”
“Iya, kecuali celana pendekmu.”

LELAKI BERSEPATU DAN BERTOPI BIRU



Oleh Ratih Setiawati


Halte busway tempatku menunggu saat ini sudah tidak terlalu ramai lagi. Bisa dimaklumi, mengingat saat ini sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tadi aku harus lembur lagi, menyelesaikan setumpuk pekerjaan kantor yang seakan tidak pernah ada habisnya. Yang aku inginkan saat ini hanyalah bus Transjakarta yang kutunggu segera datang dan mengantarkanku ke area tempat tinggalku secepatnya.
Sambil menunggu dengan setengah kebosanan, aku menunduk, berusaha menghalau rasa ngantuk yang tiba-tiba menyerang. Namun pandanganku tiba-tiba tertumbuk di kaki seseorang yang tepat berdiri disampingku. Warna sepatunya yang sebenarnya menyedot perhatian utamaku. Sepatu sneakers berwarna biru laut dengan aksen garis putih di kedua sisinya. Aku suka warna biru dan aku selalu bersemangat menemui orang yang menyukai warna favoritku itu juga. Kutengadahkan kepalaku untuk menemukan siapakah pemilik sepatu berwarna biru itu. Aha, ternyata pemiliknya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topi baseball berwarna biru juga! Meski sedikit aneh dengan kenyataan bahwa pria ini mengenakan topi di gelap malam seperti ini, tapi tidak melunturkan kepercayaan diriku untuk secara spontan mengajaknya bicara.
”Suka warna biru ya, Mas?” tanyaku langsung.
Raut wajah laki-laki itu terlihat kaget mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba. Ia memandangku bingung. Kutaksir usianya tidak berbeda jauh denganku.
”Iya...” jawabnya kalem. Lalu seolah tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan, ia mengeluarkan ponsel dari kantong jelana jeans-nya. Tipikal manusia urban jaman sekarang yang seakan sulit berpisah dengan gadgetnya. Aku menghela napas pendek.
Namun itu tidak membuatku berhenti untuk memerhatikannya. Sesaat setelah bus Transjakarta datang dan kami sudah memilih untuk duduk (karena bus sudah agak kosong malam itu, kami bebas memilih untuk duduk dimanapun), aku sengaja mencari duduk tepat disampingnya. Lagi-lagi aku menangkap ada rona keterkejutan dari wajahnya yang melihat ada diriku disampingnya.
Dengan style muka badak, aku kembali membuka percakapan dengannya,
”Saya juga suka dengan warna biru lho, Mas,”kataku.
“Oh.”
“Kalau boleh tau, beli dimana ya Mas sepatunya? Saya naksir deh,” ucapku lagi, tak peduli meski dengan intonasi suaraku yang setengah berbisik, membuat beberapa pasang mata mulai memerhatikan percakapan kami.
”Saya nggak beli, ini hadiah.” Ia, laki-laki itu tetap sibuk dengan ponsel ditangannya, menjawab pertanyaanku tanpa berniat memandangku. Dilihat-dilihat kenapa dia sedikit mirip dengan Afgan ya? Penyanyi pria terkenal yang sering banget memasukkan tangannya ke dalam celana kalau sedang menyanyi itu lho. Hanya tubuhnya sedikit lebih tinggi dan sepertinya dia juga tidak memiliki lesung pipi maut seperti seorang Afgan. Tapi gayanya asyik. Jujur, aku suka dengan tipikal laki-laki kalem dan cool seperti ini, membuatku semakin ‘bernapsu’ mengorek lebih jauh.
“Mas, boleh tahu namanya nggak?”
Yak, pertanyaan barusan tidak hanya membuat laki-laki disampingku melotot, tapi sukses membuatku jadi pusat perhatian hampir seluruh penumpang Transjakarta. Ah, perduli amat!
“Mbak bisa nggak sih nggak ganggu saya?” ucapnya ketus membalas pertanyaanku.
“Ohh…Mas merasa terganggu ya? Maaf ya...saya kan cuma mau tau nama Mas aja. Soalnya Mas suka warna biru, dan saya suka berteman dengan orang yang menyukai warna biru juga. Itu aja kok.”
Entah karena kehadiranku atau memang karena ia sudah sampai di perhentian bus-nya, laki-laki itu bangkit, tanpa berkata apapun lagi meninggalkan kursinya. Aku mengulum senyum.
Laki-laki mirip Afgan itu sempat menoleh ke arahku seiring berlalunya bus TransJakarta yang kutumpangi dan aku nekad melambaikan tanganku dengan penuh semangat. Aku tahu setiap orang sedang memandangiku dengan keheranan, tapi ah… malam ini malam yang menyenangkan untukku. Sesekali berbuat sesuatu di luar batas kewajaran ternyata memang menarik ya? Hehehe…

S E L E S A I


Arti Pengorbanan



Oleh Nadia Hapsari (@naddhiiia)

Putri masih berdiri mematung di depan sebuah etalase toko seperti lima belas menit yang lalu. Pandangannya tertuju pada satu titik fokus. Tepat pada sebuah benda yang tampak begitu lembut dan nyaman. Beberapa tetes keringat membasahi kemeja putihnya yang tidak dapat dikatakan putih lagi. Putri memandang tumpukan koran di tangannya, masih beberapa lagi. Panas matahari tak lantas membuatnya menyerah dan bermalas-malasan. Tidak sebelum ia bisa mendapatkan benda di etalase yang ia idam-idamkan sejak lama itu.
Sebetulnya Putri sudah belajar menabung. Ia kumpulkan koin demi koin yang ia dapatkan dari berjualan koran sepulang sekolah, namun hasilnya masih belum cukup. Sementara tanggal istimewa itu semakin dekat. Jantung Putri berdetak lebih kencang setiap sudut matanya mengarah ke kalender di belakang pintu kelasnya. Ya, 30 April yang dulu berjarak tiga bulan kini hanya berjarak satu hari. Sekarang mungkin sudah tinggal beberapa jam saja. Putri menghela nafas panjang. Ia tak pernah menganggapnya sebagai tanggungan, namun saat ini ia benar-benar ingin berbuat sesuatu untuk orang yang dia sayangi.
Pukul tiga sore, Putri masih belum juga mengumpulkan sejumlah uang yang diminta untuk menebus benda kesayangannya itu. Keringat Putri makin deras mengalir, ia tidak ingin rencananya gagal. Putri memandang ke segala arah, mencari peluang ia bisa mendapatkan tambahan uang. Pinjam pada bang Jambrong? Mana berani dia. Preman itu terkenal suka berbuat kasar pada anak-anak di perempatan lampu merah ini. Mencuri? Ah, tidak. Bu nyai tidak akan suka mendengar murid kesayangnnya yang rajin ke TPA ini berbuat dosa. Lantas?
Putri terus berkeliling melihat segala kemungkinan yang ada. Kemudian, ia sampai di depan stasiun, agak jauh dari tempatnya mangkal. Dilihatnya seorang tukang rombeng sedang melepas lelah dibawah pohon mangga. Refleks Putri memandang ke bawah dan melihat sepasang sepatunya. Ibu guru tidak akan keberatan Putri berangkat sekolah memakai sandal. Lagipula, untuk ukuran sekolah kumuh di bantaran kali yang seringkali lantainya tergenang air, bersekolah menggunakan sepatu sepertinya juga kurang cocok. Singkatnya, Putri menukar sepatu satu-satunya, hadiah masuk SD dari almarhum bapak dengan beberapa uang untuk mencukupi kekurangannya.
Putri pulang ke rumah dengan bersiul-siul senang. Ia telah mendapatkan apa yang ia idam-idamkan selama ini. Nanti malam Putri bergegas membungkusnya dengan koran sisa hari ini dan memberikannya pada orang teristimewa.
Sebuah topi rajutan dari bahan wool yang lembut berwarna cokelat susu untuk emaknya agar tidak kepanasan bila sedang memulung.

Sebuah Topi dan Sepasang Sepatu

Oleh Arden Setiawan (@NamelessHero)



Pandangannya terpaku pada sosok bocah yang bergerak-gerik tidak wajar itu. Matanya menyorot kesana kemari, tubuhnya menegang karena cemas. Setelah memastikan sekitarnya telah aman, tangan yang mungil itu menyentuh bahan kulit yang sudah ia incar sejak tadi. Terasa dingin di tangannya, atau apakah itu hanyalah refleksi perasaannya saat itu ? Dingin sedingin salju ?
Dengan kecepatan tinggi sang sepatu melesat masuk ke dalam saku bajunya. Saku itu ada di lipatan dalam, sebuah saku rahasia tempat penyimpanan benda-benda yang tidak boleh terlihat orang lain.
Tahap pertama misi bocah itu telah selesai. Tahap kedua adalah melarikan diri dari sana. Gerak mencurigakan akan mencuri perhatian, sehingga ia memilih bertingkah laku pura-pura bodoh, perlahan berjalan meninggalkan toko itu layaknya pelanggan tanpa dosa. Tidak masalah baginya. Toko itu terlalu penuh oleh ibu-ibu pengejar obral, sehingga pelayan toko tidak menaruh minat pada anak kecil kumal berpakaian kumal seadanya seperti dirinya.
Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan lirih. Hanya diam saja tanpa berkata apa-apa.
Itu namanya mencuri. Mencuri itu tidak baik.
Seharusnya ia menghentikan bocah itu. Menyetopnya di saat-saat kritis. Memberi petuah bijak akan hidup yang sulit, dan jangan dipersulit dengan mempersulit orang lain, karena pada akhirnya sang pelayan tokolah yang akan dimarahi oleh bosnya.
Tapi toh ia hanya diam saja. Hanya pandangannya yang menusuk, yang sayangnya justru tidak disadari oleh sang pelaku kriminal.
Oh, jadi mencuri sepatu di toko itu sudah dibilang kriminal ya ? Lalu bagaimana dengan para koruptor dan pembunuh-pembunuh ? Pantaskah kejahatan berskala sepuluh ribuan –harga yang pas dan bahkan kemahalan untuk sepasang sepatu butut di toko obral- disamakan dengan kriminil-kriminil kelas kakap yang disebut di atas ?
…Sudahlah, kriminal ya kriminal, tidak beda antara mencuri debu di jalan dengan mencuri emas di tambang. Mencuri adalah mencuri, titik.
***
Selagi ia melamun, sang bocah telah pergi ke tempat lain. Kali ini toko busana yang cukup besar. Dipandangnya sejenak etalase kaca yang menarik perhatian banyak orang. Dipatrinya bentuk topi tersebut di matanya. Setelah yakin tidak akan melupakannya, ia melangkah masuk dengan kikuk.
Sekejap pandangan orang-orang terpaku padanya, tapi lalu sekejap pula kembali pada kesibukan masing-masing; memilih-milih barang tidak berguna yang seakan tanpanya mereka tidak bisa hidup. Si bocah tadi hanya dianggap seorang pengamen, atau anak jalanan yang tersasar. Bagaimanapun, tidak akan mengganggu urusan mereka. Biar pelayan toko yang mengurusnya.
Sang bocah beringsut ke arah pojokan berlabel “Topi Impor”. Di sana berjejer topi dalam berbagai bentuk dan ukuran, dari kecil ke besar, dari yang biasa hingga yang absurd. Susah juga untuk mengerti gaya orang luar negeri. Kok mau-maunya mereka memakai barang berbentuk aneh bin ajaib tersebut di kepala mereka ? Dan barang tersebut dipaku dengan harga yang cukup tinggi. Makin terasa absurd.
Pandangannya kembali tertuju ke si bocah. Ia telah mengikutinya ke toko ini, hanya mengamati dari kejauhan. Orang-orang tadi bahkan tidak menengokkan kepalanya saat ia melangkah masuk. Mungkin karena busananya lebih laik daripada si bocah tadi, atau mereka sudah bosan menengokkan kepala setiap ada yang masuk.
Sekali lagi ia mengamati saat si bocah memasukkan sebuah topi, lagi-lagi, ke saku bajunya yang lain, kali ini bagian sebelah kanan. Topi tersebut bermodel sama dengan topi di etalase tadi. Sakunya sangat besar, topi tersebut bisa masuk dengan mudahnya ke dalam situ. Sungguh tidak terbayangkan.
Tiba-tiba ia melihat masalah. Seorang pelayan toko menghampiri si bocah, yang masih terpaku kaku. Apakah ia terdiam karena merasa berdosa melakukan dua pencurian berturut-turut ? Atau, penjelasan yang lebih logis, si bocah juga menyadari pelayan itu mendekat ke sana, sehingga ia terdiam karena takut ?
Ada yang bisa dibantu, dik ?” Si pelayan toko bertanya dengan senyum di bibir, tapi sorot matanya dihiasi kecurigaan.
Ia ingin berteriak, lari !
Si pelayan toko bergerak dengan kecepatan seekor cheetah saat menyergap mangsanya. Ia hempaskan pakaian si bocah, memperlihatkan saku dalam darimana si topi menyembul keluar.
“…Pencuri kecil !”
Sekarang ia berteriak, Lari !
Lari !
Cepat lari !
Si bocah menjatuhkan rak pakaian terdekat, yang serta merta mengagetkan si pelayan toko. Kesempatan sedetik itu segera ia gunakan untuk melarikan diri. Si pelayan berteriak-teriak, “Pencuri ! Tangkap anak itu !”
Teriakannya ditanggapi dengan kerumunan orang yang bergegas mengejar si bocah. Tapi ia terlalu cepat, terlalu muda, terlalu lincah bagi mereka. Setiap jejaring tangan yang ingin menangkapnya dilewatinya dengan kepiawaian seekor belut. Seketika ia telah keluar dari toko tersebut, berlari menembus kerumunan dan hilang di antara orang banyak. Pelayan toko tadi keluar dengan nafas tersengal, mengumpat tanpa tahu malu.
Hatinya senang dan sedih di saat yang sama. Ia baru saja menyaksikan satu lagi pencurian, oleh anak yang sama, dan ia tetap tidak bertindak apa-apa. Tidak menghentikan. Tidak menegur. Hanya mengamati.
Oh tunggu, ia menyuruh si anak lari. Berarti ia ikut bertanggung jawab atas kriminalitas ini ? Seorang rekan ?
Tidak tahulah.

***
Si bocah sudah menghilang dari pandangannya. Si bocah berpakaian kumal, kaus kotor kumal dengan jaket kumal yang dipakai seadanya, yang ditemukan di tempat sampah. Wajahnya sebenarnya polos berseri. Akankah wajahnya akan ternodai oleh dosa yang diperbuatnya hari ini ? Hilangkah satu lagi jiwa yang polos bersih dari dunia ini ?
Langit mulai mendung.
Ia menyusuri jalanan kota yang mulai sepi. Semua orang bergegas menuju tempat tujuan, mencoba mengejar pertanda hujan yang akan segera turun, berharap dapat mencapai tempat berteduh sebelum tetesannya menyapu bumi.
Seorang wanita berpapasan dengannya, umurnya sekira-kira 20-an tahun. Mata mereka bertemu satu sama lain. Si wanita mendesah. Sedih. Pilu. Seakan ia mampu membaca kepedihan dalam dirinya yang harus menyaksikan dua kejahatan di waktu singkat. Tangan sang wanita menyapu udara, mencoba mengusap kepalanya untuk menghibur. Tetapi di tengah jalan ia berhenti. Senyum tipis menghias wajahnya yang cantik. Dengan lembut ia berujar,
“Lekaslah pulang.”
Si wanita perlahan berjalan melewatinya. Saat itu rintik hujan mulai turun.

***
Ia sampai di sini. Tempatnya beristirahat kini. Boleh juga disebut rumah. Matanya membelalak perlahan, tetapi kembali seperti semula dalam waktu singkat. Ia telah menduganya, tetapi mengalami dan membayangkan adalah dua hal yang berbeda. Mengalami lebih berat.
Hatinya miris.
Di gundukan tanah itu tergeletak sebuah topi dan sepasang sepatu. Topi yang tadi dicuri si bocah. Sepatu yang tadi dicuri si bocah. Di dekatnya ada seuntas bunga liar, bunga di pinggir jalan yang nama dan jenisnya orang biasa tidak pernah repot untuk mencari tahu. Di bawah sang bunga adalah secarik kertas berhias tulisan tangan yang seperti cakar ayam. Tapi ia bisa membacanya.
Dan makin menjatuhkannya dengan kesedihan.
“Kak, aku tahu kakak sangat menyukai topi dan sepatu ini. Kakak selalu melihat topi ini di etalase toko itu kan ? Dan kakak selalu ingin sepasang sepatu baru, sepatu kakak yang lama sudah usang kan ? Aku berusaha keras mencari topi dan sepatu ini, karena aku tahu kakak sangat menginginkannya.
Aku minta maaf karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk kakak…dan, terima kasih untuk semuanya, kak…
Adikmu tercinta.”
Hujan sekarang turun dengan deras, menerjang tanah tanpa ampun. Topi yang mahal itu basah oleh hujan, tidak diragukan akan lapuk dalam waktu singkat. Apalagi sepasang sepatu murah dari toko obral.
Di depan batu nisannya, makam seadanya yang dibuat asal-asalan, ia tersenyum pahit. Haruskah ia senang karena adiknya berjuang demi dirinya ? Tetapi bila itu hasil curian, apakah itu namanya berjuang ?
Ia ingin menangis, tapi ia seharusnya tidak bisa menangis. Hantu tidak bisa menangis.
Tidak apa-apalah, toh hujan sudah mewakili air matanya.

Jumat, 29 April 2011

@ The Bus

Oleh: Sheila Rizky





@Divane

Panas hari ini benar-benar setan.

Padahal sumpah deh. Ini tuh malam hari.

Disini. Di dalam bis hijau muda yang seperti bis-bis lainnya nge-time lagi ini….mm oke oke ngetem maksudnya. Huh. Untuk apa saya ke salon sejak pagi untuk kemudian hanya menjadikan bentuk rambut saya nggak beda dari karya seni, seperti sekarang. Abstrak.

Eh.

Dari pintu depan ada yang masuk lagi tuh. Ck ck ck.. Udah tahu bis penuhnya begini. Kayaknya dia berjalan ke arah ku..



Blugh.



Ow. Aku baru sadar kalau bangku disamping aku kosong. Nice. Sekarang dia sudah duduk semanis kucing disitu, tanpa bisa kucegah. Sebenarnya…yah. Bukan bermaksud apa-apa. Tapi aku ngerasa gatal sekali kalau ngelihat sosok ini, yang seperti ini ni – seorang cewek berkuncir kuda - berambut kering – bersweater wol merah marun - bercelana training biru tua - ber ransel hitam sebesar bantal – dan terlebih – sama sekali nggak ada tanda-tanda keberadaan kosmetik di wajahnya (yang kulitnya pun agak bermasalah)! The worst costume versi majalah Gue, yang dia kenakan entah sejak kapan. Oh my..

Pengen sekali saya menepok bahunya dan berkata dengan manis, Hai! Apa kamu tahu apa yang kamu pake saat ini? Mungkin kamu mengambil pakaian dari lemari yang salah.

Dia kelihatan asyik membaca buku (yang aku ragu kalau itu adalah kamus bahasa Eskimo) dengan tebal yang tak terkatakan dari bahasa planet bumi. Dari tadi, semenjak menjatuhkan tubuhnya pada bangku sebelah ku. Dari tadi dia diam saja, juga semenjak mengenakan kacamata tebalnya dan memulai untuk menekuni buku Eskimo itu.

Uh nggak enak diperhatiin banget sih!



Bremmm… Thanks God! Antarkanlah saya menuju ruang penuh AC di rumah segera, Tuhan..



Ups. Aku malah jadi merhatiin dia terus.





@Rufy

Huft.. Syukur nih bis udah jalan. Panas amat sih ih disini..

Tapi ngomong-ngomong. Kenapa cewek disamping dari tadi kaya ngeliatin terus sih? Nggak suka ya aku duduk disini ? Ih. Mentang-mentang amat...

Aku sempat melirik gadis itu dari ekor mataku. Jatuh pandanganku pada penampakannya: kaus hitam tanpa lengan, kalung rantai mungil yang catchy, rok pendek tumpuk, sepatu boot…yang aku tahu, semua itu barang bermerek. Dan rambutnya, rambutnya imut sekali, bergaya ala Taylor Swift dan wajah putihnya, yang jelas matching beud dengan apa yang dia kenakan. Yeah. Emang benar. Dia lagi ngelirik-lirik aku nih! Kira aku nggak tahu. Okelah. Emang aku abis dari bakti sosial, jadi wajar ‘kan penampilan jadi rada kacau gini..

Apa dia orang baru ya disini ? Apa aku tegur aja ya soal..

Emh... Mungkin nanti deh. Aku mau khatamin buku sial ini dulu.

Pengen banget bilang, Ya ampun please. Kamu nggak mau menyodorkan diri buat dijahatin ‘kan? Dan oh ya. Gaya lo tuh sok asik banget!

Ck. Nggak enak tau diliatin melulu!





@Rufy

27 Februari 2011

Seorang gadis muda berinisial DK, menjadi korban perampokan di sebuah bis malam jurusan Pulo Gadung. Pelaku yang diduga memang sudah sering beroperasi disitu, rupanya telah mengintai sejak tadi dan menunggu hingga gadis tersebut lengah. Beberapa saat kemudian, ketika bis mulai sepi pelaku kemudian menodongnya. Alhasil, tas beserta uang dan handphone gadis tersebut raib. Kejadian ini sempat..... ..... ......



Aku membeli koran hari ini dan....tebak apa. Kejadian hari itu masuk ke koran. Waw. Sejujurnya aku ngerasa itu hiperbol banget buat dimasukin ke koran ini. Yah, hal itu udah sering terjadi ‘kan.. Aku menyempatkan diri membaca scan berita pojokan itu.



Hingga saat ini pihak kepolisian masih berusaha mengusut kasus ini



Salahku juga waktu itu nggak ngomong-ngomong ke dia. Huh. Lagian gayanya yang tengil duluan.



Diduga hal itu terjadi karena sang gadis yang berpakaian mencolok... .... ....



Ehem. Oke. Kalimat terakhir itu karanganku aja.

Tangan Ibuku

Oleh: @meiizt



Tangan ibu adalah tangan paling hangat yang pernah kukenal. Jemarinya yang kuat dan kulitnya yang halus selalu menguatkanku dari kegoyahan apapun. Sampai sekarang, setelah aku menjalani hidup berumah tangga dengan Mas Fadly, hal ini tidak berubah.
“Erni, nduk, kamu kenapa?”
Suatu hari ibuku datang ke rumah, saat Mas Fadly sedang bekerja. Dan aku menangis di pangkuannya. Tangan ibu membelai lembut lebam-lebam biru yang membekas di lenganku, di punggungku, dan di pipiku. Aku hanya bisa menjawab dengan tangisan.
“Sabar ya, Nduk… Gusti Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, Nduk...”
Aku sebisa mungkin menahan tangis, lalu kutatap wajah tuanya, kutatap dalam-dalam matanya yang masih bersinar itu.
“Iya, Bu. Erni berusaha sabar, Bu. Doakan Erni ya, Bu…”
Ibuku membelai lembut kepalaku, lalu ia mengingatkanku kalau sekarang sudah waktunya dia harus pulang. Mas Fadly sebentar lagi pulang, dan kalau dia melihat ibuku disini, lebam-lebam biru di tubuhku ini akan bertambah banyak dalam sekejap saja.
Dulu setelah bertemu mas Fadly, kupikir tangannya akan menghangatkan dan melindungiku ketika aku jauh dari ibu. Aku memang baru sekali bertemu dengannya sebelum pernikahan itu, almarhum bapakku yang menjodohkan kami. Mas Fadly adalah bekas murid bapak di SMA. Kata bapak, Mas Fadly itu murid yang cerdas dan aktif di kegiatan, dan dia pernah menjadi ketua OSIS. Ah, aku jadi jatuh cinta padanya, meskipun aku belum bertemu dengannya.

“Erni! Erni!” suara Mas Fadly menghantamku, rupanya ia baru datang. Aku melangkah cepat ke ruang depan.
“Ya Mas, Mas sudah pulang?”
“Erni! Kurang ajar kamu ya!” tanpa basa-basi, bahkan tak menjawab sapaanku, tangannya telah terlebih dahulu melayang ke wajahku.
PLAKK!!
“Ma…Mas..?” dengan suara bergetar, aku menatap lelaki itu, yang sekarang berkacak pinggang dengan wajah murka.
“Kamu pikir bisa membodohi aku, hah?! Kamu pikir aku nggak tahu kalau ibumu sering kesini waktu aku kerja?! Kurang ajar!”
Tamparan itu mendarat lagi, aku jatuh ke lantai.
Air mata seolah tak lelah mengaliri pipiku yang panas.
“Ma… maafkan Erni, Mas… Erni cuma… Cuma…”
“Cuma apa?! Mas udah bilang berapa kali, kamu itu nggak boleh ketemu sama siapapun! Ngerti?! Kamu itu harus diam di rumah terus, ngerti?! Jadi istri aja nggak becus, mau kamu itu apa, hah?!”
Aku menunduk, air mata ini semakin deras mengalir.
Duh Gusti Allah, kuatkan hambamu ini Ya Allah…
Mas Fadly masih marah-marah, sesekali kakinya menendangku dan tangannya menampar wajahku. Tapi saat itu, yang melayang-layang di pikiranku hanyalah kehangatan lembut tangan ibuku. Ibuku yang menggendongku sewaktu aku masih bayi, memandikanku dengan lembut, meninabobokanku, mengganti popokku, menenagkanku saat aku menangis, memberi kekuatan dalam setiap langkah hidupku…
Saat itu pula aku bertekad, aku tak akan mati sebelum bisa menjadi sosok ibu yang hangat juga. Dari siksaan fisik yang diberikan Mas Fadly, aku selalu melindungi perutku. Aku akan selalu melindungi janin yang masih berumur tiga bulan ini.
Mas Fadly belum tahu, rencananya hari ini aku akan memberitahunya. Tapi, dia keburu memarahiku. Ah, tapi tiba-tiba marahnya berhenti. Kenapa? Kenapa? Saat itu pandanganku sudah kabur.
Samar-samar, aku melihat darah yang banyak, darah yang banyak menggenang di lantai. Darah yang banyak, mengalir dari pangkal pahaku. Aku tak bisa melihat ekspresi Mas Fadly ketika dia berteriak memanggil-manggil para pembantu rumah tangga. Gelap, gelap.

Genggaman Mimpi

Oleh: Triayu Rahmadiah (@aiiusisebelas)


Sudah seminggu aku terbaring di rumah sakit. Kejadian itu memberikan trauma terdalam buatku.
***
”Aduuhhh, astaghfirullah ...ya Allah sakittt ...”, aku mengerang kesakitan dengan badan tergeletak di bawah ring. Darah segar mulai membentuk aliran di sekitar ring basket. Badanku sudah tak cukup kuat menahan sakit ini, hingga akhirnya aku tertidur entah berapa lama. Terakhir yang aku ingat adalah sebuah tulang yang menyembul dibalik balutan daging tanganku.
Ya, peristiwa itu dimana saat aku tak cukup kuat beradu jumping dengan tim lawan hingga akhirnya aku terjatuh dan tak sengaja badan gempal sang center menghempas tubuhku dan tulang-tulang kakinya yang besar membuat barisan tulang-tulang tanganku sedikit terganggu.
Ngilu rasanya jika harus mengingat kejadian itu lagi.
***
” Rasya udah bangun Nak”, sapa mama lembut sambil membelai rambutku. Ku lihat juga papa berdiri dengan senyum manis disudut bibirnya di samping tempat tidur rumah sakit ini.
Aku belum kuat untuk menggerakkan bibirku mengeluarkan sebait kata. Lama aku menerawang langit-langit rumah sakit yang putih. Bau-bau obat juga sangat menyengat. Sangat kontras.
Sejak kecil aku benci rumah sakit. Bagiku berada di rumah sakit seperti mendekati kematian saja. Entah darimana aku membuat kesimpulan seperti itu.
Balutan perban di tanganku membuat ruang sempit pergerakkanku. Setelah ku rasa cukup kuat untuk bersuara, aku pun angkat bicara, ”Ma ..pa ..Rasya mau pulang”.
”Iya sayang, tapi tunggu izin dari dokter ya”, kata papa.
”Rasya maunya sekaraaanngggg ....”, teriakku sambil menangis. Aku tak mau berada disini terlalu lama. Terbaring lemah tak berdaya disini membuatku semakin sedih dengan keadaanku sekarang. Tanganku patah. ”Aku tak bisa bermain basket lagi”, jeritku dalam hati.
Mama dan Papa tak kuasa melihatku terus-terusan menangis minta dipulangkan. Akhirnya setelah berjibaku dengan dokter, akhirnya dokter pun mengizinkan aku untuk pulang dan beristirahat di rumah.
***
Sesampai di rumah aku langsung berlari menuju kamarku, mengunci pintu. Aku tak mau diganggu. Kejadian patah tangan ini merupakan musibah besar bagiku. Minggu depan adalah keberangkatanku menuju Basketball Camp di Bandung sebagai perwakilan dari sekolah. Mana mungkin aku pergi dengan keadaan cacat seperti ini.
Aku terus menangis memandangi kostum basket kebanggaanku yang akan ku pakai minggu depan, sepatu basket yang baru dibelikan Papa dan ....HAHHH !!! Semuanya berantakan !!!
***
Dengan kondisi yang masih sangat lemah, ku putuskan untuk pergi ke sekolah dan ikut latihan basket. Papa dan mama tak mampu menolak keinginanku. Pelatihku bersikeras melarangku untuk latihan basket sementara waktu karena kondisiku yang belum pulih ini. Namun, aku terus memaksa.
Ku coba untuk mendrible bola menggunakan tangan kiriku yang masih waras. ”Susahnya”, jeritku dalam hati.
”Nggak. Pokoknya aku nggak boleh nyerah. Aku bisa ..ya aku bisaa ”. Aku terus menyamangati diriku sendiri. Teman-temanku sedih, melihatku yang kesusahan mendrible dengan tangan kiri. Ya, semua orang tahu kalau speed drible tangan kanank tak bisa diragukan lagi. Tak seorangpun mampu menstealnya, selain itu tembakan jarak jauhku yang menjadi ujung tombak yang membuatku terpilih mengikuti Basketball Camp minggu depan. Tapi itu tinggal impian. Setelah ku dengar pelatihku mengganti aku sebagai perwakilan dari sekolah.
”Maaf Sya. Bapak tak tega melihatmu harus berjibaku latihan mengejar ketinggalan sedangkan eventnya minggu depan. Bapak harap kamu dapat berbesar hati”, kata Pak Andi mencoba memberi pengertian kepadaku.
Aku berlari menangis meninggalkan kantor guru. Ku tuju gedung olahraga yang terletak di belakang sekolah. Sepi. Hanya suara tangisku yang memecah keheningan.
***
@ GOR C-tra Arena
Sebenarnya aku tak ingin kesini. Melihat mereka bertanding membuat hatiku semakin sakit, bahkan melebihi sakitnya kenyataan yang ku rasa.
”Seharusnya aku ada disana”, gumamku.
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku, ”Hai”. Lama aku memandangi laki-laki yang duduk disebelahku itu, ”Sepertinya aku mengenalnya. Tapi siapa ya?”.
”Rio”, katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku membalas uluran tangannya, masih dengan tanya besar.
Setelah cukup lama aku mengingat, aku mengetahui kalau laki-laki yang bernama Rio itu adalah salah satu pemain terbaik saat ajang Nasional tahun kemarin.
Seperti bisa membaca pikiranku saja Rio langsung menjawab, ”sudah tahu kan siapa gue”. Aku hanya mengangguk tersenyum.
”Emang sih sakit saat kita tak bisa berada di tempat yang sangat kita idam-idamkan sejak lama.Tapi yah ..namanya juga musibah”, katanya. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan , ”Kok lo bisa ada disini Io”.
”Dengan cara ini aku bisa menghirup sedikit energi yang terkandung disini. Aku mencoba mencari sedikit kekuatan untuk bisa bangkit lagi”, katanya. Ku lihat dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, ”Gak ada apa-apa”.
”Semua orang memang menganggapku sehat wal afiat, tapi sebenarnya tidak. Kakiku tak dapat berlari cepat seperti biasa. Tulangku remuk”.
”Waduh lebih parah dari gue tuh”, pikirku. ”Tapi aku masih punya kemauan, punya mimpi untuk bisa berdiri dimana aku bisa hidup lebih berarti”. ”Disana”, tunjuknya kearah lapangan. ”Sudah setahun aku memulihkan ini. Hampir putus asa rasanya, tapi ...”. ”aku masih punya mimpi yang bisa menopangku untuk mampu berlari seperti dulu”.
Rio seperti membawa energi yang luar biasa. Aku yang sebenarnya hampir putus asa, kini terasa semangat lagi. Energi positif Rio memenuhi dadaku.
Belum sempat wasit meniup peluit tanda berakhir pertandingan, aku sudah memutuskan untuk pulang.
Ku ambil kostum basket dan sepatuku, ku tuju lapangan basket di belakang rumahku. Aku terus berlatih dengan segalanya kekurangan yang ku punya.
Hari terus berganti hingga sampailah saat dimana seleksi basket. Kali ini dengan event yang berbeda. Pemain terpilih akan mengikuti Camp di Amerika dan menjadi wakil dari Indonesia di ajang dunia tersebut.
Hasil kerja kerasku membuahkan hasil yang memuaskan. Puji syukur, aku terpilih menjadi salah satu pemain terpilih. Aku kini dapat bermain seperti biasa lagi, tapi kali ini tidak menggunakan tangan kananku. Tangan kiriku memiliki kekuatan tersendiri. Inilah yang menjadi penilaian plus para selector. Dan yang sangat mengejutkan adalah aku bertemu Rio lagi.
“Hai”, kata Rio basa basi.
“Hai”, balasku.
“Gak nyangka ya kita bisa bertemu lagi disini”, kataku. Rio hanya tersenyum.
“Mana tanganmu yang menyebalkan itu”, kata Rio mengejekku sambil menyenggol bahuku. Aku tak mau kalah membalas ejekannya, “Mana kakimu yang menyebalkan itu”.
Setelah puas saling ejek, kami tertawa dan sejenak beristirahat sambil menunggu keberangkatan. Di bangku tunggu bandara itu adalah saksi pencapaian mimpi kami.
”Tuhan memberikan dua tangan untuk saling menggenggam satu sama lain dan dua kaki untuk berjalan beriringan saling mengasihi”. Ku rasakan getaran panas mengaliri tangan dan kakiku saat Rio menciumku mesra.

Untuk Apa?

Oleh: @peri_hutan
Zhuelhiez.posterous.com

Aku mempunyainya, semua orang juga mempunyainya, hampir.
Kita menggunakannya setiap hari, salah satu organ terpenting di tubuh kita. pertanyaan terbesar adalah, apa yang akan kita lakukan padanya? untuk apa?
Kita makan, menulis, menyisir rambut bahkan ngupil pun kita membutuhkannya. hal - hal sepele pun bergantung padanya.
Bahkan, ada semboyan khusus atau award saking berjasanya dia buat kita, "Lebih baik tangan diatas daripada tangan dibawah". Tuhan pun mengutus Roqib dan Atit untuk mencatat apa yang telah kita perbuat dengan pemberiannya itu.
Aku termasuk orang yang beruntung, karena aku diberi kepercayaan untuk memilikinya, dan tugasku adalah untuk apa aku menggunakannya?
Seringkali ketika aku di jalan, naik kendaraan umum, makan di warteg, kaki lima ada utusan Tuhan untuk menguji pemberiannya itu padaku.
Sering kali mereka memaksa, ada juga yang dengan ikhlas menerima penolakan ku. aku hanya berpikir, "Kenapa tidak berusaha dulu sebelum menyerah pada jalanan, apakah puas dengan hanya mengatungkan tangan?".
Biasanya, aku melihat dulu siapa yang mengatungkan tangan itu, apakah dia pemuda yang tampilannya norak dengan mencontoh artis jaman sekarang menyanyikan lagu dengan suara sumbang yang paling - paling hasil uluran tanganku itu untuk membeli rokok bahkan kadang untuk membeli "minuman"? orang tua yang dengan tega membawa anak mereka dengan alasan supaya aku mengulurkan tanganku? atau musisi jalanan yang dengan jeniusnya memaparkan hasil karya mereka yang tidak diterima di panggung hiburan layar kaca?
Aku sangat pemilih dalam menggunakan tanganku ini.
Tidak semua orang dapat merasakan uluran tanganku.
Aku jahat? biar Tuhan yang menilai.

OBSESI

Oleh: Abi Ardianda




Pria bajingan itu bersarang di kepalaku. Ia tak'kan pergi kecuali aku mati.

***

Fotonya basah kujilati. Kemudian aku mengguntingnya menjadi potongan-potongan kecil, lalu kucemplungkan ke bak mandi. Darah yang mengalir dari ukiran namanya di lengan dan pergelanganku menetes, membuat genangan air dalam bak tadi menjadi merah muda. Nah, seperti itulah cara melampiaskan kerinduanku padanya.

Tahukah kau bagian terburuk dari merindu? Yaitu ketika kau menyadari segala keterbatasan yang ada, namun tak kau temukan satu pun cara untuk menemuinya. Mendadak kematian terasa lebih menggiurkan ketimbang melanjutkan hidup tanpanya.

Ya. Memang separah itu. Mencintainya membuatku merasa seperti pengguna narkotika. Sama seperti ketika kau mencandui sesuatu yang seharusnya tidak kau candui, tetapi kau tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.

Gontai kutinggalkan kamar mandi menuju pantry, tempat di mana terdapat mini bar dengan empat buah kursi berhadapan. Biasanya, bajingan itu duduk di sampingku, menghirup wangi rambutku sebelum kami bercinta di atas meja.

Kutegak lagi cairan kuning keemasan dari dalam botol. Terasa panas ketika ia berhasil menerjuni tenggorokan dan bergolak dalam pencernaan. Aku telah menghabisi tiga per empat isi botol sejak sekian jam tadi.

Aku sudah berjanji, ini akan menjadi botol terakhirku malam ini.

Dulu, bajingan itu juga mengiming-imingiku banyak janji. Ia memercayai rahimku untuk anak gadisnya yang kelak akan ia namai Miami, sama seperti nama sebuah cafe di Tokyo, saat ia mengajakku liburan ke sana beberapa waktu silam. Ia juga berjanji akan menemaniku berziarah ke makam ayah di Malang, setelah ibu memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di panti jompo, aku tidak pernah ke sana lagi. Selain itu ia juga berjanji membelikanku rumah. Mobil. Banyak lagi.

Tapi rupanya ia membuang janji sesering ia buang tahi. Angannya tak lebih dari semburan asap rokok, yang pelan-pelan meniada sampai akhirnya sirna. Setelah puas menghabisiku, dengan langkah ringan ia meninggalkanku pergi sambil melambai ketika ia telah sampai di pelukan wanita lain.

Namun hukum alam tetap berjalan seperti sedia kala. Tuhan tidak buta. Karma membuatnya jatuh dan tersandung kemudian. Waktu itu, air matanya yang bersimbah saat ia menyembahku berhasil membuatku luluh. Ia bersumpah, akan berubah dan menjadi miliku secara utuh. Memaafkannya terdengar seperti ketololan yang sempurna. Tapi toh tetap kulakukan juga.

Kupikir ia akan benar-benar berubah. Ternyata tidak. Sama sekali tidak.

Dia pikir aku akan diam saja? Dan membiarkannya mengulangi kesalahan yang sama? Puih!

Kuhabiskan botol minumanku. Dan kutaruh kemaluannya di sana, bagian terakhir setelah bagian-bagian lain kusebar di beberapa bagian rumah ini.

Lalu kurasakan nyeri di pergelanganku semakin menjadi.

Aku nyaris lupa, apa yang akhirnya membuatnya pergi dari kepalaku.

Do You Hate Monday?

Oleh: Ninda Syahfi (@nindasyahfi)




Do You Hate Monday?

Selalu ada perasaan gelisah ketika mendengar kata Senin. Mereka yang rutin beraktivitas seminggu penuh; Senin hingga Jumat, pasti bisa dengan mudah merasa tertekan, mengingat singkatnya masa beristirahat yang hanya diberikan dua hari: Sabtu dan Minggu. Senin adalah neraka, sedangkan Jumat malam, Sabtu, dan Minggu adalah surga. Sebuah rutinitas panjang karena akan selalu seperti itu. Dimulai pada hari Senin, dan diakhiri pada hari Minggu.

I hate Monday, atau aku benci hari Senin menjadi tagline hidup orang - orang ini. Orang - orang yang merasakan kejenuhan luar biasa akan aktivitasnya yang sangat teratur. Monoton.

Bagaimana jika kita geser. Awal rutinitas dimulai hari Sabtu, lalu berakhir pada hari Jumat? Dan tidak ada lagi Satnight, digantikan oleh Thursnight? Pasti akan ada I hate Saturday setelahnya.

Banyak harapan menjelang weekend, tapi banyak pula yang tega mematahkannya.

A: Yippie! Pulang kerja gak kena macet. It’s time to refreshing. Happy weekend..
B: Tapi besok udah Sabtu aja, trus Minggu, trus Senin lagi! Hahaha *bikindown

Atau,

A: Holidayeaaaaaaaaaaaaay!! Mari ke pantai..
B: Woi jangan keenakan di sana. Balik sebelum Minggu siang. Macet!

Begitulah.

“Pulang yuk! Tinggal kita berdua doang di sini. Masih ada hari Senin..”
“Sebentar..” Aku mematikan komputer kerjaku.

Terlihat dua orang pekerja setia; Office Boy dan Cleaning Service, bersiap membereskan ruangan ini. Aku dan rekan kerjaku juga bersiap meninggalkan ruangan ini, kantor ini, dan rutinitas minggu ini.

Menatap tumpukan kertas kerja, membuatku kembali mengingat hari Senin, juga mengingat singkatnya masa liburan setiap minggunya. Ah sudahlah..

I hate Monday akan selalu ada. Tapi akan selalu ada juga jalan untuk mengikhlaskannya, I don’t hate Monday, I will..

Bila Waktuku Tiba

Oleh: Rosarina Liman (@yulialiman)



Bila Waktuku Tiba

Semua terjadi begitu saja
tanpa aku sadari dia sudah memasuki
alam sadar dan tidurku
Siapa yang salah?

Sudah kubentengi seluruh tubuhku
duri-duri tajam menjaga
tak mampu menolongku
Siapa yang salah?

Airmata membasahi pipi
tiap kali kumengingatnya
yang baik hati
Siapa yang salah?

Bila waktuku tiba
tak ingin dia tahu
akan kubawa serta rasa ini
Siapakah yang salah?

Hanya maaf dan terima kasih
mampu kuucapkan tanpa kata
semoga dia tahu
Akulah yang salah!

Selamat tinggal
aku pergi dulu
menujuNya
Akulah yang salah

Perempuan Pencemburu

Oleh : @beebuih



Aku benar-benar gila karena tak membiarkan bulan memantulkan cahaymu.

Aku benar-benar gila karena tak bisa melihat bayanganmu sendiri mengakrabimu, berjalan seiring denganmu.

Aku benar-benar dibuat gila bila kau tak henti-hentinya mengagumi semesta dan mengabaikanku yang berusaha bersinar seperti matahari, berusaha hangat seperti bulan dan berusaha teduh seperti hujan.

Dongeng Kertas

Oleh: Yudha Patria Yustianto
http://yudha25patria.wordpress.com/



Di atas meja itu, kamu bisa melihat buku-buku berjajar rapi… tempat pensil, lengkap dengan pulpen, penghapus, dan penggaris bergambar kartun kucing. Di dalam laci meja itu, ada sebuah kotak terbuat dari anyaman bambu berwarna kecoklatan. Di dalamnya, ada setumpuk amplop berwarna-warni. Isinya surat.

Di pojok ruangan ini, ada sebuah dipan. Di atasnya, tertidur anak gadis yang sedang tidur pulas berselimut bed cover tebal. Mungkin dia sedang mimpi indah. Aku selalu memerhatikan dia dari sini. Setiap gerak-geriknya dari pagi hingga malam, aku tahu semua. Beberapa waktu yang lalu, misalnya. Begitu ia pulang sekolah, anak gadis itu buru-buru mengunci pintu kamar dan menaruh tas ransel warna merah muda ke atas kasur. Dia seperti mencari-cari sesuatu di dalam situ. Voila! Sebuah amplop biru muda, isinya surat.

Dibacanya isi surat itu. Aku juga ingin baca, tapi tidak bisa. Mungkin surat itu menyenangkan, karena tiap membacanya, anak gadis itu selalu tersenyum. Aku juga ingin membacanya. Mungkin aku harus belajar baca mulai dari sekarang.

Sejak pagi sampai malam, aku terus belajar membaca, tapi tak banyak yang bisa kupelajari. Sementara aku belajar membaca, anak gadis itu tumbuh semakin tinggi dari hari ke hari. Seingatku, kemarin dia hanya setinggi gagang sapu, tapi kini telah menyamai tinggi lemari. Bila dia semakin tinggi, akan setinggi apa anak gadis ini nanti?

Tik tok tik tok… Suara detik jam terdengar jelas sekali. Semuanya biasa saja, sampai aku sadar ada yang aneh terjadi di malam ini. Dari luar rumah tampak kilatan cahaya sesekali. Si anak gadis terbangun dari tidurnya. Ayahnya masuk ke dalam kamar, berteriak dengan suara keras sekali. Wajah anak gadis itu menjadi pucat pasi, lalu mereka berdua pergi meninggalkan ruangan ini . Apa yang terjadi? pikirku.

Kilatan cahaya itu muncul dan muncul lagi, lalu tiba-tiba suara letusan bagai guntur menggetarkan dinding dan kaca jendela. Aku takut. Suara letusan dan getaran terus beradu seperti tak pernah mau berhenti. Getarannya begitu hebat sampai akhirnya kaca-kaca jendela di ruangan ini pecah. Di antara suara letusan yang dahsyat itu, terdengar juga suara letusan yang lebih kecil dan berentet. “Trraattatatatattt… Dhuarr!!! Trrraaatatattatt… Dhuarr!!!” Aku bertambah takut. Demi apapun, aku berani bersumpah… aku tidak pernah merasa setakut ini. Aku terguncang oleh getaran. Aku jatuh ke lantai. Suara gedebrak yang keras menyambutku.

***

Ah, aku di sini lagi. Di ruangan ini lagi. Matahari itu lagi.
Ah, anak gadis itu lagi, dengan ayahnya berdua. Mereka tampak sedang bekerja di ruangan ini. Ayah nya kelihatan gusar mengosongkan lemari, memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar, sedangkan anak gadisnya membereskan barang-barang di meja. Anak gadis itu membuka laci, lalu mengambil kotak anyaman bambu dan memasukkannya ke kantong kain berwarna putih. Ia melakukannya terburu-buru, hingga surat-surat yang ada di dalam kotak itu berhamburan. Ah, ceroboh sekali! pikirku. Semuanya terburai di lantai ‘kan?

Ayahnya menarik lengan anak gadis itu. Dia meronta-ronta, tapi tangan ayahnya lebih besar dan kekar. Mereka berdua pergi begitu saja dari ruangan ini. Meja, lemari, dipan, aku dan surat-surat yang berceceran ditinggal dalam hening dan sunyi.

Di luar ruangan ini, samar-samar terdengar derap langkah yang banyak sekali. Asap dan debu pekat masuk lewat jendela yang sudah tak berkaca lagi. Kutunggu sampai malam tiba, anak gadis dan ayahnya tak kunjung kembali. Seluruh lantai berantakan karena pecahan kaca serta debu yang tak disapu. Kasur, bantal dan selimut yang biasanya wangi juga menjadi bau. Ke mana perginya kau, anak gadisku? Baru sehari saja ditinggal, aku sudah merasa rindu.

Ketika cahaya matahari kembali, seorang pria dengan topi besi berwarna hitam masuk ke ruangan ini. Dia berbadan tegap, jauh lebih tinggi dari anak gadisku… Aku takjub melihat benda panjang di bahunya. Terbuat dari besi dan kayu, tak pernah kulihat benda seperti itu sebelumnya. Pria ini yang membawa benda menakjubkan ini melihat seisi ruangan. Matanya tertuju pada amplop-amplop surat anak gadisku yang berserakan di lantai. Ia mengambil salah satu, lalu membaca isinya. Belum selesai membaca, ia meremas surat itu lalu membuangnya ke lantai. Ia mengambil satu amplop lagi, dan melakukan hal yang sama. Ia melakukan itu sampai semua surat di lantai berubah menjadi kertas yang tiada arti.

Setelah selesai, pria tegap itu melihat ke arahku. Alangkah baiknya pria ini padaku! Ia mengembalikan aku pada posisiku semula. Ia mengutak-atik diriku. Geli. Setelah selesai, ia tersenyum, lalu pergi meninggalkan ruangan ini.

Tik tok tik tok… Suara detik jam kembali terdengar di ruangan ini. Tik tok tik tok… Sekian lama aku menunggu, tak pernah anak gadisku kembali, tidak pula ayahnya, atau pria tegap yang menenteng benda menakjubkan di bahunya itu.

Tik tok tik tok… Aku memperhatikan kertas-kertas di lantai dengan iba. Mungkin kertas-kertas itu tidak memiliki nasib yang baik. Tik tok tik tok… Aku yang sudah pernah belajar membaca ini, hanya mengenali satu kata yang tertulis di atas kertas lecek itu.

“L'amour.”

Artinya: Cinta.

Suara detik berhenti. Dan ruangan ini kembali sepi.

Kau Percaya?

Oleh: @stellanike




“Kau percaya kalau kukatakan aku ini—atheis?”

Ada yang khas dalam suaranya, seperti biasa. Nada-nada polos yang menggoda, menawan hati siapapun yang mendengar, membuatnya nampak seperti gadis kecil tak berdosa. Namun juga diwarnai lantunan lembut yang nakal, yang memperingatkan untuk selalu waspada akan jebakan yang dibuat oleh kata-kata. Suatu kebingungan—itulah yang diincarnya. Membuat sang lawan bicara lengah dan jatuh dalam tipuan manisnya.

Sang pemuda cukup awas untuk tak terpengaruh buaian merdu sang gadis. Ia masih terus menatap buku yang terbuka di hadapannya, tak menghiraukan sosok yang berdiri di hadapan, di bagian seberang meja tempatnya duduk dan membaca. Sebisa mungkin ia berusaha mengacuhkan siluet itu, yang cukup dikenalnya sebagai seorang biang onar.

Tidak, kali ini ia tak mau terseret dalam pertengkaran yang biasa mereka lakukan tiap bertemu.

“Hei. Kau mendengarku kan?”

Kursi digeser, lalu diduduki dengan tenang. Dua tangan kurus sang gadis diletakkan di atas meja, jemarinya mengetuk pelan lapisan kayu dengan irama yang ritmis, menanti jawaban dari sang pemuda. Tanpa perlu mendongak dan melihatnya, sang pemuda tahu ada seulas senyum ceria di wajah mungil gadis itu, juga binar-binar riang di manik cokelatnya. Ia sudah cukup hapal dengan raut wajah yang gadis yang suka sekali mengganggunya.

“Hei, hei, hei.”

Giginya digertakkan kuat-kuat, meredam amarah yang meningkat drastis. Fokusnya terpecah sedari tadi semenjak gadis itu melangkah mendekatinya. Barisan-barisan kata yang dibaca nampak tak lagi bermakna, terasa layaknya omong kosong yang tak dapat dicerna. Ingin ia mengusir sang gadis, tapi ada yang mencegahnya. Sesuatu dalam suara itu, yang terdengar mendesak samar-samar.

Sang pemuda mendengus. Pikiran yang bodoh.

“Hoi.” Jeda. “Aku lempar buku lho.”

Mau tak mau sang pemuda pun mendongak, balas memandang sang pengusik ketenangan dari balik lensa kacamata yang tebal. Sorotnya yang tajam menghujam, mengucap tanya tanpa kata. Tangannya menutup buku, sadar bahwa ia takkan mendapat waktu baca miliknya lagi sebelum gadis itu pergi. Kan dia cewek bawel yang tak bisa diam.

“Percaya,” akhirnya sang pemuda mengucap. Tegas tanpa ragu. Punggungnya disandarkan ke belakang, menempel pada sandaran kursi yang tak dapat dikatakan nyaman. Lengannya dilipat, disilangkan di depan dada. Lagaknya santai, namun tetap bersiaga. Tak ada yang dapat menduga apa yang akan dilakukan lawan bicaranya. Bisa saja gadis itu betulan melempar buku ke arahnya.

Bibir ranum itu merekah, membentuk seringai lebar. Ekspresi wajah sang gadis nampak lebih rileks setelahnya, seolah-olah lega. Kilatan entah apa mampir di kristalnya yang bening, yang membuat sang pemuda mau tak mau menatapnya dengan penuh perhatian. Siku ditumpukan pada meja, sementara tangannya menyangga kepala.

“Kenapa?”

Satu kata yang terdengar menantang, mengharap jawaban, meminta penjelasan. Tapi juga ada rasa ingin tahu dan heran yang melebur. Seakan-akan sang gadis ragu bahwa yang ditanya betulan percaya—namun sekaligus yakin bahwa yang diungkapkan oleh sang pemuda adalah fakta.

Alisnya terangkat. “Ada seseorang yang menceritakannya,” sahut sang pemuda. Singkat. Dengan nada ketus yang disamarkan sebisa mungkin. Senyuman miring tercetak di wajah.

“Oh.” Matanya membulat sempurna, binarnya meredup sebagian. Sang gadis nampak tak mengharapkan jawaban macam itu. Kekecewaan dan kebingungan terlihat jelas di mukanya, walau kemudian ditepis jauh-jauh. Ia mengangkat bahu seolah tak peduli (tapi sang pemuda dapat melihatnya, sang gadis menelan jawaban itu dan memasukkannya dalam hati). “Kalau kukatakan aku ini—anak haram?”

Keningnya berkerut. Oke, ada apa ini sebenarnya? Kenapa sang gadis menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan macam begini? Jebakan jenis baru? Permainan aneh yang ditemukannya entah darimana? Atau hanya ingin menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting begini?

“Percaya,” lagi sang pemuda menjawab. Tatapan sang gadis yang memiliki suatu sihir sepertinya (oh dasar setan manipulatif kecil) mendorongnya untuk melanjutkan dengan enggan, “Aku melihat biodata milikmu di buku catatan guru. Tak ada nama ayah.”

Kekecewaan masih nampak, lebih dalam dan lebih jelas untuk terlihat. Sang gadis mengangguk-angguk. Senyumnya dipaksakan muncul, begitu polos dan manis—tapi sang pemuda tahu racun apa yang berada di baliknya. “Mengenai sifat asliku?” Ia mencondongkan tubuhnya lebih ke depan, mengubah senyumnya menjadi cengiran lebar. “Licik dan culas. Pendusta dan bermuka dua?”

Hela nafas panjang sebelum menjawab ogah-ogahan, “Aku tahu.” Melemparkan pandangan kesal. Serius deh, ia membiarkan waktu membaca hanya untuk meladeni bocah dan pertanyaan anehnya ini? “Aku percaya kau ini serigala berbulu domba.” Kali ini tak perlu tanda-tanda dari sang gadis untuknya melanjutkan, “Di mukaku kau menyebalkan, bawel dan tukang pukul.”

Sang pemuda mengelus pipinya yang pernah menjadi korban kemarahan si gadis. Meringis sekilas kala mengingat rasanya. “Tapi di hadapan orang lain kau langsung bersikap manis dan pura-pura kalem. Sok baik. Yang lain berkata kau ini ceria dan polos. Padahal sama sekali nggak.” Mengernyit sedikit, dan mengomentari dengan jujur, “Itu memuakkan omong-omong.”

Sejenak wajah sang gadis disaputi muram dan duka. Hanya sebentar, tapi cukup untuk diamati oleh sang pemuda, membuatnya merasa bersalah—tapi ia memang mengucap kenyataan. Oh salahkan saja sifat dasarnya yang memang cuek dan tidak perhatian terhadap perasaan yang diajak bicara. Memang begitu sifatnya, mau dibagaimanakan lagi?

“Memang,” sang gadis menyetujui. Senyumnya tak lagi terkesan ceria, seolah ia kehilangan semangat. Suaranya meski begitu masih terdengar berapi-api ketika mengucap pertanyaan selanjutnya. “Kalau kukatakan aku menyukaimu. Kau percaya?”

Ha! Ini jelas adalah jebakan.

Mata sang pemuda disipitkan, menatap penuh selidik dan curiga. Mencoba mencari makna yang tersembunyi dalam kalimat barusan. Percaya? Hah, yang benar saja! Mana mungkin ia percaya akan dusta macam itu. Darimana gadis itu bisa menyukainya coba? Tiap kali mereka bertemu selalu ada kekerasan fisik yang menghiasi percakapan. Jelas bukan jenis perbincangan antar manusia yang menyukai satu sama lain.

“Pasti tidak,” akhirnya sang gadis menjawab sendiri. “Ya kan?” Keceriaan tersapu hilang sepenuhnya dari rautnya. Binar-binar dalam kristal cokelatnya tiada, entah sejak kapan. Senyumnya masih ada, tapi seakan ia terukir hanya sebagai formalitas, karena sang gadis terasa tak tersenyum. Wajahnya… penuh luka yang perih menyakitkan.

“Karena tak ada yang memberitahumu,” ucapnya, terdengar getir. Ada gemetar dalam suaranya. Sang pemuda merasakan dadanya sendiri teriris pelan kala mendengar kalimat-kalimat selanjutnya. “Karena tak ada bukti tertulis yang menyatakannya. Karena orang lain tak menceritakannya. Benar?”

Kursinya tergeser mundur saat sang gadis berdiri dengan lunglai. Sorotnya muram, namun sepasang manik miliknya menatap tegas. “Aku memang memasang topeng di hadapan orang lain.” Berhenti sejenak untuk menghela nafas. “Tapi aku selalu melepasnya di hadapan satu orang.” Menyunggingkan senyum miris. “Harusnya kau tahu aku selalu jujur padamu.”

“Aku—”

“Yang kau percayai hanya orang lain, bukan aku,” sela sang gadis. “Selama ini aku merasakannya samar-samar dan berharap salah. Tapi ternyata benar. Kau—sama sekali tak mempercayaiku.”

Saat itulah kesadaran menyentakkan sang pemuda tanpa ampun. Membuatnya memikirkan bagaimana orang lain yang tertipu mentah-mentah sementara dirinya sendiri tidak. Bagaimana ia melihat cara si gadis menyebarkan jaring kebohongan yang tak nampak, namun terlihat jelas di matanya. Bagaimana ia mengetahui sisi lain gadis itu—yang seharusnya tak mungkin ia sadari jika… sang gadis sendiri yang mengungkapnya di mukanya.

“Aku percaya padamu lho. Bahkan waktu kau berbohong.” Yang terpeta di wajahnya adalah sifat yang dimiliki oleh setiap bocah yang belum dewasa—polos dan kekanak-kanakan. Tapi sang pemuda masih tak dapat mempercayainya. “Aku percaya sepenuhnya. Sayangnya kamu tidak percaya padaku.” Tertawa kecil yang terdengar begitu memilukan. Melambaikan tangan perlahan. “Selamat tinggal kalau begitu.”

Dan dengan itu, sang gadis berbalik, berjalan menjauh. Punggungnya tegap, namun terlihat begitu rapuh.

Sang pemuda terdiam di duduknya, membisu. Ditemani keheningan mencekam yang meremas-remas hatinya. Ia selama ini melihat sang gadis berdusta sepanjang waktu. Salahkah ia jika tak mempercayai gadis itu? Toh yang salah adalah bocah itu, si bocah yang penuh tipu daya, si bocah menyebalkan yang tahu-tahu mengoceh tak jelas soal kepercayaan, si bocah yang mengatakan ia menyukainya.

Bagaimana ia tahu sang gadis tak membohonginya? Ia terlalu banyak melihat dusta terucap dari bibir itu pada orang lain. Apa yang membuat sang gadis hanya jujur padanya? Apa yang membuat sang gadis mempercayainya? Apa yang membuatnya—laki-laki yang biasa-biasa saja—istimewa?

Kalau kukatakan aku menyukaimu. Kau percaya?

Dadanya kian sesak oleh kebingungan.

Ingin percaya, tapi tak bisa. Pikiran dan hati berseteru. Pernah merasakannya?


FIN

Sayap-sayap Merpati

Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com



"Lihat baik-baik ya," kata lelaki itu kepada Nia sambil mempersiapkan pertunjukan berikutnya. Sebuah kotak berbentuk kubus dengan sisi-sisi selebar telapak tangan lelaki itu ditaruh di atas sebuah meja bulat sebesar dua kali piring makan. Dengan bilah-bilah jeruji dari kayu, kotak itu tampak seperti sarang burung.

Tidak hanya bola matanya, tapi tubuh Nia secara refleks bergerak mengarah mengikuti gerak lelaki itu yang kini mengambil buah jeruk di meja depan televisi. Lalu buah jeruk berwarna orange segar itu dimasukkan kedalam kotak.

Lelaki itu tersenyum sekilas. Sejenak matanya bertatapan dengan dua bola mata bulat Nia.

"Aaaah!" Nia terloncat untuk kesekian kalinya begitu lelaki itu menggebrak kotak itu hingga memipih, dan tentu saja jeruk itu menjadi hancur seketika. Hanya beberapa potong kecil yang selamat menembus celah-celah jeruji.

Lalu dengan santainya lelaki itu menyapukan tangannya, membersihkan baju hitamnya yang terkena percikan, menegakkan kotak itu kembali semula, dan membuang jeruk yang tak lagi segar itu.

Mata Nia masih terbelalak. Pundaknya sekilas bergetar naik turun. Tangannya mencengkeram keras boneka beruang yang ada dalam genggamannya.

Kemudian laki-laki itu beranjak mengambil selembar kain hitam lalu ditutupkan ke tangan kanannya.

"Satu, dua.. Tiga!" Tepat pada hitungan ketiga kain itu jatuh dan seketika itu pula berkelebat seekor burung merpati. Sambil membelai punggungnya, burung putih itu ia masukkan ke dalam kotak.

"Jangaaan!" Teriak Nia. Wajahnya memucat, membayangkan apa yang terjadi pada buah jeruk tadi akan menimpa merpati itu.

"Jangan takut ya Nia cantik, merpatinya tidak akan kenapa-kenapa. Percaya deh," rayu lelaki itu. Tanpa menunggu reaksi Nia, ia -sekali lagi- menggebrak, memukul keras kotak itu.

Nia menjerit seraya menutup mata dengan boneka beruang kecilnya.

"Lho kok tutup mata, lihat nih merpatinya."

Perlahan Nia mengintip dari celah ketiak boneka beruang. Kotak itu benar-benar memipih, yang terlihat adalah setumpuk bulu-bulu putih.

"Wah, ke mana badan merpatinya ya?" Lelaki itu menggilirkan pandangannya dari tangan kanan ke tangan kiri, yang kini sama-sama memegang sebuah sayap merpati.

Nia menyipitkan matanya menahan ngeri.

"Ah, coba dibalikin lagi bisa gak ya." Ditariknya bagian atas kotak itu hingga membentuk kotak seperti semula, dimasukkan lagi dua sayap merpati itu, lalu ditutupinya dengan selmbar kain hitam.

"Sim salabim!" Tangan kanannya mengayunkan sebuah tongkat, sementara tangan kirinya dengan cepat menarik kain hitam itu. Ajaib. Seekor merpati kembali muncul. Utuh dengan dua sayapnya sedikit dikepak-kepakkan.

"Mana tepuk tangannya?" Lelaki itu tersenyum menatap Nia yang telah menurunkan boneka beruang dari mukanya, dan kini menatap takjub merpati dalam kotak itu.

"Hei apa yang kau lakukan?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk. Langkahnya cepat. Sepatu hak tingginya bergemeletuk di lantai. Nia mengkerut mendengar suara itu dan segera berlari masuk ke kamarnya.

"Tenang Sis, aku cuma mau menghibur Nia, aku ingin lihat an."

"Pergi! Pergi kau biadab!"

****

Suara burung itu mengagetkan sesosok tubuh yang tengah terbaring di antara serakan boneka. Ia bergegas turun dari tempat tidur lalu mendorong kursi hijau plastiknya. Seekor cicak tampak terkejut mendengar bunyi gesekan di lantai dua itu. Sebentar kemudian sebuah jendela kaca berbingkai kayu bercat putih terbuka. Sebuah kepala yang mungil condong keluar. Rambut ikalnya yang coklat berjatuhan lau naik turun seolah ada pegas di dalamnya.

Seperti seorang teman, Nia meletakkan sebuah boneka ulat di sampingnya lalu mengelus kepalnya. Dua burung merpati yang awalnya terbang setinggi lantai dua tiba-tiba mendarat di tanah.
Mematuki entah biji-bijan apa saja yang ada di bawah sana.

Penasaran. Nia melongok apa yang dilakukan dua merpati putih di bawah sana. Namun sungguh naas, pijakan kakinya di atas kursi tak seimbang hingga ia terdorong keluar jendela. Jatuh. Tak berapa detik tubuhnya berdebam di teras samping rumah, dengan kedua tangannya menyentuh lantai putih itu terlebih dahulu.

Selain lantai, boneka ulatnya yang ikut terseret jatuh kini merasa juga basah aliran darahnya.

****

Sorak sorai penonton membahana begitu Varel mengakhiri pertunjukannya yang spektakuler. Puluhan kain warna-warni yang ia gunting kecil-kecil tiba-tiba menjelma puluhan merpati begitu ia terbangkan ke udara. Dengan sangat elegan ia mengangkat topi hitamnya dan sedikit membungkuk.

Begitu ia kembali ke belakang panggung dua orang perempuan yang tadi menjadi asistennya mendekat dengan langkah yang sama-sama genit. Keduanya bergelayuti di kiri kanan lengan Varel.

"Sukses besar kita kali ini, Mas." kata perempuan di sebelah kanan sambil membenarkan letak dasi kupu-kupunya.

"Iya, kita akan pesta sampai pagi sayang." Varel mengusap lembut dagu perempuan itu.

"Maaf Pak ada yang mencari." sesorang datang tergopoh-gopoh.

"Sudah kubilang aku tak..." tiba-tiba suaranya tercekat manakala seorang gadis kecil muncul dari balik tirai panggung.

Bajunya putih kusam dan lusuh. Sebuah boneka ulat yang tak kalah kumalnya terikat di kakinya, terseret-seret menyapu lantai.

Gadis kecil itu mendekat. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya. Hanya matanya yang terus menatap mata Varel dan makin berkaca-kaca. Dua lengan panjang bajunya berkibar-kibar tertiup kipas angin di sudut panggung. Kosong.

Varel tiba-tiba terjatuh berlutut. Segenap persendiannya serasa patah semua.


***********

Bayu dan Anjani

Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com


"Bila siang adalah saudara lelaki tua, maka malam adalah adik putri kecilnya, yang bergantian menjaga bumi."

Aku tak benar faham dengan rangkai kata itu. Urutan kata yang sering kuulang hingga menjadi kalimat paling akrab dengan lisan ini. Urutan kata yang dilafazkan ibu di akhir waktunya. Akhir waktu yang menjadi awal mula dari keterpisahan kita; aku, ibu, dan Anjani adik kesayanganku.

Tepat seminggu setelah pemakaman ibu adikku menghilang, entah ke mana. Tapi aku yakin betul kalau adikku itu hanya menghillang. Maksudku, ia hanya menjadi tubuh yang tak tampak. Entahlah, karena kulihat bapak masih mencucikan bajunya yang hanya ada dua pasang. Bapak pun melarang aku merapikan kotak kardus dan tumpukan koran yang menjadi alas tidurnya, yang tepat di pojok kamar, kamar yang kami tempati secara bersama-sama. Kamar yang menjadi satu-satunya ruang dalam rumah kami, atau tepatnya kamar berdinding kayu tipis, bersegi empat dengan ukuran tujuh kali langkah orang dewasa pada masing-masing sisinya.

Kasihan bapak, dalam kelumpuhannya harus menanggung ini semua. Sewaktu ibu masih hidup ibulah yang bekerja sebagai pemulung. Tapi kini setiap pagi bapak sudah menyeret dua kakinya -yang tak lebih besar dari pipa saluran gas- menuju bukit sampah yang terbentang tepat di depan rumah.

"Pak biar Bayu sendirian aja ya yang kerja," rengekku.

"Nanti kalau kamu sudah besar. Lihat, keranjang ini jauh lebih gede dari kamu."

"Tapi kok pagi-pagi banget sih Pak. Yang lain belum pada ke luar rumah."

"Bapak kan jalannya susah, lama sampai ke sana, lagian ini sudah lapar, siapa tau ada makanan sisa yang masih bisa dimakan,"

Begitulah, bapak tak mau pernah tinggal sendiri di rumah. Mungkin karena benda-benda kenangan ibu dan Anjani yang tak seberapa banyaknya masih utuh di kamar ini. Mukena lusuh penuh tambalan, sendal jepit ibu yang penuh dengan lilitan tali rafia warna abu-abu kusam, tas kecil Anjani yang berisi lipatan-lipatan kertas dan beberapa potongan pensil, hingga bando pinknya yang tergantung di balik pintu, semua masih tampak seperti semula, kecuali sebuahh kotak putih persegi yang mengisi bagian di mana biasanya ibu berbaring.

*****

"Pak! Bapak! Lihat, Anjani sudah pulang."

"Mana, mana?"

"Ini lihat Pak," kataku sambil menunjukkan beberapa lembar kertas. "Ini pasti Anjani yang menggambar!"

"Bukan."

"Iya Pak, sebelumnya kertas yang ini masih kosong belum ada gambarnya."

"Bukan!!!"

Kertas dalam genggamanku berjatuhan. Aku terkaget bukan main. Tak pernah bapak semarah ini. Dengan mengepalkan kedua tangannya bapak berjalan, melangkah ke luar. Namun sekilas kutangkap kesedihan menggenang di air mukanya.

Aku sangat merasa bersalah. Kutampar-tampar pipiku. Aku yakin betul ini coretan Anjani. Gambar rumah, bunga-bunga kecil, dan matahari yang sedang tersenyum.

Ah, tapi akhir-akhir ini pun aku merasa aneh. Sebagai anak yang seharusnya telah duduk di kelas enam sekolah dasar kalau sekadar mengingat hari dan tanggal adalah hal yang mudah. Namun nyatanya aku sering berselisih hari atau pun tanggal, baik dengan teman maupun dengan mandor TPA.

"Ini hari KAMIS! Bukan Rabu, kemana saja kau kemarin. Ini upahmu untuk tiga hari! Sudah malas, pintar bohong lagi!" Suatu ketika aku dibentak saat ingin meminta upah mingguan.

****

Malam melangkah hampir separuh perjalanan. Langit penuh mendung. Tiada rembulan. Namun kota belum sepenuhnya terlelap. Di sebuah rumah kumuh di tepian gunungan sampah seorang lelaki memasukkan anak laki-lakinya dalam sebuah peti, setelah sebelumnya mengeluarkan anak putrinya.

"Saatnya kau hidup hari ini nak, saatnya kau makan pagi nanti." Katanya sambil membelai rambut si puteri kecilnya.

****

Main Bola Sambil Ujan-ujanan

Minggu pagi, waktunya buat anak kecil kayak Nano nonton film kartun
Oleh: Syarif Muhammad


Minggu pagi, waktunya buat anak kecil kayak Nano nonton film kartun macam, Doraemon, Power Ranger, Ranma, Tamiya dkk.

dan Paling nggak enak kalo di rumah cuman punya satu TV. padahal hari
minggu kayak begini kan waktunya buat

nonton film Kartun...


apalagi, sekarang stasiun-stasiun tivi banyak yang bersaing bikin
acara yang oke-oke.

Malangnya di rumah Nano sekarang ini cuman ada satu TV.

di ruang tengah, dengan ukuan 28 inci. Lumayan gede lah..

tadinya ada satu lagi di kamar mama papa. Tapi, tuh TV udah tua plus
suka bikin ulah.

bayangin aja, masa kalo nonton Ultraman di kamar papa musuhnya yang
menang terus?

padahal di TV tetangga Ultramannya yang menang !

Makanya papa tuh, sekarang lagi duduk di sofa ruang tengah

maunya nonton berita-berita mulu, yang isinya cuma korupsi-korupsi
aja. Papa bukannya gak tau Kalo sebenarnya Nano kepingin

nonton film kartun.

Papa lantas memberi nasihat "kamu tuh bagusnya main di luar, ajak
teman-teman kamu main bola kek,

siapa tau kamu bisa jadi pemain bola.

Kan papa juga bisa nebeng terkenal." hehehehe



Dan benarnya saja, tiba-tiba terdenagr bunyi "kring-kring, ning-nong, Gedubraks!

eh, ternyata Nano nabrak telepon. Nano yang mukanya masih suntuk gak
bisa nonton langsung mengangkat gagang telepon.

"Siapa nih?, Siapa Nih?". tanya Nano

"Ini Rais, No.. begini kita-kita mau main bola di komplek rumah AKS (
di baca Aka Es ) sekarang !"

"Hah? kan sekarang lagi ujan, lagian saya juga lagi bad Mood nih."

"makanya Kalo lagi bad mood kita ujan-ujanan aja". Bujuk Rais

"Oke deh". nano menutup gagang telepon lantas bergegas mengambil sepedanya.

25 menit kemudian Nano tiba di komplek rumah AKS yang tidak jauh dari
rumah Nano.



Daerah tempat AKS tinggal termasuk daerah yang cukup aneh. "Kok bisa?"

Ga Peduli hujan sehari semalam atau sekedar hujan rintik2. Tetap aja kebanjiran.

kalo udah begitu, daerahnya udah kayak kandang babi. beceknya di mana2.



Namun, AKS tak pernah sombong tinggal di daerah yang pernah

masuk MUSEUM REKOR INDONESIA itu.

dia biasa2 aja tuh. Banjirnya pun ga tentu juga. Kadang biar ujan
turun 3 hari 3 malam. Besok paginya

malah ga banjir sama sekali. Sebaliknya kadang hujan turun cuma 5 menit

bisa membuat daerah itu

menjadi kolam berenang raksasa.

Suka-suka aja banjirnya, Jadi gak bisa di paksa.



kata orang sekitar situ, Konon karena dulu Asalnya danau Toba di situ.

Tapi di pindahin ama pemerintah soalnya mau di bikin

pemukiman penduduk. Terus penunggu danaunya marah karena ketinggalan pesawat

pengiriman barang.

begitu katanya..

ckckckcckk !!! ^_^



Tapi, AKS nggak percaya. Masalahnya apa ga ada lokasi laen yang bisa
di jadikan pemukiman?

kan kalu ada danau bisa di jadikan

tempat wisata. Lagian, ngepak aer sebanyak itu susah lho. belum ongkos kirimnya.

Apalagi rumah AKS di dataran tinggi

dekat pegunungan

Jadi jelas aja boong!



"Lah, terus banjirnya datang dari mana?"



Entahlah...

Yang jelas, pagi itu AKS, Rais, Junha, Wawi, Idris, Kipor, Kimir. lagi
ujan-ujanan maen bola

Ketika orang sekampung

lagi histeris gara2 banjir di pagi itu.

Padahal cuma gerimis ga lebih dari 10 menit. Yah, itu tadi

suka2 aja banjirnya mau datang kapan...


Jadi, waktu nano samapai, mereka langsung main bola sambil
ujan-ujanan, ketawa, ketiwi dll.

pas lagi asik-asik main, Tiba-tiba Idris Jatuh tak sadarkan diri. Para
tetangga yang ngeliat langsung ngasih komen,

tapi ada juga yang cuman Like doang. "Kayak status fb. SOalnya mereka
juga lagi sibuk ngurusin air yang udah masuk kerumah mereka.

anak-anak memang belon tau kalo Idris itu sebetulnya lagi sakit.
Kemarin waktu di sekolah, Idris memang masuk UKS dan pulang

kerumah , apalagi hari ini ujan-ujanan, jelas aja langsung pingsan.



kebetulan idris sebagai penjaga gawang. Lagian anak-anak keterlaluan, maennya

goblok banget, kasian kan Idris yang jadi keeper harus lompat sana,
lompat sini kayak anjing laut. Nah waktu,

Nano berhasil melesatkan tendangan keras ke arah mistar gawang. Saking
menghayati perannya sebagai keeper

Idris ampe ga sadar kalo kepalanya udah kejedot Mistar gawang.
Toeennnggg! kira-kira begitu bunyinya.




Walhasil Idris langsung ambruk ke tanah. Waktu jatuh, kepalanya duluan.

Abis kepala barulah pundak,

lutut kaki,

lutut kaki..

tapi, anak-anak belum ada yang nolong soalnya mereka tau Idris itu
cita-citanya tentara, jadi mana mungkin langsung offline

hanya gara-gara kejedot.



Sepuluh menit berlalu, tanpa ada sedikit gerakan dari tubuhnya. Idris
seperti nyamuk abis kena semprotan baygon di kamar.

saat itulah, anak-anak pada sadar kalau Idris SEKARAT!

keterlaluan juga ya, masa orang pingsan di biarin sepuluh menit?



"Ayoooo kita gottoooooooooooooooong!" seru anak-anak. Eh, sementara di
bawa ke Puskesmas dekat sini dulu. Seru Kipor.
dan ternyata ruang Gawat Darurat Puskesmas memang betul-betul Gawat!
dan daruratnya kotak P3Knya gak ada isinya alias kosong. Artinya, gak
da fasilitas pengobatannya.

gara-gara kebawa banjir dan tempat tidur pasien juga udah lapuk di
makan usia. Begitu Idris di taruh di situ, tempat tidurnya langsung
patah

dan akibatnya Idris jatuh ke lantai.

Akhirnya, kimir langsung memutuskan Idris harus di pulangkan ke
rahmatullah. eh, maksudnya ke rumahnya!





Sesampainya di rumah, untung ada E'Maknya Idris yang lagi nyapu
halaman rumah. Ibunya idris jelas kaget. Anaknya di arak-arak

keliling komplek kayak abis menang piala dunia.




Setelah di periksa oleh Kipor sang Dokter Cilik sekolah, ternyata
Idris memang ngantuk pas lagi maen bola.

tapi, dia terlalu antusias maen bola, pingin seperti Iker Casillas
penjaga gawang Real MADRID.



"nanti juga siuman," kata Kipor.

"Ciuman? Ih, kayak film dewasa aja aja!" timpal AKS.



"eh, bukan ciuman tapi, siuman. Siuman itu sadar!"



"Oh, sori deh," kata AKS.

terus mereka kembali ke rumah AKS bermaksud mau main lagi. Dan Idris
di biarkan tidur di teras rumah.

Labirin Cita Cita

Oleh: @reretno

“ Kamu harus sekolah yang rajin nak, kamu harus jadi agian dari universitas indonesia pokoknya , Ayah akan selalu mendoakanmu” Kata kata itu selau terngiang di benak Mega dan tiap kali menhingatnya, ia hanya bisa meringis sedih
Mega tidak termasuk siswa berprestasi disekolah, nilainya biasa biasa saja malahan terkadang dibawah standar rata rata, Dulu waktu di bangku SD ia memang pernah mencicipi manisnya menjadi juara kelas, ia inagat betul bagaimana ia meluapkjan perasaan senang ketika hari penerimaan rapot, Ia juga masih ingat pernah meninggalkan sepedanya di parkiran hanya karena ia terlampau senang menjadi juara kelas , ia sangat buru buru, tak sabar ingin mendengar pujian Ayahnya dan tentu saja hadiah. Dulu, seperti halnya anak SD berumur 8 tahun , Mega punya cita cita menjadi dokter, Dan sebagi motivator ulung Ayah selalu bisa memompa semangat kanak kanak mega , Ayah selalu bilang langkah pertama untuk menjadi dokter adalah dengan masuk smp unggulan , Smp unggulan akan mengantarnya ke SMA unggulan, Dengan bersekolah di sma unggulan maka Mega punya peluang lebih untuk menjadi mahasiswa Fakultas kedokteran di universitas unggulan , dalam hal ini adalah Universitas Indonesia. Ayah bahkan meminta penjahit tetangga membuatkan baju dokter untuk Mega.tentu saja mega senang , ia mengimani bahwa dirinya akan menjadi dokter meskipun belum tau dimana Universitas indonesia dan apa itu Fakultas . Yah , tapi berkali kali Mega menergaskan bahwa itu dulu.
Beberapa tahun belakangan ini Mega banyak belajar tentang sakitnya jatuh dari harapan yang ia buat dan sakitnya mengecewakan orang yang paling ia sayang.Ayah menyiapkan yang terbaik untuk pendidikan Mega , Ia sangat percaya bahwa warisan terbesarnya adalah ilmu. Cita cita terbesar Ayah adalah melihat Mega anak semata wayangnya meraih cita citanya , dengan susah payah ayah sudah menabung cukup uang sehingga Mega bisa masuk SMP unggulan. Tapi pada kenyataanya Mega malah terdampar di SMP swasta yang reputasinya buruk karena tidak diterima dimana mana.Ia menyesal bukan hanya karena kebodohanhya untuk mengenal makhluk bernama “ pacar” saat masih kelas enam , sungguh terlalu dini ia jadi kalang kabut dan prestasi belajarpun hancur tapi lebih karena ia telah mencoret satu impian besar ayahnya. Saat melihat hasil NEM Mega yang buruk , sebulir air mata menetes di pipi Ayah yang agak keriput. Ia jadi belajar untuk tidak lagi menggantung cita setinggi bintang, tapi setinggi langit langit kamar sehingga mudah digapai . Teorinya , jika ia menargetkan nilai 5 maka saat ia mendapakan nilai 6 , meskipun bukan terbilang nilai yang bagus tapi ia tetap bisa tersenyum bahwa targetnya tercapai.
Teori juga terbukti juga , Di smp ia tidak menargetkan untuk masuk sma nomor 1 dijakrta , asalkan ia bisa melanjutkan ke sma negeri itu sudah lebih dari cukup. Dan benar saja di sinilah sekarang Mega berdiri , bukan di sma berstandar internasional, hanya sma negeri biasa tapi cukup terkenal di lingkunganya , setidaknya reputasi sma nya sekarang tidak buruk.

*******
“ bagaimana UTS kamu nak?” tanya ayah suatu pagi
“ ya nggak gimana gimana , biasa aja” kata Mega ia tak ingin menjelaskan lebih banyak tentang empat mata pelajaran yg tidak tuntas
“ kamu harus bisa masuk lima besar, harus minimal sepuluh besarlah “ ayah menepuk nepuk pundak Mega yang saat ini tengah menikamati sarapan
“ jangan berharap Yah , aku bukan anak pinter bisa naik kelas aja sukur “ sebenarnya mega tidak ingin membicrakan ini.
“ looh kenapa nggak bisa, kamu memvonis dirimu sendiri, kemana harapan harapanmu dulu , harapan adalah satu kunci kesuksesan ” Ada nada marah yang terselip di kata kata ayah, tapi muka Ayah tetap datar
“ tauk ah Yah, ayah nggak pernah belajar dari pengalaman sih, dulu aku suka berharap punya ibu tapi apa ? aku tetap nggak punya ibu kan, dari dulu aku Cuma punya ayah , terus kalo teman temanku tanya kemana ibumu ? aku bilang sudah pergi nggak tau kemana “
Mega pergi meninggalkan Ayah yang belum sempat berkata apa apa, tapi mukanya tidak lagi datar , ada semacam rasa bersalah disana . Dan Mega pun merasakan hal yang sama ia juga heran entah setan mana yang mempengaruhinya berkata begitu lancang. Ia mau minta maaf dan mencium tangan ayahnya , Hanya saja keegoisanya yidak mengizinkan
*******
Pagi itu seperti pagi biasanya matahari terbit dari timur , burung burung empunya sangkar di pohon mangga berkicau ria . hanya saja hujan yang mengguyur Jakarta semalam membuat jalanan becek.
“ Ayah mau ngomong sebentar” sedikit kaget juga Mega mendengarnya sebelum akhirnya berkata
“ iya kenapa ? ayah mau marah soal kemaren “
“ enggak ada alasan untuk marah, kamu benar Ayah egois terlalu memaksamu berprestasi masuk ui dan jadi dokter , padahal ayah sendiri tak mampu memenuhi harapanmu punya ibu , kau tau kenapa ibu mu dulu meninggalkan ayah ? karena ayah tak mampu memnuhi kebutuhanya ayah nggak sempurna sebagai laki laki . tapi ayah mau kamu bisa memnggapku ayah yang sempurna” kata kata ayah begitu dalam .
Mega tak berkata apa apa , memluk ayahnya dengan sesunggukan . sunguh ia merasa lebih tolol dari siapapun. “ sudah sudah ayao ayah antar naik motor sampai depan gang “ ayah tak pernah mengizinkan sepatu mega kotor karena becek .
Sesampainya di depan gang Mega mencium tangan ayahnya , sekarang bukan Cuma wajahnya yang keriput, kulit tanganya pun juga menua.
“ hati hati nak” ayah menyungging senyum teramahnya lalu membalikan motor bututnya dijalanan aspal yang licin untuk menyebrang .
Tiba tiba dari arah berlawanan sebuah mobil pick up warna biru tua hialang kendali , Mega menoreh kearah Ayah , ingin memperingatkan tapi sudah terlalu lambat.
*********
4 tahun kemudian
. “Terima kasih untuk setiap kenangan manis yang kau ukir, terimakasih telah menjadi ayah yang sempurna buatku “ Kata Mega mantap saat berziarah di makam ayahnya, Saat ini Mega sudah punya almamater kuning, ia bagian dari universitas Indonesia ,Ayahnya pasti bangga disana
***********
“ bila tahun ini mimpi mimpimu , cita citamu , keinginanmu belum tercapai, bila kau merasa masih tak pasti , tenanglah. Brangkali besok masih ada harapan . bukankah harapan yang membuat kita bertahan ? tenanglah .tarik nafas, bukankah besok masih ada harapan?” fahd djibran