Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label lupa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lupa. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 April 2011

Amnesia Hati

Oleh: Lidya Christina
@lid_yang


Dia masuk ke ruangan yang kecil itu dengan langkah yang berat. Tas kantornya dia lempar ke atas tempat tidurnya. Di ruang kosnya yang kecil itu dia menghembuskan nafas dengan kuat. Seisi ruangan seakan bergema. Hanya karena salah sedikit saja, dia dimarah habis-habisan oleh bosnya. Hanya karena lupa mengambil kertas fotokopi saja, dia diomel selama beberapa menit oleh teman-teman satu kantornya. Hanya karena lupa waktu saat membaca majalah saja, dia ketinggalan bus sehingga dia harus menunggu puluhan menit lagi untuk bus selanjutnya.
Terpikir dia kejadian semalam. Hanya karena lupa anniversary mereka, pacarnya marah besar dan tidak mau berbicara dengannya. Hanya karena lupa membuat halaman cover, dosennya tidak mau menerima tugasnya. Capek, pikirnya. Tidak ada yang perhatian padaku, tidak ada yang mengerti aku. Dia melihat ke cermin. Aku hanya sendiri di dunia ini, gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba, handphonenya berdering. SMS masuk. Dia tidak bergegas mengeluarkannya. Dia pikir, paling-paling SMS dari service providernya. Dia baring di tempat tidurnya.. Tidak tahu apa yang dipikirkannya hingga dia ketiduran. Dia terbangun saat mendengar handphonenya berdering lagi.

“Siapa sih?!”
Message from : Ayah
Rul, ini ayah. Udah baca SMS yang tadi? Kenapa tidak balas? Ayah ganggu,ya?

Tiba-tiba napasnya seperti berhenti. Dia buka inboxnya untuk membaca SMS sebelumnya.
Message from : Ayah
Rul, ini ayah. Baru diajarin cara SMS dengan adek. Gimana kabar Mirul di sana? Kapan pulangnya?

Saat dia tersadar, air matanya sudah membasahi mukanya.
Dia lupa.
Lupa kalau dia mempunyai keluarga yang begitu saying padanya. Lupa dengan masakan ibunya. Lupa dengan kasih sayang ayahnya. Lupa dengan senyuman dan tawa adiknya. Lupa kalau dia mempunyai keluarga di kampung yang selalu memikirkannya, keluarga yang selalu menanti kepulangannya.
Iya, dia lupa kalau dia masih memiliki orang-orang tersayang ini di dalam hatinya.
“Ah, hatiku amnesia.” Katanya sambil tersenyum.

Luka Laki-laki yang Lupa‏

Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com


"Hai kamu! Sudah lupakah kamu padaku?"
"Maaf kamu siapa ya?"
"Aku yang dulu sering bersamamu."
"Dimana?"
"Di dalam kamar sempit itu."

Pikiranku menari diantara seprei lusuh. Jemariku mengais ingatanku di keremangan lampu ruangan itu. Kakiku yang serasa tak bertulang merangkak perlahan di lantai semennya. Malam itu. Ya, malam saat aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang membuat hari-hariku tak seindah dulu. Ya, aku telah melupakannya untuk beberapa waktu. Lupa yang telah menorehkan luka di tubuhku. Luka karena amukan massa yang lupa bahwa aku adalah manusia. Meskipun aku bukanlah manusia yang sempurna.

***

Luka di tubuhku belum juga mengering saat sosok kekar itu menyiram tubuhku dengan air. Perih kurasakan di sekujur tubuhku, namun tak seperih penderitaan orang yang telah terlupakan olehku. Akupun terbangun dari mimpi burukku. Kakiku melangkah terseret. Beberapa persendian tulangku seperti bergeser. Daging di tubuhku seperti membeku. Kaku.

Aku mencoba bangkit dengan berpegangan pada dinding ruangan gelap dan lembab itu. Tak kucium lagi aroma keindahan. Tak ada lagi wangi keceriaan. Tatapan nyinyir dan kata-kata mencibir keluar dari mulut-mulut penghuni ruangan itu saat aku merintih menahan sakit karena lukaku. Aku tak ingat lagi sudah berapa jam sukmaku terjebak dalam situasi ini. Satu yang tak kulupa adalah teriakan massa yang berteriak lantang.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Mengingat itu membuatku berdiri di bibir jurang penyesalan. Maju aku akan terjatuh dan mati di dasarnya. Mundur dan massa akan menghakimiku dengan parang dan senjata tajam lainnya yang mampu membuatku mati dan terlupa. Aku hanya bisa mendesah lirih dan berusaha berpegangan pada dinding ruangn itu. Dalam kepasrahan aku mengikuti langkah-langkah tegap di depanku. Aku bahkan tak tahu kemana arah langkah kakiku. Luka yang menemani langkahku memaksaku untuk mengambil nafas pendek. Tangan kekar mendorongku dengan kasar. Aku terjerembab di sebuah bukit terjal tak bertuan. Suara cemeti bergantian menghantam setiap titik tubuhku. Lukakupun semakin menjadi. Suara golok yang beradu dengan batu asah terdengar jelas di sanggurdi indera audioku. Aku berteriak dan meronta. Aku tak mengerti atau mungkin lupa dengan kondisi yang seharusnya akan aku alami.

Dalam samar kusaksikan seorang anak perempuan kecil yang melambai-lambaikan sebuah sajadah. Ya, sajadah milikku. Sajadah yang dulu setia menemani masa mudaku dengan doa, namun akhirnya terlupa karena godaan setan yang membabi buta. Sajadah yang pernah berada di sudut kamar anakku, malam itu. Air mata mengalir perlahan dari sudut kedua mataku.

***

Aku membuka mata saat mataku terpaku pada sebuah benda yang pernah aku lupakan. Benda yang selalu mengingatkanku agar tidak lupa perintah agama. Sajadah. Kulihat genangan air mata membasahi permukaannya. Air mata penyesalanku. Entah berapa lama aku menciumnya dalam sujudku. Aku lupa bahwa aku telah mati suri beberapa saat dalam sujudku dini hari itu.

Aku berusaha bangkit dari sujudku. Aku melangkah terseok menuju kasur busa berseprei lusuh di sebuah sel penjara itu. Kurebahkan tubuhku menahan kesakitan yang luar biasa. Aku berusaha memejamkan mata sebelum masa penghakiman itu tiba. Perih kurasakan di mataku, namun tak kuasa terlelap juga. Aku telah lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur dengan lelap.

Kubuka mataku saat kudengar suara terali besi membawa aku ke alam kesadaranku. Dengan terpaksa akupun bangun.

"Nina, dimana handuk ayah?"

Tak ada sahutan, yang ada justru teriakan dari seorang di luar terali.

"Nina! Nina! Siapa itu Nina? Hai pendosa besar! Cepat bangun dan siapkan dirimu untuk penghakiman hari ini!"

Aku tersadar dari lupa bahwa aku sekarang tinggal di penjara dan bukan di rumah lagi bersama Nina, anak kandungku. Aku segera mempersiapkan diri dan dengan dipapah petugas penjara, akupun melangkah ke mobil tahanan. Sesampai di pengadilan aku duduk di kursi pesakitan. Tak ada satupun keluarga, sepertinya keluargaku juga telah lupa bahwa aku dulunya adalah bagian terindah dari mereka. Yang ada hanya kerumunan massa yang terus bergemuruh dalam teriak.

"Hukum mati! Hukum mati!"

Mereka kalap dan lupa kalau aku pernah menjadi bagian dari mereka. Bahkan mereka telah lupa padaku yang telah membantu mendirikan masjid di kampungku. Amarah telah membuat mereka lupa dengan semua kebaikanku. Wajar mereka lupa, karena memang aku pantas dilupakan.

Suasana sedikit tenang saat hakim memulai sidang. Hening, sehening hatiku saat ini. Sampai akhirnya jaksa penuntut membacakan tuntutannya. Jaksa pembela yang membantuku juga tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan aku dari tuntutan itu. Semua bukti tidak dapat terelakkan lagi. Semua saksi memberatkan aku.

"Saudara Susanto, berdasarkan bukti-bukti dan saksi, Anda secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak kejahatan berupa pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan saudara sendiri bernama Nina Susanto yang berumur lima tahun. Oleh karena itu majelis memutuskan saudara Susanto dihukum dengan hukuman mati."

Suara gemuruh penuh kepuasan di ruang sidang membuat wajahku tertekuk dalam-dalam. Aku telah lupa berapa lama aku duduk di kursi pesakitan itu dan membuatku lupa akan senyum di wajah polos anakku yang kini tersenyum di surga bersama ibunya. Tubuhku yang penuh luka seketika ambruk demi mendengar vonis itu. Vonis hakim telah mengantarku ke batas kepasrahan akan dosa besarku. Aku sangat menyesal karena gara-gara setan jahanam dalam pikiranku malam itu, membuatku lupa bahwa Nina adalah anak kandungku.

LUPA berterima kasih

Oleh: @eyoslatter

Sejuk, segar dan wangi. Suasana tenang yang selalu memberikan semangat di pagi hari, aroma pepohonan memberikan kedamaian serta nyanyian merdu burung pun kian terdengar dan memberikan inspirasi sebelum memulai aktivitas.

Kesibukan disekitarku tidak pernah berhenti, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik aku merasakan betapa sibuk dan luar biasanya mereka dalam bekerja. Langkah kaki berlari, berjalan, serta tertatihpun kerap kali menghiasi kebisingan dipagi hari. Mereka adalah orang-orang hebat yang tidak kenal lelah dalam bekerja, mereka memberikan separuh hidupnya untuk pekerjaan yang mereka jalani, lain halnya dengan aku. Mungkin dari sekian juta orang didunia, aku bukanlah seseorang yang punya segudang jadwal setiap harinya. Bahkan aku pernah tidak memiliki jadwal apapun, tetapi aku tidak pernah membiarkan hari-hariku berlalu begitu saja. Aku selalu mengerjakan apapun yang bisa aku lakukan termasuk menolong orang yang ada disekitarku, walau aku menyadari bahwa terkadang bantuan yang aku berikan tidak terlalu bermanfaat bagi mereka. Sedih? Tentu, perasaan itu terlintas begitu saja. Namun untungnya aku tidak pernah berlarut dalam rasa kecewa dan kesedihan. Rahasia kecil yang aku buat ini selalu memberikan aku kekuatan untuk menjalankan kehidupan ini.

Senin: sebagian besar orang membencinya, tapi aku bersyukur karenanya. Bagiku setiap hari adalah sebuah hadiah yang patut dijalankan dengan penuh semangat dan senyuman.

Selasa: aktivitas semakin padat, sebagian besar orang mengeluh karenanya, namun bagiku adalah hal tersebut dapat menjadi batu loncatan untuk menjadi lebih baik.

Rabu: sebagian orang, mereka sudah menanti-nantikan weekend yang menyenangkan. Tapi bagiku setiap hari adalah menyenangkan, karena aku selalu belajar hal-hal baru.

Kamis: hawa panas terlalu menyengat, sebagian besar orang mengeluh karenanya. Namun bagiku kehangatan yang ada patut disyukuri, karena hangatnya dapat memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di bumi termasuk tumbuhan.

Jumat: sebagian besar orang rasanya malas mengerjakan berbagai hal di hari jumat, lebih baik bersantai sedikit dan menunda sisa pekerjaan sampai hari senin. Namun bagiku menunda sama dengan membuang waktu.

Sabtu: adalah hari yang paling menyenangkan dan menggembirakan, sayangnya terkadang sebagian besar orang mengeluh karena tidak memiliki pasangan atau teman untuk berbagi. Namun bagiku, aku bisa berbagi dengan setiap orang yang aku temui, dimulai dari hal yang sederhana seperti senyuman.

Minggu: waktunya untuk mengisi tenaga dan beristirahat serta kembali mengeluh karena hari senin tiba. Namun bagiku, kembali ke hari senin berarti kembali melakukan petualangan baru dengan penuh semangat dan pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya.

Begitu banyak hal yang sederhana yang bisa dilakukan setiap harinya. Seperti yang aku lakukan. Sayangnya sebagian besar orang mungkin "LUPA" bahkan tidak menyadari hal tersebut. "LUPA" berterima kasih kepada Tuhan akan kesempatan hidup yang diberikan setiap hari, pekerjaan yang baik, keluarga yang selalu mendukung bahkan teman atau sahabat yang tidak pernah meninggalkan. Mungkin mereka terlalu sibuk mencari kepentingan dan kepuasaan diri sendiri. Terlena dengan kehidupan mewah metropolitan dan berfokus pada kehidupan material.

Aku tidak menyalahkan mereka, aku hanya bertanya kepada Tuhan apa yang bisa aku lakukan saat ini. Aku hanyalah sesosok gadis kecil yang mencoba bertahan hidup karena di vonis mengidap penyakit kanker stadium akhir. Hari-hariku berlalu disebuah ranjang cantik, jendela mungil yang menghadap taman dan pepohonan. Kerap kali aku berjalan-jalan disekitar rumah sakit dikala tidak ada jadwal terapi, aku melihat kerja keras dan semangat para dokter serta suster untuk membantu orang-orang yang terluka. Tangisan dari orang-orang yang aku temui pun terkadang tidak ku mengerti, namun seiring berjalannya waktu, akhirnya aku tau mereka menangis karena kehilangan orang yang mereka kasihi. Sedih, itulah yang kerap kali aku rasakan, namun berkat rahasia kecilku, aku mampu menjalani hari terakhirku.

Minggu 23 desember 2010, hari ini adalah tepat aku akan menjalani operasiku, kemungkinan untuk aku hidup sangatlah kecil, namun aku tidak pernah berhenti berdoa. berharap hadiah natal terbaik ku adalah senin yang akan menghampiriku dengan penuh semangat dan senyuman. Dan semoga orang- orang diluar sana TIDAK LUPA berterima kasih atas anugerah yang diberikan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebelum masuk keruang operasi aku mau bilang: Terima kasih Tuhanku, aku tidak pernah lupa akan kebaikan yang kamu berikan selama ini dan Terima Kasih diaryku, kamu adalah sahabat terbaikku. Doakan aku semoga sembuh ya...:)

Salam manis,

Anissa.
Regards,

Leonardo.Slatter

Puzzle Kenanganku

Oleh: Riezky Oktorawaty
Twitter: @riezkylibra80


Ini disini, yang itu di sebelahnya, dan yang satu itu di sebelah sana. Trus, yang satu ini diletakkan di bagian yang mana?
Ribuan jemari itu perlahan-lahan mengumpulkan serpihan puzzle yang berserak tak bertuan. Hanya beberapa serpihan yang mampu terpasang, masih ada satu serpihan lagi. Mampukah mereka?
Enam bulan telah lewat, tak satupun ingatanku yang mengingatkan aku tentang lelaki yang ada di sampingku ini. Lelaki yang selalu setia menemaniku menjalani perawatan paska kecelakaan mobil.
Saat aku terbangun dari tidur panjangku, lelaki inilah yang berada di samping ranjangku. Katanya, aku sempat mengalami koma, dan aku pun mengalami amnesia. Katanya lagi, aku tak mengenalinya, hanya dia, tidak untuk Mama, Papa dan anggota keluargaku yang lain, aku mengenali mereka. Kenapa?
Suami? Katanya, dia adalah suamiku. Lalu kenapa tak ada secuil memoripun soal dia yang mampu aku ingat. Ataukah aku sengaja hendak menghapus kenangan itu?
Arggghhh…
Semakin ‘jemari-jemari’ itu bekerja di otakku, menyusun pelan kenanganku soal dia, semakin memanas isi otak ku. Aku tak sanggup!
Puzzle kenanganku terbengkalai hingga enam bulan ini, dan dia yang katanya suamiku tetap bersabar mendampingiku. Herannya aku pun tak mencoba bertanya kepada keluargaku, apakah benar lelaki yang selalu setia di sampingku ini adalah suamiku?
Titik-titik air di balik kaca jendela kamar rumah sakit ini membuatku termenung, hujan, argghhh… rasa itu muncul lagi. Ada apa dengan hujan? Adakah ini secuil dari puzzle kenanganku?
Lelaki di samping ranjangku ini tersenyum kepadaku, aku yang masih belum bisa meyakini dia adalah suamiku, tak pernah mengijinkan dia saat dia ingin mengecup keningku, sekedar untuk menenangkanku katanya. Dia mendekatiku, sambil menunjukkan album foto bersampul merah. Aku perhatikan judul album foto itu, Kenangan Terindah Adam dan Hawa. Hawa, itukah namaku, dan Adam, itukah nama dia?
20 September 2003, ada fotoku dan lelaki ini dengan pakaian pengantin. Mungkinkah ini foto penikahanku dengan lelaki ini? Namun kenapa aku tak mampu mengingatnya, bila ini adalah kenangan terindah.
23 September – 27 September 2003, bulan madu di Jogja, ini judul yang terpampang di atas foto-foto berlatarkan Malioboro Jogja. Aku pun masih tak mampu mengingatnya. Saat aku memegang kepalaku karena berasa sakit saat mencoba mengingat, dia langsung memelukku. “Sayang, jangan dipaksakan!” tak juga dia melepas pelukannya, dan aku pun merasakan kenyamanan dan kehangatan.
Tunggu!
Kenapa album ini terhenti di tahun 2007? Dan kenapa tak ada foto anak kecil di album ini? Lalu kemana foto-foto aku dan lelaki ini dari tahun 2008 hingga sekarang?
Aku mencoba menanyakan soal anak kepada lelaki ini, dan katanya, selama empat tahun pernikahan, kita belum dikarunia seorang anak pun. Lalu aku pun memberanikan diri lagi untuk bertanya, kemana foto-foto kita di medio tahun 2008 hingga 2010. Dia hanya terdiam, membisu. Aku semakin bingung. “Sudah sayang, saatnya kamu istirahat, tidur yah.” Kalimat ini sepertinya hanya dia pakai untuk mengelabuiku, agar aku tak banyak tanya lagi.
Aku pun tertidur.
Hujan begitu derasnya, aku berteduh di pelataran toko buku. Tau begitu tadi aku menunggu hujan reda di dalam saja ya, tapi tiba-tiba aku teringat, bahwa hari ini adalah ulang tahun suamiku, Adam. Aku mau menyiapkan makan malam spesial untuk dia. Buku resep ini pasti bisa mambantuku.
Aku berlari menyeberangi jalan raya, ah, mumpung sepi. Kenapa juga aku memarkir mobil ku di seberang sana. aku menoleh ke kiri sebelum sampai ke mobilku, karena aku melihat mobil berwarna merah yang aku kenal, Adam, itu Adam suamiku, lalu siapa wanita di sampingnya itu? Brakk!! Plat nomor mobil yang kukenal telah menabrakku, dan aku pun tak sadarkan diri.
Suara petir diluar membangunkanku dari tidur dan mimpiku. Nafasku tercekat, mimpi apa aku tadi. Lelaki ini, masih saja setia menemaniku di samping ranjang. Mimpi, ya, pasti ini hanya mimpi. Aku pun melanjutkan tidurku.
Suara kicauan burung begitu merdunya, hangat, aku merasakan kehangatan sinar matahari menembus kaca jendela kamar ini. Rupanya sudah pagi. Aku perlahan membuka kedua mataku, sampai aku mendengar suara-suara berbisik. Suara Mama, Papa dan Kinar adikku.
“Ma, Kinar udah ga sabar lagi, sudah saatnya kak Hawa mengetahui semuanya.
“Mama dan papa juga maunya gitu, Kin, tapi lihatlah kondisi kakakmu itu.
“Ma, pa, Kinar yakin, kakak hanya ingin melupakan satu kenangan, kenangan buruk bersama kak Adam, suaminya, buktinya, kak Hawa mengenali kita. Kakak pasti memaksakan memorinya untuk tidak mengingat kak Adam.”
“Apalagi hari itu, kakak tertabrak mobilnya kak Adam kan, Ma. Mobil yang kak Hawa lihat, ada kak Adam berselingkuh dengan wanita itu.”
Aku terdiam mendengar bisik-bisik mereka. Rupanya mereka belum menyadari bahwa aku sudah terbangun.
Ya, aku sudah mengingat semuanya, hari di mana aku menyiapkan kejutan untuk ulang tahun suamiku, adalah hari dimana aku memergoki suamiku Adam bersama wanita itu, dan hari di mana mobil merah Adam ternyata menabrakku saat aku menyeberang jalan. Wanita yang pernah aku lihat di Blackberry Adam. Percakapan mesra di antara mereka berdua, sedikit menggangguku. Namun aku adalah istrinya, aku menepis semuanya, karena aku mencintai Adam suamiku. Aku tak peduli bila dia berselingkuh, karena aku yakin, aku bisa mengembalikan kenangan-kenangan kita, dan dia kembali kepadaku.
Dua tahun album foto aku dan Adam suamiku tak terisi lagi. Aku tahu perselingkuhanmu. Tapi aku diam. Aku mencintaimu Adam, selalu.
Mulai detik ini, lengkapilah puzzle kenanganku yang telah hilang satu serpihannya karena kecelakaan itu, dengan kenangan baru kita. Aku dan kamu. Kenangan terindah Adam dan Hawa seperti judul album foto kita yang bersampul merah, warna kesukaan kita.

Lupa

Oleh: @maharaniezy
Maharaniezy.tumblr.com

Lupa.
Aku tidak percaya.
Aku benar-benar setengah sangsi.
Aku masih memperhatikan deretan huruf-huruf di layar LCD komputer ku.
Saat ini Yahoo Messengerku sedang di hack.
Tentu saja untuk pertolongan pertama aku pakai feature "secret question"


#1st question is ....
" Where's your first honeymoon place ? "

Pertanyaan simple tapi aku nggak bisa menjawabnya.
Aku coba mengingat, menggali, replay.
Tapi kinerja otakku nihil !
Aku coba menjawab secara random.
Nama-nama tempat eksotis yang ingin kami kunjungi.
Sama saja nihilnya.

Aku tidak ingat. Tapi aku tidak mau mengakui kalau aku lupa !
Maksudku.... come on ! Bagaimana mungkin aku melupakannya ???
Sementara dia adalah pria paling penting yang pernah ada dalam hidupku.
Yah.... selain ayahku loh.
Dia.... orang pertama dimana aku bisa mengenal, komitmen dan cinta berjalan sekaligus.

Aku bukan lupa tentang dia sih.
Masih tercetak jelas kok, tampangnya.... suaranya... wanginya....
Aku sama sekali enggak lupa, sayang....

Lebih parah, aku melupakan detil-detil terkecil tentang AMP.
Tentang kamu.
Tentang kita berdua.
Rasanya aku ingin menangis . . . .

Perempuan Berambut Keriting Sempurna

Oleh: @anadudunk
http://bukunyasapi.blogspot.com


Aku sudah merasa siap, bahwa akhir yang selama ini aku takutkan akhirnya datang juga. Aku masih menunggu, membisu. Mungkin perempuan itu masih sibuk hingga belum juga datang dari waktu yang kudengar dijanjikannya akan menemuiku. Jujur saja, aku merasa sedikit gugup. Bagaimanapun juga, aku sudah hidup bersama perempuan itu lebih dari yang bisa orang lain ingat. Bisa dikatakan bahwa kami tak terpisahkan. Tentu saja perempuan itu sudah lupa, begitulah cara kerja waktu bukan? Paling tidak, selama bersamanya, aku sudah merasa senang. Dan serangan gugup tiba-tiba saja menerjang hebat waktu kulihat dia sudah muncul di ambang pintu. Aku tak sempat merapikan bajuku atau apa, tapi biarlah. Biar dia ingat bagaimana tampang asliku sebelum perpisahan yang mungkin akan berlangsung selamanya. Ah, aku tidak suka bersikap dramatis tapi entah kenapa ada sedikit air mata yang mencuri celah untuk keluar dari sudut kelopakku.

Perempuan itu mendekat dan duduk di tempat duduk biasa, tempat duduk favoritnya ketika masih bersamaku.
"Maaf", hanya itu yang perempuan berambut keriting sempurna itu bisa katakan. Tentu saja ia tak berani memandangku. Ia hanya sibuk seolah-olah ada yang lebih menarik di dinding-dinding kamar ini, padahal di sana sudah tak ada lagi foto-foto yang dulu dengan rajin ia tempelkan satu persatu .
Aku hanya diam, mulutku enggan membalas. Kalau memang dirinya memutuskan untuk pergi, itu semua adalah hak nya. Aku tak punya kuasa apapun untuk menahannya lebih dari satu menit walaupun aku sangat ingin. Dan memang benar, akhirnya perempuan berambut keriting sempurna yang telah hidup bersama denganku bertahun-tahun itu melangkah pergi, meninggalkan aku. Aku malu mengatakannya, tapi ketika perpisahan itu benar-benar datang, kok sepertinya semua jadi terasa tak nyata ya?. Aku tidak bisa menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku ini. Ah, cengengnya!
Seiring dengan terbukanya keran air mata ini, aliran deja vu sepertinya juga tak bisa terbendung. Kilasan masa lalu pun berhamburan cepat. Bagaimana dulu pertemuanku dengannya secara tak sengaja di sebuah toko kecil di ujung kota. Perempuan itu masih kecil, tapi aku bisa memastikan bahwa bahkan pada saat itu rambutnya sudah keriting sempurna!. Dia dengan malu-malu mendekatiku, hingga singkat cerita sejak saat itu aku resmi menjadi temannya. Kami berdua melewati masa-masa yang mungkin hanya bisa dijabarkan dalam novel atau film yang indah. Bagaimana dia setiap pulang sekolah selalu mengajakku bermain, atau bagaimana ia menangis di pundakku ketika dimarahi ibunya. Setiap detil tentangnya pun aku bisa menjelaskannya secara rinci. Ketika perempuan itu beranjak dewasa, kami masih saja menjadi sepasang sahabat tak terpisahkan. Kami berdua membagi rahasia-rahasia intim. AKu pikir, saat itu seharusnya aku sudah tahu bahwa statusku hanyalah seorang sahabat. Tak lebih, Seharusnya aku sudah sadar bahwa aku akan sampai di titik di mana perempuan itu akhirnya memutuskan untuk pergi, sehingga mungkin aku bisa mempersiapkan mental jauh lebih awal. Tapi penyesalan tinggal penyesalan, perempuan berambut keriting sempurna mungkin tak akan kembali lagi.
"Ocha!", kudengar suara ibu perempuan berambut keriting itu memanggil putrinya dari ruang depan.
"Kamu ngga bawa Lilian?", lanjut ibu si perempuan berambut keriting sambil melongok ke dalam kamar putrinya, dan mendapati aku masih berada di atas tempat tidur.
Dari kejauhan, aku dapat mendengar si perempuan berambut keriting sempuran itu menjawab, "Ngga ma, Ocha udah nikah. Masa mau main-main boneka lagi. Tolong ya Ma, sumbangin aja si Lilian ke Rina si tetangga sebelah. Kalau dia tak mau, ya sudah dibuang saja", ujarnya sambil menutup pintu kamar pelan tanpa pernah melihat ke arahku lagi.

Aku Ini Cuek atau Pelupa?

Oleh: @larissayuanita
Larissayuanita.blogspot.com


“ Janeeeeee..........! Taruh handuk basah ini di tempatnya! Masa tiap hari mama harus mengingatkan kamu?”
“Entar ma, lagi main komputer nih.”
“Janeeeeeeeeeeeee! Dirumah harus pakai sendal! Biar bentuk kaki mu bagus.”
“Nanti ma, sendalnya dibawah.”
“Janeeeeeeeeeee! Jangan taruh dompet sembarangan, nanti duitmu hilang!”
“Aduh, rumah ini aman kok ma..”
“Janeee......  Jangan lupa beresin buku, biar besok pagi gk buru-buru.”
***
Begitulah percakapan sehari-hari dirumah. Aku bosan mendengar ocehan ibu yang sama tiap hari. Tapi mau bagaimana lagi? Aku adalah anak yang pelupa. Aku tak tau, sebenarnya aku ini pelupa atau memang anak yang cuek? Sampai akhirnya aku kapok untuk menunda-nunda mengerjakan sesuatu.
***
“Jas, kamu tolong pergi ke apotik, belikan obat yang ada di resep ini. Ingat ya, pulang nya jangan lebih dari jam 6. Soalnya obat ini mau dipakai ayah.”
“Iya bu.”
“Ini uangnya. Jangan dibuat jajan ya. Harga obatnya kalau tidak salah Rp. 35.000. Ini ibu kasih 50ribu soalnya ibu tidak ada uang kecil.”
“Iya Bu. Aku berangkat dulu ya.”
Aku pun segera memakai sendal jepit dan pergi ke apotik. Tapi, baru sampai tengah jalan, Josh meneleponku.
“Jane! Kamu cepat datang kerumahku! Kamu lupa kalau hari ini kita ada kerja kelompok? Besok itu kelompok kita sudah harus tampil dramanya. Kita butuh orang untuk membuat propertinya! Kan gara-gara kamu lupa untuk membuat propertinya, kita jadi harus kerja mepet-mepet begini! Cepat kesini,kalau tidak aku akan melaporkan pada Bu Rosi kalau kamu tidak kerja, biar dia beri kamu nilai 0!.”
“iya iya, aku akan kerumahmu sekarang!”
Karena panik, aku lupa untuk pergi ke apotik. Aku langsung pergi ke rumah Josh untuk menyelesaikan tugas sejarah yang harus ditampilkan besok. Huh, ini semua memang karena kelalaian aku. Perjalanan dari sini sampai kerumah Josh kurang lebih 10 menit, karena aku berjalan kaki. Aku melirik jam di handphone ku dan waktu telah menunjukkan pukul 5.30 sore. Aku langsung berlari secepat mungkin tanpa memperdulikan apa yang terjadi.
Tiba-tiba saja aku berada di rumah sakit. Badanku sakit semua. Saat aku mulai sadar, kepala ku pusing sekali. Aku melihat di sisiku ada ibu dan adikku tapi aku tidak melihat sosok seorang ayah. Aku langsung bertanya:
“Ibu, aku sedang dimana?”
“Kamu kecelakaan nak, kamu sekarang ada dirumah sakit Cipto dekat rumah.”
“Memangnya apa yang terjadi?Ayah dimana?”
“Kamu tadi tak sengaja tertabrak mobil,untuk saja kamu hanya luka ringan. Ayah kamu masuk rumah sakit juga,karena kamu tidak membelikan obat asma itu untukknya. Tapi untungnya dia cepat dibawa kerumah sakit.”
“Maafkan aku, Bu. Ini semua gara-gara aku! Aku benar-benar menyesal!”
“Makanya, lain kali jangan jadi anak cuek yang pelupa lagi! Merugikan diri sendiri dan orang lain! Mengerti?”
“ia bu, aku benar-benar menyesal. Ternyata yang ibu katakan dari dulu benar. Lebih baik aku tidak menunda-nunda mengerjakan sesuatu. Dimana ayah? Aku ingin menjenguknya.”

***

Sekarang aku telah mengerti kenapa kita tidak boleh menunda-nunda sesuatu karena bisa berakibat fatal. Mulai saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menjadi anak yang cuek. Kalau saat itu ayahku tak tertolong, mungkin aku tak akan memaakan diriku sendiri. Untungnya Tuhan masih baik, dia masih memberikan aku kesempatan yang kedua. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, janganlah menunda-nunda hal yang dapat kau kerjakan sekarang, karena itu bisa menjadi kebiasaan dan berakibat fatal.

Lupa, Tak Lupa

Oleh: Abdul Aziz


Harusnya, setiap kali kita bertengkar aku selalu yakin kita akan lupa beberapa saat kemudian. Aku akan melupakan kata-kata kasar yang kau ucapkan padaku. Dan kamu akan melupakan pukulan di badanmu yang kusarangkan—meski aku tahu sedikit pun kamu tak merasakan sakit. Kita tak pernah benar-benar bertengkar, kan? 

Aku juga berusaha melupakan semua kesalahan kecil yang kamu lakukan. Saat kamu lupa menjemputku setelah pulang kuliah, atau saat seharusnya kamu datang ke acara keluarga tapi malah ketiduran sehabis bermain game. Manusia tidak pernah luput dari kesalahan, kan?

Aku juga akan melupakan betapa lucunya saat kamu berusaha tidak kesal saat bosmu berusaha membuat lelucon dengan nama belakangmu pada CEO kalian. Kamu Satrio Haiawan, sayangku, tapi bosmu sadar kalau hewan dalam bahasa arab disebut “haiawan”. Aku janji akan melupakan kejadian memalukan itu, walau diam-diam aku selalu menggodamu saat kamu tiba-tiba menjadi buas di saat-saat tertentu kita.

Aku juga pernah lupa, kok. Hari jadian kita, kala itu. Aku benar-benar tak sengaja karena tugas kuliah menumpuk. Aku kecapekan akibat praktikum bertubi-tubi dari aisten laboratorium. Akibatnya aku lupa kalau seharusnya kita berada di pantai tempat kamu menembakku tiga tahun lalu. Sayang, aku kuliah di jurusan THP. Tahu kepanjangannya?
“Teknologi Hasil Pangan,” jawabanmu."Seratus. Tapi juga seratus persen salah.” kataku. “Huu…” kamu protes."Tiap Hari Praktikum." Kamu mengangguk—menghormati lelucon garingku—dan memaafkanku. Lalu kita pergi makan malam paling romantis yang pernah kudapat.

Kita selalu bersyukur memiliki otak yang memiliki fungsi “delete” dalam sistemnya, kan? Walau kadang-kadang kita bisa tak sengaja menghapus memori yang dibutuhkan. Yang penting, aku tak akan melupakan kenangan indah yang kita rajut berdua.
Tak akan. Selamanya.
Tapi, Satrio...

Suatu hari aku berada di sebuah acara pernikahan. temanku. Ya, temanku, kuharap masih temanku. Setelah kenyang dengan makanannya, sejujurnya aku tak bisa makan satu sendok pun, aku bersalaman dengan mempelai pria dan wanita. 

Kamu ada di sana, Satrio...
“Maafkan aku…," bisikmu. 
Aku juga tak bisa melupakan saat kamu memilih orang lain untuk mendampingimu di pelamninan ini. Dan tatapan orang-orang saat melihatku berjalan dalam linangan air mata.

"Jangan lupakan aku..."