Bety Oktarina
Twitter @I_am_BOA
Kuikuti dia dari belakang, langkahnya semakin cepat. Aku sampai harus melayang untuk menandinginya. “Ibu, ibu!” nafasku terengah. Ia tidak menoleh. Untuk kali ini ia mengabaikanku. Matanya nyalang tertuju pada persimpangan di ujung jalan. Ah, selalu tempat itu, pikirku. Selalu, selama hampir 40 hari ini istriku menghabiskan waktu di sana. Dan kembali ke rumah menjelang kumandang adzan Maghrib. Setelah memakan waktu yang lama bagi aku untuk membujuknya. “Pulanglah, kami sudah menyiapkan peraduan yang indah untukmu,” pintaku. “Nanti saja,” gumamnya pelan. “Biarkan kutenangkan hatiku dulu,” selalu itu jawabnya. Dan selang tiga puluh menit kemudian, ketika semburat ungu bercampur jingga di langit semakin pudar, ia akan pulang dengan langkah gontai. Diiringi diriku di belakang menjaga tubuhnya agar tidak terjerembab ke tanah. Namun hari ini, sulit sekali bagiku untuk bisa membaca raut wajahnya. Istriku yang biasanya lembut nampak sekali berbeda. Campuran ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan harapan bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di benaknya.
Istriku menjadi budak bagi keluarga semenjak ia menyerahkan sisa hidup pada dua lelaki yang dititipkan Tuhan padanya. Sebenarnya meski wanita desa, ia bisa menjadi apa saja. Tapi ia memilih aku, dan anak lelaki kecil kami. “Akan kupastikan kau hidup dengan cukup layak,” aku menjamin. Kami bahagia, sampai si lelaki kecil mendekati masa dewasa. Si lelaki kecil telah menolak segala latar belakangnya. Ambisinya yang begitu besar telah membutakan. Meski ia meyakini kami sebagai istriku sebagai ibu terhebat di kampungnya, namun ia mengimani bahwa ibu kota adalah kebahagiaan sejatinya. Saat si lelaki kecil membuatkan tekadnya untuk pergi, prahara itu tak terelakkan. “Aku punya hak untuk keluar!” teriaknya. Dan peristiwa menghilangnya si lelaki kecil tetap menjadi misteri semenjak dua puluh tahun lalu. Istriku tetap meyakini, suatu hari tanpa terduga lelaki kecil akan kembali. Tapi tidak. Dia tidak pernah kembali, dan bagiku ia telah kuanggap mati. Semenjak itu hampir setiap hari istriku menangis. “Apa salahku? Apa aku tak cukup baik menjadi ibu?” Lelaki kecil itu adalah hidup, harapan, kebahagiaan, dan mimpi indahnya. Bagi istriku, ia adalah mahluk tercantik di bumi Tuhan. Namun, dalam diri anakku ia adalah kawat berduri yang menghalangi kebebasannya.
Kembali rutinitas itu terulang lagi. Hal yang baru aku ketahui dalam empat puluh hari ini. "Oh, di mana anak kita, Pak?” ia kembali bertanya lirih. Aku menatapnya nanar. “Apakah ia masih marah padaku? Aku selalu memikirkan dan memimpikannya,” ia menitikkan air mata. Dengan hati-hati aku memberitahu perasaanku pada istriku. “Tidak. Ia telah gila di dunianya sendiri. Sudahlah.” Namun seketika binar kemarahan bercampur kesedihan mencuat keluar dari matanya. Ia tetap tak terima mahluk terindahnya diabaikan. Oh, aku bisa tahan terhadap apa pun kecuali melihat ia marah atau sedih.
Karena ekspresi marahnya itu, kembali aku merasakan ketakutan timbul perlahan. Perasaan getir bahwa mungkin saja istriku kembali menolak ajakanku untuk pulang. Ternyata bayangan berbahaya anakku masih menari-nari di sudut dunianya yang sesak. Ini kesempatan terakhirnya. Apakah hari ini tetap bernasib sama dengan hari kemarin? Aku sungguh tak tahan melihat tubuh ringkihnya. Persimpangan itu, dan kenangan masa lalu yang menyakitkan, adalah satu-satunya yang menjadi tembok pemisah antara kami berdua.
Aku mulai mencuri pandang ke wajah istriku, mengumpulkan kebulatan hati. Akhirnya aku berhasil bicara. “Bu, Ibu masih punya aku. Kita akan mulai kembali seperti dulu di tempat yang baru. Saat hanya ada kita berdua, dan harapan.” “Mengapa? Apakah kau takut tinggal sendiri? Bukankah akan lebih sempurna jika kita bertiga?” rintihnya. “Aku harus bertemu dia. Apakah dia bahagia? Siapa yang merawatnya? Aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang sampai aku tahu. Lelaki kecilku.”
Aku menyentuh pipinya. Sesuatu yang sudah lama tak bisa aku lakukan. “Sudahlah, Bu. Ini sudah senja. Kita tak bisa di sini lagi. Jangan menunggu apa yang tidak mungkin terjadi. Marilah ikut denganku. Kita pulang,“ bujukku dengan harap yang membuncah. Pada saat ini, aku melihat tembok pertahanannya runtuh. Ia menoleh dengan tatapan sendu. Air matanya telah kering. Saat ini, keriput di wajahnya yang ayu tampak semakin mempesona. “Tanganmu, Pak,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengulurkan tangan dan menggenggamnya. Sore itu, jalanan dipenuhi oleh aroma wewangian dari tubuh kami yang perlahan melayang. Ketika istriku memutuskan ikut
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label first sentence. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label first sentence. Tampilkan semua postingan
Kamis, 22 Desember 2011
Ternyata Dia.....
Oleh: Hana Arintya
Kuikuti dia dari belakang langkahnya makin cepat. Kenapa dia sepertinya buru-buru sekali ya? Ada apa gerangan dengannya?
“Marya!” seru seorang teman dekatku. “Hey! Dirimu tuh ya dicariin. Ayo pulang!”
Ya sudahlah ya mungkin aku harus menyerah akan sosok itu. Pangeran yang menjadi pujaanku.
“Iya ayo.”
XXXXX
Sesosok cowok keren dengan headset ada gambar apelnya terpasang di telinganya dan sebuah apel di tangan kanannya berjalan di hadapanku dengan posisi agak jauh. Tarik napas dalam-dalam hembuskan secara perlahan sumpahlah udah kayak instruktur senam pernapasan. Nggak tau kenapa gayanya asyik aja diliat dimata aku. Disaat ada juga yg lain ditangan tuh bertengger puntung rokok lha ini malah apel kayaknya dia cocok buat jadi duta buah.
Hal lain yang menyita perhatianku istirahat siang pun pilihan makanannya (lagi-lagi) apel. H mm ada berapa banyak sih persediaan apelnya. Apa kenyang gitu ya apelnya? Apa dia lagi diet? Mungkin dia vegetarian? Tapi nggak berarti segitunya juga Cuma mengkonsumsi apel kan ya? Benar-benar membingungkan.
“Pasti ngeliatin pangeran pujaanmu itu. Si Mr Apple.”
“Kok tau?”
“Gimana mau nggak tau kalo kamu segitu kebacanya.”
“Dasar jahat.
XXXXX
Bisa ga sih sehat tanpa pake acara minum obat. Jujur aja sebenarnya aku udah jenuh dengan rutinitas minum obat yang harus aku jalanin. Tapi kalau aku membandel nggak minum obat dan berdiam diri di rumah sakit lebih nggak asyik lagi. Heran padahal obat sudah kuminum tapi aku rasakan diri ini melemas. Ya Tuhan padahal kan aku belum mengenalnya lebih dekat sosok pangeran apelku.
Dari kejauhan ku rasakan derap langkah suara sesuatu. Apakah itu manusia biasa? Tapi terasa tampaknya bukan demikian. Dan ketika sosok itu mendekatiku kurasakan Sesosok makhluk yang secara sekilas ku kenali sebagai sosok pangeran apel idolaku wajah itu mengayunkan sebuah sabit besar yang terrantai ditangan kirinya detik terakhir sebelum kesadaranku lumpuh total kudengar suaranya menikmati apel.
Kuikuti dia dari belakang langkahnya makin cepat. Kenapa dia sepertinya buru-buru sekali ya? Ada apa gerangan dengannya?
“Marya!” seru seorang teman dekatku. “Hey! Dirimu tuh ya dicariin. Ayo pulang!”
Ya sudahlah ya mungkin aku harus menyerah akan sosok itu. Pangeran yang menjadi pujaanku.
“Iya ayo.”
XXXXX
Sesosok cowok keren dengan headset ada gambar apelnya terpasang di telinganya dan sebuah apel di tangan kanannya berjalan di hadapanku dengan posisi agak jauh. Tarik napas dalam-dalam hembuskan secara perlahan sumpahlah udah kayak instruktur senam pernapasan. Nggak tau kenapa gayanya asyik aja diliat dimata aku. Disaat ada juga yg lain ditangan tuh bertengger puntung rokok lha ini malah apel kayaknya dia cocok buat jadi duta buah.
Hal lain yang menyita perhatianku istirahat siang pun pilihan makanannya (lagi-lagi) apel. H mm ada berapa banyak sih persediaan apelnya. Apa kenyang gitu ya apelnya? Apa dia lagi diet? Mungkin dia vegetarian? Tapi nggak berarti segitunya juga Cuma mengkonsumsi apel kan ya? Benar-benar membingungkan.
“Pasti ngeliatin pangeran pujaanmu itu. Si Mr Apple.”
“Kok tau?”
“Gimana mau nggak tau kalo kamu segitu kebacanya.”
“Dasar jahat.
XXXXX
Bisa ga sih sehat tanpa pake acara minum obat. Jujur aja sebenarnya aku udah jenuh dengan rutinitas minum obat yang harus aku jalanin. Tapi kalau aku membandel nggak minum obat dan berdiam diri di rumah sakit lebih nggak asyik lagi. Heran padahal obat sudah kuminum tapi aku rasakan diri ini melemas. Ya Tuhan padahal kan aku belum mengenalnya lebih dekat sosok pangeran apelku.
Dari kejauhan ku rasakan derap langkah suara sesuatu. Apakah itu manusia biasa? Tapi terasa tampaknya bukan demikian. Dan ketika sosok itu mendekatiku kurasakan Sesosok makhluk yang secara sekilas ku kenali sebagai sosok pangeran apel idolaku wajah itu mengayunkan sebuah sabit besar yang terrantai ditangan kirinya detik terakhir sebelum kesadaranku lumpuh total kudengar suaranya menikmati apel.
Jumat, 16 Desember 2011
When you want to die.
Oleh Deela (@deeladiladhila)
Gue mau mati.
Gue ulangin sekali lagi: Gue. Mau. Mati.
Iya, mati. Kenapa? Tidak tahu. Tiba-tiba saja ide gila itu muncul di kepala gue kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Sederhana, kan?
Kalau di tanya lebih lanjut tentang alasan kenapa gue mau mati—selain kata lebay dan emang itu ide kepikir begitu aja—adalah mungkin karena gue enggak tahu mau hidup kayak gimana lagi. Pertama, gue seorang cowok yang berumur dua puluh lima tahun tepat tanggal sepuluh Agustus kemarin yang punya pacar, tapi long distance relationship dan sering banget bertengkar. Kedua gue yatim piatu, sudah hampir satu tahun Bokap gue berpulang pada-Nya karena penyakit yang dia derita, menyusul Nyokap gue yang lebih dulu dipanggil karena perjuangan melahirkan adik gue. Mereka meninggalkan gue begitu saja di bumi ini dengan adik-adik gue, tiga adik—satu kandung, dua tiri—dengan hutang piutang segudang. Ketiga, seperti apa yang gue bilang pada point dua barusan, bokap gue meninggal dan sebagai anak, gue harus membayar hutang piutang beliau. Tapi untuk seorang anak laki-laki yang masih bau kencur, sekali pun orang bilang hutang itu enggak seberapa, buat gue justru itu luar biasa.
Dua puluh lima tahun, tanpa orang tua, punya tiga adik sebagai tanggungan, dan hutang yang harus dibayar, serta pacar yang terus marah-marah karena jarang ketemu—sedih banget ga sih hidup gue? Setiap kali gue bangun tidur , hal pertama yang gue lakuin bukanlah apa yang sering gue nyanyiin dulu: “bangun tidurku terus mandi” tapi “bangun tidurku terus ngaca”. Hahaha. Kagak, gue kagak ada niat buat narsis di pagi buta, atau berlagak seperti sang ratu dalam cerita putri salju yang terus bertanya siapa-wanita-tercantik-di-muka-bumi-ini setiap menitnya. Boro-boro mikir kayak gitu, yang ada setiap kali gue ngeliat bayangan gue di cermin, rasanya justru pengen gue tonjok sampai ancur.
Sebal. Sekaligus marah.
Tapi karena gue sayang sama adik-adik dan juga pacar gue, niat ajaib gue barusan gue pendam sendirian dan tetap memasang wajah santai seperti biasa—kalau kata temen gue, gue itu denial, alias pakai topeng. Cuma ya, yang namanya lama-lama mendem perasaan itu enggak enak. Biasanya, 70% dari survey yang gue perhatiin di sekeliling gue, dengan tingkat sok tau yang tinggi luar biasa, orang-orang yang mendem perasaan pasti ujung-ujungnya berakhir buruk. Misal, temen gue ada yang pacaran, mereka sok-sokan ga mau nyakitin perasaan pacarnya jadi segala keluh-kesah mereka di pendem, begitu sekalinya bertengkar, semuanya keluar dan yaah, putus deh. Terus misalnya lagi—apa ya, banyak deh pokoknya. Dan salah satunya ya kasus gue sekarang.
Mungkin ini udah masuk limit dari takaran sabar gue. Gue percaya kok kalau yang namanya manusia itu punya batas kesabaran—ya kali dikira Dewa apa bisa sabar sampai tua—dan sekarang rasanya gue udah ga bisa sabar lagi dengan apa yang gue jalanin, akhirnya—BOOM!!! Meledak deh. Dalam satu hari bahkan kalau mau lebay di bilang dalam satu waktu, semuanya makin berantakan. Hutang piutang yang gue tanggung makin banyak, adik gue kena kasus remaja yang paling fenomenal: nikah di usia muda karena ‘kecelakaan’, lalu masalah pendidikkan adik-adik gue yang lain, dan putus dengan pacar karena keluhannya yang udah gak bisa gue tahan.
Gue marah, gue teriak, gue maki-maki. Tapi enggak ada yang ngerti gue—enggak tau kenapa.
Ada sih yang ngerti gue—Tuhan. Kakek gue sering cerita, kalau yang namanya masalah itu, kalau lo ga dapet pemecahannya, minta sama Tuhan. Tapi enggak cuma sekedar minta alias kudu ada usaha. Gue udah sering banget curhat sama Tuhan sambil pelan-pelan gue berusaha buat nyelesain masalah gue, tapi mungkin karena gue bukan orang yang sabaran, atau emang gue terlalu naif, jadinya sampai sekarang semuanya tetap sama, enggak ada yang berubah.
Jadinya gue berpikir buat mati aja. Biar semuanya selesai.
Done.
oOo
Gue mau mati.
Iya, mati.
Kenapa? Tidak tahu. Tiba-tiba saja ide gila itu muncul di kepala gue kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Apa ini disebut lebay? Yah, enggak tahu juga sih ya tapi menurut gue yang namanya lebay itu emang udah jadi bagian hidup orang. Dan yah, karena gue adalah orang jadi wajar kalau gue lebay.
Salam sayang :
Matheo.
Rabu, 14 Desember 2011
Separuh Diri
By: Amariys / @amari_ys
“Ide gila itu muncul di kepalaku kemarin.”
Kupandang adik kembarku dengan mata terbelalak. Ide gila? Ide gila, katanya! Menurutku, ide yang dia atakan barusan itu adalah ide yang konyol! Absurd! Mustahil untuk dilakukan!
Pendapatku pastilah terlihat jelas di wajahku, karena Rio dengan segera menambahkan, “Aku yakin tidak akan apa-apa. Waja kita berdua sangat mirip dan, sungguh, aku malas jalan berdua saja dengan Vino. Tolong, ya, Ria? Kau hanya perlu menjadi aku untuk sehari!”
Wajah Rio, yang memang sangat mirip dengaku, terlihat memohon. Kedua tangannya ditangkupkan di depan wajahnya dan dia menatapku dengan sorot mata seekor anak anjing yang tertendang.
Aku menyilangkan kedua tanganku, berusaha untuk mempertahankan pelototan mataku. Namun, aku dan Rio sama-sama tahu bahwa tak mungkin aku menolak permintaan adik kembarku itu. Lima menit. Hanya selama itu waktu yang berlalu sebelum aku menghela napas. Menyerah. “Baiklah,” semoga saja aku tidak menyesali hal ini. “tapi aku tak mau tahu kalau seandainya ide gilamu ini gagal.”
Rio dengan segera tersenyum lebar. Bibir merahnya tertarik dengan simetris, menunjukkan sederetan gigi putih yang rata. Mata hitamnya berkilat senang dan aku pun tak dapat menahan senyum. Adik kembarku ini memang manis sekali jika tersenyum. ... Bukan berarti aku secara tidak langsung memuji diriku sendiri.
“Terima kasih, Ria!” dua tangan berkulit sawo matang memelukku dengan erat, membuatku terkejut. “Kalau begitu, besok jam delapan pagi akan kusuruh Vino ke sini, oke?”
Belum sempat aku menjawab, Rio sudah bangkit berdiri dan berlari keluar kamarku. Untuk mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat kepada Vino. Aku yakin.
Aku menghela napas. Rio itu memang seperti angin topan. Datang secara tiba-tiba dan penuh energi sebelum pergi lebih tiba-tiba lagi. Untung saja dia tidak pernah meninggalkan kerusakan setelah kehadirannya. Setidaknya, tidak sering.
Kembali sendiri di kamarku dan hanya ditemani oleh suara detik jarum jam dinding yang sayup terdengar, aku merebahkan tubuh di atas kasur. Mataku memandang ke langit-langit sementara pikiranku mengaji ulang ide gila yang diutarakan oleh Rio beberapa menit yang lalu. Ide gila yang sebetulnya sederhana. Rio ingin agar aku menggantikan tempatnya dalam ‘kencan’nya dengan Vino, teman lelaki terdekatnya, esok hari.
Bertukar peran dengan Rio tak pernah sulit. Kami sudah sangat sering melakukannya saat kecil dulu. Sekarang pun, walau kami sudah remaja, aku yakin kami masih dapat membodohi orang-orang dengan keisengan ini. Kecuali Ibu, tentu saja. Aku dan Rio memang kembar identik dan, lucunya, selera fashion kami pun sama. Karena itu, rambut hitam kami yang ikal sama-sama dipotong sebahu. Isi lemari pakaian kami sama-sama dipenuhi dengan jeans dan kaos-kaos sederhana. Saking miripnya kami, terkadang Ibu suka berkata bahwa seharusnya kami adalah satu individu yang tak sengaja terpisah menjadi dua.
Bibirku terkulum menjadi senyuman kecil mengingat candaan itu. Betapa tepatnya perkataan ibu. Untung saja kami masih memiliki selera yang berbeda mengenai lawan jenis. Ah, aku jadi kembali teringat kepada Vino. Sebetulnya, aku sadar bahwa pria itu memiliki sedikit rasa terhadapku. Entah hanya ketertarikan atau memang rasa suka, tapi jelas ada sesuatu yang berbeda dari caranya memandangku. Ini berarti ide gila Rio sebetulnya bertujuan untuk mendekatkanku dengan Vino. Adikku itu memang senang sekali berperan sebagai Mak Comblang.
Aku menggeleng pelan, tak habis pikir dengan jalan pikiran Rion. Rencananya untuk mendekatkanku dengan Vino tidak akan berhasil. Sudah pasti. Lagipula, bagaimana mungkin aku dapat membalas perasaan pemuda itu jika hatiku suda tertambat pada orang lain? Lebih tepatnya—pada seseorang yang telah ada di sisiku sejak masih dalam rengkuhan janin ibu yang nyaman.
Hatiku selamanya akan tertambat tanpa mendapatkan balasan. Aku tahu itu. Lagipula, jika perasaanku ini diketahui oleh orang lain, bukan tak mungkin mereka akan menuding dan mengucilkanku. Namun, bagaimana mungkin kau bisa tidak mencintai seseorang yang memang merupakan separuh dirimu? Biarlah selamanya aku mencinta dalam bisu. Biarlah selamanya aku menepuk udara kosong tanpa balasan, namun ini hatiku. Akulah yang berhak memberikannya kepada siapapun yang kuinginkan.
Besok aku akan mengikuti ide gila adikku tersayang. Besok, aku akan mengatakan dengan lugas kepada Vino bahwa tak ada gunanya mendekati Ria karena gadis itu sudah tak lagi memiliki hati. Apakah aku akan mengatakannya sebagai Ria atau Rio ... biarlah keadaan esok hari yang menentukan.
“Ide gila itu muncul di kepalaku kemarin.”
Kupandang adik kembarku dengan mata terbelalak. Ide gila? Ide gila, katanya! Menurutku, ide yang dia atakan barusan itu adalah ide yang konyol! Absurd! Mustahil untuk dilakukan!
Pendapatku pastilah terlihat jelas di wajahku, karena Rio dengan segera menambahkan, “Aku yakin tidak akan apa-apa. Waja kita berdua sangat mirip dan, sungguh, aku malas jalan berdua saja dengan Vino. Tolong, ya, Ria? Kau hanya perlu menjadi aku untuk sehari!”
Wajah Rio, yang memang sangat mirip dengaku, terlihat memohon. Kedua tangannya ditangkupkan di depan wajahnya dan dia menatapku dengan sorot mata seekor anak anjing yang tertendang.
Aku menyilangkan kedua tanganku, berusaha untuk mempertahankan pelototan mataku. Namun, aku dan Rio sama-sama tahu bahwa tak mungkin aku menolak permintaan adik kembarku itu. Lima menit. Hanya selama itu waktu yang berlalu sebelum aku menghela napas. Menyerah. “Baiklah,” semoga saja aku tidak menyesali hal ini. “tapi aku tak mau tahu kalau seandainya ide gilamu ini gagal.”
Rio dengan segera tersenyum lebar. Bibir merahnya tertarik dengan simetris, menunjukkan sederetan gigi putih yang rata. Mata hitamnya berkilat senang dan aku pun tak dapat menahan senyum. Adik kembarku ini memang manis sekali jika tersenyum. ... Bukan berarti aku secara tidak langsung memuji diriku sendiri.
“Terima kasih, Ria!” dua tangan berkulit sawo matang memelukku dengan erat, membuatku terkejut. “Kalau begitu, besok jam delapan pagi akan kusuruh Vino ke sini, oke?”
Belum sempat aku menjawab, Rio sudah bangkit berdiri dan berlari keluar kamarku. Untuk mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat kepada Vino. Aku yakin.
Aku menghela napas. Rio itu memang seperti angin topan. Datang secara tiba-tiba dan penuh energi sebelum pergi lebih tiba-tiba lagi. Untung saja dia tidak pernah meninggalkan kerusakan setelah kehadirannya. Setidaknya, tidak sering.
Kembali sendiri di kamarku dan hanya ditemani oleh suara detik jarum jam dinding yang sayup terdengar, aku merebahkan tubuh di atas kasur. Mataku memandang ke langit-langit sementara pikiranku mengaji ulang ide gila yang diutarakan oleh Rio beberapa menit yang lalu. Ide gila yang sebetulnya sederhana. Rio ingin agar aku menggantikan tempatnya dalam ‘kencan’nya dengan Vino, teman lelaki terdekatnya, esok hari.
Bertukar peran dengan Rio tak pernah sulit. Kami sudah sangat sering melakukannya saat kecil dulu. Sekarang pun, walau kami sudah remaja, aku yakin kami masih dapat membodohi orang-orang dengan keisengan ini. Kecuali Ibu, tentu saja. Aku dan Rio memang kembar identik dan, lucunya, selera fashion kami pun sama. Karena itu, rambut hitam kami yang ikal sama-sama dipotong sebahu. Isi lemari pakaian kami sama-sama dipenuhi dengan jeans dan kaos-kaos sederhana. Saking miripnya kami, terkadang Ibu suka berkata bahwa seharusnya kami adalah satu individu yang tak sengaja terpisah menjadi dua.
Bibirku terkulum menjadi senyuman kecil mengingat candaan itu. Betapa tepatnya perkataan ibu. Untung saja kami masih memiliki selera yang berbeda mengenai lawan jenis. Ah, aku jadi kembali teringat kepada Vino. Sebetulnya, aku sadar bahwa pria itu memiliki sedikit rasa terhadapku. Entah hanya ketertarikan atau memang rasa suka, tapi jelas ada sesuatu yang berbeda dari caranya memandangku. Ini berarti ide gila Rio sebetulnya bertujuan untuk mendekatkanku dengan Vino. Adikku itu memang senang sekali berperan sebagai Mak Comblang.
Aku menggeleng pelan, tak habis pikir dengan jalan pikiran Rion. Rencananya untuk mendekatkanku dengan Vino tidak akan berhasil. Sudah pasti. Lagipula, bagaimana mungkin aku dapat membalas perasaan pemuda itu jika hatiku suda tertambat pada orang lain? Lebih tepatnya—pada seseorang yang telah ada di sisiku sejak masih dalam rengkuhan janin ibu yang nyaman.
Hatiku selamanya akan tertambat tanpa mendapatkan balasan. Aku tahu itu. Lagipula, jika perasaanku ini diketahui oleh orang lain, bukan tak mungkin mereka akan menuding dan mengucilkanku. Namun, bagaimana mungkin kau bisa tidak mencintai seseorang yang memang merupakan separuh dirimu? Biarlah selamanya aku mencinta dalam bisu. Biarlah selamanya aku menepuk udara kosong tanpa balasan, namun ini hatiku. Akulah yang berhak memberikannya kepada siapapun yang kuinginkan.
Besok aku akan mengikuti ide gila adikku tersayang. Besok, aku akan mengatakan dengan lugas kepada Vino bahwa tak ada gunanya mendekati Ria karena gadis itu sudah tak lagi memiliki hati. Apakah aku akan mengatakannya sebagai Ria atau Rio ... biarlah keadaan esok hari yang menentukan.
Melaksanakan Ide Gila
Oleh: Maulana (@Maul_list) & www.coretancerita-di.blogspot.com
Ide gila itu muncul di kepalaku kemaren, di saat aku aku sedang mengendarai motor menuju tempat yang di suruh bos ku. Entah kenapa ide gila itu muncul di kepalaku, mungkin rasa lelah hati ini menjalakan segala perintah bos yang sangat aneh.Mungkin bukan cuma aku yang memiliki ide gila itu, bisa saja orang-orang terdahuluku memiliki pemikiran yang sama. Buktinya sudah banyak orang-orang yang lebih dulu masuk kerja di sini , sekarang sudah keluar dari kantor ini. Apa yang harus kuperbuat sekarang, hidup ku sekarang sering dibayangi oleh ide gila itu.
“ MUSNAH, MUSNAHLAH IDE ITU DARI KEPALAKU”
“ PERGI, PERGILAH IDE ITU DARI KEPALAKU”
Ingin ku jedot-jedotkan kepala ini ke tembok, agar ide itu menghilang dari kepalaku.
Hari ini seluruh tubuhku sudah di rajai oleh ide gila itu, akan ku realisasikan ide gila itu , agar aku bisa menjalakan hari-hari kedepan dengan indah. Di kantor, aku langsung masuk ke ruangan bos.
“ Bos, maaf saya harus mengatakan sesuatu kepada bos,” Ungkapku kepada Bos.
“ Katakanlah,” Sambut Bos,
“ Bos tidak layak menjadi Bos di kantor ini. Di sini kita bekerjasama untuk menyukseskan target-target kantor, tapi apa yang dilakukan bos dengan kantor ini. Bos dengan sewenang-wenangnya saja menyuruh para karyawan bekerja mengejar target, tapi bos tidak melakukan apa-apa. Bos hanya pandai bersilat lidah menyemangati para karyawan agar mereka bekerja. Bos bagaikan burung kakak tua. Bos, lihat pistol ini,” Amarahku membara.
“Duuuaaaarrrrrr…..!!!!”
Ide gila itu muncul di kepalaku kemaren, di saat aku aku sedang mengendarai motor menuju tempat yang di suruh bos ku. Entah kenapa ide gila itu muncul di kepalaku, mungkin rasa lelah hati ini menjalakan segala perintah bos yang sangat aneh.Mungkin bukan cuma aku yang memiliki ide gila itu, bisa saja orang-orang terdahuluku memiliki pemikiran yang sama. Buktinya sudah banyak orang-orang yang lebih dulu masuk kerja di sini , sekarang sudah keluar dari kantor ini. Apa yang harus kuperbuat sekarang, hidup ku sekarang sering dibayangi oleh ide gila itu.
“ MUSNAH, MUSNAHLAH IDE ITU DARI KEPALAKU”
“ PERGI, PERGILAH IDE ITU DARI KEPALAKU”
Ingin ku jedot-jedotkan kepala ini ke tembok, agar ide itu menghilang dari kepalaku.
Hari ini seluruh tubuhku sudah di rajai oleh ide gila itu, akan ku realisasikan ide gila itu , agar aku bisa menjalakan hari-hari kedepan dengan indah. Di kantor, aku langsung masuk ke ruangan bos.
“ Bos, maaf saya harus mengatakan sesuatu kepada bos,” Ungkapku kepada Bos.
“ Katakanlah,” Sambut Bos,
“ Bos tidak layak menjadi Bos di kantor ini. Di sini kita bekerjasama untuk menyukseskan target-target kantor, tapi apa yang dilakukan bos dengan kantor ini. Bos dengan sewenang-wenangnya saja menyuruh para karyawan bekerja mengejar target, tapi bos tidak melakukan apa-apa. Bos hanya pandai bersilat lidah menyemangati para karyawan agar mereka bekerja. Bos bagaikan burung kakak tua. Bos, lihat pistol ini,” Amarahku membara.
“Duuuaaaarrrrrr…..!!!!”
Selasa, 06 Desember 2011
Feel so stupid..
Oleh : @na26_tia
na26tia@blogspot.com
"Aku tidak bisa menyangkal, kurasa ada sesuatu yang aneh malam ini."
Tiba-tiba saja, dadaku sesak, memendam berjuta tanya yang menghentak, tapi tak juga kudapati jawabannya.
"Ada apa denganku?"
Setelah melihat dia, berjalan dengan gadis lain yang tak kukenal, hati ini serasa disayat sembilu. Oh tidaaak!! kenapa mendadak jadi cengeng begini.
Dia, hanya temanku, dan tidak lebih dari itu. Hanya saja, kedekatan kami akhir-akhir ini membuatku merasa menginginkan status lebih dari sekedar teman.
Dan celakanya, justru sekarang aku merasa sangat bodoh. Karena ternyata, hanya aku saja yang terlalu berharap. Tak kukira akan sesakit ini.. :(
"Kenapa aku tidak bisa membendung perasaan yang tak seharusnya kurasakan?"
Lebih tepatnya, aku salah orang!
Ya.. aku salah telah membuka hatiku untuk orang yang salah. Sialnya aku!! Harusnya aku tahu itu sejak awal.
Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk mengobati lukaku? luka karena kebodohanku sendiri?
Aku tak boleh seperti ini. Aku harus bangkit dari keterpurukan yang kuciptakan sendiri.
Berat rasanya beranjak dari rasa malu yang membuatku ingin menutup diri dari dunia luar.
Tapi aku tahu, aku tak selemah itu. "Apalagi hanya masalah seperti ini, jangan sampai membuatku jadi cewek cengeng dan lemah", kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri.
Perlahan aku mengatur nafasku, sembari terus meyakinkan diri bahwa Tuhan akan mempersiapkan yang terbaik untukku didepan sana. Ya.. dan orang itu bukanlah dia!
na26tia@blogspot.com
"Aku tidak bisa menyangkal, kurasa ada sesuatu yang aneh malam ini."
Tiba-tiba saja, dadaku sesak, memendam berjuta tanya yang menghentak, tapi tak juga kudapati jawabannya.
"Ada apa denganku?"
Setelah melihat dia, berjalan dengan gadis lain yang tak kukenal, hati ini serasa disayat sembilu. Oh tidaaak!! kenapa mendadak jadi cengeng begini.
Dia, hanya temanku, dan tidak lebih dari itu. Hanya saja, kedekatan kami akhir-akhir ini membuatku merasa menginginkan status lebih dari sekedar teman.
Dan celakanya, justru sekarang aku merasa sangat bodoh. Karena ternyata, hanya aku saja yang terlalu berharap. Tak kukira akan sesakit ini.. :(
"Kenapa aku tidak bisa membendung perasaan yang tak seharusnya kurasakan?"
Lebih tepatnya, aku salah orang!
Ya.. aku salah telah membuka hatiku untuk orang yang salah. Sialnya aku!! Harusnya aku tahu itu sejak awal.
Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk mengobati lukaku? luka karena kebodohanku sendiri?
Aku tak boleh seperti ini. Aku harus bangkit dari keterpurukan yang kuciptakan sendiri.
Berat rasanya beranjak dari rasa malu yang membuatku ingin menutup diri dari dunia luar.
Tapi aku tahu, aku tak selemah itu. "Apalagi hanya masalah seperti ini, jangan sampai membuatku jadi cewek cengeng dan lemah", kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri.
Perlahan aku mengatur nafasku, sembari terus meyakinkan diri bahwa Tuhan akan mempersiapkan yang terbaik untukku didepan sana. Ya.. dan orang itu bukanlah dia!
Bolehkah aku marah padanya?
Oleh: Kinan Putri
Aku tidak bisa menyangkal, kurasa ada sesuatu yang aneh malam ini. Ketika tiba2 namamu yang selama ini jadi sahabatku bergaung di hati dan pikiranku,semakin lama menjadi bulir2 air mata yang tak sempat kubendung lagi. Bukan kamu ataupun diriku yang menginginkan rasa ini ada namun ada Sang penulis skenario yang maha dahsyat yang menginginkan kita seperti ini. Tapi kenapa skenariomu begitu berat kujalani Tuhan??Mengapa kau beri rasa ini ketika dia sudah bersamanya dan akupun bersama yang lain??Rasanya ingin marah ketika aku bahkan tak pernah Kau izinkan untuk marah kepadanya Tuhan... Karena aku dan dia bahkan tak kau izinkan bersama... Untuk apa Kau tulis skenario seperti ini??
Tuhan.. Izinkan aku hilang ingatan sejanak saja.. Aku lelah mengikuti skenariomu...
Aku tidak bisa menyangkal, kurasa ada sesuatu yang aneh malam ini. Ketika tiba2 namamu yang selama ini jadi sahabatku bergaung di hati dan pikiranku,semakin lama menjadi bulir2 air mata yang tak sempat kubendung lagi. Bukan kamu ataupun diriku yang menginginkan rasa ini ada namun ada Sang penulis skenario yang maha dahsyat yang menginginkan kita seperti ini. Tapi kenapa skenariomu begitu berat kujalani Tuhan??Mengapa kau beri rasa ini ketika dia sudah bersamanya dan akupun bersama yang lain??Rasanya ingin marah ketika aku bahkan tak pernah Kau izinkan untuk marah kepadanya Tuhan... Karena aku dan dia bahkan tak kau izinkan bersama... Untuk apa Kau tulis skenario seperti ini??
Tuhan.. Izinkan aku hilang ingatan sejanak saja.. Aku lelah mengikuti skenariomu...
Langganan:
Postingan (Atom)