oleh: Retno wati (@reretno)
Kania mengerjap ngerjakan matanya mencoba mengingat ingat kejadian yang baru saja ia alami, Sekuat tenaga ia berusaha tapi tetap tidak bisa menggali secuil memory nya. Semerbak angin membelai belai wajahnya, Ia melihat kesekelililing mencoba mendiskripsikan tempatnya terbaring saat ini. Ini seperti taman kota yang sangat damai, hanya terlihat beberapa anak anak bermain ayunan. Pohon pohon dengan berbagai jenis tumbuh rimbun siap melindungi dari terik sinar UV. Rumputnya pun hijau seperti lapangan golf. Sungguh tempat yang pas untuk menyendiri, tak ada yang memerhatikan apa yang ia lakukan , Kania merasa aman untuk tidur lagi. Ini sungguh nyaman
“Hey, “ Sapa seorang laki laki yang otomatis membuat kania bangkit
“Kamu siapa”
“ Aku perkenalkan aku Endrew. Aku sudah lama disini. Kau pendatang baru ya? ” laki laki yang berambut pirang dan berwajah khas keturunan Indo itu memgulurkan tanganya.
“Aku tidak tahu, aku tidak ingat apapun tahu tahu aku sudah disini, ini tempat apa?” Selidik Kania
“ Ini kota antara, aku juga tidak begitu mengerti ini tempat apa, Tapi kau bisa menemukan semuanya disini, Jadi jalan jalan, kita bisa mulai hidup kita di kota ini kan?. Anggap saja kau baru lahir“
Kania berfikir sejenak, meskipun merasa asing dengan laki laki ini toh akhirnya ia setuju. Endrew mengajaknya berjalan keluar taman, Lalu dengan telaten memandu Kania layaknya tour guide. Mereka hanya berjalan kaki tapi entah mengapa Kania tidak merasa letih. Ada banyak bangunan bangunan kuno bercorak Belanda disepanjang jalan yang seperti tak pernah membosankan untuk dilihat. Bebarapa gerombolan orang terlihat berjalan berlawanan arah dengan mereka, Anehnya mereka semua diam saja tak ada pembicaraan apapun.
“ Jangan hiraukan mereka Kania” Kata kata Endrew terdengar halu namun memerintah.
“ Apakah itu namaku? Aku tidak ingat” Kania menatap Endrew, Dia laki laki yang tampan dan paling ramah yang mungkin bisa Kania temukan disini. Kania fikir ada baiknya kalau ia menurut saja.
“ Kau tau? Sepanjang jalan ini banyak sekali tempat tempat menarik, kota ini punya segalanya yang kamu butuhkan. Sekarang tempat apa yang paling kamu inginkan? Kau mau ke Danau? Atau ke bukit? Atau kamu mau kastil seperti di negeri dongeng?” Tanya Endrew bersemangat.
“ Kamu sudah lama tinggal disini? Sejak kapan?”
“ Sudah lama, aku tidak ingat lagi sama seperti mu dulu aku terdampar disini, lalu aku kalau kota ini punya semua tempat indah, jadi kupikir akan sangat baik jika aku disini. Disini sepi dan nyaman, aku sangat senang kau datang. Sekarang katakan tempat yang paling kamu ingin datangi?” Endrew sadar Kania belum menjawab pertanyaanya
“ Apa ini surga?” Kania malah bertanya balik.
“ Anggap saja begitu. Aku jadi seperti Nabi Adam , dan percayalah aku yakin kamu adalah Hawa yang dikirim Tuhan untuk menemaniku disini. Tenang saja aku akan membuatmu senang. Jadi jangan berfikir untuk pergi dari sini ” Tiba tiba Endrew menggenggam tangan Kania.
“ Tidak Endrew maaf, aku ingin ketempat yang ramai, aku ingin tempat yang ada banyak orang saling mengenal aku tidak bisa disini!!, aku tidak nyaman sepertinya bukan hak ku untuk terus disini ” Kota ini indah tapi hati nurani Kania tidak mengizinkanya. Kania membebaskan tanganya dari genggaman Endrew.
“ Kau bodoh sekarang pergilah! Kamu bukan siti hawa ku “ Suara Endrew meninggi lalu berlari dengan cepat dan menghilang di ujung jalan .
Sekarang Kania sendirian ia mulai bingung harus pergi kemana, disini tidak ada yang bisa dimintai tolong. Ia berjalan dan terus berjalan. Tiba tiba sebuah tangan entah milik siapa menariknya kembali
**********
Kania membuka matanya pelan pelan. Beberapa orang bersorak sorak disamping ranjangnya.
“ Akhirnya kamu sadar juga setalah koma seminggu ini , Ibu bahagia sekali ” Bisik Wanita paruh baya, Ada sebulir air mata bahagia di pipinya.
Kania terdiam, Baru saja ia berkunjung ke Kota Antara. Antara hidup dan mati.
*****
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label kota. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kota. Tampilkan semua postingan
Jumat, 22 April 2011
Ukiran Kisahku di Kota Ini
oleh: Monica (@moniclarina)
Disini aku duduk di taman. Suasana kota sore ini cukup sepi. Beberapa mobil hanya berlalu-lalang tak menghiraukanku. Aku disini… Duduk di kursi taman dengan tatapan kosong. Namun didalam diriku sekelebat potongan peristiwa terus terbayang seperti meneriakiku untuk menemukan potongan lainnya.
Sore itu… Masih terbayang kejadian itu… Kejadian yang tak akan pernah aku lupakan. Saat pertama kalinya aku bisa menangis… Untuk seorang laki-laki. Nampak seperti ada layar televisi lebar di hadapanku yang mem-flashback semua kejadian itu… “Chika… Liat deh matahari itu! Bagus yah... Jadi inget deh waktu kita dulu liatin matahari terbenam… Kamu masih inget ngak?” kata remaja laki-laki itu, Ray namanya. Wajahnya yang tampan, putih bersih, dan matanya yang indah dan hangat, selalu membuatku terpesona. “Masih dong… Aku ingat banget. Dulu kita selalu duduk di trampolin kita berdua sambil nungguin matahari terbenam, abis itu kita cerita-cerita deh! Jadi kangen deh…” jawabku. Kupandangi wajahnya sesaat, ia yang sedang menatap matahari dengan raut wajahnya yang berseri-seri dan melukiskan suasana hangat yang mendalam. Andai ia milikku, pikirku dalam hati. Mungkin aku egois. Tapi... Aku terlalu menyayanginya. Sayang sekali. Seminggu lagi hari pernikahannya, dan aku hanya punya waktu beberapa hari lagi untuk tetap bersamanya. Setelah itu… Yah mau tak mau aku harus melepasnya. Mungkin bukan aku calon yang terbaik untuknya, hiburku dalam batinku. “Ray, kamu yakin nih sama si Celine? Jangan sakitin dia lho, pokoknya jangan pernah buat cewek patah hati. Janji yaa?” Padahal saat ini pun dia sudah membuatku patah hati. Sulit sebenarnya mengucapkan kalimat tadi. Tapi… Biarlah, untuk menyemangatinya, asal dia senang, yah.. semoga aku pun juga senang. “Oh pasti aku yakin dong! Percaya deh sama aku! Janji kok! Janjii!! Aku pasti jodoh terrrbaaaikk untuk dia!” ujar Ray bersemangat. JLEP… Seperti ada pisau yang menusuk jiwa ragaku sekarang… Kucoba tuk lepaskan pisau itu, tapi tak bisa. Kuatnya tancapan itu makin membuatku sakit… Sakit sekali… Sakit yang sangat tak tertahankan. Perih hatiku menahannya.. Apakah Ray tak pernah sadar? Kata-katanya sungguh membuatku terbunuh. Badanku lemas, mungkin saja wajahku pucat dan air mataku pun mulai menetes. Ray… apakah kamu tak pernah tahu? Kuhapus air mataku dan kucoba untuk memaksakan diriku tersenyum padanya. Meskipun aku sendiri tiba-tiba lupa caranya untuk tersenyum. Inikah nasibku?
Hari ini… Tepat disini... Di gereja ini... Aku sedang duduk disini menatap dirinya. Ray dengan Celine yang sedang duduk di depan dengan muka berseri-seri. Tangisanku sudah tidak keluar lagi. Aku tak tahu, mungkin aku sudah bisa menerimanya, ataupun tak ada lagi stok air mata yang ku punya karena habis untuk menangisinya. Disana… Di depan sana nasibku ditentukan. Di ambang-ambang antara perkataan yang akan keluar dari mulutnya. Aku takut kalau ia berkata... Ah, aku menepis perasaanku... Saat ini juga aku merasa aku sangat egois. Saat aku masih sibuk dengan lamunanku sendiri, tiba-tiba.. “Aku bersedia..” Rasa itu… Rasa itu yang pernah kurasakan dulu.. Semua kenangan aku dan dia terputar berulang-ulang kali di kepalaku. Rasa sakit yang pernah kurasakan dulu. Mengapa harus kurasakan kembali? Mengapa? Badanku lemas. Air mataku tak dapat kubendung lagi. Perlahan meluncur menuruni wajahku. Inikah nasibku? Inikah akhir perjalananku dengannya? Mengapa harus dia ukir kesedihan di dalam kisahku dan kisahnya ini? Mengapa?
Aku terusik dari lamunanku. Dulu ini kota favoritku. Aku mencintainya… Aku menyukainya.. Namun setelah kejadian itu, aku benci kota ini. Aku benci semua kejadian di kota ini. Aku benci. Aku benci. Semua hal disini mengingatkanku semua hal tentang Ray. Maafkan aku, bukan bermaksud untuk membenci kota ini… Tapi sayang, Ray mengukir kenangan itu di sini. Tapi kini kucoba untuk melupakannya, kucoba untuk memulai hidup baru tanpanya. Aku yakin aku bisa... Aku pasti bisa… Tak kusadari air mataku sudah meluncur membasahi wajahku. Aku berdiri dan beranjak dari taman ini sambil menghapus air mataku. Ray… Maafkan aku jika aku menyalahimu akan semua perilakumu... Sekarang aku sadar... Betapa egoisnya aku saat itu... Betapa egoisnya aku sampai aku mau mengatur hidupmu... Maafkan aku... Maafkan. Sekarang, aku takkan membenci lagi kota ini… Aku sudah siap untuk menerima semuanya. Semua kejadian dalam hidupku. Aku akan mulai lagi untuk mencintai kota ini. Dan bangkit dari keterpurukanku saat aku jatuh dulu. Biarlah semua ukiran kisah kita tetap kuingat selalu di kota ini. Biarlah kota ini yang menyimpan semua kenangan ini. Dan takkan terlupakan selamanya…
Disini aku duduk di taman. Suasana kota sore ini cukup sepi. Beberapa mobil hanya berlalu-lalang tak menghiraukanku. Aku disini… Duduk di kursi taman dengan tatapan kosong. Namun didalam diriku sekelebat potongan peristiwa terus terbayang seperti meneriakiku untuk menemukan potongan lainnya.
Sore itu… Masih terbayang kejadian itu… Kejadian yang tak akan pernah aku lupakan. Saat pertama kalinya aku bisa menangis… Untuk seorang laki-laki. Nampak seperti ada layar televisi lebar di hadapanku yang mem-flashback semua kejadian itu… “Chika… Liat deh matahari itu! Bagus yah... Jadi inget deh waktu kita dulu liatin matahari terbenam… Kamu masih inget ngak?” kata remaja laki-laki itu, Ray namanya. Wajahnya yang tampan, putih bersih, dan matanya yang indah dan hangat, selalu membuatku terpesona. “Masih dong… Aku ingat banget. Dulu kita selalu duduk di trampolin kita berdua sambil nungguin matahari terbenam, abis itu kita cerita-cerita deh! Jadi kangen deh…” jawabku. Kupandangi wajahnya sesaat, ia yang sedang menatap matahari dengan raut wajahnya yang berseri-seri dan melukiskan suasana hangat yang mendalam. Andai ia milikku, pikirku dalam hati. Mungkin aku egois. Tapi... Aku terlalu menyayanginya. Sayang sekali. Seminggu lagi hari pernikahannya, dan aku hanya punya waktu beberapa hari lagi untuk tetap bersamanya. Setelah itu… Yah mau tak mau aku harus melepasnya. Mungkin bukan aku calon yang terbaik untuknya, hiburku dalam batinku. “Ray, kamu yakin nih sama si Celine? Jangan sakitin dia lho, pokoknya jangan pernah buat cewek patah hati. Janji yaa?” Padahal saat ini pun dia sudah membuatku patah hati. Sulit sebenarnya mengucapkan kalimat tadi. Tapi… Biarlah, untuk menyemangatinya, asal dia senang, yah.. semoga aku pun juga senang. “Oh pasti aku yakin dong! Percaya deh sama aku! Janji kok! Janjii!! Aku pasti jodoh terrrbaaaikk untuk dia!” ujar Ray bersemangat. JLEP… Seperti ada pisau yang menusuk jiwa ragaku sekarang… Kucoba tuk lepaskan pisau itu, tapi tak bisa. Kuatnya tancapan itu makin membuatku sakit… Sakit sekali… Sakit yang sangat tak tertahankan. Perih hatiku menahannya.. Apakah Ray tak pernah sadar? Kata-katanya sungguh membuatku terbunuh. Badanku lemas, mungkin saja wajahku pucat dan air mataku pun mulai menetes. Ray… apakah kamu tak pernah tahu? Kuhapus air mataku dan kucoba untuk memaksakan diriku tersenyum padanya. Meskipun aku sendiri tiba-tiba lupa caranya untuk tersenyum. Inikah nasibku?
Hari ini… Tepat disini... Di gereja ini... Aku sedang duduk disini menatap dirinya. Ray dengan Celine yang sedang duduk di depan dengan muka berseri-seri. Tangisanku sudah tidak keluar lagi. Aku tak tahu, mungkin aku sudah bisa menerimanya, ataupun tak ada lagi stok air mata yang ku punya karena habis untuk menangisinya. Disana… Di depan sana nasibku ditentukan. Di ambang-ambang antara perkataan yang akan keluar dari mulutnya. Aku takut kalau ia berkata... Ah, aku menepis perasaanku... Saat ini juga aku merasa aku sangat egois. Saat aku masih sibuk dengan lamunanku sendiri, tiba-tiba.. “Aku bersedia..” Rasa itu… Rasa itu yang pernah kurasakan dulu.. Semua kenangan aku dan dia terputar berulang-ulang kali di kepalaku. Rasa sakit yang pernah kurasakan dulu. Mengapa harus kurasakan kembali? Mengapa? Badanku lemas. Air mataku tak dapat kubendung lagi. Perlahan meluncur menuruni wajahku. Inikah nasibku? Inikah akhir perjalananku dengannya? Mengapa harus dia ukir kesedihan di dalam kisahku dan kisahnya ini? Mengapa?
Aku terusik dari lamunanku. Dulu ini kota favoritku. Aku mencintainya… Aku menyukainya.. Namun setelah kejadian itu, aku benci kota ini. Aku benci semua kejadian di kota ini. Aku benci. Aku benci. Semua hal disini mengingatkanku semua hal tentang Ray. Maafkan aku, bukan bermaksud untuk membenci kota ini… Tapi sayang, Ray mengukir kenangan itu di sini. Tapi kini kucoba untuk melupakannya, kucoba untuk memulai hidup baru tanpanya. Aku yakin aku bisa... Aku pasti bisa… Tak kusadari air mataku sudah meluncur membasahi wajahku. Aku berdiri dan beranjak dari taman ini sambil menghapus air mataku. Ray… Maafkan aku jika aku menyalahimu akan semua perilakumu... Sekarang aku sadar... Betapa egoisnya aku saat itu... Betapa egoisnya aku sampai aku mau mengatur hidupmu... Maafkan aku... Maafkan. Sekarang, aku takkan membenci lagi kota ini… Aku sudah siap untuk menerima semuanya. Semua kejadian dalam hidupku. Aku akan mulai lagi untuk mencintai kota ini. Dan bangkit dari keterpurukanku saat aku jatuh dulu. Biarlah semua ukiran kisah kita tetap kuingat selalu di kota ini. Biarlah kota ini yang menyimpan semua kenangan ini. Dan takkan terlupakan selamanya…
Sakura Terakhir
oleh: @reynaldosiahaan
Lima tahun lamanya kita telah berpisah. Terakhir kali kita bertemu adalah saat matahari mulai memamerkan pijarnya di kota tempat kuberpijak waktu itu. Aku tak sempat mengetahui bagaimana aku memanggilmu. Hanya sebuah sapu tangan yang kutemukan di bekas bayanganmu. Sapu tangan yang tak sengaja tergulai lemas oleh desiran angin. Aku menyesal aku tak sempat mengabadikanmu dalam satu frame dalam kameraku meskipun mungkin tak sedikitpun raut wajahmu yang luntur di pikiranku.
Sekarang aku ada di sini lagi. Di kota tempat aku pernah bermimpi bertemu seorang bidadari dan aku menemukan yang lebih dari itu. Mengenangmu di tempat duduk kecil berlapis beton ditemani merpati betina yang berbaris rapi di depanku. Sebenarnya aku bingung kenapa aku begitu mengagumimu. Mungkin karena waktu itu ketika sakura berguguran di kepalamu, semuanya terlihat begitu mengesankan. Aku duduk kembali di sini dengan kameraku dan mengambil gambar sakura berguguran itu lagi. Namun, aku tidak merasakan apa-apa. Ada yang kurang dari potret itu.
Seperti es yang diletakkan di teriknya sang mentari, momen indah yang kurasakan itu berlalu begitu saja. Aku bertanya terus menerus kepada hatiku mengapa waktu itu aku tidak mengangkat kedua kakiku dan melesat ke hadapanmu. Aku tidak bisa menjawabnya. Bukan karena aku tak tahu jawabannya tetapi karena aku takut akan jawabannya. Menyesal memang tiada arti lagi. Sejak itu, di setiap event yang sama, aku selalu hadir di sini mencoba keberuntunganku. Mungkin kota ini membawa keberuntungan bagiku untuk lagi bertemu denganmu.
Kali ini, di sesaknya himpitan kota Tokyo aku tidak lagi merasakan kesejukan seperti waktu itu. Imajinasiku tak mampu membawaku kembali ke masa itu. Bahkan sapu tangan ini hanya mampu menjadi penonton setiaku selama tahun-tahun belakangan. Kerut alisku mulai menggumam pada kota ini. Mungkin kota ini tidak memberiku keberuntungan seperti yang kukira. Aku mulai mendumel pada kota ini yang entah sengaja atau tidak , telah memberiku sebuah momen singkat yang menghantuiku sampai sekarang.
Sampai matahari memalingkan wajahnya aku masih duduk di tempat yang sama. Memandangi sudut di bawah lampu jalan tempat kamu menjajakan rangkaian bunga indah itu. Di detik terakhir pijaran mentari, aku berkata pada hatiku. Seandainya kamu tak muncul lagi, ini terakhir kalinya nafasku berhembus di kota ini, kota yang memberiku harapan tetapi kemudian pergi begitu saja. Hanya karena ego sekilas, harapan itu memaku dendam padaku dan tak kembali lagi.
"Selamat Tinggal Tokyo", teriakku setelah kusematkan saputangan itu di tiang lampu tadi.
Lima tahun lamanya kita telah berpisah. Terakhir kali kita bertemu adalah saat matahari mulai memamerkan pijarnya di kota tempat kuberpijak waktu itu. Aku tak sempat mengetahui bagaimana aku memanggilmu. Hanya sebuah sapu tangan yang kutemukan di bekas bayanganmu. Sapu tangan yang tak sengaja tergulai lemas oleh desiran angin. Aku menyesal aku tak sempat mengabadikanmu dalam satu frame dalam kameraku meskipun mungkin tak sedikitpun raut wajahmu yang luntur di pikiranku.
Sekarang aku ada di sini lagi. Di kota tempat aku pernah bermimpi bertemu seorang bidadari dan aku menemukan yang lebih dari itu. Mengenangmu di tempat duduk kecil berlapis beton ditemani merpati betina yang berbaris rapi di depanku. Sebenarnya aku bingung kenapa aku begitu mengagumimu. Mungkin karena waktu itu ketika sakura berguguran di kepalamu, semuanya terlihat begitu mengesankan. Aku duduk kembali di sini dengan kameraku dan mengambil gambar sakura berguguran itu lagi. Namun, aku tidak merasakan apa-apa. Ada yang kurang dari potret itu.
Seperti es yang diletakkan di teriknya sang mentari, momen indah yang kurasakan itu berlalu begitu saja. Aku bertanya terus menerus kepada hatiku mengapa waktu itu aku tidak mengangkat kedua kakiku dan melesat ke hadapanmu. Aku tidak bisa menjawabnya. Bukan karena aku tak tahu jawabannya tetapi karena aku takut akan jawabannya. Menyesal memang tiada arti lagi. Sejak itu, di setiap event yang sama, aku selalu hadir di sini mencoba keberuntunganku. Mungkin kota ini membawa keberuntungan bagiku untuk lagi bertemu denganmu.
Kali ini, di sesaknya himpitan kota Tokyo aku tidak lagi merasakan kesejukan seperti waktu itu. Imajinasiku tak mampu membawaku kembali ke masa itu. Bahkan sapu tangan ini hanya mampu menjadi penonton setiaku selama tahun-tahun belakangan. Kerut alisku mulai menggumam pada kota ini. Mungkin kota ini tidak memberiku keberuntungan seperti yang kukira. Aku mulai mendumel pada kota ini yang entah sengaja atau tidak , telah memberiku sebuah momen singkat yang menghantuiku sampai sekarang.
Sampai matahari memalingkan wajahnya aku masih duduk di tempat yang sama. Memandangi sudut di bawah lampu jalan tempat kamu menjajakan rangkaian bunga indah itu. Di detik terakhir pijaran mentari, aku berkata pada hatiku. Seandainya kamu tak muncul lagi, ini terakhir kalinya nafasku berhembus di kota ini, kota yang memberiku harapan tetapi kemudian pergi begitu saja. Hanya karena ego sekilas, harapan itu memaku dendam padaku dan tak kembali lagi.
"Selamat Tinggal Tokyo", teriakku setelah kusematkan saputangan itu di tiang lampu tadi.
Petualanganku
Oleh: Lidya Christina Yowendro (@lid_yang)
Lcy-thoughts.blogspot.com
Seperti biasa, aku menjelajah hutan ini dari pagi hingga matahari terbenam. Seperti biasa, aku memungut apa saja yang bisa ku dapati dalam perjalananku ini. Semuanya yang sering dianggap sampah oleh orang lain menjadi harta yang paling penting dalam hidupku.
Aku telusuri jalan yang terbentang di hadapanku. Ah, capek. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, suatu hal yang jarang dilakukan oleh para petualang lain. Di bawah pohon yang rindang dan beralaskan rumput, aku duduk untuk memulihkan staminaku. Tas yang sejak tadi aku bebankan pada pundakku, aku letakkan dengan pelan di sisiku.
Di depanku ada seorang yang tampaknya sedang tidak bernasib baik. Dia duduk di bawah pohon di seberang jalan, tidak beralaskan rumput tentunya. Pakaiannya terlalu baik dan rapi untuk itu. Dia menarik perhatianku. Untuk sejenak, kami bertatap. Aku lontarkan senyumanku, tidak dapat dikatakan manis, tetapi aku rasa senyumanku cukup tulus. Kemarin aku melihatnya, anak muda ini, berjalan dengan cepat seperti yang lain. Tetapi, hari ini tampaknya dia tidak dikejar waktu.
Dia membalas senyumanku. Jarang ada yang ingin tersenyum padaku, kecuali anakku yang imut itu. Apa yang terjadi padanya? Biasanya dia tidak menghiraukanku. Dan yang lebih mengejutkan aku, dia mulau berjalan ke arahku.
“Sore,” Katanya begitu dia berada di hadapanku.
“Sore, juga. Ayo, duduk,” Aku menjawab dengan spontan. Ah, apa yang ku pikirkan. Tidak mungkin dia mau duduk di sampingku.
Meski ragu-ragu, dia duduk juga. Wah, ini benar-benar kejutan.
“Baru dipecat, Pak,” Katanya. Aku kurang yakin dia bicara denganku, sebab matanya menatap ke langit.
“Ga tau mau ngapain nih, Pak,” Dia menundukkan kepalanya. “Ga tau ke berapa kali ini aku dipecat.” Dia menghela napas panjang. “Atau aku ikut bapak aja ya. Jadi pemulung.”
Aku tertegun. Apa yang dikatakan anak ini? Jadi pemulung? Dengan pakaiannya yang bersih dan rapi itu?
“Nak, kota ini seperti hutan belantara,” Aku mulai pidato pendekku untuk sore hari itu. “Lihat bangunan-bangunan tinggi ini, seperti pohon, kan. Anggap kehidupan di kota besar ini seperti petualangan di hutan belantara. Nah, di setiap belokan ada saja yang menanti kita. Mungkin suatu bahaya, mungkin juga suatu kesempatan, apa saja. Tetapi untuk tahu apa itu, kita harus berjalan terus. Terkadang, berhentilah sejenak, nikmati keindahan hutan ini.”
Aku keluarkan sesuatu dari dalam tasku. “Apa ini?”
“Botol bekas?”
“Bukan!” Jawabku lantang. “Ini salah satu bunga yang paling indah dan berharga. Kalau dijual, bayangkan bayaran yang aku dapati.”
“Tapi, kan ga banyak.”
“Memang, tapi kalau mereka yang mendapatinya,” kataku sambil menunjuk pada orang-orang yang berlalu lalang. “Mereka hanya akan membuangnya, kan? Bagi mereka ini sampah, bagiku, ini harta. Hidupku jauh dari sederhana, tetapi aku bahagia.”
Anak muda itu diam.
“Nak, yang penting itu terkadang bukan hasil petualangan. Tetapi proses petualangannya. Bagaimana kamu melihat segala sesuatu yang ada di sampingmu.” Aku berdiri dan kembali membebani pundakku dengan tasku yang penuh dengan barang-barang bekas itu. Ah, bukan, maksudku, harta-hartaku. “Saya pergi dulu, yah. Petualangan saya harus saya selesaikan sebelum aku pulang.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anak muda itu. Tetapi tampaknya dia bukan seseorang yang bodoh dan lemah. Sebab, aku dapat mendengar teriakannya sejenak setelah aku meninggalkan tempat istirahatku tadi.
“YA! PETUALANGANKU BARU DIMULAI!”
Lcy-thoughts.blogspot.com
Seperti biasa, aku menjelajah hutan ini dari pagi hingga matahari terbenam. Seperti biasa, aku memungut apa saja yang bisa ku dapati dalam perjalananku ini. Semuanya yang sering dianggap sampah oleh orang lain menjadi harta yang paling penting dalam hidupku.
Aku telusuri jalan yang terbentang di hadapanku. Ah, capek. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, suatu hal yang jarang dilakukan oleh para petualang lain. Di bawah pohon yang rindang dan beralaskan rumput, aku duduk untuk memulihkan staminaku. Tas yang sejak tadi aku bebankan pada pundakku, aku letakkan dengan pelan di sisiku.
Di depanku ada seorang yang tampaknya sedang tidak bernasib baik. Dia duduk di bawah pohon di seberang jalan, tidak beralaskan rumput tentunya. Pakaiannya terlalu baik dan rapi untuk itu. Dia menarik perhatianku. Untuk sejenak, kami bertatap. Aku lontarkan senyumanku, tidak dapat dikatakan manis, tetapi aku rasa senyumanku cukup tulus. Kemarin aku melihatnya, anak muda ini, berjalan dengan cepat seperti yang lain. Tetapi, hari ini tampaknya dia tidak dikejar waktu.
Dia membalas senyumanku. Jarang ada yang ingin tersenyum padaku, kecuali anakku yang imut itu. Apa yang terjadi padanya? Biasanya dia tidak menghiraukanku. Dan yang lebih mengejutkan aku, dia mulau berjalan ke arahku.
“Sore,” Katanya begitu dia berada di hadapanku.
“Sore, juga. Ayo, duduk,” Aku menjawab dengan spontan. Ah, apa yang ku pikirkan. Tidak mungkin dia mau duduk di sampingku.
Meski ragu-ragu, dia duduk juga. Wah, ini benar-benar kejutan.
“Baru dipecat, Pak,” Katanya. Aku kurang yakin dia bicara denganku, sebab matanya menatap ke langit.
“Ga tau mau ngapain nih, Pak,” Dia menundukkan kepalanya. “Ga tau ke berapa kali ini aku dipecat.” Dia menghela napas panjang. “Atau aku ikut bapak aja ya. Jadi pemulung.”
Aku tertegun. Apa yang dikatakan anak ini? Jadi pemulung? Dengan pakaiannya yang bersih dan rapi itu?
“Nak, kota ini seperti hutan belantara,” Aku mulai pidato pendekku untuk sore hari itu. “Lihat bangunan-bangunan tinggi ini, seperti pohon, kan. Anggap kehidupan di kota besar ini seperti petualangan di hutan belantara. Nah, di setiap belokan ada saja yang menanti kita. Mungkin suatu bahaya, mungkin juga suatu kesempatan, apa saja. Tetapi untuk tahu apa itu, kita harus berjalan terus. Terkadang, berhentilah sejenak, nikmati keindahan hutan ini.”
Aku keluarkan sesuatu dari dalam tasku. “Apa ini?”
“Botol bekas?”
“Bukan!” Jawabku lantang. “Ini salah satu bunga yang paling indah dan berharga. Kalau dijual, bayangkan bayaran yang aku dapati.”
“Tapi, kan ga banyak.”
“Memang, tapi kalau mereka yang mendapatinya,” kataku sambil menunjuk pada orang-orang yang berlalu lalang. “Mereka hanya akan membuangnya, kan? Bagi mereka ini sampah, bagiku, ini harta. Hidupku jauh dari sederhana, tetapi aku bahagia.”
Anak muda itu diam.
“Nak, yang penting itu terkadang bukan hasil petualangan. Tetapi proses petualangannya. Bagaimana kamu melihat segala sesuatu yang ada di sampingmu.” Aku berdiri dan kembali membebani pundakku dengan tasku yang penuh dengan barang-barang bekas itu. Ah, bukan, maksudku, harta-hartaku. “Saya pergi dulu, yah. Petualangan saya harus saya selesaikan sebelum aku pulang.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anak muda itu. Tetapi tampaknya dia bukan seseorang yang bodoh dan lemah. Sebab, aku dapat mendengar teriakannya sejenak setelah aku meninggalkan tempat istirahatku tadi.
“YA! PETUALANGANKU BARU DIMULAI!”
Rumah Baru Seribu Peluru
oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com
Kalian pun pasti akan refleks menoleh, tatkala sebuah truk bak terbuka yang mengangkut serangkaian mebel mengerem mendadak. Lengking bunyi rem dan gesekan ban pada aspal membuat anak seorang pedagang kaki lima terkaget dan terbangun seraya menangis memanggil-manggil ibunya. Sang ibu yang waktu itu sedang mengisikan bensin pada tangki motor seorang pembeli mendadak panik lantas buru-buru mengambil bayinya dalam sekotak rumah warung pinggir jalan ke dalam pelukannya. Dan ibu itu tambah terkejut lagi tatkala sang pembeli tadi sudah menancap gas padahal belum membayar sepeser pun.
Bayi dalam gendongannya perlahan diam. "Ada apa sih itu Pan?" tanyanya pada seorang penjual bakso yang ikut berlarian ke arah gerbang kota "Ada yang hampir ketabrak!"
"Heh! Mau cari mati kau!" kondektur truk itu turun dan menunjuk-nunjukkan kunci inggris dalam genggamannya kepada lelaki itu. Otot-otot lengannya yang legam tampak penuh dan bertonjolan.
Tapi laki-laki itu bergeming. Ia melangkah dan membelah kerumunan masa, berjalan dengan seulas senyum di bibirnya yang kering dan pucat.
"Oh, dasar orang gila!" Seseorang mencemoohnya tatkkala ia meraba Gerbang kota yang menjulang. Pendengaran laki-laki itu normal, hanya saja ia lebih berkonsentrasi mendengar suara keributan di kepalanya.
"Sabarlah sayang, sebentar lagi kita akan punya rumah baru."
Sayang? Ah kalian jangan berpikiran macam-macam. Sayang itu bukan panggilan bagi semacam kekasih yang hamil lantas diusir dari keluarganya karena menerbar aib. Bukan anak-anak yang terlantar dan ditinggalakan bersama ibunya tanpa harta mencukupi. Bukan ibu kandung serupa ibu Malin Kundang yang ditinggal merantau sebatangkara. Sungguh, ia lelaki baik-baik.
Yang ia sebut sayang hanyalah anak-anak. Ya, anak-anak yang telah begitu lama tumbuh menyiangi sulur daun-daun kesepiannya. Anak-anak yang ia tak tahu dari mana datangnya. Yang ia tau anak-anak itu datang saat ia roboh bersamaan dengan deru derap kepergian orang-orang terkasihnya; istri, tiga putra, ibu kandung, bapak mertua, dan beberapa orang penduduk desa lainnya.
****
"Stop! Stop pak!" Seorang reporter berita tiba-tiba menepuk pundak supir taksinya. Dengan gerak cepat ia bersama rekannya keluar sambil setengah membanting pintu taksi yang di kaca belakang dan depannya tertulis "tarif bawah" itu.
Sebentar kemudian lensa kameranya telah merekam gambar-gambar yang berfokus pada seorang laki-laki yang setengah kuyup berada di hampir pertengahan bundaran air mancur di pusat kota yang penuh gedung-gedung pencakar langit.
"Ah dia cuma orang gila Jo!" Protes rekannya itu yang telah siap dengan sebuah mic.
"Bukan! Gue kayaknya sangat akrab dengan orang ini" ia menambah zoom pada kameranya sehingga wajah lelaki itu penuh di layar kamera. "Astaga! Liat Ji topinya! Kepalanya bolong! Ya ampun dia Pak Sardi dari dusun yang dibantai itu Ji!" Belum sempat ia menambah zoomnya tiba-tiba lelaki itu tenggelam menyelam ke dalam kolam.
Kedua reporter itu terkaget, dan seperti menjadi aneh dan asing sendiri berada di pinggir bundaran sementara arus lalu lintas yang lewat begitu padat namun tak peduli dengan apa yang terjadi.
"Keluarlah sayang, masuklah ke rumah baru kalian, rumah dari mana kalian berasal."
Tiba- tiba dari dalam air itu berdesingan ratusan peluru. Beberapa meleseat melewati kedua reporter itu.
Di tengah kota yang sebesar ini, desingan peluru yang melesat begitu cepat itu tak ubahnya partikel debu yang bertebangan di udara, tak terhiraukan.
Beberapa jam kemudian stasiun-stasiun televisi dan kantor-kantor berita disibukkan untuk memberitakan kematian pejabat dan petinggi negeri di puluhan tempat yang berbeda; di mall, salon, ruang sidang, lapangan golf, cafe, bahkan di atas ranjang sebuah hotel.
Lalu di mana laki-laki itu sekarang? Awalnya tubuhnya ikut menyerpih bersama terbangnya peluru-peluru itu. Mungkin ia kini berumah di debu-debu udara kota, yang teramat mungkin kalian hirup tadi siang.
www.punaimerindu.blogspot.com
Kalian pun pasti akan refleks menoleh, tatkala sebuah truk bak terbuka yang mengangkut serangkaian mebel mengerem mendadak. Lengking bunyi rem dan gesekan ban pada aspal membuat anak seorang pedagang kaki lima terkaget dan terbangun seraya menangis memanggil-manggil ibunya. Sang ibu yang waktu itu sedang mengisikan bensin pada tangki motor seorang pembeli mendadak panik lantas buru-buru mengambil bayinya dalam sekotak rumah warung pinggir jalan ke dalam pelukannya. Dan ibu itu tambah terkejut lagi tatkala sang pembeli tadi sudah menancap gas padahal belum membayar sepeser pun.
Bayi dalam gendongannya perlahan diam. "Ada apa sih itu Pan?" tanyanya pada seorang penjual bakso yang ikut berlarian ke arah gerbang kota "Ada yang hampir ketabrak!"
"Heh! Mau cari mati kau!" kondektur truk itu turun dan menunjuk-nunjukkan kunci inggris dalam genggamannya kepada lelaki itu. Otot-otot lengannya yang legam tampak penuh dan bertonjolan.
Tapi laki-laki itu bergeming. Ia melangkah dan membelah kerumunan masa, berjalan dengan seulas senyum di bibirnya yang kering dan pucat.
"Oh, dasar orang gila!" Seseorang mencemoohnya tatkkala ia meraba Gerbang kota yang menjulang. Pendengaran laki-laki itu normal, hanya saja ia lebih berkonsentrasi mendengar suara keributan di kepalanya.
"Sabarlah sayang, sebentar lagi kita akan punya rumah baru."
Sayang? Ah kalian jangan berpikiran macam-macam. Sayang itu bukan panggilan bagi semacam kekasih yang hamil lantas diusir dari keluarganya karena menerbar aib. Bukan anak-anak yang terlantar dan ditinggalakan bersama ibunya tanpa harta mencukupi. Bukan ibu kandung serupa ibu Malin Kundang yang ditinggal merantau sebatangkara. Sungguh, ia lelaki baik-baik.
Yang ia sebut sayang hanyalah anak-anak. Ya, anak-anak yang telah begitu lama tumbuh menyiangi sulur daun-daun kesepiannya. Anak-anak yang ia tak tahu dari mana datangnya. Yang ia tau anak-anak itu datang saat ia roboh bersamaan dengan deru derap kepergian orang-orang terkasihnya; istri, tiga putra, ibu kandung, bapak mertua, dan beberapa orang penduduk desa lainnya.
****
"Stop! Stop pak!" Seorang reporter berita tiba-tiba menepuk pundak supir taksinya. Dengan gerak cepat ia bersama rekannya keluar sambil setengah membanting pintu taksi yang di kaca belakang dan depannya tertulis "tarif bawah" itu.
Sebentar kemudian lensa kameranya telah merekam gambar-gambar yang berfokus pada seorang laki-laki yang setengah kuyup berada di hampir pertengahan bundaran air mancur di pusat kota yang penuh gedung-gedung pencakar langit.
"Ah dia cuma orang gila Jo!" Protes rekannya itu yang telah siap dengan sebuah mic.
"Bukan! Gue kayaknya sangat akrab dengan orang ini" ia menambah zoom pada kameranya sehingga wajah lelaki itu penuh di layar kamera. "Astaga! Liat Ji topinya! Kepalanya bolong! Ya ampun dia Pak Sardi dari dusun yang dibantai itu Ji!" Belum sempat ia menambah zoomnya tiba-tiba lelaki itu tenggelam menyelam ke dalam kolam.
Kedua reporter itu terkaget, dan seperti menjadi aneh dan asing sendiri berada di pinggir bundaran sementara arus lalu lintas yang lewat begitu padat namun tak peduli dengan apa yang terjadi.
"Keluarlah sayang, masuklah ke rumah baru kalian, rumah dari mana kalian berasal."
Tiba- tiba dari dalam air itu berdesingan ratusan peluru. Beberapa meleseat melewati kedua reporter itu.
Di tengah kota yang sebesar ini, desingan peluru yang melesat begitu cepat itu tak ubahnya partikel debu yang bertebangan di udara, tak terhiraukan.
Beberapa jam kemudian stasiun-stasiun televisi dan kantor-kantor berita disibukkan untuk memberitakan kematian pejabat dan petinggi negeri di puluhan tempat yang berbeda; di mall, salon, ruang sidang, lapangan golf, cafe, bahkan di atas ranjang sebuah hotel.
Lalu di mana laki-laki itu sekarang? Awalnya tubuhnya ikut menyerpih bersama terbangnya peluru-peluru itu. Mungkin ia kini berumah di debu-debu udara kota, yang teramat mungkin kalian hirup tadi siang.
City
Oleh: @C_arice
Akhirnya aku kembali di tempat ini. Di kota ini, kota yang sudah lama aku sebal dan kubenci, tapi pada akhirnya aku harus menginjakkan kakiku lagi pada kota yang membuat hidupku hancur dahulu. Aku tersenyum suram mengingat kenangan-kenangan buruk yang kulalui di kota ini dahulu. Tapimau tak mau, jika aku tidak kesini, aku tidak akan bisa belajar untuk bernyanyi lebih baik. Aku berjalan dengan grupku, aku melihat sekitar, benar-benar tak ada yang berubah sejak 5 tahun yang lalu. Aku sebal pada diriku sendiri, sangat sebal. Tiffany, sahabatku melihat wajahku dengan khawatir. Dia tau mengapa aku suram, tapi dia tak berani mengatakan apapun, karena apapun yang dia akan katakan, pasti akan mengiris hatiku walau hanya sedikit. Akhirnya aku merasa mual dan harus memisahkan diri kami dari grup itu untuk mencari tempat duduk. Sebuah taman yang besar dan sepi, aku beristirahat disana dengan tenang. Dan akhirnya Tiffany membuka mulutnya. “Kau tak apa-apa Chris? Kau terlihat sangat pucat.” Aku tersenyum suram dan menatap matanya dengan dalam. Lalu menyenderkan kepalaku pada bahunya, melihat satu per satu kelopak bunga yang jatuh ke tanah. Persis seperti ini, aku mengingatnya jelas, kelopak-kelopak berwarna pink berjatuhan disekitar kita. Dalam posisi persis seperti ini.
“Persis.” Akhirnya aku berbicara “Seperti ini dulu, persis sekali, aku menaruh kepalaku pada bahunya dan tertidur sebentar. Dia terseyum dan mengelus rambutku. Aku terbangun dari tidurku dan aku menemukannya tertidur pula. Atau itu yang aku pikirkan.” Aku mulai menangis dan Tiffany hanya menatap kosong. “Tapi saat aku bangunkan dia, dia tak bangun-bangun juga. Dia tetap tertidur dengan posisi yang masih menggenggam tanganku erat. Ternyata dia..” Tiffany mengelus rambutku dan memeluk aku yang sedang terisak-isak, dia tau segalanya dan mendorongku pelan. Lalu meletakkan sesuatu pada tanganku.
“Dia menyuruhku memberikan ini padamu, kalau kau berani ke kota ini lagi. Bacalah, kalau kau sudah siap, aku menunggumu di grup.” Dia berdiri dan meninggalkanku yang sedang menangis, keadaan taman sangat sepi hari itu. Dengan tangan gemetaran dan hati yang takut. Aku membukanya.
Kepada orang yang sangat berarti dalam hidupku, Mungkin saat kau membaca ini, aku sudah pergi. Maafkan aku, aku tak bilag apapun padamu disaat terakhirku. Aku tak ingin melihatmu menangis, sungguh, aku sedih. Dulu aku hanya seorang laki-laki yang sudah tak ingin hidup lagi. Namun kau dating dan mengajarkanku hidup yang sebenarnya. Aku benar-benar mencintaimu hari ke hari, dan saat hari yang ditentukan itu dating. Mungkin aku belum mengatakan apa-apa padamu maka,dengarlah ini. Aku mencintaimu Christa, aku sungguh mencintaimu. Kau sangat berarti bagiku.
Aku menangis dan terisak-isak, aku melipatnya dan memasukkannya pada tasku. Berat hatiku, tiba-tiba kau pergi, kenapa? Aku menangis lebih keras ;agi dan rasa sakit hatiku sudah mencapai batasnya. Aku berteriak “Aku yang seharusnya berkata itu BRY!”
Kota ini, kota yang sangat kubenci, karena kota ini memberikanku terlalu banyak alas an untuk tak melupakan dirinya yang hanyalah manusia khayal. Yang aku sangat cintai.
Akhirnya aku kembali di tempat ini. Di kota ini, kota yang sudah lama aku sebal dan kubenci, tapi pada akhirnya aku harus menginjakkan kakiku lagi pada kota yang membuat hidupku hancur dahulu. Aku tersenyum suram mengingat kenangan-kenangan buruk yang kulalui di kota ini dahulu. Tapimau tak mau, jika aku tidak kesini, aku tidak akan bisa belajar untuk bernyanyi lebih baik. Aku berjalan dengan grupku, aku melihat sekitar, benar-benar tak ada yang berubah sejak 5 tahun yang lalu. Aku sebal pada diriku sendiri, sangat sebal. Tiffany, sahabatku melihat wajahku dengan khawatir. Dia tau mengapa aku suram, tapi dia tak berani mengatakan apapun, karena apapun yang dia akan katakan, pasti akan mengiris hatiku walau hanya sedikit. Akhirnya aku merasa mual dan harus memisahkan diri kami dari grup itu untuk mencari tempat duduk. Sebuah taman yang besar dan sepi, aku beristirahat disana dengan tenang. Dan akhirnya Tiffany membuka mulutnya. “Kau tak apa-apa Chris? Kau terlihat sangat pucat.” Aku tersenyum suram dan menatap matanya dengan dalam. Lalu menyenderkan kepalaku pada bahunya, melihat satu per satu kelopak bunga yang jatuh ke tanah. Persis seperti ini, aku mengingatnya jelas, kelopak-kelopak berwarna pink berjatuhan disekitar kita. Dalam posisi persis seperti ini.
“Persis.” Akhirnya aku berbicara “Seperti ini dulu, persis sekali, aku menaruh kepalaku pada bahunya dan tertidur sebentar. Dia terseyum dan mengelus rambutku. Aku terbangun dari tidurku dan aku menemukannya tertidur pula. Atau itu yang aku pikirkan.” Aku mulai menangis dan Tiffany hanya menatap kosong. “Tapi saat aku bangunkan dia, dia tak bangun-bangun juga. Dia tetap tertidur dengan posisi yang masih menggenggam tanganku erat. Ternyata dia..” Tiffany mengelus rambutku dan memeluk aku yang sedang terisak-isak, dia tau segalanya dan mendorongku pelan. Lalu meletakkan sesuatu pada tanganku.
“Dia menyuruhku memberikan ini padamu, kalau kau berani ke kota ini lagi. Bacalah, kalau kau sudah siap, aku menunggumu di grup.” Dia berdiri dan meninggalkanku yang sedang menangis, keadaan taman sangat sepi hari itu. Dengan tangan gemetaran dan hati yang takut. Aku membukanya.
Kepada orang yang sangat berarti dalam hidupku, Mungkin saat kau membaca ini, aku sudah pergi. Maafkan aku, aku tak bilag apapun padamu disaat terakhirku. Aku tak ingin melihatmu menangis, sungguh, aku sedih. Dulu aku hanya seorang laki-laki yang sudah tak ingin hidup lagi. Namun kau dating dan mengajarkanku hidup yang sebenarnya. Aku benar-benar mencintaimu hari ke hari, dan saat hari yang ditentukan itu dating. Mungkin aku belum mengatakan apa-apa padamu maka,dengarlah ini. Aku mencintaimu Christa, aku sungguh mencintaimu. Kau sangat berarti bagiku.
Aku menangis dan terisak-isak, aku melipatnya dan memasukkannya pada tasku. Berat hatiku, tiba-tiba kau pergi, kenapa? Aku menangis lebih keras ;agi dan rasa sakit hatiku sudah mencapai batasnya. Aku berteriak “Aku yang seharusnya berkata itu BRY!”
Kota ini, kota yang sangat kubenci, karena kota ini memberikanku terlalu banyak alas an untuk tak melupakan dirinya yang hanyalah manusia khayal. Yang aku sangat cintai.
Aku Memilih Ali
oleh: @hajarhajir
Ada pemandangan berbeda yang aku lihat setiap dua sahabatku pulang kampung saat lebaran. Ali tetap seperti sahabatku yang dulu. Dari cara berpakaian tetap gaya pakaian orang kampung yang seadanya. Tingkah lakunya pun tak berubah, selalu senyum dan ramah menyapa siapapun yang ada didepannya. Berbeda sekali dengan Dino. Tampak luarnya saja sudah terlihat perubahan apa saja yang terjadi padanya. Model pakaiannya cukup bervariasi layaknya anak muda kota yang sering aku lihat di televisi. Gayanya pun sudah berbeda. Dino selalu menenteng handphone keren kemana-mana. Saat berbicara denganku pun Dino lebih sering menatap layar handphonenya dan jari jemarinya menari lincah disana. Seolah tak ada aku dihadapannya. Satu sisi aku kurang suka dengan sikap Dino saat ini, tapi dilain sisi sebenarnya akupun penasaran apa yang sedang dimainkannya. Terlihat sangat mengasyikan sampai aku dianggap angin lalu saja. Aku pun jadi ingin memilikinya.
Apa yang sebenaranya terjadi pada mereka. Pergi bersama-sama, tapi pulang dengan hasil yang berbeda. Melihat perbedaan itu membuat aku mengambil kesimpulan sendiri, kalau Ali adalah salah satu perantau yang gagal, sementara Dino adalah perantau yang sukses. Hmm…jika aku merantau nanti, aku ingin seperti Dino, tak ingin seperti Ali yang tak ada perubahan sama sekali.
Ali dan Dino adalah sahabatku di kampung. Lulus SMA kami sudah sepakat untuk bersama-sama merantau ke kota untuk mencari pekerjaan di kota. Tapi sayang, saat waktu itu tiba, aku tidak bisa ikut pergi ke kota. Saat itu Ayahku sakit keras, jadi dengan berat hati aku memilih untuk tinggal dikampung mengurusi Ayahku daripada mengikuti mereka di Jakarta. Dan kini, saat mereka ingin kembali ke Jakarta, akhirnya aku bisa ikut dengan mereka.
Sesampai di Jakarta, aku bingung harus ikut dengan siapa. Aku kira mereka satu tempat tinggal. Ternyata tempat kerja mereka berbeda satu dengan yang lain. Karena jarak yang cukup jauh, setelah sekian bulan tinggal bersama akhirnya mereka memilih berpisah untuk mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat mereka bekerja. Melihat Dino yang sepertinya lebih sukses dari Ali, aku pun akhirnya memilih untuk tinggal bersama Dino terlebih dahulu.
Akhirnya aku sampai di sebuah kamar kontrakan sempit di tengah pemukiman padat penduduk. Disinilah Dino tinggal. Sungguh sangat berbeda dengan gaya Dino swaktu mudik dikampung yang terlihat seperti orang yang telah sukses.
“Inilah tempatku di kota ini, gak usah kaget. Aku memilih tempat ini karena murah. Uangnya kan buat menikmati kota. Kenikmatan yang gak pernah ada di kampung, selagi masih muda, belum ada tanggungan,” jawabnya panjang lebar saat aku tanya alasannya memilih tempat ini.
Dua hari disana, aku sudah merasa tidak betah. Sebagai seorang Office Boy dengan gaji pas-pasan, aku melihat gaya hidup Dino terlalu berlebihan. Uang hasil kerjanya bukannya ditabung atau dikirim ke kampung, malah digunakan untuk bersenang-senang. Aku sangat terkejut dan kesal saat Dino mengajakku ke sebuah diskotek. Tidak hanya itu, Dino pun mabuk-mabukan disana. Yang membuat aku kesal, uang yang tidak sedikit itu dihamburkan begitu saja. Padahal aku yakin uang sebanyak itu kalau dikirim kepada kedua orangtuanya dikampung pasti sangat berharga. Sungguh aku tidak menyangka Dino bisa berbuat demikian.
Setelah beberapa hari tinggal di kontrakan Dino, aku minta diantarkan ke kontrakan Ali. Kontarakan Ali tak jauh berbeda dengan kontrakan Dino. Satu hal yang membuat aku terkejut saat memasuki kamarnya adalah tumpukan buku yang berserakan yang membuat kamar itu semakin sempit terlihat. Aku semakin terkejut saat mengetahui kalau Ali saat ini sedang kuliah. Setelah pagi hingga sore bekerja sebagai Office Boy, malamnya Ali menyempatkan diri untuk kuliah walau dengan banyak keterbatasan. Jadi ini lah jawaban atas pertanyaanku selama ini. Ali memilih untuk menghemat uangnya dan menjadi diri sendiri demi sebuah masa depan yang indah nantinya. Tak peduli penampilannya saat ini, yang terpenting adalah adanya sebuah masa depan cerah yang akan segera diraihnya dimasa depan.
Ali dan Dino benar-benar berbeda. Pilihanku pun kini berbeda, aku memilih ingin mengikuti jejak sukses Ali saja dibanding Dino.
Ada pemandangan berbeda yang aku lihat setiap dua sahabatku pulang kampung saat lebaran. Ali tetap seperti sahabatku yang dulu. Dari cara berpakaian tetap gaya pakaian orang kampung yang seadanya. Tingkah lakunya pun tak berubah, selalu senyum dan ramah menyapa siapapun yang ada didepannya. Berbeda sekali dengan Dino. Tampak luarnya saja sudah terlihat perubahan apa saja yang terjadi padanya. Model pakaiannya cukup bervariasi layaknya anak muda kota yang sering aku lihat di televisi. Gayanya pun sudah berbeda. Dino selalu menenteng handphone keren kemana-mana. Saat berbicara denganku pun Dino lebih sering menatap layar handphonenya dan jari jemarinya menari lincah disana. Seolah tak ada aku dihadapannya. Satu sisi aku kurang suka dengan sikap Dino saat ini, tapi dilain sisi sebenarnya akupun penasaran apa yang sedang dimainkannya. Terlihat sangat mengasyikan sampai aku dianggap angin lalu saja. Aku pun jadi ingin memilikinya.
Apa yang sebenaranya terjadi pada mereka. Pergi bersama-sama, tapi pulang dengan hasil yang berbeda. Melihat perbedaan itu membuat aku mengambil kesimpulan sendiri, kalau Ali adalah salah satu perantau yang gagal, sementara Dino adalah perantau yang sukses. Hmm…jika aku merantau nanti, aku ingin seperti Dino, tak ingin seperti Ali yang tak ada perubahan sama sekali.
Ali dan Dino adalah sahabatku di kampung. Lulus SMA kami sudah sepakat untuk bersama-sama merantau ke kota untuk mencari pekerjaan di kota. Tapi sayang, saat waktu itu tiba, aku tidak bisa ikut pergi ke kota. Saat itu Ayahku sakit keras, jadi dengan berat hati aku memilih untuk tinggal dikampung mengurusi Ayahku daripada mengikuti mereka di Jakarta. Dan kini, saat mereka ingin kembali ke Jakarta, akhirnya aku bisa ikut dengan mereka.
Sesampai di Jakarta, aku bingung harus ikut dengan siapa. Aku kira mereka satu tempat tinggal. Ternyata tempat kerja mereka berbeda satu dengan yang lain. Karena jarak yang cukup jauh, setelah sekian bulan tinggal bersama akhirnya mereka memilih berpisah untuk mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat mereka bekerja. Melihat Dino yang sepertinya lebih sukses dari Ali, aku pun akhirnya memilih untuk tinggal bersama Dino terlebih dahulu.
Akhirnya aku sampai di sebuah kamar kontrakan sempit di tengah pemukiman padat penduduk. Disinilah Dino tinggal. Sungguh sangat berbeda dengan gaya Dino swaktu mudik dikampung yang terlihat seperti orang yang telah sukses.
“Inilah tempatku di kota ini, gak usah kaget. Aku memilih tempat ini karena murah. Uangnya kan buat menikmati kota. Kenikmatan yang gak pernah ada di kampung, selagi masih muda, belum ada tanggungan,” jawabnya panjang lebar saat aku tanya alasannya memilih tempat ini.
Dua hari disana, aku sudah merasa tidak betah. Sebagai seorang Office Boy dengan gaji pas-pasan, aku melihat gaya hidup Dino terlalu berlebihan. Uang hasil kerjanya bukannya ditabung atau dikirim ke kampung, malah digunakan untuk bersenang-senang. Aku sangat terkejut dan kesal saat Dino mengajakku ke sebuah diskotek. Tidak hanya itu, Dino pun mabuk-mabukan disana. Yang membuat aku kesal, uang yang tidak sedikit itu dihamburkan begitu saja. Padahal aku yakin uang sebanyak itu kalau dikirim kepada kedua orangtuanya dikampung pasti sangat berharga. Sungguh aku tidak menyangka Dino bisa berbuat demikian.
Setelah beberapa hari tinggal di kontrakan Dino, aku minta diantarkan ke kontrakan Ali. Kontarakan Ali tak jauh berbeda dengan kontrakan Dino. Satu hal yang membuat aku terkejut saat memasuki kamarnya adalah tumpukan buku yang berserakan yang membuat kamar itu semakin sempit terlihat. Aku semakin terkejut saat mengetahui kalau Ali saat ini sedang kuliah. Setelah pagi hingga sore bekerja sebagai Office Boy, malamnya Ali menyempatkan diri untuk kuliah walau dengan banyak keterbatasan. Jadi ini lah jawaban atas pertanyaanku selama ini. Ali memilih untuk menghemat uangnya dan menjadi diri sendiri demi sebuah masa depan yang indah nantinya. Tak peduli penampilannya saat ini, yang terpenting adalah adanya sebuah masa depan cerah yang akan segera diraihnya dimasa depan.
Ali dan Dino benar-benar berbeda. Pilihanku pun kini berbeda, aku memilih ingin mengikuti jejak sukses Ali saja dibanding Dino.
A City That I Dreamed
Oleh: @larissayuanita
larissayuanita.blogspot.com
Sang Surya mulai kembali ke kandangnya. Langit pun mulai berubah menjadi biru gelap. Bulan mulai meninggalkan tempat peristirahatannya dan muncul untuk menghiasi langit di malam hari. Cahaya bulan tidak cukup untuk menerangi kota itu. Cahaya lampu membantu bulan menerangi kota ini di tengah kegelapan kota. Keramaian yang terjadi memecahkan keheningan kota di malam hari. Terdengar alunan musik disko di setiap diskotik. Di setiap liku jalan, terdapat banyak sekali keluarga yang menyantap makan malam bersama sambil mendengarkan alunan musikm, sekedar untuk menghilangkan kepenatan. Pakaian modern membaluti tubuh setiap orang yang ada di kota itu. Aku hanya bisa menjatuhkan air liurku membayangkan setiap pakaian mewah yang mereka pakai.
Aku segera sadar dari lamunan ku. Ah, aku terlalu berharap bisa sampai ke kota impianku. Aku yakin, kota itu pasti ada. Tapi pastinya aku tidak mampu untuk pergi kesana. Karena akutau, kota itu dihuni oleh orang-orang yang pastinya memiliki uang yang berkelimpahan sehingga mereka bisa membuang uangnya begitu saja dikota yang menyenangkan itu. Sudah kesekian kali nya aku melamun tentang kota impianku itu. Tapi itu semua hanya mimpi. Aku hanya seorang gadis desa yang berharap muzizat akan datang dan membawa aku ke kota impian itu. Tapi ibuku selalu berkata, mimpilah setinggi mungkin, karena itu akan menjadi motivasi untuk kamu agar terus maju. Sekarang aku yakin. Suatu saat aku bisa pergi ke kota itu dengan jerih payahku , dengan semua kerja kerasku. Aku tau semua itu akan menjadi mungkin jika aku berusaha.
larissayuanita.blogspot.com
Sang Surya mulai kembali ke kandangnya. Langit pun mulai berubah menjadi biru gelap. Bulan mulai meninggalkan tempat peristirahatannya dan muncul untuk menghiasi langit di malam hari. Cahaya bulan tidak cukup untuk menerangi kota itu. Cahaya lampu membantu bulan menerangi kota ini di tengah kegelapan kota. Keramaian yang terjadi memecahkan keheningan kota di malam hari. Terdengar alunan musik disko di setiap diskotik. Di setiap liku jalan, terdapat banyak sekali keluarga yang menyantap makan malam bersama sambil mendengarkan alunan musikm, sekedar untuk menghilangkan kepenatan. Pakaian modern membaluti tubuh setiap orang yang ada di kota itu. Aku hanya bisa menjatuhkan air liurku membayangkan setiap pakaian mewah yang mereka pakai.
Aku segera sadar dari lamunan ku. Ah, aku terlalu berharap bisa sampai ke kota impianku. Aku yakin, kota itu pasti ada. Tapi pastinya aku tidak mampu untuk pergi kesana. Karena akutau, kota itu dihuni oleh orang-orang yang pastinya memiliki uang yang berkelimpahan sehingga mereka bisa membuang uangnya begitu saja dikota yang menyenangkan itu. Sudah kesekian kali nya aku melamun tentang kota impianku itu. Tapi itu semua hanya mimpi. Aku hanya seorang gadis desa yang berharap muzizat akan datang dan membawa aku ke kota impian itu. Tapi ibuku selalu berkata, mimpilah setinggi mungkin, karena itu akan menjadi motivasi untuk kamu agar terus maju. Sekarang aku yakin. Suatu saat aku bisa pergi ke kota itu dengan jerih payahku , dengan semua kerja kerasku. Aku tau semua itu akan menjadi mungkin jika aku berusaha.
Langganan:
Postingan (Atom)