Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Tengah Malam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tengah Malam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 April 2011

Sayap Hitam Tengah Malam


 Oleh @mazmocool


Aku serupa kelelawar. Tetapi batas pendengaranku tak seperti kelelawar. Batas penglihatankupun tak juga sama. Dan akupun tak bersayap. Yang membuatnya serupa adalah aku dan kelelawar sama-sama selalu menjadi bagian terindah dari malam.

Tak jauh beda dengan malam ini, sayap kelelawar menuntunku untuk melangkah menyusuri jantung malam. Langkahku terhenti di sebuah kafe remang-remang. Sementara kelelawar itu pasti tengah sibuk berpesta di kafe pohon berbuah ranum. Akupun melepas sayapnya dan membiarkan tubuhku tersudut di kursi kafe.

Kafe bernuansa oriental itu memang selalu buka sampai dini hari. Sepertinya pemilik kafe tahu benar bahwa di dunia ini banyak orang yang sering mengalami gangguan tidur. Seperti aku. Dan itu adalah peluang usaha bagi orang-orang yang memanfaatkan kekurangan orang lain. Meskipun kenyataannya adalah sama-sama saling memanfaatkan.

"Eh mas Romi, mau pesan apa mas? Seperti biasa ya?," pelayan kafe itu menyapaku dengan ramah.

Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan dalam senyuman tipis. Pelayan itu berlalu dan membiarkan sedikit rasa bingung bersemayam dalam hatiku. Kebingungan yang membuatku bersandar pada sandaran kursi besi berlapis busa kafe itu dalam helaan nafas. Bukan kebingungan akan sikapnya tetapi kebingungan akan tutur katanya.

"Kok bisa ya setiap malam orang itu selalu berpura-pura bahagia dalam tutur kata. Nggak mungkin lah dia nggak punya masalah. Tapi tetep aja dia bisa berlaku seperti itu. Hebat," bisikku dalam hati.

Ujung jarum pendek yang berimpit dengan jarum panjang menjebakku dalam sebuah rasa iri. Rasa iri yang selalu hadir saat di hadapanku deretan tombol-tombol itu mengajak jari-jariku untuk bersenggama di setiap tengah malamku. Meja kafe yang cukup besar itu membuatku lebih bebas untuk menciptakan rasa iri menjadi sebuah karya.

"Ini mas. Kopi hitam dengan sedikit gula. Seperti biasanya. Selamat menikmati," kata pelayan itu.

Aroma kopi luwak kesukaanku menggoda indera penciumanku dan merangsangku untuk segera mencecapnya. Indera penciumanku mengirimkan pesan bahwa pelayan itu telah berlalu setelah meletakkan sebuah lilitan kabel di meja berlapis aneka produk barang itu.

Aku masih terdiam, tetapi aku tahu maksudnya, karena kabel rol itu adalah penyelamat malamku saat laptopku kehabisan dayanya untuk menemani malamku. Dalam senyum aku kembali mengangguk. Selang beberapa menit, aku melihat sekelebat bayangan hitam yang mengantarkan aku pada sebuah ide untuk membunuh rasa iriku.

"Kelelawar. Ya, kelelawar. Itulah tema malamku," teriakku dalam hati.

Jemariku mulai menari diatas deretan tombol-tombol berlukis abjad saat bayangan hitam itu tak lagi nampak. Bayangan hitam itu berlalu dan meninggalkan sayap hitamnya pada jari-jariku. Sayap itu terus terkepak dan membawa jariku berlabuh pada sebuah tombol berhias abjad A. Sebuah awal yang bagus aku rasa. Meskipun hanya satu abjad tapi memiliki berjuta makna bila dirangkai dengan abjad lainnya.

Sayap hitam yang melekat di jari-jariku terus menari tanpa pernah peduli dengan beberapa orang yang juga tengah menikmati rayuan tengah malam itu. Seakan berbisik mereka tertawa diantara gurauan-gurauan yang tercipta. Mungkin mereka tengah menertawakanku. Lelaki kurus berkalung syal hitam dan berbalut jaket tebal, setebal lensa kacamata yang kupakai.

Sepoi-sepoi angin malam yang basah membuat kacamata tebalku seperti berembun. Kulepaskan sejenak sayap hitam kelelawar di jariku. Jari-jari itupun berpindah ke gagang kacamataku. Dalam pandangan buram dan kabur, aku meraih selembar tisu dan berusaha membersihkan kedua lensa yang terpasang dalam bulatan frame-nya.

Kukenakan kembali kacamataku dalam siraman cahaya temaram lampu kafe. Kutemukan kembali abjad-abjad yang sempat menghilang, menghilang dalam bayangan hitam kelelawar yang beterbangan dalam pikiranku. Seperti seekor kelelawar yang menemukan mangga ranum di kegelapan malam.

Aku kembali fokus dan membiarkan ideku mengalir dalam tarian sayap hitam jari-jariku. Kububuhkan abjad A yang tadi sempat singgah di otakku. Kebekuan malam tak mampu membekukan keenceran otakku. Abjad demi abjad terus tersusun rapi dalam setiap tarian jemari.

Aku Ingin Seperti Kelelawar

Sederet kalimat yang mewakili hati dan perasaanku malam ini. Sejenak aku tertegun dalam diam, saat menatap gulita langit malam. Gelap dan kelam, segelap dan sekelam hidupku saat ini. Saat semua yang indah tercerabut paksa dari perjalanan hidupku. Aku hanya bisa mendesah dalam pasrah toh semuanya sudah berlalu.

Hampir jam setengah satu, saat angin malam berhembus masuk ke telingaku dan membuat tubuh kurusku bergetar. Angin yang masuk ke telingaku itu membawa kembali ideku yang sesaat beterbangan bersama angan kelamku. Otakku bekerja dan membuat jari-jariku menemukan kelanjutan dari deretan kata yang sudah tercipta.

Aku ingin seperti kelelawar. Kamu tahu nggak kenapa aku ingin seperti kelelawar? Memangnya apa sih kelebihan kelelawar? Kamu pasti tahu, tapi tak pernah menyadarinya. Menyadari bahwa semua makhluk yang diciptakan oleh-Nya memiliki kelebihan masing-masing. Dan aku mungkin salah satu yang menyadari itu. Dari kelelawar aku bisa belajar banyak tentang berbagai hal. Aku bisa belajar menaklukkan rintangan agar bisa tetap melanjutkan kehidupan. Meskipun di tengah gulita malam menjelang. Bagi kelelawar gulita malam tak lagi menjadi sebuah rintangan, karena kelebihannya. Tak seperti aku, yang mengembara di tengah malam untuk sembunyi dari rasa tidak percaya diri akan keterbatasanku, terutama keterbatasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sosok-sosok yang lain setelah kecelakaan yang menimpaku. Dan kelebihan itulah alasanku kenapa aku ingin seperti kelelawar.

Sesak kurasakan saat udara malam memenuhi paru-paruku. Kuhentikan tarian sayap hitam sejenak untuk membiarkan indera penciumanku menikmati aroma kopi luwak yang kepulan asapnya mulai berkurang. Berkurang terbawa dinginnya angin malam. Aroma itupun membiarkan bibirku mencecap larutan hitam dalam cangkir porselen itu. Cecapan pertama langsung membuat jantungku berdetak lebih cepat dan membuatku terjaga dari rasa kantuk. Malam telah setengah jam berlalu dari setengahnya saat samar-samar aku mendengar suara seseorang.

"Mas Romi! Mau ditambah lagi kopinya?" tanya pelayan kafe, yang aku tahu namanya Rio dari deretan abjad yang terjahit rapi di baju merahnya.

Dalam samar aku menggeleng pelan, karena memang kopiku belum habis setengahnya. Kulanjutkan lagi rasa iriku pada kelelawar dalam tulisan tanpa pernah menghiraukan sosok-sosok yang berlalu lalang di jalanan malam.

Aku ingin seperti kelelawar. Kamu tahu kenapa? Karena kelebihannya pastinya. Kelebihan dalam mendengar rangsang suara yang membuatnya peka terhadap gerakan sekecil apapun di dekatnya. Itu yang membuatku iri. Nggak heran kan kalau aku sungguh ingin seperti kelelawar?

Belum juga aku menyelesaikan paragraf itu, air mataku menetes bersama embun malam. Setiap kata dalam deretan kalimat itu membuatku tak kuasa lagi menahan hatiku yang terasa mulai pecah menjadi air mata. Air mata yang membawaku kembali ke suatu masa, saat tengah malam itu aku hampir menabrak bayangan hitam yang berkelebat di depanku, kelelawar yang akhirnya mati sia-sia dengan sayapnya yang patah terlindas ban motorku. Keseimbanganku goyah, motorkupun roboh bersama tubuhku yang hampir lebur membentur sebuah batu besar. Kejadian singkat yang membuahkan derita panjang. Derita panjang yang membuatku selalu merasa iri dengan seekor makhluk yang bernama kelelawar. Untung saja rasa iri itu tidak berubah menjadi kebencian dalam diriku. Justru menjadi sumber inspirasiku karena kelelawar yang mati tertabrak itu telah memberikan sayapnya untuk aku pasang di jari-jariku.

Sedikit demi sedikit tengah malam mulai bergeser menuju dini hari. Akupun menggeser tubuhku dari kursi di sudut kafe itu setelah kukemas air mata bersama cerita yang belum berujung. Aku segera membayar bill pada kasir dan beranjak meninggalkan kafe itu. Langkahku terhenti di depan gerbang kafe saat ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Mas Romi ini ada barangnya yang ketinggalan," kata sebuah suara samar di balik punggungku.

Aku menoleh ke belakang dan kulihat Rio tengah menyodorkan sesuatu. Aku menerimanya dan memasangkan alat bantu dengar itu di telingaku sambil berkata, "Terima kasih Rio." Akupun menjabat tangan Rio yang menjabat erat jari-jari yang memakai cincin berhias sayap hitam kelelawar, jari-jari tanganku.

Sahabat Baru Effra.

Oleh Diaz Bela Yustisia (@diazbela)


Effrayanta.
Keluargaku tidak pernah tahu ini. Menurut mereka, aku hanyalah perempuan biasa yang selalu tertutup pada dunia luar. Aku memang pemalu dan agak sulit untuk bergaul. Apalagi di lingkungan baru. Jangankan menyapa orang lain, tersenyum pun aku malu. Mungkin karena itulah sudah satu bulan ini kerjaanku hanya di rumah, menghabiskan waktu dengan baca buku, dan menjelajahi dunia maya, tanpa pernah berinteraksi. Aku hanya keluar rumah seadanya, jika ibu perlu bantuan untuk membeli sesuatu di warung, atau ayah yang kesal karena si Bleki, anjing jenis golden river peliharaan keluarga kami, tidak ada yang mengajaknya jalan-jalan.
Tapi satu bulan belakangan ini rutinitasku keluar rumah menurun drastis. Ibu dan ayah mungkin masih khawatir dengan kondisi tubuhku yang masih rentan. Ya, dua bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan. Motor yang kunaiki ditabrak sebuah mobil berkecepatan tinggi.
Aku masih ingat betul kecelakaan itu. Hari itu adalah hari pertama Ujian SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ayah dan Ibu khawatir aku akan telat, jadi mereka menyuruhku untuk dating lebih awal. Jam enam pagi, aku sudah siap berangkat dengan motorku. Baru lima belas menit di perjalanan, ketika sampai dipermpatan, motorku ditabrak sebuah mobil berkecepatan tinggi yang melanggar lampu merah. Usut punya usut si pengemudi yang baru pulang clubbing itu mabuk berat, dan merasa tidak melihat lampu merah.
Aku pun terlontar jauh dari motorku. Darah berceceran dan menggenang di aspal. Motorku remuk, beberapa bagiannya hilang. Aku pun segera digotong ke rumah sakit oleh warga sekitar.
Tengkorakku retak, dan beberapa tulangku patah, ujar dokter yang memeriksaku. Aku dirawat di rumah sakit tiga minggu lamanya. Seminggu pertama, aku dinyatakan koma. Minggu kedua aku sadar, tapi hidupku hanya bergantung dari peralatan listrik dan selang-selang yang menempel di tubuhku. Minggu ketiga, aku dipindahkan ke ruang inap biasa. Enam hari kemudian, aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus bed rest total selama satu bulan. Dokterpun heran dengan perkembangan kesembuhanku yang menakjubkan. Menurutnya, orang yang habis kecelakaan dan terbaring koma satu minggu lamanya, minimal harus 30 hari dirawat inap di ruang ICU.
Jadi, inilah aku, Effrayanta, 18 Tahun, lulusan terbaik SMAN 1, dan (ehm) belum kuliah alias pengangguran. Kerjaanku setiap hari hanyalah terbaring lunglai di tempat tidur sambil ditemani beberapa buku. Padahal aku merasa sehat-sehat saja, lho. Orangtuaku saja yang memaksaku untuk tidak keluar rumah. Jangankan keluar rumah, untuk menuju dapur di lantai satu saja orangtuaku sudah was-was.
“Effrayanta, coba lihat siapa yang datang!” Seru ibuku sambil masuk kedalam kamar.
“Effraaaa!!! Kok bisa siiiiiih??” Joy, sepupu sepermainanku, langsung mendobrak masuk kamar dan duduk di tepi ranjangku. Tak lupa, tangannya menelus-elus pelan pelipisku yang masih diperban. Akupun sudah memastikan ke Ayah dan Ibu untuk tidak perlu memerban kepalaku. Aku baik-baik saja.
“Jatuh, Joy..” kataku singkat enggan berbasa-basi.
Tapi dasar watak Joy yang cerewet, aku terus-terusan disodori pertanyaan-pertanyaan seperti: “Jatuh dimana?” “Yang nabrak siapa?” “Trus, dipenjara nggak tuh orang? Harusnya dipenjari sepuluh tahun tuh yang kayak gitu!” “Trus kuliah lo gimana?” dan pertanyaan-pertanyaan lain sampai pusing aku dibuatnya. Bukan karena jawaban yang harus aku berikan, tapi karena suaranya yang cempreng kayak bebek.
Syukurlah Ibuku tahu apa yang harus dilakukan. Dengan alasan Joy yang baru datang dari Surabaya (well, dia KULIAH di Surabaya sekarang), ia meminta Joy secara halus untuk istirahat di kamar sebelah.
Lima menit kemudian kamarku kembali sepi. Lama-lama bosan juga dengan keadaan seperti ini. Akupun menatap langit-langit kamar, pikiranku melayang. Kecelakaan yang aku alami ini juga memberikan hikmah untukku. Aku jadi punya sahabat baru. Ya, sahabat pertamaku.
Dia selalu datang saat aku dirawat di rumah sakit. Bertemu dan bercerita banyak hal dengannya membuat hari-hariku lebih berwarna. Dia seakan-akan tahu banyak hal. Makin lama aku berteman dengannya, aku jadi yakin kalau dia memang tahu banyak hal. Ketika aku dipindahkan dari rumah sakit pun, dia masih sering mampir ke rumahku. Menyenangkan untuk mengobrol bersamanya. Entah kenapa. Padahal, seperti yang kalian tahu, aku ini orang yang canggungan. Oke, kecuali dengan dia.
Tapi sudah seminggu belakangan ini dia tidak menghubungiku. Aku khawatir, jangan-jangan dia kenapa-napa. Maka dari itu aku memutuskan untuk menemuinya tengah malam ini. Masalahnya adalah, susah sekali untuk bertemu dengannya. Kau tahu, dengan semua masalah penyakit ini, aku jadi tidak leluasa kemana-mana. Akupun terus memikirkan beribu cara untuk menyelinap keluar dari rumah ini, hingga tanpa kusadari dengan perlahan aku tertidur…
***
Jam menunjukan pukul sebelas malam ketika aku terbangun. Sial! Aku belum memikirkan cara apapun untuk bertemu dengannya! Dengan sigap, setelah cuci muka dan gosok gigi seadanya, aku menyelinap keluar rumah. Sukses! Ternyata semua orang sedang asyik menonton tv sehingga tak menyadari aku yang menuruni tangga dan menyelinap keluar rumah. Sahabatku, Aku datang!!


Joy.
Effrayanta menghilang!
            Tante Rani, ibunya Effra lah yang pertamakali mengetahui hal ini. Beliau hendak memastikan putrinya untuk meminum obat, tapi ternyata Effra tidak berada di kamarnya! Kemana anak itu pergi?
Sungguh, aku benar-benar khawatir dengan sepupuku yang satu ini. Dibalik sifatnya yang pendiam, aku baru saja diceritakaan Tante Rani dan Om heru kalau tingkah Effra berbeda setelah kecelakaan maut itu terjadi.
Menurut mereka, Effra jadi sering ngomong sendiri. Ini dimulai ketika Effra baru sembuh dari koma selama satu minggu. Sikap Effra tiba-tiba berubah drastis. Ia tiba-tiba sering melamun, tersenyum, tertawa, bahkan ngomong sendiri! Itulah alasan yang membuatku jauh-jauh datang dari Surabaya. Walaupun Effra memang termaksuk orang aneh yang sulit untuk bergaul, tapi belum pernah aku tau kalau Effra ternyata punya… teman khayalan! (Istilah yang diberikan Om Heru dan Tante Rani).
“Kita berpencar saja di komplek perumahan!” Seru Om Heru sambil membagikan senter kecil padaku, Tante Rani, dan Bik Sum. “Saya mau lapor ke Pak RT dulu, sekalian minta bantuan juga sama orang yang lagi Siskamling. Ayo!” Om Heru pun langsung keluar rumah, diikuti kami bertiga.
Di depan rumah, kami berpencar. Aku memilih mencarinya ke dekat taman bermain yang berada tidak jauh dari rumah Effra. Bleki mengaum tepat ketika aku menutup pintu gerbang. Tenang Bleki, majikanmu pasti ketemu!
Lama aku mencari, senter kuarahkan ke segala arah sambil sesekali aku meneriakkan nama Effra. Di jalan, aku pun bertemu beberapa pemuda yang sedang bertugas Siskamling. Hingga akhirnya aku mencari Effra ditemani dengan Pak Maman, tetangga sebelah rumah Effra yang kebetulan sedang dapat tugas untuk Siskamling.
“Neng, coba kita cari kesana.” Ujar Pak Mamang menunjuk satu gang perumahan yang gelap.
“Kesana, Pak?” tanyaku sedikit khawatir. Aku takut. Tempat itu menyeramkan. Di ujung sana ada rumah tak berpenghuni yang gelap, pohon beringin, dan… sedikit mistis.
Pak Maman mengangguk, lalu berjalan di depanku.
Ketika melewati rumah itu, bulu kudukku langsung berdiri. Aku berjalan sedekat mungkin dengan Pak Maman sambil terus menyenteri beberapa tempat dan meneriakan nama Effra.
Aku melihat sesuatu di bawah pohon beringin.
“Pak! Itu Pak, lihat!” Tunjukku sambil menyenteri pohon yang ku maksud.
Perlahan, sosok itu makin jelas. Ia turun dari pohon dan…
“EFFRA!!!” Teriakku keras.
Effra terlihat melompat dari atas pohon, dan menatapku heran.
“Joy?” katanya tenang.
“Neng Effra! Neng baik-baik saja kan?” Pak Maman lalu berlari menghampiri Effra.
Aku, dengan cepat langsung mengambil handphone dari dalam saku dan menghubungi orangtua Effra untuk mengabari kalau Effra sudah ditemukan.
“Sumpah, Fra, lo ngapain disini? Bikin khawatir aja! Ngapain lo malem-malem manjat pohon?!” kataku sambil mendekati Effra.
Effra tersenyum janggal. “Nggak kok, cuma main.” Katanya datar dan tanpa ekspresi.
“Hah??”
“Iya, sama sahabatku. Disini.” Effra menunjuk pohon beringin yang barusan dinaikinya.
Dari kejauhan, aku mendengar kerumunan orang datang mendekat. Semoga itu Tante Rani, Om Heru, Bik Sum, dan orang-orang yang Siskamling. Semoga.
Kakiku lemas, badanku bergetar.
Effra benar-benar sakit!!

Penderitaan di Tengah Malam



Oleh Lidya Christina Yowendro (@Lid_Yang)


“Tutup matamu dan TIDUR!” Kataku pada diriku sendiri dalam hati.
Tidak bisa. Sudah berkali-kali aku coba itu. Setiap kali kamu mengunjungiku pada jam segitu, aku selalu resah. Badanku sudah kuputarkan berkali-kali, ke kanan dan ke kiri. Mungkin badanku sudah pusing, sebelum kepalaku juga dibuat pusing olehmu.
Dengan tangan yang lemas dan perasaan kesal, aku tarik handphoneku yang ku letakkan di samping tempat tidur.
Jam 11:53
Ah. Pergilah. Apa yang harus ku lakukan untuk melepaskan diriku darimu.
Kamu memenuhi pikiranku. Kamu juga memenuhi semua nadi dan pembuluh darahku, di setiap bagian dari tubuhku. Semuanya kacau karena kehadiranmu malam ini.
Berbagai macam cara aku gunakan untuk mengusirmu dari pikiranku, dari perasaanku.
Aku berpikir tentang ulanganku besok. Aku memaksa diriku mengingat-ingat lagi rumus-rumus yang tidak pernah ku mengerti kegunaannya.
Aku berpikir tentang mimpi yang mungkin menemani tidurku malam ini. Kemarin ada mimpi yang tidak sempat aku selesaikan karena terbangun. Apa mungkin malam hari ini dilanjutkan lagi mimpi itu?
Aku berpikir tentang teman-temanku di sekolah, tentang apa yang akan kami lakukan besok.
Tetapi, semakin aku berpikir, semakin aku mengingatmu. Kamu seperti gravitasi dalam tubuhku, menarik seluruh perhatianku padamu.
Aku pejam mataku dengan sekuat tenaga. Tetapi, kamu tetap saja memanggilku dengan sinyalmu yang kian kuat.
Akhirnya aku tidak kuasa menahan perasaan ini. Aku mengalah.
Perlahan aku bangun dari tempat tidurku. Pintu kamarku aku buka sepelan mungkin, takut membangunkan orang tuaku. Penderitaanku sudah cukup malam ini. Aku tidak dapat menerima omelan lagi, dari siapapun.
Aku pergi ke dapur dengan pelan. Mengapa aku perlu bersikap seperti pencuri di rumah sendiri? Pikirku.
Aku buka pintu kulkas dan keluarkan botol susu di dalamnya. Dengan ini, penderitaanku tadi akan berakhir. Aku lapar sekali! Gara-gara tidak makan malam, aku menderita seperti ini.
TENG!!!               
Jam di ruang tamu berdentang dengan kuat tanda jam 12 malam memecah keheningan yang aku pertahankan dengan susah payah. Terkejut, botol di tanganku jatuh. Seisi rumah terbangun.
Ah, penderitaan malam ini baru mulai.


NB: Tengah malam, sendirian, senyumlah, tertawalah!

midnight blue

Oleh Stella Nike (@stellanike)


Tengah malam selalu tiba dan lewat tanpa bisa diduga, membawa hal-hal kecil yang berharga (yang terkadang menyenangkan namun sering kali menyebalkan) di saat pergantian hari berlangsung. Hal-hal yang menentukan bagaimana perasaan sang gadis nantinya dalam menghadapi hari. Jika menyenangkan, hatinya akan terasa di awing-awang sepanjang hari. Jika menyebalkan… yah, kau dapat mengira sendiri bagaimana.

Seperti biasa, ia tak bisa memejamkan matanya barang sedikitpun malam ini. Belum sanggup. Lewat tengah malam baru lelah akan tiba-tiba menghantam tanpa ampun, membuatnya langsung pulas begitu menyentuh bantal. Namun jika jarum jam belum menunjukkan pukul dua belas tepat, dirinya masih dipenuhi semangat menggebu-gebu dan energi yang tinggi.

Kali ini ia berdiam di Common Room asramanya yang telah kosong untuk menanti tengah malam tiba. Headphones kesayangan menutupi telinga, mengalunkan nada-nada tinggi dan melodi yang cepat. Tangan memegang mug besar berisi susu cokelat kental yang masih mengepulkan uap hangat, mengirimkan sensasi menyenangkan di sekujur jemari dan merayap hingga lengan.

Dengan hening mencengkeram sekitar dirinya, nampaknya tengah malam kali ini akan lewat tanpa suatu hal yang berarti. Mungkin ini akan menjadi tengah malam paling tenang yang ia dapatkan seumur hidup. Sesuatu yang sebenarnya diharapkan oleh gadis berambut cokelat gelap ini. Namun bukan begitu cara kerjanya. Bukan begitu takdirnya bergerak.

Tengah malam miliknya selalu tiba dengan beragam kejutan. Yang manis atau pahit, tergantung mood roda-roda takdir menginginkannya. Tak mungkin kali ini ia akan lepas dari jeratan benang-benang ironi dari sang takdir, yang suka sekali mempermainkannya tanpa henti.

Seorang muncul, menuruni tangga dengan langkah gontai dan penampilan yang menandakan ia baru saja terbangun dengan tidak menyenangkan. Rambut merahnya acak-acakan, mencuat ke segala arah. Walau begitu, kacamata berlensa tebal masih setia menutupi keindahan manik gelap miliknya, yang terlihat mengantuk.

“Yo!” sapa sang gadis dengan rona merah menghiasi wajah. Ia menangkap sang pemuda membuka bibir, seakan mengucap kata-kata balasan—namun yang terdengar oleh sang gadis hanya alunan musik ceria dengan nada yang membuat ingin bergoyang. Ia menelengkan kepala ke samping, mengerutkan kening dan melemparkan pandangan bertanya.

Sang pemuda menghela nafas panjang kemudian mengambil langkah-langkah panjang mendekati satu sosok yang bersantai di sofa panjang itu. Tangannya melepas headphones dari kepala sang gadis, mengucap gemas, “Hentikan kebiasaanmu mengenakan headphones kalau berbicara dengan orang lain.”

Hanya cengiran disertai kekeh riang yang sanggup diberikan oleh gadis ini. Ia merebut headphones miliknya dari tangan lawan bicara dan menggantungkannya di sekitar leher. Mugnya dipegang dengan dua tangan kali ini. Mengerling tempat di sebelah dirinya, meminta sang pemuda duduk di sana tanpa kata. Namun dasar orang tidak peka, laki-laki bersurai merah itu masih saja berdiri di belakangnya tanpa ada tanda-tanda berniat duduk.

“Kau tidak tidur?”

“Belum tengah malam,” jawab sang gadis dengan santai. Ia menyesap sedikit cairan gelap dalam mug, merasakan kehangatan menyelimuti, lalu menjilati bibir yang terasa lengket. Baru kemudian melanjutkan, “Tidak bisa tidur kalau belum berganti hari.”

Terasa ada yang menyentuh kepalanya, membuat sang gadis mendongak heran—mendapati bahwa sang pemuda sedang mengacak-acak rambutnya. “Memang tidak capek ya?” Jeda. Masih mempermainkan helai-helai gelap rambut sang gadis dengan lembut. “Dasar kelebihan tenaga. Padahal semua orang terkapar di kasur sedari tadi.”

Bibirnya dimajukan dengan lagak ngambek. “Aku memang tidak bisa tidur sebelum tengah malam,” ucap sang gadis dengan nada manja. Memberitahukan sebuah fakta yang cukup aneh mengenai dirinya. “Salahkan jam biologisku.” Balas memandang lurus-lurus. “Kau sendiri ngapain bangun?”

“Ada yang melindur, menyebutkan macam-macam mantra dan gunanya dalam tidur,” gerutu sang pemuda. Mendecak kesal. “Padahal minggu ujian baru saja berakhir, tapi penderitaanku ternyata masih berlangsung.”

Tawa polos yang renyah terlepas dari bibir tipis sang gadis. Denting jernih suaranya mewarnai ruangan yang lengang, yang hanya berisi dua anak adam dan hawa. Ia menyentuh tangan yang menempel di puncak kepalanya. “Sabar ya,” tapi nadanya sama sekali tak menunjukkan rasa prihatin ataupun simpati. Murni menertawakan.

Lagi sang pemuda mendecak kesal. Ia merebut mug yang dipegang oleh lawan bicaranya tanpa permisi. “Besok pagi temani aku jalan-jalan.” Sebuah pernyataan, bukan pertanyaan apalagi permintaan. Dan setelah mengucapkannya, ia berbalik, melangkah kembali ke arah tangga. Nampaknya berniat kembali ke alam mimpi.

“Heh? Apa itu maksudnya?” ujar sang gadis dengan tatapan jengkel. Satu pertanyaan yang dimaksudkan untuk dua kejadian barusan: susu hangatnya diambil paksa dan pemaksaan kehendak. Dua hal yang dilakukan oleh satu manusia menyebalkan yang tak memberikan kesempatan baginya untuk memprotes. Tangannya disilangkan di depan dada.

“Kencan,” seru sang pemuda tanpa menoleh. Ia melambaikan tangannya yang bebas. “Sudah tengah malam, tidur sana. Kutunggu jam delapan nanti di sini.” Langkahnya terhenti di dasar tangga. Kepalanya ditolehkan sekilas. Lensa kacamatanya berkilat di kejauhan. “Terima kasih susunya!” Dan ia pun menaiki undakan menuju kamar tidur.

Sang gadis membuka-tutup bibirnya, bermaksud membalas sang lawan bicara namun tak ada kata yang terucap. Wajahnya terasa panas, menandakan merah sedang menjajah putih kulitnya. Ini pertama kalinya ia diajak—diajak… pergi bersama laki-laki judes itu. Kencan katanya. Harus bereaksi seperti apakah dirinya? Ditambah lagi, minumannya diambil. Benaknya membatin penuh goda, ciuman tidak langsung.

Ia menggelengkan kepala keras-keras, menghapus segala pemikiran yang membuat hatinya jungkir balik. Pemuda itu… selalu saja begini, mempermainkan perasaannya, membuatnya melambung senang—tapi juga kesal di satu waktu. Namun tak dapat dipungkiri, ia senang. Maniknya bergulir, menangkap jam yang menunjukkan waktu. Lima menit lewat tengah malam.

Saatnya tidur. Jantungnya berdebar-debar menyenangkan dan rona merah masih lekat di pipinya. Tengah malam memang selalu membawa hal-hal kecil yang tak pernah terduga. Hari ini nampaknya akan ia lalui dengan hati berbunga-bunga.

FIN

Pesta Sudah Selesai


Oleh @rizkymfachran

"Mereka sama-sama berpesta, hanya waktunya berbeda."

"Ayo cepat! Udah mau tutup pintunya!" Teriak pria yang mendapat julukan eksekutif muda itu. Memang, pekerjaan dikantor membuatnya pusing dan jenuh. Pulang kerja, pakaiannya lusuh, kacamatanya agak turun, dan tak ada senyum terpampang diwajahnya.

"Ayo anton, kali ini kita happy-happy!" Teriak Ina, wanita karir ini tak lain teman sekantor pria itu. Hanya saja Ina lebih senior, lebih lama satu tahun dibandingkan anton. Malam ini, Ina berubah dari seorang wanita kantoran biasa, menjadi ratu pesta dengan gaun indah dan tatapan menggoda. Tak seorangpun pria yang bisa berkedip saat melihatnya.

Malam sudah mabuk, banyak bintang berkeliling diantara sang bulan. Seolah mereka ikut menikmati malam ini bersama muda-mudi itu. Hari ini hari minggu, mungkin sudah masuk hari senin, tapi semangat berpesta mereka belum usai. Belum habis gelas-gelas bir dan vodka kesukaan mereka.

Pintu klab malam itu dibuka, terdengar suara "jedag-jedug" mirip lagu dangdut koplo yang biasa diputar supir angkot. Hanya saja oknumnya berbeda, bukan para supir angkot yang kumal dan mengeluarkan aroma khas campuran keringat, matahari, dan debu jalanan. Tapi kali ini hanya para muda-mudi berpakaian rapi, dengan kemeja dan gaun yang anggun.

"Mas, minta Jack Daniel satu" ucap anton, kali ini dia yang bayar, maklumlah masih tanggal muda. Ina hanya mengedipkan mata ke anton, sesekali dihisapnya rokok putih bermentol.

Tunggu, kenapa mereka hanya berdua? Apa tak ada teman mereka yang ikut ke klab ini?
Hiruk pikuk di dalam klab, asap rokok yang pekat bercampur dingin dari air conditioner diruangan tertutup itu, mereka teguk sambil sesekali tertawa bersama malam yang semakin mabuk.

"Cukup minumnya, ke dancefloor yuk!" Ajak anton kepada ina. Diteguknya sebuah pil yang sudah disiapkan Ina. Mereka lalu turun ke depan DJ, bergoyang ala binatang yang sedang mabuk ekstasi. Tak berbentuk.

Tiba-tiba musik berhenti, DJ mengucapkan terimakasih kepada para pengunjung. Mereka berdua kebingungan, sudah berapa lama mereka disini? Kemudian mereka mendapati sang bulan menggelepar, hanya matahari yang masih sanggup melanjutkan pesta.

Ya, mungkin bukan pesta bagi muda-mudi kantoran seperti mereka. Tapi ini pesta bagi para pencari nafkah yang bekerja keras, bukan diruangan kantor yang ber-AC dingin, melainkan di antara debu jalan, dan kabut yang sudah bercampur asap kendaraan. Seragampun seadanya, hanya satu yang diberi pada waktu awal masuk kerja, seragam warna oranye. Mereka mengais mimpi, nafkah dari botol-botol plastik sisa mabuk orang-orang kantoran semalam.

Bagi Ina dan Anton, tanda matahari terbit artinya mereka kembali ke kejenuhan dibalik meja dan berkas berkas menumpuk di atas laptop. Tapi bagi mereka yang berseragam oranye, itu tanda mereka akan berpesta, mungkin malam ini, upah yang diberikan lebih banyak, karena sampah menumpuk.

Anton dan Ina meninggalkan klab, dilewatinya pria tua berseragam oranye itu.
Didalam pikiran pria paruh baya itu, pesta seperti itu mungkin tak akan pernah dialaminya.

Lalu pria itu kembali mengumpulkan botol-botol kosong, dan menghilang bersama matahari yang merangkak naik keatas kepala.

Bangun Siang


Oleh Nara Pratama (@nrprtm_)


Maret, 2011

Lima minggu sudah ia meninggalkan Ibukota, dan lima minggu pula ia menghabiskan waktu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, berhura-hura. Kini ia tiba pada titik jenuh, dan mulai merindukan kembali kesibukan di Ibukota, sebelum mengambil keputusan untuk berpindah ke kota ini.

"rapihin tuh idup" ujar salah satu dari mereka.

Ia berpikir sejenak, dan kembali mengabaikan apapun saran orang lain tentangnya. Kesehariannya hanya duduk didepan monitor, mencoba mengerjakan sesuatu, namun semuanya tak kunjung terselesaikan. Kamarnya berukuran 5x6 meter, tanpa ranjang. Lantainya hanya berlapiskan karpet dan bed cover sebagai alas tidurnya, dan barang-barang didalamnya berserakan, berantakan. Terdapat dua jendela disana, dan temboknya berwarna putih, namun akan berganti menjadi jingga dikala mentari mulai menyinari jendela, membiaskan warna dari tirai coklatnya. Sudut-sudut ruangan terisi dengan kehadiran 2 buah koper berisikan pakaian kotor sebagai pemanis ruangan. Semuanya tampak sempurna untuknya, terlihat indah pada tempatnya.

Sepanjang malam ia menghabiskan waktunya untuk menggunakan fasilitas media sosial melalui internet, berbincang-bincang, bertatap wajah melalui video call bersama teman dunia mayanya, dan mulai tertidur antara pukul 6 hingga 8 pagi, dan terbangun di siang atau sore hari. Setelah terbangun ia tidak memutuskan untuk mandi, namun lebih memilih untuk menyeduh secangkir kopi, menghisap sebatang rokok, dan melamun. Ia menamai keadaan ini dengan sebutan "Mengumpulkan nyawa", mengumpulkan ingatan akan semua yang terlewati disaat terlelap, mengingat-ingat apa yang disaksikan didalam mimpinya.

Terkadang ia menghabiskan kesehariannya berkeliaran di pantai, berkenalan dengan penduduk lokal maupun turis asing, menyelam dan tergulung ombak dipermukaan laut, tertarik arus, lalu kesulitan untuk kembali ke daratan. Berbotol-botol gelembung emas diteguknya setelah kelelahan bergelut dengan lautan, dan diatas pasir putih, ia memandang mentari yang terbenam indah sambil berucap sedikit doa dan rasa syukur untuk hari-hari yang telah dilaluinya.

Amin.
-

Oktober 25, 2009 - April 14, 2011

Malam ini ia menangis setelah membuka folder lama dikomputernya. Ia pandangi sosok wanita yang cantik, bijak, penuh ketegaran, namun sekarat. Foto-foto disaat mereka masih bersama, merayakan ulang tahun ayahnya yang ke-54 dirumah sakit, ada juga foto disaat mereka melakukan perjalanan domestik bersama, dan foto mereka memandang matahari terbenam dari sebuah restoran diatas tebing, yang mana foto tersebut adalah momen terakhir mereka untuk memandang terbenamnya mentari, bersama-sama.
Ini pertama kalinya ia berani membuka kenangan-kenangan lama yang pahit namun indah tersebut, ini pula pertama kalinya ia yakin untuk merelakan kepergian wanita tersebut, dimalam itu, pukul 23:23, Oktober 25, 2009.

Ia berharap untuk dapat kembali ke masa itu, walaupun ia tahu pada akhirnya wanita tersebut akan pergi meninggalkan kenangan yang mendalam. Ia ingin memperbaiki kenangan pahit tersebut menjadi lebih indah, ia menyesal tidak berada disampingnya setiap saat wanita tersebut membutuhkannya. Ia menangis; sedu-sedan.

-

April 15, 2011

Kesedihan masih enggan pergi meninggalkannya, layaknya hujan yang tak kunjung reda di pulau Dewata semenjak bulan lalu. Meskipun beberapa hari lalu, hujan mulai beranjak pergi meninggalkan pulau tersebut, mengembalikan cerahnya langit, dan menarik bintang untuk kembali menghiasi malamnya. Namun ada yang kurang, malam disini terasa sangat dingin, penuh kesepian, dan bulan pun tampak sendu saat bersinar. Ia kembali duduk didepan monitor 21 inci, mengulang keadaan tadi malam, membuka kembali lembaran lama dari hidupnya yang tersimpan dalam bentuk data chat log, Ia membaca semua perbincangan bersama seorang wanita yang selalu Ia simpan disetiap kesempatan.

Mei 11, 2009 - Juni 3, 2009
a: "you're such a nice girl.. I like you"
b: "Nice.. I'm gonna leave you on a wedding, still nice ?"

a: "I'm a self-centered person and you know that and everybody knows that. But you guys still saying you love me. I don't understand"
b: "Me too, and I don't care about it, I love you just the way you are"
a: "You know you will never get to, but you just gotta keep trying, because you love the sense of catching"

a: "If any"
b: "If only"
a: "If I were a star, I would grant your every wish!"
b: "Then i'll be all the way out there every night just to see you shine"

Wanita ini datang mengisi hidupnya selama 3 minggu, membuat janji yang tidak terucap melalui hubungan fisik, dan bahasa tubuh. Dunia berada didalam genggamannya disaat wanita tersebut berada disampingnya.
Mereka tidak pernah menghabiskan waktu bersama hingga tengah malam, karena wanita ini tidak punya banyak waktu, wanita ini harus membagi hidupnya untuk orang lain, seorang pria yang sudah bersamanya selama hampir 2 dekade.

Hingga detik ini, ia masih berharap untuk dapat kembali bertemu pujaan hatinya tersebut, walaupun hanya untuk 5 menit; bertatap wajah, berucap salam, dan selamat tinggal.

a: "can we exchange pics dedicated for each other every week ? what's the name of the album gonna be ?" b: | "proximity-infatuation."

a: "i thought all the marks there make a really good script for you, it'll rip your heart out and play with it. Unable to move."

Juni 4, 2009 / Soekarno Hatta International Airport, Jakarta

Hampir tengah malam, dan 1 jam sudah aku menunggu balasan pesan singkat darinya, hingga akhirnya ia memintaku untuk masuk ke area keberangkatan. Aku hanya ingin berdua-an dengannya di perpisahan ini, tidak ingin bersosialisasi dengan keluarga, ataupun teman yang mengantar kepulangannya ke negeri kangguru. Kami berbincang sambil menikmati segelas orange juice sambil menunggu waktu check-in. Tidak banyak yang kami perbincangkan, aku lebih banyak diam karena bingung dalam berucap. Perhatianku terpaku pada gerak bibirnya, bibir yang biasa kucumbu selama 3 minggu, bibir yang juga terkadang sembarangan meluncurkan kecupnya pada bibirku ditempat umum. Perempuan ini memang sedikit gila, namun aku merasakan kenyamanan bersamanya, kenyamanan yang tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun, selain Ibuku.

"It's time for me to go, take care of yourself ya. Cari perempuan yang bener, jangan main perempuan sembarangan"

Aku hanya merunduk, aku tak sanggup berkata apa-apa. Kami berpelukan selama 10 detik, dan berpisah.
Aku membalikkan badan, berjalan kebingungan, dan dilangkah ke-10, ia memanggilku kembali, dan memelukku.

"Thanks for everything, thank you so much"
-

Ia adalah seorang pria, seorang petualang dan pemimpi yang langkahnya sementara terhenti, terhenti dalam gelapnya malam, ia kehilangan. Ia kehilangan 2 wanita terpenting dalam hidupnya ditengah malam.
Tengah malam adalah comfort zone untuknya, keadaan dimana ia dapat memandangi bintang, mengingat, juga merasakan kembali kehadiran 2 wanita tersebut.

Kini ia tak lagi bermain dengan ombak, memandang mentari yang terbenam sambil menggenggam sebotol gelembung emas, atau menghabiskan waktunya untuk berpesta dan hura-hura. Ia lebih memilih untuk membuka matanya lebar-lebar sepanjang malam, menunggu mereka yang tak kunjung kembali, dari hari ke hari.
Dan karena kebiasaannya itulah, ia selalu bangun siang.

TENGAH MALAM

Oleh Ririn Tagalu (@ririntagalu)


Tengah malam. Jam dinding mengarah tepat pukul 12.00.
Aku terbangun lagi. Sudah tiga hari seperti ini. Keringat membasahi bajuku. Kuraba celanaku. Syukur tidak basah. Aku takut jika aku ngompol. Mimpi itu terlalu seram untuk ukuran penakut seperti aku.
Aku tidak ingin menceritakan mimpi itu, karena aku tahu tidak baik menceritakan mimpi buruk ke orang lain. Seperti yang pernah aku alami, orang yang mendengarnya, pasti menngira-ngira kejadian buruk apa yang akan terjadi. aku selalu menekankan bahwa mimpi itu hanyalah bunga-bunga tidur. Tetapi, dasar orang-orang yang percaya takhayul, mereka tetap saja menceritakan apa pendapat mereka tentang mimpi itu.
Aku tidak suka mencengar cerita buruk, kabar buruk atau semacamnya. Dan aku juga tidak suka bermimpi buruk. Aih, aku merasa mimpi ku kali ini bukan hanya bunga-bunga tidur. Aku takut, tentu saja. Siapa yang tidak takut mengalami mimpi seperti itu?
Maaf saja, aku tidak akan menceritakan mimpi itu. Bukankah sudah ku katakan aku tidak suka menceritakan mimpi buruk?
Aku turun dari tempat tidur. Dingin segera menjalari kakiku. Kemana sandal tidur milikku yang manis itu? Kulihat dia berada di bawah meja belajarku. Aku melangkahkan kaki, memasukkan kedua kakiku ke dalamnya. Hangat. Bulunya menghangatkan.
Aku berjalan ke arah dapur. Gelap. Sudah menjadi kebiasanku untuk mematikan lampu sebelum tidur. Hemat, itu yang sering dikatakan orang-orang. Ku nyalakan lampu. Terang. Ini lebih baik. Ku teguk segelas air untuk membasahi kekeringan tenggorokanku.
Pranggg!
Ku dengar sesuatu jatuh. Pecah. Ada apa? Jantungku tak karuan.
Aku bergegas kembali ke kamar. Menutup badanku dengan selimut. Badanku gemetaran. Hening. Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa. Jantungku mulai sedikit tenang. Aku sedikit lega.
Tidak beberapa lama, terdengar jam dinding berdentang. Kuhitung di dalam hati. Tiga belas. Jam dinding berdentang tiga belas kali.
Tiga belas kali?
Tidak mungkin! Ini persis seperti mimpiku. Tidak. Tidak. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Jika aku tetap tinggal aku akan mati. Aku belum mau mati. Apa yang harus ku perbuat? Aku masih ingin menikmati hidup. Makluk hitam itu tidak akan mendapatkanku. Aku akan berlari. Hanya itu cara yang bisa ku lakukan. Aku harus bergegas, sebelum ia sampai disini.
Aku bangkit, segera berlari, ke arah pintu.
Tidak!
Dia telah berdiri disana. Menghalangi jalanku.
Tidak! Aku belum mau mati.
Aku berteriak sekuat tenaga. Badanku bergetar.
Goncangan itu begitu dahsyat.
..
..
"Bang .. abang. Bangun bang. Ada apa?" suara istriku menyadarkanku.
Mimpi itu benar-benar nyata. Jantungku masih tak karuan.
Ku lihat jam dinding. Ini tengah malam, tepat pukul 12.00.



Kabar Gembira

Oleh @amalia_achmad


Lelaki itu mencoba menyalakan pemantik api di tangan kanannya berkali- kali. Hanya percikan bunga api lalu hilang cepat. Dia tidak mudah menyerah rupanya. Kulit jari jempolnya yang bergesekan dengan roda logam bergerigi itu barangkali terluka dan rokok yang terselip di ujung bibirnya mungkin sudah basah sekarang. Aku tak bisa mendiamkan, segera beranjak mendekati. Kunyalakan dengan mudah pemantik api milikku tepat di depan wajahnya. Dia terkejut sebentar lalu segera membakar ujung rokoknya dengan api yang kutawarkan. Bibirnya menghitam, jejak endapan nikotin bertahun- tahun. Pada dalam kedua matanya ada semacam ketenangan yang ganjil. Di bawah sepasang mata itu, hidung besarnya bertengger sombong. Lalu, kulitnya kasar dengan bekas jerawat meninggalkan bolong- bolong. Dia tak menyenangkan untuk dipandang kelamaan, aku memalingkan wajah.
“Terimakasih” katanya di sela- sela hembusan asap yang diarahkannya ke atas. Suaranya parau dan berat seperti sudah seharian tak digunakan atau malah tak berhenti digunakan.
“Sama- sama” jawabku sambil hendak berlalu.
“Perokok juga?” tanyanya sebelum sempat aku membalikkan badan.
“Bukan”
“Jadi untuk apa geretan itu?”
“Ini? Oh, untuk membakar kertas- kertas”
“Kertas- kertas apa?”
“Apa saja” aku menjawab sekenanya, ingin menyudahi basa- basi ini.
Dia sepertinya tak rela, lekas mengeluarkan pertanyaan lain demi mencegahku bebas, “Kertas- kertas hutang, ya? Hehe… “ dia terkekeh jelek.
“Iya. Permisi “ kali ini aku benar- benar memutar tubuhku tapi sebuah tangan besar menarikku kembali. Aku memandang tajam pada tangan itu lalu pada pemiliknya, si bibir menghitam yang kini tampak kikuk.
Dia melepaskan cengkeramannya, “maaf… “
Aku terburu menjauhi, gaun hitam ketat ini menghalangi maksudku untuk cepat- cepat pindah dari selidik mata lelaki itu. Ketika aku berbalik dia sudah tak ada lagi di tempatnya tadi. Trotoar pada tengah malam ini tampak tak sama.
Lalu DOR!!!
***
Perempuan itu memperhatikan tiap gerak- gerikku sedari tadi. Dia bersandar pada sebuah pot bunga setinggi pinggang. Kedua mata bercelak hitamnya berkilat tertimpa sekilas lampu jalanan berwarma kuning. Dia semacam kucing betina mengincar seekor tikus, tenang dan penuh perhatian. Lalu pada usahaku menyalakan geretan api yang ke- sekian kali dia berhenti bersandar, malahan berjalan ke arahku. Gaunnya ketat melekat dengan suara tak- tok- tak- tok hak tinggi sepasang sepatu di kaki, dia menyeret langkahnya. Aku pura- pura terkejut ketika nyala api dari geretannya membakar udara kosong. Kunyalakan ujung rokokku sebelum jari tangannya yang berbau manis kepanasan.
“Terimakasih” ucapku. Dari sela- sela asap yang kuhembuskan, wajahnya mula- mula terbentuk dari kedua mata bercelak hitam, hidung tinggi berminyak, bibir tebal tersapu gincu kelewat merah, dan kedua pipi dengan bedak tiga lapis. Dari balik samarannya itu aku melihat kesedihan yang puitis.
“Sama- sama”dia bersiap kembali ke persembunyiannya tadi.
“Perokok juga?” tanyaku mencegah langkahnya.
“Bukan”
“Jadi untuk apa geretan itu?”
“Ini? Oh, untuk membakar kertas- kertas”
“Kertas- kertas apa?”
“Apa saja” dia tampak sedih, seperti sepanjang hidupnya adalah kesedihan, bertemu denganku adalah kesedihan lainnya.
“Kertas- kertas hutang ya? Hehe… “ aku mencoba membuatnya tersenyum. Sebuah percobaan yang sia- sia. Dia menarik nafas panjang, mengumpulkan udara ke dalam paru- parunya, lalu berkata “Iya. Permisi. “
Perempuan sedih, biarkan aku menjadi kabar gembira. Aku memasukkannya ke dalam pikiranku terlalu jauh, tak menyadari salah satu tanganku mencengkeram lengannya yang terayun bebas ketika ia berbalik tadi. Aku terkejut. Dia tak kalah terkejut. Memandang tanganku lalu wajahku, pelan- pelan, seperti pandangan matanya bisa memotongku menjadi dua saat itu juga. Dan ia bisa. Kutarik tanganku dari lengannya, “maaf… “ ucapku setengah malu.
Dia menyeret langkahnya menjauh dariku, lebih cepat dan lebih berisik dari ketika ia menghampiri tadi. Dia adalah kesedihan yang puitis sekaligus keberanian yang menawan. Pada kedua matanya yang bercelak hitam, aku melihat kesedihan hidup yang tak pernah coba dilawan. Dia memberanikan diri, menyerah pada trotoar jalan tengah malam seperti ini. Dia tak ingin diselamatkan. Sementara aku ingin menyelamatkan.
Lalu DOR!!!
***
Aku memalingkan wajah, berhenti mencari lelaki tadi. Di hadapanku seorang waria terduduk dengan dua kaki tertekuk, wajahnya menengadah ke langit dengan mata melotot dalam teror, dari dadanya darah mengalir membentuk sungai kecil. Perempuan- perempuan menor penghuni trotoar ini meraung- raung bersama mami- mami mereka. Laki- laki bau apek berhamburan keluar dari dalam remang bilik tikar warung- warung. Mereka meneriakkan kata- kata, menangis, berlarian sembunyi, mengguncang- guncang tubuhku, tak benar- benar kupahami.
Aku mengembalikan tatapan pada tubuh yang mati terduduk di pinggir trotoar itu. Tubuh yang kini tinggal daging, bahkan namanya aku lupa. Aku berlari pulang. Pulang ke rumah pada Ibuku.
***
Peluru itu menembus tubuh yang tak pernah kuanggap punya nama, kupilih secara acak saja. Tepat pada sasaran, sebelah kiri dada. Perempuan sedih yang tadi menawariku api termangu lama memandangi tubuh di hadapannya, jatuh terduduk dengan mata menghadap ke arah langit tanda telah terbebaskan. Akulah pembebasnya sekaligus pembebasmu, perempuan sedih. Aku menyelamatkanmu. Kabarkanlah sekarang, “Aku hidup, Ibu.”

tamat