Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Wajah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wajah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Maret 2011

Delapan Puluh Delapan Topeng

Oleh Rheza Aditya (@gravelfrobisher)

Terkadang aku merasa heran.
Betapa kau begitu sering mengubah ekspresimu dalam satu hari. Betapa dirimu tampak bisa menampilkan begitu banyak sisi dan kepribadian yang acak. Betapa dirimu bisa merasa nyaman dengan semua itu.
Aku? Aku hanya seseorang di pojok kelas, yang mengamati semua orang dengan sebuah pensil di tangan. Aku siap mengubah galaksi dan kepingan-kepingan yang menyusunnya menjadi lautan aksara; menjadi santapan masyarakat yang jarang diapresiasi.
Aku tidak bisa sepertimu, mengubah wajah sesuai dengan keadaan. Menyenangkan orang lain? Jangan harap. Aku bahkan sudah merasa bersyukur karena sudah bisa menyenangkan diriku sendiri. Atau, tidak mengganggu diriku sendiri dengan kedok kepalsuan yang harus kukenakan setiap hari.
Façade.
Dengan setiap guratan yang kugoreskan di atas kertas seputih kapas, aku menuliskan semua yang kuketahui tentang dirimu. Bahkan meskipun aku hanya bisa melihat sisi terluar dari dirimu, yang sengaja engkau tampilkan karena kau merasa percaya diri dengan kedokmu itu.
Bibirmu ditarik melengkung ke atas setiap kali kau melihat lembar hasil ujianmu. Kau akan mendengus puas dan segera melipat kertas tersebut, sebelum orang lain dapat mengintip dan mengetahui nilai aslimu.
Mereka mengira kau sama bodohnya dengan mereka. Dan mereka bahkan tidak pernah mencari tahu atau mempertanyakan keaslian nilaimu, yang kau sebutkan kepada mereka. Bahkan bagi orang luar sepertiku, aku bisa tahu bahwa kau hanya menyembunyikan jati dirimu.
Atau, mungkin justru karena aku adalah ‘orang luar’ dalam kehidupanmu. Orang asing, orang yang tidak signifikan, yang akan kau anggap angin lalu setiap kali dia lewat di hadapanmu. Aku tampak begitu tidak eksis di matamu. Aku yakin itu.
Kau selalu menggigit bibir bawahmu setiap kali teman-temanmu memulai aksi mereka: memuji dan merayu dirimu untuk menunjukkan bakat musikmu yang memang bersinar di hadapan kelas. Pandangan matamu tidak bersinar seperti biasanya, dan aku bisa menangkap bahwa kau tidak suka terlalu dielu-elu, dari betapa kau selalu memandang ke lantai yang membosankan setiap kali kau tampil di depan kelas.
Atau, di depan ratusan penonton.
Ya, aku tahu semuanya. Betapa kau selalu membiarkan semua teman-teman ‘geng’mu pulang dahulu. Kau akan selalu mengosongkan jadwalmu setiap pulang sekolah, khusus untuk menyendiri di pinggiran lapangan basket yang rindang oleh pepohonan.
Aku bisa melihat dirimu termenung, sesekali menyenandungkan lagu tak berlirik yang melodinya tidak familiar di telingaku.
Atau, ketika kau akhirnya terpilih sebagai wakil sekolah untuk maju ke Olimpiade Sains Nasional. Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat pandangan mata ‘teman’teman’mu yang tampak heran; bagaimana mungkin dia bisa mewakili OSN? Sejak kapan dia sepintar itu?
Bahkan, ketika suatu hari saat hujan turun dengan begitu derasnya, mengguyur bumi tanpa ampun dengan berkah airnya yang melimpah. Aku lihat kau masih bisa tersenyum, kali ini tampak begitu tulus sehingga aku ragu untuk memasukkannya ke dalam daftar façademu yang berlembar-lembar panjangnya.
Namun, tak sekali pun kau menoleh ke arahku.
Aku bahkan ragu kau mengingat namaku. Bahkan guru saja tidak pernah mengingat namaku, dan sesekali menanyakan apakah aku murid pindahan baru.
Aku mendengus sinis, kembali ke alam dan duniaku sendiri di pojokan kelas, dengan selembar kertas penuh coretan dan sebuah buku setengah terisi yang berlimpah dengan seluruh karyaku dari bulan lalu.
Duniaku berbeda dengan duniamu.
Topengmu. Topeng kepribadianmu yang begitu banyak. Façade melimpah yang tampak begitu kokoh, namun juga transparan pada saat yang bersamaan.
Seperti topeng kaca, dimana kau begitu transparan. Begitu mudah diubah menjadi warna lain, namun tetap tidak berwarna jika berdiri sendiri. Begitu meyakinkan orang-orang yang berada di sekitarmu, namun tampak begitu rapuh bagiku yang selalu memperhatikanmu.
Kurasa kau akan lebih kesulitan menghafalkan daftar topengmu yang sepanjang lima lembar ini daripada mengingat namaku. Ya, aku mengerti. SANGAT mengerti. Sungguh, aku tidak bercanda. Dan juga tidak bisa dibilang senang.
Kurasa, mungkin dunia kita terlalu berbeda untuk dapat menyatu. Padahal kau akan menjadi bahan yang sangat menarik bagi kemajuan ceritaku. Padahal aku sedikit berharap bisa mengenalmu lebih jauh, sebab kau adalah karakter sentral yang menghubungkan semua karakter-karakter lainnya.
Aku melirik buku berisi tulisanku, dan hampir meludah di atasnya. Delapan tahun sudah kujalani hidupku, melangkah bersama dengan aksara dan tulisan-tulisan menakjubkan yang membuatku terpana. Betapa kumpulan huruf-huruf dan simbol-simbol aneh dapat menyampaikan dan menggubah sebuah karya, sebuah dunia baru untuk disuguhkan bagi mereka yang membacanya.
Namun, kurasa tidak ada gunanya juga menjadi penulis jika tidak ada yang mengakui keberadaanku.
Aku menutup bukuku, kali ini memutuskan untuk sedikit serius memperhatikan penjelasan Guru Bahasa Indonesiaku yang sedang menjelaskan tentang metafora—yang ironisnya, merupakan keahlian utamaku dalam menulis cerita fiksi—dan perumpamaan.
Tidak, aku tidak mengirimkan karyaku ke penerbit, atau ke majalah.
Aku benci publikasi.
Mendapat sorotan publik berarti sebuah keadaan dimana sulit bagiku untuk mengamati gerak-gerik orang lain. Sulit untuk mengepakkan sayap-sayap imajinasiku yang liar untuk merobek angkasa dengan kegilaannya. Sulit untuk menjamah dan mengerti esensi jiwa setiap manusia dan setiap objek yang kulihat, kurasa, kuraba, kuendus, dan kudengar.
Publikasi berarti menulis mengikuti selera pasar.
Kecuali aku bisa membuat gebrakan baru, yang tampaknya juga tidak menyenangkan. Tentu, kau bisa jadi terkenal dan kaya mendadak melebihi Ratu Inggris. Tentu, karyamu bisa ditayangkan di bioskop dan mendapat begitu banyak masukan dan kritikan hanya dengan menampilkan vampir bercahaya sebagai karakter utamamu.
Tetapi, secara bersamaan dengan popularitas, aku juga akan menciptakan pengharapan dari orang lain. Dan aku tidak memiliki kekuatan sepertimu, kekuatan menciptakan topeng baru dalam hitungan detik yang sangat kuinginkan semenjak dulu.
Aku tidak perduli jika topengku sebening kaca.
Aku ingin memendam wajahku di balik perlindungan kaca tersebut, dan mungkin suatu saat aku bisa menjadi sedikit lebih normal.
Bukannya menjadi hantu pengamat kelas di penghujung ruangan yang selalu memancarkan aura ‘aku-tidak-ada-di-sini-jadi-jangan-lihat’ secara kusadari maupun tidak.
Aku tersadar dari lamunanku ketika Pak Guru menyebutkan sesuatu tentang lomba menulis cerpen untuk Bulan Bahasa.
Cerpen, makanan sehari-hari bagiku. Aku bisa membuat lima belas cerpen dalam sehari dan masih melanjutkan proyek-proyekku yang lain.
Bukan berarti aku akan ikut serta dalam lomba ini. Aku tidak punya topeng yang cocok untuk menampilkan imej ‘penulis wanita muda berbakat’ atau semacamnya.
Namun, yang membuatku tertegun adalah dirimu yang mengacungkan jarimu.
Tidak seperti delapan puluh delapan topeng lain yang sudah kudata dan bahkan kugunakan di dalam novelku. Kali ini wajahmu tampak begitu bersinar dan memancarkan aura kekanak-kanakan. Bagaikan tidak mengenakan topeng sama sekali.
“Pak, saya mengusulkan Irene yang mewakili sekolah kita,” kau berkata dengan lantang dan pasti.
Terkejut, aku membelalakan mata.
“Saya yakin dia punya talenta. Dia sudah menulis sepanjang saya mengenal dirinya, dan dia juga dapat menangkap dan memberikan sentuhan khas supaya karakter-karakternya hidup dan berdenyut di dalam karyanya.”
Aku masih membelalakan mata, kali ini posisiku setengah berdiri.
Pak Guru tampak menimbang-nimbang. Mungkin dia sedang berpikir siapa pula anak bernama Irene di kelas ini.
Aku menelan ludah ketika wajahmu berbalik ke arahku, masih tersenyum seterang cahaya surgawi dan gigi putih bersih seperti di iklan pasta gigi. Kau mengedipkan sebelah mata, dan mengangguk pelan untuk meyakinkanku.
Saat itu pula, aku tersadar.
Bukan cuma aku yang memperhatikan dan mengamati dirimu.
Kau juga melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih saksama terhadap diriku.
Aku menatap malu ke arah lima lembar kertas yang berisikan delapan puluh delapan topeng berbeda yang sudah kudata dan kusiapkan untuk menjadi panduan dalam menuliskan karakter dirimu dalam novelku.
Aku merasa malu.
Kau melihat diriku menembus aura tebal yang menyelimutiku.
Menembus topengku, yang bahkan baru kusadari saat itu.
Topeng diriku yang selalu melandasi semua tindakanku sebagai sesuatu untuk menunjang karir menulisku.
Kita semua memiliki topeng. Topeng-topeng yang kita tunjukkan kepada masyarakat, kepada keluarga, kepada sahabat, dan kepada manusia yang terpantul di dalam cermin. Warna warni berkilau, atau mungkin justru tak berwarna. Semuanya beragam dan tidak dapat ditebak. Namun, seberapa banyak pun kau kira kau telah memiliki topeng, semua itu akan berbalik kepada dirimu.
Dirimu adalah bagaimana topeng-topengmu membentuk dirimu.
Sepulangnya aku dari sekolah, aku membakar catatan delapan puluh delapan topeng itu.
Aku siap ikut lomba menulis. Atau apapun.

Tidak Bisa Hilang


Oleh @geeshaa

Sudah sekitar setengah jam aku berdiri di depan batu nisannya. Dia yang telah meninggalkanku setahun yang lalu. Mataku terpejam, gigiku rasanya sebentar lagi rontok semua, tanganku kebas. Inilah yang selalu kurasakan di saat-saat seperti ini. Kerinduan yang membuncah.
Tuhan, aku sangat merindukannya.
“Sudah berapa lama kau berdiri di situ?” Tanya seorang perempuan, dengan siluet yang sempurna, mengenakan long-coat­ merah tua.
“Kyla?” jantungku berdegup keras—Tuhan mengabulkan permintaanku secepat itu?
Perempuan itu mendekatiku, “Bukan, aku Chelsea.”
Ah, iya, kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang bergaris halus di tepi rahangnya, dengan hidung yang mancung, dan bibir yang merah. Wajah sempurna itu, nyarissama seperti yang dimilikinya. “Kenapa kau ada di sini?”
Chelsea mengangkat bahunya, “Entahlah, aku tadi lewat di depan pemakaman, dan tanpa sengaja melihatmu di sini. Jadi yeah—aku ke sini.” Jawabnya dengan pandangan mengawang-ngawang, sepertinya ia memikirkan sesuatu. Sepersekian detik, aku teringat dengan pandangan itu. Pandangan yang selalu ia pamerkan setiap kali merasa bingung. “Thom, kau sepertinya benar-benar belum bisa melupakannya ya?”
Aku mengangguk pelan, aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari wajahnya. “Maaf, Chelsea. Maaf.”
Chelsea terlihat agak gusar saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku tahu ia sudah bosan dengan kata maafku. “Aku bisa mengerti.” Gadis itu terlihat meredam kesedihan di wajahnya. Hidungnya memerah. “Tidak apa-apa.  Semuanya butuh waktu.”
Aku memeluk gadis itu dengan lembut dan erat. Ia menyambutnya dengan senyuman tersungging di wajahnya. Lalu pelan-pelan aku berbisik di telinganya, “Bolehkah aku memanggilmu dengan…” aku melepaskan pelukanku, dan menggenggam tangannya. “..namanya?”
Wajah indah itu menghentikan senyumannya. Ia menciumku dengan lembut, lalu tanpa mengatakan apapun, ia berjalan meninggalkanku—keluar dari pekarangan makam.
Seketika aku tersadar—astaga, apa yang telah kukatakan?
Aku telah menghancurkan semuanya.
Maafkan aku, Chelsea, aku masih tidak bisa menghilangkan wajahnya dari ingatanku, padahal kau begitu mencintaiku.

Kembali Normal

Oleh Rahmi Fathia (@rahmfath)

Jarum jam menunjukkan angka 6 tepat. Matahari sedikit demi mulai menampakkan sinarnya. Tanda kehidupan yang baru, juga hari yang baru mulai terbuka.

Gadis itu tampak senang. Baru pertama kali dalam hidupnya ia merasakan euphoria yang sudah tak terbendung lagi. Selesai shalat shubuh ia mantap memanjatkan rangkaian kalimat syukur kepada Sang Pencipta. Entah seperti apa rangkaian yang terlontar dari dalam hatinya yang terdalam, memang hanya ia dan Tuhannya yang tahu.

Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan persegi putih yang mengelilinginya, dengan aroma alcohol juga obat-obatan, dengan jarum infus, dengan dinginnya hawa ruangan, dengan sesekali tangisan Ibunya yang dengan setia menunggunya hingga kini. Ia tidak mengenal shopping, dress, Blackberry, facebook, twitter dan beberapa kesenangan remaja pada umumnya. Ia tidak mengenal semua itu..

“Dua jam lagi dokter datang nak. Kamu udah siap?” bisik Ibunya lembut. Logat Jawa terdengar sangat kental disetiap pengucapannya.

“Siap bu. Saya sangat siap. Udah nggak sabar bu, saya senang sekali..” jawabnya pelan. Berbagai letupan keegembiraan seketika menyeruak di dalam dadanya.

“Alhamdulillah kalau kamu senang.. Ibu juga ikut senang, nak. Sabar ya, dua jam lagi..” tangan Ibunya yang keriput itu dengan penuh kasih sayang mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
***

Detik, menit, dua jam yang ditunggu-tunggu itu berlalu. Walaupun terasa sangat lambat karena ia terlalu bersemangat. Akhirnya penantiannya yang besar selama 3 bulan ini tiba pada ujungnya. Perjuangan, rasa sakit bercampur harapan yang menggunung telah dipikulnya. Dan ia kini sudah tiba tepat di atas puncak. Menikmati hasil jerih payahnya selama ini yang berakhir tidak sia-sia.

“Kamu siap, Laksmi?” Tanya Dokter ketika tiba. Disusul oleh beberapa suster juga troli besi yang berisikan peralatan kedokteran.

“Iya, saya siap. Sangat siap..” jawabnya mantap.

Dokter berjubah putih itu lalu mengerjakan pekerjaannya. Dibantu oleh suster yang juga cekatan dalam menangani Gadis berambut panjang itu.

Beberapa waktu berlalu, Jarum jam tidak lagi bertengger di angka 8 dan 12, ia kini berpindah di angka 9 dan jarum panjangnya di angka 7. Semua telah selesai.

“Nah selesai Laksmi.” Dokter itu menyimpan gulungan perban dari wajahnya. Para suster dengan sigap memperlihatkan sesuatu dihadapan Laksmi. Cermin..

“Gimana? Kamu puas dengan wajah barumu sekarang?”

Laksi terdiam. Matanya tertuju pada cermin dihadapannya. Berbagai ungkapan kesenangan yang ingin ia lontarkan, terpendam acak didalam benaknya. Terlalu sulit rasanya untuk dikeluarkan satu persatu. Ia terlalu senang..

“Terimakasih..” ucapnya getir. Antara senang dan haru tercampur menjadi satu. Ia senang dengan apa yang ia lihat kini. Bukan lagi wajah yang rusak akibat terkena air keras. Tidak ada lagi hidung yang melepuh akibat disetrika oleh majikannya di Arab sana. Tdiak ada lagi alis mata yang rontok karena terbakar oleh korek api yang disodorkan majikannya tepat pada alisnya yang dulu lebat itu. Semua berbeda. Wajahnya lebih baik dari 3 bulan yang lalu.

Untung saja Pemerintah cepat tanggap dalam menghadapi kasus penganiayaan yang dialami olehnya. Memang tidak ada lagi Laksmi yang dulu berparas ayu. Walaupun begitu, ia sangat bersyukur. Struktur wajahnya kembali normal. Ia kembali memiliki wajah yang normal seperti manusia yang lainnya. “Terimakasih..” ucapnya sekali lagi.

Matanya panas. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Pipi barunya kini basah oleh linangan air mata tanda dari perasaan senangnya yang tidak terbatas. Kini Laksmi kembali normal. Memakai sebuah topeng fana yang baru. Ia tahu, walaupun wajahnya tidak sama seperti dulu, hatinya yang lembut dan selalu bersyukur itu tidak akan berubah.Tidak akan pernah..

Aku Mencintainya


 Oleh Bintang Senja (@staronshine)


Wajahnya indah.

Istriku itu.

Kulitnya sehalus sutra. Alisnya berbentuk seperti bulan sabit tipis. Bulu matanya lentik, kadang menghalangiku untuk memandang dalam-dalam sepasang mata dengan manik bersemburat cokelat tersebut. Bibirnya mungil, mengundangku untuk terus mengecupnya. Aku sedih melihat pipi tirusnya sekarang. Dia tidak sekurus ini dahulu. Walaupun begitu, aku tetap mencintainya sepenuh hati.

Ketika ia tersenyum, seolah semua beban yang kurasakan bisa lepas. Aku tak merasakan apapun kecuali kebahagiaan tiada tara. Ketika ia tertawa, suaranya seperti dentang lonceng yang merdu. Menggelitik telingaku, menggodaku untuk terus membuatnya tertawa. Walaupun kadang dia bermuram durja hanya karena cuaca, aku tetap mencintainya lahir dan batin.

Kupandangi wajah cantiknya sekarang dalam-dalam. Kusentuh permukaannya. Putih dan dingin, seperti salju. Bibirnya yang mungil kini membiru. Kuulurkan tanganku, menorehkan lipstik merahnya disana. Kubedaki wajahnya, kuberikan perona merah agar kedua pipi tirusnya terlihat merah seperti wajah cantiknya yang dahulu.

“Katanya Pak Roy masih menyimpan mayat istrinya.”

“Benar?”

“Rumornya diawetkan.”

“Mbok Minah cerita sih, yang diawetkan tuh kepalanya aja.”

Tetanggaku bergosip lagi. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan itu benar. Aku hanya tak rela kehilangan wajah istriku yang cantik jelita. Aku mencintainya.

Hanya Mirip

Oleh Ninda Syahfi (
@nindasyahfi)



“Masih suka sama vokalis itu?”
“Masih. Kenapa?”
“Gak apa-apa sih. Lucu aja..”

Nanti sore, aku harus menghadiri pernikahan salah seorang sobat SD. Mujur sekali nasibnya; pintar, kuliah di luar negeri, sekalinya balik ke Indonesia langsung ada yang melamar. Masih ada beberapa jam sebelum akhirnya aku harus berangkat ke resepsi. Hal pertama yang dilakukan adalah pergi ke salon. Setelahnya, mampir ke butik tante Tiva untuk meminjam salah satu gaunnya. Selesai mendapatkan gaun yang cocok, aku pamit.

Lama menunggu taksi datang, tiba-tiba hujan turun. Beruntung masih di sekitar butik tante Tiva, aku memilih kembali ke sana, berteduh. Sepertinya hujan sedang tidak bersahabat. Hari sudah hampir malam. Malas rasanya untuk pergi. Aku mengabarkan tidak bisa datang, dan berjanji akan bertemu dengan kedua mempelai besok.

Siang ini, aku harus memenuhi janjiku untuk makan siang bersama pengantin baru. Aku datang lebih awal. Memesan tempat untuk tiga orang. Tidak lama kemudian mereka datang. Tidak berdua, tapi bertiga. Hei, rasanya aku mengenal pria itu!

Pasangan Bella dan Edward terlihat bahagia sekali. Mesra. Edward mengenalkan sepupu lelakinya padaku, Bruno. Oh bukan. Aku pikir Bruno adalah Vito, vokalis favorit Gea, sahabatku. Hanya mirip. Andai saja Gea ada di sini, pasti dia akan senang melihat pria berwajah sangat mirip dengan Vito, idolanya. Aku berjanji akan mengenalkan Gea pada Bruno, menggantikan sosok Vito, yang hanya ada di dalam angan.


Wajah Itu..


Oleh @vieramilenka.

Wajah. Wajah itu…muka. Wajah itu jerawat; make-up; maskeran. Wajah itu…cermin. Wajah itu…Femina. Wajah itu…Wanita. Wanita karena wajah adalah sesuatu yang dibanggakan, sesuatu yang ditinggikan, sesuatu yang dirawat, halus, menjadi pusat perhatian. Wajah bukan sesuatu yang praktis, wajah itu berharga. Mungkin bias sih, karena saya juga wanita. Tapi buat saya, wajah itu sesuatu yang harus dijaga. Wajah juga sering merupakan penanda, penentu kesan pertama.
Jarang rasanya ada orang yang pertama kali berkenalan dengan orang, kemudian yang diingat kakinya. Mungkin kalau kakinya seperti gorila. Tapi rata – rata yang diingat pasti wajah. Tak heran milyaran rupiah uang masyarakat masuk ke industri kosmetik dan perawatan muka setiap tahunnya.
Wajah juga bisa menjadi jendela bagi setiap orang yang haus akan informasi, orang yang selalu mencari. Ada beberapa orang yang wajahnya bagaikan air yang bukan hanya bening, tapi juga tenang. Tidak susah sama sekali mencari tahu bagaimana kondisinya saat itu. Ada juga yang bagaikan sungai bergolak; jenis yang harus diarungi dengan hati – hati, tapi kalau sudah tahu caranya, bukan hanya menantang tapi juga memuaskan. Ada pula yang seperti danau; dalam, tenang, nyaris tak berdasar. Menipu karena kesederhanaannya, tapi bisa juga berbahaya bagi orang – orang ceroboh yang berusaha untuk masuk lebih jauh tanpa persiapan yang memadai. Ada yang seperti kubangan, ada pula yang seperti sungai Ciliwung—kental, bau, tidak menarik, penuh residu. Tapi buat saya, rata – rata orang itu seperti kolam renang. Airnya bening, kadang hangat, kadang dingin, di beberapa tempat bergolak karena air terjun atau angin, kadang taifun kadang sepoi – sepoi; tapi kebanyakan cukup aman dan bisa diprediksi. Saya? Wah, rasanya susah menilai diri sendiri.
Wajah, selain bisa jadi jendela, juga bisa menjadi cermin. Buat saya, cermin terbaik adalah muka teman – teman saya. Mereka jenis cermin biasa tanpa tipuan, tidak cekung, tidak cembung. Mereka memperlihatkan diri saya sewajarnya, seutuhnya saya. Ada hari baik, ada hari buruk. Tapi intinya, mereka menjadi parameter yang menjaga saya saat saya kebingungan., atau mungkin dalam proses mencari jati diri dan terhenti di persimpangan. *jeger.
Tapi kalau mau jujur, cermin yang paling ingin saya lihat memantulkan kesempurnaan—walaupun sebenarnya kesempurnaan itu bisa membosankan dan mematikan gairah hidup, karena sudah tidak ada lagi yang bisa dikejar—adalah cermin di mata orangtua saya. Yah, siapa juga yang tidak ingin membahagiakan orangtuanya? Kadang saat saya melihat wajah orangtua, terutama mama, tampak bersinar lembut karena bangga, atau sedang sibuk menceritakan tentang saya ke teman – temannya—wah, walaupun memalukan, tapi diam – diam saya senang. Hadiah kecil untuk wanita yang sudah melahirkan saya.
Wajah juga bisa menjadi topeng. Klise sih. Tapi ada orang – orang yang menghabiskan waktu untuk menyempurnakan wajah mereka menjadi topeng sandiwara. Mereka begitu sibuk mengkhawatirkan takaran semen, banyaknya air, warna yang digunakan, orang untuk ditiru—mereka lupa untuk hidup. Wah, sedikit menggurui. Hanya saja, buat saya hidup itu sudah cukup susah tanpa harus diperumit dengan menutup rapat jendela anda untuk dunia.
Terakhir, wajah itu.. ya bagian dari anatomi muka. Ada hidung, ada bibir, ada pipi, ada mata, ada kumis, ada alis—ditutupi kulit. Hahaha.