oleh: Dimas Fadhli (@dmshitless)
"Selamat tidur, sayang. Mama tau kamu sudah dewasa, tapi paling enggak Mama masih nyempetin ngucapin selamat tidur buat satu-satunya anak Mama , Oh ya, ini tadi Mama belikan kamu sarung bantal baru, sarung bantalmu dari warnanya merah terus, sekali-sekali pakailah warna yang muda sedikit :)'
..........
"Mama masih inget dulu pas kamu jatoh dari ayunan, kamu selalu nangis jerit, tapi kalo di depan Mama kamu selalu ngumpetin muka nangis kamu, waktu itu kamu masih lucu-lucunya ya"
..........
""Oh ya, Mama masih inget dulu waktu ulang tahun kamu yang hmmm kalo Mama ga salah yang ke sembilan, Mama sama Papa beliin kamu setumpuk buku bacaan, kamu seneng banget ya waktu itu, padahal anak seumuran kamu lagi seru-serunya main game ya, sayang""
..........
"Hmmm, Mama juga masih inget, dulu waktu kamu SMA jadi komandan upacara, Mama selalu ngeliat kamu dari luar pagar, kamu hebat sekali, sayang"
...........
"Ma, sudah malam, ma. Ayo tidur, besok pagi-pagi kita ziarah, kita doa untuk Bagus"
"Tapi Bagus ada di sini, Pa. Lihat deh, Pa, anak kita udah sebesar itu, ga nyangka kan,Pa?"
"Mama?"
"Apa, pa?"
"Ayo tidur dulu, ma"
"Tapi Mama mau nemenin Bagus tidur malam ini, Kasihan dia kedinginan sendirian"
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Hangat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hangat. Tampilkan semua postingan
Kamis, 06 Oktober 2011
Selasa, 04 Oktober 2011
KEHANGATANMU
Oleh @shelly_fw
...karena dirimulah, sumber kehangatan lahir dan batinku.
Mata terbuka menatap dunia dengan rasa ciut menyelimut membuatku takut. Tapi kau disini, dan selalu ada didekatku. Hangat.
Senyummu terlukis rasa lara terkikis. Semua rasa bergumul menjadi satu timbulkan rasa hangat yang menjalar ke dadaku. Lagi-lagi hadir rasa itu. Hangat.
Bibir halusmu menyentuh halus bibirku, Aku pun menyambut dengan lembut, ciptakan semua aliran darah dipenuhi gairah. Hangat.
Setiap dekapanmu membuat ruas hati bergetar tak pasti. Kau bilang aku akan selalu menjadi milikmu begitupun denganku. Jika kau dapat meraba perasaan ini, ‘kan kau temukan rintihan rindu yang selalu memanggilmu. Hangat.
Bulan di puncak cakrawala selalu jadi saksi kita. Nyanyian lembut mengalun dalam telingaku sumir kisah ragu dalam keliru buatku tertidur dalam lelapku. Selalu begitu, tak pernah luput sekalipun dari ingatan terlemahku. Kau tahu apa hal itu? Hangat.
Mereka bilang kau adalah orang yang harus kucintai. Bukan, mereka salah! Cintaku adalah sumber ketulusan rasa kasih sayang yang kukerahkan bahkan tanpa kau minta! Kalau mereka bilang kau memang patut kucintai, kurasa mereka benar. Alasannya? Hangat.
Ya, kau adalah sumber kehangatanku. Tanpa dirimu, aku tidak akan pernah tahu apa dan bagaimana rasa hangat itu. Dan kini, kehangatanmu begitu melekat padaku hingga rasanya kelembutan itu adalah sifat mutlak bagi wanita seperti kita. Terima kasih, Bu, atas segala kehangatan yang telah kau siratkan dalam segala kelembutan, padaku.
041011
Conundrum
Oleh Stella Nike (@stellanike)
.
..
.
Telah lama kuamati gadis itu. Semenjak ia masih kecil, mungil, manis
dan lugu, begitu suci layaknya malaikat—hingga kini saat ia telah
beranjak dewasa dan mulai mengetahui mengenai kotornya dunia. Walau
begitu, ia tak tahu bahwa aku selalu mengintai dan memperhatikannya
sepanjang waktu dari balik bayang-bayang.
Sepanjang pengamatanku, gadis itu adalah seorang yang hangat.
Pribadinya. Meskipun divonis mengidap kanker, tak ada keluhan sama
sekali yang terdengar dari dirinya, bahkan ia bersikap seperti
matahari yang terus bersinar bagi sekitarnya. Ia tak pernah ragu untuk
merentangkan tangan dan memeluk siapapun yang sedang diserang hujan.
Ia layaknya selimut tebal penuh bulu yang melindungi di saat badai
salju menerpa. Senyumnya pun sehangat mentari yang bersinar cerah di
layar biru langit.
Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya saat didekap olehnya.
Apakah benar hangat? Apakah menyenangkan? Apakah aku dapat tersenyum
setelahnya? Atau—semua yang tertangkap dalam penglihatanku ini
hanyalah semu belaka, dimana ia merupakan manusia biasa yang tak ada
bedanya dari yang lain. Bagaimana jika kehangatan yang dipancarkannya
adalah palsu? Topeng.
Ah, tapi aku tidak bisa membuktikannya saat ini.
Belum saatnya aku datang menemuinya.
Maka aku terus mengamati dari kejauhan tanpa pernah disadari oleh
seluruh orang yang ada—bahkan dirinya. Hanya melangkah sedikit
mendekat seiring butir pasir sang waktu mengalir, menandakan masa yang
tersisa hingga aku dapat berjumpa dengannya secara langsung. Menekan
rasa penasaran yang terus membuncah—sulit. Sering kali aku hampir tak
sanggup menahan keinginan untuk merangsek maju dan tiba-tiba
merengkuhnya erat-erat.
Karena selama ini aku belum pernah merasakan kehangatan.
Gadis itulah yang paling dekat dengan kehangatan, dalam bayanganku.
...
Akhirnya, saatnya tiba.
Aku hanya berjarak beberapa jengkal dari dirinya, menahan diri sekuat
tenaga untuk tak mengulurkan tangan dan membawanya masuk dalam
dekapanku. Gadis itu, dia sendiri masih belum menyadari keberadaanku.
Ia masih tertawa-tawa bersama kawannya, mengembangkan senyum cerah
kebanggaannya yang kuakui hampir mengalahkan matahari jika ditatap
dalam jarak dekat. Aku ragu—juga bimbang. Tapi saatnya telah tiba, pun
aku tak kuasa lagi berdiam diri. Ia hampir bersentuhan denganku.
Aku pun menyapa.
Alih-alih menjerit ketakutan seperti semua yang sempat kuintai sebelum
ini, ia masih tersenyum—dan balas menyapa. Tangannya terentang seolah
ingin memeluk, sementara ia berkata telah lama menanti diriku, betapa
ia telah menyadari keberadaanku semenjak lama. Aku tercenung bisu, tak
mampu berkata-kata. Untuk pertama kalinya aku berinteraksi dengan sang
gadis, ia sesuai dengan definisi hangat dalam kamusku.
Tak lagi mampu menahan diri, jemariku terulur, sedikit gemetar. Tanpa
menanti lebih lama lagi segera kudekap tubuh kecilnya dalam pelukan
erat—seperti yang selama ini kunantikan. Salah satu impian dan tugasku
terlaksana. Akhirnya aku dapat merasakan kehangatan saat didekap
olehnya. Namun..
Tidak ada.
Tubuh yang kurengkuh ini tak terasa hangat. Sama dinginnya seperti
orang lain yang sempat kupeluk. Sekejap aku merasa geram, tertipu
mentah-mentah akan senyuman dan tingkah lakunya, padahal ia sama
sekali tak memberikan kehangatan. Ia marah, pada diriku sendiri yang
seenaknya berimajinasi dan membayangkan rasa hangat yang akan memasuki
relung-relung hatiku yang membeku tepat ketika aku merengkuhnya.
Faktanya, ia dingin, tidak hangat.
Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dan kutatap lekat wajahnya yang
nampak tenang. Kelopak matanya tertutup rapat, sementara bibirnya yang
biasa melengkungkan senyum lebar kini terkatup tanpa tarikan di
sudut-sudutnya. Ia nampak sedang tertidur. Kawan-kawannya yang masih
berada dalam ruangan putih berbau desinfektan ini mulai menjerit
memanggil dokter, tapi aku tahu usaha mereka sia-sia.
Ia telah pergi, membawa kehangatannya yang tak sempat kurasa.
Ternyata memang, takkan ada kehangatan yang dapat dicicip oleh
maut—seperti diriku.
Tapi tak ada waktu bagiku untuk menyesal dan bermuram durja, ada orang
lain yang harus kuintai selanjutnya. Mungkin, kau bisa memberitahuku
bagaimana rasa hangat itu?
Segelas Susu Cokelat
Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)
“Kenapa Mas jadi nyalahin aku?!”
“Ya jelas-jelas kamu yang salah, istri itu harusnya ngurus rumah, ngurus anak, bukannya keluyuran!”
“Alah, itu sih dulu, sekarang zaman udah maju, udah bukan zamannya perempuan diem di rumah.”
Fania menutup telinganya, berusaha tak mendengar adu teriak antara ayah dan bunda. Merasa kedinginan di tengah-tengah malam yang hangat. Ini bukan yang pertama kalinya, sudah berpuluh-puluh kali ia mendengar pertengkaran tak berujung seperti ini. Mereka selalu bertengkar, tak pernah benar-benar memedulikan Fania, bahkan tak peduli untuk sekedar menurunkan volume suaranya. Lalu saat sarapan, mereka akan bersikap seolah tak ada yang terjadi, memasang senyum palsu dengan harapan dapat mengelabui Fania.
Tapi ia bukan anak kecil, bukan lagi Fania delapan tahun lalu yang percaya begitu saja ketika bunda bilang bahwa pertengkaran itu berasal dari televisi yang bunda lupa matikan. Ini telah berlangsung sekian tahun, dan puncaknya adalah belakangan ini. Tak jarang bunda mengeluarkan ancaman ‘ceraikan aku’ untuk memenangkan argumen. Fania hampir menangis mendengarnya.
Sepi, tak ada lagi adu mulut. Setidaknya itu yang terdengar olehnya. Fania melepaskan selimutnya dan bangkit berdiri menuju pintu. Setelah memastikan tak ada suara apapun, ia memutar kenopnya dan berjalan menuju dapur di lantai bawah. Rupanya Kak Nina telah lebih dulu mengambil posisi di meja makan.
“Ngga bisa tidur ya De?” tanyanya seraya tersenyum kecut.
Fania mengangguk, menarik kursi tepat di hadapan Nina. “Kakak denger juga ya?”
“Sampai tetangga juga kayaknya denger. Kakak malu de kalau keluarga kita kaya gini terus. Akhir-akhir ini memang selalu seperti ini ya?” Sejak kuliah di Universitas Padjajaran tiga tahun yang lalu, Nina memang lebih sering tinggal di Bandung.
“Akhir-akhir ini hampir setiap malem kak, paling engga dua hari sekali. Puncaknya minggu lalu waktu Kakak di Bandung, mereka sampai lempar-lempar barang, terus bunda teriak histeris dan minta cerai.”
Nina shock mendengar penuturan adiknya. “Ya ampun sampai separah itu ya de?” Ia tak menyangka kalau agenda rutin keluarga ini akan sampai ke tahap cerai.
“Kita udah bener-bener kehilangan kehangatan keluarga ya Kak?” Fania mengajukan pertanyaan retoris.
Alih-alih menjawab, Nina menghela nafas dalam-dalam, membiarkan sejumlah besar oksigen memenuhi rongga paru-parunya kemudian menghembuskannya. “Aku nggak tahu apa kita memang pernah punya keluarga yang hangat. Mereka itu seperti ini sejak kita kecil kan?” Ia bertanya balik.
Fania merenungi jawaban kakaknya. Memorinya mengenai kebohongan demi kebohongan bunda menyeruak ke permukaan. Televisi yang lupa dimatikan hanya salah satu dari banyak. Saking seringnya mendengar pertengkaran orang tuanya, Fania hampir saja lupa kapan semua ini dimulai. Ia tak tahu apakah kehangatan keluarga itu kian lama menghilang atau memang tak pernah ada. Ia juga tak tahu apakah ia merindukan kehangatan itu atau malah menginginkannya.
“Aku juga nggak tahu kak. Bukankah seharusnya keluarga itu adalah tempat yang paling aman untuk kita?” Lagi-lagi, sebuah pertanyaan retoris meluncur dari mulut Fania.
Nina mengerling tangga di sudut ruangan, kamar orang tuanya berada di lantai dua. “Kita nggak bsa berharap banyak sama mereka,” jawabnya. Menghela nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan, “Idealnya, keluarga memang orang-orang yang selalu membuat kita merasa aman dan nyaman. Tapi kamu harus ngerti, keluarga kita kondisinya beda. Mengharapkan perubahan nggak akan mengubah apapun. Aku juga selalu berdoa setiap salat, kamu juga ya, jangan lupa doain ayah dan bunda.”
Nina menunggu jawaban sementara Fania tidak berniat buka mulut. Nina bangkit menuju dapur, mengambil sebuah mug besar dan sekotak susu bubuk coklat, memasukkan tiga sendok makan ke dalam mug kemudian menuangkan air termos sampai nyaris penuh. Fania memperhatikan ketika kakaknya mengambil sendok kecil untuk mengaduk susu, menambahkan sedikit air dari dispenser, kemudian kembali menempati tempat duduknya.
Fania memandang kedua mata kakaknya dalam-dalam, mencoba menelaah isi hatinya. Nina selalu terlihat lebih santai, lebih dewasa, ia selalu ingin tahu apakah jauh di lubuk hati kakaknya terdapat perasaan sedih yang sama seperti yang ia miliki.
“Kita benar-benar dituntut buat dewasa, de. Kita nggak bisa lagi tutup telinga dan beranggapan kalau semuanya akan baik-baik saja. Hidup ini bukan dongeng,” terangnya seraya mengangsurkan mug berisi susu cokelat dengan uap yang masih mengepul kepada adik bungsunya.
“Kehangatan yang bisa kamu dapatkan saat ini.”
Fania tersenyum tipis, menggumamkan ucapan terimakasih, kemudian mulai menyeruput minumannya. Hangat dan manis, seperti kehidupan yang selalu ia harapkan.
***
Secangkir Kopi Hangat Nan Malang
Oleh Ano Jumisa (@anojumisa)
Di tengah rintik gerimis pada suatu malam minggu tertuangkan kedalam sebuah cangkir putih kopi hitam nan pekat dalam paduan air jernih dingin dan panas dari sebuah mesin pengolah air bersih. Minuman hangat ini bak pengubah suhu malam itu yang cukup menggigil menjadi sedikit hangat dalam selimut gemelut awan nan tak tampak di langit nan kelam. Tegukan demi tegukan mampu membuat isi perut ini tersengat dalam hawa yang dibawanya.
Ditemani alunan musik klasik dari komposer klasik berkebangsaan Jerman, Mozart, mampu menyempurnakan suasana santai malam itu. Melodi kehidupan ibarat dilantunkan dalam irama melankolis malam itu. Setengah cangkir minuman hangat itu kini kembali hadir dihadapan bibir ini untuk sekedar menghadirkan kembali suasana nan syahdu.
Pikiran tak berujung terus berjalan tanpa haluan menjadi kenikmatan tersendiri dalam benak. Keriuhan di pagi hari sampai sore hari bak menjadi bunga sebuah pohon kehidupan yang berakar pada serabut kematian. Semua beban hilang sejenak hanya karena tegukan dari secangkir kopi hangat itu.
Tiba-tiba, “Pletak! Tring……”, cangkir itu terjatuh dari meja belajarku. Lantai kamar pun berserakan dengan sekumpulan air berwarna hitam kecoklatan disertai bubuk-bubuk halus kopi dikelilingi pecahan-pecahan cangkir porselen. Sesaat suasana gaduh terbesit dalam ruangan tiga kali empat meter itu. Kehangatan ibarat dinaikkan derajatnya dalam kedidihan. Panik, konsentrasi buyar, suasana panas seketika datang meleburkan kehangatan yang telah susah payah dihadirkan oleh secangkir kopi hangat itu.
Lantunan musik klasik dari Mozart tak mampu membalikkan suasana kembali seperti semula. Keriuhan itu terus bergejolak dalam hati menemani kepanikan.
Kenikmatan dunia sejenak hilang dari genggaman. Ketenangan yang dihadirkan dibuyarkan seketika hanya dengan jatuhnya secangkir kopi dengan setengah isinya yang awalnya menjadi sumber kedamaian hati di malam itu.
Gerimis pun semakin sedih dengan tangisannya yang terus beranjak deras. Niat hati ingin menikmati malam itu dengan sekumpulan candu kesyahduan yang tercipta dengan tidak sengaja dibalikkan seketika dengan tumpukan derita yang terselimuti dalam suasana nan riuh tak terkira hanya dalam sekejap mata.
Ano Jumisa
Jatinangor, 3 Oktober 2011
22.48 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)