Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Media Frenzy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media Frenzy. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Agustus 2010

Ya, Hangatnya Masih Terasa

Oleh: Petjinta Kajoemanis
http://cinnamome37.blogspot.com/2010/03/ya-hangatnya-masih-terasa.html

Perjumpaan itu hanya sesaat. Ya, semesta hanya mengijinkan beberapa menit saja untuk kamu dan dia bertegur sapa. Tapi apakah kamu masih bisa merasakan hangatnya?

"Hai." Tiga huruf pertama dari tiga jari menari di atas papan ketik.

"Hai," tarian berikutnya menyapa. Ah, sungguh tidak kreatif

Lalu kemudian muncul dua karakter yang membuat sebuah senyum simpul muncul di layar sana. Nun jauh di sana. Titik dua. Kurung tutup.

Lagi-lagi sapaannya dijawab dengan dua karakter yang sama. Tapi tunggu, ada muka yang muncul di sini, dari titik dua dan p kecil. Ah, dia mulai menggoda.

Kemudian muncul kembali titik dua, dua kurung tutup. Dia menertawakan kebodohan kamu dan dia. Sebentar, bukan kebodohan. Kekonyolan. Tapi kamu dan dia bahagia kan? Buktinya setelah itu ada derai tawa di ujung sini. Juga di ujung sana.

Setelah itu titik dua, huruf d kapital.

Setelah itu, muncul dilayarmu, "Aku kerja dulu ya."

Dibalas dengan barisan huruf di layar sana, "Jangan lupa makan ya."

Kemudian di layarmu muncul, "Baik-baik ya."

Dan tarian terakhir jari-jari ini berkata, "Kamu juga."

Hanya lima menit jari ini menari, tapi hangatnya menjalar hingga ujung-ujung kaki.

Ya, hangatnya masih terasa.

A Frenzy Internet User

Marcelita Rinda
http://sundaymorningwakeupearly.blogspot.com/

One day my mother came up to me bring me a magazine that ran an article “Keep Your Eyes on Your Children When Playing With Facebook” and she said, “carefull with the internet girl”. After reading the article, I continue to blame a very stupid teenagers in using the internet. Facebook, or other media is a facility provided by the internet to simplify our lives, not to cause us any trouble. And then i’m grateful for all the knowledge i have so i wouldnt be like them. And i think my mother didnt have to worry about my every day lives with the internet. I’m in a save zone.

This is the second year i wrote on my personal blog. I wrote about everything happened in my life, about everything i wish to happen in my life. Everything. Like by just reading my blog you certainly know who I am. So one day, i wrote about my boyfriend’s friend who used to have “a story” with him. I didnt mention her name or initials or whatever. I just wrote about her in one or two sentences. Thats it. Without any bad intentions, i just wanted to write what i feel about. Some time later, via Twitter, i read my boyfriend’s friend status updated who commented my blog. The point is, she didnt agree with what i wrote about her. Since i wasnt writing her name, which means it could be anyone, i dont accept her protest. And without thinking, i answered all her protest with temper. First, it was only a blog and comment from it readers, but it end up becoming a huge problem. She told him about what i wrote, and i told him about what she said about me. It was a huge cat fight. Seriously. My boyfriend mad at me, not because he takes her side, but because i responsed her. He said, if i was right by not mention her name or her initials, why i have to get mad too. And he said, i have to carefull with what i write or what i say, especially in internet world, because other people can read but from different prespective.

And he was right. I was a fool by doing such thing. Talking about other people and posting to the internet was a huge mistake. As we know, internet is a home without a door. Anyone can get into our home. Friends, lover, parents, teacher, enemies, even strangers. Internet is like the most powerfull signal in this world, once you push the send or post or tweet button, poof! It will appears every where. You dont know have to know me to know who I am, you just have to follow my twitter or read my personal blog or add me as your friend. Everything is very very easy but it is really dangerous. Once you make a mistake, every will know. Once you spread the word, right or wrong, the world will believe it. Scary right?

So this is me, which at first i think i was in a save zone because i didnt do what that teenagers done, but apparently i was wrong. I’m not that save. I found my self doing the same stupid things but with different names. I was also a frenzy internet user. Who feel smarter than other people because i think internet is my friend. But now, internet makes me lose a friend.

So now feel free to check your timeline, facebook status, or your blog. What are you? A frenzy internet user? Or are you already in a save zone?

Your choice.

Balada Gadget

oleh kembangbakung

http://www.lily4poems.wordpress.com


Fiuh! Gadget modern ini sedang idle... menanti sebuah pesan istimewa masuk. Bukan pesan tentang undian ratusan juta rupiah. Cuma sebuah teks sederhana, bahkan mungkin dalam jumlah hurufnya... namun pesan itu akan menentukan hidup penerimanya selamanya. Dan pastinya juga mempengaruhi kehidupan pengirimnya.


Tiba-tiba si gadget jadi penanti waktu
penghitung detik yang tak berkesudahan.
Jadi ikut resah menunggu jawab.
Dilanda kebosanan.

Bolak-balik si pemilik menggenggam dan menengok layarnya. Belum juga.
Sebentar animasi screen saver bergambar kapal layar bolak-balik
melintas...
kemudian lampu layarnya meredup, menyimpan tenaga.

Si gadget tahu, pemiliknya gelisah bukan main.
Ia tahu perasaan pemiliknya, apa yang dipikirkannya.
Beberapa kali ia ikut membaca pesan si pemiliknya
bercerita tentang kegelisahannya. Ia prihatin.

Tapi apa yang bisa dia lakukan.
Ia tidak berdaya mempercepat pesan balasan itu datang.

Ini adalah arena bermain jaring nasib.
Sebuah gadget, ciptaan manusia,
tidak punya tempat untuk campur tangan lagi kecuali menjembatani jarak.

Tapi tidak bisa mendahului sang takdir
ataupun berkonspirasi untuk membuat pemiliknya bahagia.

Selanjutnya, hanya sama-sama menanti...

Plintar Plintir A la Media‏

Oleh: Aditryan


http://catchyourbus.blogspot.com/


"... Presiden diminta segera menjelaskan apa yang tengah terjadi pada negara ini. Penjelasan Presiden dirasa penting agar masyarakat mengerti apa yang sedang dihadapi oleh negara tercinta ini." (Harian Bangsa, 22 Februari 2020)

Pemuda itu menutup koran yang tengah dibacanya. Ia sedang berada di bandara untuk menunggu pesawat. Ia lelah setelah bekerja seharian dan harus pulang malam ini juga. Sekarang, Ia lelah melihat berita tentang keburukan bangsa ini.

Setiap hari, media informasi selalu menceritakan tentang perkembangan kebobrokan negara. Iya, kalau kebobrokan, harusnya bukan perkembangan. Tapi memang sepertinya media melihat suatu kerusakan yang sedang berkembang di negeri ini.

"Tak adakah yang bagus di negara ini?" Pikir Si Pemuda dalam hati.

Tentu ada. Banyak yang bagus di negara ini. Negara kita kaya raya, sumber daya melimpah, anak-anak muda berprestasi, beberapa kebijakan pemerintah berhasil dengan baik, bahkan keadaan ekonomi kita stabil saat negara lain terkena krisis.

"Lalu kenapa selalu berita buruk yang muncul?" Gumamnya pelan.

"Bukan itu pertanyaanya. Seharusnya: "Apakah mau media memberitakan sesuatu yang baik?" Ujar suara dalam pikirannya.

Benar juga. Apakah media mau memberitakan sesuatu yang baik? Tentu saja mau. Mereka terkadang juga memberikan berita yang baik, kecuali tentang pemerintah. Kenapa? Karena berita pemerintahan baik tidak menarik minat pembaca.

Apakah media harus berbohong?

"Bohong itu dosa, tidak mungkin mereka berbohong demi menjelek-jelekkan pemerintah." Pikirnya polos.

Jadi pemerintah memang jelek? Tidak juga contoh-contoh berita baik di atas juga menggambarkan bahwa pemerintahan yg sekarang tidaklah lebih buruk dari yang lalu. Sekarang lebih baik.

"Jadi, kalau pemerintah tidak buruk dan media tidak bohong, apa yang salah?"

Ia tidak menjawab lagi pertanyaannya sendiri. Ia terpaku pada layar televisi di atasnya.

"... Saya ingin menjelaskan bahwa negeri ini sedang menghadapi hal yang rumit. Sulit untuk keluar dari kesulitan ini tanpa bersama-sama membangun bangsa..." (Presiden, Konferensi Pers, 22 Februari 2020)

"Ahh.. Akhirnya Presiden menjelaskan apa yang tengah terjadi pada bangsa ini." Pikirnya lega. "Mungkin Presiden berbicara seperti ini untuk menjawab pernyataan berita dari Harian Bangsa yang tadi dibaca. Berarti Presiden telah melakukan hal yang tepat. Salah satu berita baik yang layak diketahui orang banyak."

Presiden adalah orang yang sulit untuk dimintai keterangan. Beliau pasti sibuk mengurus hajat hidup orang banyak. Media telah melakukan salah satu fungsinya: Meminta klarifikasi pihak-pihak penting.

"Setelah ini, mungkin tak akan ada lagi berita miring tentang pemerintah. Toh pihak yang diminta menjelaska sudah menjelaskan dengan baik." Katanya dalam hati.

"... Presiden tidak boleh curhat. Dia itu pemimpin. Masa curhat terus? ... " (Pengamat Politik, Setelah Konferensi Pers, 22 Februari 2020)

Pemuda itu terperanjat. Ia kira media akan puas dengan penjelasan Presiden. Konferensi pers tadi jelas telah menjawab seluruh pertanyaan publik. "Lalu kurang apa? Kenapa menjelaskan sesuatu malah dibilang curhat?"

Ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan dalam benaknya itu. Ia melihat jam, beranjak dari tempat duduknya dan mulai berjalan menuju terminal keberangkatan.

"Media. Memang jago plintar plintir berita. Gila." Gumamnya sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum.



Bandung, 15 Agustus 2010. 11.37 PM

Telur Busuk Yang Menetas‏

Oleh: Bambang Heru Sulaksono (@captainheru)

http://herusulaksono.blogspot.com



Sedan mercedez-benz warna hitam metalik berhenti persis di depan pintu masuk gedung bundar. Dari pintu belakang mobil berplat nomer B 77 OKE itu keluar seorang pria berjas coklat berumur sekitar 50 tahunan. Sepasang kakinya yg dibalut sepatu kulit merek ternama bergantian untuk membawa badan gemuk pria itu sampai ke dalam gedung.

Tiba-tiba....



Plokk!


Sebutir telur busuk pecah setelah mengenai kepala bagian belakang pria tersebut. Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mungkin hari ini akan menjadi awal dari hari-hari yang tidak akan mau dia ulang.

“Makan telur busuk itu Priyo, sama busuknya dgn kelakukanmu memakan uang kami!”. Suara teriakan dan lemparan telur tadi seolah memberi komando barisan pengamanan untuk bergerak memburuku ke segala penjuru.

“Lari Di..Lari!!”, dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi, Hambran menyuruhku untuk lari.

Sial, belum genap lima jari dari hitungan langkah seribu yg kuambil, jaket almamater berwarna kuning yang aku pakai di tarik oleh salah satu petugas.

Bruk! Pantatku yg dilapis celana jeans belel mendarat tepat di aspal yg siang itu kompak dengan matahari, panas!.

Dan petugas pengamanan yg tadi sempat menarik jaketku pun seolah ikut kompak terjatuh denganku, siang yg sial baginya.

Aku lalu berdiri dan mengambil sisa hitungan langkah seribuku menuju ke sebuah gang sempit di seberang gedung.

“huff... nyaris saja”, kataku pelan sambil berusaha sedikit demi sedikit mengambil oksigen bercampur asap yang disediakan oleh Jakarta.

“hah..hah... gila lu Di.”, sahut Hambran yang duduk tersandar di dekat parit.

“Gila mana sama koruptor tadi Bran, 100 milyar duit negara dimakan sama dia, tokai lah!”, kataku kesal.

“Gue balik Di, capek bgt.”, pamit Hambran sambil membersihkan kotoran sisa banjir semalam yg menempel di dekat parit tempat ia terduduk tadi.

“Oke, thanks ya Bran, Kalo ga ada lu bisa habis gue sama petugas tadi”, kataku sambil menepuk bahu Hambran

**

“Assalamualaikum..”

“Wa’alaikumsalam, loh kamu jam segini kok sudah pulang Di. Kamu demo lagi ya?”, tanya Ibu yang menyambutku di ruang tamu.

“Iya Bu”, jawabku pelan sambil meletakkan badanku di sofa yang baru sebulan ini dibeli Bapak

“Jaketmu kenapa kok sobek, pasti ribut lagi sama petugas ya. Sudah Ibu kasi tau berulang-ulang, tapi kamu tetep ngeyel. Ngapain sih kamu ikut demo-demo begitu, urusan kayak gitu itu sudah ada yg mengurus. Kamu itu tugasnya belajar Di, kalo kamu ikut demo-demo gitu mau jadi apa. Bisa-bisa gantian kamu yg di demo nanti. Mana sini jaketmu, biar ibu jahit”, pinta ibu dengan sedikit kesal.

Lalu aku berikan jaket almamater yg lusuh dan sobek di bagian tangan akibat tarikan petugas tadi.

“Tapi Bu, orang-orang yg korupsi itu benar-benar bikin aku kesal Bu. Seenaknya saja mereka ambil uang rakyat untuk kepentingan mereka. Trus, kasusnya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. Bayangkan deh kalau uang Ibu dicuri trus pencurinya bebas berkeliaran begitu saja.”, jelasku

“Sudah, kamu mandi sana terus makan”, perintah Ibu.

“Ya Bu”, jawabku pelan sambil melangkah menuju kamar.

**

Malam harinya ...

“Bapak belum pulang Bu?”, tanyaku

“Belum, tadi siang Bapak ngasi kabar kalau ada pekerjaan yg harus dia selesaikan di kantor.”, jawab Ibu sambil menjahit jaket almamaterku yang robek tadi siang.

**

Keesokan harinya di kantin kampus

Bruk!.

Segulung koran terbitan pagi ini mendarat tepat di atas kemaluanku.

“Eh, apa ini Bran?”, tanyaku sambil membuka gulungan koran tersebut

“Lu baca aja deh”, jawab Hambran sambil mengambil posisi duduk di depanku dan menyalakan sebatang rokok ketengan yg barusan ia beli.

Sepasang mataku bergerak dari atas kebawah membaca halaman depan koran tersebut.

Tampak foto seorang pria yg kemarin aku lempar dgn telur busuk. Aku tersenyum melihat foto di halaman depan koran tersebut, Pria itu nampak lebih gagah dengan jas bermereknya yg tercampur dgn kuning telur.

Sampai di berita bagian bawah, senyumku tiba-tiba pudar.

Ada foto seorang pria yang menjadi tersangka korupsi.

Wajah pria yg ada di foto tersebut sangat mirip denganku.

“Sudah kau lihat berita yg dibawah itu Di?, tanya Hambran.

Aku terdiam, mataku terus tertuju ke foto di halaman depan koran tersebut.

“Sekarang, aku tanya sama kau Di. Siapa yang kamu bela, siapa yang lebih kamu cintai. Negara ini, atau ... orang ini”, tanya Hambran sambil menunjuk ke foto di koran tadi.

Aku tak menjawab.

Hambran lalu berdiri sambil membuang puntung rokok yang sudah ia hisap separuh, lalu kemudian menginjak puntung rokok tersebut.

“Maaf Di, kali ini aku tidak bisa membantumu. Sekarang kamu pikirkanlah, apa kamu mau membela orang ini, ayahmu sendiri”, lanjut Hambran sambil menunjuk foto itu lagi lalu kemudian pergi berlalu.

Hatiku berkecamuk.

Sepertinya telur busuk yang aku lempar kemarin akan kembali kepadaku.

**