Oleh: @TengkuAR
TEEETTT!
Bel istirahat berbunyi.
“Malesnya karena hari ini ada pelajaran kesenian setelah jam istirahat nanti. Sebegitu pentingnya pelajaran ini sampai harus ada di kurikulum kesenian. Memangnya nanti kita mau buka toko jahit? Apalagi terlalu mengada-ada untuk sekolah menengah umum ini. Harusnya pelajaran ini kan adanya di sekolah kejuruan. Ah! Menyebalkan.”, keluhku dalam hati saat memasukkan buku dan bersiap untuk istirahat.
Tiba-tiba…
“Eh Li, loe udah bawa keperluan buat kesenian nanti?”, tanya Ayi, teman sebangku sambil menuju keluar kelas untuk ke kantin.
“Bawalah dan benar-benar bikin tas gue berat tahu nggak! Bete banget!”, aku menunjukan amarah.
“Nyantai dong Li, toh juga cuma sejam kan tuh pelajaran. Semoga nanti kita satu kelompok ya!”
“Kelompok? Memang bakal dibuat kelompok?”
“Katanya sih gitu. Udah yuk ah kita ke kantin daripada kehabisan makanan.”
Aku dan Ayi pun meluncur dengan gesit ke kantin tanpa memedulikan tentang pelajaran kesenian nanti akan seperti apa.
***
TEEETTT!
Tanda bahwa istirahat telah berakhir.
“Inilah saatnya.”, pikirku
“Selamat pagi menjelang siang anak-anak. Nah! Ibu sekarang akan membagikan kalian ke dalam kelompok karena hari ini kita masuk Bab 4 tentang pelajaran jenis-jenis tusuk dalam menjahit. Ingatkan kalian sudah Ibu minta untuk membawa peralatannya.”, suara Ibu Ira terdengar sangat antusias untuk mengajarkan pelajaran jenis-jenis tusuk ini.
“Lia, Lukman, Lardo dan Lisa. Kalian satu kelompok ya.”, akhirnya namaku disebut sesuai dengan urutan abjad.
“Tapi, siapa yang sekelompok sama gue tadi? Lukman? Apa gue nggak salah dengar? Lukman? Ah! Ternyata benar karena tiba-tiba Lisa menarik tangan gue buat duduk di tempat yang sudah disediain sama Lardo.”, lagi-lagi aku berkata dalam hati.
Lukman memang bukan yipe cowok favorit di sekolah atau bahkan di kelas. Tapi sejujurnya aku telah suka padanya dari kelas satu lalu, saat hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS). Dia berpostur tubuh tinggi, berkulit cokelat dan memakai kacamata.
Entah rasa dari mana, aku tiba-tiba suka begitu saja. Dan baru kali ini aku sekelas dengannya. Rasa ini sengaja kusimpan karena memang aku tak ingin ada orang yang tahu karena aku takut menjadi ejekan anak-anak di kelas. Hanya aku saja yang cukup merasakannya.
Lalu, Ibu Ira pun lanjut menerangkan tentang jenis-jenis tusukan dan mempraktekkan bagaimana caranya untuk melakukan tusukan-tusukan itu.
“Haduh gue nggak bawa jarumnya lagi nih. Gue lupa, semalam soalnya baru balik dari rumah sakit jam sebelas malam.”, tiba-tiba Lukman bersuara dengan muka panik.
“Loe nggak bawa? Di sini ada yang bawa jarum cadangan nggak, ladies?”, Lardo coba membantu temannya itu.
“Yah, gue nggak ada Do. Lia kali tuh punya.”, balas Lisa.
“Sebentar, kayaknya sih gue ada deh. Semoga aja ada. Nah! Ini dia ketemu. Nih Man jarumnya.”, aku berusaha mencari ke dalam dompet kecil tempat peralatan jahit yang semalam sudah kusiapkan.
“Thanks ya Li.”, ucap Lukman dengan disuguhi senyum termanisnya.
Saat itu aku merasa waktu berjalan lambat. Lukman, pria yang kukagumi dan akhirnya aku bisa saling menyapa karena selama ini aku yakin kita hanya saling tahu nama dan muka masing-masing. Aku seolah sedang menaiki balon terbang dengan bantuan rasa yang kupunya untuk bisa terbang. Indah.
***
TEEETTT!!!
Bel pulang sekolah pun berbunyi.
Kemudian…
“Li ini jarumnya. Thanks ya. Sorry jadi ngerepotin loe.”, seperti bayangan, Lukman sudah berada di depan mejaku saat ku sedang merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Oh iya, sama-sama.”, balasku berusaha untuk tidak kelihatan gugup.
“By The Way, pulang sama siapa?”
“Hmm… naik angkot.”
“Oh, Okay! Sekali lagi thanks ya Li.”
Dan aku hanya membalas dengan tersenyum.
“Tuhan! Akhirnya. Ak-hir-nya! Ini udah lama gue mau. Meskipun hanya sekedar obrolan sesaat. Tapi setidaknya gue bisa ngobrol. Terima kasih Tuhan! Dan terima kasih kepada penemu Jarum, mungkin ini terlalu berlebihan tapi kalau bukan karena jarum, gue nggak akan bisa ngobrol-ngobrol kayak tadi.”
Mulai dari hari ini aku tak sabar untuk setiap pelajaran kesenian.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label jarum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jarum. Tampilkan semua postingan
Selasa, 08 November 2011
Jarum, dan Benang Merah Antara Kau dan Aku
oleh : @meiizt
Kuaduk kenangan sampai kutub selatan diantara kita terbentuk.
Aku mengerling melewati pucuk-pucuk cemara, menyeka setiap salju yang menghalang mata.
Mencari bayanganmu, mengorek-ngorek lagi ingatan tentangmu. Kamu.
Ya, Kamu.
Aku begitu mencintaimu, tapi aku tak mengenalmu!
Kugali tumpukan air beku, udara beku, wajah beku, senyuman beku, memori beku.
Kuketuk-ketuk simpul beku yang melilit otakku. Mencarimu.
Mencari jarum beku yang menyimpan benang merah antara kau dan aku.
Semua beku mengaburkan tentangmu.
Begitu beku menyimpanmu rapat-rapat dari ujung indraku.
Kuaduk kenangan sampai persawahan diantara kita terbentang.
Kukocar-kacir jerami dalam gudang mencari jarum, yang mengait benang merahku dengan benang merahmu.
Tak ketemu.
Hanya kutemu kering-kering jerami yang mengejekku, menyembunyikanmu.
Hanya kutemu repih-repih lumpur sepi, mereka tak tahu dimana kamu!
Hanya kutemu bangkai serangga yang hanya tergolek tak peduli kehilanganku, kehilanganmu.
Mencari, aku menanyai tiap yang kering dan basah.
Mencari, aku menanyai tiap yang nafas dan yang bekas.
Aku mencintaimu, tapi aku bahkan tak mengingatmu!
Kuaduk kenangan sampai galaktika diantara kita mengembang.
Kujelajah Saturnus untuk mencari jarum diantara cincin-cincinnya.
Kuterobos Jupiter andaikata badai menyembunyikannya dari mataku.
Tak ada, tak ada, jarum berbenang merah.
Jarum pengait benang merah takdirmu dan takdirku.
Ah, tajam, tajam! Andromeda menghujaniku berbagai perasaan yang tajam.
Kehilangan.
Kamu.
Kahilangan bagai jarum menusukku hingga jantung,
Jantungku yang terus bertahan berdetak demi mencari jarum.
Jarum.
Pengikat kau dan aku.
ada dimana?
...
...
Ah, ketemu.
Jarum. Ada di dia. Di kakinya. Dihancurkannya.
Kekasihmu.
Memungut jarum dan benang merah yang mengikat aku dan kau dan menginjaknya sampai berkeping.
Sampai menjelma debu.
Abu.
Kuaduk kenangan sampai kutub selatan diantara kita terbentuk.
Aku mengerling melewati pucuk-pucuk cemara, menyeka setiap salju yang menghalang mata.
Mencari bayanganmu, mengorek-ngorek lagi ingatan tentangmu. Kamu.
Ya, Kamu.
Aku begitu mencintaimu, tapi aku tak mengenalmu!
Kugali tumpukan air beku, udara beku, wajah beku, senyuman beku, memori beku.
Kuketuk-ketuk simpul beku yang melilit otakku. Mencarimu.
Mencari jarum beku yang menyimpan benang merah antara kau dan aku.
Semua beku mengaburkan tentangmu.
Begitu beku menyimpanmu rapat-rapat dari ujung indraku.
Kuaduk kenangan sampai persawahan diantara kita terbentang.
Kukocar-kacir jerami dalam gudang mencari jarum, yang mengait benang merahku dengan benang merahmu.
Tak ketemu.
Hanya kutemu kering-kering jerami yang mengejekku, menyembunyikanmu.
Hanya kutemu repih-repih lumpur sepi, mereka tak tahu dimana kamu!
Hanya kutemu bangkai serangga yang hanya tergolek tak peduli kehilanganku, kehilanganmu.
Mencari, aku menanyai tiap yang kering dan basah.
Mencari, aku menanyai tiap yang nafas dan yang bekas.
Aku mencintaimu, tapi aku bahkan tak mengingatmu!
Kuaduk kenangan sampai galaktika diantara kita mengembang.
Kujelajah Saturnus untuk mencari jarum diantara cincin-cincinnya.
Kuterobos Jupiter andaikata badai menyembunyikannya dari mataku.
Tak ada, tak ada, jarum berbenang merah.
Jarum pengait benang merah takdirmu dan takdirku.
Ah, tajam, tajam! Andromeda menghujaniku berbagai perasaan yang tajam.
Kehilangan.
Kamu.
Kahilangan bagai jarum menusukku hingga jantung,
Jantungku yang terus bertahan berdetak demi mencari jarum.
Jarum.
Pengikat kau dan aku.
ada dimana?
...
...
Ah, ketemu.
Jarum. Ada di dia. Di kakinya. Dihancurkannya.
Kekasihmu.
Memungut jarum dan benang merah yang mengikat aku dan kau dan menginjaknya sampai berkeping.
Sampai menjelma debu.
Abu.
Langganan:
Postingan (Atom)