Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label sakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sakit. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 November 2011

Kebal

Oleh: @iffagitha




Aku sedang jatuh cinta pada dia yang tak tergapai. Tak apa, yang penting aku bahagia. Bahagia dapat memandanginya dari kejauhan serta mencuri kesempatan untuk berpapasan denganya. Ya , hanya berpapasan tidak untuk bertegur sapa dengannya karena aku tak punya nyali.

Senyuman tak pernah luput dari bibirku kala aku memandangnya. Apalagi jika dirinya tak sengaja melirik kearah ku seolah mata kami bertemu, hatiku sangat berlonjak gembira. Tak heran beberapa temanku berpendapat aku agak sinting. Aku tak peduli, karena aku sedang jatuh cinta.

“hati-hati, jangan berharap terlalu tinggi. Kalo jatoh sakit” ujar salah seorang temanku.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang salah dengan perkataan temanku. Dia benar, 100% benar. Namun lagi-lagi aku tak peduli. Bukan karena aku sedang jatuh cinta, namun aku memang tak peduli dengan rasa sakit.

Sakit. Taukah kamu seberapa seringnya dirimu mendatangiku? Menyuramkan hari indahku, mengundang air mata untuk singgah dipelupuk mataku. Tidak pernahkah dirimu merasa bosan? Mengusir sang senyum dan membiarkan diriku ditemani oleh tangis.

Aku sudah bosan denganmu, wahai rasa sakit. Aku tidak peduli lagi bagaimana kamu akan datang. Aku tak peduli berapa lama lagi waktuku dengan sang senyum. Aku tahu dan sangat tahu kamu pasti akan datang dengan membawa airmata, entah seberapa derasnya air yang kali ini akan kamu turunkan darimataku.

Namun, sekali lagi aku tidak peduli. Karna aku sudah kebal.

Kanker

Oleh: @misusatriyo
misusatriyo.blogspot.com
misusatriyo.tumblr.com





Aku terbangun di tengah derasnya hujan yang menerpa wajahku. Terdengar sayup suara anak - anak yang kegirangan. Aku berusaha memusatkan pendengaranku pada mereka. Kudengar dentingan piano mengalun merdu di kejauhan. Terkadang lembut, namun sesekali menghentak kencang. Sungguh indah.



Aku mencoba berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak di halaman. Tanganku membeku dan kaku. Tubuhku terasa remuk. Langkah kakiku sangat sulit kukendalikan. Aku terus berjalan dipayungi langit berbintang yang teduh. Kulihat kedua anak laki - laki itu sedang bermain hujan. Wajah mereka terlihat sangat riang. Aku ingin sekali ikut bermain, namun wajahku tak segirang mereka. Sebaiknya aku urungkan saja niatanku itu. Aku tidak mau menghancurkan kesenangan mereka berdua. Aku berjalan melewati mereka.



Aku sampai tak jauh dari sebuah rumah tua yang terlihat sangat cantik. Alunan musik terdengar semakin jelas. Nada - nada penuh irama mengalun di kepalaku. Aku terus berjalan menuju rumah tua itu. Pintunya sedikit terbuka. Gelap. Kemudian aku melangkah masuk. Kali ini sudah tak kehujanan lagi.



Aku terus berjalan dituntun alunan piano. Di depanku terlihat sebuah pintu. Disana terdapat cahaya merembes keluar dari celah – celah pintu. Remang. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Sampailah aku pada seorang gadis kecil yang sangat manis. Sang pemain piano. Gadis itupun terus memainkan pianonya tanpa menghiraukan aku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. seperti malaikat kecil yang bersinar. Akhirnya aku dapat tersenyum kembali.



Di sini terasa sangat hangat. Tubuhku sudah tidak kaku lagi. Dan gadis itupun terus memainkan pianonya. Sangat merdu. Terkadang nadanya menjadi sangat tinggi dan beberapa saat kemudian kembali merendah dalam sekejap. Sesekali gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas, seakan berbicara dengan Tuhan. Aku duduk disebelah gadis itu. Namun perhatiannya terus tertuju pada jari jemari lentiknya, memainkan nada - nada surga.



Aku melihat ke altar di balik pianonya. Terlihat foto seseorang yang dibingkai amat sangat indah. Dikelilingi bunga - bunga yang berwarna - warni. Diterangi cahaya lilin remang - remang, aku mengenali foto orang itu. Tidak salah lagi, itu aku. Siapa anak ini? Dimana aku? Dan kulihat di bawah fotoku itu terdapat karangan bunga yang membentuk sebuah kalimat. aku dapat membacanya dengan sangat jelas:



"Istirahatlah dengan tenang, ayah."

Aku, Dan Perawat ICU

Oleh: Firah Aziz (@firah_39)
firahaziz.wordpress.com


Ini kali ketiga aku berada di ruang ICU. Aku mulai terbiasa dengan bau obatnya, teriakan-teriakan keluarga yang kehilangan anggotanya atau jerit kesakitan pasien. Pemandangannya pun sudah aku hafal dengan baik, perawat-perawat berpakaian putih,dokter berpakaian jaga..ah semuanya menjadi biasa bagiku.

Kamar isolasi ini juga mulai menjadi kamar keduaku. Terpisah dari pasien lain karena penyakitku merupakan penyakit autoimun, yang berarti tubuhku sendiri lah yang membuatku sakit. Dokter bilang nama penyakitku Myasthenia gravis, penyakit dimana otot-ototku lumpuh karena antibodi yang aku miliki menghambat ototku untuk bergerak normal.

Mengapa harus aku yang mengalami sakit ini? Di saat aku mulai menyukai kegiatanku sebagai atlet, penyakit ini menyerangku. Kenapa hidup ini terasa tidak adil? Aku mulai membenci keadaan ini dan menyalahkan takdir.

"Hey, apa kabarmu hari ini?" Seorang perawat menghampiri tempatku terbaring. Penampilannya simpatik, seulas senyum merekah di bibirnya. Membuatku mau tak mau berusaha membalasnya.

Dia memang selalu menemaniku ketika keluargaku sedang beristirahat dan tidak ada yang menemaniku. Setiap kali aku masuk ICU, pasti dia menyempatkan diri untuk menyapaku.

"Tidak ada yang berubah. Aku masih terbaring di sini. Terjebak dengan ketidakberdayaanku."

"Jangan menyesali keadaanmu. Semua yang terjadi pada diri kita memiliki alasan. Ini hanya salah satu bentuk cobaan kehidupan, kamu harus kuat." Suaranya menenteramkan. Hingga aku lupa untuk terus mengutuk ketidak adilan hidup ini.

"Sebenarnya apa tugasmu? Aku tidak pernah melihatmu melakukan tugas seperti perawat lain." Akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya.

"Tugasku hanya membawa orang-orang yang dinyatakan siap untuk keluar dari ruangan ini. Aku membawa mereka ke tempat yang lebih nyaman."

"Kapan kau akan membawaku pergi keluar? Aku sudah muak terkurung di tempat ini."

"Tidak sekarang. Nanti saat kamu telah cukup kuat, aku akan mengajakmu pergi. Sekarang minum obatmu dan berusalah untuk berhenti menyalahkan apa yang terjadi pada dirimu."

Setelah membantuku meminum obat, perawat itu pergi keluar ruangan. Aku masih memikirkan apa yang dia katakan tadi. Apa benar semuanya terjadi karena alasan tertentu? Apa benar ini cobaan yang harus aku taklukkan? Aku terus memikirkannya hingga efek obat yang ku minum bekerja. Aku jatuh terlelap.

Di mimpiku, aku bertemu lagi dengan perawat yang tadi.

"Tuhan adalah penulis skenario yang terbaik. Jangan pertanyakan apa yang telah ditetapkan-Nya untuk umat-Nya. Jalani saja dan suatu saat kamu akan mengerti apa arti dari semua yang terjadi kepadamu."

°°°°°°°°°°°

Aku masuk ICU lagi. Kali ini keadaanku makin parah. Otot-otot pernafasanku mulai melemah. Karena itulah mereka membawaku ke sini lagi. Untuk mendapatkan cuci plasma. Mereka mencuci plasma darahku dari antibodi yang terlalu banyak bekerja sehingga otot-ototku melemah dan kaku.Selain otot wajahku yang menjadi kaku, tubuhku juga mulai lumpuh.
"Hey kita bertemu lagi." Perawat itu mencoba menghiburku.

Aku hanya terdiam. Nampaknya aku tidak akan pernah dibawanya keluar dari kamar ini. Kondisiku semakin lama semakin memburuk.

"Tidak, kau pasti akan keluar dari kamar ini. Jangan patah semangat begitu."

Hey bagaimana kau bisa membaca pikiranku? Padahal wajahku sekalipun tidak dapat berekspresi.

"Entahlah. Terlalu lama di sini membuatku memiliki kelebihan. Aku bisa membaca pikiran orang." Jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Kau fikir aku akan keluar dari ruangan ini?

"Tentu. Bukankah aku sudah bilang. Ketika kau sudah siap pasti aku akan membawamu."

Yah aku tahu. Aku sudah terlalu lama merepotkan keluargaku. Seandainya aku matipun aku siap. Setidaknya aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku,bukan?

"Ya. Inti dari hidup ini memang untuk menjadi ikhlas atas ketetapan Tuhan. Aku rasa begitu."

Aku mencoba tersenyum. Lalu aku bertanya kembali. Pasti setiap orang yang kau bawa pergi selalu senang ya?

Dia tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. "Anehnya, justru masih saja ada orang yang tidak mau keluar. Aku rasa mereka takut akan tempat baru. Beberapa diantara mereka malah harus aku ikat karena terus meronta-ronta."

Aneh sekali. Padahal mereka akan menuju tempat yang lebih menyenangkan.

"Cepatlah sembuh, maka kau akan aku bawa ke sana."

Aku mengiyakan dalam hati dan tertidur. Kali ini aku tertidur agak lama. Mungkin pengaruh obat.

Keesokan harinya aku terbangun saat suara gaduh muncul di sekitarku. Aku melihat sekeliling, dokter dan perawat tampak sibuk di dekatku. Aku bisa melihat kepanikan di wajah mereka. Salah seorang perawat menyuntikkan obat bius ke lenganku dan aku kembali terlelap tidak sadarkan diri.

"Akhirnya kamu siuman juga." Suara itu tidak asing bagiku.

Aku mencoba berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.

"Beberapa hari yang lalu kondisimu memburuk."

Tidak, berarti aku tidak akan bisa keluar dari tempat ini secepatnya.

"Waktu untukmu meninggalkan tempat ini akan tiba."

Aku tersenyum. Kali ini wajahku sudah tidak terlalu kaku.

Perawat itu menatap jam dinding di kamarku. "Baiklah, waktunya telah tiba. Pegang tanganku, aku kan membawamu pergi dari sini."

Bagaimana mungkin aku bisa pergi dari sini. Bergerak saja aku sama sekali tidak bisa. Mana mungkin aku bisa dipindahkan. Setidaknya kau harus membawaku dengan kursi roda.

"Percaya padaku. Sekarang bangunlah dan cobalah untuk berjalan. Aku akan membantumu." Dia menggenggam tanganku dan membantu aku bangun.

Dengan ragu-ragu aku mencoba untuk kemudian berjalan. Ajaib, aku bisa berjalan seperti dulu. Aku hampir saja melompat kegirangan. Tapi aku tahan. Hanya tersenyum lebar.

Dia tersenyum dan terus menggenggam tanganku sementara aku berjalan di sampingnya.

"Tidak buruk kan untuk menunggu sampai waktunya tiba? Aku senang kamu juga tidak lagi mempertanyakan takdir. Aku yakin kamu sekarang mengerti maksud dari apa yang dulu aku katakan kepadamu."

Aku mengangguk dan tersenyum.

Tiba-tiba aku sadari kegaduhan di lorong rumah sakit ini. Beberapa perawat berlari menuju ruangan tempatku tadi. Aku kemudian berbalik dan melihat. Aku melihat sesosok tubuh yang sangat mirip denganku terbaring di ranjangku.

Aku bertanya pada perawat yang membawaku. Sedikit-sedikit aku mulai paham.

"Siapa namamu? Kau belum pernah memperkenalkan namamu padaku."

Dia menjawab singkat, "Izrail."

Dia Menertawakanku

oleh; @faizalegi

Dengan mendongakkan dagu aku datangi rumah itu, rumah dimana 2 bulan ini aku mendapatkan ribuan cambukan, ratusan tusukan, dan jutaan siksaan yang lain. Mungkin seharusnya aku sudah mati dengan menerima semua itu, tapi entah mengapa aku masih berdiri disini, di dunia ini, dan tetap merasakan sakit duniawi. Ku busungkan dadaku, ku dongakkan kepalaku, dan ku hirup sebanyak mungkin oksigen untuk mendukungku sebelum aku melangkahkan kaki ke rumah itu. Aku yakin, kali ini aku kuat, aku tidak akan tersakiti dengan apapun yang bersemayam di dalam rumah itu. IYA! AKU YAKIN TENTANG INI! TIDAK ADA SESUATU ATAU SEORANGPUN YANG DAPAT MENYAKITIKU! TIDAK LAGI SEKARANG!



Kulangkahkan kaki di pelatarannya, aku tersenyum, pelataran gersang yang hanya terhampar bara panas ini tak lagi menyakitiku meskipun kaki telanjangku berpijak padanya. Perkiraanku benar, aku sekarang kuat! Kuhampiri satu - satunya pintu untuk memasuki rumah itu. Pintu berwarna merah darah, pintu yang sebelumnya setiap aku melihatnya air mataku otomatis langsung menetes. Tapi kali ini beda, mataku tetap kering. Aku semakin yakin bahwa aku benar - benar kuat untuk menghadapinya! Kumantapkan hati dan kupegang pegangan pintu itu, kuputar, kemudian kudorong perlahan ke dalam.



Sesuatu berhembus dari dalam, bukan angin! Aku tau pasti ini bukan angin, ini kebalikan dari angin. Jika angin membelai dengan kesegarannya, maka hal ini menawarkan kesengsaraan, kesengsaraan yang menyentuh setiap mili dari apapun yang dilewatinya. Aku kehabisan nafas, dadaku sesak, oksigen yang tadi kusimpan sebanyak mungkin dalam rongga paru - paruku mendadak lenyap. Kakilu lemas, setiap tulang di tubuhku seperti dicabut secara paksa. Otakku ngilu serasa diremas - remas dan dicabik - cabik tangan raksasa. Entah malaikat atau iblis mana yang tega melakukan ini padaku. Sakiiiitttttttttttttttt...!!!!!



Aku tersungkur tak berdaya, perlahan tubuhku terseret ke dalam rumah itu. Tubuhku bergesekan dengan lantainya yang terbuat dari berbagai bentuk dan ukuran pecahan kaca."Selesai...", pikirku. Sekali lagi aku terperangkap di dalam rumah ini. Seperti yang lalu, aku disambut dengan teriakan dan cemoohan orang - orang yang lebih kuat dariku, lebih kuat sehingga mampu mengalahkan perasaannya dan sanggup membunuh apa yang disebut "CINTA".



Lalu, dari kerumunan itu seseorang mendekat padaku. Seseorang dengan wajah bersinar yang menyiratkan betapa bahagianya dia sekarang, kemudian dia berkata padaku "Lihatlah padaku, aku meninggalkanmu jauh di belakangku. Kamu tidak pernah berhasil menyamai langkahku dalam hal apapun, KARENA KAMU LEMAH!". Lalu dia kembali ke dalam kerumunan itu dan tertawa bersama mereka. Sakit rasanya dikatai seperti itu, terlebih jika yang mengucapkannya adalah orang yang 5 tahun belakangan hidup bersamaku di dalam rumah ini sebelum rumah ini berubah seperti sekarang, seseorang yang karena dia aku rela menjadi lemah dan bodoh.

Sekali Ibu Sampai Kapan Pun Kau Tetap Ibu

Oleh: Hana Arintya



Apakah Ibu tiri harus selalu jahat? Entahlah. Waktu aku kecil dan membaca dongeng Cinderella Ibu tiri adalah sosok yang jahat itu tapi kan dongeng buatan luar negeri. Tapi, dalam negeri pun ada dongeng serupa berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih. Hmm, tapi itu kan dulu. Bagaimana kalau ternyata kebalikannya justru Ibu tiriku wanita yang baik dan Ibu kandungku malah sebaliknya? Entahlah tapi ini sepenggal kisahku.

Jadi sebut saja namaku Bunga. Well, nama yang terdengar pasaran. Tapi ku harap kisahku nggak terlalu pasaran. Hmm jadi bagaimana biar aku mulai saja dari bagian ketika masa kanak-kanakku. Aku anak tunggal. Ayahku dia tadinya lelaki yang baik. Hmm sepertinya sih begitu. Oh iya sebelum menikahi Ibuku sebelumnya dia sempat menikahi wanita lain. Jadi bisa dibilang Ibuku istri ke-2. Ayahku tidak terlalu kaya, tapi rasanya juga tidak terlalu miskin. Ya, kehidupanku berkecukupan. Menurutku sih begitu. Cukuplah buat makan 3 kali sehari. Cukuplah untuk aku memiliki pakaian yang pantas.

Entah bagaimana ceritanya sepertinya Ayah keranjingan video dewasa yang berbahaya. Soalnya aku sering mendengar suara Ibu berteriak seakan menahan sakit. Mendengarnya saja aku sudah rasanya tidak sanggup apalagi membayangkannya. Kalau mama tidak ingin menuruti permintaan papa, papa tidak akan segan-segan main fisik. Rasanya mamaku tak ubahnya binatang. Tapi, Mama terlalu sayang dengan papa. Mama terlalu cinta dengan papa lagipula posisi mama yang hanya Ibu rumah tangga membuat mama nggak punya daya upaya apa – apa kalau papa berlepas tangan dari pembiayaan terhadap aku dan mama.

Tiba- tiba saja papa meninggalkanku dan mama. Mama yang stress menyiksa dirinya dengan merokok dan mencoba melukai dirinya dengan apapun itu cara yang terbersit dibenaknya. Sepertinya rasa sakit yang telah papa tanamkan seolah-olah menjadi kebiasaan untuk mamaku. Aku pernah mendekat atau menghampiri ingin mencoba menolong tapi mama yang sudah gelap mata malah memberiku hadiah luka sudutan rokok. Melihat aku menangis dan ketakutan mamaku yang telah gelap mata seakan-akan puas menjadikan ketidakberdayaanku sebagai objek hiburannya.

“Mama.... sakit.... sakit,ma. Apa salah Bunga mama?”

“Nangis aja yang keras. Teriak aja yang keras. Hahaha.”

“Mamaaaa....”

Aku hanya bisa melampiaskan rasa sakit itu dengan teriak dan menangis. Kalau sudah terlalu lelah, aku akan memilih untuk tidur. Tapi, mama nggak akan senang melihatku tertidur. Tidak secepat itu baginya.

Tante Rina suatu hari datang ke rumahku untuk ingin menyebarkan undangan pengajian. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menemukan dirumahku sosokku yang sedang menderita. Saat, itu juga untuk sementara aku diangkat anak oleh Tante Rina. Sedangkan mamaku diamankan dengan dikirimkan ke rumah sakit jiwa. Bisa saja sih mamaku dikirimkan ke penjara tapi sepertinya yang lebih mamaku butuhkan adalah rumah sakit jiwa.

Jadilah akhirnya aku sudah seperti anak sendiri bagi Tante Rina. Anak – anak tante Rina laki-laki semua. Karena aku anak perempuan satu-satunya disana beruntunglah aku jadi dispesialkan. Suami baru tante Rina adalah seorang ustadz dia tergolong loyal dalam berbagi ilmu agama. Disinilah rasa memilikiku akan kehadiran Tuhan kian terasah.

Aku selalu mendoakan kebaikan Ibu disetiap sholatku. Disetiap malam sebelum tidur. Disetiap waktuku setiap kali aku ingat Ibu aku pasti akan selalu mendoakannya. Kadang aku mencemaskan apakah Ibu tidur dengan nyenyak? Makan dengan enak? Masihkah dia menyakiti dirinya? Sebenarnya lucu juga bagaimana kalau misalnya ada Ibu yang durhaka pada anak masihkah akan kau anggap dia sebagai ibumu?

“Bunda, bolehkah aku pergi ke tempat mama? “

“Hmm. Tapi Bunda takut dia akan menyerangmu. “

“Tidak apa-apa,Bunda, aku sudah cukup kuat untuk mempertahankan diriku dibandingkan saat itu. Kan sekarang aku sudah 15 tahun. Aku sudah SMA sebentar lagi usiaku 17 tahun.”

“Iya. Tapi itu kan 2 tahun lagi. Yasudah biar Bunda minta tolong Rio untuk menemanimu ya Bunga. “

“Ah ga pa-pa kok Bunda sendirian juga.”

“Jangan begitu kamu kan sudah seperti anak Bunda sendiri.”

“ Ya sudah deh Bunda. Terima kasih.”

Pada akhirnya niatnya nggak mau merepotkan tante Rina alias Bunda dan anaknya tapi akhirnya aku merepotkan salah satu dari mereka. Karena Bunda yang meminta walau ogah-ogahan mau juga Rio mengantarkan aku ke RSJ yang lama sekali aku tak pernah menghampirinya.

Di RSJ

Aku langsung menuju kamar dimana mamaku dirawat. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin melihat wajahnya. Sosoknya. Aku ingin memeluknya. Memanggilnya “mama” sebuah panggilan sederhana yang lama sekali tidak pernah aku gaungkan.

Ketika aku sampai didepan pintu kamar mama dan melongoknya lewat kaca pintu. Aku nyaris tak percaya dengan sosok yang aku liat. Seketika itu juga aku merasa lemas hingga terduduk. Mama.... Ya Tuhan mama! Benarkah dia mama? Sosok yang sekian lama tak pernah aku lihat. Air mataku mengalir awalnya sedikit lama-lama saling menyambung hingga sudah begitu deras.

Mama. Mama. Mama. Mama yang duluuu sekali aku lihat aku kenali saat ini tampak seperti orang lain saja. Aku tidak yakin apakah itu mamaku ataukah sebuah tengkorak hidup yang hanya tulang saja berlapis kulit tanpa ada daging. Itu apa benar mama ya? Ku kucek-kucek kedua mataku berharap ini hanya mimpi. Tapi sepertinya percuma itu memang benar mama.

Dia tampak sangat kurus. Apakah mereka cukup memberikan makanan enak pada mama ya? Akupun membuka pintu dan berlari ke arah mama. Memeluknya dengan hati-hati. Aku jadi takut tulang-tulangnya akan retak kalau aku terlalu bersemangat memeluknya.

“Mama ini Bunga. Bunga anak mama. “

“Bunga? Anak mama? Benar begitu? Kenapa kamu meninggalkan mama? Bunga jahat.”

“Mama, maaf waktu itu mama bersikap kasar pada bunga. Bunga ngga punya pilihan selain ikut orang lain mama. Ma, Bunga sayang mama. “

“Kalau Bunga sayang mama kenapa ga tiap waktu Bunga datang ke mama? Kenapa baru sekarang Bunga? Kenapa?”

“Karena dulu kalo Bunga dekat-dekat mama entah berapa banyak lagi luka yang akan Bunga tanggung. Itu ga penting ma. Yang penting sekarang Bunga disini untuk mama ayo ma. Biar bunga urus agar mama bisa keluar dari sini. “

Akupun mengeluarkan ponselku dan bergegas menelpon Bunda meminta izinnya agar aku bisa mengeluarkan mama dari tempat dia sekarang berada. Bunda pun menyusul dan membantu proses perizinan agar mama bisa keluar. Rasanya aku tidak sabar menjalani kehidupan baruku.

“Ma, aku bersyukur Tuhan masih ngasih mama nyawa. Mama masih hidup. Bagaimana kalau mamapun berkenalan dengan Tuhan. Soalnya yg namanya manusia itu kan memiliki keterbatasan.”

“Padahal selama ini mama sering berharap kenapa sih Tuhan ngga cabut aja nyawa mama? Kenapa mama masih dikasih kesempatan hidup?”

“Mama harusnya bersyukur ma. Masih ada cukup waktu untuk menjadikan hidup mama lebih bermakna. Syukur-syukur mama bisa meninggal dalam keadaan mati yang indah bukannya mati yang menyedihkan.”

“Begitu ya menurutmu? “

“Iya.” Balasku sembari tersenyum.

Semenjak kepulangan mama dari tempat yang mengisolasinya, sekarang mama lebih mendalami agama dengan dibantu Bunda. Rasanya menyenangkan melihat mama jadi lebih baik dari dulu terakhir kali aku bertemu mama. Suatu hari aku sedang shalat jamaah bersama Bunda, dan mama. Tapi aku bingung karena disalah satu gerakan sujud saat menjelang gerakan salam mama seperti tidak terbangun juga dari sujudnya. Mungkin mama memang sedang terlalu menghayati gerakan sujudnya. Ketika aku dan Bunda mendekati mama seusai shalat aku baru sadar bahwa mama telah meninggal dunia dalam keadaan sujud.

Kesan pertama aku sempat menangis nggak rela. Namun kusadari, bukankah dalam rangkaian bacaan sholatku hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh. Jadi aku rasa sosok

mamaku Cuma titipan. Senangnya mama sudah bisa berjumpa dengan Tuhan. Ah akupun yang masih dapat kesempatan hidup harus memaksimalkan perbekalanku sebelum Tuhan menyapaku lewat kematian. Semangat! Karena hidup di dunia sebentar saja. Sekedar mampir. Tuhan, kapan pun itu kau menyapaku semoga aku siap dengan dunia lain itu.

Walau Harus Berawal Dengan Rasa Sakit yang Teramat

Oleh : Hana Arintya

Setiap orang memiliki “sakit jiwa” di dalam dirinya. Mungkin ‘sakit’ itu sedang tertidur tanpa pernah kau tau kapan ‘sakit’ itu akan terbangun tanpa pernah kau harapkan.

Di sebuah rumah, tempat yang seharusnya begitu damai begitu ramah. Tapi, bagaimana kalau ternyata rumah itu tak demikian? Masih pantaskah kata “rumah” itu disandarkan dengan tempat itu.

Jadi sebutan apakah yang pantas diberikan untuk sebuah tempat, dimana disitu terdapat seorang pria tampaknya 25-an yang memperlakukan istrinya dengan sesuka hatinya, seakan-akan hanya sisi “iblis” yang dia sisakan untuk wanita yang pernah ia perlakukan selayaknya “ ratu” dalam singgasana hatinya. Sepertinya dia telah menemukan “selir” yang jauh lebih menarik daripada “ratunya”. Tetapi, mungkin juga ini karena pengaruh “kawan barunya” sebuah minuman yang seharusnya tak pernah ia kenal. Namun, ini juga tak akan pernah terjadi bila dia tak pernah tersakiti dengan pengkhianatan dari teman terbaiknya. Setelah puas bertindak sesuka hatinya, Pria tersebut pergi lagi dari tempat tersebut entah kemana. Sang Istri hanya bisa menangis menahan pedih dan segala bentuk rasa sakit yang hanya bisa dia lampiaskan lewat suara tangisan. Sang anak sesosok anak perempuan mungil hanya bisa ikut dibuat menangis.

Laki-laki itu sejak saat itu sudah sebulan lebih tak pernah muncul lagi, Sosok sang Ibu itu masih tidak habis pikir entah kesalahan apa yang barangkali ada dalam dirinya sehingga dia harus begini? Padahal dia baru saja berpikir ingin memulai hidup baru. Maka kembalilah dia ke dalam kehidupan lamanya berkenalan dengan rokok dan alkohol dengan harapan sebagai pelarian dari sakit hatinya. Tapi, siapa sangka kalau sakit hati itu telah merambah menjadi “sakit jiwa” ketika dia dengan tega menyakiti putri semata wayangnya dengan menyudutkan rokok pada sosok anak kecil tersebut.

Beberapa minggu kemudian, akhirnya anak tersebut diputuskan agar diadopsi saja oleh orang lain ketika ada kunjungan ke tiap-tiap rumah. Anak kecil tersebut saat ditemukan kondisinya sungguh memprihatinkan. Sepertinya karena tekanan rasa sakit baik secara fisik maupun psikis yang dialaminya. Di keluarga barunya ia sungguh beruntung, keluarga barunya tergolong dalam hal mendalami agama sungguh terlihat jauh lebih lumayan daripada keluarga sebelumnya. Hmm, tapi seenak apapun ditempat orang lain seenggak enak-nggak enaknya ato sesakit apapun itu di rumah sendiri sungguh hal yang rasanya Si anak perempuan itu rindukan.

Dan disetiap malam, di setiap waktunya “Tuhan, tolonglah mama. Tolong selamatkan mama. Tuhan tolonglah papa. Tuhan tolong selamatkan mereka. Sembuhkan rasa sakit mereka. Aku percaya padamu Kaulah pemegang kunci kesembuhan mereka. Terima kasih Tuhan”

Dan Tuhan menjawabnya doa seseorang yang teraniaya, Walaupun tidak seketika tetapi bila memang sudah waktunya Tuhan pasti kan mewujudkannya. Mama asli gadis tersebut saat itu terketuk untuk ikut pengajian. Papa dari gadis tersebut mulai lebih bisa menyetabilkan emosinya yang sebelumnya labil dia telah kembali ke jalan yang seharusnya dia kembali.

Impossible Love

Oleh : Nada Azizah ( @naadnood ) http://chocolatecoffee-nadas.blogspot.com



‘Drrrrt…Drrrrt…’

Ponselku bergetar. Lampu LED pun menyala. Ada chat yang masuk. Segera aku menaruh novel yang tadi kubaca lalu membuka chat yang masuk ke ponselku. Rio.

Rio : Jgn baca terus. Makan jgn lupa ya neng.

Fia : Siap bos J

Aku tersenyum membaca chat itu. Sepele sebenarnya. Hanya mengingatkan makan. Akan tetapi, orang yang mengucapkannya yang membuatku tersenyum. Orang yang telah membuat perasaanku diaduk-aduk seminggu ini. Rio. Teman sekelasku. Teman dekatku. Awalnya aku dan dia hanya berteman biasa. Akan tetapi, makin hari Rio makin perhatian padaku dan – ya sejujurnya – itu menumbuhkan sebibit harapan di hatiku. Ponselku kembali bergetar.

Rio : PING!!!

Rio : Lo hrs tau. Firda sms gw lg!

Aku menghela nafas panjang. Firda. Again. Yap, Rio menyukai Firda. Anak kelas sebelah.Aku mendengus kesal. Cemburu? Iya. Sakit? Sangat. Bagaimana tidak? Rio bercerita tentang gadis lain padahal harusnya dia sadar aku menyukainya. Ponselku kembali bergetar. Rio menelefon.

“Halo?”

“Fi? Lo ga apa-apa? Chat gue kenapa ga dibales?”tanya Rio dengan cemas. Satu lagi sikap Rio padaku yang membuatku melayang. Dia seringkali mencemaskanku.

“Gue ga apa-apa. Tadi lagi makan, Yo. Sorry. Mau cerita apa lo?”tanyaku dengan agak sedikit malas. Dan bergulirlah cerita Rio tentang Firda. Betapa mengagumkannya Firda, betapa pintarnya, bla bla bla. Aku bosan mendengarnya.

“Fi? Are you still hear me?”tanya Rio yang baru menyadari bahwa sedari tadi aku hanya diam.

“Yap, I’m here. Terus lo gimana jadinya ama dia?”tanyaku lagi.

“Gue kayaknya mau nembak dia,”jawab Rio yang langsung membuat jantungku mendadak mau copot. Aku terhenyak mendengar jawaban Rio. Rio mau nembak Firda?!

“What?”

“Iya, gue mau nembak Firda. Pas pensi. Lo bantuin gue ya?”pinta Rio. Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin aku membantu cowok yang aku suka menyatakan cinta pada gadis lain? Mau jadi apa hatiku nanti? Mau remuk? Mau sakit? Cukup sakit yang kurasakan selama memendam perasaan ini.

“Fi?”

“Ah, ya. Oke, gue bantu sebisa gue ya,”jawabku akhirnya dengan amat terpaksa. Pembicaraan di telefon pun berakhir. Aku menutup mataku dan mengumpati diri sendiri. Mengolok-olok kebodohanku. Kenapa lo mau bantuin Rio nembak Firda sih, Fia? Aku menghela nafas panjang. Sakit dan rasa sesak mulai menjalari dada dan hatiku.

***

Aku melangkahkan kakiku menuju rumah Rio keesokan harinya. Hari ini Rio akan menyatakan cinta pada Firda. Dan aku kemari untuk membantunya. Rio keluar dari rumahnya.

“Bentar ya, gue sholat ashar dulu. Lo ga ke gereja emang hari ini? Biasanya sore kan?”tanya Rio. Ya, aku dan Rio memang berbeda agama. Itu juga yang menghalangiku berhubungan dengan Rio. Orang bilang ini adalah Impossible Love. Karena terlalu sulit bersatu jika masalahnya adalah keyakinan. Tapi aku tak peduli apa kata orang. Aku mungkin sudah gila. Ya, gila karena Rio.

“Udah ke gereja tadi pagi kok, gue. Gue tunggu di sini ya,”ujarku. Rio mengangguk lalu kembali ke dalam rumahnya. Otakku tak bisa berhenti memikirkan nasibku nanti. Aku yakin aku akan menangis saat melihat Rio bersama Firda. TIdak lama kemudian, Rio keluar. Kami pun berangkat.

***

“Firda, gue suka ama lo. Lo mau ga jadi pacar gue?”tanya Rio dengan sepenuh hati. Firda yang terkejut akan ditodong pertanyaan seperti itu hanya bisa terdiam. Kalau aku yang ada di posisi Firda, aku akan langsung menerima Rio. Tapi Firda tidak.

“Maaf, Yo, gue ga bisa,”ujar Firda. Rio mendadak lemas dan tak bersemangat. Aku melongo tak percaya. Ku kira Firda akan menerima Rio.

“Kenapa?”tanya Rio dengan sedikit terbata-bata.

“Karena…gue baru jadian sama Denis. Sorry,”ucap Firda. Walau aku sedih melihat Rio murung dan wajah Rio yang putus asa itu, hati kecilku tetap berteriak senang. Jahat? Biarlah. Firda lalu pergi meninggalkan Rio. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya.

“Semangat, Yo. Lo mau nangis? Silahkan. Lo mau marah-marah? Silahkan. Gue siap dengerin semuanya,”ucapku tulus. Rio mendongak menatap kedua mataku. Mata yang sanggup membuat hatiku berdesir dan lidahku kelu.

“Gue ga mau apa-apa. Gue cuma minta lo jangan pergi, Fi. Lo sahabat terbaik gue. Lo udah gue anggap saudara gue sendiri, Fi. Tanpa lo, gue bukan siapa-siapa. Tanpa lo, gue ga akan kuat ngelewatinnya. Lo sahabat gue, Fi. Dan gue butuh sahabat gue,”jawab Rio panjang lebar. Aku terdiam mendengar kata-kata Rio. Sahabat. Ya, sahabat, tidak lebih. Bodohnya aku menganggap aku akan lebih dari sahabat dengan Rio. Harusnya aku sadar diri. It’s Impossible Love. Cinta yang tak mungkin kumiliki. Perbedaan keyakinan antara aku dan dia membentuk sebuah benteng besar antara aku dan dia yang tak mungkin dihancurkan. Impossible Love. Ya, hahaha. Dadaku sesak. Bagai ditabrak oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Mataku penuh oleh genangan airmata. Jantungku sakit. Bagai ditusuk oleh beribu pisau tajam. Ya, begitulah rasanya sakit hati ini. Ternyata memang sakit rasanya tidak bisa dicintai orang yang kita cintai. Tapi aku tau, cinta adalah memberi tanpa meminta. Dan walau dia tak pernah melihatku sebagai orang yang dia cintai, aku akan membuatnya melihatku sebagai sahabat yang dia sayangi.

***