Oleh: Ifnur Hikmah (@iiphche)
www.ifnurhikmahofficial.blogspot.com
Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang tegalan….
Seorang ibu tidak akan pernah membiarkan anaknya terjatuh seorang diri, dia pasti akan membantunya untuk kembali bangkit. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya meniti jembatan sendirian, dia pasti akan menuntunnya sampai ke seberang. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya tersesat di hutan sendirian, dia pasti akan mencarikan jalan keluar. Dan seorang ibu, tanpa pikir panjang, akan melompat ke dalam kobaran api demi menyelamatkan buah hatinya.
Itulah gambaran ideal seorang ibu versiku. Ibu yang dimiliki oleh semua orang, tapi tidak dengan ibuku.
Ibuku? Huh… aku bahkan tidak mengenal ibuku kecuali secuil fakta berupa nama dan seraut wajah yang kuketahui dari selembar foto. Aku tidak mengenal ibuku bukan karena aku durhaka atau tidak ingin mengenalnya, tapi tidak pernah ada kesempatan untuk mengenalnya. Tidak, dia tidak pernah memberiku kesempatan untuk mengenalnya.
Dia meninggalkanku ketika aku masih belum menyadari kehidupanku sendiri. Dia hanya menemaniku di enam bulan awal kehidupanku. Setelah itu? Dia tidak ada.
Sebenarnya ayah sering bercerita tentang dia tapi aku selalu menolak untuk mendengar. Bagiku, dia bukanlah seorang ibu yang baik. Ibu macam apa yang tega meninggalkan anak berumur enam bulan dan masih membutuhkan kehadirannya? Meskipun ayah terus-terusan membujukku untuk mengenalnya, aku tidak mau karena menurutku seorang anak hanya bisa mengenal ibunya secara langsung, bukan melalui cerita.
Selain itu, dalam hidupku tidak ada tempat untuk ibu. Hidupku hanya untuk aku dan ayah. Ayahku, yang meskipun telah disakiti ibu dengan kepergiannya, tetap memuja wanita itu dan masih mencintainya sampai sekarang. Lagipula, untuk apa aku memikirkan ibu? Apa dia pernah memikirkanku? Aku curiga, jangan-jangan dia sudah melupakanku atau sejak awal dia tidak pernah menganggap kehadiranku. Dia tidak pernah ada untukku di saat aku membutuhkannya. Dia sepertinya ditakdirkan untuk membuatku menderita. Dia membuatku sering diejek teman-temanku waktu kecil. Tindakan ibu juga mencoreng nama baik keluarga besarnya sendiri. Kakekku –ayahnya- sampai terkena serangan jantung dan nenekku –ibunya- harus menanggung malu bertahun-tahun karena di cap sebagai pihak yang gagal dalam mendidik anaknya sendiri. Dan ayah? Entah berapa banyak penderitaan dan luka yang ditinggalkannya untuk ayah.
Omong-omong soal ibu, aku tidak keberatan mempunyai ibu tiri selama hal itu bisa mengurangi luka di hati ayah. Tapi, ayah tidak pernah mengizinkan perempuan lain masuk kedalam hatinya. Ayah sering menceritakan saat-saat dia masih bersama ibu. Ayah begitu memuja ibu dan mencintai ibu ibarat tarikan nafas baginya, tidak mungkin ditinggalkan. Ayah sering bilang bahwa dulu mereka bahagia, dimana ada ayah pasti ada ibu dan begitu juga sebaliknya. Ayah juga bilang bagaimana bangganya Ibu ketika memperkenalkan ayah sebagai pacarnya dihadapan teman-temannya dan saat itu ayah yakin kalau dia tidak salah pilih. Dan pernikahan mereka adalah pernikahan termewah yang pernah digelar di kota sekecil itu. Aku tidak habis pikir, ayah begitu mencintai ibu tapi mengapa wanita itu begitu bodoh dan memilih untuk meninggalkan ayah?
Di hari pernikahannya, ayah berjanji untuk selalu mencintai ibu, menjaganya dan tidak pernah meninggalkannya. Namun kenyataannya? Wanita itu tidak seperti dugaannya. Dia pergi, tidak hanya meninggalkan ayah tapi juga meninggalkan sesosok bayi mungil yang masih haus akan kasih sayangnya.
Tapi, ayah tetap tidak menyalahkan ibu. Katanya, ibu pergi karena tidak seharusnya dia berada disini, bersama ayah dan terikat janji pernikahan. Kepergian ibu adalah untuk menyelamatkan hidup ibu dan hidupku juga hidup ayah. Alasan macam apa itu? Aku tidak percaya. Bagiku, ibu pergi karena dia tidak pernah mencintai ayah dan dia juga tidak mencintaiku. Tidak tidak, dalam kasusku, ibu pergi karena dia tidak pernah menghendaki kemunculanku di dunia ini. Jika pernikahan ayah dan ibu adalah suatu kesalahan maka kesalahan itu pasti disebabkan oleh ibu.
Lagipula, tanpa kehadirannya pun, aku dan ayah masih bisa menjalani kehidupan kami. Selama 20 tahun kehidupanku, aku bahagia meskipun hanya memiliki ayah. Kehidupanku tidak kurang sedikitpun meski tanpa ibu.
Bagiku, kehidupanku berkisar diantara menyayangi ayah dan membenci ibu.
Benci? Aku rasa itu pantas meskipun ayah berkali-kali membujukku untuk berhenti membenci ibu. Aku pikir tidak ada rasa lain yang pantas kurasakan terhadap ibu selain kebencian. Jika bagi ayah setiap tarikan nafasnya adalah cintanya pada ibu, maka bagiku setiap tarikan nafasku adalah kebencianku terhadap ibu.
Anneke Miranda Wijaya? Aku tersentak begitu membaca nama itu tertulis di sebuah amplop. Aku tahu itu nama siapa. Itu adalah nama seseorang yang –seharusnya- kupanggil ibu. Dan lebih mengagetkan lagi, di amplop itu juga, di bagian penerimanya tertulis namaku, Adriani Miranda.
Ibu mengirimiku sebuah surat? Untuk apa? Rupanya dia masih mengingatku juga. Aku pikir dia sudah lupa akan keberadaanku dan ayah. Aku tidak tahu apa maksudnya, terlebih dia mengirimnya tepat di hari ulang tahunku. Aku tidak sudi membacanya. Apapun isinya, pasti akan semakin menyakitiku dan mungkin saja semakin memperparah luka di hati ayah. Aku ingin membuang surat itu tapi ayah mencegahnya.
“Miranda, tidak ada salahnya kamu membaca surat itu,” bujuk ayah.
Aku menatap mata ayah. Ada sesuatu disana. Semacam harapan. Apakah ayah memiliki harapan akan surat ini? Harapan akan kembalinya ibu mungkin? Mengapa ayah jadi berseri-seri begitu menerima surat ini meskipun ibu mengirimkannya untukku, bukan untuknya. Apakah itu pertanda cinta ayah kepada Ibu masih ada? Seberapa besarkah cinta ayah pada ibu?
“Miranda?”
Kalau saja aku tidak melihat rasa cinta terpancar di wajah ayah, seumur hidupku aku tidak sudi membuka surat ini….
Untuk Miranda, anakku….
Miranda, Ibu tahu kamu pasti kaget dan terheran-heran begitu menerima surat ini. Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa Ibu mengirim surat setelah bertahun-tahun tidak pernah menghubungimu. Atau mungkin kamu marah mengapa Ibu mengganggu hidupmu setelah meninggalkanmu selama ini. Tapi Ibu mohon satu hal, Ibu meminta waktumu sebentar agar kamu bersedia membaca surat ini sampai selesai. Setelah itu, terserah kamu.
Tahun ini kamu genap berusia 20 tahun dan Ibu rasa, di usiamu sekarang, kamu sudah cukup dewasa untuk mengetahui semua kebenaran ini.
Kebenaran mengapa Ibu meninggalkanmu…..
-Jangan marah dulu nak, Ibu mohon….-
Ibu akan menceritakan masa lalu Ibu dan alasan kepergian Ibu.
Ibu baru berumur 18 tahun ketika bertemu dengan ayahmu, mas Donny. Mas Donny adalah salah seorang pegawai di kantor ayahku, kakekmu. Semua orang mengaguminya. Dia seorang pekerja keras, rajin, ramah dan selalu bersikap santun. Ayahku sangat menyukainya dan tidak mengherankan jika dia menjadi pegawai kesayangan ayah. Ibuku –nenekmu- juga menyukainya. Dia sering mengundang mas Donny ke rumah, sekedar untuk makan malam.
Dan dia tidak hanya menjadi kesayangan orangtuaku, tapi juga menjadi idola banyak gadis remaja, termasuk teman-teman Ibu. Awalnya Ibu tidak terlalu memperhatikannya tapi semua teman-teman Ibu sering membicarakannya dan mereka pun berlomba-lomba untuk menarik perhatiannya. Ibu jadi penasaran dan mulai memperhatikannya dan lama kelamaan dia pun mulai menarik perhatian Ibu. Dan akhirnya muncul keinginan di hati Ibu untuk lebih mengenalnya dan mendekatinya.
Dan mulailah Ibu berusaha menarik perhatiannya, berlomba-lomba dengan teman-teman Ibu yang lain yang telah terlebih dahulu terpikat olehnya. Ibu mulai sering main-main ke kantor kakekmu. Ibu juga sering mendesak nenekmu untuk mengundangnya ke rumah dan ibu pasti akan dandan secantik mungkin begitu dia ke rumah. Ibu tidak akan beranjak dari sisinya selama kunjungan tersebut. Kita membicarakan banyak hal dan paling sering membicarakan tentang dirinya. Ibu pun mengetahui bahwa dia seorang yatim piatu dan sudah terbiasa bekerja keras sepanjang hidupnya. Dia akan berusaha keras untuk memenuhi keinginannya dan kedatangannya ke kota ini adalah untuk mewujudkan cita-citanya mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Hal ini membuat Ibu semakin mengaguminya dan semakin ingin memilikinya. Dan dalam waktu singkat, kita pun dekat.
Dia memperlakukan Ibu dengan sangat baik. Dia tidak keberatan jam istirahatnya di kantor terganggu karena kedatangan Ibu. Dia juga tidak pernah bosan mendengar cerita Ibu. Dia begitu perhatian pada Ibu. Dari hari ke hari kita semakin dekat dan dia sering mengajak Ibu jalan-jalan. Sampai suatu hari, dia pun menyatakan cintanya pada Ibu.
Ibu tidak butuh waktu lama untuk berpikir dan saat itu juga Ibu menerimanya.
Yang Ibu rasakan saat itu hanya satu, BANGGA. Bangga karena Ibu berhasil mendapatkannya. Bangga karena melihat tatapan iri dan decakan kagum orang-orang begitu Ibu menggandengnya. Bangga karena menjadi satu-satunya pemenang dalam kompetisi tak terencana untuk memperebutkan hatinya.
Hanya satu rasa itu yang Ibu rasakan.
Orang tua Ibu –kakek dan nenekmu- menyambut hal ini dengan senang hati. Ayahku senang karena mas Donny adalah orang kepercayaannya dan ibuku juga senang karena sudah lama dia menginginkan kehadiran anak laki-laki dan anak laki-laki idamannya ada pada sosok mas Donny.
Ibu pun menjalani masa ini dengan suka cita. Ayahmu memperlakukan Ibu dengan baik dan dari hari ke hari Ibu bisa merasakan cintanya yang semakin besar. Dia tidak pernah mengecewakan Ibu. Apapun yang Ibu minta pasti diturutinya. Hal ini membuat teman-teman ibu semakin iri dan Ibu pun menjadi semakin besar kepala.
Tapi, nenekmu yang konservatif tidak mengizinkan Ibu pacaran lama-lama. Dia pun mulai merancang pernikahan kami. Mas Donny menerima rencana ini dengan sikap tenang karena dia benar-benar mencintai Ibu dan tidak ingin kehilangan Ibu. Ibu pun menerima usul ini.
Namun, Ibu tidak pernah menyangka kalau di saat semua orang bersenang-senang menyambut pernikahan kami, Ibu mulai ragu, apa benar ini yang Ibu inginkan? Apa Ibu benar-benar menginginkan pernikahan ini atau hanya untuk memenuhi keinginan orangtuaku dan mempertahankan ego Ibu? Apa Ibu sanggup menampung limpahan cinta ayahmu yang teramat besar? Ibu tidak tahu jawabannya. Semakin mendekati hari pernikahan, Ibu semakin ragu. Ketika Ibu memberitahu nenekmu, dia bilang kalau Ibu hanya gugup dan perasaan ini wajar dialami oleh orang yang akan menikah. Dia meyakinkan Ibu bahwa mas Donny adalah pilihan terbaik dan Ibu tidak akan menyesali keputusan ini. Ibu pun menerima nasihat itu dan berusaha untuk tenang –meskipun sampai pada hari pernikahan, Ibu tidak pernah tenang-.
Ibu berharap semoga ini adalah pilihan terbaik untuk hidup Ibu. Namun, di hari pertama Ibu menjalani kehidupan rumah tangga, Ibu kembali merasa labil. Ibu tidak siap dan Ibu terlambat menyadarinya. Ibu tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini, dan Ibu pun menyadari bahwa Ibu tidak pernah mencintai ayahmu. Semua ini hanya untuk memenuhi ego Ibu bahwa Ibu bisa memiliki semuanya, termasuk mas Donny. Ibu senang menjadi pusat perhatian dan memiliki mas Donny membuat Ibu berada di puncak perhatian semua orang. Ibu terlambat menyadari kesalahan ini. Ibu terlanjur larut didalamnya dan tidak mempunyai cara untuk keluar.
Dan Ibu pun mulai menjalani hari-hari yang berat. Setiap melihat mata ayahmu, Ibu dilanda suatu perasaan bersalah. Ibu merasa bersalah karena telah menjadikannya korban dalam keegoisan Ibu. Ibu tidak bisa membalas limpahan cinta ayahmu meskipun Ibu terus mencoba. Ibu belajar untuk mencintainya tapi Ibu tidak pernah berhasil. Setiap kali Ibu tinggal sendiri di rumah begitu ayahmu bekerja, Ibu mulai memikirkan hidup Ibu. Ibu juga terlambat menyadari bahwa ini bukanlah kehidupan yang Ibu inginkan. Di usia Ibu sekarang, Ibu menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang ingin Ibu raih tapi Ibu malah terkungkung dalam pernikahan ini. Ibu mulai memimpikan kembali keinginan-keinginan Ibu dulu. Dulu Ibu pernah bermimpi untuk menjadi seorang pramugari karena Ibu ingin terbang bebas di angkasa. Sekarang, melihat keadaan Ibu, Ibu kembali menginginkan mimpi itu. Tidak, Ibu kembali menginginkan kebebasan. Ibu mulai menyadari bahwa Ibu masih terlalu muda dan Ibu belum siap untuk terikat seperti ini.
Dan ketika Ibu ingin meraih kembali kebebasan itu, Ibu hamil. Ibu sedang mengandungmu. Ayahmu, kakek dan nenekmu, semuanya bersuka cita menyambut kabar ini. Ibu pun diperlakukan seperti seorang putri raja. Ayahmu semakin memanjakan Ibu dan hal ini membuat Ibu semakin terpukul karena dia tidak pernah tahu bahwa Ibu tidak pernah menginginkannya. Ibu pun berpikir bahwa kamu akan menambah beban Ibu nantinya dan semakin membuat Ibu jauh dari kebebasan yang Ibu inginkan. Tapi, begitu kamu lahir, melihat wajahmu, mendengar tangisanmu, merasakan genggaman tanganmu membuat Ibu berpikir ulang dengan keputusan Ibu. Ada kamu disini, yang sangat membutuhkan kehadiran Ibu. Ibu pun mencoba untuk bertahan.
Berbulan-bulan Ibu bertahan tapi akhirnya Ibu sampai ke suatu titik bahwa Ibu tidak sanggup lagi. Ibu lelah dengan semua ini. Ibu menginginkan kehidupan Ibu yang dulu, yang Ibu miliki sendiri dan mengaturnya sendiri tanpa ada orang lain yang ikut campur tangan didalamnya. Ibu juga lelah terus-terusan membohongi ayahmu, bersikap manis di depannya padahal di belakangnya Ibu menginginkan pria lain, pria yang benar-benar Ibu cintai. Ibu sudah tidak sanggup lagi dan Ibu pun memilih keputusan ini.
Semua orang menentang keputusan Ibu, terlebih ayahmu. Dia berjanji akan melakukan apa saja asal Ibu tidak pergi tapi hal ini semakin membuat Ibu tersiksa. Apa yang bisa dilakukannya kalau saja dia tahu yang paling Ibu inginkan adalah kebebasan. Ayahmu begitu terguncang begitu Ibu mencurahkan semua perasaan Ibu, bahwa Ibu tidak siap sejak sebelum kita menikah. Dengan berat hati ayahmu membiarkan Ibu pergi tapi dia masih mengharapkan ibu kembali jika di luar sana Ibu tidak mendapatkan apa yang Ibu inginkan. Dia juga mendoakan kebahagiaan Ibu.
Berat bagi Ibu untuk pergi terlebih di malam kepergian Ibu kamu menangis begitu keras. Tapi Ibu harus melakukannya, demi kebaikan kita semua. Dan Ibu pun pergi, dibawah kemurkaan kakekmu, kemarahan nenekmu dan hati ayahmu yang terluka serta suara tangismu yang menyayat hati Ibu. Ibu pun pergi, meraih semua mimpi Ibu yang sempat tertunda tapi Ibu berjanji, begitu saatnya tiba, Ibu akan menceritakan semuanya padamu.
Ibupun berhasil menjadi seorang pramugari. Ibu terbang nak, dan Ibu merasa bebas. Inilah yang ingin Ibu rasakan. Ibu juga merasakan jatuh cinta yang sebenarnya ketika Ibu beradu pandang dengan seorang pria di salah satu penerbangan. Perasaan seperti ini tidak pernah Ibu rasakan setiap kali Ibu berada di dekat ayahmu meskipun ayahmu terus-terusan menganugrahi Ibu dengan cintanya. Perasaan ini, nak, Ibu tidak bisa menjelaskannya. Kelak, ketika kamu merasakannya maka kamu akan mengerti karena ketika Ibu merasakannya, Ibu baru memahami semua perlakuan ayahmu terhadap Ibu. Ibu akhirnya merasakan sendiri apa yang selama ini dirasakan ayahmu. Tapi, meskipun Ibu berbahagia atas pilihan Ibu, Ibu masih memikirkanmu.
Dan diulang tahunmu yang ke-20 ini, Ibu kembali meski hanya lewat selembar surat. Ibu ingin kamu tahu semuanya meskipun Ibu yakin ayahmu sudah memberi tahumu tapi Ibu ingin kamu melihatnya dari sudut pandang Ibu. Semoga kamu mengerti…
Satu pesan Ibu, jangan gegabah. Kamu harus meyakini benar-benar apa yang kamu inginkan karena ini adalah hidupmu dan kamulah yang paling berhak atas apapun dalam hidupmu. Ibu harap kamu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang Ibu perbuat. Ibu yakin kamu bisa karena mas Donny pasti merawatmu dengan baik dan kamu pasti tumbuh menjadi anak yang membanggakan dan dikagumi semua orang, seperti mas Donny.
Terakhir Ibu berterima kasih karena kamu telah meluangkan waktumu untuk Ibu. Satu hal lagi, Ibu selalu dan selalu menyayangimu, Miranda karena ada kamu di setiap langkah Ibu (Ibu baru paham mengapa ayahmu bersikeras mengambil nama tengah Ibu sebagai namamu. Itu adalah karena dia ingin Ibu selalu mengingatmu di setiap langkah kaki Ibu).
Dan sampaikan juga permintaan maaf Ibu kepada ayahmu. Meskipun dulu Ibu sudah memohon-mohon di kakinya agar dia memaafkan Ibu, Ibu masih merasa perbuatan Ibu tetap tidak termaafkan. Bagaimanapun juga, dia adalah pria terhebat yang pernah Ibu kenal dan Ibu masih mengaguminya. Ibu selalu bangga padanya.
Dan Ibu selalu sayang padamu, Miranda….
Salam sayang Ibu….
Anneke Miranda Wijaya.
Aku mengangkat mata dari surat itu dan mendapati ayah sedang menatapku.
“Sekarang kamu sudah mengerti. Jadi, berhentilah membenci ibumu,” ujar ayah parau.
Ayah memelukku dan membiarkan aku menangis. Setelah 20 tahun aku memendam kebencian pada sosok ibu, mengapa baru sekarang aku mengetahuinya? Apa yang harus kulakukan? Kebencianku pada ibu karena telah meninggalkanku sudah berakar dalam hati. Seharusnya sejak dulu aku mendengar kata-kata ayah bahwa aku harus melihat hal ini dari kacamata ibu agar aku mengerti alasan kepergiannya, tapi aku selalu mengelak. Aku terlanjur menanamkan kebencian itu dan terus menjaganya sampai sekarang.
Dan, sekarang. Bisakah aku berhenti membenci ibu? Dan mulai mencintainya? Ah, entahlah….
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Ibu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibu. Tampilkan semua postingan
Minggu, 26 Desember 2010
..DIAH PHITA LOKA..
Oleh : Adyta Purbaya (@dheaadyta)
Nama nya DIAH PHITA LOKA. dan sekarang, dia nyaris berusia empat puluh lima tahun.
Dia seorang ibu rumah tangga. ITU SAJA! tanpa pekerjaan sampingan tambahan lainnya. Dia hanya seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang putri.
meskipun dia pernah bermimpi lebih, bermimpi menjadi wanita karier, bermimpi menjadi banker. Tapi sekarang dia hanya lah menjadi seorang ibu rumah tangga.
Lahir dan dibesarkan di Belinyu, Bangka. Dari keluarga sederhana. Dia dididik untuk jadi anak yang mandiri, tidak suka berfoya-foya, dan selalu menghargai apa yang dia punya.
Dia selalu menceritakan kepada ketiga puteri nya, bagaimana dulu rasanya harus bangun pagi setiap hari dan membantu ibundanya menyiapkan segala kebutuhan – termasuk mengurus keempat adiknya. Dia adalah sulung dari lima bersaudara.
Dia selalu menceritakan kepada ketiga puterinya, bagaimana rasanya tidak punya uang untuk membeli apa yang dia inginkan – karena dia bukan berasal dari keluarga yang mampu. Dia selalu menceritakan, bagaimana untuk membeli barang yang diimpikan, maka dia harus bekerja membantu ibundanya berjualan kue (dan sebagainya) lalu kemudian menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya cukup untuk membeli barang yang diinginkan itu.
Dia selalu mengingatkan kepada ketiga puterinya, bagaimana harus bersyukur atas segala apa yang dimiliki. Atas nikmat pendidikan, kesehatan, materi yang berkecukupan, ayah yang baik dan tidak pernah marah. Karena dulu, dia bahkan tidak bisa membeli semua buku kuliah yang dibutuhkan – dia hanya mampu membeli sepertiga dari yang dibutuhkan. Tapi nyatanya dia tetap pintar ;)
Dia memang seorang ibu yang cerewet. Selalu memarahi ketiga puteri nya untuk ini dan itu, bahkan untuk kesalahan kecil sekalipun. Itu tanda sayang yang bisa dia berikan kepada puteri-puteri nya. Dia hanya takut sesuatu yang buruk terjadi kepada tiga buah hatinya.
Dia adalah ibu yang sangat detail mengurusi semua keperluan ketiga puterinya, semua baju, semua buku, semua benda yang ketiga puterinya inginkan, segala hal.
Dia bukan seorang ibu yang protektif. Dia bahkan tidak pernah berkata TIDAK untuk setiap kegiatan baik yang akan diikutkan oleh ketiga puterinya. Dia bahkan akan menjadi supporter utama saat salah satu dari ketiga puterinya mengikuti kegiatan.
Dia bukan seorang ibu yang pelit, meskipun dia selalu meminta detail penggunaan atas uang yang diminta puterinya. Dia hanya mengajarkan kepada ketiga puteri nya untuk tidak boros dan menghambur-hanmburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.
Dia tidak pernah meminta ketiga puterinya membantu dia dalam mengurus semua keperluan rumah, seperti mencuci piring, menyapu atau mengepel, dan sebagainya. Tidak pernah sama sekali! dia mengerjakan semua itu sendiri. Dia hanya menuntut ketiga puterinya untuk belajar dengan baik, dan menghasilkan prestasi yang baik. itu saja sudah cukup untuk menebus semua kelelahan mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dia seorang ibu yang baik.
Dia mengingatkan, mengajarkan, dan menanamkan hal-hal baik bagi ketiga puterinya.
Dia membuat puteri sulung nya berhasil meraih prestasi membanggakan selama masa SMA. Olimpiade akuntansi, olimpiade Ekonomi, juara kelas, anggota Pramuka, jurnalis kota, lulus SNM-PTN. Dia bahkan menangis haru ketika akhirnya gadis sulungnya berhasil menerbitkan sebuah novel karya sendiri.
Dia membimbing gadis tengah nya untuk selalu berada dalam koor yang benar. Dia selalu mengingatkan gadis tengah nya untuk mencontoh apa yang sudah anak sulung nya lakukan. Dia tidak pernah melarang semua kegiatan porsitif yang dilakukan gadis tengah nya, dia bahkan orang pertama dirumah yang menyetujui ide gila si gadis tengah untuk ikut berkemah di daerah yang sangat jauh.
Dia mengajarkan dan menanamkan hal-hal baik kepada si bungsu. Memarahi si bungsu ketika tidak bisa menyelesaikan PR matematika nya. MEmbentak ketika si bungsu membawa pulang raport mid semester dengan tiga nilai mata pelajaran yang tidak lulus SKBM. Tapi dia juga yang memeluk ketika si bungsu menangis, memarahi teman-teman yang mengganggu si bungsu. Dia lah yang selalu menuruti semua kehendak si bungsu tanpa pengecualian.
Dia yang selalu tidak pernah lelah mendoakan ketiga puteri nya dalam setiap doa seusai shalatnya.
Dia-lah yang selalu berbisik di telinga saya “Kamu bisa, nak…”
Namanya DIAH PHITA LOKA.
dan dia adalah ibu saya :)
Nama nya DIAH PHITA LOKA. dan sekarang, dia nyaris berusia empat puluh lima tahun.
Dia seorang ibu rumah tangga. ITU SAJA! tanpa pekerjaan sampingan tambahan lainnya. Dia hanya seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang putri.
meskipun dia pernah bermimpi lebih, bermimpi menjadi wanita karier, bermimpi menjadi banker. Tapi sekarang dia hanya lah menjadi seorang ibu rumah tangga.
Lahir dan dibesarkan di Belinyu, Bangka. Dari keluarga sederhana. Dia dididik untuk jadi anak yang mandiri, tidak suka berfoya-foya, dan selalu menghargai apa yang dia punya.
Dia selalu menceritakan kepada ketiga puteri nya, bagaimana dulu rasanya harus bangun pagi setiap hari dan membantu ibundanya menyiapkan segala kebutuhan – termasuk mengurus keempat adiknya. Dia adalah sulung dari lima bersaudara.
Dia selalu menceritakan kepada ketiga puterinya, bagaimana rasanya tidak punya uang untuk membeli apa yang dia inginkan – karena dia bukan berasal dari keluarga yang mampu. Dia selalu menceritakan, bagaimana untuk membeli barang yang diimpikan, maka dia harus bekerja membantu ibundanya berjualan kue (dan sebagainya) lalu kemudian menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya cukup untuk membeli barang yang diinginkan itu.
Dia selalu mengingatkan kepada ketiga puterinya, bagaimana harus bersyukur atas segala apa yang dimiliki. Atas nikmat pendidikan, kesehatan, materi yang berkecukupan, ayah yang baik dan tidak pernah marah. Karena dulu, dia bahkan tidak bisa membeli semua buku kuliah yang dibutuhkan – dia hanya mampu membeli sepertiga dari yang dibutuhkan. Tapi nyatanya dia tetap pintar ;)
Dia memang seorang ibu yang cerewet. Selalu memarahi ketiga puteri nya untuk ini dan itu, bahkan untuk kesalahan kecil sekalipun. Itu tanda sayang yang bisa dia berikan kepada puteri-puteri nya. Dia hanya takut sesuatu yang buruk terjadi kepada tiga buah hatinya.
Dia adalah ibu yang sangat detail mengurusi semua keperluan ketiga puterinya, semua baju, semua buku, semua benda yang ketiga puterinya inginkan, segala hal.
Dia bukan seorang ibu yang protektif. Dia bahkan tidak pernah berkata TIDAK untuk setiap kegiatan baik yang akan diikutkan oleh ketiga puterinya. Dia bahkan akan menjadi supporter utama saat salah satu dari ketiga puterinya mengikuti kegiatan.
Dia bukan seorang ibu yang pelit, meskipun dia selalu meminta detail penggunaan atas uang yang diminta puterinya. Dia hanya mengajarkan kepada ketiga puteri nya untuk tidak boros dan menghambur-hanmburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.
Dia tidak pernah meminta ketiga puterinya membantu dia dalam mengurus semua keperluan rumah, seperti mencuci piring, menyapu atau mengepel, dan sebagainya. Tidak pernah sama sekali! dia mengerjakan semua itu sendiri. Dia hanya menuntut ketiga puterinya untuk belajar dengan baik, dan menghasilkan prestasi yang baik. itu saja sudah cukup untuk menebus semua kelelahan mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dia seorang ibu yang baik.
Dia mengingatkan, mengajarkan, dan menanamkan hal-hal baik bagi ketiga puterinya.
Dia membuat puteri sulung nya berhasil meraih prestasi membanggakan selama masa SMA. Olimpiade akuntansi, olimpiade Ekonomi, juara kelas, anggota Pramuka, jurnalis kota, lulus SNM-PTN. Dia bahkan menangis haru ketika akhirnya gadis sulungnya berhasil menerbitkan sebuah novel karya sendiri.
Dia membimbing gadis tengah nya untuk selalu berada dalam koor yang benar. Dia selalu mengingatkan gadis tengah nya untuk mencontoh apa yang sudah anak sulung nya lakukan. Dia tidak pernah melarang semua kegiatan porsitif yang dilakukan gadis tengah nya, dia bahkan orang pertama dirumah yang menyetujui ide gila si gadis tengah untuk ikut berkemah di daerah yang sangat jauh.
Dia mengajarkan dan menanamkan hal-hal baik kepada si bungsu. Memarahi si bungsu ketika tidak bisa menyelesaikan PR matematika nya. MEmbentak ketika si bungsu membawa pulang raport mid semester dengan tiga nilai mata pelajaran yang tidak lulus SKBM. Tapi dia juga yang memeluk ketika si bungsu menangis, memarahi teman-teman yang mengganggu si bungsu. Dia lah yang selalu menuruti semua kehendak si bungsu tanpa pengecualian.
Dia yang selalu tidak pernah lelah mendoakan ketiga puteri nya dalam setiap doa seusai shalatnya.
Dia-lah yang selalu berbisik di telinga saya “Kamu bisa, nak…”
Namanya DIAH PHITA LOKA.
dan dia adalah ibu saya :)
Menantu Untuk Ibu
oleh : kembangbakung
www.kembangbakung.wordpress.com
Ibuku luar biasa, terutama karena terampil dan tahan mengurus anak perempuan seperti aku.
Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menjajari semua yang sudah Ibu perbuat dan berikan untukku.
Kini, sebuah tugas yang berarti untuk hidupku sendiri, yang ia harap-harapkan saja, belum lagi aku wujudkan… yaitu, memberinya seorang menantu.
Tapi ia tahu, ia mengerti, ia paham yang terbaik untukku.
Ia tahu, tidak mudah mendapatkan seorang yang menantu yang tepat untuk aku.
Ia mengerti, ... walaupun entah engkau tersembunyi di mana, tetapi ada dan memerlukan pencarian yang lebih tekun.
Ia paham,… tuntutan-tuntutan – yang dikira lucu dari sebuah iseng belaka – semacam “kapan kawin?”, “kapan kamu menyusul?” hanya akan lebih menyakiti,
maka tak pernah ia mengulang-ulang kecuali sekali saja dan sudah cukup dijawab dengan ketetapan hati.
Ia terus tabah mengawasiku berjuang – bahkan dalam setiap tindak tanduk yang tidak kuceriterakan, ia memahami perjalananku… dan ia berdoa diam-diam di setiap malamnya.
.
Ia tidak pernah menyodor-nyodorkan sosok lelaki idaman untuk disandingkan denganku.
Lebih tepatnya ia tidak punya, meskipun pernah mencoba.
Ia memahami sudah menjadi apa diriku sekarang, dan karenanya dia mengerti kualitas-kualitas yang mungkin dia ketahui, tidak lagi cukup untuk seorang aku.
Namun sempat ia berpesan, sesuatu yang menjadi peganganku untuk mencarimu yang entah di mana itu... “Pastikan ia membahagiakanmu dan layak menjadi pemimpinmu dalam agama”
Ia pun tak pernah merumuskan bagaimana bahagia yang ia maksudkan dalam pesan itu, karena ia ingin aku sendiri yang membuat desain dari kedamaian jiwa ragaku.
.
Ibuku yang hebat. Hanya perempuan sederhana. Tetapi ketangguhannya membesarkan aku... luar biasa.
Memberiku kehidupan dan membuatku memahami hidup, memahami diriku sendiri... tak seorang pun bisa menandinginya.
Kata seorang sahabat, Ibu adalah buku yang tak ada habisnya dibaca. Ibu adalah sumber. Ibu adalah kehidupan.
Hai engkau, calon menantu ibuku, segera tampakkan wajahmu dan sapalah anaknya.
.
www.kembangbakung.wordpress.com
Ibuku luar biasa, terutama karena terampil dan tahan mengurus anak perempuan seperti aku.
Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menjajari semua yang sudah Ibu perbuat dan berikan untukku.
Kini, sebuah tugas yang berarti untuk hidupku sendiri, yang ia harap-harapkan saja, belum lagi aku wujudkan… yaitu, memberinya seorang menantu.
Tapi ia tahu, ia mengerti, ia paham yang terbaik untukku.
Ia tahu, tidak mudah mendapatkan seorang yang menantu yang tepat untuk aku.
Ia mengerti, ... walaupun entah engkau tersembunyi di mana, tetapi ada dan memerlukan pencarian yang lebih tekun.
Ia paham,… tuntutan-tuntutan – yang dikira lucu dari sebuah iseng belaka – semacam “kapan kawin?”, “kapan kamu menyusul?” hanya akan lebih menyakiti,
maka tak pernah ia mengulang-ulang kecuali sekali saja dan sudah cukup dijawab dengan ketetapan hati.
Ia terus tabah mengawasiku berjuang – bahkan dalam setiap tindak tanduk yang tidak kuceriterakan, ia memahami perjalananku… dan ia berdoa diam-diam di setiap malamnya.
.
Ia tidak pernah menyodor-nyodorkan sosok lelaki idaman untuk disandingkan denganku.
Lebih tepatnya ia tidak punya, meskipun pernah mencoba.
Ia memahami sudah menjadi apa diriku sekarang, dan karenanya dia mengerti kualitas-kualitas yang mungkin dia ketahui, tidak lagi cukup untuk seorang aku.
Namun sempat ia berpesan, sesuatu yang menjadi peganganku untuk mencarimu yang entah di mana itu... “Pastikan ia membahagiakanmu dan layak menjadi pemimpinmu dalam agama”
Ia pun tak pernah merumuskan bagaimana bahagia yang ia maksudkan dalam pesan itu, karena ia ingin aku sendiri yang membuat desain dari kedamaian jiwa ragaku.
.
Ibuku yang hebat. Hanya perempuan sederhana. Tetapi ketangguhannya membesarkan aku... luar biasa.
Memberiku kehidupan dan membuatku memahami hidup, memahami diriku sendiri... tak seorang pun bisa menandinginya.
Kata seorang sahabat, Ibu adalah buku yang tak ada habisnya dibaca. Ibu adalah sumber. Ibu adalah kehidupan.
Hai engkau, calon menantu ibuku, segera tampakkan wajahmu dan sapalah anaknya.
.
“Ibu Sudah Kenyang, nak. Makanlah.”
Oleh: Petronella Putri (@PetronellaLau)
petronela.putri@live.com
Pinggiran Jakarta, suatu senja..
Perumahan di daerah kumuh ini memang selalu ramai. Ya, ramai oleh teriakan bocah – bocah yang sedang bermain dan bergurau, ramai oleh teriakan ibu – ibu yang sibuk menyuruh anaknya pulang, makan, mandi dan sebagainya. Ramai oleh bermacam – macam kegiatan lainnya. Perumahan, kurang pantas memang disebut begitu. Rumah – rumah yang kami tinggali bukan rumah mewah dan nyaman seperti mereka yang ada di tengah gelimang gemerlapan ibukota, rumah yang kami tinggali ini adalah rumah yang hanya mampu melindungi dari dinginnya hujan dan panasnya terik matahari. Hanya sesederhana itu.
Senja itu aku baru saja pulang. Seperti biasa, sedari pagi sampai siang aku mengamen, terkadang aku ikut beberapa teman – temanku memulung, demi mencari uang untuk sesuap nasi. Aku senang dilahirkan di atas ibukota ini, tapi alangkah lebih menyenangkan jika aku terlahir berkecukupan. Tidak perlu mewah, aku hanya ingin sekolah dan makan dengan layak. Tapi ibu selalu berkata “Syukuri saja, nak. Masih banyak yang lebih menderita dari kita.” Tiap kali ibu bicara seperti itu, aku hanya mengangguk lalu memeluknya. Hangat.
“Bu, hari ini masak apa?” aku meletakkan gitar kecilku di atas tikar dan menghampiri ibuku yang sibuk menyuapi Marni, adikku.
“Hari ini sambalnya hanya ikan asin dankerupuk, nak. Itu, ada nasi sepiring diatas meja. Makanlah, kamu letih kan?” Ibuku tersenyum, lalu kembali sibuk dengan Marni.
Aku menghampiri meja kecil di sudut rumah mungil kami, disana ada sepiring nasi dengan beberapa potong ikan asin dan beberapa buah kerupuk. Perutku lapar sekali hari ini, tapi hatiku tetap tidak bisa diam, “Bu, ibu sudah makan?”
“Ibu sudah kenyang. Makanlah nak. Habiskan nasinya ya, supaya ada tenaga untuk besok.” Ibu menjawab lagi, kali ini sambil mengalihkan pandangannya, tidak menatapku.
Aku tahu kebiasaan ibuku, ia tidak berani menatap mata lawan bicaranya ketika ia sedang berbohong, dan aku juga tahu.. ibu sedang berbohong padaku saat ini.
“Ibu makan setengahnya, setelah itu aku akan menghabiskan nasi ini.” aku menawarkan.
“Tidak apa, makan saja. Ibu masih harus menyuapi Marni, setelah ini mau melanjutkan jahitan. Tadi Bu Mer minta jahitannya diselesaikan besok, tidak ada waktu lagi.” Ibuku kembali beralasan.
Aku hanya diam, ibuku memang perempuan yang keras kepala.. tapi sekaligus perempuan paling tegar dalam hidupku. Ia tidak pernah mengeluh, sedangkan aku? Lapar saja aku mengeluh.
Akhirnya senja itu aku memakan nasi di piringku dengan suap demi suap yang sangat berat, hatiku terus berfikir “Ibuku pasti sangat lapar.”
=========
Jakarta, 7 Tahun Kemudian..
Mobil baru saja keluar dari parkiran basement gedung perkantoranku. Sore ini aku meminta izin pulang cepat kepada Mr. Jo, atasanku dikantor.
“Pak, tolong ke butik yang biasa ya. Setelah itu kita ke bakery sebentar.” Aku berujar pada Pak Ujang, supirku yang sedang asik menyetir.
“Iya Non.” jawabnya dengan patuh.
Dan perjalanan panjang sore itu membuatku berada cukup lama di dalam mobil dan mempunyai sedikit waktu luang untuk kembali mengenang masa laluku. Di lampu merah contohnya, aku melihat beberapa bocah sedang mengamen. Tanganku tergerak, meraih uang selebaran dua puluh ribuan dan memberikannya kepada salah satu dari mereka yang memetik gitarnya di depan mobilku. Aku melihatnya penuh haru, terkenang masa kecil sendiri. Dulu aku juga seperti dia, berkeliling di jalanan untuk mencari penghasilan yang hanya pas – pasan untuk makan sehari – hari, tapi pertemuanku dengan seorang pengusaha beberapa tahun lalu membuat semuanya berubah. Ia melamarku untuk putra tunggalnya dan menawarkan membiayai kuliahku sampai selesai. Setelah itu, aku dipekerjakan di salah satu kantor cabang miliknya dan diberi fasilitas yang terbilang cukup mewah.
Lamunanku buyar ketika Pak Ujang membukakan pintu dan menegur, “Sudah sampai, Non Milla. Bawaannya mau saya antarkan sekalian ke dalam?” tanyanya santun.
Aku mengangguk, “Iya Pak. Tolong diletakkan di ruang keluarga ya. Terima kasih.”
Pak Ujang meraih sebuah kotak berisi kado yang tadi kuambil di butik dan sekotak cake cokelat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Aku masih berusaha mengembalikan pikiranku dari flashback masa lalu. Aku menghela nafas panjang lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
“Mamaaaa..” seorang gadis kecil berpita biru berlari dari lantai dua dan menghampiriku ketika aku baru saja menjejakkan kakiku di ruang tamu.
“Hey, kenapa nih anak mama seneng banget?” Aku mencium pipi anakku.
“Ini kan hari Ibu. Jadi tadi Selma minta ditemenin sama nenek buat beliin mama kado. Dibuka ya, Ma. Moga mama suka.” Selma mengulurkan sebuah kotak mungil. Aku tersenyum dan membukanya, isinya sebuah jam tangan. Bukan jam tangan bermerek, tapi jam tangan ungu itu tetap terlihat indah di mataku, karena aku tahu.. Selma berusaha mengumpulkan uang jajannya selama sebulan ini hanya untuk membelikan kado itu. “Ini tabungan buat beli sesuatu, Ma.” jawabnya ketika aku bertanya waktu itu.
“Terima kasih ya sayang.” Aku memeluknya erat, “Mama suka banget kadonya.”
“Yeee.. Mama suka..” Selma berkata dengan nada polos lalu tersenyum riang.
“Ayo kita ke ruang keluarga, mama juga punya sesuatu untuk nenek.” aku menggandeng gadis itu masuk ke ruang keluarga. Disana aku melihat ibu sedang duduk menonton televisi.
“Bu, happy mothers day.” Aku memeluk ibuku dengan erat, perlahan setitik air mata jatuh membahasi pipi, “Terima kasih untuk segalanya ya, Bu. Untuk semua yang sudah ibu lalukan selama ini. Aku.. Aku bangga jadi anak ibu.”
Ibuku kaget, tapi ia kemudian membalas pelukan itu sambil membelai rambutku, “Sudahlah nak. Ibu tidak semulia itu.” ujarnya pelan.
“Bu, ini untuk ibu.” Aku menghapus air mataku dan mengulurkan sebuah kotak cokelat.
Ibu membuka kotak itu dan tersenyum melihat baju batik di dalamnya, “Terima kasih, Milla. Kamu memang paling tahu ibu suka batik.” Ibu membelai rambutku.
“Maaf ya, Bu. Aku baru bisa membahagiakan ibu sekarang.”
“Harusnya ibu yang minta maaf, nak. Selama hidupmu, ibu tidak pernah bisa memberimu sekolah yang layak, makan yang cukup dan fasilitas yang mewah.” sahut Ibu perlahan. Biarpun begitu, aku tahu betapa beratnya beban ibu selama ini, membesarkan aku dan adikku sendirian. Ayah sudah lama meninggalkan kami, jauh sebelum aku dan adikku beranjak remaja.
“Tapi toh aku bahagia dengan semuanya. Aku bahagia asal ada ibu, bukan karena kemewahan.” jawabku cepat.
Kami berdua kembali berpelukan dan baru tersadar oleh sebuah komentar, “Mama, nenek.. kuenya boleh dimakan?”
Aku dan ibuku lalu hanya tertawa kecil melihat tingkah Selma.
=======
6 bulan setelah itu..
Tanah merah itu masih basah karena hujan siang tadi. Aku tidak bisa menahan tangis, Alan – suamiku – segera memelukku erat, “Sabar Milla, sudah kehendak – Nya.”
“Nenek, nenek kok pergi sih.. Padahal kan Selma masih mau main bareng nenek.” Anakku menangis tertahan sambil meletakkan beberapa tangkai bunga diatas makam.
Perlahan satu – persatu pelayat berpamitan lalu meninggalkan lokasi pemakaman. Setelah itu beberapa kerabat dekat kami juga pamit pulang. Kini tinggallah aku, Selma dan Alan yang masih berdiri di depan makam ibuku. Ibu tadi malam terjatuh dari tangga, dokter mengatakan beliau mempunyai penyakit jantung.
“Selma, kita ke mobil duluan yuk.” Alan menggendong Selma yang masih menangis, membawanya menjauh, seakan mengerti keinginanku untuk tinggal sendirian.
Aku melepas kacamata hitam dan menyeka air mataku, perlahan aku tertunduk di depan makam ibu, “Bu, hanya sampai disini aku bisa membahagiakan ibu? Kenapa ibu tidak mau menunggu lebih lama lagi? Aku ini.. masih belum bisa membalas jasa ibu sepenuhnya.” tangisku ketika itu.
Perlahan hujan turun rintik – rintik, aku menengadah ke langit dan seolah melihat wajah ibuku sedang tersenyum. Aku ikut tersenyum dan seakan tersadar aku pun berbisik, “Semoga ibu bahagia disana. Aku sayang ibu. Ah, tidak.. Aku mencintai ibu. Selalu!”
……………..
Aku melangkahkan kaki menjauhi lokasi pemakaman. Langit senja sore itu kembali mengingatkanku pada masa kecil dan semua kenangan – kenangan bersama ibu. Aku tersenyum perlahan, ibuku.. ia bukan hanya perempuan paling tegar sedunia, ia adalah jelmaan malaikat. Hanya saja, tak bersayap. Ia adalah malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untukku.
========
petronela.putri@live.com
Pinggiran Jakarta, suatu senja..
Perumahan di daerah kumuh ini memang selalu ramai. Ya, ramai oleh teriakan bocah – bocah yang sedang bermain dan bergurau, ramai oleh teriakan ibu – ibu yang sibuk menyuruh anaknya pulang, makan, mandi dan sebagainya. Ramai oleh bermacam – macam kegiatan lainnya. Perumahan, kurang pantas memang disebut begitu. Rumah – rumah yang kami tinggali bukan rumah mewah dan nyaman seperti mereka yang ada di tengah gelimang gemerlapan ibukota, rumah yang kami tinggali ini adalah rumah yang hanya mampu melindungi dari dinginnya hujan dan panasnya terik matahari. Hanya sesederhana itu.
Senja itu aku baru saja pulang. Seperti biasa, sedari pagi sampai siang aku mengamen, terkadang aku ikut beberapa teman – temanku memulung, demi mencari uang untuk sesuap nasi. Aku senang dilahirkan di atas ibukota ini, tapi alangkah lebih menyenangkan jika aku terlahir berkecukupan. Tidak perlu mewah, aku hanya ingin sekolah dan makan dengan layak. Tapi ibu selalu berkata “Syukuri saja, nak. Masih banyak yang lebih menderita dari kita.” Tiap kali ibu bicara seperti itu, aku hanya mengangguk lalu memeluknya. Hangat.
“Bu, hari ini masak apa?” aku meletakkan gitar kecilku di atas tikar dan menghampiri ibuku yang sibuk menyuapi Marni, adikku.
“Hari ini sambalnya hanya ikan asin dankerupuk, nak. Itu, ada nasi sepiring diatas meja. Makanlah, kamu letih kan?” Ibuku tersenyum, lalu kembali sibuk dengan Marni.
Aku menghampiri meja kecil di sudut rumah mungil kami, disana ada sepiring nasi dengan beberapa potong ikan asin dan beberapa buah kerupuk. Perutku lapar sekali hari ini, tapi hatiku tetap tidak bisa diam, “Bu, ibu sudah makan?”
“Ibu sudah kenyang. Makanlah nak. Habiskan nasinya ya, supaya ada tenaga untuk besok.” Ibu menjawab lagi, kali ini sambil mengalihkan pandangannya, tidak menatapku.
Aku tahu kebiasaan ibuku, ia tidak berani menatap mata lawan bicaranya ketika ia sedang berbohong, dan aku juga tahu.. ibu sedang berbohong padaku saat ini.
“Ibu makan setengahnya, setelah itu aku akan menghabiskan nasi ini.” aku menawarkan.
“Tidak apa, makan saja. Ibu masih harus menyuapi Marni, setelah ini mau melanjutkan jahitan. Tadi Bu Mer minta jahitannya diselesaikan besok, tidak ada waktu lagi.” Ibuku kembali beralasan.
Aku hanya diam, ibuku memang perempuan yang keras kepala.. tapi sekaligus perempuan paling tegar dalam hidupku. Ia tidak pernah mengeluh, sedangkan aku? Lapar saja aku mengeluh.
Akhirnya senja itu aku memakan nasi di piringku dengan suap demi suap yang sangat berat, hatiku terus berfikir “Ibuku pasti sangat lapar.”
=========
Jakarta, 7 Tahun Kemudian..
Mobil baru saja keluar dari parkiran basement gedung perkantoranku. Sore ini aku meminta izin pulang cepat kepada Mr. Jo, atasanku dikantor.
“Pak, tolong ke butik yang biasa ya. Setelah itu kita ke bakery sebentar.” Aku berujar pada Pak Ujang, supirku yang sedang asik menyetir.
“Iya Non.” jawabnya dengan patuh.
Dan perjalanan panjang sore itu membuatku berada cukup lama di dalam mobil dan mempunyai sedikit waktu luang untuk kembali mengenang masa laluku. Di lampu merah contohnya, aku melihat beberapa bocah sedang mengamen. Tanganku tergerak, meraih uang selebaran dua puluh ribuan dan memberikannya kepada salah satu dari mereka yang memetik gitarnya di depan mobilku. Aku melihatnya penuh haru, terkenang masa kecil sendiri. Dulu aku juga seperti dia, berkeliling di jalanan untuk mencari penghasilan yang hanya pas – pasan untuk makan sehari – hari, tapi pertemuanku dengan seorang pengusaha beberapa tahun lalu membuat semuanya berubah. Ia melamarku untuk putra tunggalnya dan menawarkan membiayai kuliahku sampai selesai. Setelah itu, aku dipekerjakan di salah satu kantor cabang miliknya dan diberi fasilitas yang terbilang cukup mewah.
Lamunanku buyar ketika Pak Ujang membukakan pintu dan menegur, “Sudah sampai, Non Milla. Bawaannya mau saya antarkan sekalian ke dalam?” tanyanya santun.
Aku mengangguk, “Iya Pak. Tolong diletakkan di ruang keluarga ya. Terima kasih.”
Pak Ujang meraih sebuah kotak berisi kado yang tadi kuambil di butik dan sekotak cake cokelat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Aku masih berusaha mengembalikan pikiranku dari flashback masa lalu. Aku menghela nafas panjang lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
“Mamaaaa..” seorang gadis kecil berpita biru berlari dari lantai dua dan menghampiriku ketika aku baru saja menjejakkan kakiku di ruang tamu.
“Hey, kenapa nih anak mama seneng banget?” Aku mencium pipi anakku.
“Ini kan hari Ibu. Jadi tadi Selma minta ditemenin sama nenek buat beliin mama kado. Dibuka ya, Ma. Moga mama suka.” Selma mengulurkan sebuah kotak mungil. Aku tersenyum dan membukanya, isinya sebuah jam tangan. Bukan jam tangan bermerek, tapi jam tangan ungu itu tetap terlihat indah di mataku, karena aku tahu.. Selma berusaha mengumpulkan uang jajannya selama sebulan ini hanya untuk membelikan kado itu. “Ini tabungan buat beli sesuatu, Ma.” jawabnya ketika aku bertanya waktu itu.
“Terima kasih ya sayang.” Aku memeluknya erat, “Mama suka banget kadonya.”
“Yeee.. Mama suka..” Selma berkata dengan nada polos lalu tersenyum riang.
“Ayo kita ke ruang keluarga, mama juga punya sesuatu untuk nenek.” aku menggandeng gadis itu masuk ke ruang keluarga. Disana aku melihat ibu sedang duduk menonton televisi.
“Bu, happy mothers day.” Aku memeluk ibuku dengan erat, perlahan setitik air mata jatuh membahasi pipi, “Terima kasih untuk segalanya ya, Bu. Untuk semua yang sudah ibu lalukan selama ini. Aku.. Aku bangga jadi anak ibu.”
Ibuku kaget, tapi ia kemudian membalas pelukan itu sambil membelai rambutku, “Sudahlah nak. Ibu tidak semulia itu.” ujarnya pelan.
“Bu, ini untuk ibu.” Aku menghapus air mataku dan mengulurkan sebuah kotak cokelat.
Ibu membuka kotak itu dan tersenyum melihat baju batik di dalamnya, “Terima kasih, Milla. Kamu memang paling tahu ibu suka batik.” Ibu membelai rambutku.
“Maaf ya, Bu. Aku baru bisa membahagiakan ibu sekarang.”
“Harusnya ibu yang minta maaf, nak. Selama hidupmu, ibu tidak pernah bisa memberimu sekolah yang layak, makan yang cukup dan fasilitas yang mewah.” sahut Ibu perlahan. Biarpun begitu, aku tahu betapa beratnya beban ibu selama ini, membesarkan aku dan adikku sendirian. Ayah sudah lama meninggalkan kami, jauh sebelum aku dan adikku beranjak remaja.
“Tapi toh aku bahagia dengan semuanya. Aku bahagia asal ada ibu, bukan karena kemewahan.” jawabku cepat.
Kami berdua kembali berpelukan dan baru tersadar oleh sebuah komentar, “Mama, nenek.. kuenya boleh dimakan?”
Aku dan ibuku lalu hanya tertawa kecil melihat tingkah Selma.
=======
6 bulan setelah itu..
Tanah merah itu masih basah karena hujan siang tadi. Aku tidak bisa menahan tangis, Alan – suamiku – segera memelukku erat, “Sabar Milla, sudah kehendak – Nya.”
“Nenek, nenek kok pergi sih.. Padahal kan Selma masih mau main bareng nenek.” Anakku menangis tertahan sambil meletakkan beberapa tangkai bunga diatas makam.
Perlahan satu – persatu pelayat berpamitan lalu meninggalkan lokasi pemakaman. Setelah itu beberapa kerabat dekat kami juga pamit pulang. Kini tinggallah aku, Selma dan Alan yang masih berdiri di depan makam ibuku. Ibu tadi malam terjatuh dari tangga, dokter mengatakan beliau mempunyai penyakit jantung.
“Selma, kita ke mobil duluan yuk.” Alan menggendong Selma yang masih menangis, membawanya menjauh, seakan mengerti keinginanku untuk tinggal sendirian.
Aku melepas kacamata hitam dan menyeka air mataku, perlahan aku tertunduk di depan makam ibu, “Bu, hanya sampai disini aku bisa membahagiakan ibu? Kenapa ibu tidak mau menunggu lebih lama lagi? Aku ini.. masih belum bisa membalas jasa ibu sepenuhnya.” tangisku ketika itu.
Perlahan hujan turun rintik – rintik, aku menengadah ke langit dan seolah melihat wajah ibuku sedang tersenyum. Aku ikut tersenyum dan seakan tersadar aku pun berbisik, “Semoga ibu bahagia disana. Aku sayang ibu. Ah, tidak.. Aku mencintai ibu. Selalu!”
……………..
Aku melangkahkan kaki menjauhi lokasi pemakaman. Langit senja sore itu kembali mengingatkanku pada masa kecil dan semua kenangan – kenangan bersama ibu. Aku tersenyum perlahan, ibuku.. ia bukan hanya perempuan paling tegar sedunia, ia adalah jelmaan malaikat. Hanya saja, tak bersayap. Ia adalah malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untukku.
========
Perempuan Sempurna Itu
Oleh: Tenni Purwanti (@rosepr1ncess)
Aku merindukan saat-saat tubuhku bersatu dengannya
Saat yang amat hangat dimana detak jantungnya adalah hidupku
Aku merindukan tetes air yang segar
Ketika bersandar di dadanya untuk melepas dahagaku
Beranjak dewasa kami berpaut jarak
Hingga cantik senyumnya tak lagi menyapa mata
Tapi doa tulus tak pernah putus iringi langkahku
Menuju impian yang selalu jadi celoteh masa kecilku
Aku berjanji akan kembali pada satu masa
Dimana satu bangga akan disandangnya
Sebagaimana kagumku pada sosok tanpa cela
Perempuan sempurna itu : mama
Aku merindukan saat-saat tubuhku bersatu dengannya
Saat yang amat hangat dimana detak jantungnya adalah hidupku
Aku merindukan tetes air yang segar
Ketika bersandar di dadanya untuk melepas dahagaku
Beranjak dewasa kami berpaut jarak
Hingga cantik senyumnya tak lagi menyapa mata
Tapi doa tulus tak pernah putus iringi langkahku
Menuju impian yang selalu jadi celoteh masa kecilku
Aku berjanji akan kembali pada satu masa
Dimana satu bangga akan disandangnya
Sebagaimana kagumku pada sosok tanpa cela
Perempuan sempurna itu : mama
Ibu Yang Sebenarnya
Oleh: Naz Farawla (@ninafahmi)
Nazfarawla.blogspot.com
Ibu melindungiku ketika kukecil.
Aku berlari dan terjatuh, ibu membuatku berdiri.
Ibu mengarahiku ketika ku remaja.
Aku diperbolehkan pergi hanya jika pulang sebelum maghrib.
Ibu melepasku ketika ku dewasa.
Aku menikah.
Ibu melindungi, mengarahkan, lalu kemudian melepasku.
Aku lega.
Aku lelah dan ingin istirahat.
Untuk sejenak aku merasa nyaman ‘hanya’ menjadi seorang istri.
Ketika kecil, aku menjadi ibu. Ketika ku remaja aku menjadi ibu. Ketika ku dewasa aku menjadi ibu.
Aku menjadi ibu bagi diriku sendiri. Sekian lama.
Sebentar lagi aku akan menjadi ibu. Ibu yang sebenarnya untuk anakku.
Ku elus halus dirinya dibawah perut besarku.
“Nak, kau akan ditemukan orang disini, dipelukanku. Bukan di tong sampah itu.”
Nazfarawla.blogspot.com
Ibu melindungiku ketika kukecil.
Aku berlari dan terjatuh, ibu membuatku berdiri.
Ibu mengarahiku ketika ku remaja.
Aku diperbolehkan pergi hanya jika pulang sebelum maghrib.
Ibu melepasku ketika ku dewasa.
Aku menikah.
Ibu melindungi, mengarahkan, lalu kemudian melepasku.
Aku lega.
Aku lelah dan ingin istirahat.
Untuk sejenak aku merasa nyaman ‘hanya’ menjadi seorang istri.
Ketika kecil, aku menjadi ibu. Ketika ku remaja aku menjadi ibu. Ketika ku dewasa aku menjadi ibu.
Aku menjadi ibu bagi diriku sendiri. Sekian lama.
Sebentar lagi aku akan menjadi ibu. Ibu yang sebenarnya untuk anakku.
Ku elus halus dirinya dibawah perut besarku.
“Nak, kau akan ditemukan orang disini, dipelukanku. Bukan di tong sampah itu.”
Dear Mom
Oleh : @17thstarlight
D'you recognize this typical quarrel mom?..between u&me.
Quarrels we've been having since I could remember.
Dad once said to me..it's all because of our same personality, mom.
Definitely, your blood's in mine though we don't have same bloodtype.
A psychological article mentioned that It's because you're the closest person on earth to me, mom.
So I could come out my feeling easily to you, even the worst.
Whatever it is mom, d'you ever known..every words I said that hurt you, are hurt me back at the same time.
& the fact that u always have forgiven me before I do, makes my tears nothing.
I might asking to much mom, by not resembling the life u chose.
But if only u could, for one moment, seeing w/ my glasses, u might not hate the things I like..then u might understand why I love those.
I am tired mom, I really am. I'm sorry for not able to make u proud..someday I wish I could.
I love u mom.
But afterall, I realized that u're the only one who always have that telephatic things with me..
U're the one who have so many things to do but still knowing all my favorites..
U're the one who stay beside me everytime I get into the hospital..
It seems like I'm the one who's being selfish all the time..
I'm so sorry mom, I hope there's still enough time for us to work things out..
And someday when I'll be a mother, I hope I could be as super as you :')
D'you recognize this typical quarrel mom?..between u&me.
Quarrels we've been having since I could remember.
Dad once said to me..it's all because of our same personality, mom.
Definitely, your blood's in mine though we don't have same bloodtype.
A psychological article mentioned that It's because you're the closest person on earth to me, mom.
So I could come out my feeling easily to you, even the worst.
Whatever it is mom, d'you ever known..every words I said that hurt you, are hurt me back at the same time.
& the fact that u always have forgiven me before I do, makes my tears nothing.
I might asking to much mom, by not resembling the life u chose.
But if only u could, for one moment, seeing w/ my glasses, u might not hate the things I like..then u might understand why I love those.
I am tired mom, I really am. I'm sorry for not able to make u proud..someday I wish I could.
I love u mom.
But afterall, I realized that u're the only one who always have that telephatic things with me..
U're the one who have so many things to do but still knowing all my favorites..
U're the one who stay beside me everytime I get into the hospital..
It seems like I'm the one who's being selfish all the time..
I'm so sorry mom, I hope there's still enough time for us to work things out..
And someday when I'll be a mother, I hope I could be as super as you :')
Langganan:
Postingan (Atom)