Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Kencan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kencan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Juni 2011

The Last Date

Lidya Christina Yowendro (@lid_yang)


Her heart throbbed with excitement as the gentle hands which had been covering her eyes slowly moved away. Bright, blinding lights replaced the darkness as she opened her eyes.

“Sam!!” she cried out in astonishment. “This is…”

“Especially for you, for tonight.” The person who had been standing behind her since they entered, moved next to her. He held up her hand and put it in his arms. “This way.”

He smiled and guided her through the room.

She had never seen a place like that. The room was almost empty except for a table and the vase on it at one corner. The chandelier hanging on the ceiling above shone brightly across the room, providing enough light so that no shadow could be seen. The crystals dangling from the chandelier reflected the light to every nook and corner of the room. The windows were tall and gave off a classic atmosphere with the carvings on the windowsills.

They made their way across the room into another smaller room. Sam pushed open the glass door and gestured to her to enter.

“Ladies first,” he said, with the same mesmerizing smile he had been given her since they first met. The exact same smile which attracted her to him in the very beginning of their fateful meeting.

In the smaller room, there were only a table in the centre of the room and a grand piano not far away from it. Sam pulled out a chair for her to sit in. She gladly obliged.

“You are being weird today,” she said, after Sam took his seat across her.

“Am I?”

“Yes, of course, you are! You are so… sweet today, so… gentlemanly.” She gave him a puzzled look.

“Well, I thought I should give you surprises once in a while. So that you wouldn’t forget me.”

“Why would I forget…” She was stopped in her words as Sam motioned her to start the dinner.

The food was delightful. But she couldn’t help asking questions during the dinner, to which Sam replied “Let’s concentrate on eating first. I want this to be the most perfect date.”

After eating, Sam suddenly stood up and walked up the steps to the small stage the piano was placed on.

“This is a piece dedicated just for you. To Clarice.” Sam started playing it. He had always been good at music and his best was the piano. There were an awful lot of times when she would request him to write a piece for her. “Wait till the time’s right,” he would reply.

It was starting to rain as they once again stood at where they had come in.

“Well, what do you think?” Sam asked.

“Not bad,” Clarice chuckled. “But I don’t really like the appetizer, but I love the dessert and that song. I’d never thought you’d play it in a date like this.”

“Well, this is not just a date. It’s our best date!”

“Yes, I know. You are being weird today. What’s up with you?”

“Remember, Clare.” His face leaned closer, causing her heart to beat faster as her cheeks turned redder. “I love you.” Then he gently kissed her forehead.

“I’ve always known that you like me doing that.” He smiled as he pulled his face away.

Then, in an instant, she leaned closer and placed a kiss on his cheek.

“Thank you so much, Clare. For everything.” He said as he stepped away from her.

“Good bye, Clare. I love you.”

*

Clarice was startled by the vibration of her phone.

“Why now?” She groaned.

It was a message from Stacy, Sam’s sister.

Clare, Sam’s at the hospital. He met with an accident. Critical condition. Come now!

Clarice’s heartbeat stopped for a second. Then she thought of the dream she had just had.

“No…” Her phone dropped to the floor.

Rindu


Oleh Pep (http://pepshe.tumblr.com/)

berharap kencan kali ini sukses!

sudah lama aku tak melakukannya...
tapi...
entah kenapa aku jarang mengambil kesempatan ini...
padahal hati ini rindu...
dan...
malam ini aku terjaga...
tanpa pikir panjang...
segera ku basuh muka, tangan, rambut, telinga dan kaki ini...
meski...
dingin yang ku rasakan...

sudahlah...
yang penting kali ini...
aku bisa kencan denganMU...
berbagi semua denganMU...
hanya denganMU...

Alhamdulillah...sukses!

Kencan Keempat


Oleh Sintamilia Rachmawati


Kencan Pertama
Jadwal perkemahan siang ini adalah lintas alam. Para panitia bersiaga di posnya masing-masing kecuali aku. Aku adalah ketua pelaksana yang bebas berada di mana saja, asalkan tidak jauh-jauh dari walkie-talkie kalau-kalau ada anak buahku yang menemukan masalah dan perlu menghubungiku.

"Hey, Ran! Ikut aku yuk!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Rama. Panitia Dokumentasi. Seolah ia bisa membaca wajahku yang sedang bosan.

"Kemana?" tanyaku.
"Lintas alam," sahutnya tersenyum sambil mengacungkan kamera SLRnya.

Kami berjalan berdua menembus hutan.
Dia mengalungkan SLR, aku mengenggam walkie-talkie.

Ia memotret pemandangan, rombongan peserta yang lewat, panitia yang berjaga di pos-pos, dan aku.
Satu kali ia memotretku. Close-up.


Kencan Kedua
Setelah beberapa kali makan nasi bungkus, hari ini ada yang spesial: makanannya prasmanan. Hal ini untuk menghormati bapak Walikota yang berkunjung untuk melihat-lihat kegiatan perkemahan.

Kemarin-kemarin ketika makan nasi bungkus, setiap panitia bisa makan kapan saja dan dimana saja. Sendiri-sendiri. Masing-masing. Tapi kali ini, kami makan di waktu yang sama dan di ruangan yang sama.

Rama memilih tempat duduk di depanku sehingga aku bisa mendengarkan ceritanya tentang momen-momen seru yang ia potret hari ini. Aku senang memperhatikan wajahnya lama-lama.
Aku berharap ia tak terlalu cepat menghabiskan makanannya.


Kencan Ketiga (hanya sesaat)
Beberapa hari setelah perkemahan usai, kami mengadakan piknik dalam
rangka pembubaran panitia.
Rama menjemputku.
Rumah kami memang searah.

"Rama, aku perlu beberapa foto dokumentasi untuk dilampirkan di
laporan. Tolong dicetak ya?"
"Perlu kapan?" tanyanya.
"Paling lambat lusa, lah," jawabku.
"Lusa.." dia berpikir. "Lusa aku keluar kota. Gimana kalau malam ini
aku ke rumah kamu, transfer foto-foto ke komputermu, biar kamu bisa
milih mana yang mau dicetak?"
"Terus aku yang ke percetakan, gitu?" sahutku dengan sedikit nada protes.
Rama nyengir. Tampan sekali.
"Ya udah kalau gitu besoknya kita ke percetakan bareng,"
"Oke," sahutku tersenyum.

Besok akan jadi kencan keempat.

"Btw, kita sekarang jemput Hanum dulu yah. Dia pengen ikut. Kasihan
juga sih. Kayaknya aku terlalu sibuk di luar jadi kurang perhatian
sama dia," ucap Rama.

Hanum adalah pacarnya.

BIOLA SERIBU RUPIAH


Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com

Aku melangkah dalam sebuah alur yang berliku. Terkadang harus mendaki bukit kecil yang melintang, tetapi juga kadang menapak bebatuan yang terserak. Dalam temaram malam aku melangkah hendak mencari bintang. Bintang yang akan senantiasa bersinar di hatiku.

Di ujung jalanku, aku berhenti di depan sebuah papan nama. Papan nama bertuliskan nama sebuah Studio Musik. Aku melangkah mendekat dan kudengar sayup suara biola mengiris habis kerinduanku. Kerinduan akan alunan musik klasik yang setiap malam aku dengar dari balik pagar studio itu. Selepas aku pulang kerja.

Hampir setiap malam aku mendengar nada menyayat dalam setiap suara yang terbawa angin malam. Sayup-sayup. Selalu singgah di telingaku tanpa pernah aku tahu siapa yang memainkan titian nada itu. Satu yang aku tahu, dia adalah anak gadis pemilik studio itu.

Aku kembali melangkah menuju rumah dan berhenti sesaat di depan kios sebelah studio. Aku terima uang kembalian berupa selembar uang seribuan. Tak lama, seiring waktu yang berjalan sampailah aku di rumahku. Rasa lelah membuatku terlelap dalam alunan biola yang masih tertinggal di gendang telingaku.

Keesokan harinya, mentari menerobos jendela kamarku saat aku bersiap berangkat kerja. Kuraih selembar uang seribuan kumal kembalian semalam. Bermaksud untuk persiapan membeli sarapan. Mataku terbeliak saat aku menemukan sesuatu yang berbeda pada lembaran itu.

Di samping gambar pahlawan ada tiga buah tanda tangan, tanpa nama. Aku amati lagi ternyata ada nomor telepon di bawah tanda tangan itu. Tanda tangan yang simpel menyerupai huruf D dan terkesan asal-asalan ditulis. Segera aku menyalin nomor itu ke telepon genggamku.

Keraguan mengecup lembut hatiku saat ada sebuah angka yang tertulis samar. Seperti angka delapan tetapi menyerupai angka tiga. Keraguan menghentikan jemariku menari. Saat bayangan angka membias di mataku dengan jelas, aku yakin itu adalah angka tiga.

Kusimpan dalam sebuah senyuman dan merakitnya menjadi sebuah semangat menjalani hari. Hari yang berbeda. Tak seperti biasanya saat senyumku tenggelam dalam beban kerja dan setumpuk tugas harian. Tugas yang membuat aku tak cukup banyak waktu untuk diriku sendiri.

Jam istirahat makan siang adalah waktuku. Kuhabiskan waktu itu dengan mencumbu tombol QWERTY telepon genggamku. Angka demi angka aku tekan, sehingga membentuk sebuah deretan angka yang tak berurutan. Persis seperti deretan angka di lembar uang seribuan yang aku simpan di dompetku.

"Hei...kenalkan. Aku Andre. Kamu siapa?"

"Aku Dina," jawab suara lembut di seberang.

"Salam kenal ya. Boleh dong kita ketemuan?" tanyaku dalam rasa tidak sabar.

"Boleh saja," jawabnya ringan.

Aku mencatat alamat rumah yang telah diberikan. Rasa bahagia akan sebuah perjumpaan membuatku semakin terlena dengan pekerjaan. Tanpa terasa waktu pulang pun tiba. Sesaat lagi adalah waktu yang telah disepakati.

Aku bergegas dan kembali menapak jalan dalam temaram malam. Kubaca lagi alamat yang tertera dan aku cocokkan dengan jalan yang kulalui. Tak sulit, karena aku mengenal betul jalan itu. Jalan yang hampir tiap hari kulalui saat pulang ke rumah.

Langkahku terhenti saat penglihatanku tertumbuk pada papan nama Studio Musik. Alamat yang persis dengan yang tertera di catatanku. Rasa tak percaya bercampur bahagia justru membuatku ragu. Tiba-tiba aku tak yakin kalau ini adalah alamat yang kutuju.

Di depan gerbang aku mendengar kembali samar-samar irama biola. Merayuku untuk semakin mendekati sumber suara. Kesendirianku selama ini membuatku berani untuk mengucapkan salam. Berulangkali sampai akhirnya suara biola itu berhenti dan aku dipersilahkan masuk. Aku duduk di ruang tamu dan menunggu dalam gelisah. Tak pernah tahu seperti apa gadis yang hendak aku temui. Ini kencan buta pertamaku.

Hatiku melonjak saat aku melihat sesosok gadis muda berusia dua puluhan berjalan pelan ke arahku. Dengan hati-hati dia duduk tepat di kursi di depanku.

"Hei...Aku Andre, yang tadi siang menelponmu" kataku sambil menjulurkan tangan kananku.

"Aku Dina," katanya sambil menjabat erat tanganku.

Obrolan mengalir dalam berbagai topik. Aku berpikir sepertinya dia seorang gadis yang cerdas meskipun hanya lulusan SMA. Waktu sepertinya tak bersahabat denganku malam ini. Jarum jam sepertinya terasa cepat sekali menuju angka sembilan.

Aku segera pamit dan berjanji akan kembali besok malam Minggu. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum. Senyumku yang tak akan pernah dia lihat dalam keterbatasan penglihatannya.

Laki-laki Celung Mata Hitam



Oleh: Ellena Ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com


Mereka menyebutnya hewani. Ia menyebutnya hakiki.
Kita bicara tentang nafsu birahi.

Nafasnya menderu sesisa malam, dengan dada naik dan turun mengikuti pompa jantungnya.
“Tidak, Sayang. Saya tidak akan berhenti.”
Malam hening tidak menjawab, hanya sesekali cicit tikus terdengar dari arah gudang. Ia tidak peduli. Lembab tanah sehabis hujan mengisi udara malam pinggiran Jakarta, membawa aroma bangkai kucing yang tertabrak tadi siang menyelinap masuk ke dalam kamar, sepenuhnya mengusik indra penciuman. Ia tidak peduli. Peluh berbutir-butir jagung mengikisi sisa-sisa pemulas, menyembulkan bekas jerawat yang ditutup-tutupi. Ia tetap tidak peduli.
Matanya adalah kelam, menyaru dengan langit ibukota yang memuram mendekati dini hari. Kelam dari dua iris melekat pada laki-laki di hadapannya yang membalas tanpa senyuman. Bukan absensi senyuman yang ia pedulikan, karena menurutnya, sudah bukan dari mulut manusia seharusnya berkata-kata. Mata. Adalah mata yang membahasakan perihal yang tidak bisa dilampaui kata, dan adalah lidah yang selama ini telah menjadikannya semu. Mata sang lelaki yang ia pedulikan. Lalu bagaimana ia mendengar jika bukan dengan bibir lagi telinga dipasangkan? Ia memilih untuk mendengar lewat celah-celah pori-pori yang menyelubungi sekujur tubuhnya. Adalah kulit yang menjadikan mereka bertangkapan kata-kata.
Pertemuan kulit dua individu adalah kotor, sebut bekas teman-temannya. Namun, pikirnya, hanya dengan laki-laki ini aku bisa bahagia. Laki-laki ini yang telah menjadikan dia sebagai dirinya sendiri. Laki-laki ini yang membiarkan ia berbicara tentang kesiapaan yang dianggap bidah. Begitulah. Mereka berjumpa dalam kesamaan akan keterasingan, sama-sama saling terpesona oleh keapaadaan, dan yang terpenting: mereka adalah sama dalam pertanyaan tentang siapa diri mereka sendiri.

Pada awalnya hanya saling melempar pandang. Ia hanya berdiri di samping bingkai jendela setinggi dinding bangunan yang menjatuhkan bayangannya sampai ke tubuh si laki-laki. Sang laki-laki tak bergeming, hanya membalas tatapan yang canggung dengan senyuman. Ia datang menghampiri.
“Saya iri pada ilalang.” Ujarnya pada awal perkenalan. Kalimat pembuka paling klise yang selalu ia ucapkan pada setiap laki-laki yang mulai mengambil hatinya.
“Kenapa? Kenapa tidak iri saja pada mawar?” timpal si laki-laki.
Ia tersenyum lalu menjawab, “Karena meski seluruh spesies manusia menyebut mawar adalah indah dan baik, sembari dengan tidak langsung menyebut ilalang adalah sampah, ilalang tetap tumbuh dengan bebas dan menjadi dirinya sendiri.”
Si laki-laki, dengan matanya yang gelap, menatap dengan kekaguman. “Kamu.. pasti satu dari ilalang yang pantas disimpan pulang.”
Ia tersipu. Untuk pertama kalinya, pertanyaan klisenya tidak berakhir dengan kerut-kerut penuh tanda tanya di dahi si laki-laki yang menyeret kakinya pergi melangkah menjauhi. Mata sang laki-laki menghujaninya dengan pesona. Ia makin tersipu. Semakin dalam ia menyelami gelap mata sang laki-laki, semakin dalam ia menikmati ketidakberdayaannya untuk berenang pulang ke tepian. Di dasar gelap mata si laki-laki, ia menemukan rumah, yang bukan sekedar tempat singgah.
Pada laki-laki ini ia jatuh cinta. Lalu di dalam bangunan yang sama dan di ruang yang sama tempat mereka pertama kali mengenal, keduanya berjanji untuk terus bertemu. Kencan.  Dengan saling membalas tatapan mata, keduanya menyetujui kencan setiap malam. Rindu kadang adalah keserakahan.
Dan cinta membawa mereka pada pertemuan-pertemuan sepanjang malam: menghabiskan menit-menit dengan masing-masing merangkak ke dalam pangkal pikiran masing-masing yang menggelitik untuk dinikmati. Mereka menikmati kencan-kencan mereka, yang dihabiskan bukan dengan gerungan asap knalpot jalanan protokol, bukan dengan kisah percintaan basi di bioskop, juga bukan dengan kilau piring resto yang hanya akan membuat masing-masing sibuk dengan dagingnya sendiri-sendiri. Mereka berkencan dengan indera mereka bersenggama: mata yang berbicara; bibir yang terkatup mengagumi bersama lidah; telinga bias oleh hening; hidung yang rakus menghirupi sisa pikiran yang berceceran; dan kulit yang saling bertemu, dengan peluh mengikuti kenaluriannya sebagai manusia.

Ada cinta yang membumbung tinggi, menyembul keluar dari genting merah yang menaungi kencan mereka. Ada cinta yang mengisi oksigen-oksigen mereka yang dihirupi dengan penuh rasa. Biasanya ada cinta. Malam ini memang dimulai dengan cinta, dan tentunya birahi, namun berakhir dengan gelisah.

“Kenapa malam ini harus jadi yang terakhir?” Ia mengelap peluh di dahinya, berkata dengan gemetar nyaris menangis.
Si laki-laki menatapnya, masih dalam diam. Celung matanya semakin hitam sepanjang malam. Mungkin si laki-laki adalah manusia yang terlalu letih membiarkan siapa saja menyelami gelap matanya, mengorek habis tentang dirinya hingga tidak ada rahasia yang bersisa. Apalagi tenaga seseorang jika bukan dari rahasia-rahasia kehidupan: masa lalu, mimpi gila, dan cita-cita utopis, semangat hidupnya dibangun?
“Kamu bosan dengan saya?” Ia merengek. “Apa kencan kita membosankan?”
Tidak ada kerutan di dahi si laki-laki, tidak ada kedutan di celung matanya, tidak ada guratan yang meninggi di bawah bibirnya. Tidak ada perubahan apa-apa di wajahnya. Hanya matanya semakin menghitam.
“Apa semua laki-laki adalah sama?” Matanya merah dan nanar. Si laki-laki tetap tidak menjawab.
Ia menghentikan desahnya yang telah panjang mengisi sunyi, mulai berganti dengan isakan yang meninggi. Sudah tidak bisa lagi ia bertanya, hanya menangis saja meraung-raung. Sayangnya, air mata tidak membuat si laki-laki sekedar menatapnya iba. Beremosi pun juga tidak. Ia mendongak menatap mata si laki-laki, dan hitamnya adalah kesolidan kebertiadaartian. Tangisnya memelan, bergantian dengan sengal nafas yang berisi marah. “Kalau kamu bosan, ya sudah! Saya masih bisa cari pengganti!”
Si laki-laki celung mata hitam tidak menjawab, hanya menatap punggung yang tadi sesegukan menyampaikan ‘selamat tinggal’. Iya, segesa itu ia akan menikmati mata laki-laki lain untuk berbagi kata untuk membahasakan pikirannya yang mengelana sepanjang harinya yang sepi.
“Hai,” ujarnya, “Kamu tahu? Saya kadang iri dengan ilalang.”
Ia membuka percakapan, menatap penuh cinta dan obsesi pada mata laki-laki di hadapannya sekarang. Matanya sama hitam, celungnya menceritakan kesepian, ekspresi jiwanya yang tidak tergapai.
Ia menjulurkan tangan kanannya, melanjutkan pikirannya menyetir ini dan itu.
Ia tenggelam pada celung hitam mata laki-laki yang baru, dengan birahi yang meninggi, lupa pada hari yang telah disusupi pagi. Ia terus tenggelam dalam pikirannya dan pikiran laki-lakinya yang baru. Laki-laki celung mata hitam yang dulu hanya menatap dari sisi dinding di belakangnya, tidak pernah berkata apa-apa lagi. “Sudah bisa ia, sudah mati,” bisiknya pada laki-laki celung hitam yang baru.

Tetangga sebelah rumahnya melongok dari ujung jalan. Ia menoleh sebentar, tidak peduli, hanya melanjutkan kencannya dengan laki-laki yang baru yang lebih menggairahkan, meski pagi ribut minta disapa. Tetangganya mencibiri persetubuhan yang terlihat dari balik jendela. Ia hanya balas mencibir. “Manusia tukang menghakimi. Memangnya kamu itu orang benar.”
Ia mendengus lalu menutup tirai jendela.
Si tetangganya mengawali hari tentang kelibatan pikiran yang tidak bisa disimpan sendiri. Tetangganya yang lain berpapasan setelahnya, sama-sama bergidik dengan apa yang baru mereka curi lihat. Mereka bersapaan dengan tatapan.
Satu dari mereka yang mulai berbagi dengan ngeri, “Gila. Bahkan sekarang sampai pagi!”
“Apanya?”
“Dulu ia berbicara dengan lukisan minyaknya sendiri, sekarang bahkan bercumbu dengannya!”
Lalu hening yang canggung mengisi antara mereka, yang memutuskan untuk berjalan dalam diam tanpa perlu merespon apa-apa. Ilalang di lahan kosong bergoyang sambil tertawa.

Kencan Telepati


By : @eunikeglr



Dinginnya angin tidak membuat mereka bergeming. Malam yang sangat
hening. Malam tanpa kekosongan. Keduanya saling menatap. Mereka tidak
membutuhkan sepatah kata apapun untuk saling memahami. Ketika kutanya,
“Kapan pertama kalian berkencan?” Mereka hanya tertawa. Aku tak pernah
mendapat jawabannya. Mereka terlalu sulit dipahami. Pasangan yang
aneh. 

Aku masih ingat suatu malam ketika mereka pergi bersama. Tak satupun
kalimat muncul dari bibir mereka. Kata temanku, “Mereka menggunakan
telepati supaya orang lain tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” Jika
aku tak mengantuk, aku pasti menyempatkan diri keluar rumah menyapa
mereka. Bukan maksudku mengganggu waktu kencan mereka, tapi aku ingin
tahu caranya bertelepati. Aku ingin suatu saat nanti aku bisa ikut
bertelepati dengan mereka. 

Pernah juga suatu malam, mereka tidak bertemu. Mereka pun tak
menampakkan diri sama sekali. Kata ayahku, “Mungkin mereka sedang
bertengkar. Tenang saja. Besok malam, mereka pasti akan bertemu lagi,”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku tidak suka mereka bertengkar. Bahkan
aku pernah menangis ketika 4 hari berturut-turut aku tidak melihat
mereka pergi bersama. Saat aku menangis di kamar, ibu menghibur,
“Jangan sedih. Mungkin mereka sedang berkencan di belahan dunia yang
lain,” Dan besok malamnya, aku melihat mereka bersama lagi. Aku sangat
senang sampai-sampai ingin memeluk mereka berdua. Setelah malam itu
aku selalu meyakinkan diriku ketika mereka tidak muncul bersama, bahwa
mungkin mereka sedang berada di tempat lain. 

Seorang anak laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku pernah bertanya
padaku, “Menurutmu, kencan seperti apa yang paling sempurna?” Aku
tidak tahu maksudnya bertanya padaku. Banyak tetangga berkata kalau
anak itu menyukaiku, tapi aku tidak suka cara bicaranya. Terlalu liar.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan sudah hampir setahun dia
bertanya, aku tak pernah mau menjawab. Aku terlalu terobsesi pada
kencan telepati. Namun, sama seperti aku menolak menjawab pertanyaan
anak itu, mereka pun menolak untuk mengajariku. 

Hingga suatu siang yang panas, anak itu menghampiri rumahku dan
tiba-tiba membawaku ke taman. Wajahnya merah menyala. “Kamu masih
tidak mau memberi tahu padaku tentang kencan sempurnamu?” tanyanya
dengan nada marah. Aku hanya menggeleng. Kugigit bibir bawahku pelan.
Kepalaku tertunduk dan tanganku memainkan ujung rambut belakangku.
“Aku tidak bisa memberitahumu. Tapi aku bisa menunjukan padamu, kencan
paling sempurna yang pernah ada di dunia,” kataku kemudian pelan. Raut
wajahnya mulai berubah. Aku mengangkat kepalaku perlahan dan melihat
senyumnya yang tenang. Wajahnya bersinar. Aku tidak tahu mengapa
manusia begitu cepat berubah. Yang aku tahu, aku terikat oleh
senyumnya. 

“Baiklah. Aku tunggu di depan rumah jam 8 malam. Jangan kabur ya,”
katanya lagi sambil menarik tanganku dan membawaku pulang ke rumah.
Aku hanya menghela nafas. Apakah mereka marah kalau aku membawa orang
asing menemui mereka dan pastinya akan mengganggu kencan mereka?
Biarlah. Siapa tahu anak itu bisa membujuk mereka untuk mengajariku
telepati. 

Pukul 8 malam tepat aku keluar rumah dan mendapatinya sudah ada di
depan rumahku. Senyumnya lagi. Coba kalau dari dulu aku sudah bisa
telepati, pasti aku bisa mengerti arti senyumnya. 

“Apa yang kamu mau tunjukkan padaku?” tanyanya langsung tanpa ada
sapaan sama sekali. 

“Kamu mau tahu kan kencan sempurna menurutku?” 

Dia mengangguk penuh semangat. Aku mengangkat jariku dan menunjuk ke langit. 

Bulan. Bintang. Kencan telepati. Sempurna. Dia tersenyum.


Yang Belum Bayar Dilarang Kencan di Taman


Oleh Ifnu Mahyudin

Siang terlarut dalam gelap,…ingin menikmati indah malam ini namun dana pun tak tersedia. Ingin kujemput pacarku namun kendaraan pun tak ada Kutekadkan diriku seadanya hanya agar bisa bersamamu menikmati indahnya malam ini.

Malam pun semakin larut, namun ku belum sampai juga di rumahmu
Terlihat taman dengan lampu menghias suasana, dengan banyak pasangan di setiap pojokan…

Kubatalkan rencana ku untuk kencan dengannya lalu ku duduk sendiri menikmati indahnya malam di taman,…
Dan kulihat banyak pasangan bermesraan hingga malam pun makin larut dengan embun malam pun mendinginkan suasana.

Para pasangan pun semakin merapatkan tubuhnya hingga tubuhnya saling menempel entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Dan peluit pun terdengar, ternyata keamanan menyerbu dan berteriak yang tidak membayar uang keamanan dilarang berkencan di taman.

aku pun beranjak dari tempat duduk ku dan yang sudah membayar uang keamanan boleh meneruskan kencanya yang sempat tertunda hingga datangnya cahaya.