Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Terakhir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terakhir. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Desember 2010

Terakhir

Oleh: @peri_hutan
http://zhuelhiez.posterous.com/

Aku menanti. Mereka sedang membuat undian untuk permainan ini. Aku berharap menjadi yang pertama, aku tidak ingin mendapatkan sisa. Sial, itu kata mereka untuk julukan yang terakhir karena aku tidak akan bisa memilih, menentukan peran apa yang aku inginkan.
Mereka mulai mengocok dan menyuruh kita untuk mengambil undian. Jantungku berdebar, ini penentuan hidup dan matiku. Mereka semua sudah mengambil undian, tiba giliranku. Tanganku dingin, dengan gemetar aku mengambil kertas yang digulung kecil itu, berdoa agar menjadi yang pertama walaupun aku pengambil yang terakhir.
Tuhan, Dia mendapatkan undian nomer satu. Dia yang akan membuat cerita ini.
Malaikat, dia kaki tangan Tuhan, dia selalu mematuhi perintahNya, dia berada pada posisi ke dua.
Setan, bencana alam semesta, dia yang akan memerankan orang jahat, yang nantinya akan selalu menghasut. Ada di rangking ke tiga.
Bumi, setting yang akan dilakukan permainan ini. Mendapatkan urutan ke empat.
Manusia, peran yang paling sial, dia selalu bingung harus memilih apakah harus mengikuti bisikan malaikat atau setan, dia tidak bisa menentukan pilihanya sendiri.
Sebelum aku membaca kertas yang ada ditanganku, aku mengamati mereka satu persatu, ada yang senang karena mendapatkan peran Setan, dia berkata.”Gw bisa melakukan apa pun sesuka dan sebebas yang Gw inginkan”. Orang kedua berteriak senang karena mendapatkan peran menjadi Bumi.”Aku akan menyediakan tempat yang paling indah dan lengkap yang pernah ada”. Orang yang ketigamendesah kecewa, dia gagal mendapatkan peran Tuhan yang berarti dia yang akan menjadi Malaikat. Ini berarti tinggal ada dua pilihan yang tersisa, yang pertama atau menjadi yang terakhir.
Aku kembali berkonsentrasi pada kertas kecil ditanganku, aku membukanya perlahan dan masih melafalkan doa. Nomer 5, kiamat bagiku. Aku tak akan pernah bisa menjadi apa yang aku inginkan. Aku hanya bisa bergantung pada orang pertama, yang akan menentukan cerita.
Menjadi yang terakhir, apakah tidak ada pilihan lagi buatku?

Malam Terakhir

Oleh: Andy Saputra (@creandivity)
http://creandivity.wordpress.com

Saat pertama kali ku melihatmu, aku langsung tahu bahwa aku sudah mencintaimu, bahkan mungkin sebelum pertemuan itu. Perasaanku bagaikan penambang yang menemukan bongkahan emas, yang tidak pernah berhenti menggali semata karena keyakinan bahwa emas itu ada, namun belum kutemukan saja. Maka, begitu kau menyapaku dengan anggun, muka ku langsung memerah. Hingga kini, aku masih mengenang malam itu. Malam yang tak terlupakan.

Kemudian, waktu seolah berlalu begitu cepat, tatkala kita menjadi semakin akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Nyaris tiada hari tanpa tatap muka denganmu. Aku adalah kau, kau adalah aku. Kita bagaikan mata koin, yang selalu bersama, kecuali jika harus berpisah karena urusan masing-masing. Bahkan di dalam mimpiku pun, aku masih saja sering bertemu dengan mu, seolah tidak rela lama-lama tidak menatap matamu yang indah.

Berlanjut kemudian, saat aku berlutut di depanmu, mengucapkan pertanyaan terpenting yang mungkin pernah kutanyakan. Apakah kau bersedia menjadi istriku ? menjadi ibu dari anak-anakku ? Dan kau pun mengiyakan. Maka, hari itu juga menjadi salah satu hari yang paling membahagiakan untuk aku. Untuk kita. Tentu saja, puncaknya adalah ketika kita mendatangi catatan sipil, mendaftarkan pernikahan kita. Dilanjutkan dengan iringan lagu pernikahan yang megah, ciuman romantis di hadapan para undangan.

Kebahagiaan masih menjadi milik kita, tatkala buah cinta kita yang pertama lahir ke dunia. Dunia pun serasa menjadi milik kita bertiga. Sepulang kerja, aku akan langsung ke rumah, tidak perduli berapa banyaknya ajakan nonton bola bareng, nongkrong, bahkan undangan makan malam atasan. Duniaku ada di rumah kita. Itu saja sudah cukup, tidak perlu lebih.

Namun, masa-masa indah itu ternyata ada akhirnya. Tidak kekal seperti yang kubayangkan. Aku harus merelakan dirimu bersanding dengan yang lain. Walaupun harus melepaskanmu dengan tangisan, bahkan kau sendiri pun menangis. Namun, aku harus kuat untuk merelakanmu, karena itulah yang terbaik untukmu, untuk anak kita kelak. Bukan engkau yang menyelingkuhiku, namun aku lah yang memilih mengusirmu. Tanpa pernah menjelaskan alasan sebenarnya, aku meminta cerai denganmu dan meyakinkanmu untuk menikahi pria lain yang lebih baik dariku.

Baru malam ini kau tahu alasannya. Dengan memberanikan diri, aku mengundangmu di sini, di dalam sebuah ruangan di rumah sakit. Aku tergeletak lemas, tergolek tak berdaya. Aku hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir saja. Tidak berani meminta lebih, apalagi memintamu memaafkan aku. Tapi, engkau memang selalu baik hati laksana malaikat. Air matamu jatuh jua ketika suster mengatakan bahwa aku menderita kanker stadium akhir dan sudah kepayahan untuk menyambung nafas.

Tak disangka,kau mengingatkan aku. 10 tahun lalu, tepat di malam ini, adalah malam pertama kita bertemu. Dan malam ini juga akan menjadi malam terakhir kita bertemu. Aku menangis, meminta maaf atas semua keegoisanku selama ini. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, tanpa memikirkan perasaanmu. Kau pun ikut menangis, memberikan maaf untukku. Aku pun sudah ikhlas. Semoga kita bertemu kembali di kehidupan mendatang.

--
Best Regards,
Andy Saputra

Sajak Terakhir

Oleh: Petronela Putri

Dari manakah harus kumulai untaian sajak ini?
Begitu banyak yang terlewat dari pandangan mata
Di antara deru debu yang menerpa
Di antara denyut nadi tak bersuara
Di antara detak jantung yang kadang tak berdaya

Di antara pemikiranku padamu..
Ya, kamu..
Yang bahkan mampu mewarnai empat musim sekaligus
Membuat musim dinginku menjadi semi
Meramaikan musim panasku dengan salju hangat

Kamu,
inspirasi di antara sudut malamku..
Dan kamu,
Satu - satunya objek untuk sajak ini..
Sajak terakhir malam ini..

Esok pagi tidak akan ada sajak lagi, gadis..
Pencarian usai sudah…
Aku, telah bertemu labuhanku..

Kamu…

Terakhir

Oleh: Laily Maharani (@maharaniezy‏)


Jendela. Tatapan kosong. Buka jendela. Hirup udara pagi. Berembun. Nafas berasap.
Subuh. Rasanya hampa.Menoleh sebentar. Pandang langit. Masih buta.
Menghela nafas. Nyalakan rokok. Lagi-lagi menghela nafas. Sendirian.
Tidak ada siapa-siapa. Bukan berarti sebatang kara juga sih. Hanya uring-uringan. Padahal bukan PMS
Entah kenapa. Lagipula kalo PMS cenderung menangis. Lucu. Entah kenapa.

Sekarang hari terakhir. Menuju jam terakhir. Berlalu ke menit terakhir.
Penghabisan di detik terakhir. Tengah malam. Dan jadi hari yang baru.
Jam baru. Menit baru. Detik baru. Tahun baru. Tapi apa ??? Tidak ada yang berubah.
Jakarta tetap macet. Pemerintahan tetap korupsi. Anak sekolahan tetap saling contek.
Suami istri tetap ribut. Anak balita nonton sinetron. Indonesia tetap miris.
Absurd. Semuanya nyaris sama.

Kalau untuk aku tetap saja. Tahun baru kali ini tanpa ayah. Bukan baru saja juga sih.
Bukan pertama kalinya. Tanpa ayah. Hanya saja aku berandai. Hmmm... Kalo saja.
Kalo saja seperti 4 tahun lalu. Pergantian tahun menjadi istimewa.
Karena itu ultah ayahku. Dari aku balita kita merayakannya. Besar-besaran iya.
Kecil-kecilan iya. Dan setiap momen terasa berharga.

Sekarang ? Kosong. Hampa. Okelah 2 tahun terakhir mungkin party.
sampai pagi. Mabuk. Atau kumpul. Hangout. Pacaran. Kelihatan asyik.
Ya memang asyik. Memang senang. Memang happy. Tapi ? Tetap saja kosong.

Tahun ini aku ingin sendirian. Menyambut tahun baru. Di beranda kamar. Sendirian.
Iya memang kenapa ? Kalau bisa aku ingin berdua ayah. Konyol yah ?
Karena tidak bisa. Karena ayah sudah disana. Sudah happy. Sudah punya dunia sendiri.
Sudah bahagia. Aku tidak mau ganggu. AKu suka disini. Lebih nyaman disini.
Daripada aku party. Atau gila-gilaan. Atau hangout. Atau pacaran. Atau mabuk semalaman.
Cuma mengusir sepi. Cuma palsu. Cuma membohongi diri sendiri.

Karena aku rindu ayah.... titik. Sesimpel itu.
Aku bahagia menghabiskan hari terakhir, jam terakhir menit terakhir, detik terakhir.
Di beranda kamarku. Sendirian. Memandangi langit buta. Dan dipeluk udara menggigit.

Sehari Saja

Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
http://kamukayakuya.tumblr.com/


“Habis ini mau kemana?” tanya Erga. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum manis. Manis sekali, seperti biasanya. Sekilas mengingatkanku kepada senyuman dinginnya Tom Sturridge. Berlebihan mungkin, tapi inilah salah satu alasan kenapa aku bisa sangat menyukai Erga Dwianggana.

“Kemana aja deh, boleh. Tapi yang pasti makan malem dulu. Lapar!” Jawabku dengan semangat. Erga melirik ke arah jam di dashboard mobil. Ia lalu tertawa.

“Jenna Akraisa, ini baru jam 16.08 dan kamu udah pengen makan malem lagi? kamu memang gak pernah berubah.” Ia mengacak-acak rambutku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus menggenggam stir mobil. Aku tertawa.

“Yah… mau bagaimana lagi? terakhir makan siang jam 1 teng sehabis kamu Jumatan, setelah itu tenaga dikuras gara-gara jalan-jalan di Dufan non-stop. Sampai tutup! Kakiku rasanya kondean sekarang tahu!” aku menyeringai. Memang gila perjalanan kami hari ini. Berangkat dari Bandung pukul enam pagi tana sarapan, sampai di kawasan Ancol sekitar pukul 11, langsung menaiki wahana paling depan dari Dufan: Niagara-Gara. Lalu berpetualang ke wahana lainnya. Tiga kali naik Halilintar, dan dua kali naik Kicir-Kicir. Tentu saja Tornado dan Hysteria tentu saja tidak akan ketinggalan. Foto-foto di Rumah Miring seperti ABG labil yang mencari setting untuk foto buku tahunan. Gila. Pokoknya kita senang-senang bersama hari ini!

“Hey, kamu yang mau loh, aku Cuma mengakomodasi Tuan Putri.” Ia menatapku lagi, dengan lembut. “Kita masih punya sekitar enam jam lagi sampai tengah malem. Gimana kalo kita makan di tempat burger kesukaan kamu itu?”

Tengah malam, tentunya, itu jam malamku. Batas waktu bersenang-senang tiap harinya.

Aku mengacungkan jempolku dengan semangat ’45. Dia memang sekalu ingat hal-hal kesukaanku dan menyuarakannya di saat yang tepat. Aku lalu menyalakan MP3 player mobil milik Erga, sontak mengalun lagu Baby, I’m Yours yang dinyanyikan oleh Arctic Monkeys.

Baby, I’m yours—and I’ll be yours until the stars fall from the sky

Yours, until the rivers all run dry.

“Lagu gombal,” gumamku sambil tersenyum.

“Iya, lagu gombal yang selalu kamu minta buat aku nyanyiin pake gitar di depan Himpunan kampus kita dulu, malem-malem, dengan sogokan segelas teh manis hangat.” Erga tertawa. Aku merasa wajahku langsung memerah mendengarnya. Ia selalu mengingat hal-hal kecil seperti ini. “Kamu tahu kenapa aku selalu cinta sama kamu, Jen? Karena kamu gak pernah berubah.”

Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran jok kursi mobil yang kami naiki ini. Aku menghela napas panjang dan tersenyum. “Dan kamu tahu kenapa aku selalu menyukaimu sampai detik ini, Ga? Karena kamu selalu mengingat semua hal tentang aku. Sekecil apapun itu, segakpenting apapun itu.” Erga menatap lurus ke depan, entah kenapa ia tidak menoleh ke arahku, namun ia tersenyum. “Makasih ya, Ga.”

Erga tertawa pahit. Ia akhirnya menoleh ke arahku, aku bisa melihat matanya agak memerah. Ia menahan untuk mengungkapkan sesuatu. “Jangan makasih sekarang, Jen. Kita masih punya waktu lima setengah jam lagi buat dinikmati bersama.” Ia menyetir beberapa lama, tapi kami saling diam selama itu. Tiba-tiba kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing—sampai akhirnya kami tiba di parkiran restoran favoritku itu.

Mobil berhenti. Aku bergegas untuk keluar dari mobil, namun tiba-tiba Erga menarik tanganku. Lembut, tapi kokoh. “Loh? Kenapa Ga?”

Ia tersenyum. Masih menggenggam tanganku, beberapa detik. Lalu ia berkata dengan suara yang bergetar, “Akhirnya besok tiba juga, ya Jen. Hari yang kamu tunggu-tunggu. Syukurlah. Aku masih tidak percaya.”

Aku membalas senyumnya, balik menggenggam kedua tangannya. “Iya, aku juga masih tidak percaya. Rasanya seperti mimpi. Sama halnya dengan menghabiskan hari ini sama kamu, Ga. You’re the best,” aku mengecup pipinya yang hangat.

“Itulah kenapa aku masih gak percaya, Jen. You still love me, and I do the same to you.” Erga bergumam.

Aku juga tidak percaya, Ga. Aku juga memang sekalu punya alasan untuk menyukaimu, bahkan mencintaimu. Makanya hari ini ada.

Ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tertawa lagi. tapi kali ini tawanya hampa. “Aku masih gak percaya, kalau besok kamu menikah, tapi tidak denganku.”

Makanya aku memintamu untuk menemaniku hari ini, sampai hari ini habis, untuk terakhir merayaan kebersamaan kita terakhir kalinya.

Aku berusaha tersenyum. “Kata orang, berarti kita bukan jodoh. Makanya, let’s make this our most romantic dinner ever. Terakhir kalinya, sehari ini saja.”

***

Akhir Adalah Mula

Oleh: Azka Shabrina

Ibu masih menangis meski suaranya semakin lemah. Saudara-saudaranya, paman dan bibiku, duduk mendampingi di sisinya sambil mendoakan. Sayang sekali aku tidak sempat mengenal mereka. Kelihatannya mereka orang baik.
Bapak dimana, ya?
Sejak tadi Bapakku sibuk bicara pada orang-orang. Sibuk menyambut tamu. Sibuk mengatur acara besar yang harus terjadi siang ini. Kasihan Bapak. Belum hilang lelahnya setelah menunggui Ibu semalaman, kini ia harus mengurus diriku.
“Yang sabar ya, Gung. Sudah jalannya,” salah satu pamanku menepuk-nepuk pundak bapak.
Bapakku tersenyum. Ah, dia memang tampan.
“Saya juga sudah ikhlas kok. Tidak apa-apa. Saya masuk dulu, istri saya kasihan. Mari,” ujar Bapak. Betapa bangga aku melihatnya tetap santun meski amat lelah dan sedih.
“Sekarang, Pak?” tanya Ibu dengan mata merahnya. Lemah, suaranya lemah sekali. Kasihan Ibu...
“Kamu sudah siap?” tanya Bapak sembari merangkul Ibu. “Kalau kamu sudah siap, kita berangkat.”
“Belum, Pak. Tapi kalau terlalu lama, kasihan Tari...”
Ibu menangis lagi. Bapak membelai kepalanya dengan sabar. “Ayo, sekarang saja. Semua sudah siap. Kamu juga harus siap.”

*

Tamu-tamu sudah pulang. Tinggal beberapa orang saudara dekat yang masih tinggal untuk membantu. Bapak belum juga beristirahat sejak tadi. Dan Ibu, masih menangis sesekali.
“Kamu harus istirahat,” ajak Bapak. “Ayo.”
Ibu menurut saja digandeng Bapak menuju kamar. Bapak menunggui di sisi ranjang. Ia belum bisa tidur karena banyak yang harus dibereskan di luar.
“Anak pertama kita...,” Ibu meratap.
“Yang ikhlas. Kamu harus ikhlas.”
“Aku ihklas, Gung. Tapi...”
Kalimat itu tidak Ibu teruskan. Ia menangis lagi. Aku dan Bapak mengerti. Ibu ikhlas, hanya saja ia begitu sedih. Pasti ia berharap bisa membesarkanku. Melihatku pergi ke sekolah dan tumbuh dewasa. Harapan itu sirna.
“Kenapa namanya Matari, Gung?” tanya Ibu ketika tangisnya reda. Ia pasti heran. Tadinya bukan nama itu yang mereka siapkan untukku.
“Matari, dari kata Matahari. Lahir dan menua dalam satu hari...,” Bapak menjawab sambil tersenyum. “Dan sebuah hari harus berakhir supaya dia bisa terlahir lagi...”
Tangis Ibu benar-benar terhenti sekarang. Ia memperhatikan dengan seksama.
“Seperti hidup. Hidup kita di dunia adalah yang pertama dan terakhir. Di dalam sebuah kehidupan juga ada hari pertama dan hari terakhir,” lanjut Bapak. “Dan karena itulah, hidup menjadi indah.”
“Hari ini adalah hari pertama sekaligus terakhir bagi anak kita,” Ibu menimpali.
“Benar. Matahari terbit, matahari terbenam, keduanya indah. Dan setelahnya hari berakhir. Tapi akan ada hari yang baru sesudahnya.”
Hening. Aku merasakan gelombang kasih sayang yang begitu besar dari keduanya meski mereka tidak bisa kusentuh.
“Semoga dia bukan yang terakhir, Gung.”
“Semoga.”
Aku tersenyum. Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Lama kelamaan Ibu tertidur karena lelah. Bapak mengelus rambutnya, kemudian keluar dari kamar. Aku menggantikan posisinya di sisi Ibu.
“Tenang, Bu. Aku akan minta Tuhan memberiku adik, supaya aku bukan yang terakhir...”
Tentu saja, Ibu tidak bergeming. Hanya nafasnya saja yang terdengar berhembus dengan teratur.
Demikianlah hari pertama sekaligus terakhirku berakhir. Tidak apa-apa, karena setelah tiba yang terakhir, pasti akan muncul yang pertama.