Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label zombie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zombie. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Januari 2011

Hidup Dalam Kematian


Oleh: Ellena Ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com

*

Satu teguk. Satu hirup. Kemudian kehidupan yang aku nafasi.
Melegakan, meski tetap melelahkan.

Ya, bukankah melelahkan menjadi ‘Aku’ dalam ke-siapa-an yang dibuat-buat?  Bukankah ironi untuk hidup sebagai ‘Aku’ yang aku tak pernah kenal? Apa kita pernah ingat waktu dulu, ketika kita sama-sama berbicara tentang ancang-ancang kita akan mimpi sebelum tiba masa kita akan tidur yang paling menenangkan: mati? Lalu kita sama-sama berlomba membangun pondasi-pondasi mimpi yang (nampak) menggairahkan, namun (sayangnya, tetap) membosankan.
Dan dalam dimensi waktu kita kini, dalam ketidakadilan kita beradu dengan Waktu. Ketika kita tersungkur dalam kekalahan di garis akhir dan menyaksikan Waktu berlenggang dengan congkaknya, kita melempari serapah dan kegeraman pada kelemahan humanis kita yang tidak bisa melawan sistem penjurian Semesta dalam perlombaan yang menyebalkan ini.

Dalam perjuangan melawan waktu ini, kita tahu bahwa ada kehidupan kita yang tergantung. Tahu?
Kehidupan kita yang diperjualbelikan, dan bahkan dilempar bebas dari etalase pengontrol satu ke etalase lainnya tanpa memandang si empunya yang mengernyit. Iya, kehidupan kita, beserta masa lalu, kini, dan depannya. Coba saja lihat telapak tanganmu. Apakah masih ada denyut yang kamu genggam? Mereka hilang, sama dengan punyaku; hilang dalam jelmaan komodifikasinya.
Loh? Mengapa kamu bergidik? Ini yang sedang kita jalani dalam (sebutlah saja) kehidupan kita. Aku sendiri toh lupa rasanya hidup. Mungkin dulu aku punya idealisme utopis tentang kehidupan, tapi toh sudah aku bilang, mereka lenyap dimakan sistem-sistem yang berkuasa. Nafas kita? Mereka adalah palsu, sebagaimana senyum dan tawa kita, bahkan air mata kita. Persetan dengan sains yang membagi air mata dalam tiga bagian. Apapun namanya, mereka tetap bagian dari kepalsuan.
Ketika kita menyadari bahwa tubuh yang kita bawa hanya berisikan kekosongan (yang disesaki kepalsuan), mengapa masih harus ada horror vacui* dalam kepala kita?
Mereka melihat kita hidup, tapi aku percaya aku mati. Pun kamu.
Mereka melihat kita hidup karena mereka pun telah mati, dan impian mereka akan kehidupanlah yang terproyeksi pada kita. Bukankah mengerikan melihat bagaimana sejarah telah mengubah kita, mencabut nafas kita dan menyisakan daging dan tulang bersama darah yang pura-pura?


Mari menoleh sebentar pada masa dimana ideologi menjadi kambing hitam para megalomaniak pemimpin bangsa-bangsa besar terhadap absurditas ratusan jiwa yang hangus dalam kesia-siaan perang: komunisme dan liberalisme.
Berapa pucuk jiwa yang terbang sia-sia? Berapa pasang mata yang menjadi saksi? Mereka adalah sama seperti kita: mayat yang hidup. Zombie. (Pun aku bimbang sekarang, apakah kita mayat yang terpaksa hidup, atau makhluk hidup yang bergerak dalam kematian)

Zombie-zombie bangkit di 1960-an dan meneriakkan filsafah dasar kehidupan : damai dan cinta, kemudian tetua-tetua immoral menyebut mereka biadab, produk-produk gagal dari utopis mereka yang terlebih dahulu tak beradab.
Lalu kita mundur semakin jauh pada kaum-kaum yang memagari kehidupan borju mereka yang menjijikkan; yang bertransformasi menjadi identitas moral bangsa kita sekarang yang hari-harinya mengurusi moral (tolol). Kita  turut meneriakkan akar dari “Workers of all lands, Unite!” Para tetua immoral, lagi dan lagi, menyebut kita masyarakat yang kualat. Orang-orang bebal yang jatuh dalam perjuang sekuler dan fana! Aku sih tertawa saja. Bukankah lucu melihat pembunuh bercerita tentang hakikat dasar kehidupan manusia?

Dan ini kita. Sama-sama terombang-ambing dalam dongeng yang diturunkan generasi atas kita. Mereka mencelotehkan kebenaran yang diseleksi oleh mereka yang punya kuasa.
Mereka bicara tentang moral dan pendidikan, tapi mulut dan perut kita dijejali sistem dan birokrasi yang memuakkan. Muntahkan depan mereka. Mereka sendiri pun lahir sebagai hasil generasi yang bebal, dengan malu yang tertinggal di masa perjuangan dulu.
Mereka menyeret kita dalam jejak-jejak pencapaian mereka yang kupikir memalukan. Mentang-mentang kita tak lagi hidup (ingat, kehidupan kita mereka genggam dan permainkan).

Tak perlu bertanya siapa aku. Dari sebelum aku terencanakan pun aku sudah tak lagi berhak atas ke-siapa-anku. Lalu ini tubuhku: daging, tulang, dan darah yang mengalir adalah palsu; dan dibentuk dari koreng-koreng orang bermental (sok) kuasa (tapi memang berkuasa).
Lupakan saja idealisme kita yang muluk-muluk tentang kehidupan. Sudah kubilang, bertumbuh berarti terbiasa dengan absurditas. Pun kamu bilang kita hidup, kita hidup dalam kematian. Kita adalah zombie; dalam kepalsuan dan manipulasi generasi ke generasi.



*horror vacui: ketakutan akan ruang kosong, istilah yang digunakan dalam bidang desain dan Fisika

Lapar

Oleh: Azka Shabrina @azkashabrina


Mengapa menjauh, Sayang? Mengapa resah? Kemari, mendekatlah. Jangan menjerit kalau tidak ingin lelah. Tidak akan ada yang mendengar. Kita jauh dari ingar bingar. Ini hanya aku. Dari ujung rambut hingga ujung kuku. Memang dingin membeku, tapi ini tetap aku.

Kemari, Sayang. Berhenti mengiba-iba. Salahmu sendiri membuatku jatuh cinta. Dari dulu aku tahu cinta mematikan segala. Otak, nafsu, bahkan binar mata, menjadi tiba-tiba hampa. Kau yang menghampakan. Tanpamu, hidup jadi tidak terasa. Kita cocok, Sayang. Mataku memandang hampa sementara matamu berbinar riang. Aku hanya seonggok daging tanpa daya sementara dirimu hidup dan berjiwa. Kita saling melengkapi, Sayang, tidakkah kaulihat?

Sayang? Kenapa? Kau begitu tega. Hanya demi dirimu aku berjalan menyeret hampa dan duka. Aku hanya ingin memelukmu, mengapa meronta? Aku lapar. Aku butuh makanan segar. Ada di dalam sana, di rongga dadamu, meraung bergetar
:hatimu.

Hanya satu, dan milikku.

Kau, milikku.

A Dinner to Remember

Oleh: Rheza Aditya
twitter: @gravelfrobisher


Kengerian tanpa batas.
Mungkin itulah yang dirasakan mereka saat melihatku. Mungkin hanya itulah yang memenuhi otak mereka selagi aku mencoba mendekati mereka, merobek jaringan kulit kepala mereka dan mengais-ngais isi otak mereka yang lucu tersebut.
Mengapa mereka menjauhiku? Aku juga dulu manusia!
Salah satu diantara manusia-manusia tersebut menghantam tubuhku dengan gada besar. Pastinya sakit rasanya, namun yang terjadi padaku malah sebaliknya. Aku tidak bisa merasakan sakit, tidak seperti makhluk yang berusaha mati-matian untuk menumbangkanku itu.
Merasa kasihan, aku menjatuhkan diriku sendiri, membuat dirinya terengah-engah sesaat, sedikit lega karena akhirnya aku berhenti menyerang. Namun seperti biasa, sesuatu didalam diriku kembali menyeruak, membujuk diriku untuk meneruskan penyerangan, mengembalikan sisa-sisa kesadaranku yang tidak banyak kepada kegilaan.
Aku bangkit berdiri bahkan sebelum nafas manusia tersebut kembali normal. Dengan kedua tanganku, kucengkram bahunya, dan aku mematuk kepalanya dengan mulutku, dan gigi-gigiku yang tajam.
Aku tidak bersalah. Manusia juga memperbanyak dirinya dengan cara yang tidak etis. Aku tahu itu. Aku dulu juga manusia.
Di dunia ini, yang minoritas akan selalu kalah. Makanya manusia terus berusaha bertahan menjadi makhluk yang paling ‘membentuk dunia’ dengan terus berkembang biak.
Aku hanya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mereka. Aku hanya menambah jumlah populasi jenis kami.
Sosok manusia yang terlihat lebih lezat menjerit ketakutan. Matanya meleleh menjadi air dan menetes tiada henti. Sebagian dari diriku tahu bahwa itu adalah air mata, dan sebagian diriku tersebut merasa bahwa sangatlah wajar bagi si makhluk yang kelihatan lezat tersebut untuk melelehkan air mata.
Namun sebagian diriku yang lebih dominan segera menepis pikiran untuk berhenti menyerang. Kualap.yunkan tanganku, mencengkramnya dan mendekapnya kedalam pelukanku. Tanpa basa-basi aku menggigit kepalanya, lehernya, dan bahunya. Kutinggalkan begitu banyak bekas luka diatas permukaan kulitnya yang mulus.
Aku bangga. Aku sudah menambah jumlah kami sebanyak dua.
Dan dari dua, mereka akan menambahnya menjadi delapan. Dari delapan…aku tidak tahu lagi. Yang jelas mereka akan menjadi banyak, dan jenis kami lah yang akan menjadi mayoritas dan menduduki permukaan bumi ini.
Aku tidak perlu sendirian lagi.
Aku menggeser dan mendobrak pintu yang terlihat rapu dihadapanku, dan diriku langsung terekspos dibawah langit malam yang terang.
Terang, padahal seingatku, malam itu selalu gelap.
Aku melihat beberapa makhluk baja yang terbang diatas langit, melontarkan beberapa keping baja yang terlihat kecil, namun segera memuntahkan api ketika menyentuh tanah.
Saat itu juga aku tahu apa yang sedang mereka—para manusia itu—lakukan. Mereka hendak membunuh kami, menghancurkan tempat dimana kami mulai bermunculan, dan mengakhiri mimpi buruk mereka untuk selamanya.
Apa salah kami? Kami memang merasakan kelezatan diantara cairan otak dan mentahnya daging manusia yang gurih. Lidah kami memang lebih terbiasa dengan bau darah yang amis daripada mengecap anggur yang manis.
Kami hanya ingin hidup. Meskipun kami sudah mati.
Kulihat sebuah baja berkilap dijatuhkan tepat beberapa meter dihadapanku.
Baja tersebut memuntahkan api yang sangat besar, menyelimuti seluruh tubuhku dengan cahaya.
…dan panas.
Aku mencoba mengingat-ingat betapa lezatnya santapan manusiaku tadi.
Kucoba mengingat sensasi yang kurasakan pertama kali aku membuka mataku, ketika segalanya berubah menjadi seolah dilapisi oleh lendir hijau transparan, membuatku sulit memfokuskan pandangan, dan membuat semua hal menjadi kehijauan.
Aku juga mengingat sensasi yang kurasakan ketika tubuhku tidak bergerak sesuai pikiranku, dan betapa pikiranku semakin lemah melawan kehendak badaniah yang kumiliki untuk mencabik, mengais, dan menelan isi dari manusia.
Panas tersebut memeras, dan mengeringkan seluruh tubuhku.
Aku bertanya-tanya untuk terakhir kalinya, mengapa aku masih bisa berpikir dengan waras?
…meskipun diriku adalah zombie?

Berburu di Saat Malam

Oleh:-MoNa-
http://mooncatz.multiply.com

Matahari mulai meninggalkan langit. Gelap mulai menyelimuti

Sepi.

Sunyi.

Saat matahari sepenuhnya hilang, suara-suara yang tak asing pun mulai terdengar. Awalnya satu suara. Dua suara. Lama-lama suara-suara itu pun bergemuruh memenuhi langit malam. Bahkan bintang pun tidak mau lagi memunculkan cahayanya.

Aku menyeret langkahku. Tersengal-sengal dan gemetaran. Terkadang menabrak dan terjatuh. Namun rasa lapar dan dahaga lebih besar dari apapun.

Kusapukan pandangan di tempat kuberada sekarang. Kumpulan zombie ada dimana-mana. Bulu kudukku merinding. Mereka pun lapar, aku tahu. Segera kuarahkan langkahku ke arah lain. Menjauhi mereka.

Kulangkahkan kaki menuju ke sebuah rumah yang tampak tidak terurus. Ya, bagaimana mau diurus jika memang ditinggalkan penghuninya sejak virus zombie menyebar bertahun-tahun lalu? Yang kuharapkan dari rumah ini hanyalah makanan.

Sepi. Tentu saja. Hanya bunyi langkah kakiku yang terseret di lantai kayu rumah ini yang terdengar. Bingung kulangkahkan kakiku kemana saja. Tidak terlihat adanya makanan tersisa.

"Krieeeetttt.."

Aku terkejut. Bunyinya dari lantai atas. Seperti suara pintu ditutup perlahan. Mungkinkah itu manusia lain?

Kuarahkan kakiku ke tangga. Entah kenapa, langkah kakiku semakin cepat seperti menemukan suatu harapan baru. Kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri saat sampai di lantai atas. Kulihat pintu sebuah lemari kayu besar bergerak.

Tanpa pikir panjang lagi, aku setengah berlari ke arah lemari itu. Kakiku yang tak dapat berdiri dengan tegak, kuseret dengan paksa. Hingga kuterjatuh tiba-tiba. Namun, tak mau menunggu lama, aku bangkit kembali dan menyeret kakiku menuju lemari itu.

Lemari itu. Tampak tersimpan harapan.

Kubuka lemari itu dengan kasar. Seseorang berteriak. Seorang wanita usia 30 tahunan.

"Minggir kau! Ampun.. Ampun.. Jangan makan aku.. Jangaaaaaaannn..!!"

Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Pandanganku hanya terpaku pada lehernya yang terbuka. Helai-helai rambut basah menempel di sana. Jika diperhatikan lebih seksama, terlihat darah mengalir indah di dalam nadinya yang biru.

Darah.

Makanan.

Tanpa berpikir lagi, kuarahkan gigiku ke leher wanita itu. Tak ada lagi yang kuingat kecuali suara lengkingan wanita itu seiring dengan menghilangnya dahagaku.

Ya, aku zombie. Salah satu dari mereka. Aku selalu merasa lapar dan harus lebih dulu mendapatkan makanan sebelum mereka..

Dari Satu Mimpi ke Mimpi

Oleh: Yuska Vonita
@yuska77

Raja membuka surat kabar hari ini. Lembar demi lembar ia buka tapi tak ada yang menarik perhatiannya. Hingga matanya tertuju di halaman tiga belas, kolom ke tiga belas deret ke tiga belas. Terpampang gambar seorang pria dengan tatapan mata kosong nan mengerikan. Judul gambar tersebut "The Walking Dead". Lalu Raja membaca artikel singkat mengenai makhluk seram tersebut.

"Sesosok pria berpakaian compang camping dengan luka menganga di bagian perut dan dada di duga berkeliaran di daerah Jalan Serampai dan Malaka, di bilangan Jakarta Pusat. Setiap pria itu melintas, banyak hewan peliharaan penduduk seperti anjing, kucing dan ayam mati dengan kepala putus. Bahkan dua hari yang lalu, sesosok mayat wanita paruh baya ditemukan di pinggir jalan raya persimpangan antara Jalan Serampai dengan Jalan Bawaka. Kondisi mayat tersebut sangat mengenaskan. Kepala putus dan tulang rusuk patah. Polisi masih menyelidiki kasus ini. Apakah pria bermata celong itu pelakunya?"

Raja menutup lembaran yang dibacanya, melipat koran dan melemparkannya ke atas meja kerja. Ia menghela nafas panjang. Apa benar di dunia ini makhluk gaib dan hantu seperti kuntilanak, tuyul dan zombie itu benar-benar ada? Ah, rasanya tidak masuk akal. Aku adalah ciptaan Tuhan yang dikaruniai akal dan aku beriman. Aku tak percaya. Begitu kata Raja dalam hati. Matanya terpejam. Dalam hitungan detik ia sudah berada di alam mimpi. Sunyi.

***

Matahari tak kelihatan batang hidungnya. Awan gelap bergulung-gulung di udara. Kuhirup udara beraroma besi, tanah dan ... darah. Apa ini ilusi? Kenapa tak ada satu makhluk pun yang berkeliaran di jalan raya ini? Angin bertiup dengan kencang, membuat dahan pohon meliuk ke kanan dan ke kiri. Daun-daun kering beterbangan menghalau pandangan mataku. Aku berjalan terseok-seok. Ada apa dengan kedua kakiku? Kulihat ke bawah, telapak kakiku telanjang. Celanaku kotor dan compang-camping. Aku tertegun. Apakah aku sudah menjadi gembel? Dimanakah aku berada. Aku mencoba untuk mempercepat langkahku, tapi tak bisa. Tulang-tulang kakiku terasa kaku. Aku terus melangkah. Di sisi kiri jalan ada sebuah warung kopi. Kulihat seorang gadis sedang menutup gerai kayu berwarna hijau tua. Aku berjalan mendekatinya. Kulihat wajahnya lekat-lekat, tiba-tiba aku merasa lapar. Perutku mengeluarkan suara gemeledak dan ada perasaan aneh yang kurasakan. Ada bisikan di telingaku.
"Ya, kamu lapar, anakku. Makanlah. Sudah tersedia di depan matamu."
Air liurku menetes deras. Aku mendekati wanita itu. Ia terpekik melihatku dan berusaha menutup gerainya. Tapi aku berhasil menyergapnya. Kucekik lehernya lalu ... Tak! Suara leher patah. Tak kuindahkan lolongan kesakitannya, tak lama suara itu berhenti. Kusantap daging segar di dalam rengkuhanku. Aku kenyang.

***

Jam empat pagi. Raja terbangun dari mimpinya. Ia mengucek-ngucek matanya lalu menatap jam dinding bulat berwarna putih di atas ranjangnya. Jarum panjang berdetak seakan berpacu dengan denyut jantungnya.
Perutnya terasa kenyang. Sekarang ia merasa haus. Dengan langkah gontai ia menuruni tangga lalu membuka lemari es di dekat dapur. Sebotol air mineral dingin diteguknya perlahan. Ia nikmati tetes demi tetes air yang mengaliri kerongkongannya.
Dengan langkah ringan, Raja kembali ke kamarnya. Di dekat tangga ada sebuah cermin bulat besar. Raja terperangah.
Wajah itu, wajah yang ada di mimpinya.
Mata hitam celong, pipi cekung dengan tulang yang menonjol, lubang menganga di perut dan dada, juga pakaian compang camping.
Raja berlari ke kamarnya lalu menutup pintu dengan kasar. Nafasnya terengah-engah.
Astaga, apakah aku...makhluk itu?

***

"Zombie Beraksi Kembali"

Seorang wanita penjaga warung yang bernama Sutinah (22) tewas secara mengenaskan. Sama seperti korban di Jalan Serampai, leher korban putus dan tulang rusuk remuk. Tidak ada saksi mata saat kejadian ini terjadi. Siapakah pria penyebar teror mengerikan ini?"

***

"Makanlah, perutmu lapar. Di bawah ada ayah, ibu dan adikmu. Ayo, santaplah!"

Pria bermata celong dan berperut bolong menyeringai.

Nafas Tanpa Nyawa

Oleh: Irene Wibowo
Twitter @sihijau


Aku merayakan hari yang dilupakan manusia saat bernafas. Sudah lama aku meninggalkan kehidupan di dunia fana itu.

Meskipun semu, cermin-cermin terpasang di seluruh sudut. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang mampu melihat dirinya dari pantulan cermin itu.

Mereka mulai bernafas, berjalan tanpa nyawa. Dari ruang waktu ini, aku melihatnya. Satu menusuk yang lain. Satu meneriaki yang lain. Satu siap menerkam yang lain.

Sepertinya, hari ini adalah bahagiaku, hari kematian yang telah membawaku ke dalam lorong cermin. Setidaknya,sekarang aku bisa kembali melihat diriku dalam cermin dan hidupku telah dimulai dengan nafas yang bernyawa. Haruskah aku bersyukur?


Manusia hidup yang mati adalah zombie. Virus yang menyerang mereka membuat mereka siap  membunuh. Perasaan terbawa angin yang terbang jauh bersama nafas. Mereka tak lagi tahu apapun, selain hanya tahu menerkam dan menjadi yang pertama.
******