Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Lesbian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lesbian. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 November 2010

Reuni Dalam Sepi

oleh: rofianisa



D

Aku cuma seseorang yang sendirian di tengah kota yang kelam. Saat ini senja hari, orang-orang berlalu-lalang mengejar sepi. Sama seperti aku, mereka benci keramaian yang melumpuhkan. Damai selalu hilang ketika bus-bus berseliweran mencari penumpang, pencopet mencari makan dari hasil keringat korban, dan polisi tak henti-hentinya mencegati mobil kaya demi selembar uang haram. Ya, aku berada di sudut halte di jalan Sudirman, menunggu sepiku yang tak kunjung datang.

Lalu wanita ini tiba-tiba menghampiriku, duduk di bangku sebelahku. Aku membeku.

“Halo Dit. Lama gak ketemu. Lagi apa?” sapanya ramah. Ia masih cantik seperti dulu. Mantanku.

“Nunggu bis,” jawabku kaku. Aku sedang tidak mau diganggu.

Ia memilih untuk tidak meneruskan percakapan, membuka smartphone-nya yang sedari tadi ia genggam. Wajahnya berubah muram.

***

Tara

Nampaknya sepi menyelimuti dirinya, bahkan di tengah keramaian halte bus dan lalu lalang jalan raya. Ia tak mau diganggu, sepertinya. Apalagi olehku. Maka aku memilih diam dan bercakap-cakap online dengan Bayu.

“Aku ketemu Dita di halte.”

“Lalu?”

“Awkward. Gak mau ngobrol sama aku.”

“Emang kenapa sih dulu kalian tiba-tiba diem-dieman? Bukannya kalian tuh udah kayak sodara ya?”

Ah, ibu jariku terdiam. Tak mungkin ku bilang bahwa kami dulu memang lebih dari teman.

“BB lowbat, Bay. See you tonite!”

Busku datang. Aku berdiri sambil melambaikan tangan. Tak kusangka Dita melakukan hal yang sama.

***

Dita

Hanya ada dua bangku kosong yang tersisa di dalam patas AC yang kami naiki bersama. Aku duduk di sebelahnya, terpaksa. Sadar bahwa ada alasan Tuhan di baliknya, aku mulai bicara.

“Bayu apa kabar, Ra? Masih, kalian?” aku tak kuat menyebut kata ‘pacaran’.

“Masih. Kamu, apa kabar?”

“Masih sama kayak yang dulu,” lalu kata-kataku habis. Keberanianku terkikis.

Maka aku kembali memikirkan sepi. Satu-satunya teman yang kumiliki tiga tahun belakangan ini.

Tapi kali ia meneruskan percakapan.

“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan. Kita mau nikah tahun depan. Kamu mau datang?”

‘Mau’ datang? Aha. Pemilihan katanya sangat tepat dan beralasan. Aku mungkin bisa, tapi untuk mau… “Aku gak tahu, Ra. Lihat nanti aja.”

“Hm. I see.”

Begitu saja. Lalu sepi datang lagi. Kekakuan membekukan pikiran kami.

***

Tara

“Masih sama kayak yang dulu,” katanya. Seakan memproklamirkan kebebasannya sebagai jiwa yang merdeka, yang tak terbelenggu norma kaku, tak sepertiku.

Aku terdiam dalam lamunan kenangan kami di masa silam, ketika tubuh-tubuh indah kami bermain dalam harmoni yang sarat kebahagiaan.

Aku rindu. Aku cemburu. Maka aku tunjukkan padanya aku telah melangkah jauh menuju hidup yang baru.

“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan…”

***

Dita

Kami terdiam lama. Lalu tiba-tiba seluruh dunia seakan kehilangan suaranya.

Dalam sepi, aku menggenggam jemarinya perlahan. Ada endapan cinta tersisa di sana.

Seisi dunia menoleh menganga. Bisu seribu bahasa.

Aku tak lagi peduli.

***

Tara

Aku tak lagi peduli, ia datang ke pesta pernikahanku atau tidak.

Aku tak lagi peduli, ketika seisi bus menyaksikan perjumpaan kembali cinta (terlarang) kami.

Dalam sepi, lidah kami bereuni, bertaut mesra. Melepas rindu yang ku kira sirna.

***

Senin, 27 September 2010

Di Sebuah Pagi Yang Kosong


Oleh : Noerazhka
Twitter : @noerazhka
Tema : Lesbian

Pagi ini, lain dari pagi-pagi sebelumnya. Aku terbangun ketika matahari sudah tinggi, ketika jarum jam sudah beranjak meninggalkan pukul 8.

Shit Terlambat !

Ah, aku batalkan niat untuk mengumpat. Percuma.

Aku memang terlalu terbiasa dengan kehadirannya, hingga akhirnya ketika sudah tidak ada lagi dia, aku kewalahan seperti ini. Sebenarnya sudah kuduga, ternyata benar, bukan ?

Aku urung beranjak. Biarlah, toh, sudah terlambat banyak.

Aku justru terpekur di tempat tidur. Mengenangnya. Mengenang dia yang sudah tidak ada. Mengenang dia yang selama ini menjadi teman, bahkan, di setiap detikku. Mengenang dia yang kemarin siang memutuskan untuk mengakhiri apa yang pernah kami mulai. Mengenangnya ..

Semalam, tepat sebelum memulai episode tidur pertamaku tanpa ucapan selamat malam darinya, aku menyugesti diri semua akan baik-baik saja. Dia hanya seseorang yang tidak sengaja melewati hidupku, sehingga  wajar-wajar sajalah jika akhirnya dia berlalu. Namun ternyata, di pagi ini, sesaat ketika aku membuka mata pertama kali tanpa omelan bawelnya, sungguh, cuma hampa yang ada.

Ah, biasanya saat adzan Subuh berkumandang belum lama, ponselku berbunyi, disusul ocehannya yang membuat aku tidak tahan untuk tidak segera membuka mata lebar-lebar, kadang dengan sedikit pening. Namun, itulah hebatnya dia, tidak sekalipun aku pernah kesal padanya, meski seharusnya dia membiarkanku bangun sedikit siang, ketika matahari sudah mengintip sedikit. Ya, bagaimana bisa aku kesal, jika setelah puas mengoceh, dia menutupnya dengan,

I love you, Beib ..

Tanpa menunggu lama, aku pun tersenyum lebar. Semangatku terpompa maksimal, siap menjalani tantangan seharian.

Aku mengacak kepalaku sendiri. Frustasi.

Sulit sekali rasanya, menerima bahwa sudah tidak ada dia. Bukan hanya pagi dan malam yang akan menjadi hambar, menjelang siang nanti, tidak akan ada lagi SMS bertubi-tubi hanya untuk mengingatkan makan. Selepas Dhuhur juga tidak akan ada telepon-telepon pendek yang memberi semangat untuk menyelesaikan pekerjaan. Senja pun akan pulang sendirian, seperti aku, yang menyusuri jalan sendirian, tidak ada lagi dia yang duduk di sampingku, bercerita tentang hari yang panjang.

Ah, aku merasa kosong. Separuhku hilang.

Siluet-siluet detik terakhir bersamanya yang sungguh tidak kusangka-sangka, semalam, seperti terulang lagi. Terputar jelas di kepalaku.

Aku sudah memutuskan, Beib ..

Memutuskan apa ?

Aku ingin hidup sebagaimana orang lain hidup ..

Aku terlongo saat itu. Apakah kebersamaannya denganku selama ini tidak membuatnya merasa hidup ?

Aku akan menikah ..

Tanah yang kupijak mendadak amblas !

Menikah ?! Jangan becanda, Sayang .. Kita sudah pernah membahasnya, sejak lama ..

Dia menggeleng serius, ekspresi wajahnya datar, membuatku ketakutan.

Maaf, Beib, aku akan tetap menikah, dengan atau tanpa persetujuanmu .. Kita tidak bisa terus seperti ini ..

Aku kehilangan kata. Otakku seperti mendidih, kemudian menguap habis. Hati kecilku sudah mulai berbisik, dia akan pergi. Meninggalkanku. Mengakhiri semua tentang kami.

Beib, maafkan aku .. Benar aku mencintaimu, dengan sepenuh hatiku .. Tapi aku pun ingin berjalan dalam kodrat, menjadi istri, menjadi ibu dari anak-anakku ..

Kodrat. Ah, aku memejamkan mata, tak bisa membantahnya. Benar, sebahagia-bahagianya dia denganku, aku tidak akan pernah bisa membuatnya menjadi seorang istri, apalagi seorang ibu dari anak-anak kami ..

Karena jauh di dalam hati, sesungguhnya aku pun punya keinginan sama, menjadi istri, menjadi ibu dari bocah-bocah mungil, nanti ..

Ya, karena kami sama-sama perempuan ..

Sudah. Setelah itu, aku tidak menahannya melangkah pergi ..

Selamanya ..

###

Kamis, 23 September 2010

Masih

Oleh: Farida Susanty @faridasusanty
insignificantlyimportant.tumblr.com

             20 tahun, dan kamu tidak berubah.
             Aku hanya terpaku melihatmu terpaku melihatku. Matamu masih tetap seperti itu. Berbinar dengan cara yang tidak pernah bisa kulihat pada mata orang lain, selama apapun aku hidup, sebanyak apapun orang yang pernah kutemui. Aku tidak pernah bertemu orang lain sepertimu. Dengan mata seperti ini.
            Tanganmu gemetar dan kamu hampir membalikkan tubuhmu dariku. Tapi kutarik tanganmu dengan kekuatanku yang sudah tidak seperti dulu. Untung kau berhenti.
            Aku tersenyum dan menutup mataku.
            Memohon padamu.
            Dan ketika kubuka mataku, aku lega kamu masih di sana. Kamu menangis. Kamu mengerti aku tidak bisa merasa lebih bersalah dari ini.
            Karena sejak dulu, memang hanya ada kita di dunia ini, bukan?

            Kau ajak aku masuk ke dalam rumahmu. Kau belum bercerita apapun padaku, tapi aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kulihat foto-foto yang tertempel di dindingmu. Kulihat orang-orang yang tidak pernah kutemui. Anak-anak kecil yang mirip dirimu. Laki-laki yang merangkul bahumu. Lalu anak-anak dalam versi lebih dewasa dengan orang-orang lain yang akhirnya membawa mereka keluar dari rumahmu. Foto-foto perkawinan.
            Aku iri sekaligus merasa sayang pada mereka semua, karena kulihat kamu juga begitu menyayangi mereka.
            Rumahmu terasa nyaman. Tidak begitu besar, tapi terasa dingin walau udara di luar panas membara. Tidak banyak lukisan yang tertempel. Tidak banyak aksesoris. Tidak ada permadani, tidak ada tempelan berbau religius. Kamu selalu bermasalah dengan agama. Kita berdua selalu bermasalah dengan agama.
            Kamu hendak mendudukkanku ke sofa hitam yang nampak nyaman itu. Tapi kepalaku rasanya berputar sangat kencang ketika kamu memegang tanganku.
            Saat itulah aku tahu aku tidak ingin di situ. Aku tidak ingin ada di rumah ini. Aku ingin membawamu ke tempat yang kita tahu. Bukan di sini.
            Bukan di sini.

            Dengan tergopoh-gopoh, kuajak dirimu memasuki mobilku. Aku tidak percaya kamu sama lemahnya denganku sekarang. Beberapa kali kamu memegangi pinggangmu dan memintaku untuk berjalan lebih lambat.
            Aku tahu ini karena usia, tapi aku ingat masa-masa dulu. Kamu juga sering memintaku untuk berjalan lebih lambat. Dan saat itu pula. Ketika aku berjalan terlalu cepat dengan hidupku, berlari kesana kemari, ke satu negara ke negara lain, mencari hal yang tidak kamu mengerti, kamu melakukan itu juga; kamu memintaku untuk berhenti, berjalan lebih lambat.
            Dulu aku tidak memenuhi keinginanmu. Sekarang aku akan memenuhinya.
            Kupegang tanganmu erat-erat, dan kuikuti irama berjalanmu.
            Ternyata cukup nyaman.
            Aku selalu merasa nyaman di dekatmu.

            Ketika kamu sudah duduk di sebelahku, perasaanku semakin nyaman. Sudah lama kuimpikan ini. Melihatmu duduk di sebelahku, di mobil yang kubeli sendiri ini. Ada orang-orang yang duduk di sana, tapi itu bukan dirimu. Aku ingin dirimu yang ada di sini.
            Kulitmu begitu transparan ditembus matahari. Aku tidak bisa berhenti menatapinya walau aku sedang mengemudi. Aku tahu kamu melihatku dengan khawatir, takut kita berdua mati.
            Tapi apalah peduli kita, kita sudah terlalu lama tidak bertemu.
            Waktu bukan lagi misteri. Kita siap mati.
            Dan aku masih takjub dengan segala hal pada dirimu. Rambut lebatmu yang sudah berwarna putih sekarang. Tanganmu yang kurus, dengan nadi-nadi yang bisa selalu aku lihat kasat mata. Pinggangmu yang ramping, padahal kau telah lama melahirkan dua anak.
            “Kamu masih cantik sekali,” bisikku ke telingamu.
            Kamu terkikik geli, menatapku dan memukul lemah tanganku.
            Kikikan yang sama dengan masa itu. Aku menyukai tawamu.

            Kita sampai di tempat itu.
Kamu tahu tempat ini. Kita selalu duduk di sana berjam-jam ketika matahari muncul dan matahari tenggelam. Aku selalu bersamamu ketika hari dimulai dan hari selesai.
Kuremas tanganmu dan kamu sekali lagi menangis. Kamu gemetar lagi, berusaha menarik tanganmu dariku. Aku tetap menggenggamnya.
“Aku tidak mau kamu pergi lagi,” bisikku ke telingamu. Kamu semakin gemetar. Tapi kucoba memeluk dirimu. Kamu begitu rapuh, aku takut memelukmu.
Kamu tidak menolak.
“Aku masih kagum bagaimana aku masih merasa butuh kamu seperti ini. Aku tidak pernah… sedetikpun tidak memikirkan kamu.”
Kamu mengangguk. Kamu menggeleng-geleng. Aku tidak mau membayangkan apa yang terjadi di dalam pikiranmu. Semua perasaan yang kamu alami. Suami yang harus kamu nikahi. Anak-anak yang harus kamu urusi, tanpaku di sisi.
Aku ingin minta maaf, tapi aku pikir minta maaf tidak akan berarti banyak. Kutatap matamu lagi dan berenang di dalamnya. Kupegangi terus tanganmu yang gemetar. Aku ingin membayar semuanya, tapi mungkin itupun tidak akan berarti banyak.
“Setidaknya sekarang aku di sini. Sekarang aku di sini,” Kubisikkan itu ke telingamu lagi. Kamu semakin gemetar. Aku terus memelukmu. “Hey cantik, aku di sini….”
20 tahun, dan kamu tidak berubah.
Kita tidak berubah.

Dia, malam ini dan satu cerita..

Oleh: Angga Eka Harnizar

Jakarta malam ini dingin banget ya?!

Uhm.. gak tau kenapa akhir – akhir ini ada korelasi yang gue bingung nyari eksplanasinya, kondisi mood gue selalu deh berbanding lurus sama suhu, dan malem ini beneran deh kerasa dingin banget .. oh great ditambah hujan juga.
hebat yaa kadang orang yang jadi pilihan utama kita buat ngabisin waktu libur, traktiran waktu gajian justru jadi orang yang paling nyebelin waktu mood lagi jatuh ambruk gini uhm.. well, Jakarta never felt this cold anyway
 udah 4x nada dering di ponsel gue bunyi, sayangnya semuanya report kalo sms yang gw kirim ke dia, delivered.. ngirim 4x dan semua reportnya delivered, tapi gak ada satupun yang dibales.. oh great!
Media – music – resume : pure Saturday – kosong
Yeah fate has a strange sense of humour, and sometimes it not funny at all, ampir ketidur  tapi teriakan dokter Alea sukses bikin gue bangun dan kaget, err kaget terus bangun apa ya?! gue yakin dokter yang satu ini paling panik gak jelas lagi ngadepin pasien ibu hamil yang tengah malem mau ngelahirin, kombinasi suhu yang dingin, hujan dan dokter Rachel selalu sempurna memang, oh iya harusnya di kata sempurna pake kutip! Ha..
Sampai di ruang persalinan variable “betapa sempurnanya” malam ini nambah dengan runtut peristiwa yang bikin mata gue kaget, lalu hati gue ngerasa miris dan kosong banget…
Adalah hal biasa buat gue denger dokter Alea teriak – teriak gak jelas kalau tiba tiba nemuin gue ketidur padahal datang pasien yang udah mau ngelahirin banget, tapi adalah hal yang gak biasa detik detik di persalinan tadi, uhm di bagian ini gue ragu buat nulis kata persalinan..
Ibu muda bernama Friska tadi jelas tipikal wanita muda, yang seharusnya masih duduk di bangku SMA atau mungkin kuliah tingkat awal, seharusnya dia datang kesini baru 2 bulan kurang lagi, seharusnya suaminya yang nganter kesini bukan pembantunya, seharusnya nada tangis yang terdengar di persalinan tadi tangis bayi bukan tangis dari dokter Alea, seharusnya Friska dan bayi dalam kandungannya masih hidup, seharusnya..
Kilatan kejadian di ruang bersalin tadi masih keinget jelas banget  ditambah backsound voice over dari dokter Alea dan scoring detak jantung gue “coba di USG sama ECG dulu Ndu”, “dug.. dug..dug..” “placentanya lepas suster Rindu”, “dug.. dug..dug..” , “pendarahan di dalem ini”, ”, “dug.. dug..dug..” ,  “bu Friska tenang” ”, “dug.. dug..dug..”  “tega deh suaminya”, ““dug.. dug..dug..” “bu Friskaaaa”, semuanya secara random terus ngulang sampai di closing kilatan semuanya hening sebelum tangis pilu dokter Alea.
Tingkat KDRT yang tinggi dari suami yang kasar adalah alasan kenapa gue masih nyaman dengan pacar gue sekarang, dia lembut, pengertian walau saat – saat dia datang bulan kayak gini gue harus ekstra sabar, tapi gak apa – apa yang namanya hubungan kan harus saling ngetiin kan?! Toh waktu gue datang bulan juga dia bisa berubah jadi mahluk paling sabar buat gue yang kata dia adalah mahlik paling nyeremin kalo datang bulan juga
Dan gue sayang dia, karena bareng dia gue gak perlu takut ngalamin KDRT, bareng dia gue gak bakal pernah datang ke ruang bersalin kecuali ngelaksanain tugas gue sebagai bidan, bareng dia gue gak akan takut juga ditinggal cowok brengsek kayak apa yang nyokap gue alamin, love you Linda.


Rindu