Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Dalam diam hari terus berbilang
Tanpa rasa bosan bumi terus berotasi
Membuat matahari senantiasa menari menghias hari
Terbit dari ufuk timur dan tenggelam kala senja di ufuk barat
Entah kapan kebosanan itu kan menyergap bumi
Dan menghentikan perputaran bumi pada porosnya
Semua semesta seakan larut dalam gembira
Gembira dalam setiap perputarannya
Gembira dalam segala sifatnya sementara
Sementara menunggu ajal
Sementara menunggu siksa
Hiruk pikuk, sorak sorai, dan tepuk tangan senantiasa membahana tanpa rasa bosan
Senyuman nyinyir bagi semesta yang nestapa senantiasa ada
Cibiran getir bagi sesama yang tak ada senantiasa membabi-buta
Topik demi topik kepalsuan terangkai dalam nada kepalsuan
Tanpa bosan, mengumbar durjana nan nista
Merajalela hati dalam cengkeraman tangan-tangan berhias permata setan
Mandi kekayaan di tengah telaga darah penderitaan
Semua dilakukan, semua juga diagung-agungkan
Bersujud jiwa dalam sebuah irama doa
Tatkala bosan melanda menghimpit relung sukma
Gelak tawa bukan lagi sebuah hiasan canda
Bahkan sedu sedanpun tak lagi sebuah duka
Bersimpuh jiwa di batas cakrawala senja
Menghamba pada sebuah kata
Mencari jawaban atas segala tanya
Tanya tentang arti batas kebosanan
“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa yang harus kurasa?”
“Banyak sekali yang harusnya kaurasa.”
“Kenapa harus aku yang merasa, kalau seluruh isiku saja tidak pernah merasa?”
“Karena kau adalah penguasa”
“Bukan aku sang penguasa. Aku hanya menjalani titah saja dari yang empunya kuasa yang paling maha.”
“Tidakkah kau merasa bosan melihat kelakuan isi semesta?”
“Kenapa harus bosan? Itu kan hak mereka.”
“Tapi harusnya kan diingatkan.”
“Diingatkan dengan cara bagaimana lagi biar mereka bosan? Tidak cukupkah dengan segala bencana?”
“Sepertinya belum cukup.”
“Kalau begitu biarkan saja. Toh kelak mereka akan mempertanggungjawabkannya.”
“Kelak kapan? Sampai kau bosan dan hancur dengan sendirinya?”
“Itu sudah pasti dan seperti itulah ketetapan-Nya. Biarkan saja mereka terus menari dalam maksiat, sampai isi semesta yang lain bosan melihat.”
“Cukup bijakkah membiarkan isi semseta berlaku sesuka hatinya?”
“Jangan tanya aku! Tanyalah pada hati nuranimu! Sudah cukup bijakkah kau menjaga isi semesta dan sudah cukup baikkah kau perlakukan isi semesta.”
Jiwa teronggok dalam bulir-bulir penyesalan
Penyesalan akan kelakuan tanpa rasa bosan
Rasa bosan yang berujung pada kerusakan
Kerusakan isi semesta dengan segala kesombongannya
“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa yang harus kurasa?”
“Kebosananku dengan janji manis para penguasa.”
“Kenapa aku harus merasa. Bukankah kebosanan itu adalah milikmu? Kenapa kamu diam saja untuk mengatasi kebosananmu?”
“Aku tak tahu harus berbuat apa.”
“Itulah kebodohanmu. Bosan tanpa pernah bisa melawan kebosanan. Berbuatlah jangan hanya bisa berontak dalam diam.”
“Aku tak pernah diam. Aku selalu berteriak sampai bosan. Tapi tetap saja teriakanku tidak didengar.”
“Itu saja tidak cukup! Lukiskan solusi di setiap teriakan yang berarti! Dengan begitu penguasamu akan bosan dengan kebatilan mereka.”
Jiwa terjerembab dalam kubangan kebosanan
Kebosanan yang tercipta dari lingkaran setan
Tak terputuskan dan tak terelakkan
Terus mencengkeram tanpa bisa terlepaskan
“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa lagi yang harus kurasa?”
“Kebosananku dengan tingkah polah isi semesta yang tak lagi ramah satu dengan yang lainnya.”
“Kenapa aku harus ikut-ikutan merasa?”
“Karena kau telah rusak dan hampir luluh lantak karenanya.”
“Ketahuilah hai isi semesta. Aku takkan binasa sampai saatnya tiba. Sampai aku benar-benar merasa bosan dengan segala keluh kesah. Sampai aku bosan mendengar desah manis di balik topeng kepalsuan.”
“Kenapa kau tak segera bertindak?”
“Berlakulah sesukamu terhadapku hai isi semesta. Aku tak bisa mengelak. Teruslah bernafsu menjamahku. Teruslah kobarkan birahimu dalam menggauli aku. Tapi jangan pernah kau lupa, kau akan mempertanggungjawabkan itu semua pada saatnya. Saat aku binasa karena rasa bosan yang kautanamkan dalam setiap tutur kata dan tingkah lakumu!”
Jiwa bosan tersungkur di tepi jurang kebosanan
Tak tahu lagi kemana akan mengadu
Selain mencoba membuka pintu kalbu
Agar bisa memaknai setiap kebosanan
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Bosan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bosan. Tampilkan semua postingan
Senin, 28 Maret 2011
Menu Suram
Oleh: @alavyashofa
Praaang!!
Menu makan pagiku selalu sama: ayah dan ibu bertengkar. Mendengarnya, aku cuma bisa menangis diam-diam di teras depan rumah sembari menunggu jemputan sekolahku datang.
Tin, tin!
Ah, Pak Gun datang! Aku berlari ke pelukannya. Huhuhu. "Semuanya akan baik-baik saja. Pak Gun janji. Sudah ya, nangisnya!" Setelah itu, kutemui teman-teman sekolahku dengan senyuman, kuhadapi pelajaran-pelajaran di sekolah dengan antusias. Aku bahagia sekali berada di sekolah. Namun semuanya akan berubah jika waktu petang datang...
Kreeek!
Aku membuka pintu rumah pelan-pelan. Tuh kan, betul, Ibu pasti sedang menangis di ruang makan. "Ibu....", aku cuma bisa memeluk Ibu. "Ayah pukul Ibu lagi yah?". Tangis Ibu makin kencang. Oh Tuhan, jangan! Jangan kau jadikan Ibuku tersakiti. Aku sayang Ibu. Biarlah aku saja yang menderita. Ibu tidak boleh, Tuhan, Ibu tidak boleh menderita.
Kutuntun Ibu ke kamarnya, memastikan Ibu sudah makan dan sholat, dan kupijiti badan Ibu dengan sayang. Oh, badan Ibu kurus sekali. Huhuhu.
"Cukup, Nak! Kau tidurlah, Ibu sudah baikan!" Aku pun mengecup kening Ibu lalu menyelimutinya.
Kuhabiskan cepat-cepat makan malamku, lalu membersihkan diri sebelum ia datang. Kulihat jam dinding...jam sembilan! Tapi dia belum datang. Segera kuambil buku-buku pelajaranku. Aku akan mengulang pelajaran untuk besok. Matematika, sudah. IPA, sudah, Agama.....
Dwang!!!
Ayah menendang pintu kamarku. Ah, dia datang! Kusingkirkan buku-bukuku sebisanya. Segera kulepaskan semua yang melekat di tubuhku dengan cepat.
"Sudah pintar kau rupanya", ayah tiriku itu menyeringai licik.
Kubalas seringainya dengan doa. Tuhan, maafkan aku, aku cuma tidak mau Ibu disiksa kalau ku menolak. Sampaikan salamku pada Papa di langit, Tuhan, aku rindu.
Dia mulai mendekatiku. Aku balas berlari menghampirinya. Ini karena aku bosan, dan cuma ingin menyelesaikan 'menu' malam ini secepat-cepatnya.
Praaang!!
Menu makan pagiku selalu sama: ayah dan ibu bertengkar. Mendengarnya, aku cuma bisa menangis diam-diam di teras depan rumah sembari menunggu jemputan sekolahku datang.
Tin, tin!
Ah, Pak Gun datang! Aku berlari ke pelukannya. Huhuhu. "Semuanya akan baik-baik saja. Pak Gun janji. Sudah ya, nangisnya!" Setelah itu, kutemui teman-teman sekolahku dengan senyuman, kuhadapi pelajaran-pelajaran di sekolah dengan antusias. Aku bahagia sekali berada di sekolah. Namun semuanya akan berubah jika waktu petang datang...
Kreeek!
Aku membuka pintu rumah pelan-pelan. Tuh kan, betul, Ibu pasti sedang menangis di ruang makan. "Ibu....", aku cuma bisa memeluk Ibu. "Ayah pukul Ibu lagi yah?". Tangis Ibu makin kencang. Oh Tuhan, jangan! Jangan kau jadikan Ibuku tersakiti. Aku sayang Ibu. Biarlah aku saja yang menderita. Ibu tidak boleh, Tuhan, Ibu tidak boleh menderita.
Kutuntun Ibu ke kamarnya, memastikan Ibu sudah makan dan sholat, dan kupijiti badan Ibu dengan sayang. Oh, badan Ibu kurus sekali. Huhuhu.
"Cukup, Nak! Kau tidurlah, Ibu sudah baikan!" Aku pun mengecup kening Ibu lalu menyelimutinya.
Kuhabiskan cepat-cepat makan malamku, lalu membersihkan diri sebelum ia datang. Kulihat jam dinding...jam sembilan! Tapi dia belum datang. Segera kuambil buku-buku pelajaranku. Aku akan mengulang pelajaran untuk besok. Matematika, sudah. IPA, sudah, Agama.....
Dwang!!!
Ayah menendang pintu kamarku. Ah, dia datang! Kusingkirkan buku-bukuku sebisanya. Segera kulepaskan semua yang melekat di tubuhku dengan cepat.
"Sudah pintar kau rupanya", ayah tiriku itu menyeringai licik.
Kubalas seringainya dengan doa. Tuhan, maafkan aku, aku cuma tidak mau Ibu disiksa kalau ku menolak. Sampaikan salamku pada Papa di langit, Tuhan, aku rindu.
Dia mulai mendekatiku. Aku balas berlari menghampirinya. Ini karena aku bosan, dan cuma ingin menyelesaikan 'menu' malam ini secepat-cepatnya.
Bosan dan Si Ornamen Kata-Kata
Oleh: Reynaldo Siahaan (@reynaldosiahaan)
Duduk diam di kampus sampai jam kuliah selesai. Dosen mengakhiri kuliah dan kakipun beranjak meninggalkan jejak dari tanah kampus. Sampai ke 'bosan' eh malah tiduran.
Ups salah, maksudnya kosan.
360 derajat jarum pendek berputar, mata terbuka lagi dan jari jemari mulai meraba laptop.
Tekan tombol windows dan cari folder Tugas Akhir.
Belum juga sempat membuka folder TA, kepikiran buat melatih kemampuan dengan bertarung dengan 'bosan' (minggu depan ada turnamen doTA).
Ups salah lagi, maksud saya roshan.
Usai meningkatkan kemampuan, pergi keluar sebentar buat mencari makan siang.
Mata melirik kiri kanan sepanjang perjalanan sementara di dalam hati berbicara warung mana yang jadi korban ngutang hari ini. Maklum saja, uang tidak tenggelam lagi kalau sudah akhir bulan. Bagaimana bisa tenggelam kalau kantongnya kering?
Singkat cerita, warung kecil di sudut gang sempit menjadi pilihan. Lumayan ada tv-nya.
Terlalu asyik menonton, aduh lupa 'bosan'.
Ups kok salah lagi, maksudnya pesan.
Sudah kenyang, kembali lagi ke kamar. Membaringkan punggung sekejap dan kemudian berpikir apa yang selanjutnya akan dilakukan. Tidur sudah, main sudah dan makan juga sudah. Tersirat lagi di kepala untuk menggoreskan tinta mayaku di lembar demi lembar Tugas Akhir. Tikus itu menjelajah kesana kemari "tik..tik..tiktik..". Astaga, belum sempat membuka folder Tugas Akhir, sebuah ikon menarik mengalihkan pandanganku.
Main PES dulu deh soalnya mau mencoba 'bosan' yang main di barcelona.
Ups salah lagi, maksud saya bojan.
Akhirnya kuputuskan dari hati terdalam untuk menghentikan hasrat bermain ini. Aku sematkan kacamata bertuliskan tugas di lensa kiri dan akhir di lensa kanan. Aku mulai melanjutkan TA yang sudah tertunda. Jari jemari mulai ketak ketik satu per satu huruf yang ada di papan kunci. Aku buka perangkat lunak yang menjadi pembantuku. 'Bosan' namanya. Ketak ketik bahasa dengan nama tersingkat, bahasa C.
Ups ini yang terakhir deh. Maksud saya Borland.
Inilah tulisan yang tercipta kalau suasana lagi membosankan. Tidak jelas, tidak berarah dan beberapa padanan kata 'tidak' lainnya. Terlepas dari kegaringan dan nuansa berlebihan yang ditimbulkannya ,tetap saja ini adalah karya tulis berupa cerita. Kebosanan tidak menutup pintu kemungkinan bagi kita untuk menulis bukan? Menulis tidak terhalang kondisi hati tetapi justru dikatalisasi oleh kondisi hati.
Duduk diam di kampus sampai jam kuliah selesai. Dosen mengakhiri kuliah dan kakipun beranjak meninggalkan jejak dari tanah kampus. Sampai ke 'bosan' eh malah tiduran.
Ups salah, maksudnya kosan.
360 derajat jarum pendek berputar, mata terbuka lagi dan jari jemari mulai meraba laptop.
Tekan tombol windows dan cari folder Tugas Akhir.
Belum juga sempat membuka folder TA, kepikiran buat melatih kemampuan dengan bertarung dengan 'bosan' (minggu depan ada turnamen doTA).
Ups salah lagi, maksud saya roshan.
Usai meningkatkan kemampuan, pergi keluar sebentar buat mencari makan siang.
Mata melirik kiri kanan sepanjang perjalanan sementara di dalam hati berbicara warung mana yang jadi korban ngutang hari ini. Maklum saja, uang tidak tenggelam lagi kalau sudah akhir bulan. Bagaimana bisa tenggelam kalau kantongnya kering?
Singkat cerita, warung kecil di sudut gang sempit menjadi pilihan. Lumayan ada tv-nya.
Terlalu asyik menonton, aduh lupa 'bosan'.
Ups kok salah lagi, maksudnya pesan.
Sudah kenyang, kembali lagi ke kamar. Membaringkan punggung sekejap dan kemudian berpikir apa yang selanjutnya akan dilakukan. Tidur sudah, main sudah dan makan juga sudah. Tersirat lagi di kepala untuk menggoreskan tinta mayaku di lembar demi lembar Tugas Akhir. Tikus itu menjelajah kesana kemari "tik..tik..tiktik..". Astaga, belum sempat membuka folder Tugas Akhir, sebuah ikon menarik mengalihkan pandanganku.
Main PES dulu deh soalnya mau mencoba 'bosan' yang main di barcelona.
Ups salah lagi, maksud saya bojan.
Akhirnya kuputuskan dari hati terdalam untuk menghentikan hasrat bermain ini. Aku sematkan kacamata bertuliskan tugas di lensa kiri dan akhir di lensa kanan. Aku mulai melanjutkan TA yang sudah tertunda. Jari jemari mulai ketak ketik satu per satu huruf yang ada di papan kunci. Aku buka perangkat lunak yang menjadi pembantuku. 'Bosan' namanya. Ketak ketik bahasa dengan nama tersingkat, bahasa C.
Ups ini yang terakhir deh. Maksud saya Borland.
Inilah tulisan yang tercipta kalau suasana lagi membosankan. Tidak jelas, tidak berarah dan beberapa padanan kata 'tidak' lainnya. Terlepas dari kegaringan dan nuansa berlebihan yang ditimbulkannya ,tetap saja ini adalah karya tulis berupa cerita. Kebosanan tidak menutup pintu kemungkinan bagi kita untuk menulis bukan? Menulis tidak terhalang kondisi hati tetapi justru dikatalisasi oleh kondisi hati.
24 Jam
Oleh: Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)
http://riezkyoktorawaty.wordpress.com
Seisi kamar ini protes, aku melihat tingkah mereka dari plafon kamar, tubuhku sendiri pun memanas. Buku-buku mengepakkan lembaran halamannya, televisi berganti-ganti tayangan, handphone berteriak kesakitan, dvd bajakan melekat di piringan player, baju-baju muak dengan lemari tempat tinggalnya, charger handphone meleleh karena kepanasan, dan sprei ranjang mengoyak tubuhnya hingga kusut.
Aku melihat buku-buku disiksa, halaman demi halaman terbuka tanpa ada kesempatan kepada mata untuk membaca. Jangankan membaca, matapun tak sempat mengintip judul buku nya. Bahkan tangan mungil itu pun tega melempar mereka.
Aku melihat gambar-gambar bergerak di televisi. Gambar orang, makanan, kendaraan, rumah, dan gambar-gambar yang tak mampu aku deskripsikan. Sampai-sampai matapun juling, tak tahu mana yang bisa membuat mata senang.
Aku mendengar teriakan handphone, jari-jari mungil itu bermain kasar di tubuh intinya, keypad. Ya, teriakan itu berasal dari keypad handphone. Tak tahu apa yang tertulis di layar handphone itu, yang pasti teriakan keypad dan deringan suara handphone memekakkan pendengaranku.
Aku melihat dvd bajakan itu melekat erat di player nya. Bersama televisi, mereka bekerjasama. Namun mata itu, tak jua menggubris nya. Percuma bila dvd dan televisi itu bekerja profesional, bila mata itu pun tak meliriknya. Bahkan, mata itu mencari-cari lagi buku yang terlempar 15 menit lalu.
Aku melihat baju-baju rapi yang telah di setrika, mangkrak di lantai, bukan di tempat tinggal mereka, lemari. Aroma pewangi sedikit menghiburku, di tengah kejengahanku melihat aksi protes seisi kamar ini.
Aku melihat tubuh hitam berekor panjang itu meleleh di colokan listrik, ya, charger handphone. Sepertinya tangan mungil itu melupakannya. Andai aku bisa menolong, aku pun ingin mencabutnya dari colokan listrik.
Aku melihat wajah itu mengeriput, bahkan basah. Wajahnya tak lagi cantik, padahal perona pink nya sangat cantik dan mewarnai kamar ini. Ya, dia adalah sprei ranjang kamar ini. Corak puluhan hati di sprei ranjang itu, kini tak berwujud lagi. Kusut, basah. Tubuh mungil itu yang merusak wajah cantik sprei ranjang kamar ini.
Aku muak, tak hanya teman-temanku saja yang menderita. Selama 24 jam aku bekerja, tubuhku pastilah memanas, bila ada termometer untuk tubuhku, mungkin panasnya matahari pun kalah.
Aku melihat tubuh mungil itu, 24 jam di atas ranjang. Tidak seperti biasanya tubuh mungil itu bertahan di kamar, 24 jam pula. Ia menyiksa buku-buku, televisi, handphone, dvd bajakan, baju-baju, charger handphone, dan sprei ranjang.
Aku pun tersadar, buku berwarna merah itu terbuka, buku diary milik si tubuh mungil, tulisan si tangan mungil. Ternyata, si tubuh mungil sedang patah hati. Ia baru saja di tolak pujaan hatinya. Ia yang biasanya setiap libur pasti menghabiskan waktu di luar bersama teman ataupun keluarga, tapi tidak dengan hari ini.
Aku tahu, semua siksaan dari tubuh mungil ini kepada teman-temanku dan aku, adalah bentuk pelampiasan dari kebosanan nya. Ia yang sedang patah hati, tak tahu mau ngapain dan kemana. Hingga kamar adalah tempat yang paling tepat membunuh kegalauannya.
Aku pun berbisik pada teman-temanku agar mereka rela menjadi media siksaan tubuh mungil itu. Toh, selama ini, tubuh mungil itu selalu baik pada kita. Bila ia sedang tidak ingin membaca buku, ia pun menyimpan buku-buku di rak buku. Bila ia sedang ingin menonton televisi dan dvd, handphone di tangan mungil itu pun tidur pulas di sampingnya. Begitupula bila, handphone sudah terisi staminanya, ia tak mungkin lupa mencabut charger handphone dari colokan listrik. Ia pun langsung menata rapi baju-baju yang sudah tersetrika itu ke dalam lemari. Ia pun tak sampai merusak wajah sprei ranjang itu, ia selalu menata kembali sprei itu hingga kembali rapi bila ia meninggalkan kamar.
Hanya hari ini teman-temanku, hanya 24 jam saja. Aku bisa meyakinkan pada kalian bahwa esok hari, tubuh mungil itu pasti menyayangi kita lagi. Kenapa aku bisa berbicara seperti ini? Ya, karena aku baru saja membaca pesan dari sahabat terdekat tubuh mungil itu, bahwa pujaan hatinya, bukanlah pria terbaik. Kita biarkan saja ya teman-temanku. Percayalah padaku.
Ya, aku adalah lampu bohlam di atas plafon kamar, yang bekerja profesional selama 24 jam, demi tubuh mungil itu. Tubuh pemilik kamar ini, Tuanku.
http://riezkyoktorawaty.wordpress.com
Seisi kamar ini protes, aku melihat tingkah mereka dari plafon kamar, tubuhku sendiri pun memanas. Buku-buku mengepakkan lembaran halamannya, televisi berganti-ganti tayangan, handphone berteriak kesakitan, dvd bajakan melekat di piringan player, baju-baju muak dengan lemari tempat tinggalnya, charger handphone meleleh karena kepanasan, dan sprei ranjang mengoyak tubuhnya hingga kusut.
Aku melihat buku-buku disiksa, halaman demi halaman terbuka tanpa ada kesempatan kepada mata untuk membaca. Jangankan membaca, matapun tak sempat mengintip judul buku nya. Bahkan tangan mungil itu pun tega melempar mereka.
Aku melihat gambar-gambar bergerak di televisi. Gambar orang, makanan, kendaraan, rumah, dan gambar-gambar yang tak mampu aku deskripsikan. Sampai-sampai matapun juling, tak tahu mana yang bisa membuat mata senang.
Aku mendengar teriakan handphone, jari-jari mungil itu bermain kasar di tubuh intinya, keypad. Ya, teriakan itu berasal dari keypad handphone. Tak tahu apa yang tertulis di layar handphone itu, yang pasti teriakan keypad dan deringan suara handphone memekakkan pendengaranku.
Aku melihat dvd bajakan itu melekat erat di player nya. Bersama televisi, mereka bekerjasama. Namun mata itu, tak jua menggubris nya. Percuma bila dvd dan televisi itu bekerja profesional, bila mata itu pun tak meliriknya. Bahkan, mata itu mencari-cari lagi buku yang terlempar 15 menit lalu.
Aku melihat baju-baju rapi yang telah di setrika, mangkrak di lantai, bukan di tempat tinggal mereka, lemari. Aroma pewangi sedikit menghiburku, di tengah kejengahanku melihat aksi protes seisi kamar ini.
Aku melihat tubuh hitam berekor panjang itu meleleh di colokan listrik, ya, charger handphone. Sepertinya tangan mungil itu melupakannya. Andai aku bisa menolong, aku pun ingin mencabutnya dari colokan listrik.
Aku melihat wajah itu mengeriput, bahkan basah. Wajahnya tak lagi cantik, padahal perona pink nya sangat cantik dan mewarnai kamar ini. Ya, dia adalah sprei ranjang kamar ini. Corak puluhan hati di sprei ranjang itu, kini tak berwujud lagi. Kusut, basah. Tubuh mungil itu yang merusak wajah cantik sprei ranjang kamar ini.
Aku muak, tak hanya teman-temanku saja yang menderita. Selama 24 jam aku bekerja, tubuhku pastilah memanas, bila ada termometer untuk tubuhku, mungkin panasnya matahari pun kalah.
Aku melihat tubuh mungil itu, 24 jam di atas ranjang. Tidak seperti biasanya tubuh mungil itu bertahan di kamar, 24 jam pula. Ia menyiksa buku-buku, televisi, handphone, dvd bajakan, baju-baju, charger handphone, dan sprei ranjang.
Aku pun tersadar, buku berwarna merah itu terbuka, buku diary milik si tubuh mungil, tulisan si tangan mungil. Ternyata, si tubuh mungil sedang patah hati. Ia baru saja di tolak pujaan hatinya. Ia yang biasanya setiap libur pasti menghabiskan waktu di luar bersama teman ataupun keluarga, tapi tidak dengan hari ini.
Aku tahu, semua siksaan dari tubuh mungil ini kepada teman-temanku dan aku, adalah bentuk pelampiasan dari kebosanan nya. Ia yang sedang patah hati, tak tahu mau ngapain dan kemana. Hingga kamar adalah tempat yang paling tepat membunuh kegalauannya.
Aku pun berbisik pada teman-temanku agar mereka rela menjadi media siksaan tubuh mungil itu. Toh, selama ini, tubuh mungil itu selalu baik pada kita. Bila ia sedang tidak ingin membaca buku, ia pun menyimpan buku-buku di rak buku. Bila ia sedang ingin menonton televisi dan dvd, handphone di tangan mungil itu pun tidur pulas di sampingnya. Begitupula bila, handphone sudah terisi staminanya, ia tak mungkin lupa mencabut charger handphone dari colokan listrik. Ia pun langsung menata rapi baju-baju yang sudah tersetrika itu ke dalam lemari. Ia pun tak sampai merusak wajah sprei ranjang itu, ia selalu menata kembali sprei itu hingga kembali rapi bila ia meninggalkan kamar.
Hanya hari ini teman-temanku, hanya 24 jam saja. Aku bisa meyakinkan pada kalian bahwa esok hari, tubuh mungil itu pasti menyayangi kita lagi. Kenapa aku bisa berbicara seperti ini? Ya, karena aku baru saja membaca pesan dari sahabat terdekat tubuh mungil itu, bahwa pujaan hatinya, bukanlah pria terbaik. Kita biarkan saja ya teman-temanku. Percayalah padaku.
Ya, aku adalah lampu bohlam di atas plafon kamar, yang bekerja profesional selama 24 jam, demi tubuh mungil itu. Tubuh pemilik kamar ini, Tuanku.
Tak Dikenal
Oleh: Abi Ardianda (@abi_ardianda)
Leherku sakit.
"Kau baik-baik saja?" Tanya perempuan bermata empat itu sambil menarik kursi tepat di hadapanku.
Aku mengangguk. Berdeham.
"Jadi... ceritakan. Siapa gadis itu?" Ia menanyaiku dan mulai menulis. Meski di antara kami terdapat meja, ia tetap menggunakan papan dadanya. Entah mengapa.
"Aku... aku sedang dalam pencarian untuk mengenalnya."
"Kapan terakhir kau bertemu dengannya?"
"Semalam. Dia datang menemuiku tengah malam."
"Lalu, apa yang dilakukannya?"
"Ia mengajakku pergi, tapi aku tak mau."
"Kemana?"
Aku berdeham lagi. Tenggorokanku gatal sekali.
"Ke sebuah tempat, hanya itu yang dikatakannya."
"Kenapa kau tak mau?"
"Aku memang tidak pernah kemana-mana. Selama bekerja, ayah dan ibu menyuruhku diam di rumah. Mereka melarangku bicara dengan orang asing."
"Lantas apa saja yang kalian lakukan semalam?"
Aku beralih menatap jendela. "Kau tahu, tidak banyak hal yang bisa kita lakukan malam-malam. Kukira dia juga bergegas menemuiku gara-gara terbangun dan tak bisa tidur lagi. Dia menyusup ke kamarku hanya dengan mengenakan daster bergambar beruang. Rambutnya acak-acakan."
"Dari mana dia masuk?"
"Entahlah, saat aku bangun dia sudah ada di sana. Dan ketika aku menolak tawarannya, dia malah membentakku."
"Lalu?"
"Aku menyuruhnya berhenti berteriak. Uhuk, uhuk."
"Tenanglah dulu."
Perempuan dengan seragam putih itu memberiku segelas air putih.
"Aku khawatir ayah dan ibu terbangun karena mendengar teriakannya. Saat itulah ia berjanji akan berhenti berteriak, tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Aku harus memenuhi semua perintahnya."
"Kau menurut?"
"Tentu saja. Ia menodongkan pisau ke arahku."
"Kau tidak melawan? Kau bisa memukul, atau menjambaknya."
"Tidak, itu terlalu sulit."
"Mengapa?"
"Gadis itu berada di dalam cermin."
Dari balik pintu, kudengar dialog berisi kecemasan ayah dan ibu.
"Oia, sebelum aku tak sadarkan diri, kulihat ia mengaitkan tali di atap kamarku. Kalau tidak salah, itulah perintah terakhirnya untukku."
Leherku sakit.
"Kau baik-baik saja?" Tanya perempuan bermata empat itu sambil menarik kursi tepat di hadapanku.
Aku mengangguk. Berdeham.
"Jadi... ceritakan. Siapa gadis itu?" Ia menanyaiku dan mulai menulis. Meski di antara kami terdapat meja, ia tetap menggunakan papan dadanya. Entah mengapa.
"Aku... aku sedang dalam pencarian untuk mengenalnya."
"Kapan terakhir kau bertemu dengannya?"
"Semalam. Dia datang menemuiku tengah malam."
"Lalu, apa yang dilakukannya?"
"Ia mengajakku pergi, tapi aku tak mau."
"Kemana?"
Aku berdeham lagi. Tenggorokanku gatal sekali.
"Ke sebuah tempat, hanya itu yang dikatakannya."
"Kenapa kau tak mau?"
"Aku memang tidak pernah kemana-mana. Selama bekerja, ayah dan ibu menyuruhku diam di rumah. Mereka melarangku bicara dengan orang asing."
"Lantas apa saja yang kalian lakukan semalam?"
Aku beralih menatap jendela. "Kau tahu, tidak banyak hal yang bisa kita lakukan malam-malam. Kukira dia juga bergegas menemuiku gara-gara terbangun dan tak bisa tidur lagi. Dia menyusup ke kamarku hanya dengan mengenakan daster bergambar beruang. Rambutnya acak-acakan."
"Dari mana dia masuk?"
"Entahlah, saat aku bangun dia sudah ada di sana. Dan ketika aku menolak tawarannya, dia malah membentakku."
"Lalu?"
"Aku menyuruhnya berhenti berteriak. Uhuk, uhuk."
"Tenanglah dulu."
Perempuan dengan seragam putih itu memberiku segelas air putih.
"Aku khawatir ayah dan ibu terbangun karena mendengar teriakannya. Saat itulah ia berjanji akan berhenti berteriak, tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Aku harus memenuhi semua perintahnya."
"Kau menurut?"
"Tentu saja. Ia menodongkan pisau ke arahku."
"Kau tidak melawan? Kau bisa memukul, atau menjambaknya."
"Tidak, itu terlalu sulit."
"Mengapa?"
"Gadis itu berada di dalam cermin."
Dari balik pintu, kudengar dialog berisi kecemasan ayah dan ibu.
"Oia, sebelum aku tak sadarkan diri, kulihat ia mengaitkan tali di atap kamarku. Kalau tidak salah, itulah perintah terakhirnya untukku."
Benarkah Aku Bosan?
Astari Indahingtyas (@astarindah)
http://astarindah.tumblr.com
Saat fajar menjelang
Kau sapa aku dengan lembut
Kala senja datang
Kehadiranmu pasti kusambut
Kau perlakukan aku penuh cinta
Dan perhatianmu bagai air mengalir
Selalu kutunggu saat kau mengucap "kita"
Dan setiap kali kudengar kata itu, kurasa sejuknya angin semilir
Waktu tak pernah berhenti
Hingga kini ku masih menanti
Masa dimana kau beranikan diri
Untuk mengungkap isi hati
Mungkin bagimu semua terlalu dini
Atau kau masih penuh ragu
Tapi jangan hati ini kau ganggu
Dengan sikapmu yang tak pasti
Jika aku bukan pilihan
Lebih baik aku menghindar
Hingga rasa ini dapat pudar
Karena kini ku mulai bosan
Wahai kau pria idola
Berapa lama lagi kau kan menunda?
Perempuan ini perlahan jenuh
Akan penantian yang membunuh
http://astarindah.tumblr.com
Saat fajar menjelang
Kau sapa aku dengan lembut
Kala senja datang
Kehadiranmu pasti kusambut
Kau perlakukan aku penuh cinta
Dan perhatianmu bagai air mengalir
Selalu kutunggu saat kau mengucap "kita"
Dan setiap kali kudengar kata itu, kurasa sejuknya angin semilir
Waktu tak pernah berhenti
Hingga kini ku masih menanti
Masa dimana kau beranikan diri
Untuk mengungkap isi hati
Mungkin bagimu semua terlalu dini
Atau kau masih penuh ragu
Tapi jangan hati ini kau ganggu
Dengan sikapmu yang tak pasti
Jika aku bukan pilihan
Lebih baik aku menghindar
Hingga rasa ini dapat pudar
Karena kini ku mulai bosan
Wahai kau pria idola
Berapa lama lagi kau kan menunda?
Perempuan ini perlahan jenuh
Akan penantian yang membunuh
Langganan:
Postingan (Atom)