Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Balas Dendam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Balas Dendam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Juni 2011

DendamKU tuk MencintaiMU

Oleh:  (@ifnumahyudin)

Rasa sayangmu yang berlebihan masih terpendam dalam hatiku
ketidakpekaan hatiku membuatmu menunggu apa maksud semua itu,
maafkan aku telah membuat mu menunggu, 
maafkan atas ketidakpekaan diriku, 
maafkan karena membuatmu kecewa,
kini aku harus membalas dendam cintamu padaku,
Dan harus melebihi rasa cintamu padaku dan
inginku menjadikankanMu pelabuhan terakhirku
hingga kita kembali bertemu di surga itu… 

HATER, YOU ARE MY GREATEST FANS EVER, SO THANKS!!

Oleh: Liza Sri Sekarwati (@oucehyliza)

Dear Hater, thank you for being so concern about my life and my tweets, it is clearly see from your tweets about your attention, I never realized it until my junior told me about that, I appreciate it! J
            Kesel, marah, pengen jambak, uuuuhhhh pokonya aku pengen banget jambak rambut tuh cewe. Dari depan, kesannya baik, lugu, lemah lembut, berpendidikan, eh tahunya SUPER amit-amit tingkahnya. Arini, begitu aku biasa memanggil namanya. Awal kenal sih waktu pertama melangkahkan kaki dikosan Jatinangor ini, awalnya baik, lemah lembut, berpendidikan. Lama-lama ngobrol, jadinya kita deket, cerita ngalor-ngidul, akrab deh.
            “ Ci, punya facebook sama twitter gak? Aku add deh.. “, sapanya sambil menatap layar monitor laptopnya.
            “ Ada dong, add aja sini aku klikin ID nya.. “, aku sibuk mencari dengan situs jejaring sosialku.  “ Selesai ni Rin, sok atuh maen lagi..”, aku segera menyingkir, member ruang padanya untuk duduk didepan laptopnya. Mataku berkeliling, menyusuri seluruh ruangan kamarnya yang bernuansa kuning cerah. Mataku terpaku pada suatu papan kegiatan di sudut atas, tertulis semua kegiatannya dari tanggal 1-30 di bulan ini, bulan JULI. Sepertinya orang sibuk, batinku.
            “ Padet yah jadwal aku, aku orangnya serba gak bisa diem Ci, sibuk. Jadi aja klo leha-leha gini aku jadi bingung mau ngapain, OL gini kan sebenernya gak guna.. kalau kamu sibuk apa dikampus kamu?”, tanyanya panjang lebar. Terdengar nada tengil dan sedikit kesombongan di sana, namun masih terlalu dini untuk menghakimi orang lain hanya dengan sebuah kalimat.
            “ Oh ya aku sih kegiatan biasa aja, kuliah , panitia, pelatihan, wong kuliah aku sendiri juga padet, ampe malem kadang-kandang praktikum Rin…”, jawabku sembari membaca papah kegiatan dan se-abrek piagam penghargaan yang dipajang di sekitar papan kegiatan miliknya. WOW! . Seketika mataku tertahan pada sebuah piala penghargaan yang terpampang di atas TV kamar Arini, piala penghargaan terhadap siswa paling berprestasi se-Universitas. Hebat sekali anak ini, batinku. Segala yang aku lakukan malam itu hanya sebuah ketertarikan yang dalam akan kehebatan temanku yang baru saja aku kenal ini, sedangkan Arini sibuk didepan laptopnya. Kami pun mengobrol bersama, membicarakan berbagai hal, aku masih berpikir dia ini manusia yang baik dan berpendidikan, karena lelah akhirnya aku memutuskan untuk berpamitan untuk kembali ke kamarku dan tidur.
            Seminggu, sebulan, setaun, dua tahun, tiga tahun berlalu. Tidak pernah ada niat atau pikiran dalam otakku untuk selalu memantau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Arini dan aku pun merasa aku tidak pernah punya urusan ataupun kejadian buruk dengannya sampai suatu hari aku melihat situs-situs jejaring sosial yang ia miliki, dan betapa terkejutnya kau begitu mengetahui semua isi yang ada disana adalah semua ya hampir semua tentang komentarnya akan semua kegiatan-kegiatan yang aku lakukan.
“ Heran sama orang yang gaya teleponnya lebay gitu, pagi-pagi udah buat orang bangun aj, Hoaaaammm “, Loh ini kan aku kemarin lagi teleponan sama si bebii.
“ Heran sama si Hypocrite yang suka berlagak baik sama aku, hiih hati-hati mereka berkembang cepat seperti serangga, **lirik tetangga** “, WHAT? MAKSUDNYA??.
“ Wajah cantik mulus itu , belum tentu hati dan otaknya cantik dan mulus, hati-hati sama orang hypocrite…**sebelah** ”, Damn, maksudnya gue gitu?.
“ Orang yang suka ngomongin kejelekan orang lain itu, adalah orang yang mungkin tidak tahu apa yang seharusnya ia katakana tetang dirinya sendiri.. **no mention** “, WHAT THE HELL! SHE IS A FREAK! Siapa maksudnya yang omongin dia, pede gila!
            Aku terus menelusuri situs jejaring sosialnya. Mencoba menganalisa apa yang di maksud Cewe Laknat ini. Aku merasa entah mengapa tulisan-tulisan kotor itu ditujukan padaku, walaupun aku merasa tidak pernah melakukan hal-hal yang ia tuduhkan. Sampai mataku menatap sebuah perkataan-perkataan yang mungkin membenarkan semua dugaanku padanya.
“ It is a big No No to mingle with you even you are the last person in the world “, (sebelumnya aku ngajak dia pergi dan dia bilang seribu alasan dia gak bisa, aku nyesel sedalem-dalemnya karena udah percaya manusia yang dari depan ‘baik’ ini dari dulu)
“ Kasian deh yang mati lampu, makanya jangan suka iri dan sombong, jadi aja sendirian dikamar gelap-gelapan..”, (apa yang salah aku tidur dikamar aku sendiri pas mati lampu jam 11 malem, OMG She is an asshole!).
“ Heran sama orang yang suka masukkin pacarnya kekosan, ckckckckkk “,
( the real condition is she did the same like I did, pacaran dikosan, apa yang salah?).
WHAT THE HELL? SHE IS A FREAK, NUT AND THE MOST ANNOYING BETRAYER THAT I HAVE EVER MET, PRETENDING EVERYTHING’S OKEY IN FRONT OF ME AND THEN YOU STAPPED ME BEHIND MY BACK, F*CK YOU!
            Darah aku mendidih ketika aku membaca baris demi baris timeline situs jejaring sosialnya. Pengen banget rasanya aku ngejambak rambut dan jilbabnya. F*CK, she is not more than just a good pretender, she is an evil and pretending like an angel, she is watching my life, my tweets, my facebook and whatever I did, and commented it on this page!
            Otakku panas mencari kata-kata yang tepat untuk menusuk dia. Pikiranku melayang-layang membayangkan aku menarik rambutnya, menjambak, menampar, membuka kedoknya dan menyampaikan ke semua orang dia manusia macam apa dibalik kedok manis, anak baik-baik dan serba berpendidikan. Aku ingin semua teman-teman dan dunia tahu orang munafik yang teriak munafik macam apa dia!
Orang yang selalu merasa dirinya brilliant dan cerdas like she is the most talented girl in this whole universe and she told that I’m jealous with her? Oh please I even never noticed you are really exist hater and if you are really lucky and so classy like you’ve said why don’t you become MISS –whatever the name of the place- in your village please !
Ingin rasanya hati membantah, memaki, mengirimkan oesan-pesan kasar sampai puas, mencabik-cabik topengnya atau bahkan meludahinya. Then, I realize one thing, cara kaya gitu bukanlah cara ‘manusia berpendidikan dan berkelas’ untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari orang lain. Hal-hal memalukan tentang memaki, menghujat dan menghina orang lain seperti yang DIA lakukan justru hanya akan merendahkan nilai anda dimata orang lain, menunjukkan kesombongan, ketidakberdayaan, kelemahan, pernyataan menyerah, keirian, kemunafikan, kebodohan, tidak berkelas, rasa cemburu, dan ketidakgunaan diri sendiri bagi orang lain. Satu hal yang pasti, karena dia selalu mengawasi, mengetahui atau bahkan memberikan komentar istimewa sampai SEMUA PAGE situs jaringan sosialnya ditujukan untuk aku, adalah She Feels jealous because She can’t be like me, apa adanya, cuek, lugu, bebas dari rasa iri, bebas dari tingkah-tingkah tolol yang ia lakukan, bebas dari kesombongan and the most of all,
DIA HANYA MERASA IRI KARENA TIDAK AKAN PERNAH MENJADI MANUSIA YANG SEISTIMEWA SAYA KARENA MENJADI PUSAT PERHATIAN DAN SOROTAN DARI ORANG LAIN, I HAVE THE BIGGEST FANS EVER, I’M LUCKY TO BE AN ARTIST FOR HER!!
           

Balas Dendam itu Manis

Oleh : Arden S.S.


Banyak yang bilang, balas dendam itu manis. Aku tak tahu kebenarannya, tapi lidahku terangkat ke bibir, mengecap sensasi imajiner yang merambat naik perlahan. Entah aku yang kurang peka atau mereka yang tidak jujur, tapi satu-satunya rasa yang kukecap hanyalah kulit bibirku yang pecah-pecah.

Tidak masalah. Yang penting aku akan balas dendam.

Rencananya sangat sempurna. Tidak seorangpun akan menyadarinya. Saat mereka tahu, sudah terlambat. Tujuanku sudah lama terlaksana.

Tanpa perlu kuberi perintah, tanganku melesak resah menyentuh sang pengeksekusi; Revolver Smith and Wesson Model 10 yang telah menjadi jawaraku selama 5 tahun ini. Berapa orang telah ia tumbangkan? Tak terhitung. Tugasnya sekarang akan menjadi puncak karirnya. Target: pembunuh kakakku.

Ya, aku akan balas dendam.



Seorang lelaki mengangguk ramah ke arahku. Kubalas ia dengan senyuman yang hangat, polos tanpa dosa. Seandainya ia tahu apa yang sedang kurencanakan, akankah sikapnya sama terhadapku? Ataukah ia akan melakukan apa yang orang normal akan lakukan, lari ke kantor polisi terdekat?

Kakiku berhenti di undakan sebuah apartemen lusuh. Ini dia. Jemariku bergetar, entakan jantung di rongga dadaku mengencang, arus darah melenggang di tiap nadi bagai amukan ombak ganas. Kuhirup udara perlahan, mendalam, hingga adrenalin berhenti terpompa. Aku harus berkepala dingin untuk tugas kali ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Sejak kehilangan kakakku, jalan Mafia telah kutinggalkan. Biar begitu, masih ada satu tugas tersisa. Tugas ini. Inilah aksi terakhirku.

Aku akan balas dendam!



Tiap anak tangga yang kudaki selalu diiringi bebunyian ringkih. Sudah tua, nampaknya. Satu lantai. Dua lantai. Delapan lantai kunaiki, tiap langkah membuat ketenanganku kembali goyah. Ingatan yang kukubur sekian lama merobek persemayamannya, mendesak ke permukaan.

Kakakku bisa disebut pembangkang. Ia tidak menyukai cara kerja keluarga kami, meski suka atau tidak, darah Mafia tetap mengalir di nadinya. Hal itu tidak menghentikannya untuk menjadi seorang polisi. Saat ia menyampaikan keputusannya, Aula Besar bergemuruh dengan amarah. Hampir semua mencaci maki, berteriak menghina. Putra sulung sang pemimpin besar Mafia kini menjadi anjing pemerintah.

“Pengkhianat!”

“Mati saja kau!”

Sebelum kerumunan itu menjelma menjadi gerombolan haus darah, kakakku telah pergi. Aku hanya memandangnya dari ujung jalan. Mata kami bertemu. Aku tidak mencacinya. Aku tidak membenci keputusannya. Aku hanya marah karena ia mengkhianati keluarga.

“Akankah kau menghentikanku, dik?“

Aku hanya menggeleng. Ini adalah hidupnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan iapun melangkah pergi.



Sesosok tawa menarikku keluar dari lamunan. Pintu kamar yang ada di sebelah kiriku sedikit terbuka. Kulirik perlahan, sekedar ingin tahu. Dua orang sahabat saling bercanda, tertawa lepas. Atau mungkin mereka adalah kekasih? Aku tidak ambil pusing.

Tiga belas lantai telah kususuri. Sebentar lagi. Seharusnya aku fokus, tetapi sekali lagi ingatanku melesak keluar tanpa mampu kutahan.

Sebelum kepergian kakakku, ayahku, sang pemimpin, tewas dalam baku tembak dengan satuan polisi. Kakakku seharusnya menggantikannya menyandang posisi puncak, tetapi pada akhirnya akulah yang harus mengisi kekosongan tersebut.

Tugas itu semakin berat karena polisi seakan tahu apa saja rencana kami. Sebetulnya para penasihat sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi. Dengan membelotnya kakakku ke sisi mereka, tidak aneh jika rahasia kami terbongkar.

Malam itu adalah puncaknya. Terjadi pertarungan sengit saat beberapa anggota kami melarikan diri dari kejaran polisi. Kakakku ada dalam pengejaran tersebut, dan hal itu tidak membuat anggota Mafia lain senang. Tanpa menunggu perintahku, mereka merangsek ke medan perang. Sambil mengumpat, aku memacu mobilku ke lokasi. Namun terlambat.

Esoknya, kakakku sudah tewas. Polisi Mantan Mafia Tewas dalam Pertempuran Heroik Membela Keadilan, demikian tajuk berita utama setiap koran yang terbit di pagi itu. Keluarga Mafia-ku bersorak gembira. Sang pengkhianat telah membayar!

Bagiku? Duniaku hancur. Satu-satunya keluarga kandungku yang masih tersisa telah tewas. Persetan dengan fakta bahwa dia seorang polisi. Dia kakakku, dan tak ada satupun di dunia ini yang bisa mengubahnya.



Aku berhenti di depan sebuah pintu kayu, polos tanpa dekorasi apapun kecuali sebuah papan nama, juga terbuat dari kayu, yang bertuliskan 3 digit nomor. Ini dia kamar si brengsek itu. Pembunuh kakakku. Kugenggam gagang pintunya dengan erat. Terlalu erat. Jemariku memutih akibat tekanan yang tidak perlu. Kembali kuhirup nafas dalam, lalu kubuka pintu itu perlahan, lebih tenang daripada sebelumnya.

Di sisi kiri terhempas sebuah ranjang reyot. Di sebelahnya mengapit 2 lemari sederhana bertahtakan lampu meja murahan. Ruangan itu kosong. Aku melangkah lebih dalam, hingga terhenti di depan cermin bulat setinggi manusia. Pikiranku kembali melayang.

Saat mobilku berhenti, dentuman pistol telah mengaung di langit malam. Sesuatu terjatuh di kejauhan, nampaknya satu lagi korban meninggal. Dari posisiku yang terlindung semak, aku dapat mengamati peperangan yang sedang berlangsung.

Seseorang mengendap dari belakang, berusaha melakukan serangan mendadak pada para Mafia. Tanpa berpikir lebih jauh, aku menerjang masuk dengan pistol terkokang. Pilihannya antara ia berhasil mengacau balaukan formasi kami, atau aku berhasil menumbangkannya. Yang terjadi adalah yang kedua. Jatuhnya sosok itu membuat para polisi terdiam beku di tempatnya, memberi anggotaku waktu untuk melarikan diri.

Aku masih terpaku. Dan masih akan tetap begitu jika saja seorang anggota tidak menarik dan membawaku pergi.

Sosok itu adalah kakakku sendiri.



Wajah di cermin itu memandang lemah, tetapi dengan senyum tersungging lebar, seakan mencemooh. Wajah si bedebah yang membunuh satu-satunya orang yang kucintai. Pembunuh kakakku.

Aku.

“...Kau sudah siap...?“

Mataku tidak berkedip saat kusaksikan tangannya naik, gagang pistolnya bertumpu tegap pada pelipisnya. Pelipisku.

Senyumnya masih ada di sana. Senyum yang sama denganku. Puas. Lega.

Banyak yang bilang balas dendam itu manis, tapi saat ini ia seperti bau mesiu. Mungkin akan kucari kebenarannya di lain waktu. Tentu saja, itu jika aku masih bisa merasa.

Dendam dalam Senyuman

Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com

"Plak!"

Tamparan itu mendarat tanpa ampun di pipiku. Ruam merah terlihat jelas di sana. Aku hanya bisa merintih dalam sebuah senyuman pahit. Senyum untuk kebahagiaan sahabatku. Dengan wajah tertekuk aku tetap membiarkan rasa sakit itu. Sakit yang tak pernah bisa melebihi rasa sakit hatiku. Malam yang bergulir menjemput temaram menjadi saksi. Di salah satu bagiannya aku tersudut dalam pekatnya hati buram.

***

Ratih bergegas menemuiku di kafeku malam Minggu itu. Tak ada kata terucap saat dia bertemu denganku. Hanya saja ada yang berbeda dengan tatapan matanya.

Aku tak sanggup, karena tatapan itu begitu menusuk. Aku berpaling dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku menata beberapa perabot pada tempatnya semula. Sementara Ratih masih juga duduk memperhatikan setiap gerak-gerikku.

Suasana kafe sudah sepi. Tinggal aku sendiri bersama penjaga malam yang tengah membantu merapikan meja dan kursi. Ada Ratih juga tentunya yang masih membiarkan aku untuk menyelesaikan pekerjaanku.

Setelah selesai, aku pun duduk tepat di hadapan Ratih. Membisu. Tatapan Ratih masih seperti saat pertama dia datang ke kafe ini. Tajam dan penuh makna. Sulit untuk dicerna apalagi di bawah temaram cahaya lampu kafe yang mulai meredup.

"Aku menemukan ini di kamarmu. Apa maksud semua ini?" tanyanya tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah print out semacam konsep kartu undangan.

Aku menatap lembaran itu. Lembaran yang sengaja aku cetak untuk dan simpan untuk mengingatkan padaku tentang arti sebuah hubungan.

"Bukan apa-apa. Itu hanya keisenganku saja," jawabku datar.

"Iseng sih iseng tapi tidak begini caranya. Aku tidak suka," jawabnya ketus.

"Anggap saja itu sebuah doa Ratih," jawabku berusaha memberikan penjelasan pada Ratih.

Tiba-tiba tatapan Ratih berubah, tak lagi tajam. Tatapannya basah menggenang di bola matanya.

"Bukankah kamu mencintainya Rima?" tanya Ratih sesenggukan sambil memukul-mukul meja kayu yang membatasi kontak fisik antara aku dengannya.

"Iya Ratih, tapi aku juga tidak bisa begitu saja membiarkan hatimu terluka karena cinta yang kumiliki," jawabku sambil menghela napas panjang.

"Kamu satu-satunya orang yang kumiliki saat ini. Dan aku tak akan membiarkan kamu terluka oleh siapa pun, apalagi oleh aku," kataku lagi.

"Aku tidak mau kamu menderita seperti ini," kata Ratih setengah berteriak.

"Kalau begini caranya lebih baik aku menjauh darimu," kata Ratih lagi. Kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

Nada-nada tinggi keluar dari mulut Ratih tanpa bisa aku menghentikannya. Sumpah serapah dan caci maki keluar tanpa aku mampu untuk membalasnya. Aku lebih memilih untuk diam.

"Plak!"

Tanganku mendarat di wajahnya. Wajah pucat itu mendadak berubah menjadi merah.

"Cukup Ratih! Cukup! Aku tidak mau tahu. Pokoknya kamu yang harus menikah dengan Doni!" teriakku.

Penjaga malam yang dari tadi memperhatikan aku dan Ratih hanya bisa diam. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia menjadi saksi saat tangis Ratih pecah bersama deru angin malam yang masuk melalui pintu kafe yang sedikit terbuka. Aku diam tanpa bisa menghentikan tangisnya walau sesaat.

Kuamati lembaran itu lagi. Tertulis nama Ratih dan Doni. Berderet-deret kalimat yang aku buat dengan segenap kekuatan hati. Aku lupa untuk menyimpannya di tempat yang aman sampai akhirnya Ratih menemukannya.

Malam kian larut saat aku dan Ratih melangkah pulang ke rumah kontrakan kecil itu. Di kamarnya Ratih masih tersedu. Aku meminta maaf sambil berusaha memberikan penjelasan atas situasi yang tengah terjadi. Tentang hati dan cinta yang tidak bisa dipaksakan.

***

Aku berjalan menuju pelaminan di malam perkawinan Ratih. Persis seperti tanggal yang tertera di konsep undangan yang pernah aku buat sebelumnya. Aku berusaha tegar dalam langkah malam ini. Kulihat Ratih begitu bahagia di samping Doni, suaminya. Lelaki yang selama ini aku dan Ratih cintai.

Pada akhirnya, hati juga yang menang. Ratih yang tak bisa membohongi perasaannya telah memenangkan hati Doni. Sementara aku, yang cenderung menunggu hanya bisa menerima kekalahanku.

Aku tersenyum di hadapan Ratih yang tengah tersenyum padaku. Sama-sama tersenyum tetapi beda makna. Aku tersenyum karena kuat untuk mengalah demi kebahagiaan Ratih, sementara Ratih sepertinya tersenyum karena telah berhasil menuntaskan dendamnya dengan menamparku malam ini.

Lily

Oleh: Sintamilia



Lily, seorang gadis kecil berusia tujuh tahun sedang membaca buku.
Sepertinya ia menemukan kosa kata baru yang kemudian ia tanyakan pada
ibunya.
"Ma, balas dendam itu apa?"

"Hmm.. apa ya?" Sang ibu berpikir sejenak, mencari kata-kata agar sang
anak mudah mengerti. "Balas dendam itu.. kalau kita diperlakukan jahat
sama orang, lalu kita membalas dengan berbuat jahat sama orang itu,
nah itu namanya balas dendam," jawab ibunya.

* * *

Beberapa hari kemudian..

Lily yang baru kelas 1 SD pulang dari sekolah dan menyerahkan sebuah
surat untuk ibunya.
Surat panggilan.

Belum sempat ibunya bertanya lebih jauh, Lily menyerocos.

"Aku tadi di sekolah balas dendam, Ma. Pas olahraga kan cowok-cowok
main bola. Terus Ronny nendang bola, kena kepalaku. Sakit banget. Aku
lempar aja dia pake batu,"

"Apa..? Terus gimana?" Sang ibu kaget.

"Kepalanya berdarah. Dia nangis,"

Ibu menghela nafas berat.
Ia kemudian teringat. Beberapa hari yang lalu ketika Lily bertanya
tentang balas dendam, ia lupa mengatakan,

"Jangan pernah melakukan balas dendam ya, Sayang.."

Skenario Dendam


Oleh: @StephieAnindita

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Aku melafalkan sajak ‘Malam di Pegunungan’ karya Chairil Anwar itu untuk menghibur diri. Ruangan ini terlalu hening, heningnya menggelitik imajinasi. Kubayangkan diriku berada di halaman rumah beberapa jam yang lalu, ketika aku melafalkan sajak yang sama sambil menunggu lampu dari balik kaca jendela itu padam.

Saat itu aku menatap bulan purnama yang tecetak sempurna di warna indigo pekat langit malam, ah … betul-betul seperti ruangan teater yang sudah diatur sempurna. Bulan itu, rumah megah, suara jangkrik, samar-samar aku mendengar tawa riang anak pemulung yang sedang bermain di dalam gerobak orangtuanya

Skenario ini harus digenapi secepatnya. Sudah lama sekali aku menunggu. Menunggu untuk hidup kembali, seperti menunggu di bagian belakang panggung yang dingin, berbau apak dan jauh dari panggung yang terang.

Entah berapa jam atau bahkan hari berlalu sejak babak antiklimaks akhirnya selesai. Aku sudah tidak berniat lagi mencari tahu. Namanya sudah melewati babak antiklimaks, sekarang tinggal menunggu akhirnya saja.

Kuangkat kepalaku, bersandar pada udara kosong di belakangku. Melihat bayanganku dari cermin dua arah raksasa di dinding seberang, aku bisa melihatnya tersenyum. Kalau ada orang di belakang sana, mereka pasti menyangkaku tidak waras. Padahal, aku waras, sewaras-warasnya. Kubayangkan beberapa saat lagi pasti akan ada orang yang masuk, menuntut penjelasan atas apa yang baru saja terjadi.

Ceritakan apa yang terjadi di malam tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, pukul sekian…

Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak

Itu yang akan aku katakan. Aku tidak sok eksentrik, sok puitis, sok bersastra … hei, tren film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ dimana para remaja menyerbu toko buku lama untuk memburu buku ‘Aku’ karangan Syuman Djaya sudah lama berakhir bukan? Aku sedang tidak mencoba me-remake tokoh ‘Rangga’. Maaf saja … aku punya skenario dan tokohku sendiri!

Dan itulah yang terjadi di malam itu. Ketika mimpi membuka alam bawah sadarku tanpa ampun. Menunjukanku fragmen demi fragmen kehidupanku yang sebenarnya. Membangkitkan kembali dendam yang telah lama terkubur. Aku berteriak ketika aku bangun, raungan monster yang berhasil menyentakkan rantai-rantai yang mengurungnya. Tidak ada yang mendengarku, karena letak pondokan kecilku ada jauh ditengah kebun Pepaya.

Malam itu bulan mati. Aku berlari keluar pondokan, berlari tanpa arah menembus kebun. Untuk pertama kalinya aku menyaksikan kebun itu sebagaimana mestinya, dipenuhi hantu-hantu yang melolong saat melihatku berlari kesetanan diantara pohon Pepaya, bah! Kenapa aku begitu buta selama ini, menganggap tempat ini tempat yang damai dan menenangkan? Padahal tempat ini dipenuhi setan, iblis …

Aku terjerembab. Tanganku tahu-tahu saja sudah menggenggam arit. Satu-satunya hal yang nyata di antara pohon-pohon Pepaya yang sudah berubah menjadi kaki-tangan hantu, juga tanah yang dipenuhi cacing bertaring. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus menggenapi skenario yang telah dituliskan untukku.

Kenapa kamu melakukannya? Ia majikanmu, bukan? Dari keterangan yang kami dapat ia tidak pernah punya masalah denganmu atau dengan pekerja yang lain. Dia orang yang baik.

Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati

Aku temukan dia. Di sana, berbaring dengan tenang. Aku tahu ia tidak akan bangun lagi. Ia sudah terlalu nyaman, berselimutkan nyawanya sendiri di atas kasur. Skenario sudah digenapi. 

Aku bukanlah orang yang ia sangka selama ini …

Jelas! Ia tidak pernah menyangka kalau salah satu pekerjanya yang paling setia rupanya pembunuh berdarah dingin. Apa alasanmu melakukannya? Apa kamu mengincar kekayaannya? Atau apa?

Ia juga bukan orang yang kalian sangka selama ini … ia pernah mendesak mantan pacarnya untuk melakukan aborsi illegal. Bayi itu mati, begitu juga mantan pacarnya tidak lama kemudian. Mereka berdua bahkan tidak diberikan jalan yang cepat dan mudah untuk melepas hidup. Mereka harus bermain tarik-tarikan nyawa dulu dengan malaikat maut.

Lantas apa hubungannya kamu dengan itu? Siapa wanita itu? Saudaramu?

Bukan.

Mantan pacar?

Bukan. Aku tidak ada hubungan sama sekali dengan wanita itu – tidak dalam wujudku sekarang ini, setidaknya.

Lantas apa? Oh, saya tahu … kamu pasti mau bermain jadi Dewa keadilan bukan? Yang mengadili orang-orang yang kamu anggap jahat dengan caramu sendiri?

Aku … adalah reinkarnasi dari bayi itu!

Ini untuk kematianku dan Mama!

Aku mendongak, tertawa keras membayangkan yang akan terjadi saat interogasi dimulai nanti. Setelah puas tertawa, aku menunduk, menekuni jemari tanganku yang masih dinodai darah kering.

“Mama …” bisikku lirih. “Lihat Ma, darahku dan darahnya menyatu … aku tidak salah orang, Ma ... ”

Pintu ruang interogasi menjeblak terbuka. Aku mengepalkan tanganku erat-erat dan mendongak, kemudian tersenyum pada tiga orang berseragam cokelat yang menatapku tajam.

Bulan bersinar sedikit tak tampak

Penggalan puisi di atas merupakan pisi karya Chairil Anwar yang berjudul ‘Malam di Pegunungan (1947)’ dan ‘Dendam (13 Juli 1943)’

Ketika Aku Merasa Perlu


Oleh: Josefine Yaputri

Pembalasan dendam tidaklah selamanya perlu, asal aku bisa menjalani hidup tanpa gangguanmu. Sejujurnya, aku adalah seorang pendendam yang tidak pernah bisa menyimpan rasa sakit, dan saat waktu itu datang, aku akan langsung membalaskan dendamku padamu. Dan kamu adalah orang paling keji yang pernah aku temui. Tapi, jangan berpuas diri dahulu, karena aku akan menjadi jauh lebih keji darimu saat aku membalaskan dendamku.
~
Haha … Perempuan yang dikenal sebagai pribadi periang sepertiku, mungkin tidak pernah terlihat sedih. Dan sepertinya, aku memang pandai menutupi setiap kesedihan dan kemarahan yang aku rasakan.
Sebaliknya, perempuan sepertimu nampaknya tidak pernah memiliki kehidupan lain yang jauh lebih penting daripada mencampuri kehidupanku dengan raut muka sedih dan sangat ingin dikasihani. Kau selalu mencari perhatian dariku dan aku dengan bodohnya akhirnya mau mengasihani dirimu. Aku memberimu tempat di ruang sosialku. Aku juga memberimu rahasia dan rahasia itu bahkan belum ada yang tahu.
Aku sebelumnya percaya bahwa manusia diciptakan baik adanya dan ibuku bahkan selalu bilang bahwa setiap orang itu baik, tetapi nyatanya kau tidak memiliki sisi baik sedikit pun. Cih.
Sudahlah, toh sekarang aku sudah merasa perlu.
Aku sudah merasa perlu untuk membalaskan dendamku padamu.
~
Mulutku memang selalu manis, tetapi kali ini aku akan memberikan ribuan kata pedas untuk menghancurkanmu. Cukup? Tentu tidak, karena kau harus mendapatkan ganjaran yang jauh lebih keji dari hasil perbuatanmu padaku.
Terima kasih banyak untuk pengkhianatanmu. Terima kasih banyak untuk mimpi burukku.
~
Hei, kau, perempuan nista. Sudahkah kau puas dengan apa yang telah kau dapatkan? Kau memang perempuan murahan yang akhirnya bisa membuatku tersenyum, tersenyum keji. Aku toh akhirnya menyadari bahwa kau memang suka ditiduri oleh puluhan lelaki, meski itu bukanlah bagian dari rencana pembalasan dendamku.
Dan ya, kau memang tidak pantas dikasihani.
Janganlah kau merengek-rengek lagi di atas kakiku dan menyembah-nyembahku lagi, karena aku sudah sangat muak denganmu. Buanglah topengmu jauh-jauh dan pergilah selamanya dariku. Kau beruntung, karena sisi jahatku belum berniat untuk membunuhmu.
Aku bukanlah perempuan periang seperti yang kau kira. Aku bukanlah gadis kecil yang manja.
Aku adalah mimpi burukmu.
Sekarang, pergilah. Aku sudah sangat puas membalaskan dendamku padamu.
Terima kasih karena kau telah menjadi korban pembalasan dendam terkejiku.
Semoga … kau bahagia, meski aku tahu bahwa kau tak akan pernah bisa.

Salam manis dari perempuan terbaikmu.