Oleh: Deeyhazt Azeeza
Aku sendiri.
Duduk menanti sepi.
Hilang akal, ya aku nyaris hilang akal.
Aku tak tau apa yang harus aku lakukan.
Aku merindukan tawa. Tawaku.
Lama aku tak tertawa, tertawa mendengarmu.
Lama aku tak tertawa,tertawa melihat wajah bodohmu.
Lama aku tak tertawa, mendengar semua ceritamu.
Aku duduk disini,
Tapi aku tak disini.
Sungguh,aku merindukan tawaku.
Tawaku yang lepas karenamu.
Aku merindukan tawaku.
Ya aku merindukan tawaku yang hilang karenamu.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Tawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tawa. Tampilkan semua postingan
Jumat, 08 April 2011
Tertawalah Dengan Senang
Oleh: Lidya Christina (@Lid_Yang)
Lcy-thoughts.blogspot.com
“Tertawalah dengan senang,” pikirku.
Dari dulu aku berusaha sekuat tenaga agar dia bisa tertawa dengan senang. Jujur, susah. Apalagi setelah ditinggalkan laki-laki itu. Dulu, dia memang jarang tertawa. Tetapi semenjak mengenal dengan laki-laki itu, tawanya tidak dapat dipendam.
Selama hari-hari itu, tawanya selalu menemaninya setiap saat. Waktu itu, aku berpikir, mungkin kehadiran laki-laki ini ada baiknya. Toh, laki-laki ini berprestasi. Wakil ketua OSIS, jago main basket dan badminton. Dan yang paling penting, dia berhasil membuatnya tertawa.
Tetapi sekarang, tidak sama lagi. Sejak laki-laki itu pergi, dia menjadi pendiam. Senyum memang masih ada di mukanya. Tawanya saat bercanda dengan teman-temannya memang belum hilang. Yang hilang, perasaan dalam tawanya. Kapan dia bisa tertawa seperti waktu itu lagi?
Aku pernah berpikir untuk menemui laki-laki itu, untuk meminta pertanggungjawaban. Ah, tidak akan berguna juga.
Siang itu, dia ditegur teman baiknya.
“Kenapa sih kamu ini? Dia sudah past tense tahu? Aku tahu kamu sedih. Kami? Aku? Yang selalu ada di sampingmu?”
Tiba-tiba dia tersadar. Aku juga. Jika dibandingkan laki-laki itu, temannya lebih mahir dalam membuatnya tertawa. Ternyata aku salah, dia sudah sering tertawa sebelum mengenal laki-laki itu. Aku terlalu mementingkan laki-laki itu. Sampai lupa pada mereka yang selalu menemaninya.
Akhirnya dia tersenyum. Senyumannya yang hangat kembali menghiasi mukanya. Hari-hari yang penuh tawa dan canda kembali mengisi pikiranku.
“Iya, betul. Senyumlah. Dan tertawalah dengan senang, hatiku,” kataku dalam hati.
Lcy-thoughts.blogspot.com
“Tertawalah dengan senang,” pikirku.
Dari dulu aku berusaha sekuat tenaga agar dia bisa tertawa dengan senang. Jujur, susah. Apalagi setelah ditinggalkan laki-laki itu. Dulu, dia memang jarang tertawa. Tetapi semenjak mengenal dengan laki-laki itu, tawanya tidak dapat dipendam.
Selama hari-hari itu, tawanya selalu menemaninya setiap saat. Waktu itu, aku berpikir, mungkin kehadiran laki-laki ini ada baiknya. Toh, laki-laki ini berprestasi. Wakil ketua OSIS, jago main basket dan badminton. Dan yang paling penting, dia berhasil membuatnya tertawa.
Tetapi sekarang, tidak sama lagi. Sejak laki-laki itu pergi, dia menjadi pendiam. Senyum memang masih ada di mukanya. Tawanya saat bercanda dengan teman-temannya memang belum hilang. Yang hilang, perasaan dalam tawanya. Kapan dia bisa tertawa seperti waktu itu lagi?
Aku pernah berpikir untuk menemui laki-laki itu, untuk meminta pertanggungjawaban. Ah, tidak akan berguna juga.
Siang itu, dia ditegur teman baiknya.
“Kenapa sih kamu ini? Dia sudah past tense tahu? Aku tahu kamu sedih. Kami? Aku? Yang selalu ada di sampingmu?”
Tiba-tiba dia tersadar. Aku juga. Jika dibandingkan laki-laki itu, temannya lebih mahir dalam membuatnya tertawa. Ternyata aku salah, dia sudah sering tertawa sebelum mengenal laki-laki itu. Aku terlalu mementingkan laki-laki itu. Sampai lupa pada mereka yang selalu menemaninya.
Akhirnya dia tersenyum. Senyumannya yang hangat kembali menghiasi mukanya. Hari-hari yang penuh tawa dan canda kembali mengisi pikiranku.
“Iya, betul. Senyumlah. Dan tertawalah dengan senang, hatiku,” kataku dalam hati.
Penantian Terakhir
Oleh: Yuska Vonita (@yuska77)
Kedua tanganku gemetar saat memegang cangkir teh berwarna kuning gading. Teh manis buatan Nilam yang setia merawat dan menemaniku setiap hari. Senyumnya yang hangat membuatku melupakan tawa Hadi dan Irma kecil yang dulu mewarnai rumahku.
Sudah sewindu aku menempati panti penampungan tua renta di Jalan Imogiri ini. Aku yang semakin rapuh tak sanggup menopang tubuh mungil cucuku saat ia menyapa dunia. Jangankan menggendong cucu, berjalan saja aku harus dipapah. Belum lagi kedua tanganku yang keriput dan penuh dengan urat-urat menonjol sering menjatuhkan piring dan gelas saat makan. Aku harus mengalah dan menerima suapan demi suapan Nilam.
Suatu malam, aku tidak bisa tidur. Entah mengapa aku terbawa suasana sentimentil dan teringat dengan Dadi. Wajah Dadi terbayang di pelupuk mata. Dadiku yang diambil secara paksa saat revolusi kudeta Sukarno. Dia dituduh sebagai gembong Partai Komunis lalu diculik dan menghilang entah kemana. Cintaku tak pernah kembali, hatiku sepi dan sunyi.
Samar-samar kudengar Irma berbicara dengan Arsya, suaminya. Pandanganku memang sudah kabur, tapi pendengaranku masih setajam serigala.
"Aku udah bilang, antar saja Ibu ke rumah mas Hadi. Mbak Gek bekerja di rumah, bisa bantu ngawasin Ibu."
"Mbak Gek sering ikut mas Hadi keluar kota. Rumah mereka sepi. Aku nggak yakin mas Hadi mau menampung Ibu," Irma berargumen. Aku meminta Nilam mendorong kursi rodaku ke depan kamar Irma.
"Ah, terserah! Aku capek ngurus tua bangka menyebalkan itu. Kamu urus tuh Ibu kamu! Tiap hari ada aja kelakuannya yang bikin jengkel!" Arsya membanting pintu dan mendapatiku bersama Nilam di depan kamarnya. Matanya menyala-nyala. Lalu ia beranjak keluar rumah.
Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar. Dengan tangan dan bibir bergetar, aku berkata, "Lam, tolong beresi baju-baju dan keperluanku. Besok aku minta diantar ke panti jompo. Cari yang paling jauh dari sini. Kamu ikut aku ya." Nilam menatapku lekat, lalu ia mengangguk. Ragu.
Sebelum fajar menyingsing, aku meminta Nilam untuk mencarikan taksi dan segera pergi dari rumah itu. Dengan berat hati, kukecup dahi Arka, cucuku, yang terlelap.
Anak-anakku yang sudah dewasa pasti terbebani dengan aku yang renta tak berdaya. Aku yang sering meracau tak jelas tentang ayah mereka yang hebat, tentang kami yang jatuh cinta di Kaliurang, tentang pernikahan kami di KUA. Mereka pasti jengah dan muak. Muak dengan aku si tua renta.
Aku memang bukan sosok ibu ideal bagi anak-anakku. Aku yang menjadi orang tua tunggal saat anak-anakku masih kecil harus banting tulang mencari sesuap nasi. Aku yang lelah berjualan gudeg lalu menjadi buruh cuci harus mengurus kedua anakku yang kadang tidak menuruti kata-kataku. Omelan dan pukulan sering kulayangkan saat aku beraada dalam puncak kelelahan. Dalam hati, aku menyesal telah menyakiti buah hatiku. Tapi, aku hanya manusiaa tak berdaya.
Sekarang, aku merasakan pedihnya menjadi orang teraniaya. Mungkin ini hukumanku. Ya, aku terima. Tapi mengapa air mata sering menetes jika aku memikirkan Hadi dan Irma.
Aku sudah lupa seperti apa suara mereka. Aku juga lupa bagaimana tawa mereka? Sungguh, semuanya seperti mimpi. Begitu jauh jarak antara aku dan anak-anakku.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tak ada Hadi dan Irma. Tak ada Dadi. Hanya teman-teman tua renta, para suster dan Nilam yang bertepuk tangan menyanyikan lagu "Happy Birthday". Nilam membawa sebuah kue coklat mungil berbentuk segitiga. Ada sebuah lilin kecil yang menyala. Dengan bibir bergetar, kutiup perlahan. Sorak sorai terdengar meriah di kamar Anggrek 122.
"Bu Diah minta apa tadi sama Tuhan?" Suster Sinta bertanya sambil mengecek tensi darhku.
"Ah, ndak. Aku cuma mau lihat senyum anak-anakku." Aku menatap wajah suster muda yang wajahnya mirip dengan Irma itu.
Ia tersenyum, lalu melepaskan stetoskopnya.
"Ibu sehat kok, jangan mikir yang berat-berat ya. Nilam kan selalu mendampingi ibu." Aku tersenyum lalu mengangguk.
Setelah suster Sinta berlalu, aku merasa pening dan ingin muntah. Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar mandi. Saat aku duduk di toilet, sesosok pria berpakaian hitam menghampiriku. Kejadiannya cepat sekali. Dalam hitungan detik, aku sudah berdiri di sisinya.
"Sudah selesai, sekarang kamu ikut aku," kata pria itu sambil berjalan di belakangku.
Kulihat Nilam mengguncang-guncangkan tubuhku. Tak berapa lama kemudian, para suster mengerubungi tubuhku. Nilam tersedu tanpa suara. Aku masih berdiri di sana, menyaksikan semuanya seperti menonton adegan demi adegan film.
Beberapa jam kemudian, saat tubuhku sudah dililit kain kafan, Irma dan Hadi datang bersama pasangan mereka. Irma terisak sambil memeluk tubuhku yang dingin dan kaku. Hadi tertunduk. Aku tak ingin melihat kesedihan mewarnai kepergianku. Aku ingin melihat tawa anak-anakku, agar aku memiliki kenangan indah yang bisa kubawa ke alam sana. Perlahan kuhampiri Irma, lalu kupeluk ia dengan erat. Kudekati Hadi dan kukecup dahinya.
Selamat tinggal, anak-anakku. Aku akan tersenyum jika mengingat kalian. Pandanglah fotoku di dalam pigura emas itu dan ingatlah tawa ibumu.
Kedua tanganku gemetar saat memegang cangkir teh berwarna kuning gading. Teh manis buatan Nilam yang setia merawat dan menemaniku setiap hari. Senyumnya yang hangat membuatku melupakan tawa Hadi dan Irma kecil yang dulu mewarnai rumahku.
Sudah sewindu aku menempati panti penampungan tua renta di Jalan Imogiri ini. Aku yang semakin rapuh tak sanggup menopang tubuh mungil cucuku saat ia menyapa dunia. Jangankan menggendong cucu, berjalan saja aku harus dipapah. Belum lagi kedua tanganku yang keriput dan penuh dengan urat-urat menonjol sering menjatuhkan piring dan gelas saat makan. Aku harus mengalah dan menerima suapan demi suapan Nilam.
Suatu malam, aku tidak bisa tidur. Entah mengapa aku terbawa suasana sentimentil dan teringat dengan Dadi. Wajah Dadi terbayang di pelupuk mata. Dadiku yang diambil secara paksa saat revolusi kudeta Sukarno. Dia dituduh sebagai gembong Partai Komunis lalu diculik dan menghilang entah kemana. Cintaku tak pernah kembali, hatiku sepi dan sunyi.
Samar-samar kudengar Irma berbicara dengan Arsya, suaminya. Pandanganku memang sudah kabur, tapi pendengaranku masih setajam serigala.
"Aku udah bilang, antar saja Ibu ke rumah mas Hadi. Mbak Gek bekerja di rumah, bisa bantu ngawasin Ibu."
"Mbak Gek sering ikut mas Hadi keluar kota. Rumah mereka sepi. Aku nggak yakin mas Hadi mau menampung Ibu," Irma berargumen. Aku meminta Nilam mendorong kursi rodaku ke depan kamar Irma.
"Ah, terserah! Aku capek ngurus tua bangka menyebalkan itu. Kamu urus tuh Ibu kamu! Tiap hari ada aja kelakuannya yang bikin jengkel!" Arsya membanting pintu dan mendapatiku bersama Nilam di depan kamarnya. Matanya menyala-nyala. Lalu ia beranjak keluar rumah.
Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar. Dengan tangan dan bibir bergetar, aku berkata, "Lam, tolong beresi baju-baju dan keperluanku. Besok aku minta diantar ke panti jompo. Cari yang paling jauh dari sini. Kamu ikut aku ya." Nilam menatapku lekat, lalu ia mengangguk. Ragu.
Sebelum fajar menyingsing, aku meminta Nilam untuk mencarikan taksi dan segera pergi dari rumah itu. Dengan berat hati, kukecup dahi Arka, cucuku, yang terlelap.
Anak-anakku yang sudah dewasa pasti terbebani dengan aku yang renta tak berdaya. Aku yang sering meracau tak jelas tentang ayah mereka yang hebat, tentang kami yang jatuh cinta di Kaliurang, tentang pernikahan kami di KUA. Mereka pasti jengah dan muak. Muak dengan aku si tua renta.
Aku memang bukan sosok ibu ideal bagi anak-anakku. Aku yang menjadi orang tua tunggal saat anak-anakku masih kecil harus banting tulang mencari sesuap nasi. Aku yang lelah berjualan gudeg lalu menjadi buruh cuci harus mengurus kedua anakku yang kadang tidak menuruti kata-kataku. Omelan dan pukulan sering kulayangkan saat aku beraada dalam puncak kelelahan. Dalam hati, aku menyesal telah menyakiti buah hatiku. Tapi, aku hanya manusiaa tak berdaya.
Sekarang, aku merasakan pedihnya menjadi orang teraniaya. Mungkin ini hukumanku. Ya, aku terima. Tapi mengapa air mata sering menetes jika aku memikirkan Hadi dan Irma.
Aku sudah lupa seperti apa suara mereka. Aku juga lupa bagaimana tawa mereka? Sungguh, semuanya seperti mimpi. Begitu jauh jarak antara aku dan anak-anakku.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tak ada Hadi dan Irma. Tak ada Dadi. Hanya teman-teman tua renta, para suster dan Nilam yang bertepuk tangan menyanyikan lagu "Happy Birthday". Nilam membawa sebuah kue coklat mungil berbentuk segitiga. Ada sebuah lilin kecil yang menyala. Dengan bibir bergetar, kutiup perlahan. Sorak sorai terdengar meriah di kamar Anggrek 122.
"Bu Diah minta apa tadi sama Tuhan?" Suster Sinta bertanya sambil mengecek tensi darhku.
"Ah, ndak. Aku cuma mau lihat senyum anak-anakku." Aku menatap wajah suster muda yang wajahnya mirip dengan Irma itu.
Ia tersenyum, lalu melepaskan stetoskopnya.
"Ibu sehat kok, jangan mikir yang berat-berat ya. Nilam kan selalu mendampingi ibu." Aku tersenyum lalu mengangguk.
Setelah suster Sinta berlalu, aku merasa pening dan ingin muntah. Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar mandi. Saat aku duduk di toilet, sesosok pria berpakaian hitam menghampiriku. Kejadiannya cepat sekali. Dalam hitungan detik, aku sudah berdiri di sisinya.
"Sudah selesai, sekarang kamu ikut aku," kata pria itu sambil berjalan di belakangku.
Kulihat Nilam mengguncang-guncangkan tubuhku. Tak berapa lama kemudian, para suster mengerubungi tubuhku. Nilam tersedu tanpa suara. Aku masih berdiri di sana, menyaksikan semuanya seperti menonton adegan demi adegan film.
Beberapa jam kemudian, saat tubuhku sudah dililit kain kafan, Irma dan Hadi datang bersama pasangan mereka. Irma terisak sambil memeluk tubuhku yang dingin dan kaku. Hadi tertunduk. Aku tak ingin melihat kesedihan mewarnai kepergianku. Aku ingin melihat tawa anak-anakku, agar aku memiliki kenangan indah yang bisa kubawa ke alam sana. Perlahan kuhampiri Irma, lalu kupeluk ia dengan erat. Kudekati Hadi dan kukecup dahinya.
Selamat tinggal, anak-anakku. Aku akan tersenyum jika mengingat kalian. Pandanglah fotoku di dalam pigura emas itu dan ingatlah tawa ibumu.
Tertawa Tengah Siang
Oleh: @optimuspras
Di hari yang cerah dan udara yang masih bersahabat dengan kulit, berkumpullah beberapa orang di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas dengan ventilasi udara yang lumayan untuk membuat angin berlalu lalang bebas kedalamnya. Parjo, sukro dan kuro, ketiga sahabat ini berkumpul pada ruangan itu untuk beristirahat, Parjo “bagaimana kalau kita main tebak-tebakan??” boleh, sahut kuro. Coba tebak ini, tandas parjo “di sebuah pohon, di dahan sebelah kiri ada seekor monyet yang bergelantungan, sedangkan di dahan yang kanan ada 5 ekor burung pipit, kemudian datanglah pemburu yang ingin sekali menembak satu diantaranya, tetapi dia bingung. Akhirnya dia memilih menembak seekor monyet yang sedari tadi bergelantungan di dahan pohon sebelah kiri, nah dia sudah melepaskan tembakan kearah monyet itu, yang jadi pertanyaan adalah tinggal berapa ekor burung yang ada di dahan sebelah kanan tadi??? ” sukro dan kuro tampak mulai berpikir, terlihat dari masing-masing mereka mulai mengrenyitkan dahi. “pasti jawabnya dua ekor “ sahut sukro. “bukan, yang betul sudah ga ada, pasti jawabanku betul…ya kan kang parjo” tandas kuro. “Rupanya kalian pinter-pinter, jawaban kalian sedikit betul, tapi kurang sempurna” jawab parjo. “Lah yang benar apa loh kang?” Tanya sukro. “iya apa kang?” sahut kuro. “salah semuaaa…yang benar tinggal SATU” jawab parjo. “la ko bisa tinggal satu itu dari mana kang?” sahut sukro. “iya ini ga masuk akal” kata kuro. “ya sudah saya kasi tau aja jawabanya, yang betul tinggal satu, la yang nembak itu tadi kan cowok, nah kalau cowok itu punya apa tidak??” Tanya parjo. “Punya apa kang? “ sahut sukro. “la ya punya yang terbang tadi” jawab parjo. “oalaahhh….” Jawab sukro dan kuro serempak. “ayo semua terTAWAlah sebelum tertawa itu mahal” (ngakak.com)
Di hari yang cerah dan udara yang masih bersahabat dengan kulit, berkumpullah beberapa orang di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas dengan ventilasi udara yang lumayan untuk membuat angin berlalu lalang bebas kedalamnya. Parjo, sukro dan kuro, ketiga sahabat ini berkumpul pada ruangan itu untuk beristirahat, Parjo “bagaimana kalau kita main tebak-tebakan??” boleh, sahut kuro. Coba tebak ini, tandas parjo “di sebuah pohon, di dahan sebelah kiri ada seekor monyet yang bergelantungan, sedangkan di dahan yang kanan ada 5 ekor burung pipit, kemudian datanglah pemburu yang ingin sekali menembak satu diantaranya, tetapi dia bingung. Akhirnya dia memilih menembak seekor monyet yang sedari tadi bergelantungan di dahan pohon sebelah kiri, nah dia sudah melepaskan tembakan kearah monyet itu, yang jadi pertanyaan adalah tinggal berapa ekor burung yang ada di dahan sebelah kanan tadi??? ” sukro dan kuro tampak mulai berpikir, terlihat dari masing-masing mereka mulai mengrenyitkan dahi. “pasti jawabnya dua ekor “ sahut sukro. “bukan, yang betul sudah ga ada, pasti jawabanku betul…ya kan kang parjo” tandas kuro. “Rupanya kalian pinter-pinter, jawaban kalian sedikit betul, tapi kurang sempurna” jawab parjo. “Lah yang benar apa loh kang?” Tanya sukro. “iya apa kang?” sahut kuro. “salah semuaaa…yang benar tinggal SATU” jawab parjo. “la ko bisa tinggal satu itu dari mana kang?” sahut sukro. “iya ini ga masuk akal” kata kuro. “ya sudah saya kasi tau aja jawabanya, yang betul tinggal satu, la yang nembak itu tadi kan cowok, nah kalau cowok itu punya apa tidak??” Tanya parjo. “Punya apa kang? “ sahut sukro. “la ya punya yang terbang tadi” jawab parjo. “oalaahhh….” Jawab sukro dan kuro serempak. “ayo semua terTAWAlah sebelum tertawa itu mahal” (ngakak.com)
Tertawalah
Oleh: @rizkymfachran
Tertawa, cara paling tepat menikmati duka
Ini sudah pagi, bulan juga sudah kembali ke orbitnya. Tapi kakek tua itu masih duduk ditengah bar. Mungkinkah dia tak takut sakit? Mungkinkah dia tak takut mati? Masih banyak mungkin-mungkin yang lain, yang belum tentu bisa menjawab tanda tanya di kepala para pelayan. Sang bartender pun tak habis pikir, kenapa kakek tua ini masih kuat berhadapan dengan gelas-gelas penuh bir. Sepertinya dia sedang berpesta, merayakan sesuatu.
Para muda-mudi yang sedari malam ikut menikmati riuhnya bar, sesekali diajak oleh pria tua itu bersulang. Hanya senyuman dan tawa yang bisa mereka lakukan. Mereka ikut tertawa bersama kakek tanpa tau maksudnya. Tawa yang penuh teka-teki.
"Kek, sudah pagi. Kakek nggak pulang?" Tanya sang bartender yang sudah lelah melayani puluhan pengunjung bar.
"Pulang kok, tapi sebentar ya, saya masih mau merayakan ini" kata kakek setengah mabuk.
Lantas apa yang membuat pria tua itu betah disini? Apa yang dirayakannya? Mengapa dia terus tertawa sejak duduk di kursi depanku? Muncul ratusan pertanyaan di benak sang bartender.
Tiba-tiba pria paruh baya itu bercerita. Dengan penuh rasa penasaran, bartender menyimak ucapan pria yang didagunya menempel jenggot tipis berwarna putih.
"Coba kau bayangkan, bagaimana kalau tak bisa lagi kita tertawa? Bagaimana kalau tawa tak ada di dunia? Akan sulit melupakan kesedihan bukan? Sedari tadi aku tertawa, sudah berapa gelas bir yang kuminum, lima. Aku disini bukan ingin mabuk. Aku disini untuk merayakan hari meninggalnya istriku setahun yang lalu."
"Mengapa kau rayakan kek? Bukankah seharusnya penuh haru? Bukankah seharusnya dengan khidmat kita lantunkan doa-doa untuknya?"
Sang bartender semakin dalam terjerembab ke lubang penuh tanda tanya.
"Gluk..Gluk..Gluk... ini bukan persoalan doa. Tapi ini tentang cara melanjutkan semangat nenek, dan cara menikmati sisa hidup. Dulu sekali, nenek sering sekali tertawa. Bahkan saya kira dia sudah gila. Saat mertuaku meninggal, bahkan saat kami hampir bercerai. Berbeda denganku, saat sedih aku menangis, marah mengamuk, baru saat aku merasa ada yang lucu atau menggembirakan, aku tertawa. Tapi aku salah. Baru aku tahu kenapa nenek sering sekali tertawa. Dia yang mengajarkanku cara menikmati duka, meredam amarah. Caranya? Tertawalah. Aku ini sudah tua, sisa umurku mungkin sudah tinggal seumur jagung. Lantas disisa waktu ini aku ingin menikmati hidup. Sudah banyak suka duka yang kualami. Baru saat nenek meninggal aku tahu rahasia menikmati keduanya. Asal kau tahu, wahai anak muda. Aku lebih sering tertawa, sejak pemakaman wanita cantik itu."
Kemudian pria tua itu berdiri mengambil tongkat dan topinya yang ditaruhnya diatas meja. Sang bartender tersenyum. Sungguh pelajaran berharga dari seorang pria paruh baya itu menyentuh hatinya. Ditolaknya seluruh uang yang disodorkan kakek. Bahkan dia merasa tak cukup barter 5 gelas bir dengan pelajaran seumur hidup ini.
Terhuyung, kakek tua itu meninggalkan bar dan malam yang menemaninya.
Malam tak pernah lagi suram dan menakutkan, selalu ada senyum dan tawa di bibir bartender itu.
"Mari tertawa, Tuhan. Hahaha" Bibir pria tua itu seketika kaku, dia terjatuh hanya beberapa langkah dari pintu.
Nafas terakhirnya, terbang bersama tawa dan airmata"
Tertawa, cara paling tepat menikmati duka
Ini sudah pagi, bulan juga sudah kembali ke orbitnya. Tapi kakek tua itu masih duduk ditengah bar. Mungkinkah dia tak takut sakit? Mungkinkah dia tak takut mati? Masih banyak mungkin-mungkin yang lain, yang belum tentu bisa menjawab tanda tanya di kepala para pelayan. Sang bartender pun tak habis pikir, kenapa kakek tua ini masih kuat berhadapan dengan gelas-gelas penuh bir. Sepertinya dia sedang berpesta, merayakan sesuatu.
Para muda-mudi yang sedari malam ikut menikmati riuhnya bar, sesekali diajak oleh pria tua itu bersulang. Hanya senyuman dan tawa yang bisa mereka lakukan. Mereka ikut tertawa bersama kakek tanpa tau maksudnya. Tawa yang penuh teka-teki.
"Kek, sudah pagi. Kakek nggak pulang?" Tanya sang bartender yang sudah lelah melayani puluhan pengunjung bar.
"Pulang kok, tapi sebentar ya, saya masih mau merayakan ini" kata kakek setengah mabuk.
Lantas apa yang membuat pria tua itu betah disini? Apa yang dirayakannya? Mengapa dia terus tertawa sejak duduk di kursi depanku? Muncul ratusan pertanyaan di benak sang bartender.
Tiba-tiba pria paruh baya itu bercerita. Dengan penuh rasa penasaran, bartender menyimak ucapan pria yang didagunya menempel jenggot tipis berwarna putih.
"Coba kau bayangkan, bagaimana kalau tak bisa lagi kita tertawa? Bagaimana kalau tawa tak ada di dunia? Akan sulit melupakan kesedihan bukan? Sedari tadi aku tertawa, sudah berapa gelas bir yang kuminum, lima. Aku disini bukan ingin mabuk. Aku disini untuk merayakan hari meninggalnya istriku setahun yang lalu."
"Mengapa kau rayakan kek? Bukankah seharusnya penuh haru? Bukankah seharusnya dengan khidmat kita lantunkan doa-doa untuknya?"
Sang bartender semakin dalam terjerembab ke lubang penuh tanda tanya.
"Gluk..Gluk..Gluk... ini bukan persoalan doa. Tapi ini tentang cara melanjutkan semangat nenek, dan cara menikmati sisa hidup. Dulu sekali, nenek sering sekali tertawa. Bahkan saya kira dia sudah gila. Saat mertuaku meninggal, bahkan saat kami hampir bercerai. Berbeda denganku, saat sedih aku menangis, marah mengamuk, baru saat aku merasa ada yang lucu atau menggembirakan, aku tertawa. Tapi aku salah. Baru aku tahu kenapa nenek sering sekali tertawa. Dia yang mengajarkanku cara menikmati duka, meredam amarah. Caranya? Tertawalah. Aku ini sudah tua, sisa umurku mungkin sudah tinggal seumur jagung. Lantas disisa waktu ini aku ingin menikmati hidup. Sudah banyak suka duka yang kualami. Baru saat nenek meninggal aku tahu rahasia menikmati keduanya. Asal kau tahu, wahai anak muda. Aku lebih sering tertawa, sejak pemakaman wanita cantik itu."
Kemudian pria tua itu berdiri mengambil tongkat dan topinya yang ditaruhnya diatas meja. Sang bartender tersenyum. Sungguh pelajaran berharga dari seorang pria paruh baya itu menyentuh hatinya. Ditolaknya seluruh uang yang disodorkan kakek. Bahkan dia merasa tak cukup barter 5 gelas bir dengan pelajaran seumur hidup ini.
Terhuyung, kakek tua itu meninggalkan bar dan malam yang menemaninya.
Malam tak pernah lagi suram dan menakutkan, selalu ada senyum dan tawa di bibir bartender itu.
"Mari tertawa, Tuhan. Hahaha" Bibir pria tua itu seketika kaku, dia terjatuh hanya beberapa langkah dari pintu.
Nafas terakhirnya, terbang bersama tawa dan airmata"
Satu Jiwa Dua Tawa
Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
"Hei, kamu tahu nggak hari ini ulanganku nilainya sepuluh lho. Hahaha," kataku dengan bangga yang membuat ruangan itu menjadi riuh dengan tawaku.
"Halah, dasar kamu. Sepuluh hasil nyontek aja bangga. Kayak aku dong, biar nilai jelek tapi hasil kerja sendiri. Hehehe," katanya dalam tawa mengejek.
"Proses nggak penting bung. Yang penting kan hasilnya. Sempurna. Hahaha," tawaku semakin membahana dalam suka.
"Jiah, kalau aku sih malu dapet nilai bagus tapi hasil dari ketidakjujuran. Aku kan orangnya jujur nggak kayak kamu. Hahaha," tawa mengejeknya berubah menjadi tawa penuh cibiran.
"Itu kan kamu. Kalau aku sih asik-asik aja tuh. Hahaha," tawaku semakin tak terkendali.
"Dasar pemalas kamu. Bisa-bisanya bangga dengan kemalasanmu. Padahal itu kan artinya kamu membohongi dirimu sendiri dong. Hehehe," tawa cibiran seolah berubah jadi tawa sindiran.
"Biarin. Terserah aku dong. Tadi aja di sekolah pak guru bisa aku bohongin kok. Hahaha," tawaku semakin mengikat sukmaku dalam rasa bahagia di sudut kamar kecil itu.
"Tega banget sih kamu. Kayak nggak pernah belajar sopan santun aja deh? Hehehe," tawa menusuk yang pernah terdengar di kamar laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.
"Siapa suruh pak guru juga tega ngasih kita soal yang sulit-sulit. Coba soalnya gampang kan aku nggak perlu nyontek. Hehehe," tawaku dalam pembenaran kelakuanku semakin membuat seisi kamar merasa muak.
"Aneh kamu ini. Nggak mungkin dong pak guru ngasih soal yang nggak pernah diajarkan ke kamu. Kamu tidur terus kali waktu dijelasin. Hahaha," tawa membahana memekakkan gendang telingaku.
"Ah itu sih nggak penting. Yang penting orang tuaku bisa bahagia karena aku mendapatkan nilai yang bagus. Siapa suruh orang tuaku selalu maksa aku untuk bisa sempurna tanpa pernah menghargai ketidaksempurnaanku. Jadi wajar dong kalau aku menempuh berbagai cara. Hahaha," tawaku terbayang dalam kebahagiaan orang tuaku.
"Waduh. Udah lupa ya kalau satu kebohongan bisa melahirkan kebohongan lain. Pertama kamu bohong pada dirimu sendiri, terus berbohong sama pak guru eh sekarang kamu juga bohong sama orang tuamu. Jangan-jangan kamu bohong juga dalam tawamu saat ini. Hehehe," tawa yang terdengar sadis kembali memenuhi kamar pelajar SMA yang tengah mencari jati dirinya dalam jiwa mudanya.
Dan, tawa terakhir itu telah membuat tawaku terasa hambar dan membuatku terperangkap pada sebuah kaca lemari di kamarku. Tawa sinis di balik kaca lemari itu masih juga membahana, saat aku mulai berpikir untuk menghentikan tawaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa tawaku saat ini adalah sebuah kebohongan. Kebohongan dalam tawa demi sebuah tawa kebahagiaan kedua orang tua. Tawa demi tawa dari wajah dalam cermin yang merupakan sisi lain jiwaku menyadarkanku akan berbagai hal terutama tentang kejujuran. Akupun menutup tawaku dengan niat untuk berkata jujur dan meminta maaf pada kedua orang tuaku dan juga pak guruku.
http://bianglalakata.wordpress.com
"Hei, kamu tahu nggak hari ini ulanganku nilainya sepuluh lho. Hahaha," kataku dengan bangga yang membuat ruangan itu menjadi riuh dengan tawaku.
"Halah, dasar kamu. Sepuluh hasil nyontek aja bangga. Kayak aku dong, biar nilai jelek tapi hasil kerja sendiri. Hehehe," katanya dalam tawa mengejek.
"Proses nggak penting bung. Yang penting kan hasilnya. Sempurna. Hahaha," tawaku semakin membahana dalam suka.
"Jiah, kalau aku sih malu dapet nilai bagus tapi hasil dari ketidakjujuran. Aku kan orangnya jujur nggak kayak kamu. Hahaha," tawa mengejeknya berubah menjadi tawa penuh cibiran.
"Itu kan kamu. Kalau aku sih asik-asik aja tuh. Hahaha," tawaku semakin tak terkendali.
"Dasar pemalas kamu. Bisa-bisanya bangga dengan kemalasanmu. Padahal itu kan artinya kamu membohongi dirimu sendiri dong. Hehehe," tawa cibiran seolah berubah jadi tawa sindiran.
"Biarin. Terserah aku dong. Tadi aja di sekolah pak guru bisa aku bohongin kok. Hahaha," tawaku semakin mengikat sukmaku dalam rasa bahagia di sudut kamar kecil itu.
"Tega banget sih kamu. Kayak nggak pernah belajar sopan santun aja deh? Hehehe," tawa menusuk yang pernah terdengar di kamar laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.
"Siapa suruh pak guru juga tega ngasih kita soal yang sulit-sulit. Coba soalnya gampang kan aku nggak perlu nyontek. Hehehe," tawaku dalam pembenaran kelakuanku semakin membuat seisi kamar merasa muak.
"Aneh kamu ini. Nggak mungkin dong pak guru ngasih soal yang nggak pernah diajarkan ke kamu. Kamu tidur terus kali waktu dijelasin. Hahaha," tawa membahana memekakkan gendang telingaku.
"Ah itu sih nggak penting. Yang penting orang tuaku bisa bahagia karena aku mendapatkan nilai yang bagus. Siapa suruh orang tuaku selalu maksa aku untuk bisa sempurna tanpa pernah menghargai ketidaksempurnaanku. Jadi wajar dong kalau aku menempuh berbagai cara. Hahaha," tawaku terbayang dalam kebahagiaan orang tuaku.
"Waduh. Udah lupa ya kalau satu kebohongan bisa melahirkan kebohongan lain. Pertama kamu bohong pada dirimu sendiri, terus berbohong sama pak guru eh sekarang kamu juga bohong sama orang tuamu. Jangan-jangan kamu bohong juga dalam tawamu saat ini. Hehehe," tawa yang terdengar sadis kembali memenuhi kamar pelajar SMA yang tengah mencari jati dirinya dalam jiwa mudanya.
Dan, tawa terakhir itu telah membuat tawaku terasa hambar dan membuatku terperangkap pada sebuah kaca lemari di kamarku. Tawa sinis di balik kaca lemari itu masih juga membahana, saat aku mulai berpikir untuk menghentikan tawaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa tawaku saat ini adalah sebuah kebohongan. Kebohongan dalam tawa demi sebuah tawa kebahagiaan kedua orang tua. Tawa demi tawa dari wajah dalam cermin yang merupakan sisi lain jiwaku menyadarkanku akan berbagai hal terutama tentang kejujuran. Akupun menutup tawaku dengan niat untuk berkata jujur dan meminta maaf pada kedua orang tuaku dan juga pak guruku.
Tuhan Tolong Kembalikan Tawaku..
Oleh: @psychoblack
Sudah jam 6 pagi & aku masih bermalasan di tempat tidurku. Ini hari
Jumat. Hari pertama aku tidak bekerja. Baru kemarin aku resmi
mengundurkan diri.
Kuambil hp disisi tempat tidurku. Sekedar memeriksa pesan singkat
disitu. Tidak ada.
Kulempar perlahan hp ku. Bangkit dari tempat tidur, mandi. Hari ini,
aku harus jadi orang baru..
***
Aku jatuh cinta pada laki-laki ini. Teman sekantor, walau jabatannya
di atas ku. Belum lama aku mengenalnya, tapi terasa seabad kami
bersama. Dengannya aku bisa tertawa. Dia yg membawa canda. Dia yg
membawa bahagia. Aku merasa lemah didekatnya, karena dia menjaga. Aku
lemah karena cintaku padanya. Dengan renyah tawa manisnya.
Hanya saja, dia akan menikah, katanya. Dengan perempuan yg telah lama
bersamanya. Walau dia mencintaiku, tapi dia tidak memilihku. Hatiku
hancur dibuatnya. Maka aku mengundurkan diri. Agar aku tak terluka
ketika dia tak lagi ada untukku. Aku pergi, sebelum dia
meninggalkanku.
Cinta tak pernah salah, menurutku. Aku tak pernah berencana untuk
jatuh cinta, dan tak tahu pada siapa aku jatuh cinta...
Tanpa dia, aku kehilangan tawa. Aku lupa cara bahagia. Aku tidak ingin
kehilangan dia. Miris. Dia mendekati ku karena tawaku, katanya. Tapi
aku kehilangan semangat, bahkan untuk sekedar tersenyum.
Aku berdoa. Dalam kesendirian, dalam penantian. Aku meminta. Aku mau
dia, itu saja.
Tak ada yg tak mungkin. Maka aku meminta agar Tuhan menunjukkan
kuasaNya, agar aku bisa bersamanya.
"Tuhan tolong, kembalikan tawaku. Bagaimanapun caranya. Aku pasrah.
Aku ikhlas dalam kuasaMu. Tapi tolong, kembalikan tawaku..."
***
1 minggu berselang, tanpa kabar darinya. Aku memang memutuskan untuk
tidak berhubungan lagi dengannya. Aku terluka. Dan aku malu
mengakuinya. Aku merindukan pelukannya. Ciumannya. Tapi aku tahu,
kalau aku bertemu dia, aku tidak lagi bisa menahan diri untuk jatuh
dalam pelukannya.
Hari itu panas. Aku masih diam di rumah. Sore itu, aku menyendiri. Di
kamar. Sepi.
Dering hp menyentak lamunanku. Dia meneleponku.
"Aku di depan. Buka pintu donk.."
kemudian dia menutup teleponnya.
Aku bergegas ke depan.
Dan melihat dia tidak sendirian.
Orang tuanya menemaninya. Ayah dan Ibunya. Senyumnya mengingatkan ku
pada kehangatan pelukannya. Canggung, ku salami orang tuanya. Tanpa
banyak bicara dia minta aku memanggil Ibu ku.
Dia melamarku.
Tak banyak yang kuingat setelah itu. Aku tak peduli sekelilingku. Yang
kutahu hanya satu, bahwa aku mendapatkan kembali senyum dan tawaku....
Sudah jam 6 pagi & aku masih bermalasan di tempat tidurku. Ini hari
Jumat. Hari pertama aku tidak bekerja. Baru kemarin aku resmi
mengundurkan diri.
Kuambil hp disisi tempat tidurku. Sekedar memeriksa pesan singkat
disitu. Tidak ada.
Kulempar perlahan hp ku. Bangkit dari tempat tidur, mandi. Hari ini,
aku harus jadi orang baru..
***
Aku jatuh cinta pada laki-laki ini. Teman sekantor, walau jabatannya
di atas ku. Belum lama aku mengenalnya, tapi terasa seabad kami
bersama. Dengannya aku bisa tertawa. Dia yg membawa canda. Dia yg
membawa bahagia. Aku merasa lemah didekatnya, karena dia menjaga. Aku
lemah karena cintaku padanya. Dengan renyah tawa manisnya.
Hanya saja, dia akan menikah, katanya. Dengan perempuan yg telah lama
bersamanya. Walau dia mencintaiku, tapi dia tidak memilihku. Hatiku
hancur dibuatnya. Maka aku mengundurkan diri. Agar aku tak terluka
ketika dia tak lagi ada untukku. Aku pergi, sebelum dia
meninggalkanku.
Cinta tak pernah salah, menurutku. Aku tak pernah berencana untuk
jatuh cinta, dan tak tahu pada siapa aku jatuh cinta...
Tanpa dia, aku kehilangan tawa. Aku lupa cara bahagia. Aku tidak ingin
kehilangan dia. Miris. Dia mendekati ku karena tawaku, katanya. Tapi
aku kehilangan semangat, bahkan untuk sekedar tersenyum.
Aku berdoa. Dalam kesendirian, dalam penantian. Aku meminta. Aku mau
dia, itu saja.
Tak ada yg tak mungkin. Maka aku meminta agar Tuhan menunjukkan
kuasaNya, agar aku bisa bersamanya.
"Tuhan tolong, kembalikan tawaku. Bagaimanapun caranya. Aku pasrah.
Aku ikhlas dalam kuasaMu. Tapi tolong, kembalikan tawaku..."
***
1 minggu berselang, tanpa kabar darinya. Aku memang memutuskan untuk
tidak berhubungan lagi dengannya. Aku terluka. Dan aku malu
mengakuinya. Aku merindukan pelukannya. Ciumannya. Tapi aku tahu,
kalau aku bertemu dia, aku tidak lagi bisa menahan diri untuk jatuh
dalam pelukannya.
Hari itu panas. Aku masih diam di rumah. Sore itu, aku menyendiri. Di
kamar. Sepi.
Dering hp menyentak lamunanku. Dia meneleponku.
"Aku di depan. Buka pintu donk.."
kemudian dia menutup teleponnya.
Aku bergegas ke depan.
Dan melihat dia tidak sendirian.
Orang tuanya menemaninya. Ayah dan Ibunya. Senyumnya mengingatkan ku
pada kehangatan pelukannya. Canggung, ku salami orang tuanya. Tanpa
banyak bicara dia minta aku memanggil Ibu ku.
Dia melamarku.
Tak banyak yang kuingat setelah itu. Aku tak peduli sekelilingku. Yang
kutahu hanya satu, bahwa aku mendapatkan kembali senyum dan tawaku....
Langganan:
Postingan (Atom)