Oleh: @suavenigma
At first, i was nothing
Just a filthly creature
Who love staring at the star
Observing you
But it suffers me
Nauseous me
Be a devotee
While you don't even know me
Therefore i decide
I've got to be another star
Just like you
So you will glance at me even for a moment
What i feel for you
It just like the star itself
Full with zest, dazzling, and constantly flare up
And i try to keep my star shining
But still, like any other glowing star
It has their own time
Once the source on longer well maintain
It starts to dim
Like how i feel for you
Now
It's degradating
Sooth away
And shrink
It turn into a death star
A heap of crammed memories
And now i realize
I'm through with you
It's over,
...over
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label freestyle III. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label freestyle III. Tampilkan semua postingan
Rabu, 28 September 2011
DIA, AKU.
Oleh: @Mailida
ihavesandwich.blogspot.com
Wanita berwajah lugu itu datang lagi. Dia berdiri tepat di depan ku. Sudah lama sekali kami tak bertemu. Sekarang di keningnya bertengger rambut poni yang hampir menutupi alis. Tak biasanya dia mengenakan asesoris. Rambutnya yang panjang dipangkas tinggal sebahu. Mungkin penampilan baru. Aku tak lagi melihat kaos lusuhnya. Kini dia mengenakan turtle neck berwarna ungu yang dipadukan dengan renda Chantilly Lace pink yang membuatnya makin terlihat anggun. Sepertinya baju mahal. Bibir merah nya merekah tersenyum kepada ku. Aku pun membalas senyuman nya. Rasanya seperti pertemuan teman lama.
Hari ini apa lagi yang akan dia ceritakan kepada ku? Terakhir bertemu dengan nya, wajahnya begitu merah merona, mata nya berbinar, senyum nya merekah mempesona. Berkali kali dia mengatakan ‘aku jatuh cinta…aku bahagia…aku jatuh cinta…aku bahagia’. Aku masih ingat bagaimana dia selalu menari dan bernyanyi menyenandungkan lagu cinta. Tersipu malu ketika menyadari bahwa dia telah melakukan hal hal konyol di depan ku.
Aku tahu lelaki itu, dia pernah memperlihatkan foto nya kepada ku. Lelaki sederhana yang membuat hidup nya terasa sempurna. Dia terus-terusan memuji nya di depan ku. Tak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata sumbang tentang dirinya. Sesempurna itukah dia?
Dia lah satu-satu nya lelaki yang dapat memberikan sensasi bercinta hanya dari cubitan nya yang manis dan usapan tangan nya yang lembut di kepala ku. Lelaki magis yang dapat menyihir kupu-kupu berada di dalam perutnya. Hanya dengan satu senti senyumannya, dia dapat membuat wanita di depan ku merasa nyaman bagaikan tertidur siang di balik awan. Dia adalah rasa manis di dalam secangkir teh lemon pahit. Lelaki ini yang selalu membuatnya merasa rindu walaupun mereka sangat berdekatan. Dia menawarkan kebahagiaan yang sederhana hanya di dalam genggamannya yang kuat.
Ini bukanlah sekedar cinta superficial dangkal yang hanya muncul karena hasrat dua insan yang semu semata. Ada sesuatu yang lebih mendalam.
Mereka seperti dua yang bersatu.
Hingga saat ini indra pendengar ku belum memberikan peringatan jemu atas cerita tentang lelakinya.
Namun, hari ini ini ada yang berbeda.
Lekat. Dia terus-terusan menatap ku. Tak pernah sekalipun melirik objek lain. Matanya selalu berpapasan dengan mata ku. Dia belum mengatakan apa-apa, namun sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
Mata itu tak bisa bohong dari ku. Raut cinta itu telah sirna. Diganti dengan sinar ketakutan yang terpancar sangat jelas. Hanya aku yang bisa melihatnya. Hanya aku yang bisa merasakannya. Ada apa dengan mu?
Tak butuh waktu lama hingga wanita itu menangis di depan ku. Mata ku mengeluarkan sebuah tetesan air secara otomatis bersamaan dengan nya. Wanita itu terdiam sejenak, seakan-akan menyesali setiap tetes air mata yang dikeluarkannya, dia langsung menegakkan badan dan menghapus air mata nya.
“ Kau tak berhak mendapatkan air mata ku!”
Teriak nya dengan lantang. Mukanya yang lembut, seketika memperlihatkan raut kebencian. Dia terus-terusan menangis sambil mengungkapkan kekesalannya yang telah terakumulasi sejak dulu. Memendam sesuatu memang seperti bom waktu. Kita hanya tinggal menunggu waktu nya berubah menjadi 00:00 dan lihat saja, pasti meledak.
Dia kembali menyalahkan kepolosan ku. Dia geram dengan sikap ku yang tak memiliki pendirian. Dia bilang, aku hanyalah wanita bodoh yang tak berdaya. Dia terus saja menghardik ku sembari mengatakan kata-kata kasar yang tak pantas diucapkan oleh wanita secantik itu. Ya, aku. Selalu aku yang dipersalahkan.
Aku pikir pertahanan yang dia miliki sudah mulai terkikis oleh rasa letih, putus asa, dan sakit hati yang berkepanjangan. Kini dia tak lagi bisa melakukan tipu daya terhadap batin nya sendiri.
Kaum wanita memakai make up untuk menutupi kekurangan wajah nya. Kaum wanita dapat mengaplikasikan teori ‘bibir tersenyum hati menangis’ dengan sempurna. Wanita memang sudah terbiasa menyembunyikan sesuatu. Termasuk perasaannya.
Kini dia memohon pertolongan sambil meraung-raung dan berlutut di depan ku. Dia selalu ingin bertukar tempat dengan ku. Memohon kepada ku agar keluar dan tidak bersembunyi. Tak ada lagi teriakan dan kata-kata kasar, dia menangis di depan ku. Inilah dia yang sebenarnya. Lemah, sendu, tak berdaya.
***
Dari jauh kulihat sesosok lelaki bertubuh tegap yang mengenakan kemeja biru. Datang menemui ibu nya sembari memberikan sesuatu. Sekejap, hadiah tersebut sudah bertengger di leher, jemari, dan lengan tangan ibu nya. Sungguh berkilauan. Ibu terlihat sangat senang. Apakah lelaki ini yang membuatnya selalu datang kepada ku sambil menangis?
Lelaki ini pun tak kalah memiliki magis. Dia menyulap gubuk tua menjadi rumah mewah. Membungkam mulut seluruh anggota keluarga dengan uang. Menyihir wanita lugu ini agar diam dan hidup bersamanya. Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan diri jika tak ada lagi pintu keluar yang tersisa?
Kini air mata yang mengalir sudah bukan lagi symbol kesedihan. Air mata itu telah berubah fungsi menjadi tanda tak berdaya, kepasrahan, dan rasa takut. Tak ada lagi cinta sederhana. Selamat tinggal kekasih lama.
Sekarang dia pergi dari hadapan ku. Menemui lelaki yang membuat ibu nya bahagia. Aku pun menghilang. Keberadaan ku hanya akan muncul ketika dia menemui ku kembali. Nanti.
Kami memiliki jarak dan tinggi yang sama. Tak ada yang berbeda. Kecuali, dia nyata dan aku maya. Aku adalah belokan arah dari garis tempuhan. Aku hanyalah pantulan yang akan dia temui ketika dia ingin sendiri. Ketika dia ingin merefleksikan ketakutan dan perasaan nya. Ketika tak ada yang mendengarkannya kecuali aku. Ketika dia tak memiliki keberanian hanya untuk sekedar bercerita pada orang lain. Aku hanyalah bayangan nya yang berada di dalam cermin datar.
Maaf, aku tak bisa menolong mu.
ihavesandwich.blogspot.com
Wanita berwajah lugu itu datang lagi. Dia berdiri tepat di depan ku. Sudah lama sekali kami tak bertemu. Sekarang di keningnya bertengger rambut poni yang hampir menutupi alis. Tak biasanya dia mengenakan asesoris. Rambutnya yang panjang dipangkas tinggal sebahu. Mungkin penampilan baru. Aku tak lagi melihat kaos lusuhnya. Kini dia mengenakan turtle neck berwarna ungu yang dipadukan dengan renda Chantilly Lace pink yang membuatnya makin terlihat anggun. Sepertinya baju mahal. Bibir merah nya merekah tersenyum kepada ku. Aku pun membalas senyuman nya. Rasanya seperti pertemuan teman lama.
Hari ini apa lagi yang akan dia ceritakan kepada ku? Terakhir bertemu dengan nya, wajahnya begitu merah merona, mata nya berbinar, senyum nya merekah mempesona. Berkali kali dia mengatakan ‘aku jatuh cinta…aku bahagia…aku jatuh cinta…aku bahagia’. Aku masih ingat bagaimana dia selalu menari dan bernyanyi menyenandungkan lagu cinta. Tersipu malu ketika menyadari bahwa dia telah melakukan hal hal konyol di depan ku.
Aku tahu lelaki itu, dia pernah memperlihatkan foto nya kepada ku. Lelaki sederhana yang membuat hidup nya terasa sempurna. Dia terus-terusan memuji nya di depan ku. Tak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata sumbang tentang dirinya. Sesempurna itukah dia?
Dia lah satu-satu nya lelaki yang dapat memberikan sensasi bercinta hanya dari cubitan nya yang manis dan usapan tangan nya yang lembut di kepala ku. Lelaki magis yang dapat menyihir kupu-kupu berada di dalam perutnya. Hanya dengan satu senti senyumannya, dia dapat membuat wanita di depan ku merasa nyaman bagaikan tertidur siang di balik awan. Dia adalah rasa manis di dalam secangkir teh lemon pahit. Lelaki ini yang selalu membuatnya merasa rindu walaupun mereka sangat berdekatan. Dia menawarkan kebahagiaan yang sederhana hanya di dalam genggamannya yang kuat.
Ini bukanlah sekedar cinta superficial dangkal yang hanya muncul karena hasrat dua insan yang semu semata. Ada sesuatu yang lebih mendalam.
Mereka seperti dua yang bersatu.
Hingga saat ini indra pendengar ku belum memberikan peringatan jemu atas cerita tentang lelakinya.
Namun, hari ini ini ada yang berbeda.
Lekat. Dia terus-terusan menatap ku. Tak pernah sekalipun melirik objek lain. Matanya selalu berpapasan dengan mata ku. Dia belum mengatakan apa-apa, namun sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
Mata itu tak bisa bohong dari ku. Raut cinta itu telah sirna. Diganti dengan sinar ketakutan yang terpancar sangat jelas. Hanya aku yang bisa melihatnya. Hanya aku yang bisa merasakannya. Ada apa dengan mu?
Tak butuh waktu lama hingga wanita itu menangis di depan ku. Mata ku mengeluarkan sebuah tetesan air secara otomatis bersamaan dengan nya. Wanita itu terdiam sejenak, seakan-akan menyesali setiap tetes air mata yang dikeluarkannya, dia langsung menegakkan badan dan menghapus air mata nya.
“ Kau tak berhak mendapatkan air mata ku!”
Teriak nya dengan lantang. Mukanya yang lembut, seketika memperlihatkan raut kebencian. Dia terus-terusan menangis sambil mengungkapkan kekesalannya yang telah terakumulasi sejak dulu. Memendam sesuatu memang seperti bom waktu. Kita hanya tinggal menunggu waktu nya berubah menjadi 00:00 dan lihat saja, pasti meledak.
Dia kembali menyalahkan kepolosan ku. Dia geram dengan sikap ku yang tak memiliki pendirian. Dia bilang, aku hanyalah wanita bodoh yang tak berdaya. Dia terus saja menghardik ku sembari mengatakan kata-kata kasar yang tak pantas diucapkan oleh wanita secantik itu. Ya, aku. Selalu aku yang dipersalahkan.
Aku pikir pertahanan yang dia miliki sudah mulai terkikis oleh rasa letih, putus asa, dan sakit hati yang berkepanjangan. Kini dia tak lagi bisa melakukan tipu daya terhadap batin nya sendiri.
Kaum wanita memakai make up untuk menutupi kekurangan wajah nya. Kaum wanita dapat mengaplikasikan teori ‘bibir tersenyum hati menangis’ dengan sempurna. Wanita memang sudah terbiasa menyembunyikan sesuatu. Termasuk perasaannya.
Kini dia memohon pertolongan sambil meraung-raung dan berlutut di depan ku. Dia selalu ingin bertukar tempat dengan ku. Memohon kepada ku agar keluar dan tidak bersembunyi. Tak ada lagi teriakan dan kata-kata kasar, dia menangis di depan ku. Inilah dia yang sebenarnya. Lemah, sendu, tak berdaya.
***
Dari jauh kulihat sesosok lelaki bertubuh tegap yang mengenakan kemeja biru. Datang menemui ibu nya sembari memberikan sesuatu. Sekejap, hadiah tersebut sudah bertengger di leher, jemari, dan lengan tangan ibu nya. Sungguh berkilauan. Ibu terlihat sangat senang. Apakah lelaki ini yang membuatnya selalu datang kepada ku sambil menangis?
Lelaki ini pun tak kalah memiliki magis. Dia menyulap gubuk tua menjadi rumah mewah. Membungkam mulut seluruh anggota keluarga dengan uang. Menyihir wanita lugu ini agar diam dan hidup bersamanya. Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan diri jika tak ada lagi pintu keluar yang tersisa?
Kini air mata yang mengalir sudah bukan lagi symbol kesedihan. Air mata itu telah berubah fungsi menjadi tanda tak berdaya, kepasrahan, dan rasa takut. Tak ada lagi cinta sederhana. Selamat tinggal kekasih lama.
Sekarang dia pergi dari hadapan ku. Menemui lelaki yang membuat ibu nya bahagia. Aku pun menghilang. Keberadaan ku hanya akan muncul ketika dia menemui ku kembali. Nanti.
Kami memiliki jarak dan tinggi yang sama. Tak ada yang berbeda. Kecuali, dia nyata dan aku maya. Aku adalah belokan arah dari garis tempuhan. Aku hanyalah pantulan yang akan dia temui ketika dia ingin sendiri. Ketika dia ingin merefleksikan ketakutan dan perasaan nya. Ketika tak ada yang mendengarkannya kecuali aku. Ketika dia tak memiliki keberanian hanya untuk sekedar bercerita pada orang lain. Aku hanyalah bayangan nya yang berada di dalam cermin datar.
Maaf, aku tak bisa menolong mu.
Moving On
Oleh: @TengkuAR
Beruntung aku jadi perempuan pas-pasan, pas tingginya karena masih ngelewatin 155 cm, pas mukanya karena tertolong dengan kulit wajah yang putih, pas berat badannya karena meskipun berat badanku saat ini 55 kg, aku gak termasuk obesitas, tapi gemuk atau bahasa yang lebih menyenangkan adalah molek. Itulah aku; diriku; kebahagiaanku. Keberuntunganku mungkin tidak sebahagia pengalamanku hingga pada akhirnya aku mempunyai prinsip mulai detik ini yaitu "Jangan pernah menyukai seseorang duluan.".
Empat tahun yang lalu aku menyukai seorang pria yang jarak umurnya 14 tahun di atas aku. Jangan tanya kenapa bisa? Karena sampai detik ini aku gak tau jawabannya. AL namanya, dia adalah tetangga tanteku. Menurut pandanganku saat itu, dia menarik, pintar, dan gak banyak bicara kalau tidak terlalu penting.
Ya, memang aku yang memulai pendekatan dengan dia, karena aku penasaranngeliat sifat coolnya, gemes banget kalau ngobrol karena dia yang irit bicara. Satu bulan aku mungkin hanya dianggap anak kecil yang centil, karena sering menghubungi dia duluan. Tapi lama kelamaan dia inisiatif dengan sms dan telepon aku duluan.
Sasaran mencair, aku pun berhasil!! Dan akhirnya kami pacaran.
Di awal pacaran, hubungan kami jauh dari kata mulus, karena 'Sang Mantan' masih saja menganggu dan mengahrapkan aku, tapi aku gak berniat balik sama dia. Aku sudah tutup buku 'Sang Mantan', aku butuh sesuatu yang fresh, hubungan yang baru. Pacarku punya perasaan sensitif, dia tau kalau aku pusing dengan kelakuan 'mantan'ku. Oleh karena itu, bukannya pergi, dia malah gencar memenuhi hari-hariku dengan kehadirannya. Agak sedikit membantu sih, karena aku juga gak punya waktu buat bimbang atau kasihan terhadap 'mantan'ku.
Hari kebebasanku datang juga akhirnya, 'Sang Mantan' menyerah dan memilih menikah dengan perempuan lain. Sejak saat itu, aku konsen sama hubunganku dengan AL. Kita pasangan yang tak terpisahlan, karena AL tetap menemaniku setiap hari kalau dia sedang tidak bekerja.
Seiring berjalannya waktu semua yang indah di awal, koq jadi begini ya? AL tidak peduli dengan marah-marahku, mau karena jealous, telat atau karena dia tidak menepati janji, judulnya adalah CUEK. Gak jarang aku nangis sendirian, karena dia gak pernah minta maaf lagi atas kesalahan-kesalahannya. Aku jadi berpikir mungkin dia ngerasa sudah memiliki diriku seutuhnya. Dia gak takut kehilangan aku, karena aku lah yang bergantung sama dia. Dia berasil membuat peremouan mandiri ini menjadi perempuan manja, bodoh, dan cengeng.
Bingung aku mulai dari mana, tapi aku harus kembali menjadi diriku yang dulu. Karena sikap dia terhadapku, nyaris membuat aku menjadi perempuan yang gak berfungsi dan mati rasa terhadap lingkungan sekitar.
Aku HARUS LEBIH BISA BAHAGIA.
Aku HARUS LEBIH FOKUS TERHADAP DIRI SENDIRI.
Dan Aku PASTI BISA!!
***
Aku dan pembelajaran di dalam kebingunganku. I love you, but i love me MORE!!
------------------------
Sebuah catatan kecil dari seorang sahabat yang terinspirasi dari kehidupan percintaan pribadinya....
Beruntung aku jadi perempuan pas-pasan, pas tingginya karena masih ngelewatin 155 cm, pas mukanya karena tertolong dengan kulit wajah yang putih, pas berat badannya karena meskipun berat badanku saat ini 55 kg, aku gak termasuk obesitas, tapi gemuk atau bahasa yang lebih menyenangkan adalah molek. Itulah aku; diriku; kebahagiaanku. Keberuntunganku mungkin tidak sebahagia pengalamanku hingga pada akhirnya aku mempunyai prinsip mulai detik ini yaitu "Jangan pernah menyukai seseorang duluan.".
Empat tahun yang lalu aku menyukai seorang pria yang jarak umurnya 14 tahun di atas aku. Jangan tanya kenapa bisa? Karena sampai detik ini aku gak tau jawabannya. AL namanya, dia adalah tetangga tanteku. Menurut pandanganku saat itu, dia menarik, pintar, dan gak banyak bicara kalau tidak terlalu penting.
Ya, memang aku yang memulai pendekatan dengan dia, karena aku penasaranngeliat sifat coolnya, gemes banget kalau ngobrol karena dia yang irit bicara. Satu bulan aku mungkin hanya dianggap anak kecil yang centil, karena sering menghubungi dia duluan. Tapi lama kelamaan dia inisiatif dengan sms dan telepon aku duluan.
Sasaran mencair, aku pun berhasil!! Dan akhirnya kami pacaran.
Di awal pacaran, hubungan kami jauh dari kata mulus, karena 'Sang Mantan' masih saja menganggu dan mengahrapkan aku, tapi aku gak berniat balik sama dia. Aku sudah tutup buku 'Sang Mantan', aku butuh sesuatu yang fresh, hubungan yang baru. Pacarku punya perasaan sensitif, dia tau kalau aku pusing dengan kelakuan 'mantan'ku. Oleh karena itu, bukannya pergi, dia malah gencar memenuhi hari-hariku dengan kehadirannya. Agak sedikit membantu sih, karena aku juga gak punya waktu buat bimbang atau kasihan terhadap 'mantan'ku.
Hari kebebasanku datang juga akhirnya, 'Sang Mantan' menyerah dan memilih menikah dengan perempuan lain. Sejak saat itu, aku konsen sama hubunganku dengan AL. Kita pasangan yang tak terpisahlan, karena AL tetap menemaniku setiap hari kalau dia sedang tidak bekerja.
Seiring berjalannya waktu semua yang indah di awal, koq jadi begini ya? AL tidak peduli dengan marah-marahku, mau karena jealous, telat atau karena dia tidak menepati janji, judulnya adalah CUEK. Gak jarang aku nangis sendirian, karena dia gak pernah minta maaf lagi atas kesalahan-kesalahannya. Aku jadi berpikir mungkin dia ngerasa sudah memiliki diriku seutuhnya. Dia gak takut kehilangan aku, karena aku lah yang bergantung sama dia. Dia berasil membuat peremouan mandiri ini menjadi perempuan manja, bodoh, dan cengeng.
Bingung aku mulai dari mana, tapi aku harus kembali menjadi diriku yang dulu. Karena sikap dia terhadapku, nyaris membuat aku menjadi perempuan yang gak berfungsi dan mati rasa terhadap lingkungan sekitar.
Aku HARUS LEBIH BISA BAHAGIA.
Aku HARUS LEBIH FOKUS TERHADAP DIRI SENDIRI.
Dan Aku PASTI BISA!!
***
Aku dan pembelajaran di dalam kebingunganku. I love you, but i love me MORE!!
------------------------
Sebuah catatan kecil dari seorang sahabat yang terinspirasi dari kehidupan percintaan pribadinya....
Bicara (ke)hilang(an).
Oleh : Martesia Klarissa (@heyechi)
Bagaimana kalau esok tidak ada?
Buat aku.
Buat kamu.
Atau buat siapapun.
Apa semua masih akan sama? Apa akan tetap ada tawa yang lepas? Apa air mata akan mengalir?
Kita kehilangan.
Kamu siap kalau harus bertemu dengan hilang? Kalau aku tanya pada diriku sendiri, jawabku adalah tidak. Aku tidak mau sok tegar. Juga tidak mau sombong dengan bilang "kapanpun hilang datang. Aku pasti bisa menghadapinya."
Hilang itu bukan perkara yang ada jadi tidak ada. Juga bukan soal nanti juga ada gantinya. Atau, tenang saja aku sudah siapkan cadangannya. Tapi ini tentang kenapa tidak dijaga supaya tidak hilang.
Misalnya saja, buku kesayanganmu. Yang kamu beli dengan susah payah menyisihkan uang sedikit-sedikit setiap hari. Bisa saja untuk beli yang baru kan? Tapi tetap saja kamu akan marah-marah karena kehilangannya.
Belum lagi menghadapi sedih dan trauma. Apa tidak kelimpungan kamu dibuatnya? Berurai air mata sampai semuanya mengering. Ketakutan. Luka. Perih.
Semua orang bilang, ikhlaskan, relakan. Padahal kalau mereka alami sendiri. Apa mudah melakukannya?
Katanya, kalau memang masih ditakdirkan bersatu pasti akan kembali. Tapi menunggu itu juga menyakitkan. Menunggu itu sama dengan hilang. Hanya tidak mau percaya bahwa sudah berpapasan dengan hilang. Dan memungkiri kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi.
Kamu mau lakukan apa kalau di tengah jalan hilang menegurmu? Lari? Dan menganggap pertemuanmu tadi hanya ilusi? Atau berjabatan tangan dengannya? Berkenalan. Mengakrabkan diri. Dan menjadikan sahabat.
Jangan-jangan selama ini kita semua bermusuhan dengan hilang. Tidak mau ada urusan, dan mengucilkannya.
Padahal hilang itu ada di sekitar kita. Kita mengalaminya terus. Setiap saat. Sadar ataupun tidak. Seperti uang 100 rupiah yang terloncat dari saku lalu masuk ke dalam selokan. Tapi karena buatmu itu tak penting, kamu mengabaikannya. Katamu, "biarin deh, cuma 100 rupiah aja." Karena buat kamu 100 rupiah hanya benda kecil, bernilai (sangat) kecil di matamu.
Seharusnya kita berdamai saja dengan hilang. Hilang itu pasti. Tidak ada yang abadi bukan di dunia?
.27september2011.kamardelusional.
Bagaimana kalau esok tidak ada?
Buat aku.
Buat kamu.
Atau buat siapapun.
Apa semua masih akan sama? Apa akan tetap ada tawa yang lepas? Apa air mata akan mengalir?
Kita kehilangan.
Kamu siap kalau harus bertemu dengan hilang? Kalau aku tanya pada diriku sendiri, jawabku adalah tidak. Aku tidak mau sok tegar. Juga tidak mau sombong dengan bilang "kapanpun hilang datang. Aku pasti bisa menghadapinya."
Hilang itu bukan perkara yang ada jadi tidak ada. Juga bukan soal nanti juga ada gantinya. Atau, tenang saja aku sudah siapkan cadangannya. Tapi ini tentang kenapa tidak dijaga supaya tidak hilang.
Misalnya saja, buku kesayanganmu. Yang kamu beli dengan susah payah menyisihkan uang sedikit-sedikit setiap hari. Bisa saja untuk beli yang baru kan? Tapi tetap saja kamu akan marah-marah karena kehilangannya.
Belum lagi menghadapi sedih dan trauma. Apa tidak kelimpungan kamu dibuatnya? Berurai air mata sampai semuanya mengering. Ketakutan. Luka. Perih.
Semua orang bilang, ikhlaskan, relakan. Padahal kalau mereka alami sendiri. Apa mudah melakukannya?
Katanya, kalau memang masih ditakdirkan bersatu pasti akan kembali. Tapi menunggu itu juga menyakitkan. Menunggu itu sama dengan hilang. Hanya tidak mau percaya bahwa sudah berpapasan dengan hilang. Dan memungkiri kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi.
Kamu mau lakukan apa kalau di tengah jalan hilang menegurmu? Lari? Dan menganggap pertemuanmu tadi hanya ilusi? Atau berjabatan tangan dengannya? Berkenalan. Mengakrabkan diri. Dan menjadikan sahabat.
Jangan-jangan selama ini kita semua bermusuhan dengan hilang. Tidak mau ada urusan, dan mengucilkannya.
Padahal hilang itu ada di sekitar kita. Kita mengalaminya terus. Setiap saat. Sadar ataupun tidak. Seperti uang 100 rupiah yang terloncat dari saku lalu masuk ke dalam selokan. Tapi karena buatmu itu tak penting, kamu mengabaikannya. Katamu, "biarin deh, cuma 100 rupiah aja." Karena buat kamu 100 rupiah hanya benda kecil, bernilai (sangat) kecil di matamu.
Seharusnya kita berdamai saja dengan hilang. Hilang itu pasti. Tidak ada yang abadi bukan di dunia?
.27september2011.kamardelusional.
Passionata - Hadiahku Kepadanya
Oleh: @theflyinghand
http://byignatiusedwin.co.cc
Dan menjadi betul,
Puisiku masih belum selesai.
Ini adalah ceritaku yang terakhir.
Mungkin.
Hanya untuk hari ini saja.
Besok,
siapa tahu?
Mungkin aku sudah terbawa ombak.
Mungkin aku sudah berada di tempat nan jauh dimana orang tak dapat menjangkauku.
Mungkin aku mati.
Mungkin aku, mungkin, diam saja di tempat dan menulis lagi.
siapa tahu?
Dia,
yang akan kusebutkan,
mungkin pergi jauh.
mungkin menikah dengan orang lain.
mungkin menghidupinya dirinya sendiri.
mungkin menjadi suster.
mungkin hidup sendiri sebagai pendoa, dan mati di usia tua.
mungkin, dan masih mungkin dia menatap pada puisi ini dan diam saja sama sepertiku.
siapa tahu?
Sepanjang hari aku ingat dengannya.
Tidak peduli waktunya kapan,
baik saat itu aku berumur belasan, atau waktu aku latihan.
bahkan saat piano kuhentakkan,
tetap saja dia ada,
bahkan sempat saat ku kesal karena sesuatu,
dia tetap ada,
menggetarkan hati nuraniku yang kosong,
mencoba menggoyahkan isi pikiranku.
walau ku tetap teguh,
dia seperti sisi lain dariku,
tapi mempunyai fisik dan sewaktu-waktu dapat menghanyutkan.
Saat puisi ini kutulis,
waktu ini,
aku beranjak dewasa.
bersekolah, menjalani kehidupan seperti biasa.
melawan tantangan setiap harinya.
Puisi ini terburai dari pikiranku terhadapnya.
Aku mau menceritakan,
lihatlah, dan telitilah,
apakah memang ini kenyataan atau khayalanku saja?
Mendekati ambang kegilaan,
dalam satu menit mungkin kuhentakkan piano dalam tempo 150 beats per minute tanpa henti.
Tetap, subjeknya perempuan.
Kalau bicara keras, dan nadanya suka memaksa.
Kalau aku setinggi tiang, dia hanya beberapa sentimeter di bawahku.
Matanya lebar.
Suka menggunakan sepatu olahraga.
Sangat bersemangat.
Kemanapun dia pergi.
Dulu sering bertemu,
kemudian jadi saling membenci,
lalu sekarang tidak tahu.
siapa yang tahu?
hanya kami berdua yang tahu.
sebab tidak ada yang akan tahu,
lagian juga tidak ada yang mau tahu.
terus kenapa dibicarakan?
just an intermezzo, I will say
Perempuan itu matanya lebar.
Dulu dibilang gagah seperti lelaki,
suka diisengi jangan-jangan suster salah menulis kelaminnya,
seharusnya Male tapi malah ditulis Female.
Astaga, kupikir itu terlalu kurang ajar.
Eh, tapi malah dia yang marah-marah kepadaku.
Dikiranya akulah pembuat masalah.
Aku diam saja.
Sebab bukan aku yang membuatnya.
Sempat kupikir anak perempuan ini gila juga.
Tapi dari kegilaannya itu malah kami berteman.
Dulu situasinya sedemikian sulit.
Nilaiku anjlok gara-gara sering tidak memperhatikan pelajaran.
Kupikir aku harus mempertimbangkan sesuatu.
Sebab anak perempuan itu ternyata sangat pintar dibanding denganku.
Kupikir lagi.
Tidak.
Kupikir lagi.
Ya.
Kupikir lagi.
my mind, just shut up.
this is not a game, but a serious problem.
Akhirnya lelaki itu menjawab tantangan.
Kelihatan bersama dengannya,
padahal sebenarnya benci.
Berkali-kali kugarukkan kepala,
apakah benar harus begini?
apakah benar metodenya begini?
Semuanya terakumulasi ketika aku naik kelas.
Tiba-tiba kebencian menghampiri hubungan kami,
semuanya jadi serba salah karena saling menyalahkan.
Aku tetap diam.
Walaupun dia mencoba mengubah sifatku,
aku tetap diam,
silence is gold,
itulah sifatku yang tidak dapat kuubah,
lebih baik tidak saling menyalahkan dan mengumbar nafsu berbicara sembarangan,
aku menghindar daripadanya.
kupikir lebih lanjut,
aku menghindar harus selamanya.
ternyata tidak.
aku masih berperasaan,
aku mencoba kembali mencarinya.
aku gugup.
aku sebenarnya tidak mau.
tapi ternyata dia juga mengetahui dimana aku.
tentu,
orang masih tidak akan mau tahu.
haha.
masih kuat membacanya?
lanjutannya adalah kegilaan.
masih mau membaca?
Waktu itu ada latihan,
Latihan sebuah pementasan,
untuk menyentuh dalamnya pikiran.
Datanglah seorang teman,
berasal dari awal halaman,
namanya diawali dengan A dan diakhiri dengan n,
dia mempertanyakan,
"Edwin,
jangan sia-siakan kesempatan."
Aku balik mempertanyakan,
"Tak kutemukan siapapun."
Dia tidak mau diremehkan,
"Coba kau lihat lagi dengan tekun."
Kulihat ke depan.
Mataku tertuju pada seorang perempuan.
"Dia yang kau inginkan?"
kata Austin.
Dia tahu apa yang di dalam pikiran seorang Edwin.
"Ya," kata Edwin.
"Minta nomor telepon,"
katanya pada Edwin.
Mataku melayang di sekeliling perempuan yang kutunjukkan.
Kemudian niatku ku urungkan.
"Tidak diperlukan,"
kataku tegas pada Austin,
"Tidakkan kuraih, terjadi pun tidak."
Empat bulan kutinggalkan.
Empat bulan kulupakan.
Empat bulan menunggu di pikiran.
Empat bulan tidak dapat berlari ke depan.
Bulan kedelapan,
terusiklah pikiran.
kutanya hal yang sama dengan yang Austin katakan.
nomor telepon.
tanpa diragukan,
Austin tidak ragu memberikan.
kuajak bicara perempuan dari halaman kedelapan,
hanya bertahan delapan hari ke depan,
lalu kuputuskan hubungan.
terusiklah lagi pikiran.
harus kubuat keputusan.
ternyata perempuan itu muncul lagi.
ingatan akan masa lalu menghantuiku.
dia mulai menelponku,
memberikanku pesan singkat setiap hari,
benar-benar pikiranku terusik.
ini kenyataannya.
aku tidak dapat akan perempuan yang baru saja kutemui.
walaupun kecantikan kelihatan, perempuan masa lalu itu tetap menutupi pikiranku.
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu kapan
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu siapapun
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu apapun
aku ingin kau tahu saja sekarang tanpa kebohongan,
aku sudah muak.
aku muak akan segala masalah pada diriku sendiri.
terlalu banyak orang yang mungkin kujumpai.
kau masih mau mengubah sifatku?
silakan,
tetap saja aku tidak dapat berubah.
aku mendekati ambang kegilaan.
sekarang aku hanya dapat mengatakan,
kau akan tetap ada,
selalu ada,
karena pikiranku tampaknya terlalu resistant denganmu.
ucapan, segalanya tentang dirimu, masih kuingat dengan sangat jelas.
Kejujuran ini kunyatakan dengan ikhlas.
Kegundahan ini kulepaskan secara indah.
Kesepian ini akhirnya kutanggung sendiri.
Cuma itu yang tersisa dariku.
Yang kau mau lihat dariku.
Hampa sudah berada di hatiku yang keras, sekeras batu bataan,
Matahari sudah turun,
Naiklah bulan,
motor dan mobil berlalu-lalang,
orang makan di pinggiran jalan,
yang lain sedang memperjuangkan ideologi negaranya,
yang lain sedang berperang,
diantara itu semua,
akhirnya puisiku ini selesai untuk hari ini.
puisi ini mungkin telah terselesaikan,
sebab saat matahari akan naik ke tempatnya untuk kesekian,
orang-orang bangun dari tempat tidurnya,
dan para pekerja bekerja keras menambang emas di tempat yang jauh,
mungkin aku punya cerita lain untuk diceritakan
tapi masa laluku sudah tuntas kuceritakan,
terimalah hadiahku ini dengan lapang dada.
for just a moment, euphoria that I felt...
Waktu itu tanggal tiga puluh satu.
Di Oktober yang mengejutkan selalu.
Si Edwin duduk di bus termangu,
duduk di depan, bengong melulu,
seperti benalu di sebatang kayu,
diam tak bermutu.
Pukul delapan malam.
Di tengah-tengah tol yang kelam,
menuju gelapnya malam,
Edwin tidak bisa berdiam,
mukanya muram,
penjelasannya masih di dalam sekam,
menunggu saat yang tepat di langit hitam.
sporadic explanation...
Kenapa? Kapan? Mengapa?
Pertanyaan di kepalanya,
menunggu penjelasanku padanya,
mengapa aku menulis semua,
walaupun telah kujelaskan semua,
dia belum mengerti sepenuhnya.
Setengah jam menuju jam setan,
kata teman akrabku, Austin.
tiba-tiba muncul penjelasan,
Apakah ini perbuatan setan?
Tidak, bukan.
Apakah ini hanya bohongan?
Tidak, bukan.
Apakah ini yang kuinginkan?
Ya, ini bukan kebohongan,
bahkan,
nyatanya dari awal bulan,
kacaulah pikiran,
memilih tepat pilihan,
sekarang saatnya kujawab pelan-pelan.
And you only need to say the word, Edwin.
The magic word?
Yes, it is.
Di saat aku mau menjawab,
ini benar atau tidak?
Di dalam bus napasku kuhembus lama,
kutarik cepat-cepat tidak beraturan.
Apa harus ditentukan sekarang?
Ya,
atau tidak sama sekali?
Pilihan di depan matamu, Edwin.
Four letters started with L
Lama kami berbincang; enam tahun,
lihat satu sama lain; tidak tentu,
agak lalai, tapi sangat cerdik.
perbedaan telah menyatukan kami,
dan ternyata kutemukan empat huruf itu,
it is the magic word.
The magic word
Lily, the pure flower
Orchid, strikingly colourful
Velvet, blooms brightly
Edelweiss, the flower of happiness
Will you accept me...to love you?
2.10.10
http://byignatiusedwin.co.cc
Dan menjadi betul,
Puisiku masih belum selesai.
Ini adalah ceritaku yang terakhir.
Mungkin.
Hanya untuk hari ini saja.
Besok,
siapa tahu?
Mungkin aku sudah terbawa ombak.
Mungkin aku sudah berada di tempat nan jauh dimana orang tak dapat menjangkauku.
Mungkin aku mati.
Mungkin aku, mungkin, diam saja di tempat dan menulis lagi.
siapa tahu?
Dia,
yang akan kusebutkan,
mungkin pergi jauh.
mungkin menikah dengan orang lain.
mungkin menghidupinya dirinya sendiri.
mungkin menjadi suster.
mungkin hidup sendiri sebagai pendoa, dan mati di usia tua.
mungkin, dan masih mungkin dia menatap pada puisi ini dan diam saja sama sepertiku.
siapa tahu?
Sepanjang hari aku ingat dengannya.
Tidak peduli waktunya kapan,
baik saat itu aku berumur belasan, atau waktu aku latihan.
bahkan saat piano kuhentakkan,
tetap saja dia ada,
bahkan sempat saat ku kesal karena sesuatu,
dia tetap ada,
menggetarkan hati nuraniku yang kosong,
mencoba menggoyahkan isi pikiranku.
walau ku tetap teguh,
dia seperti sisi lain dariku,
tapi mempunyai fisik dan sewaktu-waktu dapat menghanyutkan.
Saat puisi ini kutulis,
waktu ini,
aku beranjak dewasa.
bersekolah, menjalani kehidupan seperti biasa.
melawan tantangan setiap harinya.
Puisi ini terburai dari pikiranku terhadapnya.
Aku mau menceritakan,
lihatlah, dan telitilah,
apakah memang ini kenyataan atau khayalanku saja?
Mendekati ambang kegilaan,
dalam satu menit mungkin kuhentakkan piano dalam tempo 150 beats per minute tanpa henti.
Tetap, subjeknya perempuan.
Kalau bicara keras, dan nadanya suka memaksa.
Kalau aku setinggi tiang, dia hanya beberapa sentimeter di bawahku.
Matanya lebar.
Suka menggunakan sepatu olahraga.
Sangat bersemangat.
Kemanapun dia pergi.
Dulu sering bertemu,
kemudian jadi saling membenci,
lalu sekarang tidak tahu.
siapa yang tahu?
hanya kami berdua yang tahu.
sebab tidak ada yang akan tahu,
lagian juga tidak ada yang mau tahu.
terus kenapa dibicarakan?
just an intermezzo, I will say
Perempuan itu matanya lebar.
Dulu dibilang gagah seperti lelaki,
suka diisengi jangan-jangan suster salah menulis kelaminnya,
seharusnya Male tapi malah ditulis Female.
Astaga, kupikir itu terlalu kurang ajar.
Eh, tapi malah dia yang marah-marah kepadaku.
Dikiranya akulah pembuat masalah.
Aku diam saja.
Sebab bukan aku yang membuatnya.
Sempat kupikir anak perempuan ini gila juga.
Tapi dari kegilaannya itu malah kami berteman.
Dulu situasinya sedemikian sulit.
Nilaiku anjlok gara-gara sering tidak memperhatikan pelajaran.
Kupikir aku harus mempertimbangkan sesuatu.
Sebab anak perempuan itu ternyata sangat pintar dibanding denganku.
Kupikir lagi.
Tidak.
Kupikir lagi.
Ya.
Kupikir lagi.
my mind, just shut up.
this is not a game, but a serious problem.
Akhirnya lelaki itu menjawab tantangan.
Kelihatan bersama dengannya,
padahal sebenarnya benci.
Berkali-kali kugarukkan kepala,
apakah benar harus begini?
apakah benar metodenya begini?
Semuanya terakumulasi ketika aku naik kelas.
Tiba-tiba kebencian menghampiri hubungan kami,
semuanya jadi serba salah karena saling menyalahkan.
Aku tetap diam.
Walaupun dia mencoba mengubah sifatku,
aku tetap diam,
silence is gold,
itulah sifatku yang tidak dapat kuubah,
lebih baik tidak saling menyalahkan dan mengumbar nafsu berbicara sembarangan,
aku menghindar daripadanya.
kupikir lebih lanjut,
aku menghindar harus selamanya.
ternyata tidak.
aku masih berperasaan,
aku mencoba kembali mencarinya.
aku gugup.
aku sebenarnya tidak mau.
tapi ternyata dia juga mengetahui dimana aku.
tentu,
orang masih tidak akan mau tahu.
haha.
masih kuat membacanya?
lanjutannya adalah kegilaan.
masih mau membaca?
Waktu itu ada latihan,
Latihan sebuah pementasan,
untuk menyentuh dalamnya pikiran.
Datanglah seorang teman,
berasal dari awal halaman,
namanya diawali dengan A dan diakhiri dengan n,
dia mempertanyakan,
"Edwin,
jangan sia-siakan kesempatan."
Aku balik mempertanyakan,
"Tak kutemukan siapapun."
Dia tidak mau diremehkan,
"Coba kau lihat lagi dengan tekun."
Kulihat ke depan.
Mataku tertuju pada seorang perempuan.
"Dia yang kau inginkan?"
kata Austin.
Dia tahu apa yang di dalam pikiran seorang Edwin.
"Ya," kata Edwin.
"Minta nomor telepon,"
katanya pada Edwin.
Mataku melayang di sekeliling perempuan yang kutunjukkan.
Kemudian niatku ku urungkan.
"Tidak diperlukan,"
kataku tegas pada Austin,
"Tidakkan kuraih, terjadi pun tidak."
Empat bulan kutinggalkan.
Empat bulan kulupakan.
Empat bulan menunggu di pikiran.
Empat bulan tidak dapat berlari ke depan.
Bulan kedelapan,
terusiklah pikiran.
kutanya hal yang sama dengan yang Austin katakan.
nomor telepon.
tanpa diragukan,
Austin tidak ragu memberikan.
kuajak bicara perempuan dari halaman kedelapan,
hanya bertahan delapan hari ke depan,
lalu kuputuskan hubungan.
terusiklah lagi pikiran.
harus kubuat keputusan.
ternyata perempuan itu muncul lagi.
ingatan akan masa lalu menghantuiku.
dia mulai menelponku,
memberikanku pesan singkat setiap hari,
benar-benar pikiranku terusik.
ini kenyataannya.
aku tidak dapat akan perempuan yang baru saja kutemui.
walaupun kecantikan kelihatan, perempuan masa lalu itu tetap menutupi pikiranku.
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu kapan
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu siapapun
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu apapun
aku ingin kau tahu saja sekarang tanpa kebohongan,
aku sudah muak.
aku muak akan segala masalah pada diriku sendiri.
terlalu banyak orang yang mungkin kujumpai.
kau masih mau mengubah sifatku?
silakan,
tetap saja aku tidak dapat berubah.
aku mendekati ambang kegilaan.
sekarang aku hanya dapat mengatakan,
kau akan tetap ada,
selalu ada,
karena pikiranku tampaknya terlalu resistant denganmu.
ucapan, segalanya tentang dirimu, masih kuingat dengan sangat jelas.
Kejujuran ini kunyatakan dengan ikhlas.
Kegundahan ini kulepaskan secara indah.
Kesepian ini akhirnya kutanggung sendiri.
Cuma itu yang tersisa dariku.
Yang kau mau lihat dariku.
Hampa sudah berada di hatiku yang keras, sekeras batu bataan,
Matahari sudah turun,
Naiklah bulan,
motor dan mobil berlalu-lalang,
orang makan di pinggiran jalan,
yang lain sedang memperjuangkan ideologi negaranya,
yang lain sedang berperang,
diantara itu semua,
akhirnya puisiku ini selesai untuk hari ini.
puisi ini mungkin telah terselesaikan,
sebab saat matahari akan naik ke tempatnya untuk kesekian,
orang-orang bangun dari tempat tidurnya,
dan para pekerja bekerja keras menambang emas di tempat yang jauh,
mungkin aku punya cerita lain untuk diceritakan
tapi masa laluku sudah tuntas kuceritakan,
terimalah hadiahku ini dengan lapang dada.
for just a moment, euphoria that I felt...
Waktu itu tanggal tiga puluh satu.
Di Oktober yang mengejutkan selalu.
Si Edwin duduk di bus termangu,
duduk di depan, bengong melulu,
seperti benalu di sebatang kayu,
diam tak bermutu.
Pukul delapan malam.
Di tengah-tengah tol yang kelam,
menuju gelapnya malam,
Edwin tidak bisa berdiam,
mukanya muram,
penjelasannya masih di dalam sekam,
menunggu saat yang tepat di langit hitam.
sporadic explanation...
Kenapa? Kapan? Mengapa?
Pertanyaan di kepalanya,
menunggu penjelasanku padanya,
mengapa aku menulis semua,
walaupun telah kujelaskan semua,
dia belum mengerti sepenuhnya.
Setengah jam menuju jam setan,
kata teman akrabku, Austin.
tiba-tiba muncul penjelasan,
Apakah ini perbuatan setan?
Tidak, bukan.
Apakah ini hanya bohongan?
Tidak, bukan.
Apakah ini yang kuinginkan?
Ya, ini bukan kebohongan,
bahkan,
nyatanya dari awal bulan,
kacaulah pikiran,
memilih tepat pilihan,
sekarang saatnya kujawab pelan-pelan.
And you only need to say the word, Edwin.
The magic word?
Yes, it is.
Di saat aku mau menjawab,
ini benar atau tidak?
Di dalam bus napasku kuhembus lama,
kutarik cepat-cepat tidak beraturan.
Apa harus ditentukan sekarang?
Ya,
atau tidak sama sekali?
Pilihan di depan matamu, Edwin.
Four letters started with L
Lama kami berbincang; enam tahun,
lihat satu sama lain; tidak tentu,
agak lalai, tapi sangat cerdik.
perbedaan telah menyatukan kami,
dan ternyata kutemukan empat huruf itu,
it is the magic word.
The magic word
Lily, the pure flower
Orchid, strikingly colourful
Velvet, blooms brightly
Edelweiss, the flower of happiness
Will you accept me...to love you?
2.10.10
Pengharapan
Oleh : @Kaka_Rich
http://diaryofplayboy.blogspot.com/
Kau tlah bersamanya
Ku bahagia untukmu
Meski sedikit menyakitkan
Dan yang paling menyakitkan
Kau bersama temanku
Sungguh, ku tak menyangka
Bagaimana ini terjadi padaku?
Mungkin ini karena aku hanya mencintaimu
Secara diam-diam
Andaikan aku lebih peduli padamu
Mungkin kau tak akan bersamanya
Mungkin kau bersamaku
Tapi semuanya sia-sia
Ku hanya bisa menyesal
Sangat menyesal
Setelah semua itu
Seseorang datang menutupi
Lubang-lubang pada dinding hatiku
Mungkin ku menyukainya
Tapi terkadang
Aku berharap dia adalah dirimu
Aku senang dia di sampingku
Menemaniku dan melihatku saat ku melihatnya
Tapi saat ku mengingat dirimu
Rasa perih itu masih muncul
Bagai pisau pengiris hatiku
Ku bohong
Jika ku bilang ku tak mencintaimu
Karena ku tak sanggup melupakan
Rasa yang tumbuh dalam hatiku
Di hati mungil ini
Ku harap kau bisa melihatku
Melihat kasihku padamu
Meski itu sangat kecil
http://diaryofplayboy.blogspot.com/
Kau tlah bersamanya
Ku bahagia untukmu
Meski sedikit menyakitkan
Dan yang paling menyakitkan
Kau bersama temanku
Sungguh, ku tak menyangka
Bagaimana ini terjadi padaku?
Mungkin ini karena aku hanya mencintaimu
Secara diam-diam
Andaikan aku lebih peduli padamu
Mungkin kau tak akan bersamanya
Mungkin kau bersamaku
Tapi semuanya sia-sia
Ku hanya bisa menyesal
Sangat menyesal
Setelah semua itu
Seseorang datang menutupi
Lubang-lubang pada dinding hatiku
Mungkin ku menyukainya
Tapi terkadang
Aku berharap dia adalah dirimu
Aku senang dia di sampingku
Menemaniku dan melihatku saat ku melihatnya
Tapi saat ku mengingat dirimu
Rasa perih itu masih muncul
Bagai pisau pengiris hatiku
Ku bohong
Jika ku bilang ku tak mencintaimu
Karena ku tak sanggup melupakan
Rasa yang tumbuh dalam hatiku
Di hati mungil ini
Ku harap kau bisa melihatku
Melihat kasihku padamu
Meski itu sangat kecil
"K"
Oleh: oleh @ydiwidya
widyarifianti.tumblr.com
Beberapa orang yang memenuhi dashboard,timeline, dan segala macam
media aktualisasi diri menuliskan kata kamu. Menumpahruahkan segenap
perasaannya akan kamu. Kamu yang menyenangkan, kamu yang menyebalkan,
kamu yang bikin penasaran, kamu yang diagung-agungkan, kamu yang
digaung-gaungkan, kamu yang dicaci, kamu yang dicintai..
Apakah orang yang mereka sebut dengan kamu itu adalah kamu yang sama
dengan kamu yang kukenal?
Kalau iya, saya ucapkan selamat. Kamu hebat.
Kamu berhasil menggantikan hapalan-hapalan penting kuliah,
ingatan-ingatan penting, dan seluas ruangan dalam benak mereka dengan
bayang-bayang kamu.
Kamu…bahkan berhasil membuat mereka hampir lupa akan Siapa yang
menciptakan kamu. akan Siapa yang menciptakan cinta, kata ganti yang
seringkali mereka gunakan untuk menyebut kamu.
Dan…ternyata kamu tidak sekadar hebat, tapi juga kuat. Demi yang satu
ini saya rela mengacungkan empat jempol, bahkan seluruh jari saya demi
kuatnya kamu.
Kamu kuat, kamu berhasil berlari tanpa lelah dalam pikiran mereka.
Padahal mereka tak mengharap kamu berlari, kamu diam di sisi mereka
pun sudah cukup. Apalagi berjalan di samping mereka.
Oke, setelah menjabarkan semua ini…saya tahu kamu pasti akan menjawab,
“Ini bukan salahku…”
Ya, benar ini memang bukan salahmu karena mereka menjadi selupa diri
itu bukan karena salahmu. Sama sekali bukan.
Kalau sudah begitu, kamu tahu bagaimana kamu harus berlaku ke depannya kan?
Bukannya mau menggurui, saya hanya menyampaikan pesan. Tolong bimbing
mereka lagi ke tempat awal mereka berpijak. Biarkanlah mereka menjejak
dengan rasa aman setelah kamu terbangkan angannya tinggi-tinggi.
Biarkan mereka tersungkur tanpa rasa sakit setelah kamu jatuhkan.
Bukan salah mereka jika jatuh pada kamu yang tidak mau menangkap. Dan
bukan salahmu juga jika kamu tidak mau menangkap.
Ini hanya masalah ekspektasi yang tidak bertemu pada satu titik.
Jadi tolong, kembalikan mereka pada titik asalnya, sebelum kamu
simpangkan mereka sedemikian jauhnya.
Saya tahu itu susah.
Tapi kamu hebat. Kamu kuat. Saya percaya kamu bisa.
Oke?
Untuk kamu.
Untuk siapapun yang merasa berinisial K dan diikuti oleh kata ‘amu’
Untuk siapapun yang tidak berinisial K, tapi merasa dijadikan
‘kamu’-nya seseorang
Dari saya.
Bagian dari mereka.
widyarifianti.tumblr.com
Beberapa orang yang memenuhi dashboard,timeline, dan segala macam
media aktualisasi diri menuliskan kata kamu. Menumpahruahkan segenap
perasaannya akan kamu. Kamu yang menyenangkan, kamu yang menyebalkan,
kamu yang bikin penasaran, kamu yang diagung-agungkan, kamu yang
digaung-gaungkan, kamu yang dicaci, kamu yang dicintai..
Apakah orang yang mereka sebut dengan kamu itu adalah kamu yang sama
dengan kamu yang kukenal?
Kalau iya, saya ucapkan selamat. Kamu hebat.
Kamu berhasil menggantikan hapalan-hapalan penting kuliah,
ingatan-ingatan penting, dan seluas ruangan dalam benak mereka dengan
bayang-bayang kamu.
Kamu…bahkan berhasil membuat mereka hampir lupa akan Siapa yang
menciptakan kamu. akan Siapa yang menciptakan cinta, kata ganti yang
seringkali mereka gunakan untuk menyebut kamu.
Dan…ternyata kamu tidak sekadar hebat, tapi juga kuat. Demi yang satu
ini saya rela mengacungkan empat jempol, bahkan seluruh jari saya demi
kuatnya kamu.
Kamu kuat, kamu berhasil berlari tanpa lelah dalam pikiran mereka.
Padahal mereka tak mengharap kamu berlari, kamu diam di sisi mereka
pun sudah cukup. Apalagi berjalan di samping mereka.
Oke, setelah menjabarkan semua ini…saya tahu kamu pasti akan menjawab,
“Ini bukan salahku…”
Ya, benar ini memang bukan salahmu karena mereka menjadi selupa diri
itu bukan karena salahmu. Sama sekali bukan.
Kalau sudah begitu, kamu tahu bagaimana kamu harus berlaku ke depannya kan?
Bukannya mau menggurui, saya hanya menyampaikan pesan. Tolong bimbing
mereka lagi ke tempat awal mereka berpijak. Biarkanlah mereka menjejak
dengan rasa aman setelah kamu terbangkan angannya tinggi-tinggi.
Biarkan mereka tersungkur tanpa rasa sakit setelah kamu jatuhkan.
Bukan salah mereka jika jatuh pada kamu yang tidak mau menangkap. Dan
bukan salahmu juga jika kamu tidak mau menangkap.
Ini hanya masalah ekspektasi yang tidak bertemu pada satu titik.
Jadi tolong, kembalikan mereka pada titik asalnya, sebelum kamu
simpangkan mereka sedemikian jauhnya.
Saya tahu itu susah.
Tapi kamu hebat. Kamu kuat. Saya percaya kamu bisa.
Oke?
Untuk kamu.
Untuk siapapun yang merasa berinisial K dan diikuti oleh kata ‘amu’
Untuk siapapun yang tidak berinisial K, tapi merasa dijadikan
‘kamu’-nya seseorang
Dari saya.
Bagian dari mereka.
Aku Lupa
Oleh: Olga Leodirista
@Olga_imoet
http://olgaimoet.blogspot.com
Aku lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Ah, cinta membuatku amnesia.
Aku lupa aku jatuh cinta ~ aku lupa, aku merindu.
Ah, rindu membuatku mati gaya.
Aku lupa aku merindu ~ aku lupa, aku melangkah maju.
Ah, langkahku sia-sia.
Aku lupa aku melangkah ~ aku lupa, aku bermimpi.
Ah, mimpi membuatku tak berdaya.
Aku lupa aku bermimpi ~ aku lupa, aku terhempaskan.
Ah, hempasan membuatku terluka.
Dan aku selalu lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Aku lupa cinta itu telah mati.
Aku lupa, kumakamkan kau dalam hati.
@Olga_imoet
http://olgaimoet.blogspot.com
Aku lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Ah, cinta membuatku amnesia.
Aku lupa aku jatuh cinta ~ aku lupa, aku merindu.
Ah, rindu membuatku mati gaya.
Aku lupa aku merindu ~ aku lupa, aku melangkah maju.
Ah, langkahku sia-sia.
Aku lupa aku melangkah ~ aku lupa, aku bermimpi.
Ah, mimpi membuatku tak berdaya.
Aku lupa aku bermimpi ~ aku lupa, aku terhempaskan.
Ah, hempasan membuatku terluka.
Dan aku selalu lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Aku lupa cinta itu telah mati.
Aku lupa, kumakamkan kau dalam hati.
Langganan:
Postingan (Atom)