Oleh: Tenni Purwanti (@rosepr1ncess)
www.rosepr1ncess.blogspot.com
Angin sudah membisikkan padaku ke mana arah pergimu. Matahari telah menerangkan padaku dengan siapa kau menghabiskan harimu. Senja pernah mengabarkan, kepada perempuan mana kau selalu merindu. Tapi aku butuh pengakuanmu.
Di malam larut saat tak tahu ke mana harus mengadu pilu, aku berjalan tak tentu arah, membiarkan kaki kecil ini membawa tubuh mungilku. Tanpa meminta, aku justru melihat sosokmu. Mesra itu bukan bersamaku.
Aku menghubungi ponselmu, langsung kau terima. Aku bertanya di mana kau berada. Kau jawab singkat, “Kantor,” lalu ponsel kau matikan.
Aku langsung menemuimu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Botol minuman yang kau pegang langsung kupukulkan ke kepalamu.
Kau selingkuh! Aku tak butuh lagi pemberian tahu.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Penghianatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penghianatan. Tampilkan semua postingan
Kamis, 24 Februari 2011
Khianat
Oleh: @ucilicious
thinkthethings.wordpress.com
Kata-katanya membuatku hanyut dalam derasnya aliran sungai ini. Tiba-tiba sebuah jeram yang dalam muncul diujung sana, saat ia mulai memakan kata-katanya sendiri. Hanya 5 menit untuk tubuhku mencapai ujung itu. Aku terjatuh. Berteriak kencang sekali. Kulihat ke bawah, terdapat sebuah benda yang berukuran cukup besar untuk, yang aku yakini itu sebongkah batu. Dugaanku ternyata benar. Tubuhku menghempas batu tersebut. Sakit sekali. Tapi aku hanya terdiam. Tidak dapat mengeluarkan satu katapun. Semua hal disekeliling terlihat kabur. Mataku basah. Otakku tanpa dikomandoi mulai memutarkan sebuah film. Film antara aku dan dia. Dahulu.
thinkthethings.wordpress.com
Kata-katanya membuatku hanyut dalam derasnya aliran sungai ini. Tiba-tiba sebuah jeram yang dalam muncul diujung sana, saat ia mulai memakan kata-katanya sendiri. Hanya 5 menit untuk tubuhku mencapai ujung itu. Aku terjatuh. Berteriak kencang sekali. Kulihat ke bawah, terdapat sebuah benda yang berukuran cukup besar untuk, yang aku yakini itu sebongkah batu. Dugaanku ternyata benar. Tubuhku menghempas batu tersebut. Sakit sekali. Tapi aku hanya terdiam. Tidak dapat mengeluarkan satu katapun. Semua hal disekeliling terlihat kabur. Mataku basah. Otakku tanpa dikomandoi mulai memutarkan sebuah film. Film antara aku dan dia. Dahulu.
Jadi Pintar
Oleh: Fitrani Puspitasari (@sarirotibergizi)
“Superman menyelamatkan kotanya, disebut pahlawan. Tapi orang Palestina menyelamatkan masjidnya? Disebutlah dia teroris!”
Sebuah teriakan berapi-api yang biasa terdengar dari sudut jalan, berasal dari teras rumah mungil bertembok bata berwarna salem, membuka hari Senin pagi di kampung kecil di pelosok sederhana ibukota. Para pejalan kaki sudah biasa, mereka mengangguk-angguk sambil membenarkan, kemudian berjalan sambil lalu, mendorong gerobak sayur atau meneruskan aktifitas, membiarkan sosok laki-laki lima puluh tahun dengan rambut yang sudah memutih itu meneruskan orasi keluh-kesahnya didampingi segelas kopi tubruk hangat dan selembar sarung tua yang menggantung silang di sebelah bahu. Matanya berpindah dari artikel mengenai Gaza, ke artikel dalam negeri.
Amir mengerutkan kening, bersila di dekat kaki Bapak yang membentangkan korannya lebar-lebar, dan melanjutkan teriakannya. Tangannya boleh sibuk menyemir sepatu tua Bapak hingga tampak baru, namun telinganya sejak tadi mendengarkan, dengan seksama dan teliti, setiap kalimat yang dimuntahkan bibir pria berusia setengah abad tersebut. “Dengan uang, semua bisa dibeli! Sepuluh juta bukan mainan, bisa membeli orang untuk jadi pengganti di penjara, coba!” Punggung tangan Bapak menepuk artikel joki napi, Karni dan Kasiem, yang menggegerkan masyarakat dan sistem hukum. “’Siapa yang mau mendekam di penjara’, kata koran ini, laaaaah ini ada! Sepuluh juta, ditukar kebebasan 3 bulan 15 hari, ada-ada saja!” Pria gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tidak percaya ada yang mau masuk penjara demi uang.
“Dibayar berapapun, aku nggak mau dipenjara…” Amir bergumam, mencari sikat dalam kotak semirnya dengan tangannya yang belepotan hitam. “Kata Bang Dodi, disana nyeremin, makanannya nggak enak dan sipirnya jahat.”
“Itu karena si Dodi nggak punya uang!” Bapak terkekeh, meletakkan koran di pangkuannya lalu mengambil kopi dan menyeruputnya sedikit, “kalau dia punya, jangankan beli makanan enak dan perilaku baik dari sipir, dia bisa taruh TV sama kasur empuk di selnya! Lihat, hukum negara ini masih lemah, Mir!”
“Yaaa, kalau Bang Dodi punya uang, dia nggak akan curi motor di kampung sana…” Amir memutar bola matanya. Tawa keras Bapak menimpali celetukannya dan kembali terdengar suara Bapak menyeruput kopi yang dibuatkan istrinya tadi subuh. Kopinya masih mengepul hangat, Amir tidak habis pikir bagaimana mungkin kopi itu belum mendingin juga. Masak iya, gara-gara orasi Bapak yang berapi-api di sampingnya, kopi itu jadi tetap terjaga panasnya.
“Mungkin di penjara sebenarnya nggak sejelek itu, makanya ada saja yang mau dipenjara,” Nada suara Bapak menurun ketika pria itu meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, matanya sudah kembali serius menguliti artikel koran. “Kamu masuk penjara di Bandung sana, bisa nonton konser gratisnya Ariel, nih. Ariel Sihir Penghuni Rutan Kebonwaru, kapan lagi nonton artis manggung cuma-cuma, biar artisnya napi, kan namanya orang ngetop! Kamu tahu kasusnya Ariel, Mir? Video porno!” Bapak menyindir.
Wajah pemuda kurus kering itu memerah sedikit, kepalanya tertunduk ketika ia meneruskan menyikat sepatu dengan serius. Untung saja posisi duduknya memunggungi Bapak, jadi pria tua itu tidak bisa melihat ekspresi malu bocah penyemir tersebut. Amir sudah pernah lihat videonya, ketika dia sedang menyemir sepatu Mas Togik, yang punya warnet di gang sebelah. Orang-orang lagi ramai mengerubuti satu komputer, semuanya berteriak-teriak dan tertawa keras. Amir penasaran, apalagi Mas Togik memanggilnya sambil menekankan, kalau Amir memang laki-laki sejati, sebaiknya dia ikut nonton. “Ini namanya mengikuti perkembangan berita, Mir!” Begitu kilah si pemilik warnet ketika Amir tersipu menonton video tersebut.
“Kalau orang besar, punya uang, dipenjara bukan masalah, wong Gayus aja bisa nyelonong ke Macau dan Kuala Lumpur, kok.” Bapak kembali meneruskan korannya, mengerucutkan bibir membaca artikel yang menduga terdakwa mafia pajak itu melakukan pelesiran ke luar negeri. Amir sudah lupa akan rasa malunya barusan, ia kini mendongak dan membalikkan badan untuk melihat Bapak. Namun tiba-tiba, istri Bapak keluar dari dalam rumah, membawa sekotak bedak dan langsung mengacungkan benda itu ke depan hidung suaminya tersebut. Wajah sang istri memerah, namun dengan alasan yang berbeda dengan Amir. “Bapak belikan ibu bedak, tapi bapak belinya lebih mahal dari ibu biasa beli!” Wanita paruh baya itu sewot, membuat Bapak gelagapan.
“Memang biasa beli berapa?”
“Dua puluh ribu! Tapi bapak belinya dua puluh ribu lima ratus!”
“Kan cuma lima ratus…”
“Lima ratus kan juga uang! Sekarang apa-apa mahal, pak! Cabe aja sekilo seratus ribu! Ibu kan harus berhemat, bapak diminta belikan bedak saja, malah kelebihan lima ratus!”
“Tapi, kan…”
“Nggak ada tapi-tapi! Lain kali beli sendiri saja bedaknya, huuuh!”
Istri Bapak membalikkan badan, memasuki rumah kembali dengan langkah dihentak-hentakkan. Bapak memandang kepergian istrinya dengan wajah bingung. Kepalanya menoleh untuk melihat kepada Amir, “Lihat tuh Mir. Bedanya orang kaya dan yang tidak punya, lima ratus saja bisa ribut. Bisa jadi riak-riak rumah tangga. Bisa jadi pemicu masalah dan berita kriminal. Padahal usia juga sudah empat puluh, pakai bedak pun sudah—”
“BAPAAAAKK!”
“—bikin makin cantik! Bikin makin cantik, kok, buuu!”
Amir tergelak. Wajah Bapak langsung panik ketika hardikan istrinya nyaring dari dalam rumah. Pria tua gemuk itu buru-buru mengangkat korannya kembali dan menutupi muka, sementara di lantai Amir terpingkal-pingkal. Tidak akan ada yang memarahinya meski ia menertawakan komedi rumah tangga barusan, Bapak juga menganggap itu lucu.
***
Tidak ada yang pernah memberitahu Amir nama asli pria tersebut. Bapak, begitu sajalah Amir menyebutnya. Orang-orang di kampung ini juga kerap memanggilnya dengan sebutan sederhana itu. Sekali-kali tetangga dekat menambahkan imbuhan ‘haji’ di balik sapaan mereka, karena pria tua tersebut konon sudah pernah naik haji. Penampilannya tak pernah lepas dari sarung butut dan kopiah putih di atas kepala. Hobinya membaca koran keras-keras setiap pagi, sehingga para tetangga merasa tidak perlu beli koran lagi, cukup nguping saja apa yang diteriakkan Bapak. Pensiunan PNS yang sederhana ini tidak pernah absen membacakan berita setiap pagi. Dan Amir, dengan senang hati akan mendengarkannya dari mulut Bapak, meski tidak ada sepatu yang bisa disemir sekalipun, sebagai remaja dengan keingintahuan besar yang memang tidak perlu pergi ke sekolah karena tak punya uang untuk meneruskan SMP, ia selalu mampir setiap pagi untuk jadi penyimak setia.
Bapak orang yang baik, walaupun suaranya ketika bicara selalu keras, membuat orang berjengit. Pernah suatu hari, beliau menanyai Amir yang sedang menyemir sepatu,
“Kamu kerja untuk apa, Mir? Untuk biayai sekolahmu? Bapak nggak pernah lihat kamu sekolah setiap pagi.”
“Untuk nambahi uang emak beli makan, Pak.”
“Bapakmu kemana?”
“Sudah lama tidak pulang.”
Percakapan memang berhenti sampai disitu. Namun selanjutnya, setiap Amir selesai menyemir sepatu Bapak, upah yang diterimanya selalu lebih dari yang biasanya. Bapak juga senang kalau Amir datang. Menurut Bapak, Amir pintar, meski tidak sekolah.
“Kadang, jadi pintar itu tidak harus berarti sekolah tinggi-tinggi, Mir.” Bapak berujar suatu hari, ketika gelas kopinya sudah kosong, dan Amir bersila di lantai teras, membaca komik di koran edisi kemarin.
“Jadi pintar itu tidak harus mengantongi gelar sarjana. Tidak harus hafal perkalian diluar kepala. Jadi pintar itu maksudnya, mengetahui banyak hal yang diperlukan untuk hidup di dunia ini.” Teori Bapak mengenai ‘jadi pintar’ terus terngiang di kepala Amir hingga saat ini. Semenjak itu, ragam artikel yang dibaca Amir jadi bertambah. Tidak lagi sekedar komik, tapi kini ia mulai memperhatikan berita lintas dunia dalam kolom kecil-kecil yang memberitakan hal-hal unik, contohnya berita seorang kakek di Inggris yang tersesat tiga hari dengan mobil karena tidak bisa menemukan jalan pulang dari bandara. Memang tidak terlalu berguna untuknya, namun Amir menikmati perasaan bahwa ia pun juga membaca koran untuk ‘jadi pintar’.
“Jadi pintar itu berarti tahu kemana ia melangkah, tahu kemana pilihan hidupnya menentukan masa depannya. Itu artinya, jadi pintar juga berarti tahu kalau masa depan bukan cuma di dunia, tapi juga di akherat!”
Siang itu, Amir terlihat dalam rombongan yang memasuki masjid untuk shalat Jumat. Mas Togik yang melihat pemandangan itu, memanggil Amir dari teras warnetnya. “Oi, Mir! Shalat, kau? Hafal kau bacaan shalat?”
Amir menggeleng. Tapi toh, meneruskan langkahnya ke dalam masjid. Ia memang tidak hafal, tapi ia bisa mencoba. Karena ia ingin ‘jadi pintar’.
***
“Berapa uang yang kau dapat kemarin, Mir?”
Amir menggaruk kepalanya, ragu-ragu mengulurkan selembar uang sepuluh ribu ke emak yang sedang mengelap tangannya sehabis mencuci, ke atas rok daster lusuh yang dikenakannya hampir setiap saat. Wanita tua itu menerima uang Amir, tersenyum senang dan menepuk kepala putra semata wayangnya dengan sayang.
“Emak nggak apa-apa, Amir cuma kasih sepuluh ribu?”
“Uang halal dari keringat Amir, berapapun jumlahnya, ibu senang.”
Amir tersenyum lebar. Emaknya juga pintar.
***
“Koruptor itu pengkhianat negara,” Hari Kamis pagi dibuka dengan berita korupsi. Bapak menghela nafas panjang saat berita utama menampilkan wajah seorang koruptor terkemuka. “Maling ayam itu pengkhianat kampung.”
Berita korupsi bersebelahan dengan berita maling ayam? Amir mengerutkan kening dan mengatur posisi duduk yang nyaman di lantai teras. Matanya menangkap sekelumit judul berita pembunuhan di halaman belakang yang tidak sedang dibaca Bapak. “Kalau pembunuh, Pak?”
“Yang itu pengkhianat kemanusiaan.” Jawab Bapak tanpa mengalihkan pandangan dari entah artikel apa yang sedang dibacanya. Meski demikian, pria tua itu kembali menambahkan sebelum Amir mengajukan pertanyaan beda contoh. “Yang pasti, segala bentuk kejahatan itu adalah pengkhianat hukum.” Tandasnya tajam.
Amir mengangguk-angguk. Seperti biasa, segala bentuk ceramah Bapak ditelannya bulat-bulat dan dipikirkannya sepanjang hari. Matanya membesar berusaha menangkap lebih banyak lagi judul dalam huruf besar-besar di halaman belakang koran, dan telinganya rajin mendengarkan lebih banyak lagi ucapan-ucapan Bapak yang masih tenggelam dalam artikel-artikel korannya. “Ayahnya Bapak dulu seorang pejuang,” Bapak memulai, meletakkan korannya dan menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kursi. Sepasang mata besar miliknya memandang Amir sekilas, beliau tersenyum menghargai pada pendengar ciliknya, lalu melanjutkan dengan pandangan mulai mengawang, seakan tengah memandang ke masa lalu. “Ayahnya Bapak ada disana, di depan radio, ketika pertama kalinya kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Saat itu beliau masih muda, remaja dengan semangat tinggi.
Beliau mendengarkan kata demi kata dari Pak Karno, merasa tersentuh dan mencintai negara ini melebihi siapapun. Beliau turut mengangkat senjata ketika melawan PKI, juga ketika ada yang hendak menurunkan sang merah putih, menghentikannya berkibar.” Tangan Bapak bergerak, meliuk-liuk menirukan kibaran bendera. Selengkung senyum puas mengembang di bibirnya yang sudah banyak mencicipi asam garam, dan di depannya, satu-satunya pendengar ciliknya menatapnya tanpa berkedip.
“Bapak masih kecil ketika beliau meninggal, ketika seseorang yang tidak senang dengan kesetiaan ayah Bapak kepada negara, menikamnya di dada. Orang itu jahat, dia koruptor yang sebelumnya diadukan oleh ayah Bapak ke pihak berwajib. Ayah Bapak memang meninggal, tapi beliau meninggal dalam keadaan bersih dan jujur.”
Bapak mengganti senyum lebarnya dengan sebentuk senyum sedih. Namun binar matanya yang dipenuhi kebanggaan tidak ikut digelayuti awan kesedihan. Amir terdiam saat mendengarnya, tangannya memeluk betisnya ke dada. Bapak tertawa kecil melihat keseriusan Amir, lalu kembali bercerita, “Karena Bapak tidak bisa menjadi seorang pejuang seperti ayah Bapak, tidak bisa mengangkat senjata dan tidak cakap menjadi aparat, Bapak setidaknya menunjukkan kesetiaan Bapak kepada negara dengan cara yang berbeda. Bapak PNS, tapi tidak korupsi. Setelah pensiun pun, Bapak suka membacakan berita keras-keras di teras agar semua orang yang sibuk bisa mendengar dan tahu perkembangan negara ini. Bapak senang, setidaknya ada satu orang yang Bapak tahu mendengarkan dengan serius.”
Diam sejenak.
“Amir, Pak?”
Pria tua itu terbahak. Perut bundarnya bergoyang ketika beliau tertawa. Matanya menyipit nyaris hilang, dan tangannya mengacak-acak rambut Amir dengan bangga, menerbitkan senyum di bibir laki-laki kecil tersebut. Namun bukan hanya senyum yang berbuah. Sesuatu yang lain, ikut tumbuh, tumbuhnya di dalam dada Amir.
***
“Begini aman, bang?”
“Banyak tanya saja kau! Semua orang juga melakukannya, ya jelas aman!”
“Tapi bahaya kan, bang…”
“Bahaya, bahaya! Hah. Tahu apa kau soal bahaya?”
“Bahaya sama polisi lah, jelas, bang!”
Telinga Amir seakan berdiri. Tubuhnya menegak dan menjadi tegang begitu nama ‘polisi’ disebut. Tangannya yang tengah menggosok sebuah sepatu berhenti bergerak, seakan gerakan sekecil apapun akan menghalanginya dari mendengar lebih jelas. Tanpa menoleh, Amir menempelkan telinganya lebih dekat ke pintu yang setengah terbuka. Tubuhnya merapat ke rak sepatu yang menyembunyikannya dari pandangan.
“Ada uang, kan? Kasih uang sedikit, supaya diam…”
“Uang abang cukup untuk nyogok polisi?”
“Warnetku ini sudah cabang ketiga, tahu! Uangku cukup, lah…”
“Hati-hati bang, mencuri listrik negara itu perkara berat…”
“Kau ini, banyak khawatirnya!”
Wajah Amir memucat. Ia mengenali suara Mas Togik. Dan ia juga pernah membaca di koran Bapak, bahwa mencuri listrik negara adalah perbuatan melanggar hukum. Pembicaraan di balik pintu staff warnet ini rupanya hanya ia yang mendengar, karena ia duduk di depan pintu. Penyewa komputer lainnya nampak serius menatap layar, dan sebagian besar memasang headphone. Suara bising dari game juga menutupi pembicaraan serius ini dari banyak orang, kecuali Amir.
Pembicaraan di dalam masih berlanjut, tapi sudah beralih topik. Mas Togik dengan tinggi hati menandaskan bahwa sejauh ini ia selalu luput dengan sedikit sogokan. Amir perlahan-lahan meletakkan sikatnya di lantai. Takut-takut, ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan Bapak, kalau ia yang berada di posisi Amir. Beliau tidak akan tinggal diam, itu pasti. Beliau selalu menegaskan bahwa pelanggar hukum itu pengkhianat negara, dan kalau ayah Bapak saja meninggal karena melaporkan pelanggar hukum, Bapak tidak akan diam saja mendengar ada pencuri dan penyogok. Mungkin beliau juga berharap Amir akan melakukan hal yang sama dengan apa yang mungkin akan dilakukannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Amir kini berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. Dilihatnya Mas Togik dan seorang operator warnet terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Meski tangannya bergetar, Amir berusaha mengukuhkan suaranya hingga terdengar tegas. “Mas Togik! Itu nggak boleh!”
Mas Togik dan si operator terdiam, masih kaget barangkali. Amir memanfaatkan hal itu untuk kembali berteriak, “Mencuri dari negara itu berarti pengkhianatan, dan itu nggak boleh. Mas Togik bisa dipenjara!”
Teriakan Amir nampaknya berhasil memancing sedikit perhatian. Beberapa penyewa warnet nampak melirik dari balik komputer dan sebagian bahkan melepas headphone atau mengecilkan speaker. Melihat itu, wajah Mas Togik memerah karena marah, dengan kasar ditariknya Amir keluar dari warnet, diseretnya dengan gampang anak laki-laki kerempeng itu ke pintu belakang yang sepi. Disana, tangan besarnya mendorong Amir ke tembok dengan kasar. “NGOMONG APA KAU!?” bentaknya di depan muka Amir.
Amir terkesiap. Bentakan keras itu menulikan telinganya, dan nafas Mas Togik terasa membakar kulit wajahnya. Refleks, Amir membentengi kepalanya dengan tangan, namun Mas Togik ternyata mengincar perutnya. “Kau berani bilang-bilang, kuhajar kau!” sebuah tinju bersarang di perut Amir. Jeritan kesakitan tertahan di leher anak laki-laki itu.
“Jangan! Ampunin Amir, Mas To—” Satu lagi tinju menghajarnya hingga tersungkur.
“Anak ingusan berani mengancamku soal penjara, heh. Cuma tukang semir saja, dikiranya dia tahu soal hukum!” Pria bertubuh besar itu kini menyarangkan tendangannya, Amir menjerit kesakitan. Tapi di dalam warnet, sang operator meninggikan volume musik di speaker sehingga tak ada yang mendengarnya.
***
“Ketika orang barat menegakkan keadilan, dia dipuji-puji, tapi ketika orang muslim yang menegakkan keadilan, dia dieksekusi!”
“Ketika seorang Yahudi menumbuhkan jenggot, dia dianggap mempraktikkan agamanya, tapi ketika seorang muslim menumbuhkan jenggot seperti sunah rasul, dia disebut teroris!”
“Ketika orang berkuasa korupsi, dia diberi sel bintang lima, tapi ketika orang kecil mencuri ayam, dia dibakar hidup-hidup!”
“Hukum di dunia ini lemah. Stereotype masih berkuasa. Aparat bisa disuap. Media bisa dibeli. Negara ini lebih-lebih buruk lagi. Hidup jujur semakin ditantang. Tapi bagaimanapun juga, Bapak cinta negara ini. Bapak memerangi pengkhianat hukum. Hukum tidak sempurna, karena manusia juga tidak sempurna. Jadilah pintar, jadilah manusia sempurna, agar hukum bisa ditegakkan!”
***
Jadi pintar…
“Bapak… dimana, Bu?”
Wanita tua itu menangis. Menumpahkan air matanya ke atas ujung jilbabnya yang ditarik menutupi muka. Isakannya mendominasi ruangan, dimana semua orang seakan membisu tak ada yang berani bersuara. Seorang wanita berjilbab lainnya mendekat dan memeluk istri Bapak, memandang Amir yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan sedih.
“Bapak… di rumah sakit.” Ungkap wanita itu dengan mata yang sembab dan memerah. Ucapannya seakan menampar Amir, menambahkan luka ke atas wajah dan tubuhnya yang sudah lebam dan babak belur. Tangan Amir yang tengah menggenggam erat kotak semirnya bergetar, mengucurkan darah segar dari luka yang terbuka.
“B-bapak sakit apa?”
Isakan istri Bapak semakin keras. Kali ini bahkan wanita yang memeluknya tak berani bersuara, namun ikut menunduk bersama wajah-wajah lainnya di dalam ruangan. Seorang pria muda bangkit dan membimbing Amir ke teras, ia duduk di kursi dimana Bapak biasa duduk membacakan koran, menatap Amir dengan serius.
“Nama kamu siapa?” Tanyanya dengan suara serak yang jelas habis menangis, namun terdengar tabah.
“Amir.”
“Jadi kamu yang sering diceritakan ayah saya.”
“Mas anaknya Bapak?”
Pria muda itu mengangguk. Wajahnya menunjukkan kesedihan ketika ia kembali bicara, “Bapak sudah meninggal, Amir…”
“…”
“Anak bungsu ayah yang tinggal di kota lain masuk koran. Adik saya itu terjebak kasus korupsi di kantornya. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan jasa joki napi. Ayah saya yang tadinya mengunjungi ke penjara karena tidak percaya anaknya bersalah, terkejut setengah mati melihat yang meringkuk di penjara bukanlah anaknya.”
Suara pria itu terdengar terluka.
Tapi Amir juga terluka.
“Ayah kena serangan jantung, sudah dibawa ke rumah sakit, tapi—”
“…”
“Ayah saya sering cerita soal kamu. Makanya saya beritahu kamu.”
“B-bapak bilang koruptor itu orang jahat. Kenapa anak Bapak jadi koruptor…?”
Pria itu tersenyum lemah. Ada kesedihan dan kemarahan di matanya, tapi penguasaan akan emosi ditunjukkannya dengan sangat baik. Tangan pria itu membelai rambut Amir dan ia menggeleng, “Amir masih terlalu kecil untuk mengerti.”
Tapi Bapak tidak akan berkata demikian. Kalau ada Bapak disini, beliau akan menjelaskannya kepada Amir, agar Amir mengerti dan ‘jadi pintar’. Beliau akan berapi-api menandaskan bahwa hal itu tidak benar, dan siapapun pelakunya harus ditindak sesuai hukum. Bapak tidak pernah menyetujui pengkhianat hukum, tapi…
“…Kalau anak Bapak yang berkhianat, kenapa Bapak yang harus pergi?”
Tangis meleleh dari mata Amir, menuruni pipinya dan jatuh ke lantai. Segala luka di tubuhnya terlupakan, dan rasa sakit di dadanya mengalahkan sakit di kulitnya. Suaranya serak ketika bertanya, dan ia tahu pertanyaannya takkan pernah terjawab.
Mulai besok, dia tidak akan datang ke rumah itu lagi setiap pagi.
Mulai besok, suara Bapak tidak akan lagi mengawali pagi di kampung ini. Tidak ada lagi berita-berita dari Bapak. Tidak ada.
Pengkhianat hukum yang membawa pergi nyawa ayah Bapak, dan sekarang… Bapak juga sama. * (FIN)
“Superman menyelamatkan kotanya, disebut pahlawan. Tapi orang Palestina menyelamatkan masjidnya? Disebutlah dia teroris!”
Sebuah teriakan berapi-api yang biasa terdengar dari sudut jalan, berasal dari teras rumah mungil bertembok bata berwarna salem, membuka hari Senin pagi di kampung kecil di pelosok sederhana ibukota. Para pejalan kaki sudah biasa, mereka mengangguk-angguk sambil membenarkan, kemudian berjalan sambil lalu, mendorong gerobak sayur atau meneruskan aktifitas, membiarkan sosok laki-laki lima puluh tahun dengan rambut yang sudah memutih itu meneruskan orasi keluh-kesahnya didampingi segelas kopi tubruk hangat dan selembar sarung tua yang menggantung silang di sebelah bahu. Matanya berpindah dari artikel mengenai Gaza, ke artikel dalam negeri.
Amir mengerutkan kening, bersila di dekat kaki Bapak yang membentangkan korannya lebar-lebar, dan melanjutkan teriakannya. Tangannya boleh sibuk menyemir sepatu tua Bapak hingga tampak baru, namun telinganya sejak tadi mendengarkan, dengan seksama dan teliti, setiap kalimat yang dimuntahkan bibir pria berusia setengah abad tersebut. “Dengan uang, semua bisa dibeli! Sepuluh juta bukan mainan, bisa membeli orang untuk jadi pengganti di penjara, coba!” Punggung tangan Bapak menepuk artikel joki napi, Karni dan Kasiem, yang menggegerkan masyarakat dan sistem hukum. “’Siapa yang mau mendekam di penjara’, kata koran ini, laaaaah ini ada! Sepuluh juta, ditukar kebebasan 3 bulan 15 hari, ada-ada saja!” Pria gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tidak percaya ada yang mau masuk penjara demi uang.
“Dibayar berapapun, aku nggak mau dipenjara…” Amir bergumam, mencari sikat dalam kotak semirnya dengan tangannya yang belepotan hitam. “Kata Bang Dodi, disana nyeremin, makanannya nggak enak dan sipirnya jahat.”
“Itu karena si Dodi nggak punya uang!” Bapak terkekeh, meletakkan koran di pangkuannya lalu mengambil kopi dan menyeruputnya sedikit, “kalau dia punya, jangankan beli makanan enak dan perilaku baik dari sipir, dia bisa taruh TV sama kasur empuk di selnya! Lihat, hukum negara ini masih lemah, Mir!”
“Yaaa, kalau Bang Dodi punya uang, dia nggak akan curi motor di kampung sana…” Amir memutar bola matanya. Tawa keras Bapak menimpali celetukannya dan kembali terdengar suara Bapak menyeruput kopi yang dibuatkan istrinya tadi subuh. Kopinya masih mengepul hangat, Amir tidak habis pikir bagaimana mungkin kopi itu belum mendingin juga. Masak iya, gara-gara orasi Bapak yang berapi-api di sampingnya, kopi itu jadi tetap terjaga panasnya.
“Mungkin di penjara sebenarnya nggak sejelek itu, makanya ada saja yang mau dipenjara,” Nada suara Bapak menurun ketika pria itu meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, matanya sudah kembali serius menguliti artikel koran. “Kamu masuk penjara di Bandung sana, bisa nonton konser gratisnya Ariel, nih. Ariel Sihir Penghuni Rutan Kebonwaru, kapan lagi nonton artis manggung cuma-cuma, biar artisnya napi, kan namanya orang ngetop! Kamu tahu kasusnya Ariel, Mir? Video porno!” Bapak menyindir.
Wajah pemuda kurus kering itu memerah sedikit, kepalanya tertunduk ketika ia meneruskan menyikat sepatu dengan serius. Untung saja posisi duduknya memunggungi Bapak, jadi pria tua itu tidak bisa melihat ekspresi malu bocah penyemir tersebut. Amir sudah pernah lihat videonya, ketika dia sedang menyemir sepatu Mas Togik, yang punya warnet di gang sebelah. Orang-orang lagi ramai mengerubuti satu komputer, semuanya berteriak-teriak dan tertawa keras. Amir penasaran, apalagi Mas Togik memanggilnya sambil menekankan, kalau Amir memang laki-laki sejati, sebaiknya dia ikut nonton. “Ini namanya mengikuti perkembangan berita, Mir!” Begitu kilah si pemilik warnet ketika Amir tersipu menonton video tersebut.
“Kalau orang besar, punya uang, dipenjara bukan masalah, wong Gayus aja bisa nyelonong ke Macau dan Kuala Lumpur, kok.” Bapak kembali meneruskan korannya, mengerucutkan bibir membaca artikel yang menduga terdakwa mafia pajak itu melakukan pelesiran ke luar negeri. Amir sudah lupa akan rasa malunya barusan, ia kini mendongak dan membalikkan badan untuk melihat Bapak. Namun tiba-tiba, istri Bapak keluar dari dalam rumah, membawa sekotak bedak dan langsung mengacungkan benda itu ke depan hidung suaminya tersebut. Wajah sang istri memerah, namun dengan alasan yang berbeda dengan Amir. “Bapak belikan ibu bedak, tapi bapak belinya lebih mahal dari ibu biasa beli!” Wanita paruh baya itu sewot, membuat Bapak gelagapan.
“Memang biasa beli berapa?”
“Dua puluh ribu! Tapi bapak belinya dua puluh ribu lima ratus!”
“Kan cuma lima ratus…”
“Lima ratus kan juga uang! Sekarang apa-apa mahal, pak! Cabe aja sekilo seratus ribu! Ibu kan harus berhemat, bapak diminta belikan bedak saja, malah kelebihan lima ratus!”
“Tapi, kan…”
“Nggak ada tapi-tapi! Lain kali beli sendiri saja bedaknya, huuuh!”
Istri Bapak membalikkan badan, memasuki rumah kembali dengan langkah dihentak-hentakkan. Bapak memandang kepergian istrinya dengan wajah bingung. Kepalanya menoleh untuk melihat kepada Amir, “Lihat tuh Mir. Bedanya orang kaya dan yang tidak punya, lima ratus saja bisa ribut. Bisa jadi riak-riak rumah tangga. Bisa jadi pemicu masalah dan berita kriminal. Padahal usia juga sudah empat puluh, pakai bedak pun sudah—”
“BAPAAAAKK!”
“—bikin makin cantik! Bikin makin cantik, kok, buuu!”
Amir tergelak. Wajah Bapak langsung panik ketika hardikan istrinya nyaring dari dalam rumah. Pria tua gemuk itu buru-buru mengangkat korannya kembali dan menutupi muka, sementara di lantai Amir terpingkal-pingkal. Tidak akan ada yang memarahinya meski ia menertawakan komedi rumah tangga barusan, Bapak juga menganggap itu lucu.
***
Tidak ada yang pernah memberitahu Amir nama asli pria tersebut. Bapak, begitu sajalah Amir menyebutnya. Orang-orang di kampung ini juga kerap memanggilnya dengan sebutan sederhana itu. Sekali-kali tetangga dekat menambahkan imbuhan ‘haji’ di balik sapaan mereka, karena pria tua tersebut konon sudah pernah naik haji. Penampilannya tak pernah lepas dari sarung butut dan kopiah putih di atas kepala. Hobinya membaca koran keras-keras setiap pagi, sehingga para tetangga merasa tidak perlu beli koran lagi, cukup nguping saja apa yang diteriakkan Bapak. Pensiunan PNS yang sederhana ini tidak pernah absen membacakan berita setiap pagi. Dan Amir, dengan senang hati akan mendengarkannya dari mulut Bapak, meski tidak ada sepatu yang bisa disemir sekalipun, sebagai remaja dengan keingintahuan besar yang memang tidak perlu pergi ke sekolah karena tak punya uang untuk meneruskan SMP, ia selalu mampir setiap pagi untuk jadi penyimak setia.
Bapak orang yang baik, walaupun suaranya ketika bicara selalu keras, membuat orang berjengit. Pernah suatu hari, beliau menanyai Amir yang sedang menyemir sepatu,
“Kamu kerja untuk apa, Mir? Untuk biayai sekolahmu? Bapak nggak pernah lihat kamu sekolah setiap pagi.”
“Untuk nambahi uang emak beli makan, Pak.”
“Bapakmu kemana?”
“Sudah lama tidak pulang.”
Percakapan memang berhenti sampai disitu. Namun selanjutnya, setiap Amir selesai menyemir sepatu Bapak, upah yang diterimanya selalu lebih dari yang biasanya. Bapak juga senang kalau Amir datang. Menurut Bapak, Amir pintar, meski tidak sekolah.
“Kadang, jadi pintar itu tidak harus berarti sekolah tinggi-tinggi, Mir.” Bapak berujar suatu hari, ketika gelas kopinya sudah kosong, dan Amir bersila di lantai teras, membaca komik di koran edisi kemarin.
“Jadi pintar itu tidak harus mengantongi gelar sarjana. Tidak harus hafal perkalian diluar kepala. Jadi pintar itu maksudnya, mengetahui banyak hal yang diperlukan untuk hidup di dunia ini.” Teori Bapak mengenai ‘jadi pintar’ terus terngiang di kepala Amir hingga saat ini. Semenjak itu, ragam artikel yang dibaca Amir jadi bertambah. Tidak lagi sekedar komik, tapi kini ia mulai memperhatikan berita lintas dunia dalam kolom kecil-kecil yang memberitakan hal-hal unik, contohnya berita seorang kakek di Inggris yang tersesat tiga hari dengan mobil karena tidak bisa menemukan jalan pulang dari bandara. Memang tidak terlalu berguna untuknya, namun Amir menikmati perasaan bahwa ia pun juga membaca koran untuk ‘jadi pintar’.
“Jadi pintar itu berarti tahu kemana ia melangkah, tahu kemana pilihan hidupnya menentukan masa depannya. Itu artinya, jadi pintar juga berarti tahu kalau masa depan bukan cuma di dunia, tapi juga di akherat!”
Siang itu, Amir terlihat dalam rombongan yang memasuki masjid untuk shalat Jumat. Mas Togik yang melihat pemandangan itu, memanggil Amir dari teras warnetnya. “Oi, Mir! Shalat, kau? Hafal kau bacaan shalat?”
Amir menggeleng. Tapi toh, meneruskan langkahnya ke dalam masjid. Ia memang tidak hafal, tapi ia bisa mencoba. Karena ia ingin ‘jadi pintar’.
***
“Berapa uang yang kau dapat kemarin, Mir?”
Amir menggaruk kepalanya, ragu-ragu mengulurkan selembar uang sepuluh ribu ke emak yang sedang mengelap tangannya sehabis mencuci, ke atas rok daster lusuh yang dikenakannya hampir setiap saat. Wanita tua itu menerima uang Amir, tersenyum senang dan menepuk kepala putra semata wayangnya dengan sayang.
“Emak nggak apa-apa, Amir cuma kasih sepuluh ribu?”
“Uang halal dari keringat Amir, berapapun jumlahnya, ibu senang.”
Amir tersenyum lebar. Emaknya juga pintar.
***
“Koruptor itu pengkhianat negara,” Hari Kamis pagi dibuka dengan berita korupsi. Bapak menghela nafas panjang saat berita utama menampilkan wajah seorang koruptor terkemuka. “Maling ayam itu pengkhianat kampung.”
Berita korupsi bersebelahan dengan berita maling ayam? Amir mengerutkan kening dan mengatur posisi duduk yang nyaman di lantai teras. Matanya menangkap sekelumit judul berita pembunuhan di halaman belakang yang tidak sedang dibaca Bapak. “Kalau pembunuh, Pak?”
“Yang itu pengkhianat kemanusiaan.” Jawab Bapak tanpa mengalihkan pandangan dari entah artikel apa yang sedang dibacanya. Meski demikian, pria tua itu kembali menambahkan sebelum Amir mengajukan pertanyaan beda contoh. “Yang pasti, segala bentuk kejahatan itu adalah pengkhianat hukum.” Tandasnya tajam.
Amir mengangguk-angguk. Seperti biasa, segala bentuk ceramah Bapak ditelannya bulat-bulat dan dipikirkannya sepanjang hari. Matanya membesar berusaha menangkap lebih banyak lagi judul dalam huruf besar-besar di halaman belakang koran, dan telinganya rajin mendengarkan lebih banyak lagi ucapan-ucapan Bapak yang masih tenggelam dalam artikel-artikel korannya. “Ayahnya Bapak dulu seorang pejuang,” Bapak memulai, meletakkan korannya dan menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kursi. Sepasang mata besar miliknya memandang Amir sekilas, beliau tersenyum menghargai pada pendengar ciliknya, lalu melanjutkan dengan pandangan mulai mengawang, seakan tengah memandang ke masa lalu. “Ayahnya Bapak ada disana, di depan radio, ketika pertama kalinya kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Saat itu beliau masih muda, remaja dengan semangat tinggi.
Beliau mendengarkan kata demi kata dari Pak Karno, merasa tersentuh dan mencintai negara ini melebihi siapapun. Beliau turut mengangkat senjata ketika melawan PKI, juga ketika ada yang hendak menurunkan sang merah putih, menghentikannya berkibar.” Tangan Bapak bergerak, meliuk-liuk menirukan kibaran bendera. Selengkung senyum puas mengembang di bibirnya yang sudah banyak mencicipi asam garam, dan di depannya, satu-satunya pendengar ciliknya menatapnya tanpa berkedip.
“Bapak masih kecil ketika beliau meninggal, ketika seseorang yang tidak senang dengan kesetiaan ayah Bapak kepada negara, menikamnya di dada. Orang itu jahat, dia koruptor yang sebelumnya diadukan oleh ayah Bapak ke pihak berwajib. Ayah Bapak memang meninggal, tapi beliau meninggal dalam keadaan bersih dan jujur.”
Bapak mengganti senyum lebarnya dengan sebentuk senyum sedih. Namun binar matanya yang dipenuhi kebanggaan tidak ikut digelayuti awan kesedihan. Amir terdiam saat mendengarnya, tangannya memeluk betisnya ke dada. Bapak tertawa kecil melihat keseriusan Amir, lalu kembali bercerita, “Karena Bapak tidak bisa menjadi seorang pejuang seperti ayah Bapak, tidak bisa mengangkat senjata dan tidak cakap menjadi aparat, Bapak setidaknya menunjukkan kesetiaan Bapak kepada negara dengan cara yang berbeda. Bapak PNS, tapi tidak korupsi. Setelah pensiun pun, Bapak suka membacakan berita keras-keras di teras agar semua orang yang sibuk bisa mendengar dan tahu perkembangan negara ini. Bapak senang, setidaknya ada satu orang yang Bapak tahu mendengarkan dengan serius.”
Diam sejenak.
“Amir, Pak?”
Pria tua itu terbahak. Perut bundarnya bergoyang ketika beliau tertawa. Matanya menyipit nyaris hilang, dan tangannya mengacak-acak rambut Amir dengan bangga, menerbitkan senyum di bibir laki-laki kecil tersebut. Namun bukan hanya senyum yang berbuah. Sesuatu yang lain, ikut tumbuh, tumbuhnya di dalam dada Amir.
***
“Begini aman, bang?”
“Banyak tanya saja kau! Semua orang juga melakukannya, ya jelas aman!”
“Tapi bahaya kan, bang…”
“Bahaya, bahaya! Hah. Tahu apa kau soal bahaya?”
“Bahaya sama polisi lah, jelas, bang!”
Telinga Amir seakan berdiri. Tubuhnya menegak dan menjadi tegang begitu nama ‘polisi’ disebut. Tangannya yang tengah menggosok sebuah sepatu berhenti bergerak, seakan gerakan sekecil apapun akan menghalanginya dari mendengar lebih jelas. Tanpa menoleh, Amir menempelkan telinganya lebih dekat ke pintu yang setengah terbuka. Tubuhnya merapat ke rak sepatu yang menyembunyikannya dari pandangan.
“Ada uang, kan? Kasih uang sedikit, supaya diam…”
“Uang abang cukup untuk nyogok polisi?”
“Warnetku ini sudah cabang ketiga, tahu! Uangku cukup, lah…”
“Hati-hati bang, mencuri listrik negara itu perkara berat…”
“Kau ini, banyak khawatirnya!”
Wajah Amir memucat. Ia mengenali suara Mas Togik. Dan ia juga pernah membaca di koran Bapak, bahwa mencuri listrik negara adalah perbuatan melanggar hukum. Pembicaraan di balik pintu staff warnet ini rupanya hanya ia yang mendengar, karena ia duduk di depan pintu. Penyewa komputer lainnya nampak serius menatap layar, dan sebagian besar memasang headphone. Suara bising dari game juga menutupi pembicaraan serius ini dari banyak orang, kecuali Amir.
Pembicaraan di dalam masih berlanjut, tapi sudah beralih topik. Mas Togik dengan tinggi hati menandaskan bahwa sejauh ini ia selalu luput dengan sedikit sogokan. Amir perlahan-lahan meletakkan sikatnya di lantai. Takut-takut, ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan Bapak, kalau ia yang berada di posisi Amir. Beliau tidak akan tinggal diam, itu pasti. Beliau selalu menegaskan bahwa pelanggar hukum itu pengkhianat negara, dan kalau ayah Bapak saja meninggal karena melaporkan pelanggar hukum, Bapak tidak akan diam saja mendengar ada pencuri dan penyogok. Mungkin beliau juga berharap Amir akan melakukan hal yang sama dengan apa yang mungkin akan dilakukannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Amir kini berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. Dilihatnya Mas Togik dan seorang operator warnet terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Meski tangannya bergetar, Amir berusaha mengukuhkan suaranya hingga terdengar tegas. “Mas Togik! Itu nggak boleh!”
Mas Togik dan si operator terdiam, masih kaget barangkali. Amir memanfaatkan hal itu untuk kembali berteriak, “Mencuri dari negara itu berarti pengkhianatan, dan itu nggak boleh. Mas Togik bisa dipenjara!”
Teriakan Amir nampaknya berhasil memancing sedikit perhatian. Beberapa penyewa warnet nampak melirik dari balik komputer dan sebagian bahkan melepas headphone atau mengecilkan speaker. Melihat itu, wajah Mas Togik memerah karena marah, dengan kasar ditariknya Amir keluar dari warnet, diseretnya dengan gampang anak laki-laki kerempeng itu ke pintu belakang yang sepi. Disana, tangan besarnya mendorong Amir ke tembok dengan kasar. “NGOMONG APA KAU!?” bentaknya di depan muka Amir.
Amir terkesiap. Bentakan keras itu menulikan telinganya, dan nafas Mas Togik terasa membakar kulit wajahnya. Refleks, Amir membentengi kepalanya dengan tangan, namun Mas Togik ternyata mengincar perutnya. “Kau berani bilang-bilang, kuhajar kau!” sebuah tinju bersarang di perut Amir. Jeritan kesakitan tertahan di leher anak laki-laki itu.
“Jangan! Ampunin Amir, Mas To—” Satu lagi tinju menghajarnya hingga tersungkur.
“Anak ingusan berani mengancamku soal penjara, heh. Cuma tukang semir saja, dikiranya dia tahu soal hukum!” Pria bertubuh besar itu kini menyarangkan tendangannya, Amir menjerit kesakitan. Tapi di dalam warnet, sang operator meninggikan volume musik di speaker sehingga tak ada yang mendengarnya.
***
“Ketika orang barat menegakkan keadilan, dia dipuji-puji, tapi ketika orang muslim yang menegakkan keadilan, dia dieksekusi!”
“Ketika seorang Yahudi menumbuhkan jenggot, dia dianggap mempraktikkan agamanya, tapi ketika seorang muslim menumbuhkan jenggot seperti sunah rasul, dia disebut teroris!”
“Ketika orang berkuasa korupsi, dia diberi sel bintang lima, tapi ketika orang kecil mencuri ayam, dia dibakar hidup-hidup!”
“Hukum di dunia ini lemah. Stereotype masih berkuasa. Aparat bisa disuap. Media bisa dibeli. Negara ini lebih-lebih buruk lagi. Hidup jujur semakin ditantang. Tapi bagaimanapun juga, Bapak cinta negara ini. Bapak memerangi pengkhianat hukum. Hukum tidak sempurna, karena manusia juga tidak sempurna. Jadilah pintar, jadilah manusia sempurna, agar hukum bisa ditegakkan!”
***
Jadi pintar…
“Bapak… dimana, Bu?”
Wanita tua itu menangis. Menumpahkan air matanya ke atas ujung jilbabnya yang ditarik menutupi muka. Isakannya mendominasi ruangan, dimana semua orang seakan membisu tak ada yang berani bersuara. Seorang wanita berjilbab lainnya mendekat dan memeluk istri Bapak, memandang Amir yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan sedih.
“Bapak… di rumah sakit.” Ungkap wanita itu dengan mata yang sembab dan memerah. Ucapannya seakan menampar Amir, menambahkan luka ke atas wajah dan tubuhnya yang sudah lebam dan babak belur. Tangan Amir yang tengah menggenggam erat kotak semirnya bergetar, mengucurkan darah segar dari luka yang terbuka.
“B-bapak sakit apa?”
Isakan istri Bapak semakin keras. Kali ini bahkan wanita yang memeluknya tak berani bersuara, namun ikut menunduk bersama wajah-wajah lainnya di dalam ruangan. Seorang pria muda bangkit dan membimbing Amir ke teras, ia duduk di kursi dimana Bapak biasa duduk membacakan koran, menatap Amir dengan serius.
“Nama kamu siapa?” Tanyanya dengan suara serak yang jelas habis menangis, namun terdengar tabah.
“Amir.”
“Jadi kamu yang sering diceritakan ayah saya.”
“Mas anaknya Bapak?”
Pria muda itu mengangguk. Wajahnya menunjukkan kesedihan ketika ia kembali bicara, “Bapak sudah meninggal, Amir…”
“…”
“Anak bungsu ayah yang tinggal di kota lain masuk koran. Adik saya itu terjebak kasus korupsi di kantornya. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan jasa joki napi. Ayah saya yang tadinya mengunjungi ke penjara karena tidak percaya anaknya bersalah, terkejut setengah mati melihat yang meringkuk di penjara bukanlah anaknya.”
Suara pria itu terdengar terluka.
Tapi Amir juga terluka.
“Ayah kena serangan jantung, sudah dibawa ke rumah sakit, tapi—”
“…”
“Ayah saya sering cerita soal kamu. Makanya saya beritahu kamu.”
“B-bapak bilang koruptor itu orang jahat. Kenapa anak Bapak jadi koruptor…?”
Pria itu tersenyum lemah. Ada kesedihan dan kemarahan di matanya, tapi penguasaan akan emosi ditunjukkannya dengan sangat baik. Tangan pria itu membelai rambut Amir dan ia menggeleng, “Amir masih terlalu kecil untuk mengerti.”
Tapi Bapak tidak akan berkata demikian. Kalau ada Bapak disini, beliau akan menjelaskannya kepada Amir, agar Amir mengerti dan ‘jadi pintar’. Beliau akan berapi-api menandaskan bahwa hal itu tidak benar, dan siapapun pelakunya harus ditindak sesuai hukum. Bapak tidak pernah menyetujui pengkhianat hukum, tapi…
“…Kalau anak Bapak yang berkhianat, kenapa Bapak yang harus pergi?”
Tangis meleleh dari mata Amir, menuruni pipinya dan jatuh ke lantai. Segala luka di tubuhnya terlupakan, dan rasa sakit di dadanya mengalahkan sakit di kulitnya. Suaranya serak ketika bertanya, dan ia tahu pertanyaannya takkan pernah terjawab.
Mulai besok, dia tidak akan datang ke rumah itu lagi setiap pagi.
Mulai besok, suara Bapak tidak akan lagi mengawali pagi di kampung ini. Tidak ada lagi berita-berita dari Bapak. Tidak ada.
Pengkhianat hukum yang membawa pergi nyawa ayah Bapak, dan sekarang… Bapak juga sama. * (FIN)
Salahku Sahabatku
Oleh: Ninda Syahfi (@nindasyahfi)
Janissa, begitu banyak orang mengenal kami. Memanggil kami yang tidak pernah berpisah. Selalu berdua, selalu seirama. Terlihat kompak, menyatu, tapi sebenarnya tidak. Ada yang kopong di sini. Aku Janis, dan Nissa adalah sahabatku. Hanya karena aku dan ia bertetangga semenjak kami lahir, jadilah aku bayangannya. Nissa menjadi yang pertama, dan aku yang kedua. Nissa berdiri sendiri, sedangkan aku ditopang, oleh namanya.
“Janis? Oh Janisnya Nissa?”
Atau,
“Oh Nissa..”
Aku muak.
Otak dan otot. Aku adalah ide, dan Nissa adalah mesin. Mesin yang aku rancang mendekati sempurna. Aku jalankan dengan hati-hati. Bagiku itu prestasi. Prestasi yang menjadi hak milik Nissa. Hobiku mengalah. Tidak ingin tenagaku habis percuma merebut yang tidak berharga. Aku percaya, suatu hari aku punya kesempatan menjadi Nissa, di posisinya.
Aku bahagia mengetahui Nissa akan menikah. Is akan punya kehidupan baru. Tidak ada lagi memanfaatkan dan dimanfaatkan. Tapi, kehidupan Nissa yang sangat mulus berkatku, berakhir ketika aku dilamar tunangannya. Pria favorit kami sejak dulu, Agri. Pria empat tahun lebih tua dari kami. Manis, dan sejuk. Payah Nissa mencuri hatinya. Mungkin tidak, jika aku sedikit membantunya. Aku otak dan otot sekarang. Terbiasa menghasilkan ide ‘brilian’ membuatku mudah menghancurkan semua. Termasuk kebahagiaan Nissa, sahabatku. Cukup untuknya bahagia selama ini, karenaku. Aku juga ingin. Terbiasa berpikir sebelum bertindak, memberiku ilmu lebih dalam mendapatkan hati Agri. Anggap saja semudah jentikan jari. Agri berpaling padaku. Membatalkan semua. Membalaskan segala yang tidak baik pernah aku terima, dari Nissa. Maaf, aku tahu ini salahku, sahabatku.
Janissa, begitu banyak orang mengenal kami. Memanggil kami yang tidak pernah berpisah. Selalu berdua, selalu seirama. Terlihat kompak, menyatu, tapi sebenarnya tidak. Ada yang kopong di sini. Aku Janis, dan Nissa adalah sahabatku. Hanya karena aku dan ia bertetangga semenjak kami lahir, jadilah aku bayangannya. Nissa menjadi yang pertama, dan aku yang kedua. Nissa berdiri sendiri, sedangkan aku ditopang, oleh namanya.
“Janis? Oh Janisnya Nissa?”
Atau,
“Oh Nissa..”
Aku muak.
Otak dan otot. Aku adalah ide, dan Nissa adalah mesin. Mesin yang aku rancang mendekati sempurna. Aku jalankan dengan hati-hati. Bagiku itu prestasi. Prestasi yang menjadi hak milik Nissa. Hobiku mengalah. Tidak ingin tenagaku habis percuma merebut yang tidak berharga. Aku percaya, suatu hari aku punya kesempatan menjadi Nissa, di posisinya.
Aku bahagia mengetahui Nissa akan menikah. Is akan punya kehidupan baru. Tidak ada lagi memanfaatkan dan dimanfaatkan. Tapi, kehidupan Nissa yang sangat mulus berkatku, berakhir ketika aku dilamar tunangannya. Pria favorit kami sejak dulu, Agri. Pria empat tahun lebih tua dari kami. Manis, dan sejuk. Payah Nissa mencuri hatinya. Mungkin tidak, jika aku sedikit membantunya. Aku otak dan otot sekarang. Terbiasa menghasilkan ide ‘brilian’ membuatku mudah menghancurkan semua. Termasuk kebahagiaan Nissa, sahabatku. Cukup untuknya bahagia selama ini, karenaku. Aku juga ingin. Terbiasa berpikir sebelum bertindak, memberiku ilmu lebih dalam mendapatkan hati Agri. Anggap saja semudah jentikan jari. Agri berpaling padaku. Membatalkan semua. Membalaskan segala yang tidak baik pernah aku terima, dari Nissa. Maaf, aku tahu ini salahku, sahabatku.
Forfiven Not Forgotten
Oleh: @peri_hutan
zhuelhiez.posterous.com
Waktu kecil aku sangat dekat dengannya, seiring dengan beranjaknya usiaku kedekatan kami pun bertambah banyak, berkelipatan rasa sayang yang munyusul. Kata orang anak gadis akan lebih lengket dengan ayahnya, dan aku setuju.
Aku menginggatnya kembali, mulai dari awal dia menguncir rambutku waktu TK, mengajari aku membaca dan menulis, menenangkanku waktu aku terjatuh dari sepeda roda tiga, mendengar curahan hatiku ketika aku dinakali oleh teman sekelasku, sampai aku menceritakan kicah cintaku yang pertama. Dia bukan hanya sekedar sahabat, ya, dia Ayahku.
Dia masih seorang sosok yang paling aku banggakan, aku selalu menceritakan kehebatannya pada teman - temanku di sekolah. Bagaimana dia dengan sabarnya memahami Ibuku yang cerewet, menasehati aku dan kakakku jika betengkar, tentang karirnya yang sukses di kantor. Beliau juara!.
Sampai suatu pagi hari yang suram itu, aku mendengar dan melihat pertengkaran kedua orangtuaku yang pertama kali. Aku shock, baru kali ini selama 16 tahun aku mengalami pagi yang berbeda, aku merasakan kebahagiaanku tiba - tiba mulai menghilang.
"Kenapa kamu melakukan semua ini Pa? Apa salahku?" Aku mendengar Ibu berteriak marah sambil menahan tangis.
"20 tahun kita menikah dan aku mengira semua berjalan baik, lalu apa foto - foto ini?" Ayahku diam membisu, dia tidak menyanggah apa yang dilontarkan oleh Ibuku, aku tahu, foto itu benar adanya.
"Apa salahku Pa? Kurang apa Mama sama Papa? Dulu kita berjanji bukan untuk seperti ini, kita dulu berjanji untuk mencipkakan keluarga yang bahagia, karena kita saling mencintai."
"Dan sekarang Papa menciptakan keluarga yang lain, dan perempuan brengsek itu HAMIL ANAK PAPA!!!"
Aku masih tidak beranjak dari pintu kamarku, masih mengintip dan menguping pembicaraan mereka di dapur, tepat dibawah kamarku. Aku juga tau kalau Reno, kakakku juga melakukan hal yang sama sepertiku disebalah kamarku ini. Aku tidak percaya, orang yang paling aku banggakan dan paling aku cintai berbuat seperti ini pada keluarganya sendiri. Hatiku perih, sakit, sangat kecewa. Apa yang salah dengan kami? Apa yang telah kami perbuat sampai ayahku memberikan ganjaran semacam ini? Aku menagis dalam diam, mencoba menahan amarahku, benciku, menciptakan bendungan di kelopak mataku agar tidak ambrol. Sakit sekali rasanya.
Aku merasakan ada dorongan di pintu yang selama lima belas menit ini menjadi sandaranku, Reno, dia duduk di sebelahku bersender di belakang pintu dan tanpa berkata - kata merangkul bahuku, memelukku, memberikan dadanya untuk menjadi tempat pelampiasan ingus dan banjir air mataku. Terus seperti ini, menenangkanku. Aku tahu dia juga sangat kecewa apa yang telah dilakukan oleh ayah, kami sama - sama mengagumi dan membanggakannya tapi kita malah diberi award seperti ini.
"Aku ingin bercerai, anak - anak sama aku, dan aku harap Papa cepat - cepat meninggalkan rumah ini. Jangan pernah kembali lagi." Selepas mengumandangkan kata agung itu, Ibuku pergi ke kamar. Aku tahu, dia juga tidak kuat menahan amarah sekaligus tangis. Aku masih memeluk kakakku, sakitnya tidak mau hilang. Aku mendengar langkah kaki di tangga, langkah yang menyesal, mungkin. Sekarang dia ada di depan pintu yang menjadi sandaran kami, dia tahu kami bersama. Dia tidak mencoba mengetuk atau masuk, dia hanya menyandarkan dahinya di pintu, menghela napas, mencoba berbicara pada kami.
"Maaf, maafin Papa." Suaranya tertahan, apa lagi yang ingin kau torehkan di luka yang sudah menjadi infeksi ini? aku ingin memprotes, mencerca, bahkan aku ingin mengamuk dan bilang kalau percuma minta maaf, tapi kakakku memelukku dengan erat, mengisaratkan jangan menambah cuka ke dalam luka itu. Kami masih diam, aku tidak ingin pernah bicara dengan dia lagi.
"Sekali lagi Papa minta maaf, Papa sangat menyayangi kalian."
"Kau mendapatkan maaf dari kami, tapi kami tidak akan pernah melupakan apa yang telah kau perbuat pada keluargaku. Aku mohon, pergilah dan jangan pernah kembali lagi." Dengan lantang, kakakku melontarkan kalimat itu, masih memelukku dengan erat, menyembunyikan rasa marahnya. Dia menghembuskan napas, sadar usaha apa pun tidak akan merubah keadaan yang talah diciptakannya. Dia meninggalkan pintu kamarku, menuruni tangga, menutup pintu rumah kami. Pergi dari kehidupan kami.
Begini ya rasanya dikhianati oleh Ayahku sendiri, lebih kejam jika kau mendapat perlakuan jahanam dari Ibu Tirinya Cinderella.
zhuelhiez.posterous.com
Waktu kecil aku sangat dekat dengannya, seiring dengan beranjaknya usiaku kedekatan kami pun bertambah banyak, berkelipatan rasa sayang yang munyusul. Kata orang anak gadis akan lebih lengket dengan ayahnya, dan aku setuju.
Aku menginggatnya kembali, mulai dari awal dia menguncir rambutku waktu TK, mengajari aku membaca dan menulis, menenangkanku waktu aku terjatuh dari sepeda roda tiga, mendengar curahan hatiku ketika aku dinakali oleh teman sekelasku, sampai aku menceritakan kicah cintaku yang pertama. Dia bukan hanya sekedar sahabat, ya, dia Ayahku.
Dia masih seorang sosok yang paling aku banggakan, aku selalu menceritakan kehebatannya pada teman - temanku di sekolah. Bagaimana dia dengan sabarnya memahami Ibuku yang cerewet, menasehati aku dan kakakku jika betengkar, tentang karirnya yang sukses di kantor. Beliau juara!.
Sampai suatu pagi hari yang suram itu, aku mendengar dan melihat pertengkaran kedua orangtuaku yang pertama kali. Aku shock, baru kali ini selama 16 tahun aku mengalami pagi yang berbeda, aku merasakan kebahagiaanku tiba - tiba mulai menghilang.
"Kenapa kamu melakukan semua ini Pa? Apa salahku?" Aku mendengar Ibu berteriak marah sambil menahan tangis.
"20 tahun kita menikah dan aku mengira semua berjalan baik, lalu apa foto - foto ini?" Ayahku diam membisu, dia tidak menyanggah apa yang dilontarkan oleh Ibuku, aku tahu, foto itu benar adanya.
"Apa salahku Pa? Kurang apa Mama sama Papa? Dulu kita berjanji bukan untuk seperti ini, kita dulu berjanji untuk mencipkakan keluarga yang bahagia, karena kita saling mencintai."
"Dan sekarang Papa menciptakan keluarga yang lain, dan perempuan brengsek itu HAMIL ANAK PAPA!!!"
Aku masih tidak beranjak dari pintu kamarku, masih mengintip dan menguping pembicaraan mereka di dapur, tepat dibawah kamarku. Aku juga tau kalau Reno, kakakku juga melakukan hal yang sama sepertiku disebalah kamarku ini. Aku tidak percaya, orang yang paling aku banggakan dan paling aku cintai berbuat seperti ini pada keluarganya sendiri. Hatiku perih, sakit, sangat kecewa. Apa yang salah dengan kami? Apa yang telah kami perbuat sampai ayahku memberikan ganjaran semacam ini? Aku menagis dalam diam, mencoba menahan amarahku, benciku, menciptakan bendungan di kelopak mataku agar tidak ambrol. Sakit sekali rasanya.
Aku merasakan ada dorongan di pintu yang selama lima belas menit ini menjadi sandaranku, Reno, dia duduk di sebelahku bersender di belakang pintu dan tanpa berkata - kata merangkul bahuku, memelukku, memberikan dadanya untuk menjadi tempat pelampiasan ingus dan banjir air mataku. Terus seperti ini, menenangkanku. Aku tahu dia juga sangat kecewa apa yang telah dilakukan oleh ayah, kami sama - sama mengagumi dan membanggakannya tapi kita malah diberi award seperti ini.
"Aku ingin bercerai, anak - anak sama aku, dan aku harap Papa cepat - cepat meninggalkan rumah ini. Jangan pernah kembali lagi." Selepas mengumandangkan kata agung itu, Ibuku pergi ke kamar. Aku tahu, dia juga tidak kuat menahan amarah sekaligus tangis. Aku masih memeluk kakakku, sakitnya tidak mau hilang. Aku mendengar langkah kaki di tangga, langkah yang menyesal, mungkin. Sekarang dia ada di depan pintu yang menjadi sandaran kami, dia tahu kami bersama. Dia tidak mencoba mengetuk atau masuk, dia hanya menyandarkan dahinya di pintu, menghela napas, mencoba berbicara pada kami.
"Maaf, maafin Papa." Suaranya tertahan, apa lagi yang ingin kau torehkan di luka yang sudah menjadi infeksi ini? aku ingin memprotes, mencerca, bahkan aku ingin mengamuk dan bilang kalau percuma minta maaf, tapi kakakku memelukku dengan erat, mengisaratkan jangan menambah cuka ke dalam luka itu. Kami masih diam, aku tidak ingin pernah bicara dengan dia lagi.
"Sekali lagi Papa minta maaf, Papa sangat menyayangi kalian."
"Kau mendapatkan maaf dari kami, tapi kami tidak akan pernah melupakan apa yang telah kau perbuat pada keluargaku. Aku mohon, pergilah dan jangan pernah kembali lagi." Dengan lantang, kakakku melontarkan kalimat itu, masih memelukku dengan erat, menyembunyikan rasa marahnya. Dia menghembuskan napas, sadar usaha apa pun tidak akan merubah keadaan yang talah diciptakannya. Dia meninggalkan pintu kamarku, menuruni tangga, menutup pintu rumah kami. Pergi dari kehidupan kami.
Begini ya rasanya dikhianati oleh Ayahku sendiri, lebih kejam jika kau mendapat perlakuan jahanam dari Ibu Tirinya Cinderella.
Ya
Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)
“Maaf,” kau berkata, tampak sangat menyesal dengan perbuatan keji yang telah kau lakukan. Aku bisa melihat dari kekelaman matamu, dan betapa dirimu hanya sanggup mengucapkan sepatah kata bermakna dalam setelah terdiam selama beberapa menit.
Aku menoleh, memalingkan wajah untuk melihat ke arah ibuku. Untuk terakhir kalinya.
Jenazah kaku beliau tergeletak tanpa nyawa di atas lantai keramik yang dingin. Pakaiannya yang kini ternoda bercak-bercak merah, yang dulunya melambai bersama angin ketika dikenakan, kini tampak seperti pakaian boneka yang tidak bernyawa.
Aku kecewa.
Aku merasa marah.
Ayah, mengapa kau mengkhianati ibu?
Masih sedikit terisak, aku menyeka gumpalan-gumpalan air yang meluncur dari mataku. Aku masih terduduk di meja ruang makan, sementara beberapa orang yang sudah kupanggil sebelumnya bergegas memasukkan cangkang duniawi ibu ke mobil jenazah. Sungguh sakit hatiku melihatnya, betapa seorang yang lembutnya mampu membuatku merasa aman, dan nyanyian pengantar tidurnya yang dulu selalu kunantikan setiap malam.
Aku menatap ke dalam mata ayahku, yang kini tertunduk ke bawah. Dia menatap ke arah meja makan, yang seolah memiliki sesuatu yang sangat menarik sehingga dia tidak bisa melepaskan pandangannya. Padahal, aku tahu dia hanya menghindari tatapan diriku.
“Ayah,” gumamku. Aku tidak sanggup mengucapkan lebih dari itu. Sama sepertinya, aku telah kehilangan kekuatan untuk merangkai kata-kata. Betapapun aku menyebut diriku sendiri penulis, pembicara, dan ahli bahasa. Betapa diriku sudah tumbuh dan dididik dengan intensif untuk dapat menguntai kalimat-kalimat indah dan berbobot dalam jenjang kuliah.
Aku kehilangan kemampuanku.
Kini, aku bagaikan seorang bayi yang hanya mengetahui beberapa kosa kata, tak sanggup untuk merangkainya, ataupun memahami artinya.
“Maaf,” katanya lagi. Aku bisa melihat jelas bahwa apa yang dia lakukan selama ini memang benar disesalinya. Hanya dengan sekilas pandang sebetulnya aku sudah tahu bahwa ayahku adalah orang yang pertama menangisi kepergian ibu.
Aku memandang foto itu; selembar kertas yang merusak hubungan harmonis keluarga kami. Selembar kertas bergambar yang membuat ibuku merasa begitu dikhianati, sehingga sampai-sampai dia tak tahan lagi dan memutuskan untuk berpulang saja ke tangan Yang Esa.
Tapi aku tahu.
Aku tahu ayah tidak benar-benar bersama perempuan di foto itu.
Kalaupun memang sebenarnya begitu, aku tidak perduli.
Ayah masih kembali ke rumah ini, setelah aku mengabarkan kepergian ibu.
Itu sudah jauh lebih dari cukup.
Aku menggenggam tangannya, merasakan keputusasaan dan penyesalan yang begitu mendalam melebur seiring dengan bersentuhannya jemari kami. Tak butuh waktu lama untuk air mataku kembali meleleh.
Aku sedih karena kematian ibu, apalagi karena disebabkan oleh selembar foto.
Aku sedih melihat sosok ayahku yang biasanya tegar menghadapi kehidupan, kini terduduk tanpa jiwa, seolah telah kehilangan cahaya yang dibutuhkannya dalam kehidupan.
Namun, aku tahu bahwa ayah tidak akan pernah mengulangi kesalahannya.
“Ayah…” gumamku sekali lagi.
Kali ini dia menatapku.
Aku menganggukan kepalaku, mencoba mencurahkan sedikit kedamaian meski mulutku tak kunjung bisa mengucapkan lebih dari sepatah kata setiap kalinya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sama sekali tidak menyalahkannya. Bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan, karena dia tidak salah.
“Tidak,” kata dirinya, menggelengkan kepala untuk mempertegas apa maksudnya.
Dia masih merasa bersalah.
Dan dia berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk menerima maafku.
Meskipun, jauh di lubuk hatinya, aku yakin dia terus berteriak, bertanya kepada dunia apakah dirinya masih boleh dimaafkan.
Aku tidak sanggup membalasnya dengan untaian kalimat lain. Aku tidak sanggup memikirkan satu-dua buah kalimat yang mampu mengembalikan cahaya ke dalam kedua bola matanya yang tampak begitu gelap.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Tersenyum, sambil menangis. Aku mengucapkan sebuah kata.
“Ya,”
Dia menatapku dengan heran. Tampak tidak bisa mengerti apa yang kubicarakan.
“Ayah,” gumamku. Aku menunjuk ke arah kedua tangannya yang terkepal di atas meja. Lalu kembali aku menggumamkan, “Ya,”
Dia tampak sedikit merenggut saat mengucapkan “Tidak,” yang berikutnya.
Namun, dengan sabar aku membuka kepalan tangannya. Bagaikan mencoba membuka kelopak bunga sebelum waktunya mekar, aku mengupasnya satu demi satu, memperhatikan dengan detil intensitas perlawanan yang dilakukannya saat aku mencoba melemaskan ujung-ujung jemarinya yang dingin.
“Ya,” aku berkata. Sungguh aneh bahwa kami menggunakan kata ‘Ya’ dan ‘Tidak’ untuk berkomunikasi. Namun aku yakin dia tahu apa yang kumaksud, dan aku juga mengerti apa yang terkandung di dalam sebuah kata yang diucapkannya tersebut.
“Ayah,” gumamku sekali lagi. “Ya,”
Dia tersenyum, dan akhirnya jemarinya terbuka.
Pengkhianatan dalam bisu yang dilakukannya melebur bersama dengan percakapan kami; percakapan dengan sepatah kata, percakapan hanya dengan kata ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Maaf’, dan ‘Ayah’.
Ya, ayah…Aku memaafkanmu…
“Maaf,” kau berkata, tampak sangat menyesal dengan perbuatan keji yang telah kau lakukan. Aku bisa melihat dari kekelaman matamu, dan betapa dirimu hanya sanggup mengucapkan sepatah kata bermakna dalam setelah terdiam selama beberapa menit.
Aku menoleh, memalingkan wajah untuk melihat ke arah ibuku. Untuk terakhir kalinya.
Jenazah kaku beliau tergeletak tanpa nyawa di atas lantai keramik yang dingin. Pakaiannya yang kini ternoda bercak-bercak merah, yang dulunya melambai bersama angin ketika dikenakan, kini tampak seperti pakaian boneka yang tidak bernyawa.
Aku kecewa.
Aku merasa marah.
Ayah, mengapa kau mengkhianati ibu?
Masih sedikit terisak, aku menyeka gumpalan-gumpalan air yang meluncur dari mataku. Aku masih terduduk di meja ruang makan, sementara beberapa orang yang sudah kupanggil sebelumnya bergegas memasukkan cangkang duniawi ibu ke mobil jenazah. Sungguh sakit hatiku melihatnya, betapa seorang yang lembutnya mampu membuatku merasa aman, dan nyanyian pengantar tidurnya yang dulu selalu kunantikan setiap malam.
Aku menatap ke dalam mata ayahku, yang kini tertunduk ke bawah. Dia menatap ke arah meja makan, yang seolah memiliki sesuatu yang sangat menarik sehingga dia tidak bisa melepaskan pandangannya. Padahal, aku tahu dia hanya menghindari tatapan diriku.
“Ayah,” gumamku. Aku tidak sanggup mengucapkan lebih dari itu. Sama sepertinya, aku telah kehilangan kekuatan untuk merangkai kata-kata. Betapapun aku menyebut diriku sendiri penulis, pembicara, dan ahli bahasa. Betapa diriku sudah tumbuh dan dididik dengan intensif untuk dapat menguntai kalimat-kalimat indah dan berbobot dalam jenjang kuliah.
Aku kehilangan kemampuanku.
Kini, aku bagaikan seorang bayi yang hanya mengetahui beberapa kosa kata, tak sanggup untuk merangkainya, ataupun memahami artinya.
“Maaf,” katanya lagi. Aku bisa melihat jelas bahwa apa yang dia lakukan selama ini memang benar disesalinya. Hanya dengan sekilas pandang sebetulnya aku sudah tahu bahwa ayahku adalah orang yang pertama menangisi kepergian ibu.
Aku memandang foto itu; selembar kertas yang merusak hubungan harmonis keluarga kami. Selembar kertas bergambar yang membuat ibuku merasa begitu dikhianati, sehingga sampai-sampai dia tak tahan lagi dan memutuskan untuk berpulang saja ke tangan Yang Esa.
Tapi aku tahu.
Aku tahu ayah tidak benar-benar bersama perempuan di foto itu.
Kalaupun memang sebenarnya begitu, aku tidak perduli.
Ayah masih kembali ke rumah ini, setelah aku mengabarkan kepergian ibu.
Itu sudah jauh lebih dari cukup.
Aku menggenggam tangannya, merasakan keputusasaan dan penyesalan yang begitu mendalam melebur seiring dengan bersentuhannya jemari kami. Tak butuh waktu lama untuk air mataku kembali meleleh.
Aku sedih karena kematian ibu, apalagi karena disebabkan oleh selembar foto.
Aku sedih melihat sosok ayahku yang biasanya tegar menghadapi kehidupan, kini terduduk tanpa jiwa, seolah telah kehilangan cahaya yang dibutuhkannya dalam kehidupan.
Namun, aku tahu bahwa ayah tidak akan pernah mengulangi kesalahannya.
“Ayah…” gumamku sekali lagi.
Kali ini dia menatapku.
Aku menganggukan kepalaku, mencoba mencurahkan sedikit kedamaian meski mulutku tak kunjung bisa mengucapkan lebih dari sepatah kata setiap kalinya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sama sekali tidak menyalahkannya. Bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan, karena dia tidak salah.
“Tidak,” kata dirinya, menggelengkan kepala untuk mempertegas apa maksudnya.
Dia masih merasa bersalah.
Dan dia berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk menerima maafku.
Meskipun, jauh di lubuk hatinya, aku yakin dia terus berteriak, bertanya kepada dunia apakah dirinya masih boleh dimaafkan.
Aku tidak sanggup membalasnya dengan untaian kalimat lain. Aku tidak sanggup memikirkan satu-dua buah kalimat yang mampu mengembalikan cahaya ke dalam kedua bola matanya yang tampak begitu gelap.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Tersenyum, sambil menangis. Aku mengucapkan sebuah kata.
“Ya,”
Dia menatapku dengan heran. Tampak tidak bisa mengerti apa yang kubicarakan.
“Ayah,” gumamku. Aku menunjuk ke arah kedua tangannya yang terkepal di atas meja. Lalu kembali aku menggumamkan, “Ya,”
Dia tampak sedikit merenggut saat mengucapkan “Tidak,” yang berikutnya.
Namun, dengan sabar aku membuka kepalan tangannya. Bagaikan mencoba membuka kelopak bunga sebelum waktunya mekar, aku mengupasnya satu demi satu, memperhatikan dengan detil intensitas perlawanan yang dilakukannya saat aku mencoba melemaskan ujung-ujung jemarinya yang dingin.
“Ya,” aku berkata. Sungguh aneh bahwa kami menggunakan kata ‘Ya’ dan ‘Tidak’ untuk berkomunikasi. Namun aku yakin dia tahu apa yang kumaksud, dan aku juga mengerti apa yang terkandung di dalam sebuah kata yang diucapkannya tersebut.
“Ayah,” gumamku sekali lagi. “Ya,”
Dia tersenyum, dan akhirnya jemarinya terbuka.
Pengkhianatan dalam bisu yang dilakukannya melebur bersama dengan percakapan kami; percakapan dengan sepatah kata, percakapan hanya dengan kata ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Maaf’, dan ‘Ayah’.
Ya, ayah…Aku memaafkanmu…
Akhir yang (tidak) Sempurna
Oleh: @geeshaa
Kamukayakuya.tumblr.com
Tiba-tiba suasana jadi tegang, padahal baru 30 menit yang lalu kami berhasil merampok bank bersama. Dengan ceria, dengan canda tawa atas keberhasilan kami. Ya, kami adalah tiga partner in crime yang baru saja melakukan sesuatu bersama. Dan crime di sini dapat diartikan secara harfiah. Masalahnya, tiba-tiba saja James yang berada di antara aku dan Liam, kini mengarahkan pistolnya ke kepala Liam sambil tersenyum bengis.
“Apa-apaan kau? Sudah sinting ya?!” Liam terlihat begitu emosi saat menyadari pistol itu sudah menyentuh pelipis kirinya. ”KITA SATU TIM!” James malah tertawa histeris seperti orang gila.
“James, kau—tidak serius kan? Ayolah, kau pasti sedang bermain-main kan?” aku berusaha menenangkan suasana. James pasti bercanda. Pasti. Tidak ada dalam rencana kami bahwa akan ada acara menempelkan-pistol-di-kepala-teman. James mendelik ke arahku. Tatapannya begitu jahat dan culas.
“Tidak, aku tidak sedang bercanda, apalagi bermain-main, kawan.” Ia akhirnya buka mulut. “Akhirnya kita sampai di titik ini, ya. Aku sangat berterima kasih.” James menunjukkan sekantung besar kain yang isinya tentu saja uang—uang yang banyak, hasil rampokan kami.
Sejak tadi Liam tidak bergeming, ia terlihat sangat tegang karena ia menyadari satu kesalahan saja akan berakibat fatal: James bisa kapan saja menarik pelatuk pistol itu. “Jangan bilang kalau kau…”
“Ya! Kau benar, uang ini akan menjadi milikku seorang, dan kalian berdua..” James tertawa lebih keras lagi, “..terima kasih karena telah memuluskan semua jalanku. Kau, Ron, terima kasih atas rencana detil yang begitu mulus. Sedangkan kau, Liam,” James kini tersenyum gila ke arah kawanku yang malang itu, “Terima kasih atas penyamaran sebagai sandera yang luar biasa, tapi sayangnya kau memang menjadi sanderaku sekarang.”
Sial, sepertinya James memang benar-benar serius ingin menghabisi Liam—dan aku selanjutnya! Cih! Andai saja saat ini aku memegang senjata, pasti dia sudah kusingkirkan duluan. Liam tiba-tiba bergerak dengan maksud menyerang James, tapi sia-sia, ia malah benar-benar tertembak oleh pengkhianat yang satu itu. Kini ia tergeletak tak berdaya di tanah. Aku menganga. Lidahku kelu, dan lututku terasa kaku.
Dari kejauhan, aku bisa mendengar sayup-sayup suara sirene mobil polisi mulai mendekat. James menatapku dengan tatapan kosong seperti seorang psikopat. “Sekarang giliranmu.” Ujarnya dengan tenang. Ia menarik sekali lagi pelatuk pistolnya dan bersiap menembakku. “Sampai jumpa di neraka, kawan.
Ayo, Ronald! Berpikir! Masa kau mau nyawamu hilang di tangan bajingan ini?
Aku melihat ke sekilingku sambil berjalan mundur, karena James semakin mendekat ke arahku dengan tampang jahatnya. Astaga, aku harus menemukan sesuatu untuk menghentikannya, atau setidaknya, mengulur waktu supaya aku bisa kabur!
Tiba-tiba aku teringat kalau ada banyak uang receh di saku jaketku. Receh yang terbuat dari logam. Aku segera merogohnya—kalau aku meninjunya sambil menggenggam recehan itu, maka pukulanku akan semakin kuat—seperti hukum impuls-momentum—dan mungkin bisa membuatnya pusing sebentar.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari jauh. Perhatian James sedikit teralihkan dan aku hanya punya waktu sepersepuluh detik untuk menghajarnya.. berhasil!
James terhuyung dan aku berlari secepat mungkin dari tempatku tadi. Aku tidak tahu akan lari kemana, yang penting menghilang dari hadapan James dulu. Aku tidak peduli kalau nantiaku tertangkap polisi, toh aku tidak membawa barang bukti apapun—pokoknya kabur dari James dulu.
Kini aku berjarak sekitar 50 meter dari James yang ternyata sudah mulai berlari mengejarku. Dengan napas tersengal-sengal, aku menambah kecepatanku, karena James ternyata larinya sangat cepat dan aku nyaris terkejar. Aku berlari lagi.
Ayo, kaki, berlarilah semakin kencang!
Aku berlari terus, dengan diiringi rasa panik mengetahui James sudah ada di belakangku. Ia menembak dengan membabi buta, namun sayangnya meleset.
Sedikit lagi, Ron! Ayo berlari! Jangan sampai pengkhianat ini menghabisimu!
Ayo jangan sampai—ah, sial. Aku terjatuh.
Habislah nyawaku kalau begini ceritanya…
“CUT!” seseorang berteriak kesal dari jauh. “Astaga, Edward! Semua berjalan sempurna sekali. Kenapa, sih, kamu harus terpeleset di scene akhir?” aku terbangun sambil menyeringai, bajuku kini kotor sekali terkena tanah. Ternyata sang sutradara sama sekali tidak bisa tersenyum. “Ayo kita ulangi lagi, dari bagian Ronald menghajar James dengan uang receh di tangannya!”
***
Kamukayakuya.tumblr.com
Tiba-tiba suasana jadi tegang, padahal baru 30 menit yang lalu kami berhasil merampok bank bersama. Dengan ceria, dengan canda tawa atas keberhasilan kami. Ya, kami adalah tiga partner in crime yang baru saja melakukan sesuatu bersama. Dan crime di sini dapat diartikan secara harfiah. Masalahnya, tiba-tiba saja James yang berada di antara aku dan Liam, kini mengarahkan pistolnya ke kepala Liam sambil tersenyum bengis.
“Apa-apaan kau? Sudah sinting ya?!” Liam terlihat begitu emosi saat menyadari pistol itu sudah menyentuh pelipis kirinya. ”KITA SATU TIM!” James malah tertawa histeris seperti orang gila.
“James, kau—tidak serius kan? Ayolah, kau pasti sedang bermain-main kan?” aku berusaha menenangkan suasana. James pasti bercanda. Pasti. Tidak ada dalam rencana kami bahwa akan ada acara menempelkan-pistol-di-kepala-teman. James mendelik ke arahku. Tatapannya begitu jahat dan culas.
“Tidak, aku tidak sedang bercanda, apalagi bermain-main, kawan.” Ia akhirnya buka mulut. “Akhirnya kita sampai di titik ini, ya. Aku sangat berterima kasih.” James menunjukkan sekantung besar kain yang isinya tentu saja uang—uang yang banyak, hasil rampokan kami.
Sejak tadi Liam tidak bergeming, ia terlihat sangat tegang karena ia menyadari satu kesalahan saja akan berakibat fatal: James bisa kapan saja menarik pelatuk pistol itu. “Jangan bilang kalau kau…”
“Ya! Kau benar, uang ini akan menjadi milikku seorang, dan kalian berdua..” James tertawa lebih keras lagi, “..terima kasih karena telah memuluskan semua jalanku. Kau, Ron, terima kasih atas rencana detil yang begitu mulus. Sedangkan kau, Liam,” James kini tersenyum gila ke arah kawanku yang malang itu, “Terima kasih atas penyamaran sebagai sandera yang luar biasa, tapi sayangnya kau memang menjadi sanderaku sekarang.”
Sial, sepertinya James memang benar-benar serius ingin menghabisi Liam—dan aku selanjutnya! Cih! Andai saja saat ini aku memegang senjata, pasti dia sudah kusingkirkan duluan. Liam tiba-tiba bergerak dengan maksud menyerang James, tapi sia-sia, ia malah benar-benar tertembak oleh pengkhianat yang satu itu. Kini ia tergeletak tak berdaya di tanah. Aku menganga. Lidahku kelu, dan lututku terasa kaku.
Dari kejauhan, aku bisa mendengar sayup-sayup suara sirene mobil polisi mulai mendekat. James menatapku dengan tatapan kosong seperti seorang psikopat. “Sekarang giliranmu.” Ujarnya dengan tenang. Ia menarik sekali lagi pelatuk pistolnya dan bersiap menembakku. “Sampai jumpa di neraka, kawan.
Ayo, Ronald! Berpikir! Masa kau mau nyawamu hilang di tangan bajingan ini?
Aku melihat ke sekilingku sambil berjalan mundur, karena James semakin mendekat ke arahku dengan tampang jahatnya. Astaga, aku harus menemukan sesuatu untuk menghentikannya, atau setidaknya, mengulur waktu supaya aku bisa kabur!
Tiba-tiba aku teringat kalau ada banyak uang receh di saku jaketku. Receh yang terbuat dari logam. Aku segera merogohnya—kalau aku meninjunya sambil menggenggam recehan itu, maka pukulanku akan semakin kuat—seperti hukum impuls-momentum—dan mungkin bisa membuatnya pusing sebentar.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari jauh. Perhatian James sedikit teralihkan dan aku hanya punya waktu sepersepuluh detik untuk menghajarnya.. berhasil!
James terhuyung dan aku berlari secepat mungkin dari tempatku tadi. Aku tidak tahu akan lari kemana, yang penting menghilang dari hadapan James dulu. Aku tidak peduli kalau nantiaku tertangkap polisi, toh aku tidak membawa barang bukti apapun—pokoknya kabur dari James dulu.
Kini aku berjarak sekitar 50 meter dari James yang ternyata sudah mulai berlari mengejarku. Dengan napas tersengal-sengal, aku menambah kecepatanku, karena James ternyata larinya sangat cepat dan aku nyaris terkejar. Aku berlari lagi.
Ayo, kaki, berlarilah semakin kencang!
Aku berlari terus, dengan diiringi rasa panik mengetahui James sudah ada di belakangku. Ia menembak dengan membabi buta, namun sayangnya meleset.
Sedikit lagi, Ron! Ayo berlari! Jangan sampai pengkhianat ini menghabisimu!
Ayo jangan sampai—ah, sial. Aku terjatuh.
Habislah nyawaku kalau begini ceritanya…
“CUT!” seseorang berteriak kesal dari jauh. “Astaga, Edward! Semua berjalan sempurna sekali. Kenapa, sih, kamu harus terpeleset di scene akhir?” aku terbangun sambil menyeringai, bajuku kini kotor sekali terkena tanah. Ternyata sang sutradara sama sekali tidak bisa tersenyum. “Ayo kita ulangi lagi, dari bagian Ronald menghajar James dengan uang receh di tangannya!”
***
Orang Yang Didatangi Kata
Oleh: T. S Frima
Saya pernah mengenalnya. Maaf kalau membuat kamu penasaran dengan tidak menyebutkan namanya. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak bisa. Mungkin namanya Aro, atau Vari, atau Ra. Atau siapa saja lah, saya sungguh tak bisa lagi mengingat.
Dia orang yang tak mencolok, serba umum dan biasa saja. Tidak ada pencapaian istimewa yang pernah dibuatnya, tidak pula ada ciri tertentu yang terkhusus dan menjadikannya berbeda dari orang kebanyakan. Dia betul-betul cuma seorang lagi manusia biasa diantara berjuta manusia di negara ini. Namun begitu, ada sesuatu tentangnya yang teramat kuat terlekat dalam ingatan.
Setelah kenal sekian waktu, baru saya sadari. Kalau kebetulan bertemu di sekitaran sekolah atau di sekitaran rumahnya, selalu saya lihat dia sedang menulisi buku catatannya. Awalnya saya pikir dia seorang pelajar yang giat. Tapi dalam sebuah kesempatan, dia bilang, dia bukan tipikal anak baik yang rajin belajar dan tekun mencatat. Dia akui, yang dia tuliskan pada bukunya itu hanyalah kata-kata acak. Bukan pelajaran atau tugas, bukan fiksi atau catatan pengalaman pribadi; melainkan hanya kata-kata acak yang, seperti dia bilang, mendatanginya untuk minta dituliskan.
Sulit bagi saya untuk menerima pernyataan itu. Bagaimana mungkin kata-kata mendatangi seseorang, dan meminta dituliskan? Bukankah justru kata-kata adalah produk yang dihasilkan pikiran manusia? Tapi dia bersiteguh menyatakan bahwa Kata sesungguhnya adalah makhluk hidup juga yang punya kesadaran. Mereka bisa berpergian melalui udara, kemana suka atas kehendak mereka sendiri. Mereka bisa memilih untuk mendatangi atau meninggalakan seseorang.
“Bukankah kita semua pernah mengalami tiba-tiba kehilangan kata saat harus menulis essay, atau seseorang yang jarang bicara tiba-tiba bisa beridato dengan bagusnya?”, tanya dia retoris.
Karena seringnya saya dapati dia menulis kata-kata acak begitu, suatu kali saya bertanya: “Seberapa sering mereka mendatangimu?”
Dia jabarkan bahwa kata-kata itu banyak sekali jumlahnya, bahkan nyaris tak terbatas. Maka jumlah kata yang mendatanginya pun amat sangat banyak sekali, sampai tak terhitung. Kemudian tergantung perasaan dia saja, kapankah ingin menuliskannya. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia tidur, menyusup ke dalam mimpi. Maka subuh-subuh dia terbangun langsung meraih pena dan buku. Ada kalanya kata-kata itu datang setelah dia shalat, bercampur dalam doa. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia di kelas. Maka jangan heran bila papan tulis tiba-tiba penuh tulisan selepas jam istirahat.
***
Tentu saja sebagai teman, saya tidak ingin berpikir dia mungkin gila. Tidak, seingat saya, saya tak pernah sampai berpikir dia gila. Walau begitu pada kesempatan lain, saya coba-coba lagi mempertanyakan kebiasaannya menulis sembarangan itu, ingin tau saja apakah dia masih akan konsisten pada omongannya soal kata-kata yang bisa hidup.
“Jadi, bagaimana ceritanya kata-kata itu sampai mendatangimu?” tanya saya dengan nada sewajar mungkin.
Dengan tenang dia menjawab: “Mereka adalah kata-kata yang terluka, kecewa, dan bersedih. Mereka kata-kata yang semena-mena dipakai manusia untuk menyakiti orang lain, untuk mendustai khalayak, bahkan untuk mendustai hati nurani manusia pemakai kata itu sendiri. Mereka kata-kata yang telah dikhianati, dan merasa telah kehilangan arti dari keberadaannya. Mereka datang untuk berkeluh, dan beristirahat dari manipulasi oleh pikiran manusia. makanya mereka ingin dituliskan sebagai diri mereka apa adanya; tanpa dikomposisi, tanpa dibuat figuratif.”
Saya tercenung.
Memang benar bahwa kita manusia telah terlalu sering memakai kata-kata secara egois untuk melindungi diri dengan kebohongan yang persuasif, atau untuk menjatuhkan orang lain dengan pidato yang ofensif. Tapi benarkah kata-kata merasa telah kita khianati?
Saat kesadaran dan akal saya kembali, segera saya susul dia dengan pertanyaan, “Tapi kenapa mereka harus datang padamu, dan tidak mendatangi orang-orang lain?”
Dia diam sejurus. Mungkin sedang merancang jawaban yang kiranya akan memukau saya sebagai penanya.
Dia berkata lirih, “Aku pun tak tau”.
Lanjutnya, “Aku tak pernah bertanya pada mereka, kenapa mesti mendatangiku. Bagiku itu sama tidak sopannya dengan bertanya pada ibu sendiri kenapa melahirkan aku, atau seperti tidak sopannya bertanya pada Tuhan kenapa aku diijinkan hidup hari ini. Aku tak berani. Aku takut mereka tersinggung, atau semakin merasa tersakiti. Dan andaipun mereka tidak tersinggung, tetap saja aku tak berani mengajukan pertanyaan yang sedemikian tidak sopan.”
Kemudian tambahnya, “Kenapa kamu berpikir bahwa mereka hanya mendatangiku, dan tidak mendatangi orang lain juga? Tidak kah kamu pikir, bahwa mungkin saja mereka juga mendatangimu?”
Ketika itu matanya menyorot ke dalam mata saya. Ada senyum samar di bibirnya. Saya jadi ngeri sendiri. Dan sejak itu saya tak pernah bertanya lagi tentang kebiasaan dia menulisikan kata-kata acak pada bukunya. Tapi, saya malah merasa dihantui oleh kalimatnya yang akhir itu: mungkinkah, kata-kata yang merasa dikhianati itu juga telah mendatangi saya?
Ah, hari ini saya cuma bisa mengingat sampai di situ, tentang orang yang mengaku didatangi kata itu. Kalau kamu tanya lain waktu, mungkin cerita ini akan jadi lain juga. Bagaimanapun, tak ada jaminan bahwa yang namanya ingatan itu sudah pasti berasal dari kenyataan. Tak ada jaminan bahwa ingatan ini, tak akan menghianati tuannya sendiri.
***
Saya pernah mengenalnya. Maaf kalau membuat kamu penasaran dengan tidak menyebutkan namanya. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak bisa. Mungkin namanya Aro, atau Vari, atau Ra. Atau siapa saja lah, saya sungguh tak bisa lagi mengingat.
Dia orang yang tak mencolok, serba umum dan biasa saja. Tidak ada pencapaian istimewa yang pernah dibuatnya, tidak pula ada ciri tertentu yang terkhusus dan menjadikannya berbeda dari orang kebanyakan. Dia betul-betul cuma seorang lagi manusia biasa diantara berjuta manusia di negara ini. Namun begitu, ada sesuatu tentangnya yang teramat kuat terlekat dalam ingatan.
Setelah kenal sekian waktu, baru saya sadari. Kalau kebetulan bertemu di sekitaran sekolah atau di sekitaran rumahnya, selalu saya lihat dia sedang menulisi buku catatannya. Awalnya saya pikir dia seorang pelajar yang giat. Tapi dalam sebuah kesempatan, dia bilang, dia bukan tipikal anak baik yang rajin belajar dan tekun mencatat. Dia akui, yang dia tuliskan pada bukunya itu hanyalah kata-kata acak. Bukan pelajaran atau tugas, bukan fiksi atau catatan pengalaman pribadi; melainkan hanya kata-kata acak yang, seperti dia bilang, mendatanginya untuk minta dituliskan.
Sulit bagi saya untuk menerima pernyataan itu. Bagaimana mungkin kata-kata mendatangi seseorang, dan meminta dituliskan? Bukankah justru kata-kata adalah produk yang dihasilkan pikiran manusia? Tapi dia bersiteguh menyatakan bahwa Kata sesungguhnya adalah makhluk hidup juga yang punya kesadaran. Mereka bisa berpergian melalui udara, kemana suka atas kehendak mereka sendiri. Mereka bisa memilih untuk mendatangi atau meninggalakan seseorang.
“Bukankah kita semua pernah mengalami tiba-tiba kehilangan kata saat harus menulis essay, atau seseorang yang jarang bicara tiba-tiba bisa beridato dengan bagusnya?”, tanya dia retoris.
Karena seringnya saya dapati dia menulis kata-kata acak begitu, suatu kali saya bertanya: “Seberapa sering mereka mendatangimu?”
Dia jabarkan bahwa kata-kata itu banyak sekali jumlahnya, bahkan nyaris tak terbatas. Maka jumlah kata yang mendatanginya pun amat sangat banyak sekali, sampai tak terhitung. Kemudian tergantung perasaan dia saja, kapankah ingin menuliskannya. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia tidur, menyusup ke dalam mimpi. Maka subuh-subuh dia terbangun langsung meraih pena dan buku. Ada kalanya kata-kata itu datang setelah dia shalat, bercampur dalam doa. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia di kelas. Maka jangan heran bila papan tulis tiba-tiba penuh tulisan selepas jam istirahat.
***
Tentu saja sebagai teman, saya tidak ingin berpikir dia mungkin gila. Tidak, seingat saya, saya tak pernah sampai berpikir dia gila. Walau begitu pada kesempatan lain, saya coba-coba lagi mempertanyakan kebiasaannya menulis sembarangan itu, ingin tau saja apakah dia masih akan konsisten pada omongannya soal kata-kata yang bisa hidup.
“Jadi, bagaimana ceritanya kata-kata itu sampai mendatangimu?” tanya saya dengan nada sewajar mungkin.
Dengan tenang dia menjawab: “Mereka adalah kata-kata yang terluka, kecewa, dan bersedih. Mereka kata-kata yang semena-mena dipakai manusia untuk menyakiti orang lain, untuk mendustai khalayak, bahkan untuk mendustai hati nurani manusia pemakai kata itu sendiri. Mereka kata-kata yang telah dikhianati, dan merasa telah kehilangan arti dari keberadaannya. Mereka datang untuk berkeluh, dan beristirahat dari manipulasi oleh pikiran manusia. makanya mereka ingin dituliskan sebagai diri mereka apa adanya; tanpa dikomposisi, tanpa dibuat figuratif.”
Saya tercenung.
Memang benar bahwa kita manusia telah terlalu sering memakai kata-kata secara egois untuk melindungi diri dengan kebohongan yang persuasif, atau untuk menjatuhkan orang lain dengan pidato yang ofensif. Tapi benarkah kata-kata merasa telah kita khianati?
Saat kesadaran dan akal saya kembali, segera saya susul dia dengan pertanyaan, “Tapi kenapa mereka harus datang padamu, dan tidak mendatangi orang-orang lain?”
Dia diam sejurus. Mungkin sedang merancang jawaban yang kiranya akan memukau saya sebagai penanya.
Dia berkata lirih, “Aku pun tak tau”.
Lanjutnya, “Aku tak pernah bertanya pada mereka, kenapa mesti mendatangiku. Bagiku itu sama tidak sopannya dengan bertanya pada ibu sendiri kenapa melahirkan aku, atau seperti tidak sopannya bertanya pada Tuhan kenapa aku diijinkan hidup hari ini. Aku tak berani. Aku takut mereka tersinggung, atau semakin merasa tersakiti. Dan andaipun mereka tidak tersinggung, tetap saja aku tak berani mengajukan pertanyaan yang sedemikian tidak sopan.”
Kemudian tambahnya, “Kenapa kamu berpikir bahwa mereka hanya mendatangiku, dan tidak mendatangi orang lain juga? Tidak kah kamu pikir, bahwa mungkin saja mereka juga mendatangimu?”
Ketika itu matanya menyorot ke dalam mata saya. Ada senyum samar di bibirnya. Saya jadi ngeri sendiri. Dan sejak itu saya tak pernah bertanya lagi tentang kebiasaan dia menulisikan kata-kata acak pada bukunya. Tapi, saya malah merasa dihantui oleh kalimatnya yang akhir itu: mungkinkah, kata-kata yang merasa dikhianati itu juga telah mendatangi saya?
Ah, hari ini saya cuma bisa mengingat sampai di situ, tentang orang yang mengaku didatangi kata itu. Kalau kamu tanya lain waktu, mungkin cerita ini akan jadi lain juga. Bagaimanapun, tak ada jaminan bahwa yang namanya ingatan itu sudah pasti berasal dari kenyataan. Tak ada jaminan bahwa ingatan ini, tak akan menghianati tuannya sendiri.
***
Affair at the First Sight
Oleh: Muthiah Safriani
Hari pertama, Toko Buku.
Biasanya dua minggu sekali saya selalu pergi ke toko buku. Kebetulan hari ini saya ingin membeli buku yang sudah lama sekali ingin saya beli. Sewaktu sampai di rak yang dituju, buku itu hanya tinggal satu di sana. Ketika hendak mengambil buku itu,sebuah tangan lain juga hendak mengambil buku yang sama. Kemudian kami saling berpandangan. Momen itu merupakan momen yang tidak akan pernah saya lupakan. Baru kali ini saya melihat lelaki setampan dia. Saya mengatakan kepada lelaki itu bahwa dia boleh membeli buku itu, tetapi lelaki itu menolak, katanya karena dia lelaki justru dialah yang harus mengalah. Dan saya kemudian membeli buku yang sudah lama saya incar itu. Itulah awal pertemuan kami.
Hari kedua, Café.
Pulang kuliah, saya singgah di café tempat saya biasanya nongkrong. Saya memesan segelas milkshake coklat dan sepotong tiramisu. Sambil menunggu pesanan saya datang, saya mengeluarkan buku yang saya beli kemarin, dan membacanya. 15 menit kemudian,sebuah suara menegur saya. Tadinya saya piker, itu adalah suara pelayan café itu, ketika saya mendongakkan kepala, ternyata pemilik suara itu adalah lelaki yang kemarin saya temui di toko buku. Kemudian dia duduk di meja saya, dan memesan. Disitulah kami mulai berkenalan. Ternyata dia adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan penerbitan. Setelah cukup lama berbicara, akhirnya kami pun saling bertukar nomor handphone.
Hari ketiga, Toko Kaset.
Hari saya janjian untuk bertemu dengan lelaki itu di toko kaset. Semalam ia menelpon saya dan mengajak saya untuk menemaninya ke toko kaset. Ia datang 10 menit lebih dulu dari saya. Dia meminta pendapat saya mengenai kaset mana yang bagus untuk dia beli. Jadi saya bertanya, music apa yang suka ia dengarkan? Dia menjawab rock. Akhirnya saya menyarankan dia untuk membeli kaset milik band kesukaan saya MUSE. Ia pun tampak suka dengan kaset pilihan saya itu, akhirnya Ia membelinya. Kemudian dia mengantar saya pulang ke rumah dengan mobil sedan hitamnya.
Hari keempat, Restaurant.
Hari ini dia mengajak saya lagi, untuk makan malam di luar. Dia berjanji akan menjemput saya di rumah. Saya mengenakan gaun terbaik saya. Sebuah sack dress berwarna biru tanpa lengan. Ketika saya membukakan pintu untuk dia, saya terpana. Dia sungguh tampan dalam balutan jas berwarna hitam. Ia mengulurkan sebuket bunga mawar kepada saya. Kemudian setelah meletakan bunga-bunga itu ke dalam vas, kamipun pergi. Restaurant itu sangat indah, suasananya romantic dengan pencahayaan remang-remang dan musik jazz yang mengalun lembut. Kami duduk di meja yang menghadap ke arah laut. Setelah makan malam, tiba-tiba saja dia meraih tangan saya. Jantung saya jadi berdebar-debar dibuatnya. Ia mengecup punggung tangan saya, kemudian dia berkata bahwa dia mencintai saya. Dia meminta saya menjadi kekasihnya. Wajah saya bersemu merah, kemudian saya membalikkan telapak tangan saya dan meremas lembut tangan lelaki itu. Saya mengatakan bahwa saya juga mencintainya dan menerima dia menjadi kekasih saya. Ya, saya memang mencintainya, saya sudah mencintainya saat pertama kali bertemu dengan dia di toko buku.
Hari kelima, Toko buku.
Hari ini saya meminta dia untuk menemani saya ke toko buku. Saya menyuruh dia langsung ke sana setelah pulang kerja. Hampir 2 jam saya mengelilingi toko buku ini, tapi ia belum juga menunjukkan batang hidungnya. Saya coba hubungi handphone dia, tapi tidak diangkat. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu dia lagi selama 15 menit. 15 menit kemudian ia tidak kunjung datang, saya coba untuk hubungi dia lagi. Dering kedua, barulah telepon saya diangkat.
“Halo…” Sahut sebuah suara dari ujung sana. Suara wanita yang sedang kedengarannya terengah-engah. Saya mengerutkan kening bingung. Kemudian saya bertanya, “Denis-nya ada?”
“Dia sedang di kamar mandi” Jawab wanita itu sekenanya. Tiba-tiba perasaan saya berubah tidak enak.
“Maaf kalau boleh tahu,Anda siapa?” Tanya saya lagi, untuk memastikan kecurigaan saya.
“Istrinya” Wajah saya memucat mendengar pernyataan wanita itu. Dalam sekejap dunia saya berubah menjadi gelap. Hati saya seperti disambar halilintar. Pedih. Tanpa sadar airmata saya pun jatuh. Kemudian saya tersadar, ternyata dari awal saya hanya dijadikan selingkuhan saja.
Hari pertama, Toko Buku.
Biasanya dua minggu sekali saya selalu pergi ke toko buku. Kebetulan hari ini saya ingin membeli buku yang sudah lama sekali ingin saya beli. Sewaktu sampai di rak yang dituju, buku itu hanya tinggal satu di sana. Ketika hendak mengambil buku itu,sebuah tangan lain juga hendak mengambil buku yang sama. Kemudian kami saling berpandangan. Momen itu merupakan momen yang tidak akan pernah saya lupakan. Baru kali ini saya melihat lelaki setampan dia. Saya mengatakan kepada lelaki itu bahwa dia boleh membeli buku itu, tetapi lelaki itu menolak, katanya karena dia lelaki justru dialah yang harus mengalah. Dan saya kemudian membeli buku yang sudah lama saya incar itu. Itulah awal pertemuan kami.
Hari kedua, Café.
Pulang kuliah, saya singgah di café tempat saya biasanya nongkrong. Saya memesan segelas milkshake coklat dan sepotong tiramisu. Sambil menunggu pesanan saya datang, saya mengeluarkan buku yang saya beli kemarin, dan membacanya. 15 menit kemudian,sebuah suara menegur saya. Tadinya saya piker, itu adalah suara pelayan café itu, ketika saya mendongakkan kepala, ternyata pemilik suara itu adalah lelaki yang kemarin saya temui di toko buku. Kemudian dia duduk di meja saya, dan memesan. Disitulah kami mulai berkenalan. Ternyata dia adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan penerbitan. Setelah cukup lama berbicara, akhirnya kami pun saling bertukar nomor handphone.
Hari ketiga, Toko Kaset.
Hari saya janjian untuk bertemu dengan lelaki itu di toko kaset. Semalam ia menelpon saya dan mengajak saya untuk menemaninya ke toko kaset. Ia datang 10 menit lebih dulu dari saya. Dia meminta pendapat saya mengenai kaset mana yang bagus untuk dia beli. Jadi saya bertanya, music apa yang suka ia dengarkan? Dia menjawab rock. Akhirnya saya menyarankan dia untuk membeli kaset milik band kesukaan saya MUSE. Ia pun tampak suka dengan kaset pilihan saya itu, akhirnya Ia membelinya. Kemudian dia mengantar saya pulang ke rumah dengan mobil sedan hitamnya.
Hari keempat, Restaurant.
Hari ini dia mengajak saya lagi, untuk makan malam di luar. Dia berjanji akan menjemput saya di rumah. Saya mengenakan gaun terbaik saya. Sebuah sack dress berwarna biru tanpa lengan. Ketika saya membukakan pintu untuk dia, saya terpana. Dia sungguh tampan dalam balutan jas berwarna hitam. Ia mengulurkan sebuket bunga mawar kepada saya. Kemudian setelah meletakan bunga-bunga itu ke dalam vas, kamipun pergi. Restaurant itu sangat indah, suasananya romantic dengan pencahayaan remang-remang dan musik jazz yang mengalun lembut. Kami duduk di meja yang menghadap ke arah laut. Setelah makan malam, tiba-tiba saja dia meraih tangan saya. Jantung saya jadi berdebar-debar dibuatnya. Ia mengecup punggung tangan saya, kemudian dia berkata bahwa dia mencintai saya. Dia meminta saya menjadi kekasihnya. Wajah saya bersemu merah, kemudian saya membalikkan telapak tangan saya dan meremas lembut tangan lelaki itu. Saya mengatakan bahwa saya juga mencintainya dan menerima dia menjadi kekasih saya. Ya, saya memang mencintainya, saya sudah mencintainya saat pertama kali bertemu dengan dia di toko buku.
Hari kelima, Toko buku.
Hari ini saya meminta dia untuk menemani saya ke toko buku. Saya menyuruh dia langsung ke sana setelah pulang kerja. Hampir 2 jam saya mengelilingi toko buku ini, tapi ia belum juga menunjukkan batang hidungnya. Saya coba hubungi handphone dia, tapi tidak diangkat. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu dia lagi selama 15 menit. 15 menit kemudian ia tidak kunjung datang, saya coba untuk hubungi dia lagi. Dering kedua, barulah telepon saya diangkat.
“Halo…” Sahut sebuah suara dari ujung sana. Suara wanita yang sedang kedengarannya terengah-engah. Saya mengerutkan kening bingung. Kemudian saya bertanya, “Denis-nya ada?”
“Dia sedang di kamar mandi” Jawab wanita itu sekenanya. Tiba-tiba perasaan saya berubah tidak enak.
“Maaf kalau boleh tahu,Anda siapa?” Tanya saya lagi, untuk memastikan kecurigaan saya.
“Istrinya” Wajah saya memucat mendengar pernyataan wanita itu. Dalam sekejap dunia saya berubah menjadi gelap. Hati saya seperti disambar halilintar. Pedih. Tanpa sadar airmata saya pun jatuh. Kemudian saya tersadar, ternyata dari awal saya hanya dijadikan selingkuhan saja.
Être-pour-soi
Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)
the-possibellety.blogspot.com
Aku adalah kemenangan, yang berjalan dalam ke-ada-an bagi diriku sendiri. Saksikan aku, dalam kewibawaan, berlenggak sebagai juara. Perhatikan lekat-lekat, kuat yang dulu hanya sekedar hias verbal, kini aku buktikan dalam empiris mereka yang tidak akan terlupakan.
Dengan diam-diam aku menggerakkan kaki-kaki dalam terminalnya yang terduga. Pun aku sendiri terkejut, karena setelah sekian lama dia terbiasa mematri “kebebasan” dengan menjadikan aku sebagai materi tipuannya, akhirnya aku mampu melahirkan kebebasanku sendiri. Dapat kujalari kerning-kerning yang menyempit dalam hening, sebentar-sebentar mengaduh satu dan yang lainnya ketika ia memaksa kita bergesekan.
Aku bisa saja rindu pada masa-masa lalu, ketika aku dan dia adalah satu. Atau pada momen-momen ketika yang lainnya memandang aku dan dia adalah kesempurnaan yang terpadu. Siapa yang tak lemah pada puji dan elu-elu?
Namun aku tidak peduli.
Mungkin memang akan ada puji-pujian manis atas aku dan dia yang akan aku inginkan untuk kembali nikmati, namun apalah artinya? Sudah kandas cinta di penghujung paragraf, habis tepat setelah tanda titik. Cintaku yang habis, dan enggan aku isi kembali. Pun aku tak peduli, jika hatinya mati meraung-raung menyadari aku yang hanya meninggalkan jejak hanya di dalam pikirannya. Aku akan pergi, karena cinta sudah pergi.
Aku ingin menikmati eksistensiku sendiri.
Pada kesetiaan, benci aku hidupi.
Katanya hidup adalah pilihan? Aku telah membuat satu untukku sendiri, dalam kebebasanku yang akhirnya mampu kumaknai. Opsi yang sudah bukan sekedar bentukan dari proyeksi pikirannya. Sampai kapan kamu mau menatapi eksistensimu sendiri habis dalam otonomi diktaktor yang tak menyisakanmu ruang untuk membangun ke-apa-an dan ke-siapa-anmu sendiri? Telah kuputuskan untuk kutinggalkan.
Banyak kudengar kisah dari mereka –serupa aku, pergi meninggalkan dan melambai pada punggung kekasih mereka yang terdahulu. Kepengecutan. Aku akan pergi sambil melambai pada wajahnya, yang kuyakin akan berakhir momok kelemahan yang memalukan, namun kutepis sebagai seorang pemenang. Ketika hampir jauh aku hanya akan terbahak-bahak, lalu menguasai hati lainnya yang sama lemahnya. Mungkin ia akan melihat aku berbaring dalam kepasrahan untuk mecintai pribadi yang lain sekenanya, tapi aku akan semakin kuat terbahak, menyaksikan hatinya yang pilu. Oh, kebebasan, padamu aku menguatkan kaki-kakiku untuk berlalu.
Kelaki-lakiannya harus tahan uji, bukan?
Seperti keberadaanku, yang telah berhasil tahan uji, dalam genggamannya.
Aku sudah berjalan jauh, juga lelah menyisakan pikul-pikul cerita masa lalu untuk memaksa ia menangis pelan-pelan. Ada letupan-letupan kepanikan dan kekecewaan di atas kepalanya. Kutangkap juga kemarahan, melayang beriringan dengan pikiran yang gagal disajikan.
Kudengar ia berteriak-teriak seperti kesetanan, mengguncang bahu kawan di sebelahnya, menunjuk-nunjuk aku yang berjalan penuh kesombongan, meninggalkan kertas putih yang pernah kita ukir bersama.
“ASTAGA! Gila! Gila! Kau lihat deretan alphabet ini?! Bagaimana mungkin mereka berjalan meninggalkan kertasku?! Naskahku kosong empat halaman! Bagaimana bisa huruf-huruf yang mati itu lari dari kertas ini? Sialan! Apa aku terlalu lelah bekerja?! Hey! Tolong aku! Huruf-huruf ini pergi kabur mengkhianati aku!”
Aku menggiring kawan-kawan, a, b, c, d, e, yang berjalan mengikutiku dari belakang, meninggalkan tumpukan naskah si penulis.
Kami berjalan dalam kebebasan kami, bagi diri kami sendiri.
Mungkin setelah ini kamu harus memperhatikan kertas putih di hadapanmu ini. Siapa tahu, kawanku juga hilang cintanya, dan ingin pergi hinggap ke penulis lain untuk sekedar mengingatkan bagaimana kami telah berhasil menghidupi proyeksi dalam kepalamu. Tentu saja, kami senang mengkhianati.
the-possibellety.blogspot.com
Aku adalah kemenangan, yang berjalan dalam ke-ada-an bagi diriku sendiri. Saksikan aku, dalam kewibawaan, berlenggak sebagai juara. Perhatikan lekat-lekat, kuat yang dulu hanya sekedar hias verbal, kini aku buktikan dalam empiris mereka yang tidak akan terlupakan.
Dengan diam-diam aku menggerakkan kaki-kaki dalam terminalnya yang terduga. Pun aku sendiri terkejut, karena setelah sekian lama dia terbiasa mematri “kebebasan” dengan menjadikan aku sebagai materi tipuannya, akhirnya aku mampu melahirkan kebebasanku sendiri. Dapat kujalari kerning-kerning yang menyempit dalam hening, sebentar-sebentar mengaduh satu dan yang lainnya ketika ia memaksa kita bergesekan.
Aku bisa saja rindu pada masa-masa lalu, ketika aku dan dia adalah satu. Atau pada momen-momen ketika yang lainnya memandang aku dan dia adalah kesempurnaan yang terpadu. Siapa yang tak lemah pada puji dan elu-elu?
Namun aku tidak peduli.
Mungkin memang akan ada puji-pujian manis atas aku dan dia yang akan aku inginkan untuk kembali nikmati, namun apalah artinya? Sudah kandas cinta di penghujung paragraf, habis tepat setelah tanda titik. Cintaku yang habis, dan enggan aku isi kembali. Pun aku tak peduli, jika hatinya mati meraung-raung menyadari aku yang hanya meninggalkan jejak hanya di dalam pikirannya. Aku akan pergi, karena cinta sudah pergi.
Aku ingin menikmati eksistensiku sendiri.
Pada kesetiaan, benci aku hidupi.
Katanya hidup adalah pilihan? Aku telah membuat satu untukku sendiri, dalam kebebasanku yang akhirnya mampu kumaknai. Opsi yang sudah bukan sekedar bentukan dari proyeksi pikirannya. Sampai kapan kamu mau menatapi eksistensimu sendiri habis dalam otonomi diktaktor yang tak menyisakanmu ruang untuk membangun ke-apa-an dan ke-siapa-anmu sendiri? Telah kuputuskan untuk kutinggalkan.
Banyak kudengar kisah dari mereka –serupa aku, pergi meninggalkan dan melambai pada punggung kekasih mereka yang terdahulu. Kepengecutan. Aku akan pergi sambil melambai pada wajahnya, yang kuyakin akan berakhir momok kelemahan yang memalukan, namun kutepis sebagai seorang pemenang. Ketika hampir jauh aku hanya akan terbahak-bahak, lalu menguasai hati lainnya yang sama lemahnya. Mungkin ia akan melihat aku berbaring dalam kepasrahan untuk mecintai pribadi yang lain sekenanya, tapi aku akan semakin kuat terbahak, menyaksikan hatinya yang pilu. Oh, kebebasan, padamu aku menguatkan kaki-kakiku untuk berlalu.
Kelaki-lakiannya harus tahan uji, bukan?
Seperti keberadaanku, yang telah berhasil tahan uji, dalam genggamannya.
Aku sudah berjalan jauh, juga lelah menyisakan pikul-pikul cerita masa lalu untuk memaksa ia menangis pelan-pelan. Ada letupan-letupan kepanikan dan kekecewaan di atas kepalanya. Kutangkap juga kemarahan, melayang beriringan dengan pikiran yang gagal disajikan.
Kudengar ia berteriak-teriak seperti kesetanan, mengguncang bahu kawan di sebelahnya, menunjuk-nunjuk aku yang berjalan penuh kesombongan, meninggalkan kertas putih yang pernah kita ukir bersama.
“ASTAGA! Gila! Gila! Kau lihat deretan alphabet ini?! Bagaimana mungkin mereka berjalan meninggalkan kertasku?! Naskahku kosong empat halaman! Bagaimana bisa huruf-huruf yang mati itu lari dari kertas ini? Sialan! Apa aku terlalu lelah bekerja?! Hey! Tolong aku! Huruf-huruf ini pergi kabur mengkhianati aku!”
Aku menggiring kawan-kawan, a, b, c, d, e, yang berjalan mengikutiku dari belakang, meninggalkan tumpukan naskah si penulis.
Kami berjalan dalam kebebasan kami, bagi diri kami sendiri.
Mungkin setelah ini kamu harus memperhatikan kertas putih di hadapanmu ini. Siapa tahu, kawanku juga hilang cintanya, dan ingin pergi hinggap ke penulis lain untuk sekedar mengingatkan bagaimana kami telah berhasil menghidupi proyeksi dalam kepalamu. Tentu saja, kami senang mengkhianati.
Judas
Oleh: @stellanike
judas © stella nike
Dragon Knights © Mineko Ohkami
modified canon; hints sho-ai; kaistern/rath
originally posted at http://www.fanfiction.net/s/6770827/1
Pengkhianat!
Itu kata yang pertama kali terbentuk dalam benak Rath saat mendengar ucapan Cesia. Pandangannya menggelap seketika sementara dadanya serasa sesak. Dengan tergesa ia mengarahkan kristalnya ke seluruh penjuru ruangan yang cukup besar ini seolah mencari-cari sosok pemuda yang lebih tua itu. Nanar.
Berharap menemukan bibir yang melengkungan sebuah senyuman lembut yang selalu ada untuknya. Berharap menemukan sepasang tatapan hangat yang tersembunyi di balik lensa kacamata. Dan berharap menemukan sepasang lengan yang kokoh, yang selalu merengkuhnya dalam dekapan erat—menghilangkan segala gundah yang melanda.
Namun hanya ada ia dan Cesia di sini—tanpa Kaistern.
Pendusta!
Batinnya menjeritkan satu kata tanpa suara dengan penuh kecewa. Perih melanda dadanya, mencengkeram Rath dengan jemari-jemari semu yang mencekik leher dan menorehkan luka dalam. Duka pun turut membantu dalam usaha mematahkan hatinya. Ia selama ini mempercayai Kaistern—hanya untuk mendapati bahwa pemuda itu tak menepati janjinya.
Selama ini Rath hanya dapat mencurahkan rahasianya yang terdalam pada Kaistern. Seluruh topeng yang selama ini dikenakannya untuk menipu semua entitas di DraQueen luruh begitu berhadapan dengan sang Menteri Naga Biru tersebut. Sifatnya yang sesungguhnya, kebenciannya terhadap dunia—juga keinginannya untuk segera mati, hanya ia tunjukkan pada Kaistern.
Dan selama ini ia menyangka Kaistern juga berlaku yang sama padanya.
—Yang adalah suatu kebohongan.
Kaistern menipunya mentah-mentah semenjak dahulu!
Giginya digertakkan dengan sekuat tenaga. Kesedihan yang meluap-luap hampir tak dapat terbendung lagi. Sementara Cesia masih terus mengucap penjelasan mengapa Kaistern melakukan hal yang dibenci Rath, pemuda ini memejamkan matanya dan membayangkan sosok yang dibicarakan. Lukanya semakin dalam, mengeluarkan darah yang tak nyata.
Ia tak dapat menerima satupun kata dari bibir Cesia. Ia tak dapat menerima kabar buruk yang disampaikan oleh gadis itu. Ia tak dapat menerima bahwa… bahwa—
“Kaistern tak menepati janjinya!”
Baritonnya terdengar pedas saat mengujar kalimat tersebut, sarat akan emosi yang bergejolak tanpa bisa diredam. Kesedihan, kekecewaan, rasa tak percaya. Segalanya bercampur dalam suaranya, jelas menunjukkan betapa dalam luka yang terjadi akibat hal yang dilakukan Kaistern.
“Dia bilang sedang mencari sesuatu—” Yang akan diceritakan pada Rath saat Kaistern menemukannya. Ia berjanji akan memberitahukannya pada Rath suatu saat nanti, ketika ia telah menemukan apa yang dicarinya. Dan Rath percaya! Ia menanti dengan sabar saat dimana Kaistern akan menceritakan satu-satunya rahasia yang tak mau ia bagi. Namun—
Dadanya kembali terasa ditusuk-tusuk.
“Ia pantas mati! Dasar egois!”
Suatu fakta yang mati-matian disangkalnya kini keluar dari bibirnya sendiri. Sakit yang sebelumnya ia rasa saat mengetahui kenyataan tersebut semakin parah berkali-kali lipat begitu dirinya sendiri yang mengucapkannya.
Karena saat ia mengatakannya—berarti ia percaya bahwa Kaistern telah tiada.
Suatu tamparan keras dan dingin yang menyadarkannya bahwa tak akan ada lagi pelukan di sela-sela pekerjaan, tak akan ada lagi senyuman lembut yang terarah untuknya, tak akan ada lagi tatapan yang berisi ungkapan rasa sayang. Tak akan ada lagi Kaistern di sisinya.
Ia telah pergi untuk selamanya.
“Aku tak pernah memintanya untuk memberikan nyawa untukku.”
Hatinya yang pernah patah dan dibenahi oleh Kaistern selama bertahun-tahun, yang susah payah disusun ke bentuknya semula—dan berhasil berkat segala kebaikan dan perhatian Kaistern—kini kembali pecah berkeping-keping. Satu sosok yang dikasihinya tak ada lagi di dunia, membawa serta separuh bagian. Meninggalkan satu lubang yang menganga dalam dadanya.
Pengkhianat.
Kaistern adalah seorang pengkhianat.
Ia berusaha memetakan kalimat tersebut dalam benaknya, dalam pikirannya, dalam hatinya. Agar setidaknya ia tak terlalu sedih saat menginat Menteri Naga tersebut. Agar setidaknya ia dapat membencinya dengan sepuas hati, mencacinya dengan kata-kata kasar. Agar setidaknya—
—Hatinya tak terasa sesakit ini.
“Rath…” Cesia mengulurkan tangannya, meraih sang pemuda dalam sebuah pelukan yang hangat dan nyata. “Ingat air yang disiramkan Black Cesia padamu? Air itu akan membunuh siapa saja yang bukan bangsa monster. Salah satu bagian tubuh Kaistern yang tersiram air sudah mati setengahnya—dan itu menjalar. Karena itu ia memberi sisa nyawanya padamu.”
Rath tak mendengarnya. Ia tak mau lagi mendengarkan alasan yang diutarakan oleh Cesia—atau oleh siapapun. Siapa yang mengizinkan Kaistern menyerahkan energi kehidupannya? Siapa yang mengatakan Rath senang menerima nyawanya? Siapa yang… siapa yang berkata—Rath tak akan sedih dengan kematiannya?
Ia terus dan terus saja mengucap dalam hati,
Kaistern adalah seorang pengkhianat.
—FIN—
judas © stella nike
Dragon Knights © Mineko Ohkami
modified canon; hints sho-ai; kaistern/rath
originally posted at http://www.fanfiction.net/s/6770827/1
Pengkhianat!
Itu kata yang pertama kali terbentuk dalam benak Rath saat mendengar ucapan Cesia. Pandangannya menggelap seketika sementara dadanya serasa sesak. Dengan tergesa ia mengarahkan kristalnya ke seluruh penjuru ruangan yang cukup besar ini seolah mencari-cari sosok pemuda yang lebih tua itu. Nanar.
Berharap menemukan bibir yang melengkungan sebuah senyuman lembut yang selalu ada untuknya. Berharap menemukan sepasang tatapan hangat yang tersembunyi di balik lensa kacamata. Dan berharap menemukan sepasang lengan yang kokoh, yang selalu merengkuhnya dalam dekapan erat—menghilangkan segala gundah yang melanda.
Namun hanya ada ia dan Cesia di sini—tanpa Kaistern.
Pendusta!
Batinnya menjeritkan satu kata tanpa suara dengan penuh kecewa. Perih melanda dadanya, mencengkeram Rath dengan jemari-jemari semu yang mencekik leher dan menorehkan luka dalam. Duka pun turut membantu dalam usaha mematahkan hatinya. Ia selama ini mempercayai Kaistern—hanya untuk mendapati bahwa pemuda itu tak menepati janjinya.
Selama ini Rath hanya dapat mencurahkan rahasianya yang terdalam pada Kaistern. Seluruh topeng yang selama ini dikenakannya untuk menipu semua entitas di DraQueen luruh begitu berhadapan dengan sang Menteri Naga Biru tersebut. Sifatnya yang sesungguhnya, kebenciannya terhadap dunia—juga keinginannya untuk segera mati, hanya ia tunjukkan pada Kaistern.
Dan selama ini ia menyangka Kaistern juga berlaku yang sama padanya.
—Yang adalah suatu kebohongan.
Kaistern menipunya mentah-mentah semenjak dahulu!
Giginya digertakkan dengan sekuat tenaga. Kesedihan yang meluap-luap hampir tak dapat terbendung lagi. Sementara Cesia masih terus mengucap penjelasan mengapa Kaistern melakukan hal yang dibenci Rath, pemuda ini memejamkan matanya dan membayangkan sosok yang dibicarakan. Lukanya semakin dalam, mengeluarkan darah yang tak nyata.
Ia tak dapat menerima satupun kata dari bibir Cesia. Ia tak dapat menerima kabar buruk yang disampaikan oleh gadis itu. Ia tak dapat menerima bahwa… bahwa—
“Kaistern tak menepati janjinya!”
Baritonnya terdengar pedas saat mengujar kalimat tersebut, sarat akan emosi yang bergejolak tanpa bisa diredam. Kesedihan, kekecewaan, rasa tak percaya. Segalanya bercampur dalam suaranya, jelas menunjukkan betapa dalam luka yang terjadi akibat hal yang dilakukan Kaistern.
“Dia bilang sedang mencari sesuatu—” Yang akan diceritakan pada Rath saat Kaistern menemukannya. Ia berjanji akan memberitahukannya pada Rath suatu saat nanti, ketika ia telah menemukan apa yang dicarinya. Dan Rath percaya! Ia menanti dengan sabar saat dimana Kaistern akan menceritakan satu-satunya rahasia yang tak mau ia bagi. Namun—
Dadanya kembali terasa ditusuk-tusuk.
“Ia pantas mati! Dasar egois!”
Suatu fakta yang mati-matian disangkalnya kini keluar dari bibirnya sendiri. Sakit yang sebelumnya ia rasa saat mengetahui kenyataan tersebut semakin parah berkali-kali lipat begitu dirinya sendiri yang mengucapkannya.
Karena saat ia mengatakannya—berarti ia percaya bahwa Kaistern telah tiada.
Suatu tamparan keras dan dingin yang menyadarkannya bahwa tak akan ada lagi pelukan di sela-sela pekerjaan, tak akan ada lagi senyuman lembut yang terarah untuknya, tak akan ada lagi tatapan yang berisi ungkapan rasa sayang. Tak akan ada lagi Kaistern di sisinya.
Ia telah pergi untuk selamanya.
“Aku tak pernah memintanya untuk memberikan nyawa untukku.”
Hatinya yang pernah patah dan dibenahi oleh Kaistern selama bertahun-tahun, yang susah payah disusun ke bentuknya semula—dan berhasil berkat segala kebaikan dan perhatian Kaistern—kini kembali pecah berkeping-keping. Satu sosok yang dikasihinya tak ada lagi di dunia, membawa serta separuh bagian. Meninggalkan satu lubang yang menganga dalam dadanya.
Pengkhianat.
Kaistern adalah seorang pengkhianat.
Ia berusaha memetakan kalimat tersebut dalam benaknya, dalam pikirannya, dalam hatinya. Agar setidaknya ia tak terlalu sedih saat menginat Menteri Naga tersebut. Agar setidaknya ia dapat membencinya dengan sepuas hati, mencacinya dengan kata-kata kasar. Agar setidaknya—
—Hatinya tak terasa sesakit ini.
“Rath…” Cesia mengulurkan tangannya, meraih sang pemuda dalam sebuah pelukan yang hangat dan nyata. “Ingat air yang disiramkan Black Cesia padamu? Air itu akan membunuh siapa saja yang bukan bangsa monster. Salah satu bagian tubuh Kaistern yang tersiram air sudah mati setengahnya—dan itu menjalar. Karena itu ia memberi sisa nyawanya padamu.”
Rath tak mendengarnya. Ia tak mau lagi mendengarkan alasan yang diutarakan oleh Cesia—atau oleh siapapun. Siapa yang mengizinkan Kaistern menyerahkan energi kehidupannya? Siapa yang mengatakan Rath senang menerima nyawanya? Siapa yang… siapa yang berkata—Rath tak akan sedih dengan kematiannya?
Ia terus dan terus saja mengucap dalam hati,
Kaistern adalah seorang pengkhianat.
—FIN—
Sembilan Puluh Juta
Oleh : Innda Syahida (@innda0111)
Ada kabut seolah- olah berputar diatas kepalaku. Ia seolah menari- nari, berkelabat kesana kemari pada poros tak berwujud. Aku linglung. Tak tahu harus bagaimana. Jam istirahat tinggal tiga puluh menit lagi, dan aku sama sekali belum menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan dokumen sialan itu.
Kalau saja May tidak terlalu lepas tangan pada tanggung jawabnya sebagai staff pembelian, dan seandainya saja aku tidak terlalu bodoh menghilangkannya begitu saja karena lupa dimana aku meletakkannya, barangkali bos tidak akan semarah ini.
Habis aku dimaki sedari pagi.
Seperti budak yang berasal dari pelosok hutan dan berkepala plontos akibat terkena penyakit stress yang mewabah. Atau memang aku yang terlalu bodoh mau dipermainkan seperti ini.
“Apa kamu tahu berapa harga dokumen yang kamu hilangkan?” aku msih ingat bibir cadasnya yang tipis hampir terlepas lantaran mengomel. “Sembilan puluh juta!” bibirku langsung terkatup tak sanggup bicara―padahal sebenarnya aku sudah tahu nilai itu. “Apa kamu punya uang? Gajimu seumur hiduppun barangkali tak cukup untuk membayarnya! Dasar tolol!!”
Te-O-eL-O-El
Aku mengejanya berulang- ulang sembari tanganku mengobrak- abrik file- file yang―barangkali saja bisa memberiku peluang atau petunjuk spesifik.
May duduk disana―di meja kerjanya sambil jarinya sibuk menggeser- geser mouse. Dia main twitter!!
Anjrit!! Enak saja dia bisa santai- santai begitu setelah beberapa jam yang lalu ikut terlibat dalam prosesi huru- hara tunggal si bos. Kepalaku semakin panas, hampir meledak seperti balon ulang tahun. Sejujurnya aku malas bertanya, jadi lebih baik aku sedikit menyinggung saja.
“Duhh… dimana sih?” May tetap cuek. Aku meledeknya dari belakang punggungnya. Kuhormati sedikit lantaran dia adalah seniorku. “Kenapa malah main twitter sih, May? Bantuin kek apa gitu.” Ketusku kesal.
“Hey, itu bukan urusanku!” astaghfirulloh aladzimmm… aku beristighfar dalam hati. Jahatnya, pikirku. “Tugasku kan cuma beli barang dan taruh suratnya di file, kamu yang buat tanda terima. Jadi, bukan urusan aku lagi dong.”
Aku ini anak baru, May… kenapa sih dia tega sekali memperlakukanku seperti itu. Sembilan puluh juta. Harus aku bayar pakai apa kalau dokumennya gak ketemu???
Aku meringis tangis dalam hati, air mata tentu saja ingin mencuat keluar. Namun sekuat tenaga ku tahan, aku sudah pasrah. Kalaupun aku dipecat sekarang juga, aku rela. Aku terima. Dan barangkali sudah satnya aku keluar dari perusahaan yang baru sebulan ku tumpangi ini.
Lelah. Otakku terperas hampir habis. Lalu mencari kesempatan, akupun mengambil air wudhu. Sholat adalah jalan satu- satunya agar pikiranku bisa tenang. Aku berdo’a, memohon petunjuk sambil meneteskan air mata. Mukenahkupun lembab lantaran basah. Dan aku memasrahkan diri pada satu- atunya Tuhanku. Aku harus ikhlas, apapun yang terjadi nanti.
Jam istirahat selesai. Akupun tak ingat makan. Lapar sungguh tak terasa lagi. Yang penting dokumen harus ketemu bagaimana pun caranya. Kumainkan lagi jari- jari lentikku diantara file pribadi bos―kebetulan bos sedang keluar makan siang.
Sembilan puluh juta… sembilan puluh juta… sembilan puluh juta.
Aku mengulangi angka- angka itu siapa tahu tiba- tiba muncul di dokumen yang―terselip!! Alhamdulillah “Ketemu!!!” teriakanku mencuat keluar secara tiba- tiba. Air mata yang tadinya kutahan, entah kenapa malah menetes begitu saja. Aku merasa lega seketika, seprti kuali panas yang tersiram air. Menguapkan asap dan mendingin seketika. Kuucapkan syukur berkali- kali sambil memegang dokumen berharga itu.
Gak jadi di pecat, kataku dalam hati.
May melirik kearahku, aktivitasnya bersama twitter seketika berhanti lalu meringaikan senyuman lebar. “Ketemu, Nad?” tanyanya girang. Akupun mengangguk. Lalu kuletekkan dokumen tersebut tepat disebelah laptop bos, lalu pergi kekamar mandi membasuh muka sembari menenagkan diri selama beberapa menit.
Dan ketika aku hendak melangkahkan kaki masuk ke ruangan yang hanya berpenghunikan tiga orang perempuan termasuk aku, kulihat wajah si bos tak lagi seseram sebelumnya.
“Dapat dimana dokumennya?”Tanyanya. Aku ingin menjawab, tapi May mendahuluiku cepat sekali.
“Aku menemukannya terselip diantara file PO peralatan kerja.”
Aku mendadak berhenti tepat di hadapan May, sambil memicingkan mata dan.
Mengutuknya hidup- hidup!!!
Ada kabut seolah- olah berputar diatas kepalaku. Ia seolah menari- nari, berkelabat kesana kemari pada poros tak berwujud. Aku linglung. Tak tahu harus bagaimana. Jam istirahat tinggal tiga puluh menit lagi, dan aku sama sekali belum menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan dokumen sialan itu.
Kalau saja May tidak terlalu lepas tangan pada tanggung jawabnya sebagai staff pembelian, dan seandainya saja aku tidak terlalu bodoh menghilangkannya begitu saja karena lupa dimana aku meletakkannya, barangkali bos tidak akan semarah ini.
Habis aku dimaki sedari pagi.
Seperti budak yang berasal dari pelosok hutan dan berkepala plontos akibat terkena penyakit stress yang mewabah. Atau memang aku yang terlalu bodoh mau dipermainkan seperti ini.
“Apa kamu tahu berapa harga dokumen yang kamu hilangkan?” aku msih ingat bibir cadasnya yang tipis hampir terlepas lantaran mengomel. “Sembilan puluh juta!” bibirku langsung terkatup tak sanggup bicara―padahal sebenarnya aku sudah tahu nilai itu. “Apa kamu punya uang? Gajimu seumur hiduppun barangkali tak cukup untuk membayarnya! Dasar tolol!!”
Te-O-eL-O-El
Aku mengejanya berulang- ulang sembari tanganku mengobrak- abrik file- file yang―barangkali saja bisa memberiku peluang atau petunjuk spesifik.
May duduk disana―di meja kerjanya sambil jarinya sibuk menggeser- geser mouse. Dia main twitter!!
Anjrit!! Enak saja dia bisa santai- santai begitu setelah beberapa jam yang lalu ikut terlibat dalam prosesi huru- hara tunggal si bos. Kepalaku semakin panas, hampir meledak seperti balon ulang tahun. Sejujurnya aku malas bertanya, jadi lebih baik aku sedikit menyinggung saja.
“Duhh… dimana sih?” May tetap cuek. Aku meledeknya dari belakang punggungnya. Kuhormati sedikit lantaran dia adalah seniorku. “Kenapa malah main twitter sih, May? Bantuin kek apa gitu.” Ketusku kesal.
“Hey, itu bukan urusanku!” astaghfirulloh aladzimmm… aku beristighfar dalam hati. Jahatnya, pikirku. “Tugasku kan cuma beli barang dan taruh suratnya di file, kamu yang buat tanda terima. Jadi, bukan urusan aku lagi dong.”
Aku ini anak baru, May… kenapa sih dia tega sekali memperlakukanku seperti itu. Sembilan puluh juta. Harus aku bayar pakai apa kalau dokumennya gak ketemu???
Aku meringis tangis dalam hati, air mata tentu saja ingin mencuat keluar. Namun sekuat tenaga ku tahan, aku sudah pasrah. Kalaupun aku dipecat sekarang juga, aku rela. Aku terima. Dan barangkali sudah satnya aku keluar dari perusahaan yang baru sebulan ku tumpangi ini.
Lelah. Otakku terperas hampir habis. Lalu mencari kesempatan, akupun mengambil air wudhu. Sholat adalah jalan satu- satunya agar pikiranku bisa tenang. Aku berdo’a, memohon petunjuk sambil meneteskan air mata. Mukenahkupun lembab lantaran basah. Dan aku memasrahkan diri pada satu- atunya Tuhanku. Aku harus ikhlas, apapun yang terjadi nanti.
Jam istirahat selesai. Akupun tak ingat makan. Lapar sungguh tak terasa lagi. Yang penting dokumen harus ketemu bagaimana pun caranya. Kumainkan lagi jari- jari lentikku diantara file pribadi bos―kebetulan bos sedang keluar makan siang.
Sembilan puluh juta… sembilan puluh juta… sembilan puluh juta.
Aku mengulangi angka- angka itu siapa tahu tiba- tiba muncul di dokumen yang―terselip!! Alhamdulillah “Ketemu!!!” teriakanku mencuat keluar secara tiba- tiba. Air mata yang tadinya kutahan, entah kenapa malah menetes begitu saja. Aku merasa lega seketika, seprti kuali panas yang tersiram air. Menguapkan asap dan mendingin seketika. Kuucapkan syukur berkali- kali sambil memegang dokumen berharga itu.
Gak jadi di pecat, kataku dalam hati.
May melirik kearahku, aktivitasnya bersama twitter seketika berhanti lalu meringaikan senyuman lebar. “Ketemu, Nad?” tanyanya girang. Akupun mengangguk. Lalu kuletekkan dokumen tersebut tepat disebelah laptop bos, lalu pergi kekamar mandi membasuh muka sembari menenagkan diri selama beberapa menit.
Dan ketika aku hendak melangkahkan kaki masuk ke ruangan yang hanya berpenghunikan tiga orang perempuan termasuk aku, kulihat wajah si bos tak lagi seseram sebelumnya.
“Dapat dimana dokumennya?”Tanyanya. Aku ingin menjawab, tapi May mendahuluiku cepat sekali.
“Aku menemukannya terselip diantara file PO peralatan kerja.”
Aku mendadak berhenti tepat di hadapan May, sambil memicingkan mata dan.
Mengutuknya hidup- hidup!!!
Langganan:
Postingan (Atom)