Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Darah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Darah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Desember 2011

Kisah Cinta Antargolongan



oleh Azka Shabrina (@azkashabrina)



Kami masih saling pandang.


Belum ada sepatah katapun yang terucap. Aku masih membeku. Dia
barangkali menunggu.

Apa yang dia tunggu? Kita sama-sama tahu, tidak akan pernah mampu
melebur jadi satu.


"Kita bertemu lagi," ia memulai. Riang dan bersemangat seperti yang aku ingat.


"Ya."


"Kau tentunya sangat merindukanku, kan?"


"Dulu sudah pernah kujawab: ya."


"Dulu. Sekarang?"


Aku gelisah. Siapa mau bertanggung jawab atas cinta semacam ini? Siapa
mau lelah menyatukan cinta semustahil milik kami?


"A?" ia memanggilku. Masih meminta jawaban. "Sekarang, bagaimana?"


"Rindu, tentu. Selalu. Padamu."


"Senang bertemu denganku?"


"Barangkali tidak. Kita tidak pernah sepenuhnya bersama. Kau selalu di
tempatmu, aku di tempatku. Sendiri-sendiri."


Ia tidak menyahut. Kuterka ia telah menyerah.


Siapa yang tidak menyerah jika pilihannya adalah terpisah atau mati?


Sungguh aku tersanjung melihat setianya ia terhadapku. Ia begitu
sempurna, begitu hangat, begitu banyak memberi kepada semua.


Aku hanya mampu memberi kepada sesama golonganku saja.


Dan aku sungguh, sungguh jauh dari sempurna.


"O," panggilku. "Kau mau mati denganku?"


"Asalkan kau mau."


"Aku mau."


"Kalau begitu, ayo."


"Seandainya aku bisa menghampirimu agar kita bisa saling membunuh,
sudah kulakukan sejak dulu."


Pintu di ujung ruangan terayun membuka, berderit memilukan. Kami
berdua diam, hampa, sadar bahwa pertemuan singkat ini sudah harus
berakhir.


Ia nampak kecewa tatkala seorang suster mengangkat kantung tempatnya
menggenang.


"Bunuh aku," adalah kata-kata cinta terakhir yang ia sampaikan.


Kemudian pintu ruangan mengayun tertutup dengan derit yang lebih pilu
dari caranya membuka. Seolah menangisi kami yang selamanya terluka.

Darah itu merah


By: @lealeea

Darah itu merah... Seperti juga hatiku yang memerah karenamu...
Harusnya kusadari dari awal kamu telah bersamanya...
Tetapi.. Bukan aku yang menawarkan cinta itu tapi kamu.. Ya kamu..
Lalu.. Salahkah aku jika aku menuntut lebih?walaupun aku tau dan sadar aku tidak berhak untuk itu...
Tetapi darah tetaplah merah dan hatiku juga sudah terlanjur memerah karena berdarah menahan perih ini...
Akan tetapi biarlah darah tetaplah memerah dihatiku.. Tak akan kuubah menjadi yang aku ingin..
Seperti kamu.. Tak akan aku ubah kamu menjadi seperti yang aku ingin..

Saat Fajar Menyapa


Oleh : Maria Nugraheni (blog : amorphousspace.wordpress.com)

Aku tidak bisa menyangkal, kurasa ada yang sesuatu yang aneh malam ini.
Kesunyian yang mengikat kami tak lagi terasa menenangkan. Aura janggal menyelubungi kebersamaan kami di ruang yang nyaris kosong ini. Sosok di depanku yang biasanya ceria tidak lagi tampak bahagia. Wajah manisnya dirundung sendu. Sekilas saja orang melihat paras itu, mereka akan tahu bahwa pikirannya kalut. Ia bahkan tak mau menatap mataku. Seolah ketika ia melakukannya tabir bening yang menyelimuti kedua matanya akan meretas dan air matanya akan runtuh satu-satu.
Aku tidak bisa mengerti, ada apa sebenarnya.
“Ada apa?” kuulang lagi pertanyaan itu sembari menggenggam tangannya. Ia masih saja tak ingin menatap mataku.
Ia terdiam. Cukup lama. Cukup lama untuk membuat rasa penasaranku berubah menjadi kecemasan.
“Aku...”
Semesta seolah nyaris bersorak ketika ia mengatakan sesuatu untuk pertama kalinya dalam satu putaran penuh jarum pendek pada jam dinding di ruang ini.
Aku diam menanti kelanjutan dari kata-katanya.
“Aku ingin memberitahumu sesuatu...” saat mengatakan itu, aku mendengar ada kegetiran di sana. Daguku terangkat setengah inchi dan menatapnya lebih lama. Mengamati sosoknya yang tampak ragu saat mengatakannya.
“Apa?”
“Aku... sudah lama sekali ingin mengatakannya. Tetapi selalu kutunda.”
Ia berhenti berkata-kata dan kali ini ia menatapku dengan kedua mata beningnya.
Aku tak bisa menyangkal, memang ada sesuatu yang aneh malam ini.
Mendadak aku merasakan ketakutan menghimpit setiap jengkal tubuhku. Kini, akulah yang tak bisa lagi menatap mata sosok itu. Sosok itu tampak asing sekaligus akrab. Aku tidak bisa menyebutkannya. Aku bahkan mulai menyadari dan bertanya, siapa dia?
“Sebenarnya, aku ingin bersamamu lebih lama. Namun, aku tak bisa.” Ia melanjutkan kata-katanya dengan suara lirih. “Sadarkah kau, sudah beberapa kali dalam hidupmu kutunda untuk mengatakan ini? Kutunda untuk menjumpaimu?”
Bulir keringat menetes satu-satu di punggungku. Kecemasan tak cukup menjelaskan perasaan macam apa ini. Aku mulai memahami apa yang sosok itu katakan, namun sekaligus tak yakin akan pikiranku sendiri.
“Apa yang ingin kau katakan?” tak urung keluar juga kalimat itu dari bibirku diiringi cekat di tenggorokanku. Dengan mantap kutatap matanya dan aku sadar siapa dia.
Ada senyum samar di wajahnya yang membuatku tentram sekaligus enggan untuk lama-lama menatapnya. Dengan suara lirih, ia berkata, “kau harus mati. Aku harus membunuhmu. Sekarang...”
Aku membelalakkan mata dan kurasakan ada sesuatu yang dingin dan menyakitkan yang menghujam tubuhku. Aku menatap ke arah tangannya yang kini telah berada di depan perutku. Ada kilau pisau di sana. Ada cairan merah mengucur deras di tangannya. Ada sejuta rasa nyeri meresap di seluruh tubuhku. Aku menatap matanya dan menarik nafas yang tersengal. Ruang ini seolah menjadi pekat dan aku larut di dalamnya. Inikah rasanya sekarat? Teriakku lenyap dalam bisu. Aku dapat melihat senyum sendunya tepat sebelum aku menutup kedua mataku. Itulah yang terakhir kulihat saat itu.
Dengan bulir-bulir keringat menetes dari pipiku, aku tersentak. Kulihat sekelilingku dan berusaha menghirup oksigen sedalam-dalamnya. Aku kalut. Apa yang kulihat barusan? Di mana aku? Aku memandang berkeliling dan menoleh ke sampingku. Adikku masih tertidur dengan tenang dan menyandarkan kepalanya di jendela. Kilau lampu dan hamparan langit malam tampak melintas sepintas lalu dan itu yang menyadarkanku.
Aku berada di dalam bus menuju kampung halamanku di Jawa Barat. Aku melihat angka di jam tanganku. Pukul empat pagi. Dan sepertinya masih tiga jam lagi sebelum aku tiba di rumah. Dengan sedikit kelegaan, aku menyandarkan kepalaku di sandaran kursi. Aku memejamkan mata dan berusaha mengingat apa yang kulihat tadi. Betapa menyeramkan rasanya mimpi tadi. Terasa sungguh nyata. Aku masih dapat merasakan nyeri yang menyapa tubuhku, dan kucuran darah itu terus terngiang di benakku. Senyum sendu sosok itu pun tidak pernah mau meninggalkanku. Betapa ngeri. Betapa perih.
Aku memandang berkeliling lagi dan menatap wajah-wajah penumpang yang terlelap dalam mimpinya masing-masing. Aku tersenyum sekilas menatap mereka dan membayangkan apa yang sedang terjadi dalam pikiran mereka. Lalu aku menatap lagi ke depan dan mencoba untuk kembali tidur.
Namun, lagi-lagi kurasa ada sesuatu yang aneh yang kembali kurasakan, saat ini. Dudukku tak lagi nyaman. Nafasku tak lagi santai. Ada kecemasan irasional yang menghimpit sel-sel di otakku. Tanpa berpikir panjang, kuraih tangan adikku dan kugenggam erat. Saat itulah kudengar teriakan dan deru sesuatu dari depan. Aku tak lagi bisa mendengar suara dengan jelas. Suara decit ban bergesek dengan aspal, derit suara besi beradu dengan besi, lirih suara derai serpihan beling, teriakan-teriakan histeris dan sarat akan ketakutan, erang nyeri, dan ribuan suara lainnya memenuhi udara pagi itu. Reflek kuraih adikku dan kudekap erat ia di bawah tubuhku. Aku merasakan nyeri di sekujur tubuh dan aku pun memejamkan mata berusaha menahan sakitnya yang kian lama kian menghilang. Saat itu, lagi, kulihat sosok yang hadir dalam mimpiku semalam. Ia mengulurkan tangannya dan tersenyum samar.
“Hai, selamat datang!” ucapnya, dan aku tak lagi mengingat apa-apa.
***