Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Bendera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bendera. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Agustus 2011

Merah Putihku

Oleh: @shelly_fw


“Fiona! Fiona! Fiona! Fiona!”
Oh, gemuruh yang melantunkan namaku itu  terdengar begitu jelas hingga satu-satunya yang dapat kulakukan adalah merunduk secara skeptis, setengah tidak memercayai kenyataan dihadapanku ini—gemuruh penonton yang memenuhi studio, jantungku yang terasa mau copot karena berdegup begitu kencang, serta batinku yang berteriak dengan gamblang, “ayo, Fiona. Inilah saatnya.”
Tunggu. Ini belum saatnya. Tentu saja mereka memanggilku karena MC acara National Teen Talent yang kebetulan diselenggarakan di Kota Sydney, Australia ini memang meminta mereka untuk memanggil namaku. Yayaya, sepuluh menit lagi aku memang akan naik ke atas panggung untuk menyanyikan sebuah lagu kepada mereka semua sekaligus memeriahkan acara live ini namun sesuatu dalam pikiranku membisikkan sebuah kontradiksi yang juga bergaung secara intens.
Mereka begitu jamak, gaungan mereka begitu memenuhi seisi studio ini dan kabarnya panggung ini mempunyai luas seratus dua puluh enam meter hingga membutuhkan lighting yang begitu megah dan tentu saja menghasilkan suara yang nyaring dan membahana bagi siapapun yang berdiri dan menyanyi diatas sana. Tapi bagaimana denganku? Apakah aku dapat menghidupkan suasana megah seperti ini? Apakah tubuhku yang mempunyai tinggi lima kaki tiga inci ini dapat menghasilkan suara nyaring seperti Ashley, Collin, dan George yang juga turut memeriahkan acara ini?
Bunuh aku. Oh, ya ampun. Rasanya aku mau mati saja bahkan—
Aku tertegun. Kucoba untuk menelan ludah, mengamati suatu obyek yang berhasil mengunci pandanganku selama hampir beberapa menit itu. Warna merah dan Putih yang tergambar jelas pada jam tanganku memang sempat membuatku menitikkan air mata hingga aku mendesah sedikit lega kemudian sesuatu dalam pikiranku membawaku ke dimensi lain sesaat setelah aku memejamkan kedua mataku.
Saat itu, aku berumur dua belas tahun dan ibu memintaku untuk membantu ayah menalikan tiang kayu bendera merah putih pada pagar besi rumahku. Awalnya aku menolak, dan bertanya pada Ayah mengapa aku harus mengibarkan bendera itu. Kulihat ayah tersenyum sampai suatu kesejukan dari aliran di matanya membuat kepalaku meneleng sedikit ke kanan, mencoba menyimaknya. Well, aku memang tidak ingat persis kejadian itu sampai akhirnya aku mengerutkan keningku, mencoba dengan keras kata-kata apa yang hampir terlupakan itu. Sulit, memang, mengingat hal itu di saat—
Fiona, it’s your turn. What are you waiting for?” tanya seseorang yang muncul secara tiba-tiba dari tirai hitam yang menutupi backstage ini. Aku menyeringai.
Lucu sekali. Saat aku melangkahkan kakiku menuju panggung melalui anak tangga yang bersinar berkat beberapa lampu lantai yang di-design secantik mungkin aku malah merasa begitu nyaman. Sinar lampu sorot yang sempat membuatku menyipitkan mataku serta alunan biola yang mengalir begitu lembut membuatku merasa begitu ringan, begitu menikmati alunan suara sopranku sendiri sampai-sampai aku memejamkan kedua mataku dan bahkan aku dapat mengusir kontradiksi antara pikiran dan hatiku sehingga mereka berbisik dengan lembut, “panggung ini milikku. Lagu ini milikku dan suara ini milikku. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk saat ini. Saat ini.”  
Akhirnya, pada saat aku membuka kedua mataku untuk yang kedua kalinya aku tertegun, lagi-lagi karena pemandangan yang kudapati begitu absurd. Mereka mengikutiku.  Sebagian dari mereka mengiringiku bernyanyi dan mereka cukup hafal laguku.
Jadi aku dapat menyanyikan lagu Merah Putih-ku dengan nyaring, 
    
Merah Putihku Satu
Semangat nasionalisku berpadu
Kepatriotanku begitu teguh
Tak pernah pudar ataupun luntur

Merah Putihku Satu
Berkibarlah dengan tangguh
Tunjukkan merahmu
Tunjukkan putihmu

Karena kaulah bendera pusaka kami
Kaulah semangat utama kami
Juga harta berharga kami
Yang lahir dari tangan Ibu Fatmawati

Ya, aku dapat menyanyikan laguku dengan baik. Bersamaan dengan tepuk tangan meriah dari penonton, iringan musik yang masih terdengar dan lampu sorot yang menari-nari, aku teringat kata-kata ayahku itu. “Suatu saat kamu akan bangga dengan Merah Putihmu.”






*terdengar seperti puisi, memang. Anggap saja lagu =)
*sebagian dari mereka’ adalah teman-teman dan keluarga Fiona
*terima kasih Writing Session, karena telah membangkitkan rasa nasionalis dan patriotisme saya =D


130811

Benderaku

Oleh; Clarice Natasha (@C_arice)‏

Aku memegang erat kain bendera itu. Disini terjadi kerusuhan tapi tidak, aku tak dapat melepaskan kain ini dari tanganku. Aku memasukannya kedalam kantong celanaku lalu berlari secepat kilat. Indonesia, yang dahulu makmur sekarang saling membunuh. Apa yang telah terjadi? Semuanya mengarahkan senapannya pada sesama, semuanya saling menumpahkan darah sesama manusia. Dan aku terdapat di tengah-tengah pertempuran ini. Dengan berbagai cara aku mencoba untuk menghindari serangan dan orang-orang yang berjatuhan. Lebih tepatnya gugur dalam perang. Badanku kecil jadi mungkin itu sebabnya aku tak terlihat.
Namun tiba-tiba sebuah tubuh jatuh tepat di depan badanku. Berlumuran darah dan di lengan kanannya terdapat sebuah kain berwarna merah putih. Aku mencoba menahan tangisku dan melewati tubuh itu perlahan. Aku mohon, cepatlah berakhir. Aku melanjutkan perjalananku dan berlari secepat mungkin, aku melihat ke sekitarku. Baru saja aku keluar dari medan perang. Aku memegang kantong celanaku dan memastikan kalau kain itu masih berada ditempatnya. Ada. Kataku tenang, lalu menghela napas perlahan. Tapi ini bukan saatnya tenang, ingatku tiba-tiba. Sekarang kau harus mencari ayah dan ibumu Milka. Dimana mereka berada? Perasaanku mulai tak enak, aku langsung berlari kea rah kota di depanku yang bagaikan kuburan itu. Gedung-gedung runtuh, bercak-bercak darah ditembok-tembok, dan beberapa tubuh terkapar di jalanan.
Ya Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja.
Aku melihat rumahku yang berada di tengah sebuah lapangan luas sendiri. Sempat aku bersyukur karena tak ada apa-apa yang terlihat rusak dari kejauhan. Tapi begitu mendekat, pintu rumahku terbuka. Aku langsung berlari menuju kedalam rumah itu dan melihat mimpi buruk itu. Tidak, aku pasti bermimpi, tak mungkin! Semua dalam rumahku hancur. Meja yang kebalik, lampu pecah dan tubuh itu. Tubuh-tubuh yang berbaring di lantai. “AYAH, IBU, KAKAK!” Aku berlari menuju mereka. Berharap dengan sepenuh hati kalau mereka hanya pingsan atau tidur. Aku mohon bangun, aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku menggoyang-goyangkan tubuh mereka. Tapi percuma, tak ada yang terjadi. Tak ada.

“Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri.”
Air mata itu tak terbendung lagi, semuanya bergulir deras. Kenapa semua ini harus terjadi pada diriku? Kenapa semua yang berarti dalam hidupku hilang? Kenapa harus aku, kenapa harus aku menderita? Aku menangis sekencang-kencangnya dan memeluk mereka erat. Jangan tinggalkan aku. Keheningan itu meraja rela.


Setelah berjam-jam menangis, aku menutupi mereka dengan seprai tempat tidur berwarna putih dan mengunci pintu rumah. Ya Tuhan, semoga jiwa-jiwa orang yang melindungi Negara ini selalu Engkau lindungi. Setelah berdoa aku berjalan menuju kota itu sambil membawa sebuah tas berisi beberapa roti dan susu. Aku melihat ke sekitar kota dan menemukan seseorang yang terkapar namun tangannya terlambai-lambai lemas. Dengan cepat aku menghampiri tubuh itu, seorang pria memakai baju militer dan kepalanya berdarah. “Kak, bertahanlah.” Aku mengambilkan susu itu dan meminumkannya pada mulut pria itu. Aku mohon bertahanlah. Dia mencoba melihatku dengan susah payah, bola matanya sudah hampir tak dapat terbuka. “Adik kecil, apa yang kau lakukan disini?” Tangannya yang bergetar itu mengusap kepalaku, air mataku mulai turun lagi. “Disini tempat yang berbahaya, kau harus cepat pulang.”

Aku menggeleng dan menghapus air mataku lalu tersenyum. “Rumahku sudah tak ada lagi. Aku juga berada disini untuk sebuah misi.” Aku merangkulnya dan membawa dia kedalam salah satu gedung disana, merobek sedikit gaunku dan membalut tangannya yang terus mengeluarkan darah. Aku menaruh beberapa roti dan air di samping pria itu lalu beranjak. “Adik kecil, kemana kau akan pergi?” Aku sempat berhenti di depan pintu itu dan menoleh kearah pria itu. “Aku akan mengembalikan bendera pada tempatnya.”



Aku berlari sekuat tenaga tetapi aku tersandung dan jatuh. Tidak sedikit lagi, tiang itu sudah ada di depan mataku. Dengan cepat aku berdiri dan terus berlari mencoba melepaskan diri dari orang yang terus mengejarku. Kenapa oranfg Belanda itu harus tahu aku disini dan membawa bendera ini? Aku bersembunyi di belakang pohon dan mencoba mengatur napas agar tidak terdengar. Aku tak akan menyerah sampai aku dapat menaruh bendera ini di tempatnya. Aku melihat ke kanan dan kiri lalu perlahan ke belakang, tak ada siapa-siapa, mungkin dia sudah tak ada. “KETEMU.”

“TIDAK!” Aku berteriak dan mencoba menghindari moncong senapan yang terarah padaku itu. Lalu aku terus berlari dan mulai mengeluarkan bendera merah puti itu, dengan cepat aku memanjat tiang itu. Semua yang berada di sekitarku yang tadinya adalah medan perang sekarang sunyi sekali. Semuanya berhenti dan melihat diriku. Orang-orang belanda dan Indonesia. “Apa yang kau lakukan? Tembak dia!” Seru orang yang tadi mengejarku itu. Tapi semuanya mematung. Sebentar lagi, setelah mengikat tali ini maka bendera aka nada di tempatnya. SELESAI! DOOOR

Ditengah kebahagiaanku, terdengar sebuah suara besar. Ah, peluru itu mengenai perutku. Tapi tidak, tidak apa-apa, yang penting hanyalah bendera Indonesia itu sudah berada pada tempatnya. Aku tersenyum dan terjatuh dari tiang. Orang-orang yang mematung itupun berlarian mengejar untuk menangkap tubuhku tapi ah, tak usah, yang terpenting adalah bendera itu di tempatnya.


Mia Iskandar, 8 tahun. Ditemukan tewas di tengah medan perang, saksi mata menyebutkan kalau gadis kecil itu rela mengorbankan dirinya demi mengikat bendera Indonesia itu pada tiang bendera yang dahulunya adalah bendera belanda. Demi bendera merah putih itu, dia meninggal pada umur yang masih sangat dini.

Impian Opa

Oleh: Tyas We (@deboratyaswe)

Opa, begitulah aku memanggilnya. Opa adalah kakek dari garis keturunan ayahku. Jika biasanya seorang kakek cenderung lebih dekat dengan cucu laki-lakinya, berbeda dengan Opa. Opa sangat dekat denganku, padahal aku ini cucu perempuan. Kata ayah, Opa yang memberi aku nama. Sejak kecil, aku selalu bersemangat jika ayah mengajakku mengunjungi Opa. Kami memang sama-sama tinggal di Bandung, tetapi Opa tinggal di daerah pegunungan Bandung Utara yang udaranya lebih sejuk.
Tak pernah lepas dari ingatanku, setiap sore Opa selalu menghabiskan senja dengan bermain harmonika tua miliknya. Aku juga ingat, sewaktu aku kecil Opa selalu mendudukkanku diatas pangkuannya dan bercerita tentang masa mudanya. Opa bilang, Bandung tempo dulu dan sekarang jauh berbeda. Menurutnya, Bandung lama jauh lebih indah daripada saat ini. Opa juga berkata, udara di bandung tidak sedingin dahulu.
Dari sekian banyak cerita Opa ada satu yang paling aku ingat. Tentang impian Opa di masa mudanya. Opa tidak menginginkan sesuatu yang megah, menurutku impiannya sangat sederhana. Opa ingin mendaki gunung semeru dan membentangkan bendera merah putih di puncaknya. Dalam benakku aku bertanya, kenapa tidak Opa wujudkan impiannya? Aku rasa, Opa adalah seorang yang kuat. Bahkan di usianya yang sudah senja, Opa masih segar bugar. Tetapi Opa menjelaskan semuanya kepadaku. Pada tahun 1961 kala Opa masih muda, ia harus membantu kedua orang tuanya yaitu kakek dan nenek buyutku yang baru merintis usaha toko roti. Jadi, Opa sangat sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Bandung. Pertanyaanku terjawab sudah.
Kemudian Opa memberiku sebuah kotak usang, dalam kotak itu berisi sehelai bendera yang tidak kalah usang. Aku bertanya pada Opa, ‘kenapa Opa masih menyimpan ini?’ lalu Opa menjawab dengan lirih, ‘Ini bendera yang mau Opa bentangkan di Semeru..’
Aku tertegun mendengarnya.
***
Di depanku, sudah berdiri dengan gagahnya gunung Semeru. Dadaku berdebar-debar kencang, ini kali pertama aku mendaki gunung. Tidak tanggung-tanggung, aku langsung mendaki gunung tertinggi di pulau jawa. Aku bukanlah seseorang yang gemar mendaki gunung, aku malas bersusah-susah seperti itu. Orang bilang aku ini gadis manja yang terbiasa hidup enak dengan fasilitas yang diberikan orang tua. Selama ini aku selalu memilih untuk liburan ke Kuta, atau ke pantai lainnya. Tidak untuk mendaki gunung. Tidak, sampai kematian Opa tepat satu bulan yang lalu.
Opa meninggalkan aku dan keluargaku begitu mendadak. Aku sangat terpukul dengan kepergian Opa. Hari itu juga, setelah jenazah Opa dikremasi aku langsung menuju rumah Opa dan mengambil kotak usang milik Opa yang pernah Opa tunjukkan kepadaku. Saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri – dan pada Opa, aku akan mengibarkan bendera ini di puncak gunung Semeru. Aku akan mewujudkan impian Opa. Ya, impian Opa yang belum terwujud sampai dirinya menghadap Tuhan.
Beruntung, aku memiliki teman yang gemar mendaki gunung. Namanya Iwan. Iwan adalah teman sekelasku. Aku sudah mendengar rencananya akan mendaki gunung Semeru bulan ini. ketika aku mengutarakan niatku untuk ikut dengannya, ia kaget setengah mati. Tetapi aku berhasil meyakinkannya agar aku dapat ikut dengannya, akhirnya Iwan setuju. Iwan menempa aku dengan segudang latihan fisik dan mental sebelum pendakian dimulai. Hingga sekarang aku siap untuk melakukan pendakian.
Semeru, aku datang.
***
Perjalan panjang selama dua hari ini benar-benar menguras tenaga, tapi sama sekali tidak mengurangi semangat dan tekadku untuk sampai di puncak. Entah sudah berapa banyak lecet di telapak kakiku dan luka karena aku terjatuh. Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, Kalimati, dan sekarang… aku sudah ada di Arcopodo, bersiap untuk mengibarkan bendera usang Opa di Mahameru.
“Arina, siap untuk ke puncak?” pertanyaan Iwan membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menatapnya dan mengangguk.
“Aku siap, Wan.”
Tepat tengah malam, aku, Iwan, dan teman-temanku yang lainnya akan melakukan perjalanan menuju puncak, menuju Mahameru. Dadaku semakin berdebar-debar, rasanya seperti seorang penyanyi yang akan naik panggung pertama kali. Trek menuju puncak yang berpasir dan berbatu, membuat langkahku tersendat. Berkali-kali aku terperosot dan jatuh, bahkan aku sudah tahu bagaimana rasa pasir yang kuinjak ini. Nyaris saja aku menyerah, tetapi aku sudah sejauh ini. Akan menjadi hal yang membuat penasaran seumur hidup jika ini tidak terselesaikan.
Aku lelah, hanya itu yang aku tahu. Tepat ketika matahari mulai tampak, aku berhasil menginjakkan kakiku di Mahameru, puncak dari gunung Semeru. Aku sangat senang, hingga membuat aku menitikkan airmata. Iwan menatapku dengan tatapan haru, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Dengan segera, aku mengeluarkan bendera usang milik Opa dari saku jaketku. Kubentangkan bendera usang itu dengan perasaan bahagia yang tak terhingga. Sekarang, bendera merah putih yang warna putihnya kusam dan menguning dimakan usia itu sudah berada di puncak gunung Semeru, sesuai dengan apa yang Opa impikan.
“Iwan, tolong fotoin aku…” pintaku pada Iwan. Tanpa buang waktu Iwan mengangguk dan mengambil potret diriku yang sedang membentangkan bendera merah putih.
Opa, walaupun fisik Opa nggak ada disini.. Arina yakin semangat Opa ada disini. Sekarang, impian Opa udah terwujud. Bendera punya Opa udah terbentang di puncak Gunung semeru. Aku berkata dalam hati dan berharap Opa mendengarnya dari atas sana. Aku menengadahkan kepalaku ke langit, dan tersenyum.
“Arina sayang Opa..” bisikku lirih.

Lelaki Merah Pucat

Oleh: @momo_DM


Senja yang pucat saat seorang berwajah pucat tengah duduk sendiri di beranda gubuknya. Matanya yang sayu berusaha menatap tajam ke arah lubang jarum kecil di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya yang keriput berusaha memasukkan ujung seutas benang merah. Satu kali gagal. Dua kali gagal. Bahkan sampai berkali-kali kegagalan selalu ditemui. Tetapi lelaki pucat itu pantang menyerah. Hatinya bersikeras untuk menyelesaikan tugas paripurnanya.
Tangan lelaki pucat itu terkadang gemetar. Entah karena faktor usia atau karena faktor dari getaran hatinya. Satu yang pasti, dia melakukan itu semua dari dan dengan hati. Berharap akan menjadi sebuah maha karya abadi yang selalu dihargai dan dihormati. Hanya itu yang mendorongnya untuk terus melanjutkan perjuangannya. Perjuangan kecil memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Tapi itu hanya sebuah awal dari perjuangan yang lebih berat.
Senja belum temaram, tetapi pandangan lelaki itu sepertinya tak lagi terang. Dilepaskannya seutas gulungan benang merah di pangkuannya. Tangannya bergerilya meraba-raba sesuatu di dekat tulang keringnya. Tulang kering yang terbungkus kulit penuh bekas luka. Dalam pandangan kaburnya, akhirnya tangan keriputnya menemukan yang dicarinya. Kacamata.
Sesaat, kacamata itu telah berpindah ke daun telinganya. Daun telinga yang sudah tak lagi ranum. Beberapa bagiannya serupa seonggok daging tak bertulang muda. Menggelambir. Daun telinga yang keriput karena hanya digunakan untuk mendengar teriakan-teriakan patriotik dari patriot-patriot pembela kemerdekaan bangsa. Mungkin teriakan-teriakan itu begitu keras, sehingga kini dia tak lagi bisa mendengar suara dengan jelas. Teriakan-teriakan itu telah memenuhi rongga pendengarannya.
Dengan bantuan kacamata buramnya, dia akhirnya berhasil memasukkan benang merah itu ke lubang jarum. Perjuangan dimulai. Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, dia berusaha menusukkan ujung jarum tumpul itu tepat di sehelai kain merah putih yang telah robek sambungannya. Pelan tapi pasti tusukan itu berhasil menembus kedua sambungan kain yang saling tindih itu. Tak ada kendala pada tusukan pertama. Pada tusukan kedua, ujung jarum mengenai ujung jarinya.
Tak Nampak kesakitan di raut wajahnya. Dia mencoba tersenyum dalam pucat. Senyum yang mengalahkan rasa sakitnya. Rasa sakit yang tak lagi dirasa karena dia pernah mengalami rasa sakit yang lebih dari rasa sakit yang dideritanya. Dulu. Sebelum negara tercintanya merdeka. Senyumnya di bibir lelahnya adalah pancaran ketulusan hati. Tanpa menghiraukan setetes darah merah yang mengalir, dia melanjutkan kembali menyambung kain yang robek itu.
“Semua butuh perjuangan,” bisiknya dalam hati.
Dia masih terus menjahit kain merah putih itu dengan penuh semangat di balik raganya yang lelah. Baginya dunia boleh berubah, tetapi satu yang tidak boleh berubah yaitu semangat dalam diri untuk terus berjuang. Termasuk berjuang agar dia bisa menyelesaikan bendera ini sebelum batas waktu tiba. Esok hari tanggal 17 Agustus.
Tangan renta itu terus menari dalam gerakan benang yang seirama debaran hati. Ketulusan hati membuat jahitannya tampak halus, meskipun tak sehalus apabila dijahit dengan menggunakan mesin jahit. Sesekali senyum membayang di bawah semburat cahaya mentari senja yang mencuri pandang dari balik pohon bambu yang tumbuh subur di depan gubuk reotnya. Senyum saat senja itu adalah tabir dari sebuah kegetiran hidup yang dijalaninya selama hampir 67 tahun. Setelah Indonesia merdeka.
***
“Tarjo, ini kamu simpan bendera ini sebagai bukti bahwa kita telah merdeka. Jaga bendera ini seperti kau pernah menjaga negara ini dari penjajah.”
“Siap, Komandan!”
***
Senja hening. Hanya suara daun bambu yang bergesek tertiup angin. Senyum itu masih tersungging saat daun-daun bambu kering jatuh terinjak langkah kaki kecil setengah berlari. Konsentrasinya tak pecah, masih sama seperti dulu saat dia bertugas mengawasi gerak-gerik musuh, saat dia belum genap berusia tujuh belas tahun. Tanpa disadarinya sesosok kecil telah duduk di sampingnya. Tono, anak tetangganya yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Setidaknya orang tua anak itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki, setelah isterinya membawa anak satu-satunya meninggalkannya karena tidak tahan hidup menderita. Dan, hanya keluarga itu yang peduli dengan hidup dan kehidupan di usia senjanya.
Kehadiran anak itu pun memecah senja yang hening. Riuh canda tawanya adalah teman bagi lelaki itu. Dia seakan menemukan kembali dunia kecilnya yang telah hilang saat tawa khas anak kecil itu singgah di sanggurdi telinganya.
“Lagi apa, Mbah?” tanya Tono seperti biasanya dengan gaya ingin tahunya.
“Ini, Mbah sedang menjahit bendera. Masak kamu tidak melihat?” jawab mbah Tarjo dengan terkekeh sampai terlihat giginya yang sudah tak lengkap lagi.
“Mbah bisa saja. Oya, Mbah. Ini Tono bawakan makan malam untuk Mbah. Bubur ayam kesukaan Mbah,” kata Tono sambil menggeser duduknya lebih dekat lagi dengan mbah Tarjo.
“Terima kasih, Tono. Tapi sepertinya Mbah tidak butuh itu, karena Mbah belum lapar,” kata mbah Tarjo pelan tapi berwibawa.
Senja kembali hening. Mbah Tarjo meneruskan pekerjaannya, sementara Tono menyimpan makan malam dalam rantang itu ke dalam gubuk mbah Tarjo. Sesaat Tono sudah muncul lagi di dekat mbah Tarjo.
“Mbah, cerita lagi dong seperti kemarin,” kata Tono merajuk.
“Apa kamu tidak bosan mendengar cerita Mbah yang begitu-begitu saja?” tanya mbah Tarjo sambil melirik Tono dari balik kacamatanya.
“Tidak, Mbah. Saya suka dengar ceritanya. Kadang saya malah menghayal, pasti bangga bisa menjadi seorang pejuang kemerdekaan seperti Mbah,” kata Tono lagi.
“Besok saja ya. Mbah masih harus menyelesaikan menjahit bendera ini. Besok kan tanggal 17 Agustus,” kata mbah Tarjo sambil mengelus kepala Tono.
Tono yang masih berusia hampir tujuh tahun itu pun paham. Tono tiduran di samping mbah Tarjo sambil sesekali memainkan ujung bendera yang tengah dijahit mbah Tarjo.
“Sebenarnya ini bendera apa sih, Mbah?”
“Ini adalah bendera saksi perjuangan. Tetap Mbah simpan, sampai sekarang usia Mbah 83 tahun. Menjaga bendera ini adalah amanah.”
“Kok tidak merah Mbah?”
“Cucuku, seusang apapun, warna merah pada bendera kita itu ya tetap merah.”
Tono terdiam mendengarkan kata-kata mbahTarjo. Dalam hati Tono merasa bangga dengan orang yang sudah dianggap seperti kakeknta sendiri. Patriotisme yang mungkin tidak akan pernah dia miliki.
“Oya, Mbah. Nanti suatu saat boleh tidak saya menyimpan bendera itu?” tanya Tono antusias.
“Kalau kamu memang mau, kamu boleh menyimpan bendera ini. Karena kalau bukan kamu sebagai generous penerus, siapa lagi yang akan menjaga bendera ini. Kelak kalau kamu sudah seusia Mbah, kamu juga akan tahu kenapa kamu harus menjaga bendera ini, ya,” kata mbah Tarjo sambil mengusap kepala Tono.
“Mbah, kalau kalau sampai besok belum selesai juga menjahitnya, besok saya bawakan bendera yang baru ya, Mbah, untuk dipasang di depan rumah,” kata Tono polos.
Kata-kata Tono barusan langsung membuat mbah Tarjo seperti kehilangan kesabarannya. Napas mbah Tarjo naik turun tersengal-sengal. Sejenak mbah Tarjo menghirup udara dalam-dalam, dan napasnya pun kembali normal.
“Mbah, tidak apa-apa kan?” tanya Tono dalam nada kekhawatiran.
Senja kembali hening untuk beberapa saat. Mbah Tarjo mencoba tersenyum. Pun demikian dengan Tono. Bocah kecil itu nampak nyaman berada di dekat mbah Tarjo. Meskipun terkadang obrolan mereka tidak nyambung, tetapi Tono tetap saja menyukai suasana seperti senja hari ini. Kondisi mbah Tarjo sendiri pun sepertinya memang masih bisa untuk diajak bercengkrama dalam tawa. Kadang tawa getir menertawakan nasibnya yang getir. Nasib yang telah menempanya menjadi sosok yang kuat, tak heran sampai seusia sekarang mbah Tarjo masih belum pikun. Angin senja membawa kabar bahwa matahari sebentar lagi harus kembali ke peraduannya. Mbah Tarjo mendengar desir angin itu dan mengubahnya menjadi kata-kata.
“Tidak usah diganti yang baru, Cu. Yang penting maknanya. Bendera baru atau lama yang penting bagaimana kita menghargai dan menghormati jasa pahlawan dibalik bendera itu,” kata mbha Tarjo memecah keheningan.
“Begitu ya, Mbah. Memangnya kenapa kalau diganti dengan yang baru?” tanya Tono polos.
“Ingat ya, Cu. Tidak ada yang bisa menggantikan bendera ini, dengan warna yang lebih indah sekalipun,” kata mbah Tarjo tegas.
“Besok kalau sudah jadi kita pasang di luar ya, Mbah. Biar seluruh Indonesia tahu kalau Mbah itu seorang pejuang hebat.”
“Tidak usah. Kehebatan tidak perlu dipamerkan,” jawab mbah Tarjo datar.
“Kalau tidak begitu, bagaimana negara bisa tahu kalau Mbah itu seorang pejuang?” tanya Tono lagi yang sudah dibelenggu rasa ingin tahu.
“Tidak perlu. Bisa melihat bendera merah putih tetap berkibar dan dihormati saja, Mbah bahagia,” jawab mbah Tarjo sambil meneruskan jahitannya.
Tono mencoba untuk memahami kata-kata mbah Tarjo. Meskipun terkadang bingung, tetapi tetap saja dia manggut-manggut untuk menyenangkan hati mbah Tarjo.
“Kamu tahu kenapa Mbah tidak mau memasang bendera ini di luar?”
“Kenapa, Mbah?”
“Gara-gara dipasang di luar, bendera Mbah ini jadi robek tertiup angin dan termakan cuaca yang tak menentu. Makanya Mbah putuskan untuk menyimpan bendera ini di hati Mbah. Biar aman,” mbah Tarjo menjelaskan pada Tono dengan senyum tersungging. Senyum penuh kemenangan karena sebentar lagi pekerjaannya selesai sebelum senja gelap benar-benar berlalu. Sedetik kemudian, senja pun hadirkan kegelapan. Mbah Tarjo tersengal-sengal.
***
“Mbah sudah bangun?” tanya Tono yang mengunjunginya bersama orang tuanya malam itu di rumah sakit.
“Sudah, Cu. Kok Mbah bisa berada di sini?” tanya mbah Tarjo yang tertidur di sebuah kamar di sebuah rumah sakit. Botol infuse masih menggantung di samping ranjang tempatnya tergeletak tak berdaya. Tubuhnya masih lemas sampai-sampai dia tidak menyadari sudah berapa lama dia berada di sini. Yang diingatnya hanya saat itu ditemani Tono tengah menyelesaikan jahitan terakhir pada sambungan bendera merah putih.
“Panjang ceritanya, Mbah. Sekarang Mbah istirahat dulu, biar saya dan Tono yang menemani Mbah,” kata pak Jono, ayah Tono.
“Mbah mau apa?” tanya Tono.
“Mbah cuma ingin menyelesaikan jahitan yang belum selesai kemarin,” kata mbah Tarjo pelan.
Tono meraih tasnya dan mengambil selembar kain.
“Mbah tidak perlu mikir untuk menyelesaikan jahitan itu lagi. Karena saya sudah menyelesaikannya,” kata Tono dengan bangga sambil menyodorkan kain pucat itu pada mbah Tarjo.
“Wah hebat kamu. Mbah bangga sama kamu. Ternyata masih ada generasi muda yang peduli dengan benderanya sendiri,” kata mbah Tarjo berkaca-kaca. Suasana hatinya sudah penuh dengan suka cita dan bangga sampai-sampai dia tak kuasa membendung air mata. Air mata yang mengalir itu seketika menggerakkan hati Tono untuk menyeka setiap butir air mata yang meleleh di pipi keriput itu.
“Iya sudah. Karena kamu yang menyelesaikannya, Mbah izinkan kamu untuk memasang bendera ini di depan rumah. Besok kamu pasang di depan rumah ya,” kata mbah Tarjo.
“Tapi, Mbah,” jawab Tono menahan haru.
“Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya besok kamu harus memasangnya, ya?” kata mbah Tarjo, kali ini lebih tegas dari sebelumnya.
“Iya, Mbah,” jawab Tono sesenggukan dalam pelukan ayahnya, pak Jono yang juga tengah tergugu dengan pandangan terpaku pada kalender di kamar itu. 17 September 2011.

Bendera di Perbatasan

Oleh: Dinda Amalia


“Kita harus buat sesuatu di 17 Agustus nanti?” ucap Bima

Ketiga temannya melongo mendengar ucapan Bima. Aneh! Tidak biasa-biasanya Bima sok bersikap nasionalis seperti itu. Memang yang diucapkan Bima bukan hanya persoalan perayaan 17 Agustus saja. Tapi lebih daripada itu. Mereka menamai diri mereka dengan sebutan Pendekar Cilik. Pendekar Cilik yang terdiri dari Bima, Ayu, Nunu dan Parman. Mereka memang spesial karena mereka tinggal di daerah perbatasan. Mereka tidak pernah melihat di desanya ketika 17 Agustus tiba ada perayaan seperti di daerah lainnya. 17 Agustus di desanya bagaikan hari biasa saja.

“Makanya kita harus melakukan sesuatu nih?” ucap Bima sekali lagi

“Iya tapi apa Bim?” keluh Ayu

“Kita bikin upacara Bendera aja, ajak orang sekampung.”

“Emang pada mau? Bendera aja kita nggak punya” selak Nunu

Nyatanya, memang jarang sekali warga disini yang punya bendera. Mereka pun terdiam. Memikirkan beberapa ide yang kiranya pas untuk dijalankan pada saat 17 Agustus nanti. Mereka harus mencari cara terbaik untuk mendapatkan sebuah bendera merah putih.

“Oke..tenang teman-teman. Misi kita sekarang adalah membuat bendera. Caranya adalah kita harus mengumpulkan uang untuk membeli kain untuk dijahit menjadi bendera merah putih. Karena jahit lebih murah daripada membeli bendera. Nah masalah jahit, tenang aja ada emak ku yang siap membantu. Bagaimana?” ucap Bima membara

“Horeee!! Setuju”

~0~

Dua minggu berselang, para Pendekar Cilik berkumpul lagi dengan membawa uang yang mereka sisihkan untuk membeli beberapa meter kain untuk dijadikan bendera. Mereka mengumpulkannya ke dalam sebuah kaleng bening. Memandanginya dengan seksama.

“Apa iya, uang kita cukup Bim?”

“Aku rasa sih cukup. Besok pagi-pagi sekali kita ke kota untuk membeli kain.”

Mereka saling bartatapan. Tatapan penuh makna dan semangat yang membara. Besok Pendekar Cilik akan menjalankan misi kenegaraan. Mereka tak sabar menunggu pagi itu tiba.

Sebelum matahari mucul di permukaan, para Pendekar Cilik sudah menembus dinginnya pagi. Mereka berjalan ke arah jalanan desa. Menunggu omprengan yang menuju ke pasar kota. Dingin yang menusuk tidak menjadi penghalang bagi anak-anak ini untuk menjalani misi mereka. Membeli kain untuk dijadikan sebuah bendera.

Sesampainya disana, mereka benar-benar bingung karena tak satupun toko kain yang mereka jumpai. Kaki mereka letih untuk mencari namun semangat di hati mereka tak pernah padam. Menunggu keajaiban.

“Harusnya kita tidak perlu nekat sejauh ini”

“Kalau tidak nekat bukan pendekar cilik namanya. Lagipula selalu ada keajaiban bagi Pendekar Cilik.”

“Huh!”

Mereka terus mengamati sekeliling. Siapa tahu ada memang benar-benar ada keajaiban seperti cerita di dongeng-dongeng. Tapi nihil, di depan mereka justru hanya ada seorang nenek tua yang sedang kerepotan memegang belanjaannya dan berjalan tertatih-tatih.

“Teman-teman, kita ada misi lain nih” kata Bima dengan semangat

Mereka langsung dengan sigap membantu dan mengantarkan nenek tersebut ke rumahnya, yang jaraknya tidak jauh dari pasar. Dengan antusias, mereka bercerita kepada nenek tersebut bahwa mereka berasal dari desa perbatasan ke kota hanya untuk mencari toko kain untuk membeli kain yang nantinya akan dijadikan sebuah bendera merah putih untuk upacara di desa . Namun naas disini tidak ada toko kain.

Dengan tersenyum nenek itu berucap, “perbuatan kalian mulia sekali, sebentar ya.” Nenek itu pun masuk ke sebuah ruangan lalu membawa sebuah kain. Bendera merah putih.

“Ini untuk kalian. Hadiah dari nenek karena kalian sudah membantu nenek”

Dengan mata yang berbinar-binar mereka menerima bendera yang diberikan nenek. Memang selalu ada keajaiban bagi Pendekar Cilik. Kini, misi mereka hari ini tidak sia-sia. Misi mereka berhasil. Mereka pulang dengan kemenangan dan semangat yang membara untuk secepatnya merayakan 17 Agustus untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Walaupun tinggal di perbatasan, tetapi hati dan cinta mereka untuk Indonesia tak kenal batas.

Untuk pertama kalinya, bendera merah putih berkibar di desa mereka. Bukan hanya 17 Agustus saja bendera merah putih berkibar. Tapi akan berkibar membentang hingga tak kenal lelah.

Biru

Oleh: Indah Margaret Theresia Silitonga (@indahmargaret)

7 Agustus 2015

*Vienna, Austria

Seperti biasa, tumpukan partitur itu melenggang mesra di pelukanku. Aku selalu merasa sangat jatuh cinta setiap aku membacanya. Nada-nada itu, bercerita lebih dalam dari apa yang aku sebut batasan logika. Lebih dalam lagi, mereka merengkuh jiwaku.


“Hh..” Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menghangatkan tanganku yang terkepal dingin sambil menggenggam tumpukan partitur yang seolah bernada magis ini. Dihadapanku, panggung megah itu melenggang elok dengan keklasikannya yang abadi. Anak-anak kecil menari-nari dan bernyanyi indah dalam nuansa Victorian yang terkenal itu. Di ujung kiri sana, puluhan pemusik membangun harmonisasi simfoni lewat setiap ketukan yang indahnya tak bisa kulukiskan lagi.


Dan tiba-tiba saja air mataku tergelincir jatuh.


Dua hari lagi, tempat ini, Wiener Staatsoper akan menjadi saksi kerinduan panjangku yang membuncah hebat di nadiku. Dua hari lagi, disini, aku akan meletup seperti semburan kembang api menara Eiffel di setiap malam tahun baru. Dua hari lagi, aku akan menjadi bintang atas namaku sendiri. Kupandangi sebuah tiket yang berada di barisan paling atas partiturku.


“A Concert: SYMPHONY OF MOZART. Starred by Biru Atianosa Adhinata as Soprano.”


Aku memandangi setiap huruf berukiran tinta emas itu. Terlalu bahagianya perasaanku, sampai aku merasa seperti berada di ambang hidup dan mati. Jantungku berdegup kencang menggelitik adrenalinku. Tanganku dingin lagi. Kupejamkan mataku, menikmati semua ini. Disini, musik masih mengalun penuh romansa memainkan karya-karya yang akan ku nyanyikan nanti.


Ah..rohku terlepas dari ragaku.


“Biru..” Suara Pierre mengatup di telingaku.

Aku membuka mataku, dan menemukan teman bermusikku itu berdiri dihadapanku. Ah..Pierre..masih saja sama. Rambut emasnya, mata cokelatnya, dan tentu saja, senyumnya yang hangat.

“Kau tidak makan siang? Aku sedang kangen ingin makan pasta.” Tanyanya sembari memakai jaket beludru hitamnya.

“Kebetulan. Aku juga belum makan siang. Ayo.” Jawabku ringan.


Kami berjalan keluar dari gedung Wiener Staatsoper, atau sering juga disebut dengan Vienna National Opera. Keluar dari gedung ini, udara teduh kota Vienna langsung menyambut kami dengan manis. Burung-burung kecil beterbangan seolah menggodaku yang sedang berkecamuk bahagia. Sepertinya mereka tahu bahwa alasanku bahagia bukan hanya karena konserku akan digelar dua hari lagi. Namun juga karena siang ini aku sedang berjalan menyusuri jalanan kota Vienna bersama Pierre, penggoda hatiku sejak empat tahun silam. Bagiku, manis sekali rasanya, berjalan di bawah sinar matahari kota Vienna bersama Pierre. Pierre juga sama sepertiku, pecinta musik klasik, dan pengagum karya-karya maestro dunia seperti Mozart, Beethoven, juga Strauss. Pierre adalah seorang campuran. Ketampanannya merupakan harmonisasi eksotisme Paris dan Indonesia. Ya, Ayah Pierre adalah seorang Paris, dan Ibunya adalah seorang Indonesia. Itulah mengapa aku sangat menyukainya. Aku dapat bercerita banyak hal bersamanya. Tentang musik, bahkan hingga negara kelahiranku, Indonesia.

“Bagaimana rasanya?” Tanyanya lembut saat kami melewati patung Johan Strauss di pinggir kota ini.

“Hmm..aku sangat excited. Terlalu bahagia untuk bisa kulukiskan.” Jawabku dengan senyum merekah.

“Akhirnya impianmu benar-benar jadi kenyataan ya. Tidak sia-sia kamu jauh-jauh datang dari Indonesia untuk mendalami musik. Dari awal aku kenal kamu, aku tahu kamu pasti akan bersinar di bidang ini. Bakatmu cemerlang, Biru.” Ucapnya dengan dialeg campuran Paris dan Indonesia.

“Ah Pierre.. Justru aku semakin terinspirasi semenjak mengenalmu.” Jawabku.

“Tapi..setelah ini, apa kamu berniat pulang ke Indonesia?”

Langkahku terhenti saat aku mendengar pertanyaannya. Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba saja aku melihat anak-anak kecil berlari-lari membawa bendera Austria di tangan mereka. Seolah ini adalah suatu kebetulan juga, warna bendera Austria mirip dengan warna bendera Indonesia. Warnanya merah-putih-merah.


Darahku berdesir. Aku rindu melihat bendera negaraku lagi. Aku rindu melihat merah-putih lagi.


Kenanganku melayang pada masa-masa sekolah dulu. Dulu, aku adalah anggota Paskibra (pasukan pengibar bendera) di sekolahku. Ada rasa bangga dan bahagia setiap aku berbaris membentuk formasi indah sebelum bendera dikibarkan pada saat upacara setiap Senin di sekolah. Aku rela kulitku menghitam karena harus berlatih Paskibra hampir setiap hari di bawah terik matahari. Tiba-tiba saja aku merasa sangat rindu akan tanah airku.

“Biru..?” Pierre membangunkan lamunanku.

“Pierre..aku ingin pulang…” Aku merindu.

***


17 Agustus 2015

*Jakarta, Indonesia

Hari ini jalanan ramai dengan segala ornamen merah-putih. Hampir di setiap tempat, mataku menemukan warna ini lagi dan lagi. Meriah dan bahagia. Itulah kecamuk perasaanku saat ini. Dan luapan ini serasa mau terbang, ketika aku sampai di gerbang sebuah rumah yang sangat familiar bagiku. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Masih sama seperti dulu. Bougenville ungu, oranye, atau merah muda; barisan bunga mawar, bunga sepatu, dan beberapa jenis daun-daun hias masih bergelayut cantik disana. Yang berbeda adalah, ada bendera yang berkibar di gerbang rumah ini. Sebuah bendera dengan warna yang sangat familiar di ingatanku. Bendera kebangsaanku, bendera merah putih. Tanganku tak sabar membuka gerbang rumah ini, bergegas mengetuk pintunya yang selalu kucintai selama dua puluh tahun aku dibesarkan disini.

‘tok..tok..tok..

Dan pintu pun terbuka.

“Mama!” Aku histeris dan berhambur memeluk wanita yang berdiri dihadapanku saat ini. Wanita yang telah melahirkanku 24 tahun yang lalu. Wanita yang selalu ada di dalam doaku setiap malam.

“Biruku sayang..kamu pulang nak..” Mama mendekapku erat. Beberapa menit kami terdiam dalam isak.

Sejurus kemudian Papa, dan adikku keluar. Kami terdekap dalam rindu dan peluk. Sampai adikku menyadarkanku dengan sebuah pertanyaan.

“Siapa ini, kak?” Ia memandangi sosok disebelahku, yang hampir kulupakan karena aku terlalu bergelora saat ini.

“Ah..iya, kenalkan ini Pierre…” Kemudian, seutas senyum malu-malu terbingkai di wajahku.



*The End*

Petugas Pengerek Bendera

Oleh : Rahmi Afzhi W. (@Afzhi_)

Payah! Sungguh payah! Kenapa sejak awal aku dilahirkan sampai sekarang
tidak pernah bisa menjadi seperti mereka? Terlalu banyak halangan dan
tantangannya. Kenapa aku harus terikat di saat duduk di bangku Sekolah
Dasar dengan pionika yang aku mainkan di setiap Upacara Bendera hari
Senin? Dan kenapa aku harus merasakan yang namanya kekalahan oleh
orang-orang yang sudah terkenal di mata guru-guru mengenai prestasi
mereka saat aku SMP ini? Sedangkan aku, tidak begitu terkenal. Itulah
sebabnya aku jarang diajak untuk hal-hal yang barubagiku seperti
menjadi pengerek bendera.
Hari ini contoh nyatanya. Pemilihan peserta lomba PASKIBRAKA antar
kelas berlangsung di dalam kelas dipimpin oleh ketua kelas.
“Jadi, kesimpulannya siapa yang mau ikut perlombaan itu, acung tangan.
Jangan ada paksaan. Harus sportif.” Perkataan ketua sebentar ini telah
membuat otakku untuk meresponnya dengan mengacungkan tangan. Itu
pertanda aku mau ikut lomba PASKIBRAKA.
“Karena banyak yang ingin ikut, maka kita akan melakukan
seleksi,”lanjutnya. Kupandangi satu persatu pemilik tangan yang sedang
diacungkan. Ada Bulan, Mika, Lury, dan beberapa orang lain yang
kira-kira jumlahnya 18 orang. Huft! Tipis sepertinya harapanku untuk
ikut. Mereka yang kusebutkan namanya adalah orang yang ¬nge-top di
sekolah. Mereka adalah anggota OSIS yang sering ikut lomba apa saja.
Dan salah satu dari mereka adalah Wakil ketua OSIS, Bulan. Akan
tetapi, tetap kucoba lakukan yang terbaik. Siapa tahu, aku mendapatkan
hokiku hari ini.
“Kaki kamu diangkat lebih tinggi dong, Dis?” Anton yang paling jago
dalam urusan PBB menegurku dengan nada kesal.
“Iya, ya.” Aku sebel dengan orang-orang yang berada di depanku saat
ini. Rasanya inginku pukul wajah cakep mereka itu. Kalau saja aku
tidak sabar menghadapi mereka yang berusaha menjatuhkan
pesaing-pesaingnya dengan menyorak-nyorakkan kekurangan-kekurangan
lawan sudah kujadikan ikan pepes dalam daun pisang mereka. Rasanya
persaingan begitu ketat. Yang ikut 18 orang, yang bakalan dipilih cuma
8 orang. Itu artinya, 10 orang akan tereliminasi. Disa langkah kamu
kecilin dong, gerakkan kaki kamu lambatin dong, badan kamu tegapin
dong, pandangan kamu lurus ke depan dong, dan masih banyak lagi
ocehan-ocehan mereka tentangku yang membuatku tambah badmood.
Semua ini hampir sama dengan kejadian tiga tahun lalu. Tepatnya saat
aku duduk di bangku kelas V SD.
“Disa, kamu saja yang menggantikan Marwa, ya?” Ibu Mun memintaku
menggantikan Marwa yang tidak hadir hari ini, Sabtu. Padahal pada hari
Seninnya adalah giliran kelasku yang bertugas di saat Upacara Bendera.
Biasanya, yang menjadi petugas pengibar bendera untuk kelasku adalah
Tata, Bunga, dan Marwa. Sedangkan aku selalu menjadi anggota korsik
setiap minggunya memainkan alat musik pionika. Kalau aku ingin menjadi
petugas lain dalam upacara, walaupun untuk sekali, pelatih korsikku
akan selalu berkata, “Kalau kamu tidak ikut, maka korsik kita tidak
akan lengkap. Bunyi musiknya pun akan terdengar lambat dan tidak
bersemangat lagi.” Dan kali itu, adalah kesempatan emas untukku. Tidak
ada teman-temanku yang lain yang mau mengacungkan tangan sebagai
pengganti Marwa selain diriku.
“Baik bu. Saya bersedia,” aku menjawab pertanyaan Ibu Mun tadi.
Jadilah hari itu aku latihan bersama Tata dan Bunga. Kukerahkan
tenagaku untuk bisa mengisi kesempatan ini. Kesempatan melihat Bendera
Merah Putih berkibar gagah setelah aku menarik tali yang membawanya ke
ujung tiang. Latihan hari itu berakhir. Aku merasa senang tentunya.
Dua hari kemudian, tepatnya hari Senin, aku pergi sekolah pagi-pagi,
lebih cepat dari biasanya. Sebabnya, akan ada latihan sebentar sebelum
Upacara Bendera dimulai. Malang bagiku, ketika sedang menikmati
latihan, tiba-tiba Marwa muncul di belakangku. Menepuk pundakku
seperti mengusirku.
“Aku udah dateng. Jadi, kamu boleh nggak gantiin aku.” Perih bak
tersayat rasanya hati ini. Aku tidak mampu melawan. Tata dan Bunga pun
sepertinya lebih berpihak kepada Marwa. Secara, Marwa adalah teman
dekat mereka. Mau tidak mau, aku mundur. Membiarkan Marwa bergabung
dengan ketiga temannya. Dan aku kembali kepekerjaan rutinku, bermain
korsik. Namun, yang membuatku kesal dan juga tergelak adalah, hasil
kerja dari tiga orang pengerek bendera tadi sangat memalukan.
Benderanya terbalik menjadi Putih – Merah. Apa-apaan ini? Enak saja
dia mengganti-ganti warna bendera yang butuh perjuangan beratus-ratus
tahun untuk bisa mengibarkannya. Mungkin itu juga bisa jadi pelajaran
bagi mereka khususnya Marwa.
Bicara soal bendera, aku juga teringat dengan perlombaan tahun lalu
dalam memperingati hal yang sama dengan perlombaanku kini ‘Peringatan
Hari Kemerdekaan RI’. Teman-teman pasukan PASKIBRAKA dari kelasku,
VIIA mengalami kegagalan dalam mengibarkan bendera. Memang, bendera
yang digunakan bukan bendera Merah-Putih, melainkan bendera
berlambangkan lambang sekolahku. Karena tidak mungkin kan, kalau
bendera Pusaka kita itu dinaik-turunkan seenaknya. Bendera yang
dinaikkan tidak pas dengan lagu Indonesia Raya yang telah selesai
diperdengarkan. Benderanya tersangkut di tengah-tengah. Akhir cerita,
bendera itu menjadi bendera setengah tiang yang mengundang tawa
seantero sekolah. Malu deh teman-temanku. Aku sebagai salah satu siswi
yang kelasnya ditertawakan, juga merasa sedikit malu walaupun aku
tidak ikut serta dalam perlombaan.
Kejadian ini mengawali aku suka untuk menonton acara Upacara
Kemerdekaan di Istana Merdeka melalui televisi. Pasukan PASKIBRAKAnya
lebih tegap, hebat dan keren. Serta, ketika mereka mengibarkan Sang
Saka Merah Putih, semuanya pas. Bulu kudukku sampai merinding
dibuatnya saat melihat bendera itu berkibar dengan gagahnya.
“Dis, maaf sebelumnya. Sebenarnya aku tidak mau mengatakan hal ini.
Tapi, ini sudah keputusan kelas. Kamu tidak bisa ikut mewakili kelas
kita,” sang ketua kelas dengan wajah sok memelas berkata padaku seusai
latihan.
“Baiklah. Mau dikata apa. Terserah kalian aja deh.” Walaupun aku
kesal, kenapa tidak sejak tadi dia memberitahu kalau aku tidak
terpilih? Kenapa aku harus berpanas-panas dahulu membuat kulit
cokelatku menjadi bertambah gelap.
“Dasar Eri! Ketua gendut. Bilang dari tadi kek, kalau gue nggak ikut.
Muka gue jadi belang nih.” Eri sang ketua kelas hanya mampu nyengir
saat Hani, siswi yang bicaranya sedikit pedas yang juga tidak terpilih
menjadi peserta lomba memberikan omelannya.
Beruntung bagiku, saat aku sampai di rumah, adikku menyambutku sambil
berkata dengan gaya telonya, “Kak, kata Papa hali Labu besok kita
pelgi bellibul ke lumah Om Galih selama tiga hali.”
“Hah? Hari Rabu besok? Tepatnya tanggal 18 Agustus, saat
diselenggarakannya perlombaan di sekolah. Lalu, gimana sekolah kakak?”
Adikku hanya mengangkat bahunya. Aku tidak perlu jawaban darinya.
Mungkin akan seperti hari-hari sebelumnya. Jika ada keperluan seperti
ini, papa akan meminta izin kepada wali kelasku. Tentu aku tidak akan
bisa melihat penampilan teman sekelasku. Tapi aku tidak menyesal.
Malah aku merasa senang bisa berlibur. Sebab, walaupun begitu, aku
masih bisa melihat pengibaran bendera di televise nanti. Mudah-mudahan
saja, teman-temanku tidak melakukan kesalahan dalam mengibarkan
bendera seperti pengalaman teman-temanku dahulu.

Berkibarlah Engkau Dilangit Yang Tinggi

Oleh: @RyanJepank

Kau tahu kawan, ini tak mudah. Tak seperti yang sering kau rasakan dan yang mudah sekali kau ucapkan.

Pagi seperti biasanya, matahari masih terbit dari timur. Aku telah berada tepat di lapangan Ahmad Yani. Melahap semua sarapanku pagi ini, lari dan terus berlari.Tekadku sudah bulat. Aku harus menang dikejuaraan kali ini. Sudah lama aku memendam hasrat mengikuti kejuaraan ini. Sudah lama dan teramat lama.

Susah payah aku lari di lapangan ini. Latihanku telah usai. Pelatih tersenyum ada kenaikan speed ketika aku berlari dari putaran pertama hingga putaran terakhir dan aku semakin optimis.

Hari yang ditunggu pun tiba, aku dan peserta lain sudah berada di lapangan lari untuk memulai lomba. Kusapu pandangan ke arah tribun penonton. Semua berteriak lantang mendukung jagoannya masing-masing. Semua penonton melambai-lambaikan tangannya seperti memberi sapaan kepada jagoannya.

1, 2, 3, pelatuk pistol sudah ditarik dan meletup keudara. Coba kau lihat ke atas dan ke sekeliling kawan. Barangkali ada burung yang menjadi korban dari penembakan barusan. Baiklah, semua peserta lari dengan penuh semangat. Aku pacu terus semangatku. Bulir-bulir peluh mulai membasahi tubuh. Menang, menang, menang dan aku harus menang. Sampailah tinggal beberapa lagi putaran menuju garis finish dan aku masih urutan terdepan. Tiba-tiba kulihat jutaan kunang tepat berada di depan lintasan. Membentuk formasi yang indah namun terasa janggal karena ini kan masih pagi. Semakin dekat semakin jelas lalu kabur dan semua gelap. Sepertinya badan ini telah rubuh, aku jatuh. Sempat kulihat garis finish yang tinggal beberapa meter tapi aku seperti tidak sanggup untuk berdiri dan berlari kembali. Ah, musnah sudah semua harapan dan impian yang telah lama kubangun.

Lamat-lamat kudengar riuh rendah suara penonton ikut menyemangati. Mereka berteriak, mengepalkan tangan, dan masih sempat kulihat kekasihku mendekat memberi semangat lebih untukku.

“Semangat sayang garis finish sudah dekat jangan kau runtuhkan harapan jutaan rakyat Indonesia yang telah haus gelar. Kamu bisa” begitu dia menyemangatiku.

Seperti ada letupan semangat yang kembali hadir kala itu. Aku mencoba kembali bangkit. Benar apa yang dikatakan kekasihku, aku bisa dan aku pasti menang. Aku ingin mengibarkan bendera negaraku lebih tinggi dari negara lain.

Semua terasa berat tapi badanku kembali bangkit dan mulai kembali berlari. Finish. Semua penonton di stadion berteriak gembira, terlebih aku.

Kau tahu kawan sampai titik ini aku terus berjuang. Bendera negaraku berkibar tinggi di angkasa. Merah Putih bergoyang ditiup angin mesra. Lagu Indonesia Raya berkumandang, Indonesia jaya.

Sampai saat ini aku tercatat sebagai pelari tertua yang merebut medali emas dalam ajang lomba atletik untuk lansia. Aku tak pernah berharap akan sebuah tanda jasa. Aku hanya ingin Negara Indonesia dan bendera Merah Putih berkibar lebih tinggi dari Negara lain.

Bendera bernama Sessa

Oleh: Priscila Stevanni (@priscilstevanni)



Halle, Jerman.

Rio menatap gunungan surat di meja apartemennya. Setelah mengambil napas panjang, ia mulai membuka setiap amplop, membaca isinya, lalu melipatnya lagi. Ekspresi wajahnya berubah-ubah pada tiap lembar yang ditelitinya. Setelah ia selesai membaca semuanya, surat-surat itu kini terbagi ke dalam dua kelompok, yang satu lebih banyak dari yang lain.

Rio memandang tumpukan yang lebih tinggi dengan senyum terkembang puas. Sempurna, batinnya. Dengan bersemangat ia mengambil salah satu surat di tumpukan tersebut, menghempaskan diri ke sofa, dan menyusuri setiap kalimat yang tercetak dengan jantung yang berdegup semakin cepat.

“Gue diterima,” bisiknya dengan senyum mengembang. Dari sekian banyak lamaran yang diajukannya ke berbagai universitas, akhirnya ia diterima di tempat impiannya.

“Gue diterima di uni nomor satu di Jerman!” ia meyakinkan dirinya sekali lagi. Ingin rasanya ia berteriak dan melompat kegirangan untuk merayakan keberhasilannya itu. Lalu tiba-tiba nama seseorang terlintas dalam pikirannya. Buru-buru di sambarnya ponselnya dan menekan sederet nomor yang sudah ia hapal luar kepala.

“Halo,” jawab seorang gadis yang dikenalnya.

“Sessa!” Rio tidak dapat menyembunyikan antusiasme dalam suaranya,”Gue diterima! Gue bakal ke Berlin!”

Di ujung sana Sessa berusaha mencerna kata-kata sahabatnya itu. Nampaknya euforia membuat Rio tidak dapat menyampaikan maksudnya dengan jelas. Tak lama kemudian gadis itu tertawa kecil,“Oh, jadi lo diterima di uni yang lo mau? Congrats ya! Udah gue bilang kan? Lo pasti bisa. Be a good doctor then.”

Rio tersenyum mendengarnya. Sessa adalah satu-satunya teman dekat Rio di Jerman yang sama-sama berasal dari Indonesia. “Elo gimana? Dapet uni yang lo mau?”

“Iya,” nadanya terdengar riang, rasanya semua kerja keras selama preparation setahun ini terbayar sudah,”Tadinya gue mau ngabarin lo secepatnya, tapi ternyata lo baru balik dari Indo kemarin”.

Kalimat terakhir Sessa membuat Rio diam. Ia jadi ingat beratnya kembali ke sini setelah pulang tiga minggu ke tanah air.

Rio melirik kalender yang terletak di meja belajarnya. 12 Agustus. Ia membayangkan seperti apa semaraknya Indonesia menjelang hari kemerdekaan. Mendadak ia rindu dengan rumahnya. Ia rindu dekorasi merah putih yang menghiasi setiap sudut kota, ia rindu dengan berbagai perlombaan di sekolah, dan anehnya ia rindu menatap sangsaka merah putih yang membumbung tinggi di tengah hangatnya siraman mentari. Padahal dulu ia benci setengah mati dengan upacara bendera, tapi kini ia malah berharap bisa merasakan lagi pegalnya berdiri di lapangan bersama teman-teman dan teriknya matahari dengan hanya dihalangi sebuah topi.

Aneh. Ia rindu Indonesianya.

*

Tok-tok-tok! Sebuah gedoran keras membangunkan Rio dari lelapnya. Dengan langkah diseret ia bergerak menuju pintu.

“Merdeka!” Seru Sessa disusul dengan senyum playful yang bermain di wajahnya.

Masih terdisorientasi, Rio menatap cewek itu sejenak. Hari itu Sessa mengenakan baju bernuansa merah putih. Melihatnya, barulah ia sadar bahwa hari ini adalah tanggal 17 Agustus.

Rio menaikkan kedua alisnya, hampir meledak dalam tawa. “Elo semangat banget. Kita nggak bakal upacara di sini kan?”

Sessa menggeleng mantap,”Tapi gue orang Indonesia, dan gue pengen ikut ngerayain. Paling nggak hari ini ngingetin gue alasan sebenarnya gue ada di sini.”

Alis Rio bertaut tak mengerti.

“Nunjukin kalau orang Indo nggak kalah sama orang asing. Di sini gue akan berkibar dengan cara gue, dan saat gue balik ke Indo nanti, gue berharap bisa ikut membangun Indonesia dengan apa yang udah gue dapet di sini,” Sessa berkata dengan penuh determinasi, membuat Rio tersenyum simpul.

Memang nggak ada yang bisa mengalahkan semangat empat lima Sessa dalam hal ini, tapi justru karena itulah ia jadi punya semangat untuk berjuang di sini, demi negaranya, tempatnya berpulang.

Makna yang Hilang

Oleh: @Laksmita

Pagi itu sinar matahari menari-nari di atas puluhan anak-anak yang tegap berjajar. Kemeja putih dan bawahan merah, mereka semua memakai baju yang sama. Sesekali dari kejauhan terlihat ada beberapa anak yang menggerakkan tubuhnya karena pegal. Peluh mereka mulai tertarik turun ke bumi karena matahari yang terlalu bersemangat. Entah ke mana tumbuhan yang mereka sebut dengan pohon itu, sepertinya sudah dieksekusi.

Bila diamati secara mendetail, ada satu anak yang berdiri tegap penuh khidmat. Mungkin gempa bumi pun tak sanggup menggoyahkan kakinya dan melemaskan tangannya yang kaku dalam posisi hormat. Mimik wajahnya serius, berbeda dengan ekspresi anak-anak lain di sekitarnya yang sudah layu. Matanya berbinar-binar memandang kain yang separuh atasnya berwarna merah dan sisanya berwarna putih. Angin meniup kain dua warna itu dengan cukup keras, benda itu berkibar dengan anggun. Kibaran bendera itu tambah menyentuh hatinya.

“Sang Merah Putih, besok aku akan berjuang untuk mendapatkanmu. Aku berjanji akan memberikan yang terbaik besok karena aku sudah berlatih,” gumamnya sambil mengingat bagaimana cara latihannya selama 1 minggu terakhir ini. Push up dan sit up 50 kali sehari, berlatih lari sprint minimal 500 meter tiap hari. Meskipun kedengarannya sederhana, ternyata agak capek juga. Sebenarnya dia sendiri ragu apakah latihan ini diperlukan untuk lombanya, sayangnya ia hanya tahu tentang berusaha. Semua ini dia perjuangkan untuk sepeda BMX terbaru sebagai hadiah lomba 17 Agustus di kampungnya.

Lombanya tidak terlalu sederhana seperti biasanya. Lebih mirip triatlon, namun tidak dalam jarak yang jauh dan lebih fokus pada rintangan. Secara berturut-turut, peserta harus melewati lomba balap kelereng, lomba balap karung, lomba egrang, beberapa lubang, beberapa tanjakan, dan yang terakhir mengambil bendera merah putih untuk ditancapkan pada garis finish. Memang belakangan ini pengurus kampung jadi lebih kreatif dan inovatif gara-gara pengurus baru kebanyakan adalah para pemuda. Mereka berhasil menyedot perhatian warga dengan bukti lomba-lomba 17 Agustus sangat banyak pesertanya. Tiap warga sangat antusias, tapi anak yang satu ini jauh lebih bersemangat. Sesekali ia tersenyum ketika melihat bendera berkibar. Bukan gambar bendera yang ada di pikirannya, tapi gambar sepeda itu.

**

Kali ini matahari sore manis sekali, tidak terik dan tetap nampak, momen yang tepat. Anak dengan mata berbinar-binar itu sudah siap berjuang. Dengan tanpa alas kaki, kaos yang berlambang pemain timnas sepak bola dengan namanya sendiri di punggung, dan ikat kepala dari kain putih untuk membuatnya agak keren dari yang lain menurutnya.

Permainan belum dimulai, sementara para panitia membenahi peralatan, ia memutuskan untuk mencari tempat duduk dulu. Kursi plastik putih di sebelah ujung adalah tempat yang tepat untuk menunggu dan mengamati apa yang panitia sedang lakukan. Disandarkan punggungnya pada kursi itu sambil menghela napas.
“Sebenarnya untuk apa ya lomba seperti ini diadakan?” ia bertanya cukup lirih sampai-sampai orang tak akan tahu bahwa ia sedang bicara.
“Apakah hanya untuk buang-buang uang? Kenapa harus diperingati dengan cara ini?” naluri kritisnya mulai muncul. “Mungkin dengan mengikuti lomba ini sebagai bukti bahwa aku juga mencintai negaraku sendiri.”

“Nak, ayo sini! Lombanya sudah mau mulai.”
“Iya, Pak RT,” pikiran kritisnya dihentikan dan ia memfokuskan diri pada lomba.
“Nah, itu dia bendera yang harus kurebut. Itu benderaku!” ujarnya sambil menatap bendera setinggi 1,5 meter dari garis start.

“Siap? Yak!” aba-aba sang wasit.
Belasan anak laki-laki berlari sekencang yang mereka bisa, seperti tidak mempedulikan rintangan apapun yang berani menghadang mereka. Si anak dengan mata berbinar tadi terus memimpin di tiap rintangan. Sampai pada akhirnya ia hampir mencapai bendera. Kurang sepuluh meter, tidak ada yang sanggup menyusulnya, senyumnya merekah. Kurang lima meter, tiba-tiba ada yang menyusulnya, senyumnya pudar. Tangan kedua bocah itu menggapai tiang bendera bersamaan. Mengerahkan seluruh tenaga masing-masing agar bisa melepas bendera dari tangannya, berebut cukup lama. Dan kemudian entah bagaimana tangan mereka sudah sama-sama berada di bendera itu sendiri, dan masih berebut.

Sreekk!

Suara bendera robek itu menyakiti telinga. Mereka malah terlihat seperti kompeni yang ingin mengganti bendera dengan yang merah-putih-biru. Tapi mereka masih berebut tiang, anak yang penuh semangat tadi lengah, tiang itu lepas dari tangannya. Ia masih mengejar lawannya beberapa langkah ke depan dengan muka pasrah. Ia melihat lawannya menancapkan tiang tanpa bendera dengan tatapan memelas. Hatinya remuk, ia tidak dapat mewujudkan keinginannya. Namun lebih remuk lagi perasaan Pak RT, panitia, dan warga yang melihat bendera itu robek. Mengapa mereka jadi menyelenggarakan lomba peringatan kemerdekaan untuk merobek bendera merah putih?


Hadiah

Oleh: Acha (@achadarini)


Hanya sendiri, merasakan semilir angin yang menerpa mahkota peraknya, menyaksikan lembar-lembar daun yang tak kuasa menolak ajakan sang bayu untuk menari, bersuka cita menikmati indahnya sinat matahari yang telah berbaik hati mengurangi kegarangannya.


Hanya berdiam diri, melantunkan doa dalam hati. Doa terdalam untuk orang terkasihnya, mendoakan segala yang terbaik yang mampu ia pikirkan.


Hanya pada sudut itu, ia arahkan mata beserta kacamata usang kesayangannya. Menanti kembalinya seorang ksatria, ksatrianya, hanya miliknya.


Ya, memang hanya itu. Tapi, andaikan saja kau tahu, betapa besar arti hal itu baginya. Kau tak akan pernah lagi mengatakan ‘hanya itu’.


Selalu begitu, selalu itu yang terjadi. Ia tak pernah bosan, tak pernah jenuh dengan rutinitasnya. Ia nikmati setiap penantian, setiap rasa sakit yang ia percaya akan berujung indah.


Selalu begitu, selalu itu yang terlihat. Latar yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu, tak sedikitpun berubah. Tak ia hiraukan tubuh rentanya yang semakin lama semakin tak mampu berdamai dengan cuaca. Ah, dasar tubuh manja, urusanku lebih penting darimu, pikirnya.


Selalu begitu, selalu itu yang dirasa. Kerinduan, kerinduan yang teramat menyesakkan dada. Menyeret paksa nyeri tak terperi setiap kali rasa itu mendesak ke permukaan.


Selalu, selalu dan selalu akan tetap begitu.. Sampai seorang malaikat datang menjemputnya, mengantarkan ia bersua kembali dengan pujaannya.


Kau tahu? Kesetiaannya senantiasa ia jaga, tak pernah ia biarkan pergi walau hanya sekejap mata.


Kau tahu? Sorot matanya yang teduh, mengisyaratkan berjuta harapan, yang baginya merupakan seluruh dunianya, nafasnya, hidupnya.


Kau tahu? Ia tak pikirkan berapa detik yang telah terlampaui, berapa menit yang terbuang, yang ia tahu hanyalah ia mampu, walau sesak yang dirasa.


Kau tahu? Baginya, entah benar atau salah, ia tak peduli, ia akan tetap menanti, tetap berharap, tetap menanamkan benih kesetiaan yang akan disemainya nanti. Ketika ia yang ditunggu kembali menggenggam erat tanggannya dan tak kan pernah dilepas lagi.


Maukah kau tahu, apa yang ada dibenaknya? Sejujurnya, dibenaknya hanya bersemayam satu hal, asa seorang wanita biasa, berharap pulangnya lelaki terkasih yang gagah perkasa, kembali dari palagan untuk mengambil hadiahnya, sebuah bendera yang melambangkan keberanian sang lelaki serta sucinya cinta sang wanita. Bendera yang dijahitnya dengan sepenuh hati. Agar kelak, suatu saat nanti bendera itu dapat menyapa para rakyat Indonesia dengan senyum hangatnya, dengan penuh kebanggaan yang menyeruak begitu kuat di sanubari.

Di Balik Kibarmu

Oleh: Fiha Ruzieqna

aku tidak tahu
bahwa di balik kibarmu
tersimpan rahasia
misteri yang jika dibuka
bukan hanya membuat bulu kuduk merinding,
tulang membeku,
dan darah menyelinap keluar ke sekujur tubuh
namun
masa depan bangsa
cukuplah fatamorgana saja

aku tidak tahu
bahwa di balik merahmu
pahlawan tersembunyi menyerahkan darahnya
menyerahkan raganya yang tidak layak lagi
untuk dimanfaatkan dan dicampakkan
layaknya barang sekali pakai
sedang makhluk bejat berseragam
yang kau panggil pejabat
hanyalah sahabat dari penjahat
memedulikan dua hal:
harta dan nyawa

aku tidak tahu
bahwa di balik putihmu
harga diri bangsa sedang dipertaruhkan
kesucian bangsa diuji bertubi-tubi
tingkah laku atasanmu yang tak ubahnya pelacur
sumber dayamu yang semakin hancur
dan anak-anakmu yang tidak ada lagi seperti "kencur"
tidak segar, dan telah digerogoti oleh setan
bernama narkotika dan pornoaksi

aku tidak tahu
namun aku yakin
di balik batas merah dan putihmu
ada segaris harapan
yang dapat memisahkan kedua warna menyedihkan itu
kamu dan aku
ya!

kamu dan aku dapat mengubah pertiwi ini
memberikan batasan yang jelas
memperluas definisi perjuangan
karena kamu dan aku
bagaimanapun juga,
mau terima ataupun tidak,
akan menerima konsekuensi
dari rahasia bendera merah-putih

The Colour of Flag

Oleh: Anggun Heriyawan

Ide mengibarkan bendera tumbuh dari persyaratan perang kuno dan medan perang. Bendera disimbolkan dengan lambang untuk mengidentifikasi teman atau lawan. Prajurit perlu tahu dimana para pemimpin mereka dan kebiasaan membawa sebuah tiang dari ini ide bendera lahir. 
Menurut tradisi kuno bendera banyak dikaitkan dengan warna.....dan warna-warna tersebut sangat mempunyai arti dalam penggunaannya.....warna tersebut diantaranya :
  • warna kuning  mempunyai arti SIMBOL KEDERMAWAAN
  • warna putih mempunyai arti PERDAMAIAN DAN KEJUJURAN
  • warna merah mempunyai arti SIFAT TAHAN BANTING, KEBERANIAN, KEKUATAN & KEBERANIAN
  • warna biru mempunyai arti KEWASPADAAN, KEBENARAN & KESETIAAN, KETEKUNAN & KEADILAN
  • warna hijau mempunyai arti HARAPAN, KEGEMBIRAAN DAN KASIH dan dalam banyak kebudayaan memiliki makna SAKRAL
  • warna hitam mempunyai arti TEKAD dan sering mencerminkan warisan etnis orang-orang

Bendera Agus

Oleh: Intan Kape

Agus dengan tekun menjahit satu persatu kain yang sudah diborongnya dari bulan April lalu. Kain itu diborongnya dengan hitungan kiloan bukan per meter sebagaimana mestinya. Alasannya sederhana, kiloan jauh lebih murah walaupun kadang dijumpai cacat diantaranya.
“Gus, masih ndak kapok le? “ tanya ibunya dari ruang tamu.
Agus masih menatap yakin benang putih yang sudah susah payah dipilinnya. Berkali-kali benang itu terpeleset karena terlalu basah oleh air liurnya. “Ya ndaklah bu, pasti laku tahun ini” jawabnya yakin.
“ Sisa tahun lalu masih ibu simpan di atas kandang ayam”
“Jangan, yang kemaren sudah ndak bisa dijual bu”
Akhir tahun lalu rumahnya sempat terkena air bah. Lumpur berebut menciptakan kotor disetiap sudut rumahnya, tak ketinggalan sisa barang dagangannya. Setelah dicuci dan dijemur hingga berkali-kali warnanya tak kunjung kembali ke warna asalnya. Seolah warna itu telah menemukan jati dirinya dan enggan berganti lagi. Tapi beruntung, ayam-ayam di kandang tidak lagi berkokok panik pagi buta karena kemasukan kucing atau anjing tetangga.
Ibunya sadar, percuma berdebat dengan anak bungsunya. Tekad anaknya seperti istana pasir yang dibangun ditengah omak. Walaupun berkali-kali hancur, susah payah akan dibangunnya lagi. Mendiang suaminya adalah pedagang bendera musiman. Mungkin sifat keras kepala suaminya menurun 80 persen ke anak bungsunya. Memang, bulan Agustus dirasa sangat istimewa bagi suaminya. Selain hari kemerdekan Indonesia, anak bungsunya juga lahir dibulan yang sama tepatnya tanggal 5. Suaminya adalah seorang buruh tani biasa, tapi jiwa dan penghormatan pada bangsanya lebih tinggi dari sikap lurah yang ada di desanya.
“Aku hanya ingin meneruskan pekerjaan bapak, bu” kata Agus lirih.
Bulan Agustus tahun ini bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Kegiatan karnaval dan kegiatan menyambut hari kemerdekaan nyaris tidak ada. Entahlah, mungkin bangsa ini sudah lupa atau sengaja lupa. Agus hanya berusaha menyambut hari kemerdekaan dengan caranya. Berjualan bendera yang sekarang lebih banyak diminati yang berwarna-warni daripada bendera merah putih itu sendiri. Secara sadar Agus yakin keuntungan yang diperolehnya sedikit. Tapi, rasa bangga yang ada di dalam hatinya lebih besar dari semuanya. Susah dijelaskan secara lisan memang, tapi begitulah rasa memang tidak berteman baik dengan kalimat. Agus masih berharap instansi pemerintah dan sekolah sekolah memerlukan bendera baru untuk acara mereka.
“Le, gimana kalo besuk kamu jualan takjil saja? Lebih laku kayaknya” saran ibunya.
Agus tidak menjawab, hanya mampu diam dan kembali memilin benang ditangannya.

Benderaku Yang Hilang

Oleh: @TengkuAR

“Nyerah nggak?”
“Iyaaaaa…aku nyerah! Ampun!”
“Nggak usah teriak kek, nanti aku yang dimarahin Ayah nih!”
“Bodo amat! Kan Kakak duluan yang mulai…”, teriakku sambil memegang bendera putih.

Kangen! Iya, aku kangen sekali masa-masa kecilku, terutama kakakku. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki yang selalu melindungiku dan selalu ada untukku. Umur kami tidak terlalu jauh hanya berjarak satu tahun setengah, dimana sekarang aku berumur 27 tahun. Berbeda dengan dua adikku yang masing-masing terpaut lima tahun. Adik laki-lakiku saat ini sedang berlayar dan memang Ayah telah mempersiapkan pendidikan dia dari kecil. Sedangkan, adik perempuanku yang terpaut sepuluh tahun denganku baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan siap untuk berkuliah.

Jadi mau bagaimana lagi? Bukan maksud membandingkan kedua adikku yang lain. Aku memang sangat dekat dengan kakakku. Mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pertama kami ditempatkan dalam sekolah yang sama oleh kedua orangtuaku. Alasannya supaya mudah untuk dipantau pergaulannya dan kegiatan akademiknya. Hal itu juga yang membuatku dan kakakku semakin dekat. Bahkan saking tidak terlalu jauhnya perbedaan umur diantara kita, orang lain kadang menganggap kita kembaran. Lucu ya?

Predikat orang lain yang diberikan kepada kita berdua memang kadang menjadikan aku dan kakakku selalu bertengkar, entah dalam urusan pakaian atau mainan. Orangtuaku kadang saat membelikan pakaian untuk aku dan kakakku sengaja disamakan, mungkin yang membedakan hanyalah warna tapi motifnya tetap sama. Begitu juga dengan mainan, saat kakakku dibelikan mobilan oleh orangtuaku, maka keesokkannya aku harus dibelikan mobilan baru juga.

Pernah ada cerita yang selalu aku ingat saat umurku lima tahun. Saat itu aku dan kakakku mempunyai permainanan yang dinamakan, Bendera. Masing-masing kita harus mempunyai satu bendera berwarna merah dan putih. Maksud dari warna-warna tersebut adalah untuk menyatakan penyerangan dan menyerah. Aku dan kakakku biasanya menggunakan saat permainan dimulai. Memulai permainan ini bisa kapan saja, karena permainan ini dibuat saat keisengan kita berdua timbul. Layaknya saudara kandung pada umumnya. Bendera yang kita masing-masing bisa terbuat dari apa saja. Bisa dari kain, kertas atau pun plastik yang terpenting bisa mewakili warna yang kita sudah setujui.
Saat itu, kakakku pulang dari sekolahnya. Kebetulan aku sendiri belum bersekolah karena umurku dan biaya yang belum siap dan tersedia. Dan kita berdua tidak pernah mengalami sekolah taman kanak-kanak yang konon sangat menyenangkan, tapi tetap tidak membuat aku dan kakakku iri. Kakakku memang tipikal orang yang susah sekali dibangunkan untuk bersekolah. Setiap bangun pagi untuk bersekolah harus ada ritual menangis dulu, lalu baru berangkat sekolah. Mungkin hal itu yang selalu membuat hari-harinya murung setiap pulang sekolah. Aku yang saat itu tidak tahu apa-apa dan masih suka bermain, akhirnya memulai permainan Bendera itu.

“SERAAAANG! CIAT-CIAT-CIATTTT!”, aku memulai dengan beringas menghujam kakakku yang masih berpakaian lengkap sekolah.
“Aku lagi males main ah, Dek!”, dia menjawab dengan mukanya yang tiga belas lipat karena sedang keki dengan urusan sekolahnya.
“Ah! Kakak nggak seru! Ciiaaat-ciiiatt!”, sambil terus menghujam dia dengan bendera merahku yang terbuat dari palstik.
“Udahan nggak? Atau kakak marah nih.”
“Hiiiiat-Ciiiat-hiiiaat! Wuuushhh!”
“Oh beneran ya?”

Tak berapa lama kita berkejar-kejaran. Dan diakhiri dengan tangisanku yang mendunia keseluruh isi rumah sambil memegang bendera putihku sebagai tanda menyerah. Namun aku tetap senang dan jadi pemenang karena kakakku yang selalu kena omelan oleh orangtuaku.

Begitulah kisahku dan kakakku ketika kecil. Kakakku yang selalu dan akan tetap selalu ada. Aku merindukannya, semoga engkau di sana, di sisi Tuhan selalu baik-baik saja dan tenang selamanya. Selama 19 tahun aku masih harus belajar untuk jadi anak pertama, menjadi kakak dari adik-adikku di keluarga ini setelah kepergianmu. Kakakku adalah Benderaku yang hilang.

Bendera dan Seteguk Air Untuk Ali

Oleh: Ifnur Hikmah (@iiphche)
www.ifnurhikmahofficial.blogspot.com

"Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku"

Seorang anak kecil melambai-lambaikan bendera di tangannya. Selembar kain yang terdiri atas dua warna itu -merah dan putih- terlihat angkuh di bawah terpaan sinar matahari yang menyorot tajam. Peluh bercucuran di dahi anak itu. Baju kaos yang dikenakannya sudah basah oleh keringat, membuat kaos yang sudah lusuh itu -tidak jelas warnanya apa- semakin kelihatan buluk, terlebih jika dikenakan oleh tubuh kurus kering dengan kulit hitam legam akibat terpapar sinar matahari dalam jumlah banyak.
Tidak jauh dari tempat anak itu bernyanyi, duduklah seorang pria paruh baya dengan wajah kuyu termakan usia. Keningnya selalu berkerut, pertanda ada yang sedang dipikirkannya. Ditopangkannya punggungnya ke gerobak kayu berisi barang dagangannya seraya tangannya mengipas-ngipaskan topi lusuh yang sedari tadi dikenakannya.
"Ali, ayo duduk. Jangan bergerak terus."
Ali, anak kecil itu, hanya menoleh sebentar dan kembali berlarian kian kemari. Bendera yang digenggamnya masih berkibar-kibar tertiup angin.
Pria itu hanya bisa mendesah pasrah menghadapi ketidakpatuhan anaknya. Yang ada di pikirannya hanya satu, bagaimana jika anak itu haus? Diliriknya botol minuman yang terletak di atas gerobak. Botol itu telah kosong semenjak setengah jam yang lalu, setelah Ali menenggaknya tanpa sisa untuk menghilangkan haus di tengah hari yang panas ini. Bagaimana jika Ali meminta minum lagi? Meski ada warug kecil tidak jauh dari tempatnya berjualan, pria tua itu tidak memiliki uang. Belum ada sehelai benderapun yang terjual. Kantongnya kosong dari dentingan uang logam.
Kerutan di kening pria itu semakin banyak.

"Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu"

Bulan agustus telah memasuki minggu kedua. Hanya tinggal menghitung hari saja hingga negara ini merayakan hari jadinya. Perayaan yang semarak dengan warna merah putih kian terasa. Namun, untuk tahun ini, merah putih tak lagi menjadi malaikat penolong di keluarga Ali.
Tak ada satupun yang mampir ke gerobak pria tua itu untuk membeli bendera. Seolah bagi mereka perayaan hari kemerdekaan bukanlah sesuatu yang istimewa. Harapan tinggi yang digantungkan Ayah Ali dalam selembar kain berwarna merah putih tidak pernah menjadi kenyataan. Doa agar dapat menangguk rupiah dari helai-helai bendera tidak pernah terkabul. Tumpukan bendera itu tetap tidak berkurang.
Kemana rasa cinta tanah air rakyat negeri ini? Meski untuk sekedar memasang bendera pun mereka sudah enggan. Mungkin, apa karena negeri ini sudah terpuruk sehingga mereka bersikap acuh tak acuh?

"Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Tanahku rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia raya"

Sekali lagi pria tua itu menghela nafas. Dia mencintai negeri ini, tempatnya dilahirkan dan tumbuh besar. Disini jugalah Ali terlahir. Namun, negeri ini pulalah yang memberikannya hidup dalam serba keterbatasan. Lalu, mengapa bendera-bendera ini tidak membalas rasa cintanya? Pria itu tidak mengharap banyak, cukup beberapa rupiah saja asalkan dia bisa memberi makan istri dan anaknya.
Sama sekali tidak diduganya, bendera yang sangat diagung-agungkannya itu turut mengkhianatinya, mendorongnya kian jauh ke dalam lobang kemiskinan dan ketidakmampuan.

"Indonesia raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang ku cinta
Indonesia raya merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia raya"

Ali menghentikan larinya. Peluh kian membasahi tubuhnya. Bendera yang sedari tadi berkibar pongah seiring gerakannya, kini menjuntai pasrah. Ali mendekati bapaknya, membuat kerutan di kening pria tua itu bertambah banyak.
"Pak, aku haus."
Pria tua itu tertunduk lesu. Ketakutannya terbukti sudah.
"Minumnya habis nak."
"Kan bisa dibeli, Pak?" Yah, anak sekecil Ali memang belum mengerti persoalan keuangan yang menimpa keluarganya.
"Nanti ya, kalau ada yang membeli bendera ini, uangnya kamu beliin minuman."
Ali mengangguk antusias. Kembali dikibarkannya bendera itu. Kelelahan yang menghampirinya membuat gerakannya tidak seleluasa tadi. Bendera itu hanya melambai pelan sebelum kemudian menjuntai pasrah. Sepasrah raut wajah pria itu dalam menghadapi kehidupannya.

"Indonesia Raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang ku cinta
Indonesia raya merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia raya."

Bahkan, untuk membeli sebotol minumanpun, bendera itu tidak mampu menolongnya.