Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 30 Maret 2011

Nominasi Best of the Week! (2)

Sambutlah nominasi Best of the Week babak 2!

Malam Lelehan Rembulan oleh Gabriella Santoso (@myturtlylife)
Laki-laki Sendok Karat oleh Bunga Istyani
Perempuan Muda dan Makhluk Lembutnya oleh Ceria Firanthy (@ceriafs)
Ajal di Cahaya Cerlang Matamu oleh @StephieAnindita
24 Jam oleh Riezky Oktorawaty
Ah, Aku Memang Berbeda oleh Ceria Firanthy

Tulisan-tulisan diatas merupakan 6 karya peraih BOTN minggu ini. Vote cerita favoritmu!

Nominasi Best of the Week! (1)

Maaf ya atas kealpaan kami untuk meng-update Best of the Week. Maka sambutlah nominasi Best of the Week babak I!

Pada Laju Kereta oleh Andi Wirambara (@baracoedaz)
Batas Waktu Senja oleh @mazmocool
Monolog Dengan Sang Ombak oleh Bunga Istyani (@bungaistyani)
Berita Tak Menentu oleh Cininta Pertiwi (@nintacininta)
Namaku Yellow oleh Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80) 


Enam tulisan pertama ini adalah nominasi BOTW dua minggu yang lalu. Ayo pilih cerita favoritmu untuk dimuat di Herve Magazine!

Best of the Night 29 Maret 2011

Yak...best of the night untuk tema 'Berbeda' jatuh kepada...

oleh: Ceria Firanthy Sakinah(@ceriafs)


Mengapa demikian? Kita bahas, yuk! :)

1. Kalimat pembuka cukup menarik. Memancing pembaca untuk membaca lebih jauh dengan deskripsi karakter si 'Aku' yang begitu real dan detil. Skor 3

2. Twist ada, tertebak di tengah cerita. Mengejutkan? Agak. Namun perlu dipuji karena berani mengangkat unsur sosial dan mempermainkan psikologi pembaca. (sisanya baca sendiri karena takut spoiler) Skor 4

3. 90-100% penulisan benar. Perlu diperhatikan ada perbedaan penggunaan partikel 'di' untuk tempat dan kata kerja. Di tanganku, bukan ditanganku. Harap diperhatikan lagi ya :) Skor 4

4. Cerita yang disampaikan sebenarnya umum, namun disampaikan dengan cara yang menarik. Skor untuk kategori ini adalah 3

5. Tulisan jelas sesuai dengan tema. Beda banget deh pokoknya! Skor 4

6. Diksi sangat bagus. Penggunaan metafora dan pendeskripsian situasi digabungkan sehingga menghasilkan sebuah karya yang 'lezat' untuk disantap. Skor 4

Begitulah penilaian admin terhadap karya yang menjadi BOTN ini. Berbeda dari biasanya, bukan? ;)

Hari yang Berbeda

oleh: @mazmocool



Tak seperti biasanya, pagi ini ada yang berbeda dengan senyumku. Menatap seraut wajah yang berdiri kaku dihadapanku. Wajah itu tersenyum sinis padaku. Aku berusaha tetap tersenyum manis seperti biasanya, tetapi tetap saja sosok itu mencibir dalam senyum. Tak seperti biasanya. Membuatku tak tahu apa makna dari senyuman itu.

Ruangan inipun tak seharum hari kemarin. Aroma melati semerbak mewangi. Kelambu tipis terpasang dengan indahnya di sebuah tempat tidur yang lebih bersih dan rapi dari biasanya.

Kulihat wajah itu berlalu dari hadapanku. Kurasakan ada yang berbeda dengannya pagi ini. Senyumnya tak semanis kemarin saat menatapku. Bahkan langkahnyapun tak setegap saat pertama dia mengenalku. Dengan agak terseret, dia melangkah ke ruang tengah. Penampilannya lebih rapi dengan tubuh dibalut setelan jas warna hitam. Sepatu sportnyapun tak lagi sama dengan yang kemarin. Sepatu sportnya berubah menjadi sepatu pantofel mengkilat.

Pintu yang terbuka membuat pandanganku leluasa memandang setiap titik rumah itu. Kulihat dia menghilang

dari pandanganku dan bersembunyi di balik punggung yang lalu lalang. Aku masih terdiam tanpa kata-kata melepas kepergiannya dalam sejuta tanya akan perubahannya. Di satu titik kulihat sebuah singgasana berdiri dengan megah. Singgasana yang tak pernah ada disana sebelumnya.

Suara riuh rendah orang yang sibuk mengatur ruangan tak bisa membuatku beranjak. Rumah yang biasanya sepi dengan empat orang penghuni, termasuk aku, kini menjadi banyak penghuni layaknya rumah susun. Sosok demi sosok berbalut pakaian mewah berseliweran. Beberapa diantaranya mengatur piring dan sendok dalam sebuah tatanan yang rapi. Meja kursi tamu tak lagi berada di tempatnya. Diganti dengan kursi plastik yang berderet rapi.

Aku mendengar jam dinding berdentang sembilan kali. Biasanya hanya aku sendiri yang mendengarnya, tetapi tidak hari ini. Hampir seratus orang mendengarkan dentang jam dinding itu. Mendengar dentangan itu mereka segera duduk dengan rapi untuk mengikuti sebuah prosesi. Prosesi sakral yang belum pernah terjadi di rumah ini.

Sosok itu duduk rapi di depan seorang yang sepertinya adalah seorang penghulu. Disampingnya duduk seorang perempuan paruh baya, yang aku yakin dari usianya dia adalah ibunya. Duduk berderet disana keluarga besarnya. Di deretan paling depan, duduk sepasang mempelai. Seorang laki-laki yang mirip dengan sosok itu, tetapi usianya lebih

muda, duduk khusyuk di depan penghulu. Di sampingnya duduk mempelai perempuan yang cantik, secantik diriku.

Tak lama prosesipun selesai, saat tamu yang hadir serentak menjawab, "sah!" Kedua mempelai dan yang lainnya tersenyum bahagia, kecuali sosok itu. Sosok itu tertunduk saat mempelai pria yang ternyata adalah adiknya menyerahkan sebuah bingkisan kepadanya, sebagai tanda pelangkah. Keduanya berangkulan haru, sementara sang ibu hanya bisa menangis penuh haru.

Kedua mempelai menuju singgasana, yang kemarin adalah tempat lemari buku bertahta. Kini sebuah singgasana menggantikannya dan memberikan tempat terindah bagi kedua mempelai. Sosok itupun berlalu sejenak dan melangkah menghampiriku.

Berkaca-kaca dia menatapku penuh iba. Bibirnya bergetar hebat tatkala tangannya menyentuh wajahku. Tangisan yang tak pernah kudengarpun pecah seketika. Sesuatu yang berbeda telah terjadi dalam hidupnya.

"Kenapa kautinggalkan aku?" ratapnya pilu.

Aku hanya terdiam, karena aku hanyalah sebuah foto usang yang tertempel di kaca lemari pakaiannya. Dan kini aku menjelma menjadi seorang putri di singgasana, bukan dengan dia, tetapi dengan adik laki-laki satu-satunya.

Malam Tahun Baru

oleh: Bintang (@bintangioustar)



Langit malam ini begitu cerah, diterangi dengan sinar bulan yang bulat menggantung di awan, juga kerlipan bintang-bintang. Sebentar lagi pergantian tahun akan tiba. Aku merasa damai berada di sini, di pantai yang sepi tanpa orang-orang yang hura-hura merayakan malam pergantian tahun. Deru ombak sangat menenangkan hatiku. Tak ada yang lebih indah, selain menikmati malam tahun baru jauh dari keramaian.

Seandainya saja dia ada bersamaku di sini. Mungkin malam ini akan terasa lebih indah. Menanti pergantian tahun dengan kekasih, di pantai yang indah dan sepi ini, uhhh romantis! Tapi kini aku dan dia sudah berbeda. Mungkin saat ini dia sedang asyik menanti pergantian tahun dengan kekasihnya.

Masih satu jam lagi, lebih baik aku menuliskan apa yang menjadi targetku di tahun mendatang. Ketika orang-orang sudah dari jauh-jauh hari merancangnya, aku justru baru ingat sekarang. Tapi aku pikir merancang target seperti ini tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah niat dan kemauan yang keras untuk mewujudkannya. Ya, aku rasa aku ingin berbeda dari tahun sebelumnya. Maka dalam buku itu kutulis dengan huruf besar semua BERBEDA.

Aku juga heran, kenapa aku harus menulis kata “berbeda” dalam resolusi tahun baru ini. Memang, tahun baru kali ini sangatlah berbeda. Tak ada dia di sisiku, membawa kartu ucapan selamat untuk tahun baru juga untuk ulang tahunku. Tahun baru kali ini, harus kuisi dengan kesendirian dan luka masa lalu. Angin pantai berhembus kencang. Aku memikirkannya dan aku mengharapkan dia ada bersamaku di sini.

Tiba-tiba aku teringat dengan sebait lirik lagu simfoni hitam dari sherina

“Malam sunyi kuimpikanmu, Kulukiskan cita bersama, Namun selalu aku bertanya,Adakah aku di mimpimu”

Oh Tuhan, ini Semuanya tentang perasaan. Bagaimana semua tentangnya selalu membayangi dan hadir dalam setiap derap langkahku. Banyak pertanyaan yang hinggap dalam benak dan pikiranku apakah dia merasakannya juga, dalam mimpinya, dalam hatinya dan dalam rindunya. Dan mengapa sepertinya kenyataan yang berbicara bahwa tak bisa memilikinya, menyentuh hatinya. Lirik ini begitu dalam. Suara kembang api menggelegar memekakan telinga. Kulihat jam tangan sudah menunjukkan pukul 00.00. pergantian tahun pun tiba. Aku menunduk memanjatkan doa pada yang Maha Esa.

Ah, Aku memang Berbeda

oleh: Oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)

http://meandnotes.tumblr.com/



Sulit untuk berbohong dan mengatakan bahwa aku tidak bosan berada di antara kepulan asap rokok, dan musik yang hingar bingar ini. Sejujurnya aku tidak suka musik dangdut, aku tidak suka Julia Perez, tapi aku harus tetap disini demi uangku. Ah, kadang aku berpikir jahat sekali orang yang pertama menemukan sistem uang untuk jual beli zaman dulu, tapi setelah kupikir lagi aku juga tidak tahu mengapa aku harus berpikir begitu sedangkan uang sendiri adalah hidupku. Setan. Aku ini lulusan sekolah ternama tapi malah terdampar di tempat hina.

Hah, kasihan aku ini.

Berkali kulihat Gucci ditanganku, tertera jarum pendeknya ke angka dua dan aku mulai bertambah risih tak sabar mengapa angkanya tak berubah-ubah. Aku sudah tak nyaman. Bukan, bukan karena sofa ini kurang empuk atau bagaimana, tapi tangan laki-laki berkumis cokelat tebal itu sejak dari tadi tak bisa diam. Kulemparkan bengis di dalam hati, tapi kusuguhkan senyum genit dihadapannya. Mungkin aku munafik, tapi bagaimana? Toh, aku memang berbeda dari mereka.

Ya, sejak lahir aku memang berbeda. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang sangat berbeda. Jika ibu lain bahagia ketika melahirkan anaknya, lain lagi dengannya, ia malah menaruhku di bawah sebuah pohon rindang, di samping sebuah panti asuhan di ujung jalan Jenderal Sudirman. Aku memang berbeda. Entah berapa kali aku dikurung di kamar rahasia karena membuat temanku celaka; jatuh dari tangga, tersedak ketika makan roti mentega atau hal-hal lain yang jika sekarang kupikirkan sudah tak ingat. Nah kan, aku memang berbeda. Ketika umurku delapan, seorang suami istri yang tampak bahagia mengangkatku jadi anak mereka. Aku senang, karena kalau mau tahu sejak dulu aku memang ingin punya sepasang orangtua. Mereka menyekolahkanku hingga SMA, harus kalian tahu aku masuk SMA ternama.

Tapi apa daya, karena aku berbeda, mereka itu—ibu dan ayahku sembari menyekolahkanku, juga, seakan tak mau rugi, mengharuskan aku bekerja. Berkerja sesuai bidang mereka.

Kalau kalian ingin tahu juga, aku ini mempunyai banyak saudara. Gadis-gadis muda dengan keseharian memakai rok mini, kaos you can see dan bergincu merah muda. Ketika berumur lima belas tahun akupun memakai pakaian yang sama, ibu yang menyuruhnya. Aku sangat menyayangi ibu. Ketika aku mulai memakai gincu, ibu selalu bilang padaku jika aku sayang padanya aku harus bekerja—melakukan sesuatu yang ia katakan. Ibu menyuruhku masuk ke sebuah kamar gelap. Awalnya aku takut tapi ternyata aku tidak sendirian disana, ada orang lain juga. Seorang laki-laki tua dengan perut besarnya. Karena aku berbeda, aku menurut saja.

Setelah dewasa aku baru tahu aku ini melakukan apa. Karena tahu aku berbeda, aku teruskan saja toh aku sudah terjerumus juga. Sudah 25 umurku sekarang dan anehnya sekarang aku baru mulai bosan. Seorang pemuda bernama Anda-lah penyebabnya. Pertama ia datang untuk kencan. Kedua dia datang bilang cinta. Ketiga dia datang berceramah tentang hidupku yang tak layak. Keempat dia mulai berani mengajakku keluar dari tempat ini bersamanya. Tiga kali kutolak, namun akhirnya akupun luluh juga. Hari besarpun kurencanakan bersamanya, namun karena aku berbeda, justru aneh jika rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja. Aku berhasil keluar, aku diajak ke rumahnya yang besar, namun aku akhirnya kembali juga ke tempatku semula. Ya, ibu Anda bilang ia tak rela anaknya bersama dengan bekas PSK.

Bekas?

Ha-ha.

Aku toh masih tetap berada dalam jalurku semula.

Aku masih diriku. Aku masih berbeda dari mereka.

Tapi Anda bilang, sudah terlalu jauh untuk menyerah begitu saja. Ia mencintaiku, begitu dia bilang. Pagi ini, pukul enam dia akan datang. Aku hanya diam, tapi entah mengapa aku juga tak sabaran karena Anda akan mengajakku kawin di Pulau Seberang.

Sebut Saja Aku Gila

oleh: @bungaistyani


Aku disebut gila diantara orang gila, lalu kalau begini siapa yang sebenarnya gila?

Kata orang aku gila memakai sweater tebal dihari yang sangat panas, kata orang aku gila menari ditengah kerumunan orang banyak, kata orang aku gila berlari-lari dilapangan ketika petir sedang ramai menyambar, kata orang aku gila berbicara dengan tanaman.

Tapi mengapa hanya kata 'gila' yang terucap keluar dari bibir mereka? Mengapa tidak ada yang mau sedikit bersusah-susah bertanya 'kenapa' ?

Impian yang salah. Seharusnya itu yang aku tanamkan dari kecil di otakku, hei bersikaplah seperti orang kebanyakan, tapi aku memilih untuk menjadi yang unik, bukan gila. Mereka hanya tidak pernah mengerti, bahwa aku memakai sweater disiang hari yang panas, karena itu satu-satunya baju yang aku punya, aku menari ditengah kerumunan orang banyak karena aku bersyukur sampai sekarang aku masih hidup didunia ini, aku berlari dilapangan dikala petir menyambar, karena aku gembira karena sudah sebulan ini tidak turun hujan, dan aku berbicara pada tanaman karena tidak ada orang yang sudi untuk mendengarkan kisah sukaku atau dukaku, tapi lagi-lagi aku disebut orang gila.

Demikian mereka memandang aku, tapi aku yakin orang yang ramai-ramai menyesengsarakan rakyat, merekalah yang harusnya disebut orang gila, mereka yang duduk di cafe atau membuang uang ke pelacur-pelacur itu sementara didepannya ada orang yang merintih kelaparan, merekalah yang seharusnya dikatakan gila. Mereka yang mengambil lahan tempat tinggal kami dan membiarkan kami mati dengan perlahan, merekalah yang paling gila.

Hmm... Ya sudah baiklah, aku tidak mempedulikan kata-kata gila dari orang macam mereka. Kegilaan sudah lama bernaung didalam pikiran aku, kamu, bahkan kita.

Tapi tolong, jangan sebut aku orang gila hanya karena kamu menganggap diri kamu sempurna.




oleh @bungaistyani
dalam kegilaan.

Gadis Pinokio

oleh: @alavyashofa
http://lavlie-shofa.blogspot.com


"Apa kabar, Sai?", kata Tira sambil menjabat tangan teman lamanya itu.
"Baik," Perisai menjawab sambil tersenyum manis.
Kok si Perisai kelihatan berbeda, ya? Tira membatin.

***
"Aku malu, Tira. Huhuhu," Perisai menangis tersedu-sedu.
"Ssshhh, kamu jangan nangis dong, Risa," Tira agak panik juga. Takut ketahuan Bu Gina, guru kelas mereka. Tira juga takut kalau dirinya akan dituduh menjadi penyebab sahabatnya menangis.
"Kamu cantik, Tira. Aku enggak. Huhuhu."
"Ssshhh. Kamu juga cantik. Cantik, Risa! Si Doni dan Kudit itu emang nakal. Nanti aku laporin Bu Gina, ya?"
"Jangan! Emang mereka benar. Aku jelek. Hidungku ada 'e'enya. Huhuhu. Aku jelek! Jelek! Aku gak suka hidungku! Aku alieeeenn. Aku makhluk luar angkasaaaaa!" tangis Perisai malah makin menjadi-jadi.
Tira mengusap-usap punggung Perisai yang masih menangis.
Tira tidak pernah berpendapat bahwa teman sebangkunya itu tidak cantik, apalagi jelek. Perisai lucu. Mukanya unik kayak boneka. Matanya besar, hidungnya mancung, dan yang membuat Perisai berbeda adalah tahi lalat besar persis di cuping hidungnya. Dasar si Doni dan Kudit jahil, mereka suka sekali mengejek Perisai dengan sebutan hidung 'e'e. Padahal itu bukan 'e'e. Itu tahi lalat! Tapi tetap saja Doni dan Kudit bilang tahi itu kan 'e'e.
***
Sehabis lulus sekolah dasar, Perisai pindah ke Palembang. Sejak saat itu, Tira tidak pernah mendengar tentang Perisai lagi. Sampai tiba-tiba Perisai muncul di televisi sebagai finalis Puteri Negara Indonesia. Tira kaget dan senang dibuatnya. Lalu ia pun mengirimkan sms sebanyak-banyaknya untuk mendukung sahabatnya itu untuk menjadi Puteri Negara favorit.
Waktu jua yang mempertemukan kembali kedua sahabat itu. Mereka bertemu dalam pernikahan Revalina, teman kuliah Tira, juga teman main sinetron Perisai.
***
Tira mengamati wajah Perisai dari kejauhan. Apa ya? Apa ya? Apa ya, yang beda? Batinnya bertanya-tanya.
"Kenapa, lo, Ra?", Radit, sepupunya yang menemani Tira ke pesta pernikahan ini, menangkap kegelisahan Tira.
"Enggak, kayaknya ada yang aneh sama dia tuh," Tira mengarahkan tangannya pada Perisai.
"Lo nggak usah sirik gitu lah sama teman sendiri. Kalo lo pengen jadi artis juga, ya bilang sana sama teman lo itu. Kali aja dia bisa ngenalin lo sama sutradara siapa gitu," mata Radit masih tak lepas dari salad buahnya.
Artis? Apa Perisai jadi berbeda karena dia sudah jadi pemain sinetron dan pacaran sama sesama pesinetron juga? Rasanya enggak mungkin ah. Dia gak sombong kok. Canggung sedikit, ya wajarlah, namanya juga lama gak ketemu.
"Gue paling suka sama film terakhir dia itu, Ra. Judulnya apa tuh? Gue lupa," Radit berpikir sejenak, "gue inget! "Gadis Pinokio" judulnya. Dia lucu banget ya. Natural gitu mainnya. Duh, makin kesengsem gue, Ra."
Tira membenarkan dalam hati. Perisai sampai mendapatkan penghargaan gara-gara aktingnya keren di film itu. Di film garapan sutradara terkenal Rudi Sutaryo itu, Perisai berperan sebagai gadis yang tidak sengaja menemukan boneka Pinokio, boneka berhidung panjang.
Hidung panjang..hidung? AHA! Tira tahu sekarang apa yang berbeda dengan sahabat masa kecilnya itu. Hidung! Hidung!
Tira berjalan meninggalkan Radit sendirian. Ia akan menemui sahabatnya. Ia harus menanyakan bagaimana tahi lalat besar di hidung sahabatnya itu kini bisa hilang!

Dare To be Different

oleh: @larissayuanita


Aku Sam, aku suka berfikir bahwa aku adalah anak buangan yang tak berguna sedikit pun. Sepertinya, orangtua ku membenci ku. Mereka selalu memukuliku sejak aku kecil. Kalau boleh memilih, aku lebih baik tak usah dilahirkan didunia ini saja. Toh, aku ini anak yang tak berguna. Aku selalu mendapat prestasi yang buruk. Talenta lainnya pun tak ada. Bukankah aku lebih baik mati saja? Tapi pikiran tak berguna itu telah aku bertemu seseorang yang telah mengubah hidupku. Aku bisa kenal dengannya karena waktu aku sedang menangis di bawah sebuah pohon di taman, dia menghampiriku. Kakek tua itu menanyakanku mengapa aku menangis. Lalu aku menjawab : “ Aku sedang meratapi diriku yang sudah selayaknya dibuang.” Kakek itu pun menjawab sambil mendekati dan duduk di sebelah aku. “Apakah kamu sudah berbakti pada orang tuamu?”. Aku terdiam sejenak dan menjawab: “Aku.... Hmm. Aku suka membantah mereka, karena mereka selalu memintaku dengan teriak-teriak. Dan jika aku tak mau, aku selalu di pukul dengan kemonceng di pantatku.” Kakek itu pun menjawab: “Kalau begitu, sekarang pulanglah, turuti apapun kemauan mereka. Karena kakek yakin, mereka melakukan itu semua demi kebaikan mu. Walaupun mereka melakukan nya dengan keras. Mungkin mereka berfikir, dengan memukuli mu, bisa membuat kamu sadar.Dan minta maaflah pada mereka. Aku tau, prestasimu di sekolah pasti tidak memuaskan, hormatilah dan patuhilah orangtuamu, aku yakin, dengan melakukan hal mulia itu, prestasi mu akan meningkat dengan sendirinya.” “ Tapi bagaimana mungkin? Aku sekarang membenci mereka.” “Coba dulu, kamu takkan tau sebelum kamu mencoba. Pulanglah.” Aku membelakangi kakek itu. Dan saat aku membalikkan badanku kearah kakek tadi duduk, dia menghilang. Aku kaget. Aku langsung kembali kerumah dengan berlari.

Sesampainya dirumah, aku langsung masuk ke kamar dan menghempaskan diri ke ranjang. Tak lama kemudian aku terjun ke dunia mimpi. Aku bermimpi, aku bertemu kakek tua itu. Kakek tua itu berkata : “Bangunlah nak, minta maaf lah ke kedua orangtua mu.”

Aku pun terbangun dari mimpi itu. Aku takut setengah mati. Aku langsung menghampiri kedua orangtuaku dan meminta maaf karena aku tidak pernah mendengarkan nasehat mereka, sekaligus berjanji akan menuruti apapun permintaan mereka. Mereka pun memelukku dan berkata: “Kami hanya ingin melihatmu bahagia di kemudian hari, dan mungkin cara kami memang salah. Kami juga minta maaf.”

Keesokkan harinya, aku membuka lembaran baru dalam hidupku, aku mengatur hari-hariku dengan baik dan hubungan aku dan orangtuaku semakin baik. Kini, aku mendapat prestasi yang baik.

Sejujurnya, aku masih bingung, siapakah kakek tua itu? Orang yang telah memberi nasehat yang langsung merubah hidupku ini. Aku baru sadar, mungkinkah itu Tuhan? Dia menegur aku disaat aku berada di jalan yang salah. Dia mengangkat aku disaat aku tak berdaya. Dari kejadian ini, aku menjadi pribadi yang berbeda. Tuhan telah mengubah hidupku. Aku menjadi sering berdoa mengucap syukur, hubungan aku dan orangtuaku pun membaik mereka tak pernah lagi memarahiku. Prestasiku di sekolah juga meningkat drastis. Kini aku dapat mengambil kesimpulan bahwa kita harus mencoba dulu sebelum mengeluarkan kata menyerah dan harus terus berkata-kata positif seperti “AKU BISA, AKUPASTI BISA” karena itu akan membangkitkan semangat yang telah patah.

Cinta Kita Berbeda, Sayang!

oleh: Lina Lidia(@Lina_Lidia)



Aku tidak terlalu suka bercanda yang kelewatan. Bagimu itu lucu, kamu sangat menyukainya. Aku tidak suka bermain hati, dan kamu bilang itu petualangan. Aku suka membaca novel dan suka menulis, sedangkan kamu suka membaca komik dan bercerita. Aku suka nonton film romantis dan kamu suka menonton film action. Kamu darah biru dan aku rakyat jelata. Kamu orang berada dan aku hanyalah gadis miskin. Kamu tinggal di kota nan megah dan ramai sedangkan aku tinggal di kampung, sebuah desa yang dekat dengan gunung, masih sunyi dan sepi.

Itulah kita, banyak hal yang berbeda. Tak hanya itu, cenderung berlawanan. Tidak hanya mereka, aku sendiri pun heran kenapa aku begitu sabar menghadapimu. Kenapa aku masih saja berada di sampingmu setelah berulang kali kamu menyakitiku? Kenapa aku masih tak bisa membencimu meskipun terang-terangan kamu berselingkuh, mendua hati dan membagi cintamu dengannya? Kenapa aku masih tetap memilihmu menjadi suamiku meskipun aku tahu kita sama sekali berbeda?

Aku tak pernah mengerti kenapa sampai saat ini cintaku untukmu tetap sama, tanpa kurang sedikitpun sekalipun begitu banyak luka yang tergores. Berbeda, kadang menyakitkan tapi kadang juga membahagiakan. Bersamamu aku belajar banyak tertawa, menikmati hidup katamu, dengan segala candamu. Tapi tak jarang aku bermuram durja, memendam segunung cemburu saat kamu dengan ringannya menyapa mesra teman-teman wanitamu, di dunia maya ataupun di dunia nyata. Tak jarang pula aku menangis tersedu, saat nyata-nyata kamu mengkhianati cinta dan kepercayaanku. Tapi inilah aku, orang yang terlalu naïf di dunia ini. Semua orang merasa kasihan dan prihatin padaku, sekali lagi aku masih bertahan di sampingmu. Mungkin banyak airmata bersamamu, tapi tak sedikit tawa dan bahagia menghiasi hari-hari dalam hidupku.

Berbeda itu bagai dua mata pisau. Bisa menjadi baik ketika kamu bisa mengendalikannya dan bisa menyakitimu ketika kamu salah menggunakannya. Seperti kita, berbeda dan sungguh-sungguh menikmati dua mata pisau berbeda itu. Ada tawa dan juga airmata. Seperti saat ini, kita baru saja bercanda sambil berebut apel, tertawa sangat riang. Kini aku di sini, terbaring

lemah, tertusuk pisau di tanganmu. Sekali lagi aku tahu, kamu tak sengaja meski pada akhirnya polisi membawamu dariku.

Berbeda itu membuat hidupku berwarna, tak hanya merah jambu penuh cinta, hitam kelam terus berduka, kelabu mendung saat kesedihan menyapa tapi juga merah darah karena canda. Cintamu pun begitu berbeda. Begitu besar cintamu padaku, sebesar itu pula cemburumu padaku. Dan membunuhku adalah pilihan terbaikmu daripada aku meninggalkanmu dan menjadi milik yang lain. Sekali lagi, kita berbeda sayang. Tapi aku tetap mencintaimu. Sekalipun segala luka itu telah memenuhi hati dan hidupku, aku masih bisa tersenyum menyambutmu, menerima kecupanmu dan membalas kata cintamu.

Di sini, di pembaringan ini aku menunggu. Akankah kamu kembali padaku dengan selaksa cintamu? Ataukah kamu akan sungguh-sungguh membunuhku seperti katamu?

Di sini, aku menunggumu, sayang. Sesakit apapun keputusanmu aku akan tetap menunggu. Jika pun kamu sungguh membunuhku mungkin itu akan lebih indah, mati di tangan cintaku, kamu. Inilah cinta milik kita. Cinta kita sungguh berbeda, sayang!

Senin, 28 Maret 2011

Best of the Night 27 Maret 2011

Best of the Night untuk tema BOSAN adalah . . .

24 Jam oleh @riezkylibra80

Kenapa?

Temukan jawabannya berdasarkan uraian yang berikut ini :)

1. Kalimat pembukanya menarik. Sebuah bentuk kebosanan dideskripsikan dengan cara yang berbeda dan membuat pembaca penasaran. Skor, 4.

2. Twist ada di penghujung tulisan dan cukup mengejutkan. Skor, 3.

3. 90%-100% penggunaan tanda baca dalam cerita benar sehingga tulisan makin enak dan nyaman untuk dibaca. Skor, 4.

4. Cerita yang ditulis sebenarnya sederhana tapi disampaikan dengan cara yang unik dan membawa pengalaman tersendiri yang beda saat membacanya. Skor, 3.

5. Tulisan sesuai tema yang diberikan. Skor, 4.

6. Pilihan kata atau diksi yang dipakai setara dengan tipe 90. Pengolahan kata sangat kaya dan menggunakan kata-kata dengan menarik. Skor, 4.

Nah begitulah uraian singkat tentang tulisan ini. Jika sudah membaca tulisan tersebut dan ingin menyampaikan ulasan lebih dalam, bisa mengisi kotak komentar yang tersedia.

Ingatlah, terpilih jadi BOTN bukan berarti tulisan itu 100% bagus dan tanpa cacat sedikitpun. Disini kita sama-sama belajar dan kita tak mungkin bisa belajar tanpa adanya kesalahan :D

Jangan Tanya Semesta

Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com

Dalam diam hari terus berbilang
Tanpa rasa bosan bumi terus berotasi
Membuat matahari senantiasa menari menghias hari
Terbit dari ufuk timur dan tenggelam kala senja di ufuk barat
Entah kapan kebosanan itu kan menyergap bumi
Dan menghentikan perputaran bumi pada porosnya

Semua semesta seakan larut dalam gembira
Gembira dalam setiap perputarannya
Gembira dalam segala sifatnya sementara
Sementara menunggu ajal
Sementara menunggu siksa

Hiruk pikuk, sorak sorai, dan tepuk tangan senantiasa membahana tanpa rasa bosan
Senyuman nyinyir bagi semesta yang nestapa senantiasa ada
Cibiran getir bagi sesama yang tak ada senantiasa membabi-buta
Topik demi topik kepalsuan terangkai dalam nada kepalsuan
Tanpa bosan, mengumbar durjana nan nista

Merajalela hati dalam cengkeraman tangan-tangan berhias permata setan
Mandi kekayaan di tengah telaga darah penderitaan
Semua dilakukan, semua juga diagung-agungkan

Bersujud jiwa dalam sebuah irama doa
Tatkala bosan melanda menghimpit relung sukma
Gelak tawa bukan lagi sebuah hiasan canda
Bahkan sedu sedanpun tak lagi sebuah duka


Bersimpuh jiwa di batas cakrawala senja
Menghamba pada sebuah kata
Mencari jawaban atas segala tanya
Tanya tentang arti batas kebosanan

“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa yang harus kurasa?”
“Banyak sekali yang harusnya kaurasa.”
“Kenapa harus aku yang merasa, kalau seluruh isiku saja tidak pernah merasa?”
“Karena kau adalah penguasa”
“Bukan aku sang penguasa. Aku hanya menjalani titah saja dari yang empunya kuasa yang paling maha.”
“Tidakkah kau merasa bosan melihat kelakuan isi semesta?”
“Kenapa harus bosan? Itu kan hak mereka.”
“Tapi harusnya kan diingatkan.”
“Diingatkan dengan cara bagaimana lagi biar mereka bosan? Tidak cukupkah dengan segala bencana?”
“Sepertinya belum cukup.”
“Kalau begitu biarkan saja. Toh kelak mereka akan mempertanggungjawabkannya.”
“Kelak kapan? Sampai kau bosan dan hancur dengan sendirinya?”
“Itu sudah pasti dan seperti itulah ketetapan-Nya. Biarkan saja mereka terus menari dalam maksiat, sampai isi semesta yang lain bosan melihat.”
“Cukup bijakkah membiarkan isi semseta berlaku sesuka hatinya?”
“Jangan tanya aku! Tanyalah pada hati nuranimu! Sudah cukup bijakkah kau menjaga isi semesta dan sudah cukup baikkah kau perlakukan isi semesta.”

Jiwa teronggok dalam bulir-bulir penyesalan
Penyesalan akan kelakuan tanpa rasa bosan
Rasa bosan yang berujung pada kerusakan
Kerusakan isi semesta dengan segala kesombongannya

“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa yang harus kurasa?”
“Kebosananku dengan janji manis para penguasa.”
“Kenapa aku harus merasa. Bukankah kebosanan itu adalah milikmu? Kenapa kamu diam saja untuk mengatasi kebosananmu?”
“Aku tak tahu harus berbuat apa.”
“Itulah kebodohanmu. Bosan tanpa pernah bisa melawan kebosanan. Berbuatlah jangan hanya bisa berontak dalam diam.”
“Aku tak pernah diam. Aku selalu berteriak sampai bosan. Tapi tetap saja teriakanku tidak didengar.”
“Itu saja tidak cukup! Lukiskan solusi di setiap teriakan yang berarti! Dengan begitu penguasamu akan bosan dengan kebatilan mereka.”
Jiwa terjerembab dalam kubangan kebosanan
Kebosanan yang tercipta dari lingkaran setan
Tak terputuskan dan tak terelakkan
Terus mencengkeram tanpa bisa terlepaskan

“Wahai semesta, tidakkah kau merasa?”
“Apa lagi yang harus kurasa?”
“Kebosananku dengan tingkah polah isi semesta yang tak lagi ramah satu dengan yang lainnya.”
“Kenapa aku harus ikut-ikutan merasa?”
“Karena kau telah rusak dan hampir luluh lantak karenanya.”
“Ketahuilah hai isi semesta. Aku takkan binasa sampai saatnya tiba. Sampai aku benar-benar merasa bosan dengan segala keluh kesah. Sampai aku bosan mendengar desah manis di balik topeng kepalsuan.”
“Kenapa kau tak segera bertindak?”
“Berlakulah sesukamu terhadapku hai isi semesta. Aku tak bisa mengelak. Teruslah bernafsu menjamahku. Teruslah kobarkan birahimu dalam menggauli aku. Tapi jangan pernah kau lupa, kau akan mempertanggungjawabkan itu semua pada saatnya. Saat aku binasa karena rasa bosan yang kautanamkan dalam setiap tutur kata dan tingkah lakumu!”
Jiwa bosan tersungkur di tepi jurang kebosanan
Tak tahu lagi kemana akan mengadu
Selain mencoba membuka pintu kalbu
Agar bisa memaknai setiap kebosanan

Menu Suram

Oleh: @alavyashofa

Praaang!!
Menu makan pagiku selalu sama: ayah dan ibu bertengkar. Mendengarnya, aku cuma bisa menangis diam-diam di teras depan rumah sembari menunggu jemputan sekolahku datang.
Tin, tin!
Ah, Pak Gun datang! Aku berlari ke pelukannya. Huhuhu. "Semuanya akan baik-baik saja. Pak Gun janji. Sudah ya, nangisnya!" Setelah itu, kutemui teman-teman sekolahku dengan senyuman, kuhadapi pelajaran-pelajaran di sekolah dengan antusias. Aku bahagia sekali berada di sekolah. Namun semuanya akan berubah jika waktu petang datang...
Kreeek!
Aku membuka pintu rumah pelan-pelan. Tuh kan, betul, Ibu pasti sedang menangis di ruang makan. "Ibu....", aku cuma bisa memeluk Ibu. "Ayah pukul Ibu lagi yah?". Tangis Ibu makin kencang. Oh Tuhan, jangan! Jangan kau jadikan Ibuku tersakiti. Aku sayang Ibu. Biarlah aku saja yang menderita. Ibu tidak boleh, Tuhan, Ibu tidak boleh menderita.
Kutuntun Ibu ke kamarnya, memastikan Ibu sudah makan dan sholat, dan kupijiti badan Ibu dengan sayang. Oh, badan Ibu kurus sekali. Huhuhu.
"Cukup, Nak! Kau tidurlah, Ibu sudah baikan!" Aku pun mengecup kening Ibu lalu menyelimutinya.
Kuhabiskan cepat-cepat makan malamku, lalu membersihkan diri sebelum ia datang. Kulihat jam dinding...jam sembilan! Tapi dia belum datang. Segera kuambil buku-buku pelajaranku. Aku akan mengulang pelajaran untuk besok. Matematika, sudah. IPA, sudah, Agama.....
Dwang!!!
Ayah menendang pintu kamarku. Ah, dia datang! Kusingkirkan buku-bukuku sebisanya. Segera kulepaskan semua yang melekat di tubuhku dengan cepat.
"Sudah pintar kau rupanya", ayah tiriku itu menyeringai licik.
Kubalas seringainya dengan doa. Tuhan, maafkan aku, aku cuma tidak mau Ibu disiksa kalau ku menolak. Sampaikan salamku pada Papa di langit, Tuhan, aku rindu.
Dia mulai mendekatiku. Aku balas berlari menghampirinya. Ini karena aku bosan, dan cuma ingin menyelesaikan 'menu' malam ini secepat-cepatnya.

Bosan dan Si Ornamen Kata-Kata

Oleh: Reynaldo Siahaan (@reynaldosiahaan)

Duduk diam di kampus sampai jam kuliah selesai. Dosen mengakhiri kuliah dan kakipun beranjak meninggalkan jejak dari tanah kampus. Sampai ke 'bosan' eh malah tiduran.
Ups salah, maksudnya kosan.

360 derajat jarum pendek berputar, mata terbuka lagi dan jari jemari mulai meraba laptop.
Tekan tombol windows dan cari folder Tugas Akhir.
Belum juga sempat membuka folder TA, kepikiran buat melatih kemampuan dengan bertarung dengan 'bosan' (minggu depan ada turnamen doTA).
Ups salah lagi, maksud saya roshan.

Usai meningkatkan kemampuan, pergi keluar sebentar buat mencari makan siang.
Mata melirik kiri kanan sepanjang perjalanan sementara di dalam hati berbicara warung mana yang jadi korban ngutang hari ini. Maklum saja, uang tidak tenggelam lagi kalau sudah akhir bulan. Bagaimana bisa tenggelam kalau kantongnya kering?
Singkat cerita, warung kecil di sudut gang sempit menjadi pilihan. Lumayan ada tv-nya.
Terlalu asyik menonton, aduh lupa 'bosan'.
Ups kok salah lagi, maksudnya pesan.

Sudah kenyang, kembali lagi ke kamar. Membaringkan punggung sekejap dan kemudian berpikir apa yang selanjutnya akan dilakukan. Tidur sudah, main sudah dan makan juga sudah. Tersirat lagi di kepala untuk menggoreskan tinta mayaku di lembar demi lembar Tugas Akhir. Tikus itu menjelajah kesana kemari "tik..tik..tiktik..". Astaga, belum sempat membuka folder Tugas Akhir, sebuah ikon menarik mengalihkan pandanganku.
Main PES dulu deh soalnya mau mencoba 'bosan' yang main di barcelona.
Ups salah lagi, maksud saya bojan.

Akhirnya kuputuskan dari hati terdalam untuk menghentikan hasrat bermain ini. Aku sematkan kacamata bertuliskan tugas di lensa kiri dan akhir di lensa kanan. Aku mulai melanjutkan TA yang sudah tertunda. Jari jemari mulai ketak ketik satu per satu huruf yang ada di papan kunci. Aku buka perangkat lunak yang menjadi pembantuku. 'Bosan' namanya. Ketak ketik bahasa dengan nama tersingkat, bahasa C.
Ups ini yang terakhir deh. Maksud saya Borland.


Inilah tulisan yang tercipta kalau suasana lagi membosankan. Tidak jelas, tidak berarah dan beberapa padanan kata 'tidak' lainnya. Terlepas dari kegaringan dan nuansa berlebihan yang ditimbulkannya ,tetap saja ini adalah karya tulis berupa cerita. Kebosanan tidak menutup pintu kemungkinan bagi kita untuk menulis bukan? Menulis tidak terhalang kondisi hati tetapi justru dikatalisasi oleh kondisi hati.

24 Jam

Oleh: Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)
http://riezkyoktorawaty.wordpress.com

Seisi kamar ini protes, aku melihat tingkah mereka dari plafon kamar, tubuhku sendiri pun memanas. Buku-buku mengepakkan lembaran halamannya, televisi berganti-ganti tayangan, handphone berteriak kesakitan, dvd bajakan melekat di piringan player, baju-baju muak dengan lemari tempat tinggalnya, charger handphone meleleh karena kepanasan, dan sprei ranjang mengoyak tubuhnya hingga kusut.
Aku melihat buku-buku disiksa, halaman demi halaman terbuka tanpa ada kesempatan kepada mata untuk membaca. Jangankan membaca, matapun tak sempat mengintip judul buku nya. Bahkan tangan mungil itu pun tega melempar mereka.
Aku melihat gambar-gambar bergerak di televisi. Gambar orang, makanan, kendaraan, rumah, dan gambar-gambar yang tak mampu aku deskripsikan. Sampai-sampai matapun juling, tak tahu mana yang bisa membuat mata senang.
Aku mendengar teriakan handphone, jari-jari mungil itu bermain kasar di tubuh intinya, keypad. Ya, teriakan itu berasal dari keypad handphone. Tak tahu apa yang tertulis di layar handphone itu, yang pasti teriakan keypad dan deringan suara handphone memekakkan pendengaranku.
Aku melihat dvd bajakan itu melekat erat di player nya. Bersama televisi, mereka bekerjasama. Namun mata itu, tak jua menggubris nya. Percuma bila dvd dan televisi itu bekerja profesional, bila mata itu pun tak meliriknya. Bahkan, mata itu mencari-cari lagi buku yang terlempar 15 menit lalu.
Aku melihat baju-baju rapi yang telah di setrika, mangkrak di lantai, bukan di tempat tinggal mereka, lemari. Aroma pewangi sedikit menghiburku, di tengah kejengahanku melihat aksi protes seisi kamar ini.
Aku melihat tubuh hitam berekor panjang itu meleleh di colokan listrik, ya, charger handphone. Sepertinya tangan mungil itu melupakannya. Andai aku bisa menolong, aku pun ingin mencabutnya dari colokan listrik.
Aku melihat wajah itu mengeriput, bahkan basah. Wajahnya tak lagi cantik, padahal perona pink nya sangat cantik dan mewarnai kamar ini. Ya, dia adalah sprei ranjang kamar ini. Corak puluhan hati di sprei ranjang itu, kini tak berwujud lagi. Kusut, basah. Tubuh mungil itu yang merusak wajah cantik sprei ranjang kamar ini.
Aku muak, tak hanya teman-temanku saja yang menderita. Selama 24 jam aku bekerja, tubuhku pastilah memanas, bila ada termometer untuk tubuhku, mungkin panasnya matahari pun kalah.
Aku melihat tubuh mungil itu, 24 jam di atas ranjang. Tidak seperti biasanya tubuh mungil itu bertahan di kamar, 24 jam pula. Ia menyiksa buku-buku, televisi, handphone, dvd bajakan, baju-baju, charger handphone, dan sprei ranjang.
Aku pun tersadar, buku berwarna merah itu terbuka, buku diary milik si tubuh mungil, tulisan si tangan mungil. Ternyata, si tubuh mungil sedang patah hati. Ia baru saja di tolak pujaan hatinya. Ia yang biasanya setiap libur pasti menghabiskan waktu di luar bersama teman ataupun keluarga, tapi tidak dengan hari ini.
Aku tahu, semua siksaan dari tubuh mungil ini kepada teman-temanku dan aku, adalah bentuk pelampiasan dari kebosanan nya. Ia yang sedang patah hati, tak tahu mau ngapain dan kemana. Hingga kamar adalah tempat yang paling tepat membunuh kegalauannya.
Aku pun berbisik pada teman-temanku agar mereka rela menjadi media siksaan tubuh mungil itu. Toh, selama ini, tubuh mungil itu selalu baik pada kita. Bila ia sedang tidak ingin membaca buku, ia pun menyimpan buku-buku di rak buku. Bila ia sedang ingin menonton televisi dan dvd, handphone di tangan mungil itu pun tidur pulas di sampingnya. Begitupula bila, handphone sudah terisi staminanya, ia tak mungkin lupa mencabut charger handphone dari colokan listrik. Ia pun langsung menata rapi baju-baju yang sudah tersetrika itu ke dalam lemari. Ia pun tak sampai merusak wajah sprei ranjang itu, ia selalu menata kembali sprei itu hingga kembali rapi bila ia meninggalkan kamar.
Hanya hari ini teman-temanku, hanya 24 jam saja. Aku bisa meyakinkan pada kalian bahwa esok hari, tubuh mungil itu pasti menyayangi kita lagi. Kenapa aku bisa berbicara seperti ini? Ya, karena aku baru saja membaca pesan dari sahabat terdekat tubuh mungil itu, bahwa pujaan hatinya, bukanlah pria terbaik. Kita biarkan saja ya teman-temanku. Percayalah padaku.
Ya, aku adalah lampu bohlam di atas plafon kamar, yang bekerja profesional selama 24 jam, demi tubuh mungil itu. Tubuh pemilik kamar ini, Tuanku.

Tak Dikenal

Oleh: Abi Ardianda (@abi_ardianda)

Leherku sakit.

"Kau baik-baik saja?" Tanya perempuan bermata empat itu sambil menarik kursi tepat di hadapanku.

Aku mengangguk. Berdeham.

"Jadi... ceritakan. Siapa gadis itu?" Ia menanyaiku dan mulai menulis. Meski di antara kami terdapat meja, ia tetap menggunakan papan dadanya. Entah mengapa.

"Aku... aku sedang dalam pencarian untuk mengenalnya."

"Kapan terakhir kau bertemu dengannya?"

"Semalam. Dia datang menemuiku tengah malam."

"Lalu, apa yang dilakukannya?"

"Ia mengajakku pergi, tapi aku tak mau."

"Kemana?"

Aku berdeham lagi. Tenggorokanku gatal sekali.

"Ke sebuah tempat, hanya itu yang dikatakannya."

"Kenapa kau tak mau?"

"Aku memang tidak pernah kemana-mana. Selama bekerja, ayah dan ibu menyuruhku diam di rumah. Mereka melarangku bicara dengan orang asing."

"Lantas apa saja yang kalian lakukan semalam?"

Aku beralih menatap jendela. "Kau tahu, tidak banyak hal yang bisa kita lakukan malam-malam. Kukira dia juga bergegas menemuiku gara-gara terbangun dan tak bisa tidur lagi. Dia menyusup ke kamarku hanya dengan mengenakan daster bergambar beruang. Rambutnya acak-acakan."

"Dari mana dia masuk?"

"Entahlah, saat aku bangun dia sudah ada di sana. Dan ketika aku menolak tawarannya, dia malah membentakku."

"Lalu?"

"Aku menyuruhnya berhenti berteriak. Uhuk, uhuk."

"Tenanglah dulu."

Perempuan dengan seragam putih itu memberiku segelas air putih.

"Aku khawatir ayah dan ibu terbangun karena mendengar teriakannya. Saat itulah ia berjanji akan berhenti berteriak, tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Aku harus memenuhi semua perintahnya."

"Kau menurut?"

"Tentu saja. Ia menodongkan pisau ke arahku."

"Kau tidak melawan? Kau bisa memukul, atau menjambaknya."

"Tidak, itu terlalu sulit."

"Mengapa?"

"Gadis itu berada di dalam cermin."

Dari balik pintu, kudengar dialog berisi kecemasan ayah dan ibu.

"Oia, sebelum aku tak sadarkan diri, kulihat ia mengaitkan tali di atap kamarku. Kalau tidak salah, itulah perintah terakhirnya untukku."

Benarkah Aku Bosan?

Astari Indahingtyas (@astarindah)
http://astarindah.tumblr.com


Saat fajar menjelang
Kau sapa aku dengan lembut
Kala senja datang
Kehadiranmu pasti kusambut

Kau perlakukan aku penuh cinta
Dan perhatianmu bagai air mengalir
Selalu kutunggu saat kau mengucap "kita"
Dan setiap kali kudengar kata itu, kurasa sejuknya angin semilir

Waktu tak pernah berhenti
Hingga kini ku masih menanti
Masa dimana kau beranikan diri
Untuk mengungkap isi hati

Mungkin bagimu semua terlalu dini
Atau kau masih penuh ragu
Tapi jangan hati ini kau ganggu
Dengan sikapmu yang tak pasti

Jika aku bukan pilihan
Lebih baik aku menghindar
Hingga rasa ini dapat pudar
Karena kini ku mulai bosan

Wahai kau pria idola
Berapa lama lagi kau kan menunda?
Perempuan ini perlahan jenuh
Akan penantian yang membunuh

Sabtu, 26 Maret 2011

Best of The Night 26 Maret 2011

Cerita pilihan admin untuk tema "cahaya" adalah...

Ajal di Cahaya Cerlang Matamu oleh @StephieAnindita

Kenapa cerita ini? Secara umum, yang paling spesial adalah idenya tentang cahaya. Kedua, mengambil potongan puisi dari karya Chairil Anwar dan menggabungkannya dengan cerita kita cukup berisiko, tapi itu berhasil saling mendukung di cerita ini.

Kriteria 1: Kalimat pertama unik dan membuat ingin membaca terus. Melihat cahaya? Langsung melafalkan puisi Chairil? Skor: 4.

Kriteria 2: Twistnya unik dan mengejutkan. Sempat mengira itu seseorang yang baru lahir, tapi ternyata... *takut spoiler*. Skor: 4.

Kriteria 3: Kesalahan ejaan kebanyakan pada paragraf yang banyak kalimat bertitik-titik. Setelah tanda titik-titik sebaiknya huruf besar. 75% sisanya benar. Skor: 3.

Kriteria 4: Cerita yang ditulis unik dan jarang dibahas. Sekali lagi, kekuatan di endingnya. Skor: 4.

Kriteria 5: Sesuai tema. Cahaya menjadi metafora yang dipakai berulang-ulang untuk menekankan sesuatu dalam cerita. Cinta, cahaya asli, dunia. Skor: 4.

Kriteria 6: Diksi cukup tereksplorasi, walau tidak banyak permainan kata yang rumit. Skor: 3.

Selamat ya Stephie! Yang lain, ada komentar? Jangan takut, ini hanya penilaian admin, semua cerita pada dasarnya keren. Dan kalian bisa memilih dan mengomentari karya favorit kalian sendiri :)

Cahaya Tak Bercahaya

Oleh: @mazmocool


Senja hari yang temaram membiaskan seraut wajah sendu pada sebuah kubangan air yang keruh berlumpur di pinggir taman itu. Seraut wajah yang terlihat pucat dengan bibir yang membiru. Sesekali wajah diatas kubangan yang polos tanpa make up mencoba tersenyum, namun sepertinya bayangan wajah itu tetap saja sendu. Rambutnya yang hitam lurus mengkilat sesaat menjadi coklat bergelombang kelabu, ketika sekumpulan tetesan air menusuk permukaannya. Riak-riak kecil menari mempermainkan wajah sendu itu.

Wajah sendu itu semakin tidak berbentuk, ketika ada lima buah jari bekerjasama meraba-raba kubangan itu. Wajah itu meronta tanpa pernah bisa berteriak. Kelima jari itu masih saja terus meraba-raba seakan mencari sesuatu. Sesekali tangan kirinya membetulkan rok merahnya yang sedikit terangkat. Sesekali pula, dia tampak membetulkan letak rambutnya yang terjuntai. Sambil tetap berjongkok, dia terus meraba kubangan itu sampai ke dasarnya.

Tetesan air yang menyejukkan tak juga dihiraukannya. Bukan saja rambutnya yang telah basah, tetapi juga pakaiannya yang berwarna merah. Matanya jalang menatap kubangan dalam kekesalan. Senja berlalu diganti dengan lukisan malam yang temaram disinari lampu jalanan. Kepasrahan mengantarkannya ke tepi batas kesabaran. Sampai akhirnya, dia dikagetkan oleh tepukan ringan di pundaknya. Tepukan seorang lelaki yang sepertinya kebetulan lewat disana.

“Eh maaf, ada yang bisa saya bantu?” kata orang itu dengan sopan.

Perempuan muda itu menoleh sambil berusaha bangkit. Sesosok lelaki muda berpakaian rapi tengah berdiri di belakangnya dengan sebuah payung perak.

“Oh ini pak, saya sedang mencari cincin saya yang terjatuh ke dalam kubangan,” jawabnya dengan mulut bergetar.

“Eh kamu Rona bukan?” tanya lelaki muda itu.

Rona terdiam beberapa saat, sampai akhirnya dia merasa mengenali suara itu. Suara yang dulu pernah mengirimkan sebuah rangsang yang menggetarkan hatinya.

“Iya, kok Anda tahu?” tanya Rona dalam nada penasaran. Wajah cantiknya merona menari dibawah siraman sejuta cahaya terang malam itu.

“Mana mungkin aku bisa lupa sama kamu. Aku takkan pernah bisa melupakan suara indahmu saat kaunyanyikan sebuah lagu untukku di atas bukit kampung kita,” kata lelaki itu sambil mendekatkan payungnya, berusaha memberikan perlindungan pada tubuh perempuan muda itu dari terjangan air hujan, yang telah menghapus bayangan wajah sendu dalam kubangan. Payung menghadang laju kecepatan cahaya lampu untuk menembusnya. Cahaya memantul dari permukaan payung, membuat payung warna perak itu berpendar.

“Kamu Rino ya?’ tanya Rona lirih.

“Iya Rona, kamu masih ingat aku kan?” kata Rino sambil mengulurkan tangannya.

“Tentu dong Rino,” kata Rona yang merasakan hangatnya aliran darah dari tangan Rino.

“Oya maaf Rona, cincin kamu sudah ketemu belum?” tanya Rino memegang erat payung takut terlepas.

“Ah, biarlah Rino, toh cincin itu sudah tidak berarti lagi,” jawab Rona datar.

“Kalau boleh tahu, tadi kamu bilang cincin itu sudah nggak berarti lagi, maksudnya apa ya?” tanya Rino dalam penasaran.

“Maaf Rino, ceritanya panjang, kalau saya ceritakan disini nanti bisa-bisa kita membeku kedinginan,” jawab Rona dengan sedikit senyum mengembang di bibir tipisnya.

“Kalau kamu nggak keberatan, kita ngobrol di tempatku saja yuk,” kata Rona lagi.

“Memangnya kamu tinggal dimana?” tanya Rino dengan penasaran.

“Ah, nggak jauh dari sini kok, paling lima belas menit jalan kaki juga sampai,” kata Rona sambil melangkah meninggalkan kubangan itu.

Rino segera meraih tangan Rona dengan lembut dan mulai melangkah bergandengan. Mereka menapak pasti di tengah pergumulan rasa tak pasti. Mereka berjalan bergandengan menantang hawa dingin dan lebatnya guyuran hujan. Sepanjang perjalanan, mereka banyak berbincang tentang kehidupan masing-masing.

“Hebat kamu Rino, kamu sudah bisa sukses seperti sekarang ini. Pasti berkat kegigihanmu dalam bermusik,” kata Rona memuji.

“Ah kamu bisa saja. Kamu juga hebat lho, kamu sudah memiliki banyak relasi. Ada pengusaha, politisi, bahkan pejabat tinggi. Wah pasti kamu sangat menikmati pekerjaanmu ini ya,” kata Rino mempererat pegangan tangan Rona yang berjalan anggun di sampingnya.

Percakapan hangat sepanjang jalan itu mampu mengusir dinginnya hawa hujan yang turun dengan lebatnya. Terkadang terdengar tawa nakal mereka di tengah guyuran air hujan malam itu. Senyuman bahagia tampak menghiasi raut wajah mereka berdua, saat sekelebat cahaya menari di angkasa.

Dalam keadaan gelap sekalipun, Rona tetap bisa melukiskan tapak sepatunya di jalan itu. Hampir sepuluh kali sehari, jalan itu selalu dilaluinya saat dia harus belanja ke toko dekat taman kota. Dua puluh menit berselang, sampailah mereka berdua di depan gerbang rumah bercat biru dengan kamar yang berderet menyerupai kos-kosan. Di depan rumah itu terdapat semacam papan nama berhias lampu neon. Rona menggandeng Rino dan masuk ke halaman. Tampak beberapa perempuan muda tengah duduk-duduk di sebuah teras kamar. Mereka tertawa riang dan tampak menikmati setiap tetesan hujan yang turun ke bumi. Seakan tetesan yang kadang-kadang disertai cahaya terang menghias angkasa itu mampu melarutkan kegelapan dalam hidup mereka.

Setelah dengan agak susah payah Rona akhirnya berhasil membuka pintu rumah induk itu. Rino-pun mengikuti Rona masuk ke ruang tamu rumah induk dan mengambil duduk di sofa paling ujung. Rona tampak meraba-raba dinding ruangan itu. Tak sulit bagi Rona untuk menemukan saklar dan menyalakan lampu ruangan itu. Ruangan kecil itu menjadi lebih terang.

“Ini Rino, silahkan diminum kopinya,” kata Wengi yang sudah selesai mengganti bajunya yang basah. Cahaya lampu ruang tamu menciptakan sebuah bayangan patah di dinding.

“Terima kasih,” jawab Rino singkat sambil mulai mencecap kopi panas itu sedikit demi sedikit.

Rona menutup pintu dan perlahan duduk di samping Rino. Sementara itu, diluar hujan mengguyur bumi dengan semakin ganas. Kilat masih juga menyambar, cahayanya menembus tirai jendela. Bunyi genteng ruang tamu itu seakan menjadi instrumen pengiring pergolakan hati keduanya. Pergolakan hati karena rindu yang tertahan hampir sepuluh tahun lamanya.

Dengan hati-hati Rino mencecap sedikit demi sedikit rasa manis yang ada dalam kopi panas itu. Kopi panas yang membuat tubuhnya menjadi hangat. Sampai akhirnya, kopi panas itu tinggal ampasnya saja. Rino menghela napas dalam kenikmatan.

“Oya Rona, gimana kelanjutan ceritamu tentang cincinmu yang jatuh tadi?” tanya Rino sambil bersandar lelah di ujung sofa.

“Oh itu, cincin itu adalah cincin pernikahanku dengan suamiku. Aku telah bercerai dua tahun lalu. Yah, akhirnya aku harus berjuang sendirian untuk menghidupi aku dan anakku yang masih kecil. Kerasnya dunia membuatku otakku berputar untuk mengubah nasibku dan teman-temanku dengan bekal keterampilan yang aku miliki,” kata Rona dengan nada datar. Sedatar hidupnya dulu sebelum mengenal mantan suaminya.

Rino sepertinya memahami suasana hati Rona. Rino segera mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan ringan dari pekerjaan sampai tentang masa lalu mereka yang indah.

“Dengan dukungan seorang pengusaha, akhirnya aku pindah kesini dan diberi modal untuk mengajari teman-teman yang senasib denganku membuat kain sulam. Akhirnya aku bisa mandiri dan bahkan bisa mempekerjakan beberapa orang,” kata Rona. Tak heran di ruangan itu terdapat banyak hasil karya mereka. Beberapa dipajang dan beberapa sudah berada dalam kardus siap untuk didistribusikan.

“Hebat kamu Rona. Oya, kamu masih ingat nggak cerita tentang cahaya terang yang sering aku ceritakan dulu waktu kita sering berteduh di rumah penduduk tepi bukit, karena kita kehujanan?” tanya Rino dalam senyuman. Senyuman yang penuh arti dalam kasih.

Rona tampak tersenyum juga, mengingat masa lalu indah yang dilaluinya dulu bersama Rino. Dia masih ingat betul tentang cahaya putih terang yang menghiasi punggung bukit saat hujan. Cahaya yang selalu diceritakan Rino dengan kata-kata yang indah. Kata-kata yang senantiasa membuat hatinya bersinar.

“Oya Rino, gimana kabar cahaya terang itu sekarang? Apakah masih seindah seperti yang pernah kamu ceritakan dulu?” tanya Rona dengan nada penasaran.

Rino terdiam dalam keremangan. Semburat cahaya lampu ruangan tak mampu menyembunyikan raut sendu wajahnya.

“Maafkan aku Rona, sepertinya saat terakhir kita ketemu dulu adalah saat terakhir bagiku untuk menceritakan keindahan cahaya itu,” kata Rino datar.

“Kok bisa begitu? Memang apa yang terjadi pada cahaya itu?” tanya Rona lagi.

“Cahaya itu tetap seperti dulu dan nggak ada yang berubah. Yang berubah adalah aku. Aku sudah tidak bisa melihat cahaya itu sejak aku divonis buta oleh dokter karena kecelakaan kerja yang aku alami. Sekarang kondisiku sama denganmu Rona,” kata Rino sambil berusaha meraba dan memeluk pundak Rona.

Jiwa mereka tumbang saat kilatan cahaya menerjang masuk melalui kaca jendela. Isak tangis keduanyapun pecah tak tertahankan, mengalir deras, sederas hujan malam itu. Keduanya larut dalam sebuah kesedihan. Kesedihan karena tak ada lagi hadirnya sebuah cahaya. Yang mereka miliki saat ini hanyalah harapan. Harapan akan tetap bersinarnya cahaya kehidupan yang terang benderang bagi mereka berdua.

Ajal di Cahaya Cerlang Matamu

Oleh: @StephieAnindita


Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang cahaya matamu
Kulafalkan sajak ‘Lagu Siul’ Chairil Anwar itu ketika aku menatap cahaya yang berbinar di hadapanku. Aku tidak menyangka, akhirnya aku akan menemu ajalku di binar matanya. Ia yang selama ini kucintai bahkan sebelum aku muncul di dunia ini ... ia yang membuatku percaya ada kehidupan di balik cahaya... ia yang memberiku nafas kehidupan ...
Sajak indah itu yang membuatku terbujuk ... ia merayuku dengan sajak indah karya Chairil Anwar itu ... sehingga aku terbuai dan rela meninggalkan buaian kegelapan yang selama ini menjadi rumahku, demi dia. Aku percaya padanya. Aku rela meninggalkan semuanya demi dia. Andai saja aku tahu, kalau selama ini sajak-sajak indah itu bukan untukku. Sajak-sajak indah itu palsu. Tidak pernah ada ‘cinta’ yang ada di dalam jiwanya. Jiwanya kosong melompong.
Mendengar buaian kata-kata indahnya ... dengan begitu bodoh aku terbujuk ... aku tertarik dari kegelapan dunia imajinasi ... menjelma menjadi zat entah apa namanya ... kemudian terus berubah dan berubah ... hingga akhirnya menjadi sesosok makhluk tidak jelas apa namanya ... perjalananku juga bukannya mulus tanpa halangan ... aku setengah mati berusaha bertahan walau bertubi-tubi mengalami serangan yang mematikan ... menahan nyeri yang membakar sekujur tubuhku ketika aku menelan cairan hitam yang dipaksa masuk ke dalam kerongkonganku ... aku tetap menolak untuk mati. Tidak sebelum aku mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku harus bertemu dengannya.
Hei lihatlah, aku di sini ... di hadapanmu ... aku mencintaimu ... aku adalah belahan jiwamu...
Jangan biarkan aku mati ... kumohon ...
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
“Maafkan Ibu, Nak ... tapi tidak seharusnya kamu hidup ...” ujarnya lirih. Cahaya di matanya semakin menusuk. Membakar tubuhku yang sudah separuh hangus.
Aku semakin takut. Aku meronta-ronta dalam cengkeramannya yang dingin. Samar-samar aku melihat cahaya yang semakin terang. Aku menjerit sekuat tenaga, berusaha melarikan diri dari cahaya itu. Aku takut cahaya. Jangan, jangan ada lagi cahaya. Aku harus kembali ke kegelapan ... di sana aku aman... Mama benar, tidak seharusnya aku lahir ke dunia dan menatap cahaya ... cahaya merupakan kutukan untukku ...
“Sudah cepat bawa sini jabang bayi itu, perempuan goblok! Matahari sudah mau terbit! Kamu mau tetangga tahu?!” ada suara lain membentak.
Aku merasakan nafasku semakin sesak ... semakin sesak ... semakin sesak ... paru-paru kecilku meledak ... dan aku melihat letupan terakhir di binar mata Mama sebelum semuanya gelap ...
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros


Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.


Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka

Penggalan puisi di atas merupakan kutipan dari puisi Chairil Anwar ‘Lagu Siul’ 25 November 1945

Dia, Cahayaku

Oleh: Olga Leodirista
Email: imoet_d1@yahooo.com
ID twitter: @olga_imoet
Blog: htttp://olgaimoet.blogspot.com


Aku sudah terbiasa dengan segala macam kegelapan di dunia ini. Birunya langit, terangnya sinar mentari, beranekanya warna bunga. Bagiku semua terasa sekelam langit malam. Hanya suara-suara yang terdengar di telingakulah yang selalu menjadi penghubungku dengan dunia luar. Diluar kegelapan yang selalu melingkupiku.
Ada seseorang yang pernah berkata padaku, bahwa dalam gelap, pastilah ada petunjuk yang akan membimbingmu menuju dunia cahaya. Dan aku tidak pernah mengerti apa maksud kata-katanya itu. Tidak saat itu, maupun saat ini. Seandainya aku tidak bertemu dengan DIA.
“Kamu tau, mawar itu nggak cuma berwarna merah loh..” katanya padaku. Ingin mengenalkanku pada keindahan bunga mawar yang selama ini hanya bisa aku ciumi saja wanginya.
“Bulan itu punya bermacam-macam bentuk. Tapi aku paling suka saat bulan berbentuk bulat penuh. Purnama. Full moon,” jelasnya lagi di lain kesempatan. Romantis, katanya, bulan purnama itu. Karna sinarnya paling terang diantara malam-malam yang lain. Membantu kita agar kita tidak tersesat di saat tidak ada cahaya apapun.
“Musim gugur, itulah saat dimana pepohonan yang tadinya memiliki daun berwarna hijau, lalu mulai menguning dan jatuh satu-persatu..” Satu dari empat musim yang paling disukainya.
“Dan langit, tidak selalu berwarna biru cerah. Ada kalanya langit menjadi gelap. Kelam. Kelabu. Tanda bahwa semesta ingin menangis…” katanya mencoba menghiburku saat kesedihan melandaku. Bahwa rasa sedih itu wajar adanya. Bukan Cuma aku yang bisa merasakan kesedihan. Bahkan semesta raya yang begitu agung pun, terkadang bisa menangis.
Tak terhitung banyaknya cerita yang dia sampaikan padaku. Dia menjadi cahaya bagiku di antara semua hari gelapku. Dan dia menjadi mataku. Untuk menikmati semua keindahan yang ditawarkan dunia. Dalam arti yang sesungguhnya.
“Ilonka.. operasi kamu sukses. Sekarang, coba dibuka matamu perlahan yaa..” suara yang sudah akrab di telingaku selama 1 bulan ini memerintahku untuk membuka mata. Aku menurutinya tanpa ragu. Silau. Perih. Itu yang aku rasakan, saat aku membuka mataku pertama kalinya, setelah suaranya yang selalu mendongengkan tentang keindahan dunia itu tidak pernah terdengar lagi di telingaku. Menghilang dengan tiba-tiba.
Hampa. Rasa yang lebih mendominasi perasaanku. Meskipun berjuta warna yang selama ini hanya pernah aku ketahui dari cerita, sudah bisa aku saksikan sendiri. Dengan mata ini. Mata pemberiannya. Mata seorang donor yang selama 3 tahun ini selalu ada disampingku. Yang selalu bercerita tentang semua hal yang pernah disaksikannya melalui sepasang mata, yang saat ini mulai mengeluarkan cairan bening yang terasa agak asin di pipiku. Dia. Yang pergi dengan seuntai pesan untukku.
“Nikmatilah hari-harimu. Lihatlah semua hal yang selalu ingin kamu lihat selama ini. Dan juga, gantikan aku menyaksikan kebahagiaanmu mulai saat ini. Mata ini, akan mengggantikanku menjagamu. Akan memberikan sinar yang menuntunmu di dalam kegelapan. Cahaya itu selalu ada.. Untukmu…” pesannya untukku.
Dia. Cahayaku. Cintaku. Yang telah pergi…

Kamis, 24 Maret 2011

Best of the NIght 23 Maret 2011

Best of the Night untuk tema 'Wishes' adalah..

oleh Ceria Firanthy (@ceriafs)

Kenapa tulisannya mendapatkan titel BOTN? Yuk kita bahas.

1. Paragraf pertama menarik. Kalimat demi kalimat cantik yang mengalir di paragraf pertama berhasil memikat para pembaca. Rasa penasaran juga muncul setelah membaca deskripsi 'makhluk' yang disebutkan juga dalam judul tulisan. Pembaca akan bertanya-tanya tentang 'makhluk' itu, mengapa si perempuan menyukai 'makhluk' tersebut dan pertanyaan lainnya yang muncul ketika membaca paragraf pertama tulisan ini.  Untuk kriteria pertama, skor 4.

2. Twist ada namun tidak cukup mengejutkan. Seiring dengan berjalannya cerita, 'makhluk' yang dimaksud bisa ditebak, meskipun twist yang ada disini bisa dikatakan cukup unik. Skor untuk kriteria ini adalah 3.

3. Penggunaan tanda baca benar 90%-100%. Rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam kriteria ini. Skor 4.

4. Cerita yang ditulis cukup simple namun diceritakan dengan gaya yang unik. Inti cerita yang sebenarnya sederhana disupport dengan gaya penceritaan yang unik cukup membuat pembacanya terpesona. Untuk ini skor 4.

5. Tulisan cukup sesuai dengan tema. Meskipun 'keinginan' yang menjadi tema besar malam ini hanya tersirat dalam tulisan, namun hal tersebut cukup memuaskan para pembaca terhadap tema yang diminta. Keinginan si wanita terhadap 'makhluk' itu diceritakan dengan cukup baik dan manis. Untuk ini, skor 3.

6. Diksi tipe 45. Sebetulnya kata-kata yang digunakan dalam cerita masih bisa dieksplore lagi. Tapi secara keseluruhan, diksi cukup baik. Skor 3.

Demikianlah pembahasan BOTN malam ini. Selamat Ceria! Tetap menulis yaa :)

Untuk yang belum mendapatkan titel BOTN, jangan kecewa. BOTN bukanlah sebuah penilaian mutlak tentang bagus tidaknya sebuah cerita. Masing-masing individu pasti memiliki perspektif yang berbeda tentang cerita mana yang menurutnya paling bagus. Jangan kecewa, tetap menulis yaa! :)

Perempuan Muda dan Makhluk Lembutnya


Oleh Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)


Ia tak pernah punya keinginan besar seperti sekarang.
Seorang perempuan muda dengan surai hitam kecokelatan itu menghembuskan napasnya perlahan, lantas kedua maniknya menatap jauh menembus jendela besar itu, memperhatikan dengan enggan setiap tetes air hujan yang jatuh. Tidak, hujan itu sama sekali tidak mewakili perasaannya saat ini. Ia tangguh, perempuan ini tangguh, sungguh. Tidak, bukan juga karena perempuan ini merasa apa yang dilakukannya sebuah kesalahan, karena sesungguhannya ia amat menyukai makhluk lembut itu. Ia tidak ragu.
“Ini hanya terlihat bukan aku.”
Kali ini perempuan dengan setelan kemeja putih berkerah rendah itu, menghempaskan tubuhnya keatas tempat tidur, lalu mengubah posisinya menyamping, membentuk huruf r kecil. Kepalanya penuh dengan pemikiran-pemikiran apa yang baru saja ia lakukan, dan nalarnya yang terus-terusan menolak. Ia hidup sendiri, karena ia ingin sendiri. Ia tidak menikah, asal kau tahu saja semua laki-laki di dunia ini bejat semua, otaknya tumpul, napsunya besar. Ia senang begini, ia senang hidupnya sendirian, ia senang akan apartemennya yang indah, ia senang akan dapurnya yang minimalis, ia senang akan kesuksesan tendernya untuk bulan depan, tapi semua kesenangannya terasa kurang ketika ia bertemu seorang teman pada hari Rabu, tiga minggu lalu.
**
“Ditemukan kemarin. Tak ada yang tahu siapa yang menaruhnya disana. Kasihan bukan? Padahal ia seperti surga.” Seorang teman bernama Annie menatapnya, memunculkan senyum iba seraya memasukan tangannya ke baju serba putih itu perlahan.
“Ya, kasihan…”
Entah ada apa, mulai hari itu perempuan muda ini selalu berkunjung kesana. Macam-macam alasannya. Sakit perut lalu minta periksa dokter lalu pergi ke tempat Annie ditugaskan, obat maag habis minta resep ke dokter lalu pergi ke tempat Annie ditugaskan, berbaik hati membawakan makan siang ke tempat Annie ditugaskan, hingga dua minggu kemudian datang tanpa alasan.
“Hatimu tercantol padanya bukan?” Hari itu Annie bertanya padanya.
“Hah?”
“Aku tahu. Kau pergi kesini karena hatimu tertambat oleh senyumannyakan?” Kali ini Annie menunjukan senyum simpulnya.
“Kau ini bicara apa, aku kemari kan untuk bertemu denganmu—makan siang bersama kan? Hahaha.” Antara ingin tak ingin, perempuan muda ini mengeluarkan alasan.
Hatinya belum jujur saat itu. Tekadnya juga belum bulat seperti sekarang. Ia hanya tidak tahu, bagaimana bisa menariknya makhluk itu, bagaimana tawanya, senyumannya, tangannya ketika Annie menyentuhnya, walaupun ia hanya bisa melihatnya dari balik kaca besar yang tembus pandang. Perempuan muda ini sadar tak sadar, melamunkan bagaimana lembutnya kulit kapas bila kelak disentuhnya. Ah, ia tidak tahu harus bagaimana.
Esoknya, ia datang lagi kesana. Menghampiri Annie, dengan keranjang putih berisi spicy beef ditangan kirinya. Kaget ketika Annie langsung menarik keranjangnya, lalu menyeretnya masuk ke ruang yang sebelumnya hanya bisa ia lihat dari balik kaca. Annie membawanya. Boks dan selang teratur di tempatnya.
“Annie! Aku tidak boleh masuk kesini.”
“Biarlah, tidak ada orang. Dokter pada makan semua, tidak ada yang melihat. Kemari…” Annie terus menyeretnya.
Tangan perempuan muda itu dingin. Ia tahu Annie akan melakukan apa.
“Ini… yang kau pandangi setiap hari. Sentuhlah.” Annie seperti mengangkat sebuah benda ringan dari boks dihadapannya.
“Annie… Tidak, mungkin kau salah sangka… Aku,” Tapi Annie keburu mendekatkan makhluk itu kearahnya.
“Sentuhlah.” Annie menganggukan kepalanya.
Entah dorongan apa tapi perempuan itu sedikit menggerakan tangannya. Maniknya menatap halus, apa yang tangannya capai. Ah coba kau lihat, matanya terpejam, tapi sedetik kemudian ia menguap. Tangannya bergerak, mengepalkan jari-jarinya yang kecil dan merah. Perempuan muda itu mendaratkan telunjuknya perlahan, AH, lembut seperti yang ia kira. Seperti surga, mirip yang Annie bilang. Ia sampai tak tahu harus menjelaskannya bagaimana.
“Prosesnya memang sulit, tapi aku bisa membantu mengurusnya jika kau mau. Kau ingin ia denganmu bukan? Kau ingin dekat dengannya bukan?”
Dan Annie melakukannya. Melakukan yang ia maksud dengan bantu. Tuhan, perempuan ini yang selalu sendiri hidupnya. Besarnya sendiri di sebuah rumah asuh tua, kecinya sendiri, dewasanya sendiri, pernah dikhianati lalu kembali sendiri. Nah Tuhan, bisakah kau juga membantunya saat ini seperti Annie yang juga membantunya?
**
Perempuan ini tak pernah tahu, tapi Tuhan itu baik ternyata. Tuhan memberikan apa yang ia inginkan, karena hari ini perempuan muda itu, Alisa namanya, akan datang lagi kesana dan tahu ketika pulang ia tidak akan lagi sendirian. Seorang bayi perempuan berambut sejumput itu kini ada dalam dekapannya, juga tertulis dalam noktah kertas atas namanya. Tak ragu-ragu lagi ia sentuh sekarang.





Harapan ke-10 Vira


By.Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)

            Sobekan kertas usang itu menggangguku. Kertas bercorak yang terjepit di mesin kotak musik. Akupun terpaksa merusak kotak musik ditanganku ini agar kertas usang itu bisa aku keluarkan. Kotak musik milik Vira saudara kembarku. Aku buka sobekan kertas itu dan hanya ada angka 10 dan huruf N, S, Y yang terbaca oleh ku. Tulisan apa yah?
            Hari ini, Vira saudara kembarku, telah pergi meninggalkan aku karena penyakit ginjal – ginjal akut. Sedari kecil, Vira memang terlahir lemah. Ia juga sangat pendiam, walaupun kita kembar, kita tidak terlalu dekat. Ya, mungkin karena Vira lebih sering bolak balik ke rumah sakit untuk berobat, sedangkan aku yang terlahir sehat benar-benar menikmati masa-masa mudaku. Terkadang aku iri pada Vira, karena Mama dan Papa lebih perhatian kepada Vira ketimbang ke aku.
            Seharusnya hari ini adalah hari bahagiaku, dan tentunya Vira pun ikut berbahagia walau harus tinggal di Rumah Sakit, ya, hari ini adalah hari pernikahanku dengan Yuan – teman kecilku. Aku dan Yuan berteman sejak umur kita 10 tahun. Masih teringat hari kepindahan keluargaku ke kota ini, semuanya demi Vira, Ia butuh kota yang tenang untuk pengobatan. Rumah Yuan ada di depan rumah ku, dan kita berteman sejak itu.
            Sempat tak percaya saat Yuan melamarku setahun yang lalu. Kedekatanku dengan Yuan yang hanya sebatas teman, ternyata membuat Yuan mengartikan lebih. Tapi aku menyukai kedekatan ini, mungkin nggak ada lelaki lain yang dekat denganku selain Yuan, sehingga aku menganggap Yuan lah lelaki terbaik, aku juga sayang sama Yuan. Kita selalu bersekolah di sekolah yang sama, sampai kuliah pun kita mengambil jurusan yang sama.
            Hari pernikahanku berubah menjadi duka. Mama dan Papa menangis di samping jenazah Vira, aku hanya diam terpaku, lagi-lagi semua karena Vira. Tak ada setetes air mata pun yang keluar dari sudut mataku. Pasti dalam hati para pelayat menganggap aku sangat tegar, padahal tidak. Ya, di hari meninggalnya Vira, aku pun tetap membenci Vira.
******
            Seminggu setelah hari meninggalnya Vira, Mama masih saja bersedih, bahkan setiap hari Mama ditemani Papa selalu mengunjungi makam Vira. Sepeninggal Vira pun perhatian Mama dan Papa nggak berubah, hanya Vira yang diperhatikan, bukan aku.
            Saat aku membersihkan kamar Vira – inipun karena Mama yang minta padaku, aku menemukan kotak musik. Sepertinya rusak, karena tuas pemutarnya patah. Aku buka kotak musik itu, ada sobekan kertas terjepit di antara mesin kotak musik. Aku pun merusak kotak musik itu, sampai akhirnya sobekan kertas itu ada di tanganku. Hanya ada angka 10 dan huruf N, S, Y. Aku tidak bisa membaca tulisan ini secara lengkap karena sepertinya kertas ini bekas di sobek-sobek kasar.
            Panggilan Mama dari ruang tamu mengagetkanku, “Vina…”
            “Iya Ma, Vina ada di kamar Vira,” jawabku.
            “Wah, sudah agak lumayan, kamar ini baru seminggu di tinggal, tapi bau debu nya bikin Mama alergi,” kata Mama sambil memelukku mengucapkan terima kasih padaku.
            “O, iya Vin, Vira ninggalin buku hariannya buat kamu,” kata Mama sembari meninggalkanku dan menuju kamarnya mengambil buku harian Vira yang dititipkan ke Mama dua hari sebelum Vira meninggal.
            Buku harian Vira sekarang ada di tanganku, buku harian berwarna merah usang. Aku sepertinya mengenali buku harian ini dan juga corak kertas nya. Aku sedikit gemetar, apa yang ingin Vira sampaikan kepadaku yah?
            Halaman demi halaman aku baca, dan aku nggak menyangka, kalau Vira justru iri sama aku, karena aku bebas bermain sedangkan Ia tidak. Tiba-tiba aku terpaku pada satu halaman, 10 Harapanku, halaman yang berisi harapan Vira dan berharap terkabul di hari ulang tahunnya – ulang tahun kita.
  1. Di umur 11 tahun aku ingin bisa naik sepeda.
  2. Di umur 12 tahun aku ingin pakai seragam SMP.
  3. Di umur 13 tahun aku ingin merasakan Haid pertamaku.
  4.  Di umur 14 tahun aku ingin jalan-jalan ke Bali.
  5. Di umur 15 tahun aku ingin memakai seragam abu-abu.
  6. Di umur 16 tahun aku ingin rambutku panjang seperti model iklan shampo.
  7. Di umur 17 tahun aku ingin merayakan Sweet Seventeen ku bersama teman-teman di rumah, bukan di rumah sakit.
  8. Di umur 18 tahun aku ingin merasakan ospek dan kuliah.
  9. Di umur 19 tahun aku ingin sembuh dari penyakitku.
Tunggu Harapan yang ke-10 kok nggak ada yah?
******
            Aku membanting pintu kamar Vira. Hari ini aku bertengkar lagi sama Vira. Yuan punya aku, Vira sudah ambil Mama dan Papa.
            “Vin, aku punya 10 Harapan, tiap tahun mulai tahun depan, di hari ulang tahun kita, aku berharap, satu harapanku terkabul,” kata Vira seraya menunjukkan buku hariannya di ulang tahun kita yang ke-10.
            Aku pun membaca 10 Harapan yang Vira tulis di buku harian itu, dan di saat aku membaca harapan ke-10, aku marah,
  1. Di umur 20 tahun aku ingin Nikah Sama Yuan.
Aku pun spontan menyobek tulisan Harapan ke-10 itu. Aku tidak mau Vira merebut Yuan dariku, cukup Mama dan Papa saja yang dia rebut, tidak dengan Yuan ku.
******
            Aku gemetar membaca sobekan kertas usang ini, rupanya ini adalah sebagian kertas tulisan 10 harapan Vira, yang aku sobek 10 tahun lalu. Dan ternyata Vina menyembunyikan sobekan kertas itu di kotak musik pemberian Yuan di ulang tahun kita yang ke-10. Saat itu lah, Vina tlah jatuh cinta pada Yuan.
            Selamat ulang tahun yang ke-10 Vina, dengarkan kotak musik ini, agar harapanmu terkabul. (Yuan)
 Kartu ucapan ulang tahun dari Yuan untuk Vina pun ada di buku harian ini.
            Mama mendekatiku, sambil memelukku, mama pun minta maaf karena tak pernah ada waktu buatku, semua Mama lakukan karena Mama menganggap aku bisa mengurus diri sendiri, tidak dengan Vira. Dan aku baru tahu, karena kita terlahir kembar, Vira hanya mempunyai 1 ginjal, karena ginjal yang satu nya rusak sedari dalam kandungan. Dokter pun mengatakan, umur Vira nggak akan lama, dan ternyata benar.
            Aku sangat menyesal telah membenci Vira selama ini. Seharusnya aku bersyukur, aku terlahir sehat tidak seperti Vira. Aku menangis dalam pelukan Mama sembari memeluk buku harian dan kotak musik milik Vira.





Kebahagiaan dalam Senyuman

Oleh @mazmocool

Sepasang penari berbinar di sebuah ruang penuh warna. Gerakan keduanya tawarkan keindahan bagi bulatan-bulatan visual yang memandangnya. Sudah beberapa periode tarian itu masih sama. Gerakannya tak beda seperti saat pertama mereka melantai. Tak ada kebosanan di wajah mereka berdua. Alunan musik sendu samar terdengar menembus sanggurdi telinga. Sementara cahaya optik di mata mereka pancarkan rasa penuh cinta.

Cinta yang takkan pernah lekang oleh amarah dunia. Takkan terpisahkan sampai kehidupan membawa mereka ke akhir riwayat yang terbuang. Terbuang dari kumpulan pernik-pernik penghias kehidupan.

Kaca ruangan itu mengembun tipis, saat sepasang bulatan visual polos terpantul. Nanar dalam rasa penasaran tergoda akan keindahan tarian. Tarian itu terus menggoda matanya dalam sebuah keinginan. Keinginan untuk bisa bersama-sama menyatukan birama dalam setiap keindahan geraknya. Saraf motoriknya spontan menggerakkan tangannya mengikuti alunan musik sendu yang terdengar menghentak sampai ke liang terdalam.

"Dino, ayo kita pulang," kata seorang ibu menarik lembut tangan anak laki-laki.

Dino, anak kecil usia lima tahun itu belum juga bergeming dari tempatnya berdiri. Matanya masih tersimpan di balik tarian. Hatinya telah larut dalam tarian itu. Dari dalam ruangan, kedua penari tersenyum dalam mata Dino. Senyum yang membuat Dino terpikat.

"Sebentar lagi bu. Aku masih ingin melihat tarian indah mereka," kata Dino merengek.

"Dino, nggak baik kamu terlalu menikmati tarian itu. Nanti saja, mama anterin kamu ke lapangan biar kamu bisa ikut main sepak bola, itu lebih baik bagi kamu," kata ibu itu lagi dengan tarikan tangan yang sedikit memaksa.

Raut kecewa tergurat dari wajah Dino. Dino hanya ingin menari bersama mereka dan bukan main bola. Keinginan tercerabut oleh satu hentakan, membuat Dino terpaksa berlalu dari tempat itu.

***

"Kenapa anak laki-laki tadi tidak dibolehkan ikut menari bersama kita?" tanya penari laki-laki yang bernama Adam itu pada Barbie pasangan menarinya.

Alunan musik sendu mengiring setiap gerakan maskulin Adam yang berpadu indah dengan feminisme seorang Barbie. Menghanyutkan Barbie pada tepi padang pengharapan. Pengharapan ada seseorang yang ikut larut dalam tarian mereka.

"Aku juga tidak mengerti Adam," jawab Barbie yang melingkarkan kedua tangannya di pundak Adam.

"Sudah sekali kita menari hanya berdua, bahkan setiap hari kita hanya berdua," kata Adam memeluk erat pinggang Barbie.

Musik masih mengalun sendu, keduanya terdiam dalam ketidakpastian. Ketidakpastian akan nasib mereka esok hari.

 "Ya Adam, aku ingin sekali ada bocah kecil yang menemani kita menari setiap hari, tapi apa daya, sepertinya kita memang ditakdirkan hanya berdua sepanjang masa," jawab Barbie sambil berusaha menikmati setiap nada yang keluar dari alunan musik itu.

"Aku juga Barbie, aku tak peduli bocah perempuan atau laki-laki yang akan menemani kita menari, aku hanya ingin segera keluar dari sini untuk sebuah petualangan baru," kata Adam berusaha memendam keinginan itu.

Mereka berdua terus menari dalam gerakan yang penuh arti. Meskipun sampai sekarang belum ada satu orangpun yang mengerti akan arti tarian itu.

***

Matahari seperti enggan membakar bumi dengan radiasi tingkat tinggi. Melembabkan bumi dalam tingkat yang tinggi. Padahal siang hari masih belum juga undur diri. Semua titik bumi terasa pengap, tak terkecuali ruangan kecil itu.

"Nggak biasanya hari ini terasa pengap ya Barbie," kata Adam dalam kepengapan ruangan itu. Tertidur miring diantara tumpukan membuatnya sangat tersiksa. Terlihat kontras dengan jas hitam dan kilap sepatunya yang sudah mulai usang.

"Iya Adam, padahal aku masih ingin menari lagi. Setidaknya hari ini," kata Barbie yang menggelayut manja pada leher Adam. Baju merah mudanya tampak sudah lepas rendanya. Payet-payet keemasan beberapa sudah rontok dimakan usia. Sepatu merahnya nampak juga sudah nampak tal merah lagi.

"Iya sayang, aku juga, apalagi mengingat mata polos anak laki-laki yang kemarin itu, rasanya aku ingin sekali bisa menari setiap hari bersamanya, di pelupuk matanya," kata Adam yang tak pernah mau melepaskan pelukannya di tubuh Barbie.

Keinginan demi keinginan terangkai bersama hari dalam setiap gerakan tarinya seiring simponi yang berdendang penuh rayu. Keinginan yang entah kapan dapat terwujud.

***

Brakkk!

Tubuh keduanya terjerambab dalam gelap. Alunan musikpun seketika tak lagi membuat gejolak. Kegelapan semakin terasa saat beberapa tubuh usang menimpa tubuh mereka. Ada yang tangannya patah, bahkan ada juga yang matanya tinggal satu. Semuanya menumpuk menjadi satu, menunggu giliran untuk dibawa ke suasana yang baru.

Adam dan Barbie tak bisa berkelit, mereka tahu bahwa hari ini adalah jawaban dari keinginan mereka. Dalam gelap keduanya semakin erat berpelukan. Tak ada lagi tarian yang ada hanya kegelapan. Dalam gelap mereka terus berharap. Tak ada lagi rongga udara sehingga membuat mereka dan yang lainnya seakan tercekat.

***

Mobil pengangkut berhenti di sebuah panti asuhan. Sebuah kardus besar dikeluarkan. Anak-anakpun antusias menyambut kedatangannya. Begitu kardus dibuka, mereka sibuk memilih mainan kesukaan mereka. Mereka tampak bahagia, meskipun beberapa mainan itu diantaranya sudah usang. Tak lama kardus itupun sudah mulai lega dan hanya menyisakan sebuah mainan yang sudah usang.
Sementara anak-anak yang lain sibuk dengan mainan barunya, seorang bocah lelaki kecil kurus berlari menuju kardus itu. Bocah itu adalah Dino. Dino segera mengambil mainan itu. Mata bulatnya sibuk menjelajahi setiap detilnya. Dirabanya tonjolan yang ada dan mengalunlah musik yang sudah pernah didengarnya. Pelan tapi pasti kedua boneka yang ada diatasnya mulai bergerak mengikuti irama. Dino tersenyum puas karena keinginannya telah terpenuhi. Tak beda dengan Adam dan Barbie yang terus bergerak berputar menari penuh kebahagiaan dalam senyuman.