Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Perang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Januari 2011

Perang atau Berselisih


Oleh Laily Maharani (@maharaniezy)
maharaniezy.tumblr.com

Sepi. Banget. Gelap. Dingin. Aku pulang. Mengendap-endap.
Rambut bau rokok. Baju sedikit acak. Parfum campur keringat.
Mengerling sedikit. Ada kaca. Aku terperangah.
Tampangku terlalu binal. Full-eye mascara. Wonderlash.
Lipstick red-light. Like snow-white. Kontras.
Full foundation. Beige. Blush on. Fairy-pixie series.
Eye-shadow. Pretty up colour. Plus blue contact lense.
Kamisol melorot sedikit. Kendur. Habis ditarik om-om.
Di tengah keramaian. Pesta meriah diskotik. Bareng teman-teman.
Biarpun bukan teman sebenarnya. Mereka cuma pengusir sepi. 
Alat anti-galau. Bukan best-friend. Yang penting senang.


Mendekat ke cermin. Itu bukan aku. Itu orang lain. Tentu saja.
Aku sedang menjadi orang lain. Cuma diperlukan sedikit make-up remover.
Untuk kembali. Untuk menjadi aku lagi. 
Nafasku mengembun. Iya di cermin.
Bau tequilla. Keras sekali. Tapi aku tidak mabuk. 
Aku cuma senang-senang.


Dari belakang ada bayangan. Oh cuma ibu. Seperti biasa.
Dia menatapku prihatin. Atau geleng-geleng kepala. Kadang berdecak.
Dia pikir aku peduli. Kita sudah lama tidak cocok.
Buat apa masih tinggal bareng. 
Hey bu ! Dunia kita berbeda. Aku terlalu modern.
Terlalu congkak. Terlalu sibuk dalam glamour. 
Aku sudah terlalu rusak. Bahkan untuk menjadi anakmu !
Tapi tampaknya kau tidak peduli.
Ini bukan perang. Ini cuma perselisihan.
Ibu-anak beda dunia. Yang pura-pura saling tidak peduli.

Selasa, 21 Desember 2010

Aku adalah Aku

Oleh Reina Relistha Putri
Blog:  http://elfnite.blogspot.com/
Twitter: http://twitter.com/elf_nite
FB: http://facebook.com/elfnite






Pikirku, aku adalah Dewa
Benarkah?
Pikirku, aku adalah semesta
Benarkah?
Pikirku, aku adalah segalanya
Benarkah?

Pikirku,...

Apa yang kupikirkan?

Aku adalah aku
Dan Aku?
Adalah aku
Tapi benarkah aku adalah 'Aku'?

Ketika setiap langkahku diarahkan
Benarkah aku adalah aku?
Ketika setiap kataku didiktekan
Benarkah aku adalah aku?
Ketika setiap pilihanku di tentukan
Benarkah aku adalah aku?

Ya, aku adalah aku

Aku adalah Dewa
Aku adalah Semesta
Aku adalah segalanya

Karena Aku adalah Aku

Dan aku?
Mungkin bukanlah aku
Tapi itu adalah aku
Karena semua yang tercipta pada diriku
Adalah aku

Apakah aku adalah aku?

Pilihan Berat

By: Andy Saputra (@creandivity)


Air mata masih menetes di pipi sang Wanita. Raut mukanya sangat kusut, nafasnya masih sesenggukan. Dari sana saja, aku bisa tahu bahwa dia pastilah mengalami masalah yang sangat berat. Cukup memprihatinkan, menurutku, betapa wanita yang cantik dan elok ini sekarang berada di depanku menangis tersedu-sedu.

Beberapa saat kemudian, aku melihat seorang lelaki keluar dari ruangan dokter. Dia juga terlihat gugup dan gelisah, sama halnya dengan wanita itu. Dugaanku, mungkin mereka berdua adalah sepasang kekasih. Bahkan, aku curiga mereka adalah sepasang suami istri. Cincin yang melingkar di jari mereka berdua menjadi penguat firasatku. Lantas, apa yang membuat mereka berada di sini ? Di sini ? ya, ini adalah tempat praktek dokter kandungan, dan aku sendiri sedang mengantarkan kakak perempuanku memeriksakan kandungannya.

Dugaan pertamaku tentu adalah si Wanita tersebut hamil di luar nikah. Namun, perkiraanku kandas ketika melihat cincin yang sama di jari mereka. Maka, pikiranku berkelana laksana detektif. Tangisan dan muka susah sangat tidak umum ditemui di tempat dokter kandungan, di mana semua pasangan bersemangat memeriksakan calon anak mereka. Hal inilah yang membuat aku tidak henti-hentinya memikirkan segala kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi.

Lelaki itu lantas mengeluarkan sebatang rokok dari kantongnya, seraya menyulut rokok itu dan beranjak keluar ruangan. Berusaha menghilangkan ketegangan dan kegelisahannya, mungkin. Sang Wanita pun sudah mulai bisa mengatur emosinya. Lelehan air matanya sudah mulai melemah. Hanya tatapan kosong dan cemas itu yang masih tergambar dengan jelas. Dasar aku yang masih penasaran saja, lalu aku pun mengajaknya ngobrol. Mungkin saja aku dapat membantu kesulitannya.

"Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, kenapa anda menangis di sini ? Apakah anda mengalami masalah sulit ?", tanyaku
" Mas siapa ? Sedang apa di sini ?", jawabnya dengan masih sesenggukan menahan tangis.

Singkat kata, aku pun mulai mengobrol dengannya. Rupanya, hari itu, dia dan suaminya pergi ke dokter kandungan untuk berkonsultasi. Mereka ingin menggugurkan janin yang sedang dikandungnya. Janin itu adalah calon anak mereka yang ke-5. Yah, sudah ada 4 orang anak yang membebani hidup mereka. Dan rupa-rupanya, mereka merasa terbebani dengan adanya tambahan seorang anak lagi.

Tapi, terlepas dari kesulitan ekonomi yang melanda mereka, mereka juga keluarga yang taat beragama. Sadar betul dalam benak mereka, bahwa tindakan aborsi pun adalah tindakan yang berdosa dan merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Itulah sebabnya mengapa wajah kusut, sedih, dan gelisah yang terpampang pada wajah sepasang suami istri ini sekarang. Dalam hati mereka, terjadi pergulatan batin, perang yang sangat sulit untuk dimenangkan dengan bahagia. Jalan apapun yang ditempuh serasa berat untuk mereka. Taruhannya, kebahagiaan keluarga ini dengan kondisi ekonominya, ataupun dosa berat karena membunuh darah daging mereka sendiri. Apapun pilihan yang mereka ambil, perang ini sudah terasa kalah bagi mereka.

Aku sendiri hanya bisa iba mendengar kisah keluarga ini. Sungguh kasihan mereka. Terjepit di antara dua pilihan berat. Aku hanya bisa menitipkan doa pada wanita tersebut, tatkala kakakku keluar dari ruangan dokter. Kami pun berpamitan. Tanpa pernah tahu, apakah bayi mereka tersebut akan pernah menghirup udara dunia ini atau tidak.

Hitam Putih


Oleh Gisha Prathita
kamukayakuya.tumblr.com


Kunamakan kerajaan ini Kerajaan Hvid. Ini adalah kerajaanku, yang selalu berperang dengan kerajaan yang ada dihadapanku sekarang ini. Ya, kerajaan itu adalah kerajaanmu, Kerajaan Musta. Kedua kerajaan ini berperang sejak lama, mungkin ratusan tahun yang lalu, mengerahkan semua kemampuan dan bala tentara yang kita miliki.

Entah.

Entah apa alasannya. Sudah terlalu lama bahkan untuk mengingat permulaan dari pertempuran ini. Terkadang alasan sudah tidak dibutuhkan lagi untuk memulai sebuah peperangan—atau meneruskan peperangan. Hanya satu yang bertahta, harga diri. Ya, harga diri bahwa kerajaanku tak akan sudi dikalahkan oleh kerajaanmu. Begitupun kerajaanmu, kurasa.

Harga diri?

Kupikir malah tak ada lagi harganya diri-diri yang sejak ratusan tahun lalu berbaris tegak dengan kokoh, melindungi barisan di belakangnya, melingkupi benteng-benteng yang tangguh, dan menutupi semua anggota istana. Mereka banyak berguguran, mati—atau tertawan, di kerajaanmu. Bahkan aku sudah tak tahu lagi bagaimana nasib mereka, kecuali, nasib mereka yang ditukar dengan pendekar-pendekar tangguh, berharap bisa memperkuat pertahanan untuk kembali berperang dengan kerajaanmu. Demi kemenangan.

Andai aku ada di dalam istana sekarang, aku akan menarik tirai istana yang putih dan kukibarkan di atas menara kerajaan yang tertinggi—menara dimana biasanya seorang putri kerajaan kami dikurung supaya tidak terjangkau dari sentuhan dunia luar, apalagi sentuhan pria-pria yang haus dengan tatapan damai dari mata sang puteri—bukan tanda menyerah, melainkan tanda untuk menyudahi peperangan ini. Sudah terlalu banyak korban ego demi penentuan kemenangan. Sudah kukatakan, peperangan ini sudah bermotif bias.

Kita bahkan tidak tahu apa yang kita persalahkan di antara kerajaan kita.

Sekarang aku di sini, duduk di hadapanmu. Terdiam, memperhatikan setiap gerak gerikmu. Setiap langkah yang akan kamu ayunkan. Kamu masih berpikir untuk membuat kerajaanku kalah.

Bukankah kamu mencintaiku?

Tidak bisakah kita sudahi saja semua ini?

“Jangan mengalah karena aku mencintaimu atau karena kamu mencintaiku.” Kamu berkata padaku tempo hari. “Masalah kerajaan dan masalah antara aku dan kamu adalah dua hal yang terpisah.”

“Kamu sekuler,” tukasku. “memisahkan antara kependudukan dan perasaan.”

Kamu tersenyum, lalu siap untuk kembali menjadi ahli strategi perang kerajaanmu, kerajaan Musta. Kamu menegakkan kepalaku. Di pertemuan rahasia itu kau mengecup keningku. “Saatnya kerajaan kita saling berperang… lagi.”

Kemudian kamu kembali ke medan perang. Dengan kuda-kuda megah di otakmu, dan tatapan kosong tak bisa ditebak.

Aku lalu kembali ke kerajaanku. Mau tidak mau, aku harus mengabdi pada kerajaan di tempat aku berpihak, Kerajaan Hvan. Karena mereka tahu, aku kekasihmu—hanya aku yang mengetahui pikiranmu. Hanya aku lawanmu yang seimbang. Seimbang—50:50. Perbandingan yang paling kamu sukai—antara aku mengalahkanmu atau kamu mengalahkanku.

Ini medan perang, aku bukan kekasihmu di sini dan kamu juga bukan kekasihku di sini. Bagai hitam dan putih. Kita hanya menjadi kekasih bagi kerajaan kita masing-masing. Dengan segala ego yang ada, segala kemampuan dan kesombongan yang kita punya.

Dari seberang kerajaan, aku melihatmu berpikir lebih keras saat satu benteng pertahananmu roboh. Aku lengah, dan akhirnya panglima kerajaanku yang memimpin tentara kerajaanku masuk ke dalam jebakanmu. Tentara yang dipimpinnya panik. Meski aku masih ada di sini, tapi apalah aku ini? Bukan anggota kerajaan. Aku hanya si pengatur strategi—penasehat yang berusaha membantu kerajaan ini menyudahi peperangan… dengan satu trophi kemenangan di hati para penduduk kerajaan.

Meskipun pasukan berkudaku telah membumihanguskan semua pasukan lini depanmu, ternyata kemungkinan yang muncul di sini adalah 50 bagian yang berpihak padamu. Benteng pertahananku yang terakhir akhirnya runtuh—roboh, hancur berkeping-keping.

Aku terkesiap.

Satu kesempatan terakhir, saat satu tentaraku nyaris berhasil menerobos pertahanan penjaramu untuk membebaskan panglimaku, lagi-lagi otakku tergelincir. Dan kamu mengambil kesempatan itu. Aku putus asa. Kerajaanku kini berada di ujung jarum. Siap ditusuk dari arah manapun.

Aku menatapmu dari seberang. Kamu tersenyum.

Senyum itu. Senyum kemenangan dari suatu pertarungan.

“Skak-mat.” Kamu berkata mantap, seraya menaruh Kuda Hitam di sebuah petak berwarna putih, di antara sebaran dua Mantri dan satu Raja berwarna putih. Aku merengut, dan kamu tertawa lalu mengacak-acak rambutku dengan lembut. “Ayo main lagi!”

***

Sebuah Kisah di Sudut Teuku Umar


Oleh: Ratih Eka Putri
Twitter: @rtiheka

Teuku Umar memang tak pernah mati. Ah yang kubahas disini bukan Teuku Umar sang pahlawan itu. Teuku Umar adalah salah satu nama jalan di kotaku. Menjadi pusat rutinitas dengan deretan gedung-gedung tinggi menjulang yang seolah membuat sebuah barikade di sepanjangnya. Rata-rata merupakan toko ponsel, sisanya warung tenda yang menyediakan makanan aneka rupa yang menggoda selera. Dari siang hingga malam, dari sore hingga subuh sepanjang jalan ini penuh dengan kendaraan yang melintas. Oleh karena itu kusebut jalanan ini tak pernah mati. Bahkan saat tengah malam, dimana orang-orang seharusnya sudah mendekam dalam selimut sembari memeluk guling, masih ada saja bunyi kendaraan yang berdesing. Minus suara klakson yang marak terdengar di siang hari. Saat malam lalu lintasnya lebih bersahabat.
Hujan lebat mengguyur kota kecil ini sejak tadi, sesekali tampak kilatan cahaya berpendar sesaat di langit, membentuk garis zigzag yang cepat lenyap, dan beberapa menit kemudian suara Guntur terdengar samar-samar menggelegar. Jika aku di luar sana, niscaya aku pasti mendengar suaranya yang keras memekakkan telinga, bersanding dengan suara klakson kendaraan yang terjebak macet. Tapi ini sudah lewat jauh dari jam pulang kantor. Kulirik jarum pendek arlojiku yang menunjuk pertengahan antara angka sebelas dan dua belas, sementara jarum panjangnya menjejak tepat di angka enam. Hari ini aku sift malam. Anton, rekan kerjaku minta izin pulang duluan karena adik perempuannya seorang diri di rumah. Dia pergi setelah membereskan lantai atas. Meninggalkan aku—yang juga seorang perempuan ini—sendirian membereskan lantai bawah, menutup gerai ponsel tempat kami bekerja
Tak habis pikir aku, kenapa Anton semudah itu percaya padaku. Menjadikanku yang baru bekerja sebulan ini sebagai pemegang kunci gerai tempat kami bekerja. Selama ini memang dia pemegang kuncinya, Anton sudah dipercaya bos kami atas pengabdiannya yang cukup lama. Sementara aku? Mereka jelas belum mengenalku luar dalam. Tak tahu prestasi yang pernah kuukir di tempat bekerjaku yang lama. Well, bagaimana mereka tahu jika tempatku bekerja dulu adanya di luar kota. Mereka hanya melihatku yang rajin dan bersemangat.

Masih ingatkah kau kepala berita surat kabar beberapa bulan lalu? Berita yang mengabarkan betapa maraknya aksi pencurian beberapa toko di tempat yang berbeda, dan pelakunya masih buron? Adakah yang bisa menduga siapa pelakunya?

Bagaimana jika setan berbisik padaku? Bagaimana jika aku tak kuasa tergoda dari bisikannya. Kunci yang berada dalam saku celanaku sekarang merangkap kunci kasir. Well, memang isinya hanya hasil penjualan toko ini sepanjang sore hingga malam ini. Namun, paling tidak ada beberapa puluh lembar ratusan ribu disana, hasil penjualan sebuah ponsel terbaru yang marak digandrungi orang saat ini, juga beberapa aksesoris ponsel. Ah, ini bukti betapa konsumtifnya remaja saat ini. Apa sih yang mereka bisa lakukan dengan ponsel setipe itu? Jika ponsel biasa sudah bisa dipakai berkomunikasi kenapa harus memakai yang mahal dan terbaru. Aku tak paham, aku tak punya. Mungkin mereka dimakan gengsi, dan aku disini dimakan hutang.
Kugenggam kunci itu erat-erat. Menatapnya dengan jumawa. Rasa bimbang luar biasa memenuhi hatiku. Rasa gatal menggelitikku. Ada hasrat untuk mengulangi perbuatan itu lagi. Keadaan mendukung. Namun aku telah berjanji padanya untuk berubah,untuk memulai hidup baru dan mulai segalanya lebih awal.  Kakiku mulai melangkah lebih jauh mendekati meja tanpa bisa kukendalikan. Suara hujan yang deras tak terdengar, begitu pula deru mesin kendaraan. Semuanya sunyi, seolah akulah yang menjadi pusat semesta. Teuku Umar yang tak pernah mati itu kini mati. Waktu hanya bergerak untukku. Tanganku gemetar mengeluarkan kunci, bersiap menyusupkannya kedalam rumahnya. Selangkah lagi.
Nafasku benar-benar tecekat.
PRANGG
Aku kehilangan kendali, peganganku mengendur dan untaian kunci-kunci itu tergelincir dari jemariku. Menimbulkan bunyi berdencing yang ramai. Kini baik suara hujan maupun suara deru kendaraan terdengar lagi. Aku tahu waktu telah kembali. Kupungut untaian kunci-kunci itu dengan lantai. Jantungku bergedup tidak karuan. Debarannya lebih kencang dari sekedar ketika aku melihat lelaki pujaanku melintas di depan mataku. Aku gemetar, jelas bukan karena kedinginan. Kunci itu masuk kembali dalam sakuku.

Jelas adegan busuk yang sempat tergambar dalam benakku tidak pernah-pernah terjadi. Wajahnya yang sedih, sendu menanggung setumpuk penderitaan terlintas jelas di depan mataku. Dan itu ternyata ukup untuk menendang jauh-jauh setan yang menari-nari menggodaku. Dia, ibuku. Malaikat boleh bersuka cita kali ini. Mereka memenangkan perang batinku.

 TAMAT

Peluru

Oleh: Aveline Agrippina Tando (@a_agrippina)
http://smallnote.multiply.com



Aku membenci ayahku. Semua orang mengerti bukan kalimat yang kukatakan itu? Aku. Membenci. Ayahku. Sedari kecil aku memang tidak menyukai watak ayah yang keras, yang memaksaku untuk menjadi seorang militer. Memaksaku untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Ya, mungkin juga benar kata ibu kalau aku dihidupkan dalam lingkungan militer. Semua serba disiplin dan teratur. Yang melawan, mereka harus siap menerima konsekuensinya. Sedangkan aku? Aku lebih menyukai kehidupan yang biasa saja, dijalani dengan apa adanya tanpa bersifat memaksa. Toh, aku juga punya cita-cita.

Itu ceritera masa lalu. Kalau aku suka dengan seragam hijau loreng yang digantung di depan pintu kamar ayah. Kalau aku suka ketika ayah memegang sepatunya yang ketika dikenakan akan terlihat sekali bahwa ayah bukanlah orang yang biasa. Kalau aku suka menunggu ayah menyelesaikan membraso semua pangkat yang akan ia kenakan.
Itu ceritera masa lalu, masa kecil.

Kalau ayah memaksa aku harus menjadi seorang polisi atau tentara, aku tak akan pernah melawan, itu dulu. Sekarang aku tahu aku hendak menjadi apa.

"Anak macam apa kau ini?!"

"Aku ingin kebebasan, Ayah! Itu saja."

"Kebebasan? Kau pikir dengan kau menjadi seorang musisi bisa menjamin kau akan bahagia?!"

"Jika aku masuk akademi militer, apa aku juga akan bahagia, Ayah? Ayah bisa menjaminnya?"

Setiap malam, setiap kali berjumpa dengannya, dendam mengeras, membatu. Semakin hari, semakin lama, semakin mengeras. Aku dan ayah memiliki keegoisan yang sama.
Aku tidak pernah bercita-cita menembak seseorang, menyelidiki suatu kasus, ikut berperang, atau mengejar bintang. Aku tak peduli dengan jabatan jendral, mayor, atau pula brigadir. Aku tak menginginkan semua itu.

"DOR!"

Tepat di antara kedua bola mata pria yang kupanggil ayah membentuk lubang. Lubang yang membuat ibu menjerit dan aku tak peduli. Sangat tidak peduli. Lubang yang akhirnya menjatuhkan tubuh perkasa itu ke lantai.

"DOR!"

Kali ini, si pencerita yang menembak kepalanya sendiri. Selesai perkara. Tak perlu perang panjang lebar, bukan?