Oleh: @nrprtm_
http://www.facebook.com/narapratama
November 25, 2009.
Temboknya berwarna jingga, merah merekah bercahaya disinari mentari dari jendela.
Disudut itu, kita terkadang telanjang, saling berangkulan, cumbu-mencumbu, dan berbagi dunia kecil milik berdua. Hanya berdua.
Kamu membawaku menutup mata, terbang mencari bintang untuk kubawa pulang disaat mentari beranjak pergi dan air laut sudah setinggi dada.
-
"Hentikan, sudah cukup banyak bintang pemberianmu yang kusimpan, aku ingin mengirim mereka kembali menuju kegelapan," pintanya tenang, sambil membebaskan bintang-bintang dari bungkusan harapannya.
"Kenapa ? Bukankah kamu ingin bintang menjadi pembimbing jalanmu ?"
Aku sering memetik bintang untuknya, karena tidak setiap saat aku dapat tinggal dan menjaga tidurnya.
"Mereka semakin langka, diburu, dan dipanah. Mereka dibunuh dengan tembaga, oleh manusia, dan polusi cahaya dari lampu kota. Mari kita jadikan bulan sebagai penggantinya. Berjanjilah kamu akan berada disini, 18 tahun dari sekarang, disaat bulan semakin mendekat, membawa kabar baik, entah buruk,"
"Aku berjanji."
Dan kami menghabiskan malam berpelukan, berlinang air mata.
-
Semakin hari, semakin sulit untuk memandang bintang. Kapasitas cahaya lampu kota yang berlebihan menghalangi pandanganku akan indahnya langit malam. Namun bulan selalu bercahaya, hanya terkadang muncul setengah hati dan malu-malu bersembunyi dibalik awan kelam. Maka kami memilihnya.
-
"Bintang itu, bintang yang selalu muncul disetiap malamku,"
Aku menunjuk salah satu bintang disudut timur, berkelap-kelip menunjukkan kehadirannya yang tepat berada dibawah bulan.
"Aku akan selalu berada disana, sebagaimana bintang itu selalu ada untukmu. Namai dia namaku, aku ingin selalu melihatmu sambil berdiam diri dibawah terang rembulan, nyaman, damai,"
Dengan tenang, dilepasnya genggaman tanganku, dan ditinggalnya aku kesana, dibawah sinar bulan, dikelap-kelip bintang yang hadir menjaga setiap malamku.
"Pergilah, aku akan menepati janjiku untuk menyapamu dihari itu, dimana bulan datang mendekat dan menatap sendu,"
Kami berpisah.
-
Hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun kuhabiskan untuk mencari cara membersihkan cahaya kota demi melihatmu kembali disaat hari itu tiba.
Aku meninggalkan segala kewajibanku, berpindah kesana-kemari mencari tempat terendah sampai terttinggi.
Terobsesi dengan hari tanpa cahaya kota,
hanya untuk melihatmu kembali 1 malam saja.
Namun segalanya sia-sia, siapa peduli dengan usahaku ? Apa untungnya mereka mewujudkan impianku ?
Mereka tertawa, mereka menghina, mencaci-maki penuh benci.
Aku menyerah, aku mengalah.
Super Moon:
Malam ini aku mencari posisi terbaik untuk memandang fenomena alam yang terjadi 18 tahun sekali, dari pulau Dewata.
Aku terus mencari-cari pantai dan langit terbuka tanpa cahaya lampu kota, sendiri.
Aku yakin, tepat pukul 02:10 nanti kita akan kembali bertemu dalam diam, saling memandang melepas rindu dalam haru-biru.
Percayalah, aku sudah lelah disini, dan ingin sekali berada disampingmu, dibawah sinar bulan itu.
Mungkin nanti, dikala malam telah meredup, lampu-lampu kota perlahan dimatikan, dan yang terdengar hanya bisik angin.
Untuk saat ini, biarlah kita terus berkirim pesan melalui angin malam, sampai mereka sadar akan keindahan langit malam, dan ikut duduk bersampingan denganku, memandangmu, memandang mimpi mereka masing-masing.
Aku percaya kamu masih disana, bersama bulan dengan awal barunya, hari ini.
Sampai bertemu nanti, Ibu.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Supermoon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Supermoon. Tampilkan semua postingan
Minggu, 20 Maret 2011
SUPERMOON UNTUK SUPERMOM
Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Seraut wajah terduduk lemah di sebuah kursi goyang yang telah usang. Di beranda sebuah rumah kayu kecil, di tepi sebuah telaga sunyi.
Di tepi telaga itu, delapan belas tahun yang lalu, dia menyaksikan suatu keajaiban alam bersama belahan jiwanya. Mereka bahagia, sampai akhirnya maut memisahkan mereka, dan meninggalkan kenangan dengan hadirnya buah hati tercinta.
Perlahan memori itu lenyap ditelan kelembutan suara yang berdiri di belakangnya. Itu adalah suara Bulan, buah hati tercintanya.
"Bunda, kenapa kok kelihatan sedih?" tanya gadis berusia belasan sambil menggoyangkan sedikit kursi yang setia menemani bundanya.
"Bunda nggak apa-apa Bulan," kata perempuan paruh baya itu. Dibetulkannya syal yang melingkar di lehernya. Ditariknya napas untuk memebuhi rongga dadanya yang tampak kembang kempis.
Bulan tak kuasa menahan harunya, berbeda dengan bulan yang merona di awal senja itu. Bulan tampak berkaca-kaca menyaksikan bulan jingga kala senja itu.
"Bulan anakku. Rasanya malam ini bunda pengen sekali mengulang kenangan indah bersama ayahmu dulu," kata bunda.
Dengan senyuman hangat bunda menceritakan kenangan indah tentang keindahan bulan bersama ayahnya. Sesekali bunda tampak meluruskan kakinya yang kaku.
"Bulan, bunda minta tolong antarkan bunda ke tepi telaga malam ini," kata bunda.
Bulan paham maksud bundanya. Segera dia memapah bundanya untuk duduk di kursi rodanya. Dengan penuh kasih, Bulan mendorong kursi roda itu perlahan. Derit roda yang bergesekan dengan rumput liar menjadi simponi malam yang indah.
Di tepi telaga, bulan menjadi raja langit malam itu. Bulan menengadah dan tersenyum tipis menyaksikan keindahan bulan yang merona. Kedua ujung bibir bundanya juga tampak tertarik tipis keatas. Tersenyum tipis menyaksikan keindahan bulan malam itu. Senyum bukan karena melihat bulan penuh diangkasa, tetapi melihat bayangan bulan yang menari indah dan terang di permukaan telaga.
"Bunda, coba deh lihat bulan di angkasa itu," kata Bulan.
Wajah bunda yang tersenyum tak juga menengadah, tetapi justru menunduk lebih dalam. Senyum itu masih membekas. Senyum tulus penuh kekuatan dalam menjalani hidup yang akhirnya sampai pada batasnya. Batas karena penyakit stroke yang dideritanya.
Bulan, delapan belas tahun lalu, telah bisa mempersembahkan supermoon untuk supermom-nya. Malam ini, seharusnya Purnama, anak satu-satunya, yang menemaninya menikmati indahnya supermoon, namun tidak bisa setelah kepergiannya menyusul ayah dan kakek-neneknya, sebulan yang lalu. Bulan, tersenyum getir menatap bulan yang terang benderang malam itu. Entah kepada siap kelak akan menceritakan keindahan bulan malam itu.
http://bianglalakata.wordpress.com
Seraut wajah terduduk lemah di sebuah kursi goyang yang telah usang. Di beranda sebuah rumah kayu kecil, di tepi sebuah telaga sunyi.
Di tepi telaga itu, delapan belas tahun yang lalu, dia menyaksikan suatu keajaiban alam bersama belahan jiwanya. Mereka bahagia, sampai akhirnya maut memisahkan mereka, dan meninggalkan kenangan dengan hadirnya buah hati tercinta.
Perlahan memori itu lenyap ditelan kelembutan suara yang berdiri di belakangnya. Itu adalah suara Bulan, buah hati tercintanya.
"Bunda, kenapa kok kelihatan sedih?" tanya gadis berusia belasan sambil menggoyangkan sedikit kursi yang setia menemani bundanya.
"Bunda nggak apa-apa Bulan," kata perempuan paruh baya itu. Dibetulkannya syal yang melingkar di lehernya. Ditariknya napas untuk memebuhi rongga dadanya yang tampak kembang kempis.
Bulan tak kuasa menahan harunya, berbeda dengan bulan yang merona di awal senja itu. Bulan tampak berkaca-kaca menyaksikan bulan jingga kala senja itu.
"Bulan anakku. Rasanya malam ini bunda pengen sekali mengulang kenangan indah bersama ayahmu dulu," kata bunda.
Dengan senyuman hangat bunda menceritakan kenangan indah tentang keindahan bulan bersama ayahnya. Sesekali bunda tampak meluruskan kakinya yang kaku.
"Bulan, bunda minta tolong antarkan bunda ke tepi telaga malam ini," kata bunda.
Bulan paham maksud bundanya. Segera dia memapah bundanya untuk duduk di kursi rodanya. Dengan penuh kasih, Bulan mendorong kursi roda itu perlahan. Derit roda yang bergesekan dengan rumput liar menjadi simponi malam yang indah.
Di tepi telaga, bulan menjadi raja langit malam itu. Bulan menengadah dan tersenyum tipis menyaksikan keindahan bulan yang merona. Kedua ujung bibir bundanya juga tampak tertarik tipis keatas. Tersenyum tipis menyaksikan keindahan bulan malam itu. Senyum bukan karena melihat bulan penuh diangkasa, tetapi melihat bayangan bulan yang menari indah dan terang di permukaan telaga.
"Bunda, coba deh lihat bulan di angkasa itu," kata Bulan.
Wajah bunda yang tersenyum tak juga menengadah, tetapi justru menunduk lebih dalam. Senyum itu masih membekas. Senyum tulus penuh kekuatan dalam menjalani hidup yang akhirnya sampai pada batasnya. Batas karena penyakit stroke yang dideritanya.
Bulan, delapan belas tahun lalu, telah bisa mempersembahkan supermoon untuk supermom-nya. Malam ini, seharusnya Purnama, anak satu-satunya, yang menemaninya menikmati indahnya supermoon, namun tidak bisa setelah kepergiannya menyusul ayah dan kakek-neneknya, sebulan yang lalu. Bulan, tersenyum getir menatap bulan yang terang benderang malam itu. Entah kepada siap kelak akan menceritakan keindahan bulan malam itu.
Sesuatu Dalam Laci Di Bagian Atas Lemari
Oleh: @abi_ardianda
Tak perdulilah aku seberapa dekat jarak bulan dengan bumi. Toh sinarnya tak'kan membuatmu kembali. Semenjak kepergianmu dulu, aku berharap bulan mendekatkan dirinya padaku biar aku di bakarnya sekalian. Menyulam hari tanpamu berhasil membuat jejarianku lebam, kau tahu itu?
Bahkan nyaris kulupa caranya tertawa. Entah, harapan pun rasanya tak lagi ada. Bilangan yang tertera di kalender seperti jam pasir yang mengancam ketenanganku. Harus berapa lama lagi aku menunggumu?
Ingatkah kau, selepas percumbuan kita di sesaungan pinggir sawah, kau membuatkan gundukan bulan kecil di perutku. Kau bilang, jangan sampai emak dan abah tahu. Tapi orang tua mana yang tak gentar melihat anak gadisnya mengeluarkan separuh isi perutnya rutin setiap pagi? Bukan cuma sebatas sapi dan padi yang emak dan abah ketahui, tapi masih banyak lagi. Camkan itu!
Bulan pertama. Kau dan aku masih menutupi perkara seolah semua baik-baik saja. Tak seorang pun tahu bahwa di balik senyum simpul yang susah payah kukumpul itu hatiku terpukul.
Bulan kedua, aku bertanya, "kapan kau akan menikahiku?" Kau bilang nanti dulu.
Bulan ke tiga, ke empat ke lima, kau berlagak lupa. Seperti bocah penggembala yang tak sadar langit telah menjingga. Seharusnya kau sadar itu! Kau bukan lagi anak lelaki yang diizinkan menangkap serangga di saat senja kemudian pulang karena harus pergi mengaji. Kau pemuda milik seorang wanita berbadan dua, yang kelak menemaniku berbelanja di warung ujung kampung sambil berkata, "ini anakku," bila ada seseorang yang ingin tahu.
Lalu harus kujawab apa ketika seseorang menanyakan pemilik janin di perutku ini?
Bulan ke enam kau pergi, sampai angka itu kutulis terbalik tapi belum jua kau kembali.
Kini, tepat malam rabu legi. Aku memutuskan untuk pergi. Emak dan abah sudah cukup kubuat susah, aku tak tega lagi. Tekadku sudah bulat, sebulat bulan yang putih pucat, bahwa akan kubesarkan anak ini sendirian.
Dalam perjalanan barusan aku menemui banyak hambatan. Terutama rasa mulas yang meremas-remas perutku ini tak kuasa lagi kuhempas. Kini aku berhenti di sebuah padang ilalang. Di atas, bulan memelototiku dengan matanya yang nyalang.
Aku terkapar di tengah gelap tak berpijar. Rasanya seperti ingin buang air besar. Kutahu ini sesuatu yang lebih besar dan bukan dari tempat biasanya ia keluar.
Desah napasku berkejaran.
Sudah dapat ku usap ubun-ubunnya di liang vagina. Tempat tinggal paraji langganan tetanggaku masih beberapa kilo lagi jaraknya. Ini gila.
Aku harus melahirkannya sendiri, di sini, saat ini, atau kami berdua yang akan mati.
Tangisan bayi mengakhiri segala rasa nyeri.
Ibu.
***
19 Maret 2011
Kututup buku harian ibu yang ayah sembunyikan dalam laci di bagian atas lemari.
"Kemari, temani ayah menyaksikan fenomena alam yang ramai dibicarakan orang itu, Nak."
Aku duduk di samping pria bangka itu.
Sebilah pisau kugenggam erat sampai memutihkan buku-buku jariku.
Tak perdulilah aku seberapa dekat jarak bulan dengan bumi. Toh sinarnya tak'kan membuatmu kembali. Semenjak kepergianmu dulu, aku berharap bulan mendekatkan dirinya padaku biar aku di bakarnya sekalian. Menyulam hari tanpamu berhasil membuat jejarianku lebam, kau tahu itu?
Bahkan nyaris kulupa caranya tertawa. Entah, harapan pun rasanya tak lagi ada. Bilangan yang tertera di kalender seperti jam pasir yang mengancam ketenanganku. Harus berapa lama lagi aku menunggumu?
Ingatkah kau, selepas percumbuan kita di sesaungan pinggir sawah, kau membuatkan gundukan bulan kecil di perutku. Kau bilang, jangan sampai emak dan abah tahu. Tapi orang tua mana yang tak gentar melihat anak gadisnya mengeluarkan separuh isi perutnya rutin setiap pagi? Bukan cuma sebatas sapi dan padi yang emak dan abah ketahui, tapi masih banyak lagi. Camkan itu!
Bulan pertama. Kau dan aku masih menutupi perkara seolah semua baik-baik saja. Tak seorang pun tahu bahwa di balik senyum simpul yang susah payah kukumpul itu hatiku terpukul.
Bulan kedua, aku bertanya, "kapan kau akan menikahiku?" Kau bilang nanti dulu.
Bulan ke tiga, ke empat ke lima, kau berlagak lupa. Seperti bocah penggembala yang tak sadar langit telah menjingga. Seharusnya kau sadar itu! Kau bukan lagi anak lelaki yang diizinkan menangkap serangga di saat senja kemudian pulang karena harus pergi mengaji. Kau pemuda milik seorang wanita berbadan dua, yang kelak menemaniku berbelanja di warung ujung kampung sambil berkata, "ini anakku," bila ada seseorang yang ingin tahu.
Lalu harus kujawab apa ketika seseorang menanyakan pemilik janin di perutku ini?
Bulan ke enam kau pergi, sampai angka itu kutulis terbalik tapi belum jua kau kembali.
Kini, tepat malam rabu legi. Aku memutuskan untuk pergi. Emak dan abah sudah cukup kubuat susah, aku tak tega lagi. Tekadku sudah bulat, sebulat bulan yang putih pucat, bahwa akan kubesarkan anak ini sendirian.
Dalam perjalanan barusan aku menemui banyak hambatan. Terutama rasa mulas yang meremas-remas perutku ini tak kuasa lagi kuhempas. Kini aku berhenti di sebuah padang ilalang. Di atas, bulan memelototiku dengan matanya yang nyalang.
Aku terkapar di tengah gelap tak berpijar. Rasanya seperti ingin buang air besar. Kutahu ini sesuatu yang lebih besar dan bukan dari tempat biasanya ia keluar.
Desah napasku berkejaran.
Sudah dapat ku usap ubun-ubunnya di liang vagina. Tempat tinggal paraji langganan tetanggaku masih beberapa kilo lagi jaraknya. Ini gila.
Aku harus melahirkannya sendiri, di sini, saat ini, atau kami berdua yang akan mati.
Tangisan bayi mengakhiri segala rasa nyeri.
Ibu.
***
19 Maret 2011
Kututup buku harian ibu yang ayah sembunyikan dalam laci di bagian atas lemari.
"Kemari, temani ayah menyaksikan fenomena alam yang ramai dibicarakan orang itu, Nak."
Aku duduk di samping pria bangka itu.
Sebilah pisau kugenggam erat sampai memutihkan buku-buku jariku.
Keberanian
Oleh: @fatmarizka
Malam ini saya berkaca
Melihat diri saya terpantul di dalamnya
Hanya saja saya ragu apakah yang saya lihat ini nyata?
Ataukah ini hanya khayalan belaka?
Saya melihat diri saya tidak cantik
Saya merasa kecil tanpa punya kemampuan
Saya merasa ada di satu titik
Dimana saya merasa tidak memiliki sinar sang supermoon
Tapi ternyata saya salah
Saya tidak seburuk itu
Sinar saya memang tak secemerlang supermoon
Tapi sinar saya jauh lebih cemerlang daripada dia
Ya, saya yakin saya bisa lebih bersinar dari dia
Yang saya perlukan hanyalah keberanian untuk memunculkannya
Keberanian untuk memunculkan sinar yang saya miliki apa adanya
Dan akhirnya saya sadari bahwa cerminan yang saya lihat malam ini
Hanya mimpi buruk belaka
Malam ini saya berkaca
Melihat diri saya terpantul di dalamnya
Hanya saja saya ragu apakah yang saya lihat ini nyata?
Ataukah ini hanya khayalan belaka?
Saya melihat diri saya tidak cantik
Saya merasa kecil tanpa punya kemampuan
Saya merasa ada di satu titik
Dimana saya merasa tidak memiliki sinar sang supermoon
Tapi ternyata saya salah
Saya tidak seburuk itu
Sinar saya memang tak secemerlang supermoon
Tapi sinar saya jauh lebih cemerlang daripada dia
Ya, saya yakin saya bisa lebih bersinar dari dia
Yang saya perlukan hanyalah keberanian untuk memunculkannya
Keberanian untuk memunculkan sinar yang saya miliki apa adanya
Dan akhirnya saya sadari bahwa cerminan yang saya lihat malam ini
Hanya mimpi buruk belaka
Mendadak Gemuk
Oleh: Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)
http://riezkyoktorawaty.wordpress.com
Purnama demi purnama, tahun demi tahun, Luna yang terbiasa menghadapi hari indahnya, tiba-tiba mendadak panik. Ada yang beda dengan bentuk tubuhnya. Pakaian adatnya mendadak menyempit. Kain yang mengkerut atau tubuhnya yang mendadak gemuk?
Ia bolak-balik bercermin. Waktu seakan memburunya agar segera bersiap. Tuan Surya perlahan telah menuju peraduannya, Luna pun semakin panik. Apalagi seruan teman-teman Bintangnya agar segera tampil di hari indah ini, membuat Luna tak mampu berbuat apa-apa. Senja mendekati malam, terang bersiap diganti gelap. Ya, gelap, karena Luna belum muncul menggantikan Tuan Surya. Luna masih malu dengan bentuk tubuhnya, Luna masih belum percaya.
“Ada apa anakku Luna?” tanya bunda melihat kepanikan putri cantiknya.
“Bunda, ada apa dengan tubuhku, pakaian adat purnamaku tak muat lagi?’ jawab Luna dengan paniknya.
“Tenang anakku,” bunda mencoba menenangkan Luna.
“Tapi aku tak bisa tenang, Bunda,” ujar Luna semakin panik.
“Tuan Surya sebentar lagi menuju peraduannya, Bunda, aku takut tak ada cahaya di malam ini, bila aku tak segera bersiap,” lanjut Luna.
Bunda hanya bisa tersenyum melihat kepanikan dan kegalauan putri cantiknya, Luna. Bunda pun mengecup kening Luna, sekedar menenangkan.
“Selamat ulang tahun putri cantikku.” Kata Bunda sambil memeluk Luna.
Bunda melepas pelukan, sembari menunjukkan hadiah yang telah ia persiapkan 12 purnama yang lalu, untuk hari bahagia putri cantiknya. Ya, hari ulang tahun putri cantiknya yang ke-18. Bunda menghadiahi pakaian adat purnama untuk Luna. Pakaian yang lebih indah dengan ornamen bercahaya, dan tentunya dengan ukuran lebih besar dari biasanya. Bunda pun meminta Luna segera berganti pakaian.
“Bunda, aku terlihat lebih cantik daripada purnama-purnama sebelumnya. Pakaian ini buat aku lebih bercahaya, terimakasih Bunda.” Luna memeluk Bunda, seraya takjub dengan perubahan dirinya di malam istimewanya ini, hari ulang tahun yang Ia lupakan.
“Ingat ya nduk, nantinya setelah ini, tiap 18 tahun sekali, kamu akan mengalami purnama ini, purnama terindah, dan jangan kaget kalau kamu tiba-tiba mendadak gemuk” pesan Bunda kepada Luna seraya mencubit pipi Luna gemas.
Luna pun segera menemani Bintang. Tampil indah di malam hari ini. Ombak di lautan pun ikut menyambut Luna dengan ombak terindah – sosok ombak yang ditakuti para nelayan bumi.
Malam ini adalah malam dengan purnama terindah, supermoon.
http://riezkyoktorawaty.wordpress.com
Purnama demi purnama, tahun demi tahun, Luna yang terbiasa menghadapi hari indahnya, tiba-tiba mendadak panik. Ada yang beda dengan bentuk tubuhnya. Pakaian adatnya mendadak menyempit. Kain yang mengkerut atau tubuhnya yang mendadak gemuk?
Ia bolak-balik bercermin. Waktu seakan memburunya agar segera bersiap. Tuan Surya perlahan telah menuju peraduannya, Luna pun semakin panik. Apalagi seruan teman-teman Bintangnya agar segera tampil di hari indah ini, membuat Luna tak mampu berbuat apa-apa. Senja mendekati malam, terang bersiap diganti gelap. Ya, gelap, karena Luna belum muncul menggantikan Tuan Surya. Luna masih malu dengan bentuk tubuhnya, Luna masih belum percaya.
“Ada apa anakku Luna?” tanya bunda melihat kepanikan putri cantiknya.
“Bunda, ada apa dengan tubuhku, pakaian adat purnamaku tak muat lagi?’ jawab Luna dengan paniknya.
“Tenang anakku,” bunda mencoba menenangkan Luna.
“Tapi aku tak bisa tenang, Bunda,” ujar Luna semakin panik.
“Tuan Surya sebentar lagi menuju peraduannya, Bunda, aku takut tak ada cahaya di malam ini, bila aku tak segera bersiap,” lanjut Luna.
Bunda hanya bisa tersenyum melihat kepanikan dan kegalauan putri cantiknya, Luna. Bunda pun mengecup kening Luna, sekedar menenangkan.
“Selamat ulang tahun putri cantikku.” Kata Bunda sambil memeluk Luna.
Bunda melepas pelukan, sembari menunjukkan hadiah yang telah ia persiapkan 12 purnama yang lalu, untuk hari bahagia putri cantiknya. Ya, hari ulang tahun putri cantiknya yang ke-18. Bunda menghadiahi pakaian adat purnama untuk Luna. Pakaian yang lebih indah dengan ornamen bercahaya, dan tentunya dengan ukuran lebih besar dari biasanya. Bunda pun meminta Luna segera berganti pakaian.
“Bunda, aku terlihat lebih cantik daripada purnama-purnama sebelumnya. Pakaian ini buat aku lebih bercahaya, terimakasih Bunda.” Luna memeluk Bunda, seraya takjub dengan perubahan dirinya di malam istimewanya ini, hari ulang tahun yang Ia lupakan.
“Ingat ya nduk, nantinya setelah ini, tiap 18 tahun sekali, kamu akan mengalami purnama ini, purnama terindah, dan jangan kaget kalau kamu tiba-tiba mendadak gemuk” pesan Bunda kepada Luna seraya mencubit pipi Luna gemas.
Luna pun segera menemani Bintang. Tampil indah di malam hari ini. Ombak di lautan pun ikut menyambut Luna dengan ombak terindah – sosok ombak yang ditakuti para nelayan bumi.
Malam ini adalah malam dengan purnama terindah, supermoon.
Langganan:
Postingan (Atom)