Oleh: @benjalang
Pagi, di kantor.
"Sajak yang kamu buat tadi romantis banget deh"
"Pasti dong sayang, aku membuatnya dengan sepenuh hati, hanya untukmu". Aku tersenyum geli, satu lagi gadis kesepian yang terjerat perangkapku.
"Nanti malam bikinin lagi ya, biar aku bisa mimpi indah malam ini".
"Pasti aku buatkan sayang, aku akan berikanmu bunga-bunga kata untuk mengantarmu tidur". Aku membalasi BBM dari gadis itu.
*****
Sore, di jalan.
"Sebentar ya cantik, aku masih di jalan, jadi aku belum on-line". Pesan dari gadis itu, dia benar-benar mabuk karena permainan kata-kataku.
"Hati-hati ya, aku tunggu kedatanganmu dan sajak-sajak indah di timeline"
*****
Malam, di rumah.
"Pa, makan dulu. Jangan mainin handphone terus", istriku memanggil untuk makan malam.
"Iya istriku sayang, kamu masak apa?"
"Ada sop ayam kegemaranmu suamiku"
*****
Tengah Malam di Rumah.
"Terima kasih sayang, sajakmu selalu indah. Mmuaaah", gotcha, kena kau, pikirku.
"Hanya untukmu cantikku",
"Papa kenapa senyum-senyum?"
"Ga ada apa-apa istriku, ini ada artikel lucu. Yuk kita tidur"
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Narsis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Narsis. Tampilkan semua postingan
Minggu, 17 Juli 2011
Di Toilet Kantor
Oleh: @suavenigma
Baru aku keluar toilet saat Hana sudah berdiri mematut diri di depan cermin lengkap dengan perlengkapan perangnya. Touch up. Satu dompet besar berisi perlengkapan make up lengkap dan satu dompet gulung yang berisi deretan kuas wajah berbagai ukuran dan bentuk. Entah apa saja fungsinya. Hana tersenyum melihatku memandanginya lewat cermin.
Aku mendekat ke cermin di sebelahnya dan mulai mencuci tangan. Tanpa sadar aku memperhatikan Hana dari cermin. Ia mulai menyisir bulu matanya dengan sikat maskara. Dari ujung bulu mata, tengah ke ujung bulu mata, lalu pangkal ke ujung bulu mata. Mengerjapkannya beberapa kali, lalu tersenyum lebar. Terlihat puas dengan hasilnya. Bangga dengan tangan terlatihnya.
“Naksir ya?” seloroh Hana saat aku menyabuni tanganku. Itu cara bercanda favorit Hana. Hanya senyum miring dariku lalu kembali kufokuskan mata pada tangan yang sudah penuh busa yang mulai kubasuh dengan air.
Hana itu cantik. Well, sebenarnya ngga cantik-cantik banget, sih. Pernah sekali aku melihat wajah telanjang Hana yang tanpa make up karena kebetulan berbagi kamar saat masa training dulu. Biasa saja. Toh, hidungnya kecil ngga mancung, pipinya bulat, bibirnya tebal, dan satu lagi, matanya itu loh, orang Jawa bilang mendolo (menonjol).
Mungkin kata terawat bisa menggambarkan diri Hana. Rasanya jarang sekali ada jerawat yang mampir di wajahnya. Sedangkan aku? Well, paling tidak sebulan sekali ada saja jerawat bandel yang muncul saat aku datang bulan. Selain itu, wajahnya selalu terlihat lembab dan bercahaya walau sebenarnya kulit wajahnya tergolong gelap. Tidak heran juga sih kalau tahu rutinitas Hana dengan krim-krim perawatan pagi dan malamnya itu.
Mungkin juga kata pesolek bisa menggambarkan diri Hana. Karena saat sudah berdandan, ia bisa mengubah hidungnya menjadi terlihat imut, pipinya menjadi merona menggemaskan, bibirnya menjadi seksi (iya, aku akui bibir Hana jadi seksi kalau sudah pakai lipstick), dan matanya seperti mata boneka. Besar dan menarik. Dan make up itu selalu utuh sejak jam datang kantor sampai malam waktu pulang nanti. Berbeda dengan karyawan wanita umumnya yang make up-nya sudah mulai luntur bersama waktu.
Atau kata menarik lebih tepat menggambarkan diri Hana? Coba tanya laki-laki sekantor, mana yang tidak kenal Hana. Dari direktur sampai OB pasti tahu semua. Apalagi yang laki-laki. Kadang aku jengah melihat tingkah Hana yang seperti seringkali kelewat pede itu. Rasanya setiap laki-laki di divisi kami pernah digodanya. Termasuk Pak Anto, manajer kami. Atau memang seperti itu gaya bercanda Hana?
“Aduh, Kinanti, kalo emang naksir ngaku aja deh,” ujarnya lagi sambil terkikik saat tanpa sadar mataku kembali menatapi Hana dari cermin. Ia baru saja selesai memoleskan lipstick warna coral yang sesuai dengan cat kukunya.
“Ga usah narsis gitu deh, Han,” balasku sambil merapikan pakaianku yang agak kusut di depan cermin.
“Emang salah ya kalo narsis?”
“Overconfidence juga ga bagus kali,” kataku dengan nada bercanda.
“Ih, mending overconfidence daripada minder,” tawa Hana seakan bangga dengan candaannya sendiri. Ia meraih telpon genggamnya dan mulai memfoto dirinya sendiri.
“Tuhkan, narsis.” Tapi aku mendekat dan menyampirkan lenganku di pundaknya, ikut berfoto bersama Hana. Beberapa kali jepret dengan berbagai eskpresi wajah. Dari senyum-senyum sok jaim sampai berfoto dengan tampang sok unyu. Kami tertawa kecil melihat hasil fotonya.
“Emangnya definisi narsis itu apa sih, Ki?“ Tiba-tiba Hana bertanya saat ia sedang merapikan perlengkapan make up-nya.
“Orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri,” jelasku singkat sambil menyisir rambut dengan sisir Hana.
“Tapi menurutku narsis itu bagus.” Aku hanya menatap Hana, menunggu kalimat selanjutnya. “ Maksudku, bagaimana orang lain bisa mencintai kita, kalau kita tidak mencintai diri kita sendiri?“
Well, she has a point.
http://sebarangbikin.blogspot.com/2011/07/di-toilet-kantor.html
Baru aku keluar toilet saat Hana sudah berdiri mematut diri di depan cermin lengkap dengan perlengkapan perangnya. Touch up. Satu dompet besar berisi perlengkapan make up lengkap dan satu dompet gulung yang berisi deretan kuas wajah berbagai ukuran dan bentuk. Entah apa saja fungsinya. Hana tersenyum melihatku memandanginya lewat cermin.
Aku mendekat ke cermin di sebelahnya dan mulai mencuci tangan. Tanpa sadar aku memperhatikan Hana dari cermin. Ia mulai menyisir bulu matanya dengan sikat maskara. Dari ujung bulu mata, tengah ke ujung bulu mata, lalu pangkal ke ujung bulu mata. Mengerjapkannya beberapa kali, lalu tersenyum lebar. Terlihat puas dengan hasilnya. Bangga dengan tangan terlatihnya.
“Naksir ya?” seloroh Hana saat aku menyabuni tanganku. Itu cara bercanda favorit Hana. Hanya senyum miring dariku lalu kembali kufokuskan mata pada tangan yang sudah penuh busa yang mulai kubasuh dengan air.
Hana itu cantik. Well, sebenarnya ngga cantik-cantik banget, sih. Pernah sekali aku melihat wajah telanjang Hana yang tanpa make up karena kebetulan berbagi kamar saat masa training dulu. Biasa saja. Toh, hidungnya kecil ngga mancung, pipinya bulat, bibirnya tebal, dan satu lagi, matanya itu loh, orang Jawa bilang mendolo (menonjol).
Mungkin kata terawat bisa menggambarkan diri Hana. Rasanya jarang sekali ada jerawat yang mampir di wajahnya. Sedangkan aku? Well, paling tidak sebulan sekali ada saja jerawat bandel yang muncul saat aku datang bulan. Selain itu, wajahnya selalu terlihat lembab dan bercahaya walau sebenarnya kulit wajahnya tergolong gelap. Tidak heran juga sih kalau tahu rutinitas Hana dengan krim-krim perawatan pagi dan malamnya itu.
Mungkin juga kata pesolek bisa menggambarkan diri Hana. Karena saat sudah berdandan, ia bisa mengubah hidungnya menjadi terlihat imut, pipinya menjadi merona menggemaskan, bibirnya menjadi seksi (iya, aku akui bibir Hana jadi seksi kalau sudah pakai lipstick), dan matanya seperti mata boneka. Besar dan menarik. Dan make up itu selalu utuh sejak jam datang kantor sampai malam waktu pulang nanti. Berbeda dengan karyawan wanita umumnya yang make up-nya sudah mulai luntur bersama waktu.
Atau kata menarik lebih tepat menggambarkan diri Hana? Coba tanya laki-laki sekantor, mana yang tidak kenal Hana. Dari direktur sampai OB pasti tahu semua. Apalagi yang laki-laki. Kadang aku jengah melihat tingkah Hana yang seperti seringkali kelewat pede itu. Rasanya setiap laki-laki di divisi kami pernah digodanya. Termasuk Pak Anto, manajer kami. Atau memang seperti itu gaya bercanda Hana?
“Aduh, Kinanti, kalo emang naksir ngaku aja deh,” ujarnya lagi sambil terkikik saat tanpa sadar mataku kembali menatapi Hana dari cermin. Ia baru saja selesai memoleskan lipstick warna coral yang sesuai dengan cat kukunya.
“Ga usah narsis gitu deh, Han,” balasku sambil merapikan pakaianku yang agak kusut di depan cermin.
“Emang salah ya kalo narsis?”
“Overconfidence juga ga bagus kali,” kataku dengan nada bercanda.
“Ih, mending overconfidence daripada minder,” tawa Hana seakan bangga dengan candaannya sendiri. Ia meraih telpon genggamnya dan mulai memfoto dirinya sendiri.
“Tuhkan, narsis.” Tapi aku mendekat dan menyampirkan lenganku di pundaknya, ikut berfoto bersama Hana. Beberapa kali jepret dengan berbagai eskpresi wajah. Dari senyum-senyum sok jaim sampai berfoto dengan tampang sok unyu. Kami tertawa kecil melihat hasil fotonya.
“Emangnya definisi narsis itu apa sih, Ki?“ Tiba-tiba Hana bertanya saat ia sedang merapikan perlengkapan make up-nya.
“Orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri,” jelasku singkat sambil menyisir rambut dengan sisir Hana.
“Tapi menurutku narsis itu bagus.” Aku hanya menatap Hana, menunggu kalimat selanjutnya. “ Maksudku, bagaimana orang lain bisa mencintai kita, kalau kita tidak mencintai diri kita sendiri?“
Well, she has a point.
http://sebarangbikin.blogspot.com/2011/07/di-toilet-kantor.html
Pusat
Oleh: @rnight_desiana
Apa menjadi pusat perhatian artinya kamu harus pandai mengeluarkan rasa percaya diri itu? Kurasa...
Aku menatap nanar pada jaket BangBang yang kubeli langsung di Korea tahun lalu. Sebenarnya aku lebih memilih menyimpannya di lemari—tak peduli kenyataan bahwa jaket itu telah tak muat kupakai. Tapi sungguh, aku lebih senang melihatnya terlipat manis di dalam lemari bambu di kamarku meski dengan bau kamper yang mengelilingi seluruh permukaan kainnya daripada sekarang.
Jaket merah itu melekat di tubuh Lila. Tak ada bau kamper seperti biasanya, yang ada hanya aroma fragrance bunga mawar putih yang bisa kucium baunya meski aku mundur lima langkah dari tempat Lila berdiri.
Kuakui, jaket itu terlihat cantik sekali saat melekat di lekuk tubuhnya.
Bukannya aku tak suka ia mengenakan barang kepunyaanku, toh aku menerima kesepakatan yang kami buat—aku meminjam sepatu milik kakaknya sementara ia mengenakan jaket favoritku. Mau bagaimana lagi, aku tak punya sepatu high heels dalam rak sepatu di apartemenku. Aku terpaksa meminjam sepatu milik kakak Lila yang memang seorang model—sepatunya memiliki ukuran panjang yang kubutuhkan.
Aku menundukkan kepala, menatap bagaimana sepatu hitam mengkilap itu bertengger manis menyelimuti kakiku.
"Gue nggak sabar ketemu si Rengga!"
Suara riang Lila sontak membuatku mengangkat wajah. Dan tepat bersamaan dengan itu, kulihat pintu lift terbuka.
Mataku membulat. Hall yang kulihat di depan begitu megah. Cahaya lampu kristal membias di mana-mana—menerangi tiap sudut ruangan. Jujur, aku cukup terkesima. Padahal ini hanya acara reuni sekolah SMP-ku dulu. Aku tak tahu kalau sebagian besar temanku benar-benar menjadi orang sukses.
"Rengga mana ya?"
Lila menarik tanganku erat, memaksaku berjalan di sampingnya. Oh Tuhan, bau mawar itu benar-benar membuatku pusing. Tapi aku tahu Lila tak peduli. Perempuan ini lebih sibuk menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok Rengga. Aku kenal bocah itu. Kudengar ia cukup sukses. Well, dia ketua ektrakulikuler basket bertahun-tahun lalu. Tampan, seorang player, dan hobi sekali mengerling pada siswi-siswi cantik di sekolah. Bocah 'jelek' itu pede sekali.
"Hei, Lila! Waw! Cantik banget sekarang!"
Aku menoleh. Ada Hafiz dan Rengga yang berjalan menghampiri kami berdua. Tanpa melirik Lila, aku sudah yakin kalau perempuan itu tersipu dan senang bukan main karena Rengga menghampiri kami. Lihat saja, Lila benar-benar habis-habisan untuk reuni kali ini.
Tas Chanel. Rambut yang baru ia benahi di salon sore lalu. Kutek sewarna dengan jaket BangBang yang ia kenakan. Gaun selutut berwarna cerah. Oh, dia dewi malam ini. Pusat perhatiannya pesta.
Meski bagiku ia kelewat berlebihan. Narsis.
Selama pesta temu kangen itu, aku lebih memilih menepi ke barisan sajian makanan. Di sana aku lebih merasa baikan. Hanya perlu berdiri di satu tempat, memegang piring, menatapi menu prasmanan—tanpa harus mengobrol dengan yang lain, berjalan ke sana kemari, dan berdansa di tengah hall.
Well, sebenarnya aku cukup percaya diri untuk melakukan itu semua. Tapi apa daya, damn this high heels. Kubiarkan Lila menempel pada Rengga sesukanya.
"Hei, lo nggak ikut dance?"
Aku menoleh dan mendapati Rengga di sana. Menyeringai seperti bertahun-tahun lalu. Aku menelan susah payah kentang di mulutku.
"Masih aja nggak bisa ngedance, Nerd?"
Mengabaikan Lila yang menatapku, aku melepas high heels sial yang bertengger di kakiku. Aku melangkah menuju tengah hall, menjawab tantangannya.
Malam itu adalah malam yang menyenangkan—kurasa. Aku tak terlalu peduli pada sekitar. Aku masih sering tersenyum, berbeda dengan Lila. Perempuan itu sering menyipitkan matanya padaku. Seperti pagi ini.
Dia datang dengan wajah kesal sambil menyodorkan sebuah lembar foto.
"Dari Rengga."
Aku tersenyum. Potret narsisku sembari menjulurkan lidah pada Rengga—yang saat itu mengangkat kamera untuk mengambil potretku.
Apa menjadi pusat perhatian artinya kamu harus pandai mengeluarkan rasa percaya diri itu? Kurasa...
P U S A T
Aku menatap nanar pada jaket BangBang yang kubeli langsung di Korea tahun lalu. Sebenarnya aku lebih memilih menyimpannya di lemari—tak peduli kenyataan bahwa jaket itu telah tak muat kupakai. Tapi sungguh, aku lebih senang melihatnya terlipat manis di dalam lemari bambu di kamarku meski dengan bau kamper yang mengelilingi seluruh permukaan kainnya daripada sekarang.
Jaket merah itu melekat di tubuh Lila. Tak ada bau kamper seperti biasanya, yang ada hanya aroma fragrance bunga mawar putih yang bisa kucium baunya meski aku mundur lima langkah dari tempat Lila berdiri.
Kuakui, jaket itu terlihat cantik sekali saat melekat di lekuk tubuhnya.
Bukannya aku tak suka ia mengenakan barang kepunyaanku, toh aku menerima kesepakatan yang kami buat—aku meminjam sepatu milik kakaknya sementara ia mengenakan jaket favoritku. Mau bagaimana lagi, aku tak punya sepatu high heels dalam rak sepatu di apartemenku. Aku terpaksa meminjam sepatu milik kakak Lila yang memang seorang model—sepatunya memiliki ukuran panjang yang kubutuhkan.
Aku menundukkan kepala, menatap bagaimana sepatu hitam mengkilap itu bertengger manis menyelimuti kakiku.
"Gue nggak sabar ketemu si Rengga!"
Suara riang Lila sontak membuatku mengangkat wajah. Dan tepat bersamaan dengan itu, kulihat pintu lift terbuka.
Mataku membulat. Hall yang kulihat di depan begitu megah. Cahaya lampu kristal membias di mana-mana—menerangi tiap sudut ruangan. Jujur, aku cukup terkesima. Padahal ini hanya acara reuni sekolah SMP-ku dulu. Aku tak tahu kalau sebagian besar temanku benar-benar menjadi orang sukses.
"Rengga mana ya?"
Lila menarik tanganku erat, memaksaku berjalan di sampingnya. Oh Tuhan, bau mawar itu benar-benar membuatku pusing. Tapi aku tahu Lila tak peduli. Perempuan ini lebih sibuk menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok Rengga. Aku kenal bocah itu. Kudengar ia cukup sukses. Well, dia ketua ektrakulikuler basket bertahun-tahun lalu. Tampan, seorang player, dan hobi sekali mengerling pada siswi-siswi cantik di sekolah. Bocah 'jelek' itu pede sekali.
"Hei, Lila! Waw! Cantik banget sekarang!"
Aku menoleh. Ada Hafiz dan Rengga yang berjalan menghampiri kami berdua. Tanpa melirik Lila, aku sudah yakin kalau perempuan itu tersipu dan senang bukan main karena Rengga menghampiri kami. Lihat saja, Lila benar-benar habis-habisan untuk reuni kali ini.
Tas Chanel. Rambut yang baru ia benahi di salon sore lalu. Kutek sewarna dengan jaket BangBang yang ia kenakan. Gaun selutut berwarna cerah. Oh, dia dewi malam ini. Pusat perhatiannya pesta.
Meski bagiku ia kelewat berlebihan. Narsis.
Selama pesta temu kangen itu, aku lebih memilih menepi ke barisan sajian makanan. Di sana aku lebih merasa baikan. Hanya perlu berdiri di satu tempat, memegang piring, menatapi menu prasmanan—tanpa harus mengobrol dengan yang lain, berjalan ke sana kemari, dan berdansa di tengah hall.
Well, sebenarnya aku cukup percaya diri untuk melakukan itu semua. Tapi apa daya, damn this high heels. Kubiarkan Lila menempel pada Rengga sesukanya.
"Hei, lo nggak ikut dance?"
Aku menoleh dan mendapati Rengga di sana. Menyeringai seperti bertahun-tahun lalu. Aku menelan susah payah kentang di mulutku.
"Masih aja nggak bisa ngedance, Nerd?"
Mengabaikan Lila yang menatapku, aku melepas high heels sial yang bertengger di kakiku. Aku melangkah menuju tengah hall, menjawab tantangannya.
Malam itu adalah malam yang menyenangkan—kurasa. Aku tak terlalu peduli pada sekitar. Aku masih sering tersenyum, berbeda dengan Lila. Perempuan itu sering menyipitkan matanya padaku. Seperti pagi ini.
Dia datang dengan wajah kesal sambil menyodorkan sebuah lembar foto.
"Dari Rengga."
Aku tersenyum. Potret narsisku sembari menjulurkan lidah pada Rengga—yang saat itu mengangkat kamera untuk mengambil potretku.
Andai Saja
Oleh: @mailida
Tak terasa sudah 15 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Aku benar-benar mengaguminya. Paras wajahnya yang cantik, senyum yang menawan, mata biru, hidung mancung, dan rambutnya yang terurai panjang membuat ku sangat mendambakannya. Dia adalah kekasih impian ku.
Sudah tak terhitung berapa kali aku berhubungan dengan orang lain selain dirinya. Namun tetap saja tak ada yang bisa menandingi kecantikan nya. Tipe ku bukan seperti mereka, mantan-mantan ku. Aku ingin kekasih seperti nya. Namun aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Aku tak menyangka Tuhan bisa menciptakan seorang wanita yang begitu sempurna seperti dirinya. Dia adalah ciptaan Ilahi yang tak memiliki cacat. Wajar jika banyak orang menyukainya, dia memang memiliki fisik yang mengagumkan.
Jika sedang berada dekat dengan nya, mata ku selalu tertuju kepada nya. Sambil mengagumi kecantikannya dalam hati, tak bosan aku memuji Tuhan yang telah menciptakan wanita semenarik dirinya.
Kau harus lihat bagaimana dia tertawa. Giginya tersusun rapi dengan bibir yang merona. Senyumnya seperti monalisa. Mata nya bulat berwarna biru layaknya gadis Belanda. Pernah aku tak sengaja melihat bagian tubuh nya yang paling dalam. Luar biasa. Kulitnya kuning langsat dengan lekuk tubuh seperti gitar spanyol. Jari-jarinya lentik seperti seorang penari Bali. Kaki nya jenjang bagaikan model catwalk. Andai aku bisa memilikinya.
Ya,
Andai aku bisa memilikinya. Andai cinta ini tak terlarang. Andaikan saja dia bukan saudara ku yang lahir di hari yang sama.
Ya,
Kami kembar identik dengan jenis kelamin yang sama.
Tak terasa sudah 15 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Aku benar-benar mengaguminya. Paras wajahnya yang cantik, senyum yang menawan, mata biru, hidung mancung, dan rambutnya yang terurai panjang membuat ku sangat mendambakannya. Dia adalah kekasih impian ku.
Sudah tak terhitung berapa kali aku berhubungan dengan orang lain selain dirinya. Namun tetap saja tak ada yang bisa menandingi kecantikan nya. Tipe ku bukan seperti mereka, mantan-mantan ku. Aku ingin kekasih seperti nya. Namun aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Aku tak menyangka Tuhan bisa menciptakan seorang wanita yang begitu sempurna seperti dirinya. Dia adalah ciptaan Ilahi yang tak memiliki cacat. Wajar jika banyak orang menyukainya, dia memang memiliki fisik yang mengagumkan.
Jika sedang berada dekat dengan nya, mata ku selalu tertuju kepada nya. Sambil mengagumi kecantikannya dalam hati, tak bosan aku memuji Tuhan yang telah menciptakan wanita semenarik dirinya.
Kau harus lihat bagaimana dia tertawa. Giginya tersusun rapi dengan bibir yang merona. Senyumnya seperti monalisa. Mata nya bulat berwarna biru layaknya gadis Belanda. Pernah aku tak sengaja melihat bagian tubuh nya yang paling dalam. Luar biasa. Kulitnya kuning langsat dengan lekuk tubuh seperti gitar spanyol. Jari-jarinya lentik seperti seorang penari Bali. Kaki nya jenjang bagaikan model catwalk. Andai aku bisa memilikinya.
Ya,
Andai aku bisa memilikinya. Andai cinta ini tak terlarang. Andaikan saja dia bukan saudara ku yang lahir di hari yang sama.
Ya,
Kami kembar identik dengan jenis kelamin yang sama.
DERAK BAYANGAN RETAK
Oleh : @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Entah berapa kali aku berdiri di sini. Di tempat yang sama, seperti saat pertama aku mulai mengenalnya. Perkenalan tanpa sengaja saat mataku tergoda untuk memperhatikan setiap sudutnya. Awal yang akhirnya membuatku tak ingin semuanya berakhir. Padanya aku merasakan keindahan hidup dan kehidupan. Hidup dalam cerita diri dan kehidupan akan sebuah kepribadian.
Tak terkecuali senja ini. Aku termangu di titik itu. Terdiam dalam satu titik. Titik yang mengantarkan aku ke dunia nyataku yang hilang. Setidaknya, itu menurut kata hatiku. Hanya padanya aku bisa percaya bahwa aku yang terindah, meskipun harus tersembunyi dari riuh nyanyian kehidupan di sekelilingku. Suka atau tidak, itulah diriku.
Rasa jemu tak juga membelenggu. Guratkan senyuman di ujung senja yang membayang. Sabuk bidadari nampak di bayangan pelupuk mataku. Membias indah dalam tatapan yang penuh makna. Sekumpulan rambut hitam ikal yang lebat menjadi mahkotaku. Rongga pernapasan nampak berdiri manis pada tempat semestinya. Senyum mengembang sempurna untuk sebuah penampilan yang sempurna.
Jarum pendek menunjukkan angka lima saat aku merapikan kerah baju putihku. Aku sedikit membetulkan posisinya. Rapi. Gagang kacamata minusku juga tak luput dari perhatianku. Gagang indah yang bertengger di cuping telinga yang indah itu bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Ritual senja itu pun usai saat hatiku meyakinkan diriku untuk mengakhirinya. Aku melangkah gontai dengan penuh percaya diri. Sepatu mahal yang membungkus kedua kakiku membawaku melangkah ke arah yang kutuju. Toko cermin. Toko yang sama saat terjadi perkenalan tanpa sengaja, dengan cermin di kamarku. Niat utamaku adalah untuk membeli cermin baru setelah aku merasa cermin lamaku tak lagi bersahabat denganku.
Cermin itu sudah kusam sepertinya sudah mulai iri dengan kesempurnaan wajah dan penampilan yang aku biaskan dan biarkan terperangkap di dalamnya. Langkah kakiku terhenti saat di sebuah halte. Aku melihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus berdiri di depanku. Menengadahkan telapak tangannya. Meminta belas kasihan. Hatiku tergerak untuk memberikan selembar seribuan yang terselip di kantong celana jeansku.
"Terima kasih, Kak," katanya dengan nada sengau. Bukan karena sedang mengalami gangguan pernapasan tetapi karena bibirnya yang sumbing.
Sendu tiba-tiba menggelayut dan merayu rasa iba saat wajah sedihnya hinggap di hatiku. Hatiku semakin tak kuasa menahan rasa iba. Mengantarkan aku pada sebuah episode pendek hidupku.
"Hei kamu ke sini!" seorang anak berteriak lantang ke arahku.
Hatiku memaksaku untuk tetap bergeming di tempatku berdiri. Langkah-langkah kasar terdengar mendekatiku. Semakin dekat semakin aku ketakutan.
"Dasar kamu anak aneh! Pergi kamu sana jangan ikut main bersama kami!" seorang lagi terdengar semakin lantang berteriak.
"Aku hanya ingin bermain-main bersama kali," ratapku.
"Tidak boleh! Pokoknya tidak boleh!" suara-suara beringas itu semakin mengobrak-abrik hatiku.
Aku beringsut mundur dan jatuh.
"Kak! Bisnya sudah datang tuh!" suara sengau anak kecil itu menyadarkan aku dari lamunan.
"Eh iya. Terima kasih, Dik," jawabku sambil membetulkan letak tubuhku yang hampir terjatuh dari kursi halte.
Anak kecil itu pun berlalu bersama kesedihan hatiku akan masa lalu. Bis sudah berada tepat di depan halte. Aku beranjak berdiri mendekati bis itu dan melangkah pelan menuju arah rumahku. Hatiku membunuh niatku untuk membeli cermin baru. Keyakinanku membuatku mengubah pikiranku untuk tidak mengganti cermin lamaku.
Pelan dalam ketidakpastian aku melangkah pulang. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan mengambil posisi di titik kesukaanku. Depan cermin. Tak ada lagi senyum merekah dan tak ada lagi binar wajah. Yang ada hanya rasa hati yang tidak karuan. Aku terjebak di antara rasa kesal dan sesal. Kedua rasa yang membuat hatiku teriris.
Di dalam cermin itu, hatiku tertumbuk pada sebuah bayangan. Bayangan anak kecil bersuara sengau dengan bibir sumbing. Bukan bayangan wajah anak kecil yang kutemui di halte tadi, tetapi bayangan wajahku sendiri. Wajahku saat aku masih kecil dengan bibir sumbing.
Bayangan wajahku saat masih kecil bersekutu dengan hati kecilku mengejek keangkuhanku selama ini. Keangkuhan dari sebuah kesempurnaan semu. Kesempurnaan yang kuagung-agungkan setelah aku menjalani operasi bibir sumbing gratis di kampungku, dulu. Dulu saat keluargaku masih belum memiliki lemari kaca untukku bercermin. Rasa kesal yang menyelimuti hati dan menggerogoti kesabaranku, menggerakkan tanganku secara spontan.
"Prang!"
Cermin itu berderak, retak. Bayanganku saat aku masih kecil menjadi serpihan. Jatuh tepat di dekat titik aku berdiri saat itu. Bayangan tersebar pada setiap serpihannya. Ada yang tertawa sinis, tetapi ada juga yang menangis penuh sesal. Aku terduduk lemas menatap serpihan bayangan yang retak. Hatiku membiarkan darah terus menetes pada jari-jariku terkena serpihan cermin. Bahkan, beberapa serpihan kecil masih aku biarkan menancap di kulitnya. Hatiku yang diselimuti rasa sesal membuatku tak mempedulikan rasa sakitku. Kini aku sadar, aku tak butuh cermin lagi untuk membiaskan bayangan palsuku. Aku bertekad untuk tidak mengagung-agungkan lagi satu pun bagian titik tubuhku. Derak bayangan retak telah menyadarkan hatiku bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini.
http://bianglalakata.wordpress.com
Entah berapa kali aku berdiri di sini. Di tempat yang sama, seperti saat pertama aku mulai mengenalnya. Perkenalan tanpa sengaja saat mataku tergoda untuk memperhatikan setiap sudutnya. Awal yang akhirnya membuatku tak ingin semuanya berakhir. Padanya aku merasakan keindahan hidup dan kehidupan. Hidup dalam cerita diri dan kehidupan akan sebuah kepribadian.
Tak terkecuali senja ini. Aku termangu di titik itu. Terdiam dalam satu titik. Titik yang mengantarkan aku ke dunia nyataku yang hilang. Setidaknya, itu menurut kata hatiku. Hanya padanya aku bisa percaya bahwa aku yang terindah, meskipun harus tersembunyi dari riuh nyanyian kehidupan di sekelilingku. Suka atau tidak, itulah diriku.
Rasa jemu tak juga membelenggu. Guratkan senyuman di ujung senja yang membayang. Sabuk bidadari nampak di bayangan pelupuk mataku. Membias indah dalam tatapan yang penuh makna. Sekumpulan rambut hitam ikal yang lebat menjadi mahkotaku. Rongga pernapasan nampak berdiri manis pada tempat semestinya. Senyum mengembang sempurna untuk sebuah penampilan yang sempurna.
Jarum pendek menunjukkan angka lima saat aku merapikan kerah baju putihku. Aku sedikit membetulkan posisinya. Rapi. Gagang kacamata minusku juga tak luput dari perhatianku. Gagang indah yang bertengger di cuping telinga yang indah itu bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Ritual senja itu pun usai saat hatiku meyakinkan diriku untuk mengakhirinya. Aku melangkah gontai dengan penuh percaya diri. Sepatu mahal yang membungkus kedua kakiku membawaku melangkah ke arah yang kutuju. Toko cermin. Toko yang sama saat terjadi perkenalan tanpa sengaja, dengan cermin di kamarku. Niat utamaku adalah untuk membeli cermin baru setelah aku merasa cermin lamaku tak lagi bersahabat denganku.
Cermin itu sudah kusam sepertinya sudah mulai iri dengan kesempurnaan wajah dan penampilan yang aku biaskan dan biarkan terperangkap di dalamnya. Langkah kakiku terhenti saat di sebuah halte. Aku melihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus berdiri di depanku. Menengadahkan telapak tangannya. Meminta belas kasihan. Hatiku tergerak untuk memberikan selembar seribuan yang terselip di kantong celana jeansku.
"Terima kasih, Kak," katanya dengan nada sengau. Bukan karena sedang mengalami gangguan pernapasan tetapi karena bibirnya yang sumbing.
Sendu tiba-tiba menggelayut dan merayu rasa iba saat wajah sedihnya hinggap di hatiku. Hatiku semakin tak kuasa menahan rasa iba. Mengantarkan aku pada sebuah episode pendek hidupku.
"Hei kamu ke sini!" seorang anak berteriak lantang ke arahku.
Hatiku memaksaku untuk tetap bergeming di tempatku berdiri. Langkah-langkah kasar terdengar mendekatiku. Semakin dekat semakin aku ketakutan.
"Dasar kamu anak aneh! Pergi kamu sana jangan ikut main bersama kami!" seorang lagi terdengar semakin lantang berteriak.
"Aku hanya ingin bermain-main bersama kali," ratapku.
"Tidak boleh! Pokoknya tidak boleh!" suara-suara beringas itu semakin mengobrak-abrik hatiku.
Aku beringsut mundur dan jatuh.
"Kak! Bisnya sudah datang tuh!" suara sengau anak kecil itu menyadarkan aku dari lamunan.
"Eh iya. Terima kasih, Dik," jawabku sambil membetulkan letak tubuhku yang hampir terjatuh dari kursi halte.
Anak kecil itu pun berlalu bersama kesedihan hatiku akan masa lalu. Bis sudah berada tepat di depan halte. Aku beranjak berdiri mendekati bis itu dan melangkah pelan menuju arah rumahku. Hatiku membunuh niatku untuk membeli cermin baru. Keyakinanku membuatku mengubah pikiranku untuk tidak mengganti cermin lamaku.
Pelan dalam ketidakpastian aku melangkah pulang. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan mengambil posisi di titik kesukaanku. Depan cermin. Tak ada lagi senyum merekah dan tak ada lagi binar wajah. Yang ada hanya rasa hati yang tidak karuan. Aku terjebak di antara rasa kesal dan sesal. Kedua rasa yang membuat hatiku teriris.
Di dalam cermin itu, hatiku tertumbuk pada sebuah bayangan. Bayangan anak kecil bersuara sengau dengan bibir sumbing. Bukan bayangan wajah anak kecil yang kutemui di halte tadi, tetapi bayangan wajahku sendiri. Wajahku saat aku masih kecil dengan bibir sumbing.
Bayangan wajahku saat masih kecil bersekutu dengan hati kecilku mengejek keangkuhanku selama ini. Keangkuhan dari sebuah kesempurnaan semu. Kesempurnaan yang kuagung-agungkan setelah aku menjalani operasi bibir sumbing gratis di kampungku, dulu. Dulu saat keluargaku masih belum memiliki lemari kaca untukku bercermin. Rasa kesal yang menyelimuti hati dan menggerogoti kesabaranku, menggerakkan tanganku secara spontan.
"Prang!"
Cermin itu berderak, retak. Bayanganku saat aku masih kecil menjadi serpihan. Jatuh tepat di dekat titik aku berdiri saat itu. Bayangan tersebar pada setiap serpihannya. Ada yang tertawa sinis, tetapi ada juga yang menangis penuh sesal. Aku terduduk lemas menatap serpihan bayangan yang retak. Hatiku membiarkan darah terus menetes pada jari-jariku terkena serpihan cermin. Bahkan, beberapa serpihan kecil masih aku biarkan menancap di kulitnya. Hatiku yang diselimuti rasa sesal membuatku tak mempedulikan rasa sakitku. Kini aku sadar, aku tak butuh cermin lagi untuk membiaskan bayangan palsuku. Aku bertekad untuk tidak mengagung-agungkan lagi satu pun bagian titik tubuhku. Derak bayangan retak telah menyadarkan hatiku bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini.
Elly Is Feeling Blue.
By: Zee (Zahnur Rofi'ah)
There is this blue small elephant, let’s call her Elly. She is the skinniest among the herd. She is as tall as the other elephants, only she is not as big. She is loving herself. Sounds arrogant but it does so make sense why she does what she does. Elly has the wide elephany ears, her waist is fleshy but firm and small, she has a mini round butt, and she has those beautiful long legs. She is the prettiest of all. And there is one more undeniable fact here we need to know. She is blue, among all the grey boring colors of elephants.
“Look at her, today she spends the whole day sitting by the reservoir to admire her own reflection” One grey girl elephant whisper to another less grey elephant. She pretends to whisper when talking but she speaks it out loud. Her voice is echoing all the way from one end of the valley to another, then bounce into the reservoir, tickles Elly’s ear.
“Yes look at her blocking the way of other elephants who need to take water. I wish she’s gone forever and never be back. I wish the rain will wash her skin and turn her skin into the same boring color as ours” Whispers the less grey elephant with less echoing effect.
Elly pretends to not listen. After all, she is the prettiest. After all, she is blue. After all, she is SPECIAL.
Days gone into months and months gone into years. The elephants got more and more restless as the water reservoir gets smaller and smaller. They’ve heard a recent gossip among the herds, whispered by the birds, that an impossibly mean monster called ‘Climate Change’ was the reason of the water scarcity.
Elly, for the first time in her entire narcissist life has this little worry bugging her small brain in his small head. She knows she’s gona be losing her passion. Staring at her blue reflection. With no water, there would be no reflection. With no reflection of her, she would be just an common grey elephant and she cannot bear the thought of being ordinary. That would kill her to the heart. Instantly. Faster than a lightning.
She needs to leave.
She must go somewhere where the water is abundant.
And so as you expect how this story goes, she leaves the herd in search of any bigger body of water.
On the 36th day of her journey, she finds this massive water reserved in the middle of mountains, with lush green grass everywhere. A perfect spot for her to admire her own beauty. She definitely fits the scenery.
She was, as you expected again, sitting there by what so called ‘lake’ admiring her own blueness when suddenly she hears massive and massive herds of elephants. She turns around and drops her jaw. Everyone else is blue.
There is this blue small elephant, let’s call her Elly. She is the skinniest among the herd. She is as tall as the other elephants, only she is not as big. She is loving herself. Sounds arrogant but it does so make sense why she does what she does. Elly has the wide elephany ears, her waist is fleshy but firm and small, she has a mini round butt, and she has those beautiful long legs. She is the prettiest of all. And there is one more undeniable fact here we need to know. She is blue, among all the grey boring colors of elephants.
“Look at her, today she spends the whole day sitting by the reservoir to admire her own reflection” One grey girl elephant whisper to another less grey elephant. She pretends to whisper when talking but she speaks it out loud. Her voice is echoing all the way from one end of the valley to another, then bounce into the reservoir, tickles Elly’s ear.
“Yes look at her blocking the way of other elephants who need to take water. I wish she’s gone forever and never be back. I wish the rain will wash her skin and turn her skin into the same boring color as ours” Whispers the less grey elephant with less echoing effect.
Elly pretends to not listen. After all, she is the prettiest. After all, she is blue. After all, she is SPECIAL.
Days gone into months and months gone into years. The elephants got more and more restless as the water reservoir gets smaller and smaller. They’ve heard a recent gossip among the herds, whispered by the birds, that an impossibly mean monster called ‘Climate Change’ was the reason of the water scarcity.
Elly, for the first time in her entire narcissist life has this little worry bugging her small brain in his small head. She knows she’s gona be losing her passion. Staring at her blue reflection. With no water, there would be no reflection. With no reflection of her, she would be just an common grey elephant and she cannot bear the thought of being ordinary. That would kill her to the heart. Instantly. Faster than a lightning.
She needs to leave.
She must go somewhere where the water is abundant.
And so as you expect how this story goes, she leaves the herd in search of any bigger body of water.
On the 36th day of her journey, she finds this massive water reserved in the middle of mountains, with lush green grass everywhere. A perfect spot for her to admire her own beauty. She definitely fits the scenery.
She was, as you expected again, sitting there by what so called ‘lake’ admiring her own blueness when suddenly she hears massive and massive herds of elephants. She turns around and drops her jaw. Everyone else is blue.
Langganan:
Postingan (Atom)