Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Kejutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejutan. Tampilkan semua postingan
Selasa, 20 September 2011
Tiga Purnama
Oleh @moehyie
.
Kau masih saja tak bergerak saat ibu masuk ke bilikmu. Hembusan nafasnya begitu berat sebelum duduk di tepi pembaringanmu. Seolah menandai betapa berat, betapa sesak dadanya sekarang. Dada yang dulu begitu luas dan dan damai tempat separuh tidur masa bayimu dilelapkan.
Ibu menghela nafas sekali lagi, kali ini pandangannya bertemu dinding bilik kamarmu. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, di mana di situ masih menggatung sarung pedang yang telah kosong.
“Seratus tujuh puluh sembilan hari….”
****
“Kau bahagia sayang….?”
“Aku takut.”
“Takut kenapa, hanya di sini kita bisa hidup bahagia.”
“Sampai kapan? Ayolah kita pulang saja, Mas…”
“Kau tidak mencintaiku lagi?”
“Ah jangan pojokkan aku lagi dengan hal itu.”
“Kau tahu kita tidak akan hidup bahagia di dunia sana.”
“Aku menghianati ibu.”
“Ibu merestui kita, percayalah..”
“Merestui?! Setelah kita menggunakan pedang it..”
Tangan perkasa lelaki itu dengan cekatan menutup bibir ranum sang perempuan. Lalu ditarik tangannya yang lembut perlahan. “Ayo kutunjukkan kau sesuatu..”
“Regangkan tanganmu seperti ini…” Perlahan serat-serat putih tipis membentang antara tangan hingga tubuh lelaki itu. Serupa sayap capung, namun dengan ukuran yang lebar. “Lalu mengepak seperti ini…” Tubuh lelaki itu sedikit demi sedikit terangkat. Rumput berwarna gelap yang tadi terinjak kakinya perlahan menegak kembali.”
“Begini….?” Sang perempuan sudah ikut beranjak, tangannya mengepak-ngepak sedikit kaku.
Sepasang kekasih itu perlahan semakin lama semakin meninggi. Namun pada sebuah ketinggian sebuah cahaya menyorot begitu hebat. Perempuan itu tergkaget dan melesat jatuh dengan kecepatan tinggi.
Sang lelaki yang terkaget berusaha mengejar, menggapai-gapai ujung kaki perempuannya.
Beruntung, sesaat sebelum bertumbukan dengan muka tanah lelaki itu telah menangkapnya.
“Ah, ini memang belum saatnya terbang, nanti setelah tiga purnama kita baru bisa terbang sempurna sayang…” Lelaki itu tersenyum. Sementara sang perempuan menatapnya dengan pandangan kosong.
****
Purnama bersinar, sinarnya hijau keemasan. Namun alam masih begitu gelapnya. Dari arah lembah tampak dua sosok berkelebat. Terbang saling mendahului menuju langit di atas bukit.
“Ayu! Jangan ambil pedang itu!”
“Tidak, aku harus pulang.”
“Kumohon jangan, nanti kau…”
Tangan perempuan itu lebih dulu menggapai pangkal pedang yang menancap di atas bukit. Pedang purnama itu berkilat-kilat seorang menyerap pantul seluruh cahaya bulan yang berpendar. Namun sebelum tangannya sempurna menarik pedang itu, sang lelaki menarik tangannya.
“Jangan sayang… kumohon…”
“Lepaskaaaaaannnnn!!!!!”
****
Kau terbangun terlalu dini. Malam masih tinggi. Kelewar-kelelawar bertaring masih bergelantungan di pohon jambu di beranda. Ibu? Ah mulutmu terlalu letih untuk memanggilnya.
Pagi itu kau sudah bangun dari mimpi yang memerangkapmu. Pagi itu, kau terbangun dengan sebilah pedang menancap di kepalamu.
Anggraini
Oleh Sylvana Wijaya Malam itu aku sedang menunggu Shinta untuk dinner bareng. Kami bersahabat sejak kuliah, sama-sama di jurusan psikologi dan sama-sama nyasar di pekerjaan kami. Aku dengan jabatan marketing team di salah satu biro iklan di Jakarta. Sedangkan Shinta memilih menjadi artis sinetron. Kariernya dibilang cukup bagus untuk ukuran pendatang baru. Dan benar perumpamaan semakin tinggi pohon berdiri, maka semakin banyak angin menerpa. Resiko menjadi selebriti adalah banyaknya gosip-gosip yang kebanyakan menjatuhkan nama si artis. Karena itu pula, intensitas pertemuanku dan Shinta berkurang dan harus dilakukan diam-diam. Katanya, ia tidak ingin aku terseret dan dikejar-kejar wartawan seperti dirinya. Sambil menunggu Shinta, aku mulai memperhatikan interior restoran ini yang juga salah satu hobiku. “Ibu Anggriani?” Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Seorang pria berpakaian formal lengkap dengan bunga ros di tangan itu memanggil namaku. Tapi bukan aku yang dimaksud. Wanita bernama Anggriani itu duduk di meja belakang dan balas memanggil “Yes, beib” pada pria itu. Pria itu tersenyum sehingga memperlihatkan deretan gigi putih. Kalau bukan tampan pasti ganteng yang cocok untuk mengkategorikan pria ini. “Angryani” Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang memanggilku. Shinta. Hanya dia yang usil mengutak atik namaku menjadi Angry-Ani. “Shinting” balasku sambil memeluknya. Kami berdua tertawa dan hanyut dalam percakapan hangat. Dia meminta maaf karena tidak sempat menhubungiku belakangan ini karena kesibukannya. Belum sempat aku memberikan 'hukuman', terdengar suara meja dibanting dari belakangku. Shinta dan aku terdiam setelah mendengar percakapan atau lebih tepatnya makian dari meja belakang. “Tenang beib” ujar perempuan itu “Gimana bisa tenang? Kamu nggak percaya sama aku!” “Bukan gitu, aku cuma pengen lihat investasiku selama ini” “Nah kan, itu tandanya kamu udah gak respek dan percaya sama aku lagi” “Tenang Evan, aku gak suka kamu teriak-teriak begini. Kita jadi tontonan” Suara itu terakhir itu sepertinya akrab di telinga. Dan kecurigaanku memuncak ketika pria yang bernama Evan itu meninggalkan meja sambil berkata “Kita putus, Anggriani” “Shinting, aku kebelakang dulu ya” kataku sambil beranjak menuju 'TKP'. Perempuan itu duduk disana ditemani segelas wine kosong dan makanan yang belum tersentuh. Aku tertegun “B..Bu Anggriani?” kata ku terbata-bata. Aneh rasanya memanggil nama sendiri. Tapi lebih aneh lagi kejutan di depanku. Dan Bu Anggriani sama terkejutnya melihatku “K..Ka..Kamu” Bu Anggriani yang tampak arogan di kantor terlihat rapuh. Ia memegangi keningnya yang dihiasi kerutan halus. Rambut sasak khas menara pisa yang menjadi atributnya kini malah tampak lurus dihiasi bando bunga besar. Penampilannya mirip ABG, berbanding terbalik dengan usianya. Sejenak aku menyetujui istilah puber kedua. “Tolong, kamu lupakan kejadian ini” katanya dengan nada memerintah. Kubalas dengan anggukan. Lagi pula aku tidak tertarik membocorkan masalah orang lain. Bu Anggriani membereskan tasnya dan berdiri, mungkin ia tidak ingin kepergok kerabatnya. “Saya pulang dulu...” ucapnya sambil melihatku, berusaha mencari tahu dengan siapa ia berbicara. “Anggriani, Bu” buru-buru kujawab. Ia menatapku dalam beberapa saat, setelah itu ia tersenyum “Dua bulan kita rapat bersama, tapi aku gak sadar nama kita sama” gumamnya. Aku tersenyum basa-basi. “Selamat malam Angggriani” pamit Bu Anggriani. Pak Condro menjentikkan lengannya tepat di depan wajahku “Melamun aja! Kaget liat angka segitu?” “Kok Bu Anggriani bisa tiba-tiba menyetujui nilai kontrak sepuluh miliar dengan kita, pak?” tanyaku heran. Devi ikut heran “Bukannya masih banyak yang harus di revisi ya?” Pak Condro mengangkat bahu “Mana saya tahu, dia bilang sangat tertarik pada presentasi Anggriani dan ingin segera kerja sama dengan kita” Devi kontan melongo “Tertarik gimana? Orang selama presentasi dia protes melulu, yang rencana cetek lah, tidak rasional lah, sampai make up kita aja di komentari” “Sudahlah, yang penting kontrak sudah di tangan. Anggriani, kamu yang bertanggung jawab dalam proyek ini karena Bu Anggriani suka dengan idemu. Oh ya, kalau proyek ini berhasil, Bapak akan mempromosikan kamu” ujar Pak Condro lancar. Kali ini aku yang melongo. |
Kejutan Arya
Oleh Sintamilia Rachmawati (@sintamilia)
Aku bosan dengan kejutan darinya.
Aku bosan dengan kejutan darinya.
Tidak, tidak, jangan salah paham dulu. Bukannya aku tidak suka kejutan. Justru aku suka sekali. Itulah yang membuatku tertarik pada Arya. Itu pula yang membuat Arya menyukaiku. Ia senang melihat ekspresiku saat aku menerima kejutan darinya. Tapi menurutku frekuensi kejutannya terlalu sering sekarang.
Dia pernah memberiku sekuntum mawar putih, yang ketika ia usap perlahan, berubah menjadi mawar merah.
Dia pernah memindahkan koin dari tangan kanan ke tangan kirinya, padahal kedua tangannya tidak ia gerakkan sama sekali.
Dia juga pernah memutar-mutar dadu di udara, di atas telapak tangannya.
Awalnya aku takjub dan bertanya bagaimana dia bisa melakukan itu. Tapi dia hanya menjawab dengan senyuman. Huh, sombong sekali!
Semakin lama aku semakin bosan melihat sulapnya itu. Dulu mungkin aku tertarik. Tapi kini tidak lagi. Bagiku dia hanya seorang tukang pamer.
Sepertinya Arya mulai menyadari kebosananku setelah aku terang-terangan menguap ketika ia menghilangkan semut yang sedang berjalan-jalan di lenganku.
Arya tidak suka melihatku bosan. Ia bilang akan menunjukkan sesuatu yang benar-benar akan membuatku terkejut. Aku pun menantangnya.
"Aku penyihir," ucap Arya, lalu berubah wujud jadi kucing.
Mission Succeed
Oleh C.Nadia
Ya, ya, ya... sudah dapat diduga bahwa yang biasanya mengejutkan itu adalah hadiah ulang tahun.
Tapi apa yang kualami –orang lain pun bisa saja mengalami– adalah sesuatu hal yang tidak pernah kulupakan sampai saat ini. Sementara waktu tidak berkompromi, seakan melewati begitu saja saat di mana aku mengikuti ujian nasional, mengikuti ujian saringan masuk ke universitas, hinggacombo UTS-UAS yang berkali-kali kulewati hingga tingkat ketiga, kejadian yang sungguh berkesan itu masih dapat kuputar ulang kembali di dalam otakku hingga perasaanku yang begitu bahagia pun masih terasa.
-----
Di hari ulang tahunku yang mungkin tidak terlalu spesial dibandingkan angka yang lainnya, seperti 17 atau pun 21, aku mendapatkan dua buah hadiah yang sangat membingungkan. Sebelum aku boleh membuka keduanya, ketiga teman baikku ditambah dengan pacar salah satu dari mereka menyeretku ke tempat yang sudah cukup sepi pada jam 4 sore, yaitu di pojokkan kantin sekolahku dengan atap seng menutupi beberapa bangku panjang di bawahnya. Aku pun baru sadar beberapa hari setelahnya bahwa tujuan mereka membawaku ke sana agar tidak memancing perhatian teman-teman lain yang telah memberiku kado tapi belum mengetahui apa saja isinya.
Aku terlihat sangat senang dan mereka terlihat sangat mencurigakan. Setiap perkataan yang kuucapkan menimbulkan tawa tersembunyi. Apalagi dengan polosnya aku membuka kedua bungkusan itu di depan mereka berempat ditambah dengan sorotan handycam yang merekam kegiatanku.
Apa isi dari bungkusan kado tersebut?
Sebuah T-shirt coklat bergambar sapi di tengahnya.
Apa isi dari bungkusan kado kedua?
Sebuah T-shirt hitam bergambar sapi di tengahnya.
Aku tidak dapat berekspresi apa-apa. Aku masih ingat waktu itu aku bersihkeras berpikir bahwa ada maksud tertentu pada kedua baju yang sama ini dan tidak meremehkan hasil kerja keras mereka yang telah membelikannya. Hingga akhirnya aku melihat keganjilan di dalam kartu ucapannya. Aku tidak dapat mengingat apakah ada gambar atau tidak di dalam kartunya. Terbuat dari apakah kartu tersebut. Atau ada quote apakah yang dapat menyentuh hati.
Sesuatu yang menarik berasal dari nama-nama orang yang tertera di sana.Begitu melihat nama-nama tersebut, otakku langsung berputar untuk mencari hasil perhitungan. Bila diasumsikan bahwa dua buah T-Shirt bersama dengan kertas kado dan barang lainnya berharga 100 ribu —walaupun tak layak dibahas—angka 2 ribu per orang itu sudah cukup membuatku mengerenyitkan dahi tanpa henti.
Ada yang salahkah dari perhitunganku?
Apakah bajunya berharga lebih dari itu?
Aku sangat bingung. Karena kado yang kudapat adalah 2 buah T-Shirt dengan jumlah orang yang memberikan hadiah padaku tertulis 50 orang.
Hari ulang tahunku berlalu dengan cukup membuatku bingung selama perjalanan pulang dari sekolah.
Keesokan harinya....
'Teng Teng Teng!'
Eh, Bukan. Bel istirahat sekolahku tidak bersuara seindah itu tapi lebih mirip deringan pemadam kebakaran.
'Teeeeeeeet!'
Belum sempat aku mengeluarkan bekal minum, Valen dan Ana sudah berada di ambang pintu kelasku.
“Ini... kartu ucapan yang sebenernya.” Kartu buatan tangan sendiri itu tergeletak manis di atas meja kayu –di depanku– . Aku tidak sadar mengapa mereka berdua itu begitu tidak sabarnya melihatku tidak berekspresi apa-apa saat selesai membacanya. Yang kulihat pada kartu ucapan saat itu hanyalah beberapa quote sederhana yang tidak spesifik, gambar-gambar lucu, dan hiasan warna-warni yang biasanya dibuat oleh Valen, gadis kreatif yang serba bisa dalam banyak bidang.
“Baca yang bener donk!”
Beberapa menit kemudian, barulah aku sadar ada suatu kata sandi tersembunyi yang menyuruhku untuk berlari sepanjang koridor SMA. Saat itu juga aku langsung diseret oleh Ana dan benar-benar berlari menyusuri koridor dari kelas A (kelasku berada) hingga kelas F. Sampai sekarang pun aku masih dapat merasakan sensasi berlari menyusuri koridor –yang cukup ramai dilewati siswa-siswi sekolahku– demi mendapatkan kata-kata sandi dan hadiah-hadiah yang sudah dipersiapkan oleh Valen, Ana dan Nia, ketiga teman baikku yang menjadi tim kreatif untuk ulang tahunku kali ini.
Sebagai contohnya,salah satu kata sandi yang berkesan bagiku adalah:
“Krem, Oranye, Besar, Tidak Kelihatan.”
Begitu melihat kertas kecil berisi kata sandi tersebut, apa yang akan terbayangkan? Jujur saja, saat itu aku tidak dapat membayangkan apa-apa.
Walaupun kata sandi yang diberikan tampak tidak berguna untuk menemukannya, usaha yang kulakukan untuk mendapatkan harta karunku itu adalah nol besar. Begitu memasukki kelas yang dituju, dalam waktu sepersekian detik sudah dapat terlihat sesosok besar berwarna krem dan oranye yang berada pada jarak terjauh dari pintu. Keisengan temanku untuk mematikan lampu kelas nampaknya sia-sia, karena benda tersebut terlalu mencolok untuk diletakkan begitu saja di atas meja.
‘Krem, oranye, besar, dan tidak kelihatan’ berubah menjadi sebuah boneka anjing berwarna krem dengan kuping oranye-hitam yang mempunyai tinggi kira-kira setengah meter dengan perutnya yang begitu enak untuk dipeluk.
Akhirnya meja kelasku penuh dengan hadiah yang tersembunyi dari kelas B sampai kelas F. Aku sangat terharu melihat perhatian mereka yang tersirat dalam hadiah-hadiah ulang tahunku tersebut. Hadiah tempat bekal dan botol minum baru menjadi subtitusi untuk jenis barang sama yang telah hilang seminggu sebelumnya. Pita rambut warna warni menghiasi rambutku pada hari-hari ke berikutnya. Dan tas cantik yang dapat diisi berbagai macam barang karena volumenya cukup besar hingga sekarang telah menemani hari-hari kuliahku.
Tapi ternyata aku tidak dipersilahkan untuk berhenti berteriak excited seperti saat mendapatkan hadiah sebelumnya. Saat memasukki kelasku sendiri, lebih tepatnya saat melihat isi di dalam tasku sendiri, aku pun menemukan kartu ucapan sebenarnya dari kelima puluh orang yang memberiku hadiah-hadiah berharga tersebut.
Kartu ucapan itu tidak biasa. Aku memang pernah meminta kartu ucapan yang sangat panjang dan berkesan. Tapi aku tidak akan pernah menyangka bahwa aku akan mendapatkan kartu ucapan lebih tinggi dari tinggiku sendiri begitu masing-masing kartunya dilebarkan dan disusun bertingkat. Ketika disusun bagian depannya tertulis sebuah ucapan selamat ulang tahun dalam beberapa huruf yang sengaja dibentuk unik dengan kertas lipat. Sedangkan di belakangnya terdapat ucapan-ucapan dari kelima puluh temanku yang tidak pernah bosan kubaca ulang hingga sekarang Kartu ucapan itu memang tidak biasa.
Hari ulang tahun ke-18 ku hingga kini masih menjadi ulang tahun paling ‘heboh’ di sepanjang hidupku. Satu hari penuh dengan kejutan yang direncanakan oleh teman-temanku itu benar-benar sukses. Sukses membuatku benar-benar senang, kebingungan, letih berlari, dan kerepotan membawa semua hadiah, terutama saat membawa si boneka setinggi setengah meter.
-----
N.B: Cerita ini dipersembahkan untuk teman-teman SMA ku tersayang. Terima kasih banyak,teman-teman. Miss u all so much!
Langganan:
Postingan (Atom)