Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Semangat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Semangat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2011

Hebat

Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita

Lagi-lagi dia minta semangat. Aku raih tangannya. Aku tepukkan telapak tanganku ke telapak tangannya. “Nih, aku kasih SEMANGAT!” Dia menarik tangannya lagi dan menatapku hampa. Aku tersenyum—berpura-pura kalau aku memang bersemangat. Barangkali kepura-puraan positif memang berdampak nyata. Bagaimanapun, aku mengerti bahwa semangat adalah modal vital dalam menghadapi semester baru yang sepertinya bakal sangat bikin rebek ini. Betapa akan sangat tersiksa jiwa ini kalau harus menjalankan sesuatu tanpa semangat.



Dia menghela nafas, menopang dagunya dengan kepalan tangan, sembari melepas pandang ke orang-orang.



“Enggak apa-apa kalau kamu enggak punya semangat, Ta,” kataku. “Aku pernah main ke museum TNI di Jogja. Di sana ada tulisan tentang I Gusti Ngurah Rai.” Dengan ejaan lawas, isi tulisan tersebut kira-kira sebagai berikut, “Almarhum I Gusti Ngurah Rai itu, meskipun badannya kecil, pembawaannya lemas dan tidak bersemangat, tapi cita-citanya tinggi dan besar…” Aduh, aku lupa kelanjutannya, namun, “Akhirnya beliau berhasil mengusir tentara Belanda dari Bali.”



Sepertinya dia tidak terkesan dengan ceritaku. Aku pikir lagi, apa gunanya kita bercita-cita tinggi kalau tidak punya semangat untuk mewujudkannya?



Selanjutnya kami malah mengomentari orang yang menarik perhatian kami.



“Lihat tuh, si Diana. Dia yang kemarin baru dapet penghargaan dari kampus—“



“Beuh… IPK-nya, dewa abis…”



“Enggak cuman itu Ta, dia juga ikut yang simulasi PBB itu loh, sering ke luar negeri…”



Lewat lagi yang lain.



“Eh, itu si Sansan, baru dari Ceko kemarin.”



“Katanya dia sempet main ke negara-negara lainnya juga gitu ya?”



“Iya, aku udah denger,” kataku dilanjutkan mengabsen sejumlah negara di Eropa yang berdekatan dengan Ceko.



“Beuh, udah mah mahasiswa berprestasi fakultas…”



“PKM-nya juga menang kemarin…”



Lewat lagi yang lain.



“Itu tuh, si Anggi, besok mau ke Kalimantan. Penelitian dua bulan gitu katanya.”



“Oh ya, dia juga dulu pas masih tingkat awal ke Turki terus dapet penghargaan apa gitu ya?”



Lewat lagi yang lain.



“Eh, itu tuh si Dara. Dia penghasilannya banyak loh… Kerja sambilan di macem-macem tempat loh dia. Kayaknya asik gitu kerjaannya dia.”



“Oh iya? Oh pantes… Aku pernah denger dia beli mobil pakai uangnya sendiri gitu.”



Sementara menunggu orang yang patut dibicarakan lagi, aku terpikirkan akan nasibku dengan temanku itu. Entah kapan IPK kami bisa mencapai cum laude—mungkin jatah waktu kami di perguruan tinggi ini keburu habis sebelum itu terjadi. Kami belum pernah ke luar pulau sama sekali untuk kepentingan akademis—boro-boro ke luar negeri. Kami tidak begitu aktif berorganisasi karena jadwal kuliah dan praktikum saja sudah cukup menyita perhatian kami. Kami optimis lulus empat tahun lebih. Kami tidak pernah sempat ikut kompetensi penelitian. Kami juga tidak cukup punya waktu dan keterampilan untuk mencari tambahan uang saku.



“Kalau kamu jadi mereka, kamu bakal lebih bersemangat enggak, Ta?”



“Ng? Enggak tahu. Kamu gimana?”



“Mungkin iya. Kalau aku lebih pinter, berprestasi, bisa ngehasilin banyak uang dari usaha sendiri, kan jadi banyak hal yang bisa aku banggain dari diri aku,” jawabku spontan saja. Kataku lagi, mengutip entah kalimat Sponge Bob atau Patrick dalam episode Sponge Bob-bau-mulut, “Kan ada kekuatan pada rasa bangga. Kekuatan itu sama kayak semangat enggak sih?”



Dia hanya memandangku sebentar. Lalu lepas lagi matanya ke samudra mahasiswa.



“Eh, liat itu si Ananda…”



Aku mengangkat daguku. Terlihat seorang cewek bertubuh pendek. Jalannya santai dan bibirnya membentuk senyum.



Aku tidak ingat dia pernah menorehkan prestasi apapun. Sepertinya dia termasuk kasta mahasiswa biasa-biasa saja macam kami. Fisiknya tidak begitu rupawan, keluarganya juga bukan dari kalangan menengah ke atas. Memang sih, setahuku, IPK-nya sedikit lebih tinggi dari punyaku. Selebihnya, aku tidak tahu apa lebihnya ia dariku. Badanku bahkan lebih tinggi dari dia!



“Seneng deh liat si Nanda,” suara teman di sebelahku lagi.



“Kenapa? Kayaknya dia enggak sehebring orang-orang yang tadi kita omongin deh.”



Tapi tetap saja ada yang bisa kami bicarakan tentang seseorang. Aku jadi merasa geli dengan persamaan kami, para mahasiswa sekasta. Kami sama-sama jarang jadi asisten praktikum. Kami sama-sama pernah coba ikut PKM dan gagal. Kami sama-sama kerap asik dengan dunia sendiri hingga melalaikan organisasi. Kami sama-sama tidak piawai membuat esai untuk mengikuti konferensi apapun. Kami sama-sama tidak berprestasi. Entah kapan kami bisa membanggakan negeri.



Pikiran ini jadi kian menyurutkan semangatku. Mendadak geliku sirna juga. Tapi teman di sebelahku ini malah jadi kelihatan tambah bersemangat berkat membicarakan Ananda.



“Seneng aja liat dia. Kayaknya orangnya semangat terus deh.”



Aku ingat-ingat… Ya, aku memang jarang lihat muka lusuh Ananda.



Akhirnya aku lihat senyum lebar memaniskan wajah temanku lagi. “Hebat ya?”



“Kenapa?” Aku menoleh padanya hingga kami saling bertatapan.



Lanjutnya,” Ya kayak kata kamu tadi. Kalau kamu udah punya macem-macem terus semangat, ya itu biasa, tapi kalau kamu enggak punya apa-apa tapi bisa tetep semangat, rasanya hebat aja.”



Aku tercenung. Mendadak temanku bangkit sambil menarik tanganku. “Yuk ah, deketin yang semangat yuk. Siapa tahu aja semangatnya nular…”







13 September 2011

Terinspirasi dari kutipan “Kalau kau punya ‘apa-apa’ dan segala-galanya lalu hidup semangat, apa hebatnya? Tapi bila kau tak punya ‘apa-apa’ lalu hidup semangat, itu yang keren.” (Pidi Baiq)

Mungkin Inilah Kehidupan

Oleh: (@benjalang‏)

Tiga Hari Menjelang Wisuda

"Tenang saja, sayangku. Yang terpenting, persiapkan dirimu sebaik mungkin. Aku akan selalu bersamamu."

Kubaca lagi sms itu, kata-katanya selalu bisa menenangkanku. "Aku akan mempersiapkan yang terbaik. Untukmu, cintaku." Kukirimkan balasan padanya.

Aku benar-benar menantikan acara wisuda ini. Wisuda yang awalnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak, hukum bukanlah bidang yang aku sukai. Tapi kedua orang tuaku mengarahkan untuk memilih bidang ini, untuk melanjutkan firma hukum papa, kilah mereka.

Dalam perjalanannya, aku mengalami pemberontakan dalam diri. Hingga aku bertemu dengan Ardy, pria yang membantuku untuk berdamai dengan keadaan. Dia mengajariku banyak hal tentang cinta dan kehidupan. Lebih tepatnya, dia benar-benar merubah diriku. Semua yang telah ia lakukan, menjadi alasanku untuk sangat mencintainya. Dia orang terpenting dalam hidupku, pembimbingku, dan kuharapkan imam yang kelak memimpin kehidupanku.





Dua Hari Menjelang Wisuda

"Cintaku, kamu lagi apa? Aku baru pulang dari kampus, mengurus ijazah dan tetek bengeknya. Aku rindu kamu." Kukirimkan sms itu kepadanya.

Ya, sms ini yang menjadi penghubung bagi kami sekarang. Sejak dua tahun yang lalu dia dipindah tugaskan ke Kalimantan. Menelpon cuma hari minggu, saat dia ke kota.

"Ada yang kangen ya? Kok bisa samaan gitu. Sibuk tadi di kampus? Tapi shalat dan makannya ga lupa kan sayangku." Dia pasti lagi senggang, biasanya balas sms itu sangat lama. Kadang membuatku kesal. Ya resiko hubungan jarak jauh.

"Berarti kita jodoh dong, udah banyak kesamaan. Enggak lupa kok, aku kan selalu ingat pesanmu, calon suamiku yang paling kucinta" Kutambahkan beberapa simbol senyum di akhir sms sebelum dikirim.

"Tuh kan, ini ketiduran atau lagi ada kerjaan, dianggurin lagi deh sms nya," gerutuku dalam hati. Tapi belakangan ini aku sudah mulai bisa memahami. Tidak seperti dulu yang selalu ngambek setiap dia membalasnya lama.


"Jika aku adalah yang terbaik bagimu menurut Tuhan, aku pasti akan menjadi suamimu sayangku. Istirahat gih, besok mau nyiapin kebaya kan." Ternyata dia belum tidur, senangnya.

"Aku akan selalu berdoa, agar kau adalah yang terbaik untukku. Sejujurnya, aku sangat ingin kamu hadir di hari pentingku. Menjadi pendampingku" Mataku mulai berkaca, mengingat orang yang kusayang tidak bisa datang di acara nanti.

"Sayangku, doakanlah yang terbaik untuk kita. Dan doakan juga sebuah mukjizat, agar aku bisa menemuimu secepat mungkin. Sebab aku juga sangat menginginkannya. Tidurlah, bermimpilah dengan segala kebaikan" Air mataku meluruh. Mukjizat, aku suka dengan kata itu.

"Tentu segala doa baik untuk kita. Malam ini, aku akan berdoa agar tuhan memberimu kesempatan untuk memenuhi janjimu, kau berjanji akan bersamaku sampai aku di wisuda, dan terus mendampingiku. Aku percaya, mukjizat itu nyata. Aamiin." Seperti biasanya, dia selalu bisa membangkitkan semangatku. Sekarang, aku memiliki harapan untuk kuserahkan pada tuhan. Semoga Dia mengabulkannya.




Satu hari Menjelang Wisuda

"Kemalaman ya Sayangku," suara itu...

"Ardy..." Aku melompat kegirangan, setengah tak percaya. "Kamu datang juga. Oh, aku tahu. Pasti selama ini kamu cuma mempermainkanku, berpura-pura tak bisa datang."

"Aku datang untuk memenuhi janjiku. Dan doamu semalam, telah melapangkan jalanku. Lihatlah, mukjizat itu ada kan?" Aku dapat melihat lagi senyuman itu, senyuman paling damai yang selalu menenangkanku.

"Aku menamainya, keajaiban cinta. Mari masuk dulu"

"Sudah malam, lagipula aku belum mampir ke rumah."

"Tapi aku masih rindu, masa cuma sebentar saja"

"Simpanlah kerinduanmu, pada saatnya nanti, itu akan menjadi sebuah ledakan maha dahsyat" Ia menggenggam tanganku.

"Kamu sakit, cinta. Tanganmu dingin sekali?" Ia menggeleng. "Baiklah, akan selalu kusimpan rinduku, untukmu.

"Aku senang mendengarnya. Segeralah istirahat, esok adalah harimu. Serta ingatlah satu hal, semua yang telah kamu lakukan selama ini akan menjadi sesuatu yang bernilai. Tetaplah bersemangat melakukan semua kebaikan, Tuhan senantiasa melindungi orang-orang baik"

Aku mengangguk. "Tuhan, jangan pernah pisahkan aku dengannya," aku berdoa di dalam hati.



Hari Wisuda

"Om, Tante..." Kusalami mereka, orang tuanya ardi.

"Sri, selamat ya. Udah jadi sarjana sekarang"

"Terima kasih Tante. Oh iya, Ardy mana Tante?"

"Ardy meninggal dua minggu yang lalu. Dia kecelakaan di Kalimantan, kondisinya sangat parah. Ia tak sanggup bertahan lama."

"Tante, ga lucu ah. Kemarin malam dia nemuin aku kok"

"Ardy udah ga ada, Sri. Dia melarang kami memberitahumu perihal kecelakaannya. Sebab dia ingin kamu bisa menjalani wisuda ini tanpa beban. Ini ada surat terakhir darinya."


"Bersemangatlah, serupa aku yang tak kan lelah berjuang agar bisa memenuhi janjiku, dengan cara apapun. Sebab, aku selalu percaya mukjizat itu ada. Jangan pernah pertanyakan bagaimana caranya mukjizat itu bekerja, sebab rahasia Tuhan muskil untuk bisa kita terima. Satu lagi, tolong jangan menangis. Aku tak ingin kuburanku banjir oleh air matamu"

Aku terhenyak, benar-benar tidak percaya. Mukjizat? "Oh, Tuhan. Ada apa ini"


*****

"Kau sungguh hebat" Kusentuh batu nisan itu. "Semua sangat berat untukku. Tapi aku akan kabulkan keinginanmu. Lihat, tak ada air mataku. Kini, aku sangat percaya mukjizat itu nyata. Aku akan tetap bersemangat, serta doaku selalu untuk kebaikan kita. Di sini kita tak mungkin bersama, tapi aku yakin mukjizat akan menikahkan kita kelak, di kampung akhirat"



---••---




"Aku rela melepasmu Sri, serupa kau rela melepaskan Ardy. Beristirahatlah dengan tenang. Maafkan aku yang belum sempat membahagiakanmu, istriku" kupeluk buku harian Sri. Aku tak ingin melanjutkan untuk membacanya.

"Tuhan, tiada akal yang dapat menyibak tabir rahasia-Mu. Limpahkanlah kebaikan bagi kami." Kusimpan buku harian itu.

"Sri, kau begitu elok. Bahkan tak sekalipun engkau membuatku kesal apalagi marah. Kau selalu menjadi istri yang menjunjung aku sebagai suami. Maaf, kali ini aku mengecewakanmu lagi. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, aku tak bisa menyelesaikan membaca ini. Biarlah semua menjadi rahasia terindah dari Tuhan. Aku akan selalu mencintaimu istriku, dengan caraku. Aku menunggu mukjizat untuk kita."

Kamu

Oleh: (@tweet_tie)

“Yah, gimana sih caranya supaya bisa cepat bisa naik sepeda?”
Ayah yang sedang memompa ban sepeda kecilku itu bahkan tidak menoleh ketika mendengar pertanyaanku. “Caranya ya kamu harus rajin berlatih setiap hari. Semangat lah. Jangan sedikit-sedikit mengeluh. Jatuh sekali sudah malas belajar.”
Aku mencibir. Luka di lututku masih terasa perih, mana mungkin bisa langsung belajar lagi, berjalan saja aku sulit. Huh, apanya yang semangat?


“Sampai sekarang juga aku belum pernah merasa benar-benar semangat”
Sama seperti bertahun-tahun yang lalu, orang yang yang aku ajak bicara bahkan tidak menoleh mendengar perkataanku. Bedanya dulu yang ku ajak bicara adalah ayah, sementara hari ini yang ada di hadapanku adalah kamu. Ya, kamu lebih tertarik menatap huruf-huruf kecil yang tertata di novel tebalmu itu.
“Aku bahkan tidak tahu semangat itu apa..” Aku melanjutkan kalimatku sambil sedikit merajuk. Mana mungkin buku yang sebagian sampulnya sudah rusak itu lebih menarik dari aku.
“Kamu terlalu menginginkan banyak penjelasan Rana... “
Berhasil, akhirnya kamu menaruh perhatian padaku. Aku diam, menunggu lanjutan kata-katamu, sementara kamu meletakkan buku di pangkuanmu, setelah tidak lupa memberi pembatas.
“Kamu sendiri kan tahu kalo tidak semua hal itu punya penjelasan.. “ Lanjutmu.
“Tapi setidaknya beri aku penjelasan sedikit...”
“Jangan terlalu membayangkan bahwa semangat itu adalah hal yang muluk. Bahkan ketika kamu akhirnya tetap belajar sepeda waktu itu pun sudah merupakan semangat Ra... Atau seperti sekarang. padahal kamu tahu aku kalau aku tidak suka diganggu saat membaca, tapi tetap saja kamu merajuk seperti ini, itu saja sudah bisa jadi contoh nyata semangatmu untuk mendapatkan jawaban.”
Sambil berkata begitu kamu menatap tepat di kedua bola mataku. Aku selalu suka ditatap seperti itu. Rasanya seperti kamu mentransfer sedikit energimu padaku.
“Aku tetap belajar sepeda waktu itu bukan karena semangat, tapi karena kesal diejek oleh kakakku. Beri aku satu contoh lagi!” Aku tetap merajuk sambil meraih buku di pangkuanmu. Aku tak mau perhatianmu kembali teralih pada buku jelek itu.
“Coba kamu baca buku itu sampai selesai.”
Aku melirik buku di tanganku. Huh, apa-apaan. “Aku tidak mau. Dan jangan coba untuk mengalihkan topik.”
“Rana, aku tidak mengalihkan topik. Aku yakin, kalau kamu mau membaca buku ini sampai selesai, kamu pasti akan merasakan semangat yang aku rasakan sekarang...”
Sambil berkata begitu kamu menyambar buku di tanganku, lalu kembali tenggelam dalam dunia yang tidak aku tahu. Dan aku tetap menatap wajahmu. Wajah tampanmu, hidung mancungmu, dan matamu yang selalu bercahaya itu.
Sekarang aku tahu, semangat itu kamu..