Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label kenal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kenal. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Juli 2011

Tak Kenal Maka Tak Sayang || @iwandegree

By : @iwandegree





“Halo perkenalkan, nama saya Tio dari SMP…”

Aduh! Gawat, sebentar lagi giliranku. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Tidaaaaakkkkkkkk!!!

“Berikutnya.”

Kakak senior menyerahkan mic padaku. Berarti ini sudah giliranku dong?

“Ngg… Halo, Ngg… Nama saya… Ngg… Itu, nama saya…”

“Booooooo…..”

Nah! Ini yang paling aku benci dari acara perkenalan. Sorakan dan tatapan menghina dari orang-orang asing. Kenapa harus ada perkenalan? Aku lebih suka sendirian, lebih nyaman, menurutku. Tidak akan ada tatapan menuduh atau konflik-konflik menyebalkan. Dalam prinsip hidupku, aku selalu berusaha menghindari kontak mata dengan orang asing. Aku benci di nilai oleh orang, apalagi oleh orang asing.

“Hey, ayo perkenalkan dirimu.”

Orang disebelah menyenggol pelan pinggangku. Segera aku tersadar sedang berada dimana. Ya, aku sedang berada di acara MOS sekolah. Acara paling menyebalkan dari bagian sekolah ini.

“Ngg nama saya Dio Putra dari SMP 789 Bogor.”

Lega, perasaan itu langsung menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya prosesi perkenalan yang menyebalkan ini selesai juga. Aku menghela napas lega.
***
“Sekarang semua masuk ke kelompok masing-masing dan ikuti instruksi dari pembimbing kalian.”

Ketua OSIS yang entah-siapa-namanya menyuruh kami semua segera bergegas. Ugh..! Aku benci sekali acara ini. Bisa tidak acara ini dipercepat? Kalau bukan karena peraturan kampus, aku pasti tidak akan ikut acara-acara ini. Sejak jaman SMP aku benci sekali organisasi-organisasi seperti ini. Apalagi kalau ada proses kenal-kenalan. Mungkin karena jaman SMP semua mulai berubah. Semakin lama teman-teman kita mulai melihat kita tidak hanya dari dalam, tapi mulai melihat penampilan luar kita. Memegang handphone tipe apa, siapa gandengannya, kesekolah bawa motor apa, mahir di pelajaran apa. Malas sekali rasanya berkenalan dengan orang-orang seperti itu.

“Nah, sekarang coba kalian sebutkan nama kalian sekali lagi satu persatu.”

APA?

Buang-buang waktu saja acara ini. Tadi kan sudah. Sementara orang-orang lain mulai menyebutkan nama, aku kegelisahan sendiri. Keringat dingin mulai menetes dari jidatku. Aduh, kenapa kebiasaan jelek ini tidak bisa hilang? Kenapa Tuhan menciptakan keadaan dimana saat orang merasa gugup mengeluarkan keringat? Kan tidak enak.

“Na-nama saya Di… Dio… Putra.”

Orang disebelahku menahan tawa. Itu orang yang tadi menyenggolku, ternyata kita satu kelompok.

“Eh, kamu kenapa? Gagap ya?”

Matanya menatapku jenaka. Aku memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar omongannya. Mau menghinaku ya? Silahkan saja, aku sudah terbiasa.

“Hei, aku ngajak ngobrol kamu, bukan tembok.”
“Ga kenapa-napa.”

Suaraku kering, aneh rasanya mengobrol dengan orang asing. Orang yang tidak aku kenal.

“Halo, nama saya Ariyo.”

Lelaki bertubuh tambun itu menyodrokan telapak tangannya. Memamerkan giginya yang berkawat. Oh, tipe anak gaul jaman sekarang. Kurang lengkap tanpa kawat gigi alias behel.

“Dio.”

Aku membalas dengan gugup.

“Kamu dari mana?”

“SMP 789.”

“Oh..”

Seharusnya, aku mengajak dia berbicara. Bukankah proses perkenalan seperti ini? Mulanya berbasa-basi kemudian menjadi teman? Tapi aku tidak bisa. Aku tidak biasa dengan proses seperti ini. Aku takut nanti dia mulai menilai cara berbicara ku, apa yang aku punya dan seterusnya.

“Aku dari SMP 386.”

Tanpa diminta dia menjelaskan asal-usulnya.

“Hmm….”

Jawabku pendek. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“….”

“….”

Nah ini! Aku benci saat-saat seperti ini. Saat dua orang atau lebih kehabisan bahan pembicaraan. Saat dimana hanya keheningan yang mengisi. Menyeramkan. Itulah yang biasanya terjadi saat aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal.
***
“Si gagap sombong amat ya, tadi gue ajak kenalan bawaanya diem melulu.”

“Lagian lu, udah tau pas perkenalan dia kaya begitu.”

“Gue kasihan aja sih, lagian ga ada salahnya kan kenalan?”

Tubuhku kaku. Ternyata orang-orang asing ini berpikir demikian tentang diriku. Jadi aku dibelakang di panggil si gugup? Aku dikiran anak yang sombong? Dasar orang asing, seenaknya saja menilai diriku. Padahalkan mereka tidak mengenal diriku.

“Huh..”

Hanya itu yang bisa aku lakukan, menghembuskan napas lesu. Memang salahku juga kan? Tidak mau berkenalan dengan mereka. Tidak mau mengenal mereka lebih dekat. Habis mau bagaimana lagi, pikiran negative selalu melandaku ketika bertemu dengan orang asing. Secepat kilat aku berlari ke WC, mencuci muka dan mengutuki diri sendiri.
“Oi, ada orang disitu?”

“Hngg?”

“Eh, kamu yo, ngapain?”

Sial! Kenapa aku harus bertemu si penggosip ini? Aku merutuk dalam hati. Kemudian entah setan apa yang merasuki, sebuah ide meluncur dalam kepalaku.

“Maaf tadi aku diem aja pas kamu ajak ngobrol.”

“Eh?”

“Tadi aku denger pembicaraan kamu sama temen kamu, aku bukan yang seperti yang kalian pikirkan. Aku emang tidak terbiasa sama orang asing.”

Ariyo menghela napas, kemudian menatap kaca kamar mandi sebelum akhirnya berbicara padaku.

“Maafin kita juga, bukan maksud ngomongin kamu, tapi kamu juga aneh, emang ada ya orang yang segitu takutnya kenalan? Enggak pernah peribahasa Tak kenal maka tak sayang?”

Ck, peribahasa itu, sudah sering aku dengar dari orang-orang asing disekitarku.

“Ngg… Begini…”

Entah kenapa, aku menceritakan semua pemikiranku pada orang asing ini. Aku ceritakan kalau aku benci berkenalan karena aku takut dinilai orang. Takut akan pemikiran orang tentang apa yang harus aku punya atau kenakan, tentang bagaimana aku harus berbicara atau bertingkah supaya disenangi orang lain.

“HAHHAHAHA!”

Ariyo tertawa keras. Aku menatapnya dingin. Kenapa tadi aku harus bercerita, pada orang asing pula! Makiku dalam hati.

“Permisi…”

Aku bersiap-siap pergi, dengan muka memerah. Sial, aku benci orang asing.

“Weis, sabar bro! Masa diketawain dikit aja marah. Bukan maksud ngehina, tapi pemikiran kamu itu kaya anak kecil. Masa takut kenalan sama orang karena kaya gitu? Itu rendahan banget tau, emang kamu pikir semua orang kaya gitu?”

“…”

“Kalau belum dicoba, siapa yang tau? Emang kamu pernah nyoba untuk kenal lebih dekat dengan orang asing? Aku rasa kamu terlalu peduli dengan pikiran orang –orang asing, padahal apa pengaruhnya sama kamu? Enggak ada kan.”

DEG!

Perkataan Ariyo tadi menyadarkanku. Kenapa bisa aku berpikiran picik seperti itu? Kenapa aku begitu bodoh, memandang negatif orang lain.

“Lihat aku,” Ariyo menunjuk sendiri tubuhnya. “Gendut, badannya gede atau apalah, tapi pede aja. Kenapa? Karena aku gak peduli sama perkataan orang. Aku nyaman sama diri sendiri. Kenapa kamu begitu peduli sama perkataan orang yang bahkan enggak kamu kenal?”
Mukaku memerah, malu akan ceramah panjang Ariyo. Mungkin karena merasa tidak enak, Ariyo mengehentikan perkataanya.

“Kamu kan sudah besar, lebih baik berpikir dulu sebelum bertindak, oke?”

Aku mengangguk pasrah. Mencerna setiap perkataan Ariyo. Ada benarnya juga, kenapa aku selalu memikirkan perkataan orang.

“Yuk balik ke kantin, masih ada beberapa tugas yang belum di beresin. Entar kita kena hukum senior lagi.”

“Ayo.”

***
Dikantin, aku mencoba mengingat lagi perkataan Ariyo, benar, kenapa aku harus malu berkenalan dengan orang lain? Aku belum pernah mencoba berkenalan dengan teman baru. Ariyo menyapa akrab teman-temannya, disana ada orang yang membicarakan diriku tadi. Aku menghampirinya, tersenyum ramah dan menyodorkan tanganku.

“Halo, nama saya Dio Putra.”

Memang masih canggung, dan keringat dingin masih ada. Tapi kalau tidak kenal, maka kita tidak sayang, kan?

Nice to Know You!

Oleh: by Nadya Permadi (@nadyapermadi)

Dia melangkah ke depan ruang kelas itu dengan langkah percaya
diri. Merasa seperti dia lah yang mengendalikan segalanya. Dengan
suara beratnya dia pun berkata tanpa ada ekspresi bersahabat seperti
layaknya senior kepada juniornya, “Perkenalkan, saya Arestio Sefri.
Memegang jabatan sekretaris di ekskul ini.”

Aku memandanginya dalam diam. Memperhatikannya. Melihat
detil-detil wajahnya. Sombong banget kakak kelas ini! Hal inilah yang
pertama terlintas dalam otakku saat melihat lelaki dengan postur
tinggi, tegap, berhidung mancung, dan putih itu. Well, mungkin saja
dia menjadi idola di sekolah ini, tapi menurutku, tidak ada yang
pantas diidolakan dari lelaki sombong dihadapanku ini.

“Nestya, giliran kamu,” salah seorang senior perempuan yang ku
kenali sebagai ketua ekskul fotografi itu memanggilku maju untuk
memperkenalkan diri.
“Hai, saya Nestya, kelas X-2. Mau ikut ekskul ini karena....” Aku
berpikir sejenak. Apa tujuanku ikut ekskul ini? Sebenarnya kan aku
hanya disuruh Fay—sahabatku—yang kebetulan mengikuti ekskul ini. “...
saya suka memotret.” Ya, di hari pertama aku sudah sukses berbohong.
Bagus Nes!

Satu persatu anggota dan pengurus ekskul fotografi pun
akhirnya selesai melakukan acara perkenalan dan mulai menjelaskan
beberapa hal yang diperlukan dalam hal fotografi. Sepanjang penjelasan
itu pikiranku tidak bisa fokus sama sekali. Pandanganku masih
tertancap pada sosok senior sombong itu. Disaat semua teman-temannya
sedang asik menjelaskan dan melakukan ramah-tamah dengan anggota baru,
Arestio—aku tidak ingin memanggilnya ‘kak’—malah duduk di pojok
ruangan sambil asik memainkan handphone ditangannya. Apa-apaan!

Lalu tiba-tiba saja subjek yang sedang ku perhatikan itu
menengok ke arahku dan balik memandangiku. Dengan waktu sepersekian
detik aku berusaha mengalihkan pandangan dan mencoba menghindari
tatapan herannya padaku.

“Kenapa tadi ngeliatin?” tanya Ares begitu pertemuan ekskul selesai.
“Hah? Nggak kok.”
“Junior nggak usah sok sama senior,” ucap Ares lagi sukses mengejutkanku.

Apa dia bilang tadi? Menyebalkan sekali lelaki satu ini. Aku
pun hanya bisa terdiam dan tidak membalas ucapannnya, hanya bisa
memandangi sosoknya menjauh dan menghilang dari hadapanku dengan
perasaan dongkol. Aku bersumpah, sejak hari yang menyebalkan itu, aku
tidak akan mau terlibat dengan hal apapun yang berhubungan dengan
lelaki sombong itu.
***
Sejak tragedi enam kata menyebalkan yang diucapkan oleh Ares, aku
benar-benar tidak pernah mau berdekatan dengannya. Melirik pun malas.
Semua terus berjalan seperti itu sampai tiba saat dimana seseorang
menghancurkan semua prinsip ku tersebut.

“Gue naksir kak Ares! Lo harus bantu gue, Nes! Bentar lagi dia
kan lulus, gue nggak rela kalau dia pergi dan gue belum ngasih tau dia
tentang rasa suka gue,” ucap Fay.

Aku hanya bisa mendelik malas padanya. Apa urusannya kalau
dia suka sama Ares. None of my business.

“Bantu gue ngasih surat ini. Please...”

Mataku ingin melompat keluar rasanya saat Fay menyerahkan
satu amplop pink yang berisikan surat cintanya. “Nggak mau!” Aku
menolak dengan tegas.

“Nestyaaaa... bantuin gue... Please....” Fay merengek dengan
wajah memelas yang benar-benar membuatku tidak tahan. Hanya memberikan
surat ini kan? Yah, mungkin bisa ku coba.

Aku pun mengambil surat dengan amplop pink itu yang rasanya
seperti kutukan untukku. Fay selalu mengerti kelemahanku adalah saat
dia memasang wajah memelasnya itu. Keterlaluan.

Dengan langkah cepat aku berjalan menyusuri koridor lantai
tiga, tempat dimana para senior biasa berkeliaran. Aku mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru koridor dan akhirnya menemukan Ares yang
sedang duduk sendiri sambil membaca komik di pinggir koridor.

Aku berjalan mendekatinya. Dia pun menoleh saat merasa ada
seseorang yang berdiri di hadapannya.

“Ini, surat dari salah satu temen gue,” ucapku singkat dan langsung
beranjak pergi, tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan
lelaki sombong itu dan tidak ingin jantungku melompat keluar karena
saking cepatnya berdetak saat berhdapan dengannya. Astaga!
***
Satu surat aneh sampai di hadapanku esok harinya. Fay menatapku
dengan tatapan aneh. Ada apa sih?
“Surat itu dari Kak Ares. Buat lo,” ucapnya berhasil membuatku terkejut.

Dengan cepat aku pun membukanya dan segera membacanya.



Junior nggak usah sok sama senior.
Inget kan dengan kata-kata ini? Tau apa maksudnya?
Sok disini berarti, jangan sok bikin senior penasaran dan akhirnya
jatuh cinta sama kamu. Nestya, senang berkenalan denganmu.

-Ares

Sebuah senyum kecil perlahan merekah di bibirku. Ternyata
penilaianku selama ini salah. Aku kira aku sudah mengenalnya, namun
ternyata aku salah. Arestio Sefri, senang juga berkenalan denganmu!

Siapa Kamu?

Oleh: @mailida


“ Tak usah memperkenalkan diri, aku sudah tahu siapa diri mu.” Aku menahan nya untuk melanjutkan pembicaraan.

“ Darimana kau tau?” Aku sudah menerkanya. Pasti dia akan bertanya seperti itu. Aku hanya diam memandangi nya misterius. Ku biarkan dia menerka-nerka.

Dahinya menyerngit kebingungan. Raut curiga mulai tampak di wajahnya. Sedikit demi sedikit kulihat dia melangkahkan kakinya mundur dan menjauh dari ku. Tapi aku berhasil menahannya.

“ Jangan takut, Sadira “ Kuraih tangan nya agar lebih dekat kepada ku.

“ Ternyata bekas jahitan itu belum hilang. Masih ada di tangan mu. “

“ Haha, kau masih mengenakan nya. Gelang platinum yang ku beli di Pasar Loak. ” Aku memandangi benda tersebut sembari tersenyum penuh arti.

Keringat dingin mulai menetes di dahi nya. Bibirnya memucat. Tangan nya menggenggam erat tas Louis Vuiton yang di jinjing nya. Dia terlihat risau, pandangan nya skeptis seakan-akan aku adalah orang jahat yang akan membunuhnya.

“ Sekarang kau tahu namaku. Lalu bekas jahitan di tangan ku. Dan tunggu dulu, gelang platinum itu dari ibu ku! Dia membelinya dari Tibet. Jaga mulut mu. “

“ Tibet? Jika aku berbohong kau boleh cek ada ukiran R&S di belakang nya” Segera dia membuka gelang yang sedang dipakai nya. Untuk memastikan bahwa kata-kata ku salah besar.

Pandangan nya mengarah kepada gelang itu. Lalu kepada ku. Dan kembali kepada gelang tersebut. Seakan-akan tak percaya apa yang telah dilihatnya.

“Oke, kau gila. Kau pasti penguntit ku. Padahal aku baru saja melihat mu hari ini. Kurasa kita tak pernah bertemu sebelumnya! “ Kata nya sedikit membentak ku.

“ Tapi aku sudah lama melihat mu dan kita pernah bertemu sebelumnya. Bahkan lebih dari itu. “

Dia mengambil sesuatu dari tas nya. Ternyata dua lembar uang seratus ribu.

“ Ini ! “ Dia melempar kan uang tersebut kepada ku.

“ Terimakasih kau telah menolong ku tadi. Sekarang mobil ku sudah bisa dijalankan. Kita sudah tak memiliki urusan. Pergi jauh-jauh dari ku. ”

Dia berlari ke mobil dan pergi meninggalkan ku. Aku tak menahan nya. Aku masih berada disini. Melihat mobil nya pergi hingga sampai di titik tak terlihat.

Selamat tinggal, semoga suatu saat nanti ada keajaiban yang membuat ingatan mu pulih kembali. Agar kau ingat kenangan yang telah kita alami di masa lalu.

“Fiuhh tidak enak juga ya ternyata dilupakan selamanya” Kata ku sembari menghela napas panjang. Ku lanjutkan perjalanan sembari menenteng gerobak cuanki ku.

Jarak terjauh bukan lah dimana dia berada dan aku berada sekarang. Jarak terjauh adalah ketika dia berada sangat dekat dengan mu tapi tak mengenalmu.

Book-a-holic Boy

Oleh: by Jenny Thalia F (@JennyThaliaF)



Satu... Dua... Tarik napas, Jen. Ti...

“Oh my god, dia senyum sama lo!” pekik Nida tertahan—karena kejadian tidak terduga itu dan karena aku menginjak kakinya agar mulutnya diam.

Senyumnya terukir indah di atas wajahnya yang elok seperti titisan dewa tersebut. Keadaan toko buku yang ramai seakan-akan memudar, seakan-akan hanya aku dan dia—aku yang memandanginya dari jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.

Aku tahu, penjelasanku tadi seperti orang bodoh—tapi memang begitu kenyataannya.

Ia tersenyum sambil memandangku, aku balik tersenyum. Aku tidak tahu seperti apa senyumku tadi. Bibirku menahan getaran kegembiraan yang meluap dan seperti ada berjuta kupu-kupu di perutku.

“Nid, gue kayak stalker ya? Nge-candid dia sembarangan. Hm, gara-gara dia nengok, gue nggak jadi foto dia deh,” gumamku pada Nida yang berdiri di sampingku.

Dia—cowok dengan jaket abu-abu itu—kutemukan setengah jam yang lalu terhampar di rak bagian dongeng. Ia terlihat serius sekali membaca sebuah buku berjudul “Pak Tobing dan Gerobak Bakso”. Iseng, setengah jam yang lalu aku sudah hampir mati kebosanan menunggu dua sahabatku lainnya—Intan dan Ajeng kembali dari rumah sakit. Tadinya kami berempat memang berencana hangout bareng. Tapi karena Ajeng harus check-up rutin dan aku malas menunggu di tempat yang sangat bau obat-obatan itu, aku memilih ke sini duluan.

Tapi aku tidak menyangka bahwa menunggu mereka itu LAMA sekali. Setelah hampir mati kebosanan, aku dan Nida iseng main tunjuk ke arah cowok yang sejak tadi lalu-lalang di hadapan kami. Saling memberikan nilai antara satu sampai sepuluh dan komentar kami tentang mereka. Norak ya? Tapi mau bagaimana lagi, aku bosan setengah mati.

Sampai aku menatapnya yang berdiri di arah jarum jam dua. Dengan hoodie jacket dan jeans-nya, sangat terlihat kontras antara dia yang seperti anak hippie dengan buku tumpukan dongeng dalam negeri.

Terlintas dipikiranku untuk mengajaknya berkenalan, tapi aku malu. Masa iya aku harus seagresif itu?

Dan saat itu, terlintas di pikiranku untuk mengabadikan wajah sempurnanya itu lewat kamera ponselku. Dengan posisi sewajar mungkin agar tidak terlihat seperti sedang memotretnya, aku bersandar di dinding dan... dua kali aku gagal memotretnya karena ia selalu menengok ke arahku dan memberikan senyuman tulusnya ketika di hitungan ketiga.

Entah, itu sengaja atau tidak.

Dan untuk yang ketiga kalinya, aku tidak boleh gagal!

Gotcha! Aku dapat fotonya yang sedang tersenyum ke arahku.

Hei, kapan kita bertemu lagi ya?

Aku tersenyum sendiri melihat fotonya, saat aku menoleh ke tempatnya tadi berdiri, ternyata ia sudah hilang.

***

Satu... Dua... Ti...

Aku membekap mulutku dan hampir saja membuat kameraku terjatuh.

Cowok itu... sedang berjalan menuju objek fotoku sekarang—sekumpulan anak jalanan yang seminggu sekali aku temui di sini.

Objek foto sekaligus murid-murid asuhku kini bubar dan menyongsong kedatangannya di tempat ini—Sekolah Khusus Bunga Bangsa. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak tidak mampu dan anak-anak jalanan. Berupa beberapa saung yang dilengkapi dengan papan tulis di sebuah taman komplek perumahan.

Cowok itu tersenyum tanpa mengindahkan mulutku yang menganga kaget, “Hei, kita ketemu lagi. Dulu kita pernah ketemu di toko buku kan?”

Ia mengingatku!

Aku mengangguk kikuk. “Ya, kamu mengajar di sini?” tanyaku sambil melirik tumpukan buku yang ia bawa dengan kedua lengannya yang kokoh.

“Ya, baru sebulan sih. Hei, kenalkan, namaku Saka,” katanya sambil menaruh buku itu di samping kakinya dan menjabat tanganku.

Aku yakin wajahku merona dan angin sepoi yang meniup rambut ikal panjangku ke depan tidak dapat membantu mendinginkan sedikit hatiku yang panas dan deg-degan karena dia. “Namaku Alika.”

Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

“Kak, baca buku ini yuk,” pinta seorang anak. Saka mengambil buku itu—Pak Tobing dan Gerobak Bakso—lalu menatapku sambil tersenyum. “Ikut?”

Aku balas tersenyum. “Tentu.”

Aku ingin mengenalnya sampai nanti.

Tak Kenal Maka Tak Sayang || @JosephineAmbiya

Oleh: Josephine Ambiya(@JosephineAmbiya)

Suara bantingan pintu memang sudah terasa merdu di telinganya. Kadang bunyi yang terlalu sering didengar memang jadi indah dan merdu. Sehari minimal tiga kali ia membanting pintu, tentu kalau ia sedang ada di rumah. Menurutnya, membanting pintu itu merupakan peringatan keras bagi orang yang mengganggunya.

Tapi hubungan tidak semudah bunyi, hubungan buruk tidak akan membaik dengan sendirinya tanpa keinginan.

Pintu kamar yang baru ia banting sekarang menjadi sarang pukulan dan tendangan dari luar. Bila pintu itu bisa bicara, ia pasti sudah merintih karena tidak sanggup lagi berteriak kesakitan. Julia, dengan santainya memasang earphone di kedua telinganya. Pukulan di pintu sudah jadi pemanis di telinganya saat ini. Santai saja, hidup memang semudah ini.

Kamarnya kini ditelan kegelapan, lampu kamarnya memang belum diganti sejak sebulan sebelumnya mati. Jendela besar di sebelah tempat tidurnya tidak lagi memberi suplai cahaya setelah malam menjemput. Julia tidak menangis, Julia bahkan tidak sedih. Ia memang mengidam-idamkan keluarga yang baik. Tapi siapa yang bisa bilang keluarga Julia tidak baik?

Ibu Julia selalu pulang bersama suaminya. Mereka bukan keluarga yang kekurangan, mereka punya mobil, punya rumah, punya uang untuk membeli semua kebutuhan Julia dan seluruh anggota keluarga yang lain.

Masalah bagi Julia merupakan nama lain dari kakaknya. Kakak laki-lakinya selalu marah ketika Julia pulang. Julia yakin ia iri pada Julia. Kakaknya lulus SMA tiga tahun lalu, tidak melanjutkan sekolah karena mimpinya telah dikubur kenyataan. Ia tidak berhasil lulus tes perguruan tinggi.

Julia masih asik mengangguk-anggukkan kepalanya di atas tempat tidur. Suara pukulan dan tendangan di pintu mulai melemah, menandakan sebentar lagi saatnya Julia untuk keluar. Pukulan itu segera berganti dengan tangisan keras, Julia beranjak dari tempat tidurnya dan melempar iPodnya.

Julia merangkul kakaknya yang duduk bersandar di tembok sambil menangis. Pakaiannya kotor oleh darah dan serbuk kayu.

“Rutinitas, Dik?” ucap kakak Julia dengan nada mengejek. Julia hanya diam sampai kakaknya mengulang kata-kata itu tepat di depan wajahnya.

“Berlebihan Kak,” Julia menjawab sambil membantu kakaknya berdiri dan melihat tangan kakaknya yang berdarah.

“Kamu yang berlebihan! Buat apa ujian kalkulus kamu dapat A?! Kenapa kamu berhasil?!” Kakaknya berteriak sambil berusaha melepaskan tangan Julia. Tapi Julia lebih kuat, tenaga kakaknya sudah habis dipakai memukul pintu sampai hampir hancur.

“Kak, bukan salah aku kalau kakak kalah waktu itu”

“Gagal, Dik! Gagal!” kakaknya terus berteriak-teriak.

“Ganti, Kak. Nanti aku kasih obat tangannya,” Julia memberikan pakaian bersih pada kakaknya.

“Kuliah teknik apa kedokteran, hah? Berlagak kasih-kasih obat segala,” kakaknya tertawa keras. Julia diam. Ia tahu ia kenal kakaknya dengan baik.

“Jawab adikku sayang! Jawab!” kakak Julia berteriak sambil menanggalkan pakaiannya. Julia yang berdiri membelakangi kakaknya menghadap tembok hanya tersenyum.

“Kakak tidak butuh jawaban.“
“Bodoh kamu Julia,” Kakak Julia meluncurkan kata kesukaannya sambil tersenyum sinis.

“Siapa yang bodoh? Siapa yang berhasil masuk teknik? Siapa yang dapat beasiswa dan tidak minta uang dari ayah ibu?” Julia berdiri menempel di tembok, menyembunyikan wajahnya seperti bermain petak umpat. Ia menangis sambil berbisik mengulang kalimat kesukaannya.

Julia tahu ia takkan pernah mengobati tangan kakaknya. Kakaknya tahu ia takkan pernah diobati oleh Julia. Julia tahu kakaknya takkan sanggup membiarkannya bahagia. Kakaknya tahu kalau Julia sangat ingin berpisah dengannya. Julia tahu kakaknya. Kakaknya tahu Julia. Julia kenal kakaknya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang, kenal pun belum tentu sayang. Sayang dan kenal memang bukan sahabat apalagi saudara.

“Kalah kamu Julia! Gagal! Kalah! Aku lebih kenal kamu daripada kamu kenal aku! Aku tahu pasti bagaimana kalahkan kamu yang lemah ini!” Kakaknya berteriak di telinga Julia. Julia menutup telinganya dengan putus asa. Lalu berteriak menyanyikan lagu-lagu yang melintas di kepalanya.

Kakaknya berlebihan hari ini. Ini semua karena ia lapor kepada orangtuanya kemarin ia dapat A saat ujian kalkulus. Kakaknya merasa sangat tidak berguna saat mendengarnya. Ia mendengar Julia dipuji-puji, dibilang anak ayah, anak ibu, dan semua kata-kata yang menurutnya mengganggu. Ia yang dulu disebut-sebut begitu. Ia yang dulu masuk SMA bagus dan masuk tiga besar terus menerus. Tapi ia juga yang gagal masuk perguruan tinggi, ia yang kalah sebelum perang kedua. Julia sekarang yang menerima pujian itu.

Suara pintu garasi menghentikan mereka berdua. Julia berbalik dan menghapus air matanya. Kakak Julia membetulkan posisi pakaiannya. Mereka berjalan berangkulan ke luar. Orangtua mereka tersenyum dan mencium kakak beradik itu bergantian.

“How was your day?” Ayah Julia bertanya pada mereka berdua.

“Always a beautiful day, Yah,” Kakak Julia menjawab ayahnya sambil tersenyum. Julia mengangguk dan tertawa. Peran mereka sebagai kakak beradik bahagia dimulai lagi. Tangan kakaknya yang belum sempat terobati sudah mengering sendiri.