Oleh: @nitalaras
Malam itu Zahra termenung dalam balutan sepi ditemani angin malam yang berhembus lembut. Raganya terduduk diatas trampoline di pekarangan rumah yang luas. Namun pikirannya menerawang dalam batin Samudra, kekasihnya yang berada jauh darinya. Samudra, lelaki yang selama ini menyita seluruh perhatian Zahra kini berada di Jakarta. Dua tahun lalu, sebelum kepergiannya Samudra sempat berjanji akan kembali menemui Zahra memberikan kado terindah tepat di usia ke 27 yang jatuh 3 hari lagi. Zahra tak pernah tahu apa kado terindah yang akan ia dapatkan dari Samudra. Namun, tiga bulan terakhir Samudra hilang tanpa kabar begitu saja. Zahra sudah mencoba menghubungi teman-temannya, berharap mendapatkan sepercik kabar gembira. Namun, nihil… tak satupun mengetahui kabar Samudra. Bahkan, ada yang bilang Samudra telah kembali ke Surabaya karena akan menikah dengan wanita yang sangat dicintainya. Zahra bingung sekaligus sedih. Kenapa tiga bulan terakhir Samudra tidak pernah memberikan kabar padanya. Bahkan kalau memang benar Samudra telah menikah, Zahra akan merelakan laki-laki yang sangat dicintainya itu.
Malam bertambah larut. Zahra masih duduk diatas trampoline. Sendirian. Ia hanya bertemankan ponsel biru muda yang tak pernah berdering sejak sore. Zahra membayangkan pertemuannya kembali dengan Samudra seperti yang dijanjikan kala itu. Namun, ah… rupanya harapan itu harus dikuburnya dalam-dalam.
Zahra masuk kedalam kamar. Merebahkan diri, melepaskannya dari kepenatan menanti Samudra. Lelap…
¶¶¶
Pagi. Ponselnya mengalunkan nada dering yang indah. Ada panggilan masuk, dari Tania, kakak sepupunya yang baru tiba dari Surabaya.
“Hallo…”
“Za, nanti temenin kakak ke salon ya. Nanti malem ada dinner nih.”
“Males kak.”
“Ayolah, Za! Kakak tau kamu lagi sedih, tapi jangan memperburuk keadaan gitu dong. Pokoknya kamu harus mau temenin kakak ke salon!”
Terputus.
Ah, kak Tania ini ada-ada saja, pikir Zahra, mau dinner aja kok harus ke salon. Mau tidak mau Zahra harus menuruti keinginan kakak sepupu yang sangat ia sayangi itu.
Tanpa terasa, sedikit demi sedikit kesedihan Zahra akan Samudra mulai terlupakan dengan kesibukannya sepanjang hari itu.
¶¶¶
Malamnya.
“Kak, makasih ya udah ajak aku ke salon hari ini” ucap Zahra dengan senyuman paling manis hari itu,
“Oke sama-sama. Sekarang kamu ikut kakak ya.”
“Loh kok? Bukannya kakak mau dinner bareng tunangan kakak ya?” tanyanya.
“Udah deh, kamu ikut aja, kok bawel banget sih. Haha…”
“Oke deh kak, tapi aku jangan disuruh jadi obat nyamuk ya.”
“Sipp.”
¶¶¶
“Kamu masuk duluan ya Za, nanti ada pelayan yang nganterin kamu kok.”
“Oke kak!” Zahra melangkahkan kakinya kedalam restoran minimalis yang terlihat sangat istimewa dengan penataan yang begitu rapi. Seorang pelayan yang ramah mengantarkannya menempati kursi kosong di sudut dekat jendela. Tak berapa lama, kedua matanya tertutup oleh sepasang tangan yang tidak ia kenali.
“Kak, jangan bercanda!” kata Zahra
“Ini aku.”
“…” Zahra bingung, ia merasa mengenali suara itu, namun sudah sangat lama ia tak mendengarnya secara langsung. Samudra. Ingin ia berkata seperti itu, namun hatinya melarang.
Lelaki itu melepaskan tangannya yang menutupi kedua mata Zahra. “Ini aku.” Ia mengulanginya.
“Samudra?” ucap Zahra kaget. Dugaannya benar.
“Iya. Maaf kalau selama ini aku membuatmu khawatir.” Ucapnya lembut. Meluluhkan perasaan Zahra yang berkecamuk.
“Kemana saja kamu selama ini?” Tanya Zahra berusaha menyembunyikan segala kepiluan hati yang selama ini ia rasakan.
“Tidak penting kemana aku selama ini. Sekarang, sebaiknya kamu ikut aku. Aku akan menepati janjiku.”
“Janji?” Zahra lupa akan kata janji yang dulu pernah diucapkan Samudra padanya. Musnah ketika ia mendapat kabar buruk tentang Samudra pecan lalu.
Keduanya keluar menuju mobil Samudra. Selama perjalanan, ia menjelaskan apa yang terjadi selama ini. Samudra membawanya ke sebuah tempat istimewa. Disana, Samudra mempersembahkan sebuah konser kecil untuk Zahra, sesuatu yang sangat Zahra inginkan. Konser kecil istimewa milik mereka berdua. Dan disanalah, Samudra melamar Zahra. Memintanya untuk menjadi pendamping hidup untuk selamanya. Juga mengutarakan niatnya untuk membawa Zahra hidup di Jerman, negara idamannya sejak di bangku kuliah.
Samudra berjanji akan mempersembahkan konser-konser istimewa lainnya di Jerman nanti. Untuk Zahra. Hanya untuk Zahra.
Malam itu, menjadi konser terindah dalam hidup Zahra. Sebuah konser kecil istimewa yang mengikatnya dengan seorang Samudra.
“kleines Konzert besondere” ucap mereka bersamaan.
¶¶¶
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Konser. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konser. Tampilkan semua postingan
Minggu, 24 April 2011
Konser Hujan
Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Hujan membebat raga dalam seutas tali keputusasaan. Memupuskan rencana yang perlahan sirna bersama asa yang hampir di titik musnah. Bola mataku menari bersama lengkingan hujan yang tak kunjung usai. Membasahi bumi namun tak bisa membasahi kantong bajuku yang tetap saja kering kerontang.
Kerontang yang membuat hasrat menyiar kabar tentang pembatalan tak kunjung sampai. Entah apa yang menjebak kabar itu. Yang aku tahu, aku hanya bisa membaca sebuah kata, ditunda. Kupaksakan untuk menjalin persahabatan dengan rinai hujan, tapi ternyata hati tak bisa dipaksakan. Hanya satu kata, batal.
"Wahai hujan, aku mohon sisakan waktu bagiku untuk sekedar menyiar kabar," ratapku dalam hati.
Hujan tak juga bergeming dari yang telah digariskan-Nya. Tetap setia merajut butiran-butirannya untuk menyelimuti bumi dengan titik-titik air. Akupun sama seperti hujan, tak bergeming sedikitpun dari tempatku menapakkan kaki. Di pinggir jendela, selepas sholat Ashar hari itu. Aku biarkan embun tercipta selaksa di permukaan kaca jendela. Berharap pandanganku menipuku bahwa hujan telah reda. Namun bunyi curahan air yang beradu dengan genteng kamarku tak bisa membohongiku. Setiap tetesannya adalah harmoni yang membelah hatiku.
Hatiku semakin terbelah saat perputaran jarum jam bergerak dalam ritme syahdu. Ritme yang mengantarkanku pada rasa kecewa. Untunglah semua hanya sesaat saja. Hujan reda dan akupun mencoba kembali mewartakan berita yang sempat tertunda. Sekilas berita tentang rencana yang akan terlaksana walaupun tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya. Sisa-sisa air hujan membimbingku pada keputusan untuk menjemput separuh kehidupanku. Berjanji untuk bersama-sama melepas dahaga kala senja. Dahaga akan sebuah simponi penghibur hati. Dahaga akan sebuah orkestra pengisi jiwa.
Beritapun berbalas dalam sajak berima. Beberapa kata namun sejuta makna tersirat di dalamnya. Hatiku seakan berjingkat dari tempat semestinya. Mendorong sel-sel otakku untuk berpikir tentang arti kata yang terbias. Kesepakatan antara hati dan kaki tak lagi melukai jiwa. Dalam langkah kuhambakan pada sebuah asa untuk bersua.
Sua antara dua raga dalam suka cita saat jarum jam memilih angka lima sebagai persinggahan sementara. Kubuka pintu rumahnya dan kutarik ikatan cinta dengan mesra. Kukaitkan kelima jari tanganku di sela-sela jemari lentiknya. Ayunan langkah kaki yang seiring ayunan jemari menari diantara hamparan rumput yang luas. Kekuatanku mampu menyibakkan kerumunan yang menghadang langkahku dan langkahnya. Membuatnya lebih leluasa membawa sebuah alat musik yang dikalungkannya. Sesekali raga beradu dengan raga lainnya yang menggesek tanpa sengaja. Sampai akhirnya gesekan itu menyadarkan aku kalau ternyata lembaran untuk membeli tiket konser itu tidak berada dibalik jahitan kantong bajuku.
"Maafkan aku sayang, karena kelalaianku aku tidak ingat membawa serta lembaran untuk kita bisa menikmati orkestra penghibur jiwa kita," kataku pelan yang akhirnya menghilang bersama harumnya bau tanah sisa hujan.
Raga disampingku tersenyum dan mempererat genggamannya pada jemariku. Seulas senyum penuh arti layaknya goresan sebuah warna pada bianglala di langit jingga kala senja itu. Aku memahami makna senyuman itu, bahwa tanpa lembaran tanda masuk-pun sebenarnya aku dan dia bisa menyaksikan keindahan sebuah maha karya. Seperti biasanya, di penghujung untaian irama aku dan raga-raga lainnya bisa bebas untuk menyaksikan lantunan notasi dalam sebuah melodi.
Waktu yang bersahabat membuatku bisa melewati padang rumput serupa lapangan bola dan ilalang serta perdu yang tumbuh diantaranya. Aku segera mengambil tempat dimana seharusnya aku berada. Di sebuah pokok pohon mahoni yang banyak tumbuh disana, di tepi perigi pinggir desa. Aku melepaskan jemariku dari sela-sela jemari lentiknya. Dengan serta merta jemari lentiknya memainkan alat musik pukul berupa gendang kecil yang sejak tadi dikalungkannya. Irama tercipta dari pukulan-pukulan berirama membangunkan penghuni perigi.
Penghuni perigi bersahutan berlagu dendang seirama lantunan gendang. Sebuah konser maha karya yang Kuasa-pun tercipta seketika. Aku dan penikmat tembang lainnya bergoyang seirama desir angin yang berhembus melankolis. Aku yang hanya ditemani semak dan perdu tepian perigi begitu menikmati konser hujan kala senja. Perpaduan alami antara dendang katak selepas hujan diiringi tabuhan gendang oleh Billy, monyet mungilku yang berjari lentik dan biasa aku ajak untuk bermain topeng monyet. Dan konser hujan itu telah berhasil membiusku. Membiusku dalam sebuah pesona yang mampu membuatku lupa bahwa aku tidak memiliki cukup biaya untuk bisa menyaksikan konser maha karya seorang pekerja seni suara tingkat dunia.
http://bianglalakata.wordpress.com
Hujan membebat raga dalam seutas tali keputusasaan. Memupuskan rencana yang perlahan sirna bersama asa yang hampir di titik musnah. Bola mataku menari bersama lengkingan hujan yang tak kunjung usai. Membasahi bumi namun tak bisa membasahi kantong bajuku yang tetap saja kering kerontang.
Kerontang yang membuat hasrat menyiar kabar tentang pembatalan tak kunjung sampai. Entah apa yang menjebak kabar itu. Yang aku tahu, aku hanya bisa membaca sebuah kata, ditunda. Kupaksakan untuk menjalin persahabatan dengan rinai hujan, tapi ternyata hati tak bisa dipaksakan. Hanya satu kata, batal.
"Wahai hujan, aku mohon sisakan waktu bagiku untuk sekedar menyiar kabar," ratapku dalam hati.
Hujan tak juga bergeming dari yang telah digariskan-Nya. Tetap setia merajut butiran-butirannya untuk menyelimuti bumi dengan titik-titik air. Akupun sama seperti hujan, tak bergeming sedikitpun dari tempatku menapakkan kaki. Di pinggir jendela, selepas sholat Ashar hari itu. Aku biarkan embun tercipta selaksa di permukaan kaca jendela. Berharap pandanganku menipuku bahwa hujan telah reda. Namun bunyi curahan air yang beradu dengan genteng kamarku tak bisa membohongiku. Setiap tetesannya adalah harmoni yang membelah hatiku.
Hatiku semakin terbelah saat perputaran jarum jam bergerak dalam ritme syahdu. Ritme yang mengantarkanku pada rasa kecewa. Untunglah semua hanya sesaat saja. Hujan reda dan akupun mencoba kembali mewartakan berita yang sempat tertunda. Sekilas berita tentang rencana yang akan terlaksana walaupun tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya. Sisa-sisa air hujan membimbingku pada keputusan untuk menjemput separuh kehidupanku. Berjanji untuk bersama-sama melepas dahaga kala senja. Dahaga akan sebuah simponi penghibur hati. Dahaga akan sebuah orkestra pengisi jiwa.
Beritapun berbalas dalam sajak berima. Beberapa kata namun sejuta makna tersirat di dalamnya. Hatiku seakan berjingkat dari tempat semestinya. Mendorong sel-sel otakku untuk berpikir tentang arti kata yang terbias. Kesepakatan antara hati dan kaki tak lagi melukai jiwa. Dalam langkah kuhambakan pada sebuah asa untuk bersua.
Sua antara dua raga dalam suka cita saat jarum jam memilih angka lima sebagai persinggahan sementara. Kubuka pintu rumahnya dan kutarik ikatan cinta dengan mesra. Kukaitkan kelima jari tanganku di sela-sela jemari lentiknya. Ayunan langkah kaki yang seiring ayunan jemari menari diantara hamparan rumput yang luas. Kekuatanku mampu menyibakkan kerumunan yang menghadang langkahku dan langkahnya. Membuatnya lebih leluasa membawa sebuah alat musik yang dikalungkannya. Sesekali raga beradu dengan raga lainnya yang menggesek tanpa sengaja. Sampai akhirnya gesekan itu menyadarkan aku kalau ternyata lembaran untuk membeli tiket konser itu tidak berada dibalik jahitan kantong bajuku.
"Maafkan aku sayang, karena kelalaianku aku tidak ingat membawa serta lembaran untuk kita bisa menikmati orkestra penghibur jiwa kita," kataku pelan yang akhirnya menghilang bersama harumnya bau tanah sisa hujan.
Raga disampingku tersenyum dan mempererat genggamannya pada jemariku. Seulas senyum penuh arti layaknya goresan sebuah warna pada bianglala di langit jingga kala senja itu. Aku memahami makna senyuman itu, bahwa tanpa lembaran tanda masuk-pun sebenarnya aku dan dia bisa menyaksikan keindahan sebuah maha karya. Seperti biasanya, di penghujung untaian irama aku dan raga-raga lainnya bisa bebas untuk menyaksikan lantunan notasi dalam sebuah melodi.
Waktu yang bersahabat membuatku bisa melewati padang rumput serupa lapangan bola dan ilalang serta perdu yang tumbuh diantaranya. Aku segera mengambil tempat dimana seharusnya aku berada. Di sebuah pokok pohon mahoni yang banyak tumbuh disana, di tepi perigi pinggir desa. Aku melepaskan jemariku dari sela-sela jemari lentiknya. Dengan serta merta jemari lentiknya memainkan alat musik pukul berupa gendang kecil yang sejak tadi dikalungkannya. Irama tercipta dari pukulan-pukulan berirama membangunkan penghuni perigi.
Penghuni perigi bersahutan berlagu dendang seirama lantunan gendang. Sebuah konser maha karya yang Kuasa-pun tercipta seketika. Aku dan penikmat tembang lainnya bergoyang seirama desir angin yang berhembus melankolis. Aku yang hanya ditemani semak dan perdu tepian perigi begitu menikmati konser hujan kala senja. Perpaduan alami antara dendang katak selepas hujan diiringi tabuhan gendang oleh Billy, monyet mungilku yang berjari lentik dan biasa aku ajak untuk bermain topeng monyet. Dan konser hujan itu telah berhasil membiusku. Membiusku dalam sebuah pesona yang mampu membuatku lupa bahwa aku tidak memiliki cukup biaya untuk bisa menyaksikan konser maha karya seorang pekerja seni suara tingkat dunia.
Penilain Konser yang Salah
Oleh: @brynabudiman
Banyak konser yang telah kudatangi, pernah kutontoni artis dari Cina, Indonesia, maupun Kanada, yakni Jay Chou, Ahmad Dani dan Switchfoot. Semua
seakan-akan runtutan peristiwa euphoria dimana penonton bersorak-sorai, meloncat, melambaikan tangan. Semua pusat perhatian hanya kepada penyanyi,
Konser itu menyenangkan, apalagi kalau artis-artisnya terkenal. Tapi apakah kalian berpikir bahwa konser musikal klasik juga bisa sama menyenangkannya?
Bahwa konser klasik bisa lebih dalam artinya, bahwa konser klasik membawa kita ke dalam realm yang berbeda. Cukup introduksinya , sekarang menuju cerita,
mengapa aku bisa terpana terhadap musik klasik.
Orang-orang pernah memberitahuku bahwa musik klasik dapat membuat seseorang pintar. Di majalah-majalah juga dijelaskan variasi melodi dan tempo yang membuat
klasik berbeda dari musik lainnya, bahwa otak kita ditantang untuk mendengar variasinya dan berkembang. Kukira semua itu hanya omong kosong, kukira klasik itu
membosankan. Lebih baik kuhabiskan waktu ke musik jazz, pop, rnb ato alternative rock. Semua berubah sejak ketidaksengajaan membeli tiket Beethoven Easter yang diadakan
di Aula Simfona Jakarta. Tadinya mau kubeli tiket Justin Bieber, tapi karena habis, daripada bosan di rumah, kutonton saja. Kuajak teman-temanku, mereka tidak tertarik, jadi
aku pun pergi sendiri.
Jalan ke Kemayoran tidak macet, lampu-lampu Jakarta yang membuat ia dicerminkan sebagai si "Metropolitan", gedung-gedung tinggi, kulalui dengan cepat, sebentar lagi konser dimulai.
Kumasuki gedung, memberi karcis, masuk dan duduk di bangku merah. Tempat duduknya sederhana, dengan bahan bewarna merah, tetapi alangkah mewah sekitarnya. Lampu kristal
yang turun dari langit-langit, lampu-lampu yang disusun bagaikan kue tart, dan mikrofon kecil yang digantung ke bawah. Gong berbunyi, banyak penonton masuk, sudah waktunya konser dimulai.
Bagian pertama dimulai dengan violinist, dengan mahirnya ia menekan string violin sesuai irama, dimulai dengan lembut, lalu melankoli, lalu lembut lagi, semua diiringi dengan para violinist, dan alat
musik lainnya. Sang konduktur memimpin, lalu dilanjutkan oleh pianist perempuan yang dengan emosi tak terbendung memberi alunan staccato dan diminuendo (semakin mengecil) , sangat kontras
dengan sang violinis, pianis memainkan nada mayor, yang lebih menggembirakan. Semua permainannya diiring oleh violinist, trumpet dan lainnya.
Setelah itu , ada waktu istirahat. Permainan klasikal tadi sungguh menguras pikiranku, capai sekali memikirkan perubahan nada, tapi keahlian mereka membuatku terpana. Asumsiku bahwa klasik itu
membosankan salah. Ternyata, ada perubahan nada yang ditenun untuk menjadi melodi yang indah, bagai warna putih yang terkena sinar, berpisah menjadi fragmen pelangi. Awal yang kukira membosankan
mengalun menjadi pita panjang yang tak ada akhirnya.
Istirahat 15 menit telah berlalu, sekarang saat bagian kedua dimulai. Karena besok Malam Paskah, konser ini lebih menjurus ke Paskah. Ada yang menyanyikan soprano, tenor dan baritone, dibantu dengan
anggota kur yang terdiri dari soprano, alto, tenor dan bass. Soprano merepresentasikan malaikat atau seraphim, tenor itu dianggap sebagai Yesus dan baritone adalah Petrus, murid Yesus. Awalnya dinyanyikan oleh tenor, di mana Yesus bertanya kepada Bapanya di Surga mengapa ia harus mengalami sesuatu hal yang sangat berat. Malaikat menyampaikan pesan BapakNya untuk diriNya, bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan umat manusia adalah dengan mengorbankan darahNya yang suci.Yesus mengiyakan, dan orang-orang yang menyalahkan dan mencemooh Dia karena Dia berkata bahwa Dia adalah Raja, ingin Dia dibunuh. Petrus muridnya tidak terima Yesus disiksa dan berkata bahwa saatnya balas dendam. Yesus menjawab bahwa tugas itu hanya boleh dikerjakan BapakNya, dan kita harus menyayangi orang yang telah menjahati kita. Yesus lalu berkata, bahwa ini saatnya kekuatan iblis dikeluarkan, akan tetapi Ia akan menang dalam nama BapakNya yang ada di surga. Begitulah intisari cerita di mana Tuhan Yesus bergumul dan akhirnya apa yang diketahuiNya terjadi juga.
Saat anggota kur menyanyi, terjadi harmoni. Tanpa konsentrasi, akan susah untuk menyanyikan part sendiri saat part orang lain dinyanyikan bersama dengan partmu. Harmonisasi itu menciptakan suspens, kesedihan, ketidakadilan yang diterima Yesus. Akan tetapi dengan sopran, dinyatakan bahwa akan ada harapan di balik semua itu. Cerita tentang Tuhan Yesus itu tak akan disampaikan dengan baik apabila tidak ada kerjasama antara anggota kur , konduktur, pianist, violinist dan penyanyi. Tanpa keterikatan dan kerenggangan saat berekspresi, demi memuliakan nama Tuhan, pasti hasilnya tidak akan bagus dan maksimal. Maksud bagus adalah dari hati dan hasilnya dapat dipancarkan dan dirasakan oleh penonton.
Selesai konser, kupelajari banyak hal. Bukan hanya saja kesenangan sementara yang penting seperti konser artis lain, konser klasikal ini meninggalkan bekas di hatiku. Bukan hiperbola yang kubicarakan, tetapi kenyataan. Bahwa tulisan dan musik bisa menjadi begitu kuat karena kerjasama dan usaha yang diberikan oleh performer-performer. Di sini kupelajari untuk tidak menilai sesuatu berdasarkan persepsi yang sudah ada di otak, tetapi lebih coba membuka pikiran terhadap berbagai ide-ide di luar dunia. Contohnya, kalau dulu hanya suka musik pop karena musik pop adalah kebanyakan yang masuk "Grammy Awards", sekali-kali cobalah untuk mendengarkan jazz, yang sama enaknya hanya dalam cara yang berbeda. Inti dari konser ini adalah bahwa Tuhan mau kita memaafkan musuh kita, seperti Dia yang juga mengampuni kami , dan kejahatan apa yang pernah orang perbuat kepada dirimu, biarlah Tuhan yang urus.
Karena konser ini, aku belajar banyak pesan tentang hidup. Tentang memberi maaf, tentang membuka pandangan dan mempertambah wawasan, dan yang paling penting keluar dari keterikatan dengan "stereotyping" jenis-jenis musik, orang, agama, suku, bahasa dan bangsa. Karena jikalau kita menghilangkan 'prejudice-prejudice' itu , kita dapat membuat harmoni, dari warna individual dialun dan dijahit menjadi selimut kasih dan menyatukan menjadi sesuatu produk yang indah, sesuatu indah yang direncanakan Tuhan sesuai waktuNya.
Banyak konser yang telah kudatangi, pernah kutontoni artis dari Cina, Indonesia, maupun Kanada, yakni Jay Chou, Ahmad Dani dan Switchfoot. Semua
seakan-akan runtutan peristiwa euphoria dimana penonton bersorak-sorai, meloncat, melambaikan tangan. Semua pusat perhatian hanya kepada penyanyi,
Konser itu menyenangkan, apalagi kalau artis-artisnya terkenal. Tapi apakah kalian berpikir bahwa konser musikal klasik juga bisa sama menyenangkannya?
Bahwa konser klasik bisa lebih dalam artinya, bahwa konser klasik membawa kita ke dalam realm yang berbeda. Cukup introduksinya , sekarang menuju cerita,
mengapa aku bisa terpana terhadap musik klasik.
Orang-orang pernah memberitahuku bahwa musik klasik dapat membuat seseorang pintar. Di majalah-majalah juga dijelaskan variasi melodi dan tempo yang membuat
klasik berbeda dari musik lainnya, bahwa otak kita ditantang untuk mendengar variasinya dan berkembang. Kukira semua itu hanya omong kosong, kukira klasik itu
membosankan. Lebih baik kuhabiskan waktu ke musik jazz, pop, rnb ato alternative rock. Semua berubah sejak ketidaksengajaan membeli tiket Beethoven Easter yang diadakan
di Aula Simfona Jakarta. Tadinya mau kubeli tiket Justin Bieber, tapi karena habis, daripada bosan di rumah, kutonton saja. Kuajak teman-temanku, mereka tidak tertarik, jadi
aku pun pergi sendiri.
Jalan ke Kemayoran tidak macet, lampu-lampu Jakarta yang membuat ia dicerminkan sebagai si "Metropolitan", gedung-gedung tinggi, kulalui dengan cepat, sebentar lagi konser dimulai.
Kumasuki gedung, memberi karcis, masuk dan duduk di bangku merah. Tempat duduknya sederhana, dengan bahan bewarna merah, tetapi alangkah mewah sekitarnya. Lampu kristal
yang turun dari langit-langit, lampu-lampu yang disusun bagaikan kue tart, dan mikrofon kecil yang digantung ke bawah. Gong berbunyi, banyak penonton masuk, sudah waktunya konser dimulai.
Bagian pertama dimulai dengan violinist, dengan mahirnya ia menekan string violin sesuai irama, dimulai dengan lembut, lalu melankoli, lalu lembut lagi, semua diiringi dengan para violinist, dan alat
musik lainnya. Sang konduktur memimpin, lalu dilanjutkan oleh pianist perempuan yang dengan emosi tak terbendung memberi alunan staccato dan diminuendo (semakin mengecil) , sangat kontras
dengan sang violinis, pianis memainkan nada mayor, yang lebih menggembirakan. Semua permainannya diiring oleh violinist, trumpet dan lainnya.
Setelah itu , ada waktu istirahat. Permainan klasikal tadi sungguh menguras pikiranku, capai sekali memikirkan perubahan nada, tapi keahlian mereka membuatku terpana. Asumsiku bahwa klasik itu
membosankan salah. Ternyata, ada perubahan nada yang ditenun untuk menjadi melodi yang indah, bagai warna putih yang terkena sinar, berpisah menjadi fragmen pelangi. Awal yang kukira membosankan
mengalun menjadi pita panjang yang tak ada akhirnya.
Istirahat 15 menit telah berlalu, sekarang saat bagian kedua dimulai. Karena besok Malam Paskah, konser ini lebih menjurus ke Paskah. Ada yang menyanyikan soprano, tenor dan baritone, dibantu dengan
anggota kur yang terdiri dari soprano, alto, tenor dan bass. Soprano merepresentasikan malaikat atau seraphim, tenor itu dianggap sebagai Yesus dan baritone adalah Petrus, murid Yesus. Awalnya dinyanyikan oleh tenor, di mana Yesus bertanya kepada Bapanya di Surga mengapa ia harus mengalami sesuatu hal yang sangat berat. Malaikat menyampaikan pesan BapakNya untuk diriNya, bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan umat manusia adalah dengan mengorbankan darahNya yang suci.Yesus mengiyakan, dan orang-orang yang menyalahkan dan mencemooh Dia karena Dia berkata bahwa Dia adalah Raja, ingin Dia dibunuh. Petrus muridnya tidak terima Yesus disiksa dan berkata bahwa saatnya balas dendam. Yesus menjawab bahwa tugas itu hanya boleh dikerjakan BapakNya, dan kita harus menyayangi orang yang telah menjahati kita. Yesus lalu berkata, bahwa ini saatnya kekuatan iblis dikeluarkan, akan tetapi Ia akan menang dalam nama BapakNya yang ada di surga. Begitulah intisari cerita di mana Tuhan Yesus bergumul dan akhirnya apa yang diketahuiNya terjadi juga.
Saat anggota kur menyanyi, terjadi harmoni. Tanpa konsentrasi, akan susah untuk menyanyikan part sendiri saat part orang lain dinyanyikan bersama dengan partmu. Harmonisasi itu menciptakan suspens, kesedihan, ketidakadilan yang diterima Yesus. Akan tetapi dengan sopran, dinyatakan bahwa akan ada harapan di balik semua itu. Cerita tentang Tuhan Yesus itu tak akan disampaikan dengan baik apabila tidak ada kerjasama antara anggota kur , konduktur, pianist, violinist dan penyanyi. Tanpa keterikatan dan kerenggangan saat berekspresi, demi memuliakan nama Tuhan, pasti hasilnya tidak akan bagus dan maksimal. Maksud bagus adalah dari hati dan hasilnya dapat dipancarkan dan dirasakan oleh penonton.
Selesai konser, kupelajari banyak hal. Bukan hanya saja kesenangan sementara yang penting seperti konser artis lain, konser klasikal ini meninggalkan bekas di hatiku. Bukan hiperbola yang kubicarakan, tetapi kenyataan. Bahwa tulisan dan musik bisa menjadi begitu kuat karena kerjasama dan usaha yang diberikan oleh performer-performer. Di sini kupelajari untuk tidak menilai sesuatu berdasarkan persepsi yang sudah ada di otak, tetapi lebih coba membuka pikiran terhadap berbagai ide-ide di luar dunia. Contohnya, kalau dulu hanya suka musik pop karena musik pop adalah kebanyakan yang masuk "Grammy Awards", sekali-kali cobalah untuk mendengarkan jazz, yang sama enaknya hanya dalam cara yang berbeda. Inti dari konser ini adalah bahwa Tuhan mau kita memaafkan musuh kita, seperti Dia yang juga mengampuni kami , dan kejahatan apa yang pernah orang perbuat kepada dirimu, biarlah Tuhan yang urus.
Karena konser ini, aku belajar banyak pesan tentang hidup. Tentang memberi maaf, tentang membuka pandangan dan mempertambah wawasan, dan yang paling penting keluar dari keterikatan dengan "stereotyping" jenis-jenis musik, orang, agama, suku, bahasa dan bangsa. Karena jikalau kita menghilangkan 'prejudice-prejudice' itu , kita dapat membuat harmoni, dari warna individual dialun dan dijahit menjadi selimut kasih dan menyatukan menjadi sesuatu produk yang indah, sesuatu indah yang direncanakan Tuhan sesuai waktuNya.
Seruling Bambu
Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com
"Pasti! Pasti aku akan menginjak-injak batang lehernya tepat di gerbang ini!"
*****
Emak masih saja tertawa geli sambil sesekali menggigit-gigit bibirnya. Mungkin agar tak terlalu terbahak-bahak. Sesekali ia bahkan mengusap sudut-sudut matanya yang berair. Entah karena mengiris bawang atau karena tertawanya itu, yang jelas aku merasa tersinggung sekali.
"Sudah ah Mak, ndak ada yang lucu," gerutu Maman sambil menggerak-gerakkan kayu di tungku.
Tapi Emak malah berdiri dan bergegas menuju kali sambil masih menahan tawa. Dengan jengkel Maman memasukkan kayu ke dalam tungku, melangkah menuju kamar dan membiarkan rebusan singkong itu menggelegak.
Di kamar, giliran Maman yang senyam-senyum sendiri sambil menggenggam seruling bambunya. "Ah, Mas Maman gantengnya." Ia mulai membayangkan bagaimana Sari -pujaan hatinya- menyambutnya nanti malam. Begitupun esok teman-temannya yang tak akan meledeknya lagi dengan julukan si raja dangdut.
"Hahaha!! Eladalah kamu ini kok mau nonton musik rock, ya ndak pantes lah, hahaha..." Tiba-tiba ledekan emaknya tadi membuyarkan lamunannya.
*****
"Udah siap?"
"S..sudah."
"Eh, bentar ya, kita nanti bareng teman-temanku ya, naik mobil mereka, ndak apa-apa kan?"
Maman mengangguk pelan, sementara Sari dengan cepat masuk ke dalam rumah dan mengambil telfon genggamnya.
Setelah dibiarkan mematung belasan menit di depan pintu, Sari berhambur keluar, itu pun karena menyambut deru mobil di halaman. Saking kencang larinya, parfum yang telah disemprotkan ke tubuh rampingnya berhamburan ke udara. Wanginya membuat Maman menarik nafas begitu panjang, begitu dalam.
*****
"Kamu yakin dia ini temanmu Sar?" seorang pemuda menoleh kepada Sari lalu kembali melempar pandangan keluar kaca di depan setirnya.
"Ih! Iyalah Jon. Mas Maman ini teman mainku dari SD. Asik orangnya kayak kamu, tuh lihat warna kemeja sama kaosmu aja samaan." Sari meledek sambil memegangi lengan pemuda yang ia panggil Jon itu.
Di kursi belakang, Maman duduk mengkerut, mengusap-usap kemeja biru tipisnya lalu mengelus rambutnya yang begitu lengket oleh minyak rambut. Kedua teman Jon di sampingnya (seorang laki-laki dan perempuan) tampak meliriknya dengan tatapan jijik.
"Tapi sepertinya ia cukup kuat buat nyobain bubuk-bubuk kita Jon." Kata yang lelaki di sebelah Maman.
"Hush!" Jon melirik tajam.
"Bubuk? Apa itu Jon?" Sari penasaran.
"Ah, bukan apa-apa. Oh ya, beruntung sekali kita kedatangan mereka ya, band besar menggung di kota kecil, huufft...."
*****
"Itu dia Bos!"
Segerombolan lelaki bertubuh kekar keluar dari sebuah warung. Seseorang diantara terlihat tertinggal masuk kerumunan karena menyempatkan menenggak habis cairan di botolnya.
"Kita menyebar lalu pepet dia. Buat serapi mungkin agar tak mencolok."
Suara musik band pembuka sudah memecah udara stadion. Penonton yang mengantri di pintu masuk makin berdesak-desakan. Sari berjalan sambil menggelayut di tangan Jon. Maman kelabakan sendiri karena tak pernah berada dalam suasana yang ramai dan sepadat ini. Dalam hatinya mulai timbul penyesalan.
*****
"Biru!" Sebuah bisikan di telinga.
"Ayo, biar dia tau rasa, sudah pakai barang kita tapi menjebak bos kita sampai dipenjara." Dua tangan mengepal penuh kesal.
Suasana begitu ramai, sesak dan menjadi remang dalam kerumunan. Sekitar sepuluh orang mulai mengumpul pada satu titik. Sari dan Jon berhasil menerobos kerumunan dan masuk stadion. Maman tertinggal dan tiba-tiba serangkaian tangan menjatuhkannya, dilanjutkan hentakan kaki bertubi-tubi.
******
Malam begitu kelam. Awan-awan hitam berarak menutup wajah bulan, seperti tangan seorang ibu yang menutup wajah putranya dari pemandangan yang begitu menyeramkan. Angin begitu dingin seperti membawa ribuan jarum yang menusuk tulang. Tak hanya jarum, angin malam itu selaksa ratusan kuda tunggangan yang menyebar ke penjuru kampung, membawa alun suara seruling dengan nada-nada yang begitu pilu. Suara seruling bambu yang ditiup tepat di samping gundukan baru, tanah pekuburan di ujung kampung.
Siapa sangka, tawa Emak kemarin siang adalah tawa untuk terkahir kalinya pada putra semata wayangnya.
www.punaimerindu.blogspot.com
"Pasti! Pasti aku akan menginjak-injak batang lehernya tepat di gerbang ini!"
*****
Emak masih saja tertawa geli sambil sesekali menggigit-gigit bibirnya. Mungkin agar tak terlalu terbahak-bahak. Sesekali ia bahkan mengusap sudut-sudut matanya yang berair. Entah karena mengiris bawang atau karena tertawanya itu, yang jelas aku merasa tersinggung sekali.
"Sudah ah Mak, ndak ada yang lucu," gerutu Maman sambil menggerak-gerakkan kayu di tungku.
Tapi Emak malah berdiri dan bergegas menuju kali sambil masih menahan tawa. Dengan jengkel Maman memasukkan kayu ke dalam tungku, melangkah menuju kamar dan membiarkan rebusan singkong itu menggelegak.
Di kamar, giliran Maman yang senyam-senyum sendiri sambil menggenggam seruling bambunya. "Ah, Mas Maman gantengnya." Ia mulai membayangkan bagaimana Sari -pujaan hatinya- menyambutnya nanti malam. Begitupun esok teman-temannya yang tak akan meledeknya lagi dengan julukan si raja dangdut.
"Hahaha!! Eladalah kamu ini kok mau nonton musik rock, ya ndak pantes lah, hahaha..." Tiba-tiba ledekan emaknya tadi membuyarkan lamunannya.
*****
"Udah siap?"
"S..sudah."
"Eh, bentar ya, kita nanti bareng teman-temanku ya, naik mobil mereka, ndak apa-apa kan?"
Maman mengangguk pelan, sementara Sari dengan cepat masuk ke dalam rumah dan mengambil telfon genggamnya.
Setelah dibiarkan mematung belasan menit di depan pintu, Sari berhambur keluar, itu pun karena menyambut deru mobil di halaman. Saking kencang larinya, parfum yang telah disemprotkan ke tubuh rampingnya berhamburan ke udara. Wanginya membuat Maman menarik nafas begitu panjang, begitu dalam.
*****
"Kamu yakin dia ini temanmu Sar?" seorang pemuda menoleh kepada Sari lalu kembali melempar pandangan keluar kaca di depan setirnya.
"Ih! Iyalah Jon. Mas Maman ini teman mainku dari SD. Asik orangnya kayak kamu, tuh lihat warna kemeja sama kaosmu aja samaan." Sari meledek sambil memegangi lengan pemuda yang ia panggil Jon itu.
Di kursi belakang, Maman duduk mengkerut, mengusap-usap kemeja biru tipisnya lalu mengelus rambutnya yang begitu lengket oleh minyak rambut. Kedua teman Jon di sampingnya (seorang laki-laki dan perempuan) tampak meliriknya dengan tatapan jijik.
"Tapi sepertinya ia cukup kuat buat nyobain bubuk-bubuk kita Jon." Kata yang lelaki di sebelah Maman.
"Hush!" Jon melirik tajam.
"Bubuk? Apa itu Jon?" Sari penasaran.
"Ah, bukan apa-apa. Oh ya, beruntung sekali kita kedatangan mereka ya, band besar menggung di kota kecil, huufft...."
*****
"Itu dia Bos!"
Segerombolan lelaki bertubuh kekar keluar dari sebuah warung. Seseorang diantara terlihat tertinggal masuk kerumunan karena menyempatkan menenggak habis cairan di botolnya.
"Kita menyebar lalu pepet dia. Buat serapi mungkin agar tak mencolok."
Suara musik band pembuka sudah memecah udara stadion. Penonton yang mengantri di pintu masuk makin berdesak-desakan. Sari berjalan sambil menggelayut di tangan Jon. Maman kelabakan sendiri karena tak pernah berada dalam suasana yang ramai dan sepadat ini. Dalam hatinya mulai timbul penyesalan.
*****
"Biru!" Sebuah bisikan di telinga.
"Ayo, biar dia tau rasa, sudah pakai barang kita tapi menjebak bos kita sampai dipenjara." Dua tangan mengepal penuh kesal.
Suasana begitu ramai, sesak dan menjadi remang dalam kerumunan. Sekitar sepuluh orang mulai mengumpul pada satu titik. Sari dan Jon berhasil menerobos kerumunan dan masuk stadion. Maman tertinggal dan tiba-tiba serangkaian tangan menjatuhkannya, dilanjutkan hentakan kaki bertubi-tubi.
******
Malam begitu kelam. Awan-awan hitam berarak menutup wajah bulan, seperti tangan seorang ibu yang menutup wajah putranya dari pemandangan yang begitu menyeramkan. Angin begitu dingin seperti membawa ribuan jarum yang menusuk tulang. Tak hanya jarum, angin malam itu selaksa ratusan kuda tunggangan yang menyebar ke penjuru kampung, membawa alun suara seruling dengan nada-nada yang begitu pilu. Suara seruling bambu yang ditiup tepat di samping gundukan baru, tanah pekuburan di ujung kampung.
Siapa sangka, tawa Emak kemarin siang adalah tawa untuk terkahir kalinya pada putra semata wayangnya.
Terganggu
Oleh: Eunike Gloria
“Kan kuberikancintaku..Semuasetulushatiku..”
Lagukesukaankudinyanyikanoleh sang vokalis. Akutersenyumsenangmelihat band kesayangankutampildenganperforma yang sangatbagus.Panggung yang sangattinggiinitidakmenghalangikuuntukterusmenikmatialunanmusiknya.
“Saatkaumilikku…. “
Akumendengarsuaravokalisditambahsuaraseorangpria yang berdiridibelakangku.Fales.
Akumenggesertubuhkusedikitmenjauhinya.Jangansampaitelingakuterganggugara-garasuarasumbangnya.Aku pun kembalimelemparkanpandangankukearahpanggung.Ini dia. Jam session.Akumenggerakkankakikumengikutiirama yang dimainkan.
“Ku lebihindahdarinya..Andaikaumilikku…”
Suaraitulagi.Akumenengokkebelakang.Orang yang samadengansenyumtengil yang menyebalkan.
“Lo suka BLP juga?”
Akumenolehdarimanaasalpertanyaanitu.Priaitutersenyumdanmatanyamasihmenghadapkepanggung.Akumasihbertanya-tanya, untuksiapapertanyaanitudiajukan.
“Saya?” tanyakupadapriaitu.
“Iya. Siapalagi,”
Diamenjawabsambiltetaptersenyumdanmatanyamasihmenghadappanggung.
“Lumayan. Kalonggaksuka, sayanggakdisini,”
Aku pun mendengusagakkesal.Tujuankudatangsendiriankekonserinigagal.Akuinginmenikmatikonsersendiriantanpaadagangguansiapapun.Tapikenapaharusdiganggudengansuarasumbangdanpertanyaanbasabasipriaini?
“Guesukalaguini. Lo?”
Pertanyaanlagi. Haduh, bisanggaksihdiemsebentar. Ending laguinitubiasanyapenuhkejutan. Janganganggukonsentrasiku.
Akuhanyamenganggukmalas.Posisikumasihdidepannyadanakumasihbisamendengarsuarasumbangnya.Aku pun kembalimenggeserposisiberdiriku.Mencaritempat yang lebihnyamansampaiakhirnyaakubenar-benarbisamenikmati ending laguini.
“WOOHOO!!!!!”Akuberteriakkerasbegitulaguiniselesaidiikutidengankataterakhirdari sang bassist. Akumasihmerasakurangpuas, padahalsudahhampir 2 jam lebihakuberdiri. Untungsaja, priataditidakmengikutiku.Bisahancurkesenangankukalau nada terakhirikutianyanyikan.
Aku pun melangkahkeluarbersamasebagianbesarpenontondilapangan.Tiba-tibalangkahkuterhenti.Sebuahtanganmenggenggamtanganku.
“Lo pulangsendiri?”
Priaitulagi.Kenaljugaenggak, kenapaberanipegang-pegang.Aku pun melepasgenggamannyadengankasar.
“Iya. Maaf, sayaduluan,”
Akumempercepatlangkahkudansialnyatalisepatukuterinjak.
Brruuukk!!
Aaauu. Lantainyalumayankerasjuga.Sambilmenahanmalu, akusegeramembangkitkantubuhkudandengancepatmembetulkantalisepatuku.Aku pun bersiapuntukmelangkahlagitapilagi-lagiterhenti.
“Lo nggak papa?”
Dialagi. Tuhan, kenapasihharusmalamini?Akulaginggakmaukenalansamaorang. Akulaginggakmausenyumbasa-basisamaorangasing.
“Nggak papa kok. Thanks. Bye.”
Akukembalimenghindardenganlebihhati-hati.Jangansampaijatuhlagi.Dengancepatakumengambil motor diparkirandanakhirnyaberhasilpulangkerumahdenganselamattanpaharusberkenalandenganoranganeh.
3 bulankemudian..
“Tuhan, ajar kumengerti..Apa yang tertulisuntukku, kaumemangterciptabukanuntukku…”
Akumemejamkanmatakumendengaralunanlaguini.Lagi-lagiakurelamenyaksikankonser band inisendiriandantentusajaakusangatmenikmati.
“Cintaabadi…”
Tunggu!!Akumendengarsuarasumbanglagi.Tuhan, jangansampaiperkiraankubenar.Akumenoleh. SIAL!!!!
Priatengildikonser band yang samabeberapabulan yang lalu.
Tanpaberpikirdua kali, akulangsungmenghindarsejauh-jauhnya.Jangansampaiadakesempatandiamengajakkubicara.Akubenar-benarcukuptergangguwaktuitu.
“Slalumemanggilnamamu…”
Akumenolehkanankiribelakang, memastikandiatidaklagiberadadidekatku.Fokus, fokus, fokus.Jangansampaikonser BLP malaminiterganggugara-garasosokprianggakjelas.Akumenariknafaspanjang.
“Ceritacintakudengannya, hanyalahsepenggalmasaindah…”
TIDAK!!!!Suaraituadalagi.Akumenarikrambutkudengan rasa depresi.Akumenolehkebelakang.
“Hai, kitaketemulagi,”
Senyumnyamenyebalkan. Akuhanyamemandangnyadenganpenuhkekesalan.
“Kamungikutinsayaya?”
Tanpabasa-basiakulangsungbertanya.Akucukupterganggudengankehadirannya.
“Hah?!Guekancumannonton BLP,”
Jawabnyamasihdengansenyummenyebalkan. Ok, ok. Semuaorangmemangberhaknonton, tapikhususuntukorangsatuiniakukeberatan.Akumenolakuntukmeresponjawabannya.Akumemasukkankeduatangankukedalamkantonghoodiesambilmencobamengarahkanperhatiankukembalikepanggung.
“Namague Alfa. Lo lucu. Bolehkenalannggak?”
Akuhanyamendengus.Akusudahmemperkirakankalauhal-hal absurd sepertiinibisasajaterjadi.Akulangsungmeninggalkantempatsesegeramungkin.Biarlahsatukonserterlewatkanasalakutidakberhadapandenganoranganeh.Akuberlarikecildanmeninggalkanpriabernama Alfa itutanpajawaban.Selama 2 tahunakumenontonkonser, belumpernahakumenemuikejadianinidanjujur, menyebalkan.
“Ok, teman-teman, cukupyagalau-galauannya,”
Kata-kata sang bassist terdengarjauhdibelakangku. Akuterhentisejenakdanmenoleh.Masihmenyanyangkankonseryang masihberlangsungdidepansana. Hei Alfa atausiapapunnamamu, jangansampaidikonserberikutnyaakubertemudenganmu!!
“Kan kuberikancintaku..Semuasetulushatiku..”
Lagukesukaankudinyanyikanoleh sang vokalis. Akutersenyumsenangmelihat band kesayangankutampildenganperforma yang sangatbagus.Panggung yang sangattinggiinitidakmenghalangikuuntukterusmenikmatialunanmusiknya.
“Saatkaumilikku…. “
Akumendengarsuaravokalisditambahsuaraseorangpria yang berdiridibelakangku.Fales.
Akumenggesertubuhkusedikitmenjauhinya.Jangansampaitelingakuterganggugara-garasuarasumbangnya.Aku pun kembalimelemparkanpandangankukearahpanggung.Ini dia. Jam session.Akumenggerakkankakikumengikutiirama yang dimainkan.
“Ku lebihindahdarinya..Andaikaumilikku…”
Suaraitulagi.Akumenengokkebelakang.Orang yang samadengansenyumtengil yang menyebalkan.
“Lo suka BLP juga?”
Akumenolehdarimanaasalpertanyaanitu.Priaitutersenyumdanmatanyamasihmenghadapkepanggung.Akumasihbertanya-tanya, untuksiapapertanyaanitudiajukan.
“Saya?” tanyakupadapriaitu.
“Iya. Siapalagi,”
Diamenjawabsambiltetaptersenyumdanmatanyamasihmenghadappanggung.
“Lumayan. Kalonggaksuka, sayanggakdisini,”
Aku pun mendengusagakkesal.Tujuankudatangsendiriankekonserinigagal.Akuinginmenikmatikonsersendiriantanpaadagangguansiapapun.Tapikenapaharusdiganggudengansuarasumbangdanpertanyaanbasabasipriaini?
“Guesukalaguini. Lo?”
Pertanyaanlagi. Haduh, bisanggaksihdiemsebentar. Ending laguinitubiasanyapenuhkejutan. Janganganggukonsentrasiku.
Akuhanyamenganggukmalas.Posisikumasihdidepannyadanakumasihbisamendengarsuarasumbangnya.Aku pun kembalimenggeserposisiberdiriku.Mencaritempat yang lebihnyamansampaiakhirnyaakubenar-benarbisamenikmati ending laguini.
“WOOHOO!!!!!”Akuberteriakkerasbegitulaguiniselesaidiikutidengankataterakhirdari sang bassist. Akumasihmerasakurangpuas, padahalsudahhampir 2 jam lebihakuberdiri. Untungsaja, priataditidakmengikutiku.Bisahancurkesenangankukalau nada terakhirikutianyanyikan.
Aku pun melangkahkeluarbersamasebagianbesarpenontondilapangan.Tiba-tibalangkahkuterhenti.Sebuahtanganmenggenggamtanganku.
“Lo pulangsendiri?”
Priaitulagi.Kenaljugaenggak, kenapaberanipegang-pegang.Aku pun melepasgenggamannyadengankasar.
“Iya. Maaf, sayaduluan,”
Akumempercepatlangkahkudansialnyatalisepatukuterinjak.
Brruuukk!!
Aaauu. Lantainyalumayankerasjuga.Sambilmenahanmalu, akusegeramembangkitkantubuhkudandengancepatmembetulkantalisepatuku.Aku pun bersiapuntukmelangkahlagitapilagi-lagiterhenti.
“Lo nggak papa?”
Dialagi. Tuhan, kenapasihharusmalamini?Akulaginggakmaukenalansamaorang. Akulaginggakmausenyumbasa-basisamaorangasing.
“Nggak papa kok. Thanks. Bye.”
Akukembalimenghindardenganlebihhati-hati.Jangansampaijatuhlagi.Dengancepatakumengambil motor diparkirandanakhirnyaberhasilpulangkerumahdenganselamattanpaharusberkenalandenganoranganeh.
3 bulankemudian..
“Tuhan, ajar kumengerti..Apa yang tertulisuntukku, kaumemangterciptabukanuntukku…”
Akumemejamkanmatakumendengaralunanlaguini.Lagi-lagiakurelamenyaksikankonser band inisendiriandantentusajaakusangatmenikmati.
“Cintaabadi…”
Tunggu!!Akumendengarsuarasumbanglagi.Tuhan, jangansampaiperkiraankubenar.Akumenoleh. SIAL!!!!
Priatengildikonser band yang samabeberapabulan yang lalu.
Tanpaberpikirdua kali, akulangsungmenghindarsejauh-jauhnya.Jangansampaiadakesempatandiamengajakkubicara.Akubenar-benarcukuptergangguwaktuitu.
“Slalumemanggilnamamu…”
Akumenolehkanankiribelakang, memastikandiatidaklagiberadadidekatku.Fokus, fokus, fokus.Jangansampaikonser BLP malaminiterganggugara-garasosokprianggakjelas.Akumenariknafaspanjang.
“Ceritacintakudengannya, hanyalahsepenggalmasaindah…”
TIDAK!!!!Suaraituadalagi.Akumenarikrambutkudengan rasa depresi.Akumenolehkebelakang.
“Hai, kitaketemulagi,”
Senyumnyamenyebalkan. Akuhanyamemandangnyadenganpenuhkekesalan.
“Kamungikutinsayaya?”
Tanpabasa-basiakulangsungbertanya.Akucukupterganggudengankehadirannya.
“Hah?!Guekancumannonton BLP,”
Jawabnyamasihdengansenyummenyebalkan. Ok, ok. Semuaorangmemangberhaknonton, tapikhususuntukorangsatuiniakukeberatan.Akumenolakuntukmeresponjawabannya.Akumemasukkankeduatangankukedalamkantonghoodiesambilmencobamengarahkanperhatiankukembalikepanggung.
“Namague Alfa. Lo lucu. Bolehkenalannggak?”
Akuhanyamendengus.Akusudahmemperkirakankalauhal-hal absurd sepertiinibisasajaterjadi.Akulangsungmeninggalkantempatsesegeramungkin.Biarlahsatukonserterlewatkanasalakutidakberhadapandenganoranganeh.Akuberlarikecildanmeninggalkanpriabernama Alfa itutanpajawaban.Selama 2 tahunakumenontonkonser, belumpernahakumenemuikejadianinidanjujur, menyebalkan.
“Ok, teman-teman, cukupyagalau-galauannya,”
Kata-kata sang bassist terdengarjauhdibelakangku. Akuterhentisejenakdanmenoleh.Masihmenyanyangkankonseryang masihberlangsungdidepansana. Hei Alfa atausiapapunnamamu, jangansampaidikonserberikutnyaakubertemudenganmu!!
A Little Reflection
Oleh: @larissayuanita
larissayuanita.blogspot.com
Jari-jari lentik seorang pianis menari diatas benda hitam dan putih tanpa halangan. Setiap sentuhan yang diberikan olehnya memberikan ketenangan hati. Rangkaian melodi yang dibawakannya menceritakan tentang seorang gadis kecil yang sedang menangis di tengah derasnya hujan. Juga disertai oleh angin yang seolah tak mengerti apa yang sedang dialami oleh gadis kecil itu. Aku ikut hanyut dalam rangkaian melodi yang dibawakan pianis itu. Aku berjalan di tengah hujan deras itu sambil menangis memikirkan hidup yang terlalu rumit untuk dijalankan ini. Aku sedang kabur dari semua masalahku, aku kabur dari rumah. Lalu aku bertemu gadis kecil itu. Gadis kecil itu sangat polos, tak berdosa. Di wajahnya terpajang senyuman yang terlihat tulus dari dalam hati. Dia menyapaku dan bertanya : “Bukan karena sedang hujan, aku tak bisa melihat kau sedang menangis.” Aku tercengang dan bertanya:”Darimana kau tau?.” “Aku melihat saja dari wajahmu yang agak pucat. Jalani saja hidup ini apa adanya,Kak. Jangan takut melihat masa depan dan jangan lari dari masalahmu. Hadapilah masalahmu itu! Kelak kakak akan bangkit dan belajar dari kesalahan kakak”. Aku menutup mataku dan menangis lebih kencang.
Saat aku membuka mataku lagi, sosok gadis kecil itu sudah lenyap dari penglihatanku. Dan suara tepuk tangan para penggemar pianis itu terdengar begitu ramai. Aku baru sadar kalau aku terlalu menghayati lagu itu, walau lagu itu hanya dibawakan kurang dari 5 menit. Lagu itu berjudul “A little Reflection”. Lagu ini merupakan penutup dari konser ini. Rangkaian melodi yang begitu sederhana, bisa ia ciptakan menjadi sesuatu yang luar biasa. Rasa kagum ku terhadapnya membuat aku ingin belajar untuk bermain piano.
Seminggu setelah konser itu berlangsung, aku langsung mendaftarkan diriku ke salah satu sekolah musik di Jakarta, Relasi. Dan dalam 8 bulan kedepan, aku sudah bisa untuk mengikuti konser. Aku menciptakan sebuah lagu yang berjudul, A Girl With A Million Dream To Reach. Dimana lagu itu menceritakan seorang gadis kecil yang miskin, tapi memiliki berjuta-juta impian. Dan karena kerja kerasnya, mimpinya satu persatu bisa terpenuhi.
larissayuanita.blogspot.com
Jari-jari lentik seorang pianis menari diatas benda hitam dan putih tanpa halangan. Setiap sentuhan yang diberikan olehnya memberikan ketenangan hati. Rangkaian melodi yang dibawakannya menceritakan tentang seorang gadis kecil yang sedang menangis di tengah derasnya hujan. Juga disertai oleh angin yang seolah tak mengerti apa yang sedang dialami oleh gadis kecil itu. Aku ikut hanyut dalam rangkaian melodi yang dibawakan pianis itu. Aku berjalan di tengah hujan deras itu sambil menangis memikirkan hidup yang terlalu rumit untuk dijalankan ini. Aku sedang kabur dari semua masalahku, aku kabur dari rumah. Lalu aku bertemu gadis kecil itu. Gadis kecil itu sangat polos, tak berdosa. Di wajahnya terpajang senyuman yang terlihat tulus dari dalam hati. Dia menyapaku dan bertanya : “Bukan karena sedang hujan, aku tak bisa melihat kau sedang menangis.” Aku tercengang dan bertanya:”Darimana kau tau?.” “Aku melihat saja dari wajahmu yang agak pucat. Jalani saja hidup ini apa adanya,Kak. Jangan takut melihat masa depan dan jangan lari dari masalahmu. Hadapilah masalahmu itu! Kelak kakak akan bangkit dan belajar dari kesalahan kakak”. Aku menutup mataku dan menangis lebih kencang.
Saat aku membuka mataku lagi, sosok gadis kecil itu sudah lenyap dari penglihatanku. Dan suara tepuk tangan para penggemar pianis itu terdengar begitu ramai. Aku baru sadar kalau aku terlalu menghayati lagu itu, walau lagu itu hanya dibawakan kurang dari 5 menit. Lagu itu berjudul “A little Reflection”. Lagu ini merupakan penutup dari konser ini. Rangkaian melodi yang begitu sederhana, bisa ia ciptakan menjadi sesuatu yang luar biasa. Rasa kagum ku terhadapnya membuat aku ingin belajar untuk bermain piano.
Seminggu setelah konser itu berlangsung, aku langsung mendaftarkan diriku ke salah satu sekolah musik di Jakarta, Relasi. Dan dalam 8 bulan kedepan, aku sudah bisa untuk mengikuti konser. Aku menciptakan sebuah lagu yang berjudul, A Girl With A Million Dream To Reach. Dimana lagu itu menceritakan seorang gadis kecil yang miskin, tapi memiliki berjuta-juta impian. Dan karena kerja kerasnya, mimpinya satu persatu bisa terpenuhi.
Konser Kenangan
Oleh: @C_arice
Aku suka membaca buku, apalagi kalau membacanya di sebuah café dengan alunan musik jazzy yang lembut. Tapi hari ini, aku tak membawa buku, aku terlalu sibuk memikirkan kerjaanku sehingga aku lupa kapan terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku pada café ini. Saat aku masuk, aku sudah melihat wajah orang yang kukenal sedang mengepel lantai. Dia melihatku dan menyapaku riang. “Wah, wah, Jeni! Sudah lama kau tak datang.” Aku memberikan seulas senyum dan memesan kopi kesukaanku. Lalu duduk dan termenung memikirkan desain-desain baju yang harus kuserahkan besok. Dan tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan orang dibelakangku. “Hei, besok ke konser musik itu yuk.” Dan sebatas itu aku langsung mengingat hal yang tak dapat aku lupakan.
Sudah lama aku tak ke konser, atau lebih tepatnya aku baru pernah sekali, dulu, waktu aku dan dia masih bersama. Dia mengajakku ke sebuah konser karena dia tau kalau akhir-akhir ini aku memang sibuk sekali. Dia selalu tersenyum lembut padaku dan menyemangatiku. Aku sebenernya sudah agak muak dengan pekerjaan mendesainku tapi dia menyemangatiku. Aku tak ingin mengecewakannya maka aku berjuang demi dia. Konser itu ramai sekali, namun orang-orangnya cukup teratur. Aku sudah berhubungan cukup lama dengan dia, kira-kira 1 tahun lamanya dan kami belum sama sekali pernah bergandengan tangan. Aku memang seorang gadis pendiam yang sibuk, tapi aku sangat suka dengan lagu rock, karena kadang musiknya memang tepat untuk suasana hatiku. Kita berjerit dan bersenang-senang, aku sangat suka band ini, dan dia mendapatkan tiketnya untuk diriku. Kadang kita menyanyikan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan band itu. Hari itu menurutku adalah hari yang sangat relaks, aku bisa merasa nyaman dengan dia. Dia lucu, periang, dan selalu menyenangkan, tapi dia bisa membaca pikiranku walau hanya melihat mataku. Aku sudah merasa lelah, setelah melompat-lompat dan berteriak-teriak. Tak ada kursi, minumanku habis, sudah 2 jam seperti ini. Pegal rasanya. Tapi dia langsung mengetahui keadaanku dan memegang pundakku untuk aku menjaga keseimbanganku. Aku senang, dia sangat baik pada diriku. Tiba-tiba saja ada teriakan besar dari salah satu penyanyi band.
“Dua orang yang sedang bermesraan itu!” Dia menunjuk ke arah kita, mesra? “Hei! Apa kau seorang lelaki? Jangan hanya berdiri disana! Cium dia!” aku sempat terkejut, dan kulihat tampang dirinya. Merah padam. Aku tertawa dan dia mulai mendekatkan wajahnya ke arahku. Apa dia akan menciumku? Semua orang melihati kita dan alunan musik band itu menjadi lebih romantic. Dan dia mencium pipiku pelan. Aku terkejut, senang, sekaligus merasa sayang. Tapi semua orang bertepuk tangan dan tersenyum. Aku pun tersenyum ke arah dia, dia memegang tanganku pula. Sebuah hari yang bahagia.
“Jeni, ini kopimu.” Aku terkejut, ternyata aku melamun. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah pelayan sekaligus temanku itu pergi, aku mulai mengingat-ingat orang itu lagi. Andy, kira-kira bagaimana kabarnya? Aku tersenyum. Dia pergi ke luar negri 2 tahun yang lalu, tapi kami masih berhubungan, kadang dia meneleponku atau mengirimku surat-surat. Aku melihat layar hpku yang nyala, dan terkejut saat membuka mailbox.
‘Jeni, tebak apa? Hari ini aku mendapat hari libur dan aku sudah sampai di Jakarta! Aku kangen sekali dengamu…’Aku melompat hari ini benar-benar penuh kejutan. Aku menyesup kopiku dengan cepat, lalu segera berlari keluar pintu café, temanku menanyakan aku akan kemana. Aku tersenyum.
“Aku akan menjemput dia!”
Aku suka membaca buku, apalagi kalau membacanya di sebuah café dengan alunan musik jazzy yang lembut. Tapi hari ini, aku tak membawa buku, aku terlalu sibuk memikirkan kerjaanku sehingga aku lupa kapan terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku pada café ini. Saat aku masuk, aku sudah melihat wajah orang yang kukenal sedang mengepel lantai. Dia melihatku dan menyapaku riang. “Wah, wah, Jeni! Sudah lama kau tak datang.” Aku memberikan seulas senyum dan memesan kopi kesukaanku. Lalu duduk dan termenung memikirkan desain-desain baju yang harus kuserahkan besok. Dan tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan orang dibelakangku. “Hei, besok ke konser musik itu yuk.” Dan sebatas itu aku langsung mengingat hal yang tak dapat aku lupakan.
Sudah lama aku tak ke konser, atau lebih tepatnya aku baru pernah sekali, dulu, waktu aku dan dia masih bersama. Dia mengajakku ke sebuah konser karena dia tau kalau akhir-akhir ini aku memang sibuk sekali. Dia selalu tersenyum lembut padaku dan menyemangatiku. Aku sebenernya sudah agak muak dengan pekerjaan mendesainku tapi dia menyemangatiku. Aku tak ingin mengecewakannya maka aku berjuang demi dia. Konser itu ramai sekali, namun orang-orangnya cukup teratur. Aku sudah berhubungan cukup lama dengan dia, kira-kira 1 tahun lamanya dan kami belum sama sekali pernah bergandengan tangan. Aku memang seorang gadis pendiam yang sibuk, tapi aku sangat suka dengan lagu rock, karena kadang musiknya memang tepat untuk suasana hatiku. Kita berjerit dan bersenang-senang, aku sangat suka band ini, dan dia mendapatkan tiketnya untuk diriku. Kadang kita menyanyikan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan band itu. Hari itu menurutku adalah hari yang sangat relaks, aku bisa merasa nyaman dengan dia. Dia lucu, periang, dan selalu menyenangkan, tapi dia bisa membaca pikiranku walau hanya melihat mataku. Aku sudah merasa lelah, setelah melompat-lompat dan berteriak-teriak. Tak ada kursi, minumanku habis, sudah 2 jam seperti ini. Pegal rasanya. Tapi dia langsung mengetahui keadaanku dan memegang pundakku untuk aku menjaga keseimbanganku. Aku senang, dia sangat baik pada diriku. Tiba-tiba saja ada teriakan besar dari salah satu penyanyi band.
“Dua orang yang sedang bermesraan itu!” Dia menunjuk ke arah kita, mesra? “Hei! Apa kau seorang lelaki? Jangan hanya berdiri disana! Cium dia!” aku sempat terkejut, dan kulihat tampang dirinya. Merah padam. Aku tertawa dan dia mulai mendekatkan wajahnya ke arahku. Apa dia akan menciumku? Semua orang melihati kita dan alunan musik band itu menjadi lebih romantic. Dan dia mencium pipiku pelan. Aku terkejut, senang, sekaligus merasa sayang. Tapi semua orang bertepuk tangan dan tersenyum. Aku pun tersenyum ke arah dia, dia memegang tanganku pula. Sebuah hari yang bahagia.
“Jeni, ini kopimu.” Aku terkejut, ternyata aku melamun. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah pelayan sekaligus temanku itu pergi, aku mulai mengingat-ingat orang itu lagi. Andy, kira-kira bagaimana kabarnya? Aku tersenyum. Dia pergi ke luar negri 2 tahun yang lalu, tapi kami masih berhubungan, kadang dia meneleponku atau mengirimku surat-surat. Aku melihat layar hpku yang nyala, dan terkejut saat membuka mailbox.
‘Jeni, tebak apa? Hari ini aku mendapat hari libur dan aku sudah sampai di Jakarta! Aku kangen sekali dengamu…’Aku melompat hari ini benar-benar penuh kejutan. Aku menyesup kopiku dengan cepat, lalu segera berlari keluar pintu café, temanku menanyakan aku akan kemana. Aku tersenyum.
“Aku akan menjemput dia!”
Itu Aku
Oleh: Harninda Syahfitri (@nindasyahfi)
Teriakan para penikmat musik itu terdengar syahdu di telingaku. Ada perasaan bangga sekaligus gugup menghadapi konser ini. Sebenarnya tidak perlu cemas karena semua hal telah dipersiapkan dengan matang. Di depanku, seluruh awak panggung dan panitia konser sudah berdiri melingkar, saling bergandengan tangan, dan kami mulai berdoa, untuk kelancaran konser malam ini.
Aku menghitung mundur tiga angka sebelum akhirnya musik dimainkan. Satu lagu sukses dibawakan. Teriakan penonton makin menjadi, mereka hebat. Istirahat sejenak kemudian lanjut lagu kedua. Lagu paling hits yang pernah ada. Lagu dari musisi lain yang juga dibawakan bersama musisi lain, kolaborasi. Semua ikut bernyanyi. Semua menikmati. Semua kembali pada memori. Konser berjalan dengan lancar, keinginan sudah terpenuhi.
Itu aku, sang penata lampu. Aku, si raja tata cahaya. Mungkin banyak yang tidak peduli, tapi ketika penyanyi lancar menyanyi, aku pun sukses beraksi. Memeriahkan suasana dengan nyala. Bagian yang tidak sering mendapat sorotan, bagian penting tapi kerap dilupakan. Jika kalian datang ke konser seperti itu, tengoklah ke arahku!
Teriakan para penikmat musik itu terdengar syahdu di telingaku. Ada perasaan bangga sekaligus gugup menghadapi konser ini. Sebenarnya tidak perlu cemas karena semua hal telah dipersiapkan dengan matang. Di depanku, seluruh awak panggung dan panitia konser sudah berdiri melingkar, saling bergandengan tangan, dan kami mulai berdoa, untuk kelancaran konser malam ini.
Aku menghitung mundur tiga angka sebelum akhirnya musik dimainkan. Satu lagu sukses dibawakan. Teriakan penonton makin menjadi, mereka hebat. Istirahat sejenak kemudian lanjut lagu kedua. Lagu paling hits yang pernah ada. Lagu dari musisi lain yang juga dibawakan bersama musisi lain, kolaborasi. Semua ikut bernyanyi. Semua menikmati. Semua kembali pada memori. Konser berjalan dengan lancar, keinginan sudah terpenuhi.
Itu aku, sang penata lampu. Aku, si raja tata cahaya. Mungkin banyak yang tidak peduli, tapi ketika penyanyi lancar menyanyi, aku pun sukses beraksi. Memeriahkan suasana dengan nyala. Bagian yang tidak sering mendapat sorotan, bagian penting tapi kerap dilupakan. Jika kalian datang ke konser seperti itu, tengoklah ke arahku!
Konser Tunggal Sang Rembulan
Oleh: Renata (@personaNOX)
Untuk yang kesekian kalinya, Tsuki duduk manis di sana.
Ya, di tempat itu. Sudut di mana bundanya sering meletakkan lukisan besar yang indah—yang katanya dibeli untuk anak gadisnya seorang. Ruangan mewah bergaya Renaisans tersebut kini kembali hening, setelah hiruk-pikuk pesta yang setahun sekali diadakan untuk membuat gadis muda ini kembali tersenyum. Oh, dia tidak tinggal sendirian dalam istana megah itu—tentu saja. Ada Rafael yang setia menemani nona mudanya dan siap sedia kapanpun sang majikan memanggilnya. Dia diciptakan untuk Tsuki, begitu yang diucapkan sang baron sebelum akhirnya pria kharismatik itu meninggalkan benua untuk menunaikan tugasnya.
“Aku haus.”
Kalimat yang terucap dari bibir Tsuki tidak pernah lebih dari sepuluh susunan kata. Sebenarnya ia adalah seorang gadis yang ramah dan penuh dengan kehangatan yang mampu mencairkan es—sedingin apapun. Banyak pemuda yang ingin memperistrinya, karena paras bak boneka porselen dengan surai hitam yang lebat membingkai wajahnya menarik perhatian tiap laki-laki yang ada. Namun hal tersebut hanyalah masa lalu. Sebelum sepasang cermin safir kelabunya merangkum apa yang terjadi lima tahun yang lalu di depan dirinya sendiri. Sebuah kejadian yang—katakanlah—tidak terlampau kejam saat itu tetapi mampu membuat seorang anak perempuan yang baru berusia enam belas tahun bungkam setelahnya.
Sebuah konser.
Kalau yang kau bayangkan adalah konser yang kusebutkan tadi layaknya opera dengan susunan alat musik klasik dengan alunan irama yang menenangkan—dirimu salah besar, kawan.
Dalam kerajaan itu—sudah menjadi hal yang lumrah bagi para pemuda yang baru saja berumur enam belas tahun untuk memegang senjata mereka sendiri. Bukan bayonet sepeti tentara Jepang di masa Perang Dunia kedua ataupun pedang saat Raja Arthur memerintah, bukan. Alat yang digunakan tidak serumit itu. Mereka hanya membutuhkan seutas benang panjang atau satu set jarum dan kemampuan untuk bergerak lincah di atas rata-rata. Dan semuanya—konon, untuk proses pendewasaan diri mereka sendiri. Tsuki remaja saat itu ada dalam kursi penonton, memperhatikan kakak lelakinya dengan seksama—Yue namanya. Bibirnya membentuk kurva manis yang mampu membuat tiap laki-laki bertekuk lutut di hadapannya dan satu tangannya memegang kipas berenda hadiah sang ibunda.
Permainan yang diadakan di lapangan utama saat itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Tiap pemuda akan diberikan pemuda mereka masing-masing yang tak lain dan tak bukan adalah kawan seangkatan mereka sendiri.
Hanya kali ini, sang Ratu menginginkan sesuatu yang lain.
Mata para lelaki muda tersebut ditutup dengan kain hitam—berarti mereka hanya akan mengandalkan intuisi belaka. Perayaan tahunan itu berlangsung cepat, dengan permadani hijau yang kini mulai diwarnai dengan bercak merah dan pekikan-pekikan kecil. Satu-persatu pemuda terjatuh, Tsuki belum menunjukkan reaksi apapun. Paras tenangnya tetap terlukis di sana dan tubuhnya tidak bergeming dari tempat duduk istimewa yang disediakan. Gelungan rambut hitam mengkilatnya masih tertata rapi, berada di atas kedua bahunya dengan anggun. Sayangnya, hal-hal macam itulah yang menggelitik hati sang Ratu.
Yue berdiri sebagai pemenang mutlak dari permainan—setengah jam setelah bel dibunyikan. Waktu yang terbilang cepat dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya. Penutup matanya dibuka dan sang kakak kembar tidak menunjukkan senyum sama sekali tatkala ia melihat teman-temannya tergeletak tanpa nyawa di atas genangan darah. Hanya sekali kedipan dan kepalanya ditolehkan, mengarah kepada adik tersayangnya yang memperhatikan apa saja yang terjadi tiga puluh menit yang lalu. Tidak ada kata yang terucap, tidak ada bahasa tubuh yang diutarakan.
Lima detik keheningan berlalu sebelum akhirnya, Tsuki menjerit.
Cairan merah pekat lain mengalir di atas dadanya sendiri.
Salah satu pengawal sang Ratu berdiri di belakang, dengan tombak di kedua tangannya.
Sang adik masih bernapas.
Hujaman kedua diberikan. Sampai sang gadis menghembuskan napas terakhirnya.
Apalah artinya seorang bangsawan tingkat rendah di kerajaan tersebut. Yang mampu ditangkap oleh Yue sesudahnya adalah sorak-sorai penonton atas kemenangan yang sudah diraihnya. Kematian sang adik tercinta yang baru saja berlalu tidak diindahkan oleh siapapun, bahkan kedua orangtuanya sendiri. Marah, ya. Darahnya menggelegak dalam tiap nadi yang ada di tubuhnya. Tapi sekali lagi, apa dayanya sebagai seorang anak lelaki yang masih hijau? Yang beberapa menit lalu baru saja diterjunkan dalam rimba buas. Permainan yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapapun. Dia menjadi saksi—seorang diri atas konser tunggal yang diberikan Tsuki. Bibir koral yang biasa melantunkan lagu klasik kini meneriakkan nada-nada lain yang tidak pernah disangka oleh Yue.
Apapun akan diberikan olehnya.
Hanya saja—Tsuki adalah milik Yue seorang.
Yah, sudah lima tahun berlalu sejak perayaan tersebut dan sampai saat ini, baik Raja ataupun Ratu yang memerintah masih menjalankan tradisi tersebut. Rumor yang beredar di antara rakyat adalah—Yue menyusul kematian Tsuki dengan menenggak racun mematikan. Hal itu memang benar adanya, karena tidak akan ada lagi Yue remaja dalam kerajaan itu. Yang tidak diketahui oleh orang-orang, Tsuki masih hidup. Dalam kastilnya sendiri, dalam dunianya sendiri. Tubuhnya memang tiada namun, jiwanya kini hidup dalam selongsong yang diberikan oleh sang kakak. Konser tunggal seorang Tsuki masih bergaung dalam otaknya. Dan kalau kau mendengarkan dengan seksama, kau bisa menemukan sang gadis bernyanyi lembut dalam kastilnya yang mewah.
Untuk yang kesekian kalinya, Tsuki duduk manis di sana.
Ya, di tempat itu. Sudut di mana bundanya sering meletakkan lukisan besar yang indah—yang katanya dibeli untuk anak gadisnya seorang. Ruangan mewah bergaya Renaisans tersebut kini kembali hening, setelah hiruk-pikuk pesta yang setahun sekali diadakan untuk membuat gadis muda ini kembali tersenyum. Oh, dia tidak tinggal sendirian dalam istana megah itu—tentu saja. Ada Rafael yang setia menemani nona mudanya dan siap sedia kapanpun sang majikan memanggilnya. Dia diciptakan untuk Tsuki, begitu yang diucapkan sang baron sebelum akhirnya pria kharismatik itu meninggalkan benua untuk menunaikan tugasnya.
“Aku haus.”
Kalimat yang terucap dari bibir Tsuki tidak pernah lebih dari sepuluh susunan kata. Sebenarnya ia adalah seorang gadis yang ramah dan penuh dengan kehangatan yang mampu mencairkan es—sedingin apapun. Banyak pemuda yang ingin memperistrinya, karena paras bak boneka porselen dengan surai hitam yang lebat membingkai wajahnya menarik perhatian tiap laki-laki yang ada. Namun hal tersebut hanyalah masa lalu. Sebelum sepasang cermin safir kelabunya merangkum apa yang terjadi lima tahun yang lalu di depan dirinya sendiri. Sebuah kejadian yang—katakanlah—tidak terlampau kejam saat itu tetapi mampu membuat seorang anak perempuan yang baru berusia enam belas tahun bungkam setelahnya.
Sebuah konser.
Kalau yang kau bayangkan adalah konser yang kusebutkan tadi layaknya opera dengan susunan alat musik klasik dengan alunan irama yang menenangkan—dirimu salah besar, kawan.
Dalam kerajaan itu—sudah menjadi hal yang lumrah bagi para pemuda yang baru saja berumur enam belas tahun untuk memegang senjata mereka sendiri. Bukan bayonet sepeti tentara Jepang di masa Perang Dunia kedua ataupun pedang saat Raja Arthur memerintah, bukan. Alat yang digunakan tidak serumit itu. Mereka hanya membutuhkan seutas benang panjang atau satu set jarum dan kemampuan untuk bergerak lincah di atas rata-rata. Dan semuanya—konon, untuk proses pendewasaan diri mereka sendiri. Tsuki remaja saat itu ada dalam kursi penonton, memperhatikan kakak lelakinya dengan seksama—Yue namanya. Bibirnya membentuk kurva manis yang mampu membuat tiap laki-laki bertekuk lutut di hadapannya dan satu tangannya memegang kipas berenda hadiah sang ibunda.
Permainan yang diadakan di lapangan utama saat itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Tiap pemuda akan diberikan pemuda mereka masing-masing yang tak lain dan tak bukan adalah kawan seangkatan mereka sendiri.
Hanya kali ini, sang Ratu menginginkan sesuatu yang lain.
Mata para lelaki muda tersebut ditutup dengan kain hitam—berarti mereka hanya akan mengandalkan intuisi belaka. Perayaan tahunan itu berlangsung cepat, dengan permadani hijau yang kini mulai diwarnai dengan bercak merah dan pekikan-pekikan kecil. Satu-persatu pemuda terjatuh, Tsuki belum menunjukkan reaksi apapun. Paras tenangnya tetap terlukis di sana dan tubuhnya tidak bergeming dari tempat duduk istimewa yang disediakan. Gelungan rambut hitam mengkilatnya masih tertata rapi, berada di atas kedua bahunya dengan anggun. Sayangnya, hal-hal macam itulah yang menggelitik hati sang Ratu.
Yue berdiri sebagai pemenang mutlak dari permainan—setengah jam setelah bel dibunyikan. Waktu yang terbilang cepat dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya. Penutup matanya dibuka dan sang kakak kembar tidak menunjukkan senyum sama sekali tatkala ia melihat teman-temannya tergeletak tanpa nyawa di atas genangan darah. Hanya sekali kedipan dan kepalanya ditolehkan, mengarah kepada adik tersayangnya yang memperhatikan apa saja yang terjadi tiga puluh menit yang lalu. Tidak ada kata yang terucap, tidak ada bahasa tubuh yang diutarakan.
Lima detik keheningan berlalu sebelum akhirnya, Tsuki menjerit.
Cairan merah pekat lain mengalir di atas dadanya sendiri.
Salah satu pengawal sang Ratu berdiri di belakang, dengan tombak di kedua tangannya.
Sang adik masih bernapas.
Hujaman kedua diberikan. Sampai sang gadis menghembuskan napas terakhirnya.
Apalah artinya seorang bangsawan tingkat rendah di kerajaan tersebut. Yang mampu ditangkap oleh Yue sesudahnya adalah sorak-sorai penonton atas kemenangan yang sudah diraihnya. Kematian sang adik tercinta yang baru saja berlalu tidak diindahkan oleh siapapun, bahkan kedua orangtuanya sendiri. Marah, ya. Darahnya menggelegak dalam tiap nadi yang ada di tubuhnya. Tapi sekali lagi, apa dayanya sebagai seorang anak lelaki yang masih hijau? Yang beberapa menit lalu baru saja diterjunkan dalam rimba buas. Permainan yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapapun. Dia menjadi saksi—seorang diri atas konser tunggal yang diberikan Tsuki. Bibir koral yang biasa melantunkan lagu klasik kini meneriakkan nada-nada lain yang tidak pernah disangka oleh Yue.
Apapun akan diberikan olehnya.
Hanya saja—Tsuki adalah milik Yue seorang.
Yah, sudah lima tahun berlalu sejak perayaan tersebut dan sampai saat ini, baik Raja ataupun Ratu yang memerintah masih menjalankan tradisi tersebut. Rumor yang beredar di antara rakyat adalah—Yue menyusul kematian Tsuki dengan menenggak racun mematikan. Hal itu memang benar adanya, karena tidak akan ada lagi Yue remaja dalam kerajaan itu. Yang tidak diketahui oleh orang-orang, Tsuki masih hidup. Dalam kastilnya sendiri, dalam dunianya sendiri. Tubuhnya memang tiada namun, jiwanya kini hidup dalam selongsong yang diberikan oleh sang kakak. Konser tunggal seorang Tsuki masih bergaung dalam otaknya. Dan kalau kau mendengarkan dengan seksama, kau bisa menemukan sang gadis bernyanyi lembut dalam kastilnya yang mewah.
Pulang
Oleh: Aditia Yudis (@adit_adit)
Jeda.
“This is the last day of our show here!”
Seperti telur yang pecah diinjak kemudian. Suara suitan dan gerungan para penonton menggema seolah akan merubuhkan arena konser ini. Jeritan fangirls terdengar begitu menyayat telinga, tak kalah pula fanboys—maksudnya fans laki-laki yang juga ikut terpacu adrenalinnya oleh dentam-dentum musik sejak 45 menit lalu itu.
“Do you have a good time here? So us! We’re happy tonight!”
Sekali, gemuruh merambat di udara. Satu kali kamu akan memilih suara petir super dahsyat tapi singkat dibanding berada di tengah venue seperti ini terus-terusan. Saat selanjutnya, petikan gitar Lex—sudah seperti mantra sihir—langsung menjahit semua mulut yang ada di sana. Stadion itu mendadak senyap. Terlebih ketika ketukan drum dari George masuk dan ikut mengiringi. Hampir-hampir teriak-teriakan tadi habis tak bersisa. Ditambahkan pula dengan betotan bass, Carl dan irama gitar, James. Terakhir, pelengkap mantranya adalah vokal menakjubkan dari Jet.
Pun bagi Ryu, segala gestur pemilik nama-nama itu di panggung dan musik yang mereka bawakan sudah seperti perintah tersendiri. Jarinya sibuk memutar lensa, mengarahkannya ke sudut terbaik mencari momen paling pas. Meskipun Ryu selalu tahu kapan saat-saat yang ditunggunya itu datang. Tentu saja, hampir delapan tahun Ryu berada di bawah panggung atau malah sepanggung di setiap penampilan mereka. Menjinjing kamera dari sisi bawah panggung atau bolak-balik di panggung mengeset kamera setiap pergantian lagu. Tergantung. Apa yang dimaunya.
Mungkin sudah puluhan ribu foto The Violence Theory yang diambilnya. Ini hanya untuk dokumentasi band saja, walau kadang dibocorkan juga ke fans. Lagi pula, para fans itu selalu punya seribu satu cara mendapatkan dokumentasi setiap konser. Layaknya serigala kelaparan yang tak kunjung kenyang. Padahal, Lex dan kawan-kawan, rasanya tak banyak berubah dari konser ke konser. Lex yang fangirls-nya bersaing dengan Jet, malah seringnya ber-outfit itu-itu saja. Ryu baru menyadarinya ketika beberapa hari lalu me-review hasil foto-fotonya selama tur Australia ini. Namun, pada kenyataannya, fans-fans itu tidak bosan bahkan jika ada sejumput rambut Lex yang rontok mungkin mereka akan tahu lebih dulu daripada Ryu.
“We get one more for you!!!” Suara lantang Jet seolah menyentil telinga Ryu yang baru saja tiba lagi di samping panggung.
Lho? Sudah akan selesai. Padahal konser itu rasanya baru dimulai tadi. Berkeliling venue konser untuk mendapatkan foto terbaik hampir selalu Ryu lakoni ketika mendapat jatah sebagai fotografer. Agar mendapatkan momen mereka dari segala sisi, wajah-wajah bersemangat para penonton sampai hiruk-pikuk lain yang terjadi di sekitar arena.
Ryu menebar pandangan ke atas panggung. Wajah-wajah itu tak terlihat lelah meskipun sudah satu setengah jam lebih berada di panggung. Wajah sumringah Lex dan senyum lebar Jet diumbar ke semua penonton. Carl yang bertampang dingin pun, tak bisa menyembunyikan pancaran bahagianya. James dan George sudah sibuk dengan alat musik masing-masing di intro lagu terakhir setlist konser ini. Permainan mereka semua sempurna—seperti biasa.
Namun kali ini berbeda. Seolah ada kekuatan pendorong yang membuat mereka bermain begitu lepas. Insting Ryu langsung mengenali momen-momen ini, seringnya di sinilah klimaksnya—penampilan mereka dan tingkah polah fans.
Mata Ryu masih terpancang pada panggung dan segala yang berada di sana. Hentakan musik itu makin kencang. Beberapa hari mendatang mungkin dia akan merindukan venue seperti ini. Lampu sorot menyilaukan, visual background di belakang panggung, sampai mungkin suara-suara memekakkan telinga dari fans.
Nada tinggi Jet memecah udara sekitar Ryu. Ia tersentak—kali ini sudah pertengahan lagu? Ia menarik napas dan Ryu bersiaga dengan senjatanya lagi—Canon EOS 1Ds Mark III. Tak akan melewatkan detik-detik yang lewat. Detik-detik yang mendekatkan mereka pada akhir tur 2010 itu. Untaian detik yang menggerus jaraknya dengan pulang. Rumah.
Jeda.
“This is the last day of our show here!”
Seperti telur yang pecah diinjak kemudian. Suara suitan dan gerungan para penonton menggema seolah akan merubuhkan arena konser ini. Jeritan fangirls terdengar begitu menyayat telinga, tak kalah pula fanboys—maksudnya fans laki-laki yang juga ikut terpacu adrenalinnya oleh dentam-dentum musik sejak 45 menit lalu itu.
“Do you have a good time here? So us! We’re happy tonight!”
Sekali, gemuruh merambat di udara. Satu kali kamu akan memilih suara petir super dahsyat tapi singkat dibanding berada di tengah venue seperti ini terus-terusan. Saat selanjutnya, petikan gitar Lex—sudah seperti mantra sihir—langsung menjahit semua mulut yang ada di sana. Stadion itu mendadak senyap. Terlebih ketika ketukan drum dari George masuk dan ikut mengiringi. Hampir-hampir teriak-teriakan tadi habis tak bersisa. Ditambahkan pula dengan betotan bass, Carl dan irama gitar, James. Terakhir, pelengkap mantranya adalah vokal menakjubkan dari Jet.
Pun bagi Ryu, segala gestur pemilik nama-nama itu di panggung dan musik yang mereka bawakan sudah seperti perintah tersendiri. Jarinya sibuk memutar lensa, mengarahkannya ke sudut terbaik mencari momen paling pas. Meskipun Ryu selalu tahu kapan saat-saat yang ditunggunya itu datang. Tentu saja, hampir delapan tahun Ryu berada di bawah panggung atau malah sepanggung di setiap penampilan mereka. Menjinjing kamera dari sisi bawah panggung atau bolak-balik di panggung mengeset kamera setiap pergantian lagu. Tergantung. Apa yang dimaunya.
Mungkin sudah puluhan ribu foto The Violence Theory yang diambilnya. Ini hanya untuk dokumentasi band saja, walau kadang dibocorkan juga ke fans. Lagi pula, para fans itu selalu punya seribu satu cara mendapatkan dokumentasi setiap konser. Layaknya serigala kelaparan yang tak kunjung kenyang. Padahal, Lex dan kawan-kawan, rasanya tak banyak berubah dari konser ke konser. Lex yang fangirls-nya bersaing dengan Jet, malah seringnya ber-outfit itu-itu saja. Ryu baru menyadarinya ketika beberapa hari lalu me-review hasil foto-fotonya selama tur Australia ini. Namun, pada kenyataannya, fans-fans itu tidak bosan bahkan jika ada sejumput rambut Lex yang rontok mungkin mereka akan tahu lebih dulu daripada Ryu.
“We get one more for you!!!” Suara lantang Jet seolah menyentil telinga Ryu yang baru saja tiba lagi di samping panggung.
Lho? Sudah akan selesai. Padahal konser itu rasanya baru dimulai tadi. Berkeliling venue konser untuk mendapatkan foto terbaik hampir selalu Ryu lakoni ketika mendapat jatah sebagai fotografer. Agar mendapatkan momen mereka dari segala sisi, wajah-wajah bersemangat para penonton sampai hiruk-pikuk lain yang terjadi di sekitar arena.
Ryu menebar pandangan ke atas panggung. Wajah-wajah itu tak terlihat lelah meskipun sudah satu setengah jam lebih berada di panggung. Wajah sumringah Lex dan senyum lebar Jet diumbar ke semua penonton. Carl yang bertampang dingin pun, tak bisa menyembunyikan pancaran bahagianya. James dan George sudah sibuk dengan alat musik masing-masing di intro lagu terakhir setlist konser ini. Permainan mereka semua sempurna—seperti biasa.
Namun kali ini berbeda. Seolah ada kekuatan pendorong yang membuat mereka bermain begitu lepas. Insting Ryu langsung mengenali momen-momen ini, seringnya di sinilah klimaksnya—penampilan mereka dan tingkah polah fans.
Mata Ryu masih terpancang pada panggung dan segala yang berada di sana. Hentakan musik itu makin kencang. Beberapa hari mendatang mungkin dia akan merindukan venue seperti ini. Lampu sorot menyilaukan, visual background di belakang panggung, sampai mungkin suara-suara memekakkan telinga dari fans.
Nada tinggi Jet memecah udara sekitar Ryu. Ia tersentak—kali ini sudah pertengahan lagu? Ia menarik napas dan Ryu bersiaga dengan senjatanya lagi—Canon EOS 1Ds Mark III. Tak akan melewatkan detik-detik yang lewat. Detik-detik yang mendekatkan mereka pada akhir tur 2010 itu. Untaian detik yang menggerus jaraknya dengan pulang. Rumah.
Langganan:
Postingan (Atom)