Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Menunggu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menunggu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Januari 2011

Aku sudah Berhenti


by Adyta Purbaya / @dheaadyta
www.adytapurbaya.wordpress.com

.....


18 Desember 2010 – 18 Januari 2011
Okay. Jadi sudah sangat jelas. Hari ini tepat satu bulan aku dipaksa berhenti dari segala jenis kegiatan bernama menunggumu.
Dipaksa? Benar! dipaksa berhenti, karena hari ini tepat sebulan sejak dimana kamu memilih gadis lain sebagai pendampingmu. Bukan aku! Oh, baiklah, mari ku perjelas. Hari ini adalah tepat sebulan kamu jadian dengannya.  Cukup! jangan paksa aku sebut siapa “nya” itu :)
Sedih? Retoris sayang. Kamu tentu tau seberapa besar aku berharap bahwa aku-lah yang akan menemani hari-harimu kelak. Tapi aku tidak menangis. Sama sekali tidak. Bukan karena aku lelah menangisi mu sepanjang tahun ini. Tapi karena aku sadar, gadis itu lebih baik dari segi apapun di banding aku. Jelas bukan? Buktinya kamu lebih memilih dia daripada aku.
Aku sudah biasa jadi orang yang tidak dipilih oleh cinta, sayang. Tapi tidak dipilih olehmu kali ini adalah pukulan terhebat bagi ku. Kamu tentu masih ingat bukan? nyaris dua tahun yang lalu, saat kita mulai memperjelas apa yang menggantung dan terasa menyakitkan itu.
Aku masih ingat detail semuanya dengan jelas. Bahkan ketika kamu bilang bahwa saat itu kamu belum siap. Kamu hanya ingin menamatkan kuliahmu, mendapatkan pekerjaan yang layak, barulah kamu akan membuka hati. Tidak! Kamu tentu tidak bilang bahwa kamu akan membuka hati buat ku. Bahkan kamu memintaku berhenti menungguku.
Tapi, aku sabar, sayang. Aku masih menunggumu. Meski tanpa alasan jelas. Meski tanpa janji apapun dari mu. Aku mungkin kebas hati. Tapi aku tidak pernah lelah menunggumu, sayang.
Aku hanya mengingat ucapanmu. Satu kalimat yang membuat aku berharap. Satu kalimat yang menghalau semua lelah yang bisa saja menghampiri.
Bahwa jodoh pasti akan menemukan kita dengan orang yang tepat. Bahwa kamu suatu saat nanti bisa saja berubah pikiran dan memintaku menemanimu. Bahwa berapa kalipun kita ditemukan dengan orang yang salah, tapi kalau kita jodoh, maka kita akan saling memiliki pada akhirnya.
Iya, sayang. Hanya itu. Tentu kamu tidak menyelipkan janji apapun atas hatimu didalamnya. Tapi bahkan aku bisa bertahan selama ini menunggumu. Yah, meskipun harus dengan beberapa kali mengikat janji dengan yang lain. Tapi, kamu tentu tahu bahwa aku masih menunggumu memintaku.
Aku tidak pernah lelah menunggumu, sayang.  Aku bahkan tidak pernah berniat berhenti. Kamu sosok yang tak pernah lupa aku sebut dalam setiap doa seusai sholat. Bahwa aku betul-betul berharap suatu saat kamu akan memintaku.
Sayang.. Harapan itu sedang terpupuk dengan baik, saat tiba-tiba kamu datang dan mengenalkan gadis itu padaku. Kekasihmu, sayang. Iya, kekasihmu. Kamu telah menetapkan pilihanmu pada seseorang. Kamu mengenalkannya padaku.
Aku tersenyum dan menjabat tangan gadis itu dengan tulus. Baiklah, aku memang iri. Tapi aku senang, sayang. Setidaknya kamu menepati semua omongan mu pada ku. Kamu memang akan menentukan pilihan setelah semua kewajibanmu selesai. Iya aku tau, waktu itu kamu memang tidak bilang bahwa aku-lah pilihanmu. Tapi berharap rasanya tidak salah kan? :)
Kita menghabiskan satu malam mengobrol panjang via sms. Membahas apa yang semestinya sudah tidak butuh dibahas. Tapi kamu merasa ini perlu. Semestinya kamu tidak perlu meminta maaf, sayang. Itu hak mu, toh kamu tidak menjanjikan apapun padaku bukan?
Aku memang menunggu mu, tapi sekali lagi kamu tidak pernah menjanjikan apapun padaku. Jadi jangan merasa bersalah ya.. Aku menunggu mu memang karena aku ingin..
Tapi terimakasih sayang, karena kamu masih memikirkan hatiku. Padahal ketika aku melakukan hal yang sama padamu, berulang kali, aku tidak pernah berusaha menjelaskan apapun padamu.
Kamu menegaskan bahwa aku sudah punya orang lain. Tentu, sayang. Dia sahabatmu. Dan kami sudah berjalan setahun ini. Apa kamu pernah cemburu, sayang?
Kamu memintaku mengikhlaskan kamu dengan pilihanmu, seperti kamu mengikhlaskan aku dengan pilihanku. Sudah pasti, sayang. Tanpa kamu minta pun aku pasti akan mengikhlaskan.
Aku sudah tidak berharap apapun lagi padamu. Aku sudah tidak menunggumu lagi, sayang. Aku sudah melepaskanmu.
Sayang. andai aku sekarang tidak dengannya, apakah kamu akan memintaku? Ah, sudahlah sayang. Tidak usah dijawab. Aku tidak butuh jawaban atau penjelasan apapun lagi darimu.
Terimakasih sayang. Aku belajar banyak hal darimu.
Doakan aku ya, semoga aku bahagia dengan pilihanku. Seperti aku yang selalu mendoakanmu bahagia dengan pilihanmu.

Kamis, 27 Januari 2011

It’s (Not) Really Over

Oleh: Citra Lestari Y (@citralestariy)


“Tama??” ucapku tak percaya melihat orang yang memencet bel apartemenku.

“Hey Mir, apa kabar?” sapanya.

“Baik. Kamu apa kabar?” kataku masih dalam keadaan kaget.

“Alhamdulillah baik.” jawabnya sambil tersenyum. “Maaf Mir aku datang tiba-tiba kesini. Aku kesini untuk menepati janjiku.” Tama tiba-tiba diam dan melanjutkan kalimatnya,

“Miranda Salsabila, would you marry me?” tanyanya sambil berlutut di hadapanku, dengan sebuah kotak cincin di tangannya.

***

“Kamu tuh kemana aja sih seminggu ini hilang ngga ada kabar sama sekali?” suaraku tinggi saat akhirnya Tama mengangkat telepon dariku.

“Iya maaf Mir, aku lagi ikut proyek dosen kemarin.”

“Kamu pergi seminggu ngga bilang sama aku?? Hebat banget ya. Udah gitu aku telepon ngga pernah diangkat, aku sms dibales cuma sekedarnya. Kamu tuh kenapa sih sebenernya? Kenapa jadi nyebelin begini.” omelku panjang lebar.

“Mir, aku capek, mau tidur dulu. Nanti siang aku telepon kamu. Banyak yang mau aku ceritain.” dia menutup pembicaraan kami di telepon.

“Tam? Halo?” Shit.

Sudah sebulan Tama ngga jelas sikapnya. Seminggu ini pun dia benar-benar tidak bisa dihubungi. Dan firasat jelek selalu muncul setiap kali aku ingat Tama.

aku ke tempat kamu setengah jam lagi. kamu siap-siap ya, temenin aku beli frappuccino. :)
sender: Artama Adinusa ♥

Argh kenapa sms ini seolah-olah berkata ‘kamu siap-siap ya, setengah jam lagi kita putus’. Oh God, please tidak. Aku sayang sekali sama dia. Dan aku belum siap dengan kemungkinan terburuk, PUTUS!

“Kamu lagi ada cerita apa?” tanya Tama mencoba mencairkan suasana aneh di antara kami yang sedang menunggu pesanan datang.

“Tam, kan kamu yang mau cerita.” aku berkata dengan penuh penekanan dalam setiap kata-kataku. Tama terdiam, menatapku, sampai akhirnya pelayan datang membawa pesanan kami. Dia meminum seteguk frappuccino miliknya dan mulai berbicara.

“Sebulan ini aku banyak banget mikir. Tentang kuliah, proyek, dan yang paling banyak tentang kita.” Kalimat pembuka darinya yang membuat aku langsung mules.

“Kamu tau kan alasan apa yang bikin aku akhirnya berani nembak kamu. Dan kamu juga tau kan apa yang aku pengen selama ini. Itu cita-cita aku, Mir. Aku harus mendapatkan rekomendasi dari Pak Bambang supaya bisa memperoleh beasiswa ke luar negeri itu.” Dia terdiam. Terlihat sedang memutar otak untuk melanjutkan kalimatnya dengan kata-kata yang tepat.

“Dulu aku pernah janji untuk menjaga kamu. Tapi apa nyatanya sekarang? Aku ngga bisa menepati janji itu, bahkan aku lebih banyak bikin kamu sedih daripada menjaga kamu. Aku tau kamu orang yang sangat sabar, khususnya untuk menghadapi kekeraskepalaanku. Dan aku juga tau kamu tulus sayang sama aku, cuma aku bener-bener minta maaf karena aku belum setulus itu ke kamu. Aku bener-bener egois sama kepentingan aku sekarang ini.” Dia terdiam untuk kedua kalinya.

Ya Tuhan aku takut. Please jangan kemungkinan terburuk.. “Terus kamu maunya gimana?” akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara.

“Aku mau kamu putusin aku.” jawab Tama.

“Aku ngga mau.” jawabku langsung tanpa berpikir sedikitpun. Ya Tuhan rasanya isi kebun binatang ingin aku sebut satu persatu. Aku ngga kuat. Mau nangis rasanya.

“Miranda, hubungan kita udah ngga bagus lagi kalau terus dilanjutkan. Kamu yang akan makan hati dan aku ngga mau nyakitin kamu terus.” lanjutnya lagi. Dia terus berbicara dan aku tetap terdiam, tidak mendengar apapun yang dikatakannya dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Mau nangis di tempat rasanya. Memang inilah yang aku takutkan selama ini. PUTUS. Ya Tuhan aku harus bagaimana? Masa harus bener-bener putus? Aku ngga siap untuk putus.

“Mir?” panggilannya menyadarkanku pada kenyataan yang harus kuhadapi.

“Hhh.. Yaudah kita putus.” jawabku datar sambil menahan tangis yang akan meledak. Aku tau sekeras apapun aku berargumen tidak akan bisa mengubah keputusannya.

“Makasih Mir.” ucapnya sambil tersenyum. Terlihat sekali bahwa dia sangat lega setelah mendengar kalimat terakhirku. “Kamu tau? Aku ngga mau cari pacar lagi sekarang. Seandainya nanti aku suka sama orang, aku bakal memantapkan hati aku sendiri dan aku bakal ngajak orang itu langsung nikah. Aku ngga mau melakukan kesalahan yang sama kaya sekarang. Aku ngga akan minta kamu untuk menunggu aku, tapi seandainya orang itu adalah kamu, aku akan bener-bener memperjuangkan kamu lagi, Mir.”

Semua perkataannya hanya kubalas dengan sebuah senyuman. Air mata ini akan keluar kalau aku berkata-kata sepanjang dia.

“Aku mau pulang, Tam.” pintaku tiba-tiba.

“Yuk, aku anter.”

“Ngga usah, aku mau pulang naik taksi aja.”

Tama terdiam. “Yaudah, tapi aku anter kamu sampai naik taksi ya.” jawabnya. Aku mengangguk.

Dia menggandengku sampai ke pool taksi dan memelukku untuk yang terakhir kalinya. “Mir, kamu hati-hati ya. Jaga diri kamu baik-baik. Kamu masih bisa menghubungi aku kapanpun kamu mau.” ucapnya sambil menangis.

“Kamu jangan nangis. Dari tadi aku udah nahan tangisan aku sebisa mungkin dan bakal langsung keluar kalau kamu nangis kaya begini.” ucapku mulai menitikkan air mata. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan memegang kedua tangannya, “Kamu jaga diri ya. Semoga sukses.” kataku sambil tersenyum yang dia balas dengan satu buah kecupan di keningku.

*BUG* pintu taksi yang kunaiki akhirnya tertutup dan aku menangis sejadi-jadinya di dalam taksi.

it’s really over!

***

“Miranda?” panggilnya sekali lagi.

Aku masih terdiam dan akhirnya menangis. Bukan menangis sejadi-jadinya seperti kejadian lima tahun lalu, tapi ini tangisan haru. Artama Adinusa, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, seseorang yang masih memenuhi pikiranku, dan memang dia lah yang aku tunggu selama ini. Entah setan apa yang merasukiku hingga mampu membuatku menunggumu tanpa membuka hati kepada siapapun. Lelah rasanya, tapi itu semua terbayar hari ini. Dan tampaknya aku harus berterimakasih kepada setan tersebut.

Menanti Satu Kata

Oleh: Stella Nike (@stellanike)
originally posted at http://www.fictionpress.com/s/2885615/1

Adalah satu kata itu yang tak pernah diucapkannya. Satu kata yang yang terdiri dari lima huruf, jika dalam konteks bahasa Indonesia—atau empat, jika dalam bahasa Inggris. Satu kata yang selalu didamba oleh seluruh gadis di dunia untuk diucapkan pria idaman pada mereka. Satu kata: cinta.

Namun kau tak pernah satu kalipun mendengar satu kata itu darinya. Tidak dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa Inggris. Tidak pernah. Sama sekali.

-

Berkali-kali sanjungan ‘cocok sekali’ dan ‘mesranya kalian’ dilontarkan padamu—dan dia. Yang selalu menimbulkan semu merah tanda malu-malu di pipimu yang tembam. Yang selalu menyebabkan sebuah seringai jahil terlukis di wajahnya yang tampan. Lalu kau akan mulai terkekeh, sementara ia menaruh lengannya di sekeliling pundakmu—kemudian berlalu berdua, meninggalkan tempat kejadian. Masih sambil tertawa.

Kau dan dia—kalian memang pasangan yang serasi, kata orang-orang yang melihat.

Namun kau lebih tahu dari mereka yang hanya memandang dalam sudut pandang yang sama acap kali. Kau, yang merasakan, yang menjadi salah satu tokoh dalam kisah ini, tahu—bahwa kalian bukanlah sepasang kekasih. Hanya sahabat, tidak lebih.

Cukup satu kata darinya untuk mengubah status. Satu kata yang terus kau tunggu—tanpa pernah sekalipun tiba.

-

Menunggu, menunggu, dan menunggu, tanpa adanya kejelasan. Terus menanti sesuatu yang tak pernah datang.

Sabarmu habis di satu saat. Kau lelah. Kau muak. Kau kesal. Kau dapat merasakan satu kata itu mengendap-ngendap di balik ekspresi nakal miliknya, mengumpulkan keberanian untuk keluar, juga menanti waktu yang tepat. Tapi tidak pernah ia lolos dari bibirnya. Tak pernah kau mendengarnya mengucap kata tersebut.

Berkali-kali kau memancing, melemparkan umpan, berharap ia menangkap kailmu. Namun tetap saja satu kata itu tak muncul di permukaan. Memaksamu terus saja menunggu hingga entah kapan.

-

Ingin sekali kau yang mengucap kata itu padanya. Memberitahu seberapa besar perasaanmu padanya. Mengubah status yang selama ini membuat dadamu sesak (karena kau tak suka hanya menjadi sahabatnya). Namun selalu saja kawanmu melarang.

Seorang gadis adalah pihak yang menunggu, mereka berkata. Bukan pihak yang mengucap kata itu.

Maka kau pun terus menanti dan menanti. Menunggu kata yang tak pernah datang.

-

Saat itu satu hari di musim kemarau. Mentari bersinar terik dengan segala kekuatannya, mengirimkan panas ke permukaan bumi. Cuaca cukup cerah meski terasa gerah. Kau memulainya dengan senyum, kembali mengucap harapan agar hari ini dapat mendengar satu kata itu darinya, pada akhirnya.

Kau melihatnya, sedang bersama seorang junior yang cantik. Mereka nampak berbincang dengan serius. Kau tak bermaksud mencuri dengar—atau bahkan mengintip. Kau hanya bersikap sebagai dirimu, seorang yang spontan dan riang, yang langsung datang menghampiri setiap menangkap sosoknya.

Tiga langkah menuju kedua orang yang kau lihat tersebut—ia dan sang junior yang cantik—kau mendengarnya. Satu kata yang selalu kau tunggu, yang selalu kau nanti, yang selalu kau damba. Bass yang dalam dan lembut mengucapnya perlahan, “…cinta…”

Saat itu pula kau rasakan hatimu pecah. Hancur menjadi jutaan serpih. Perih terasa di dada, sakit mencengkeram tiba-tiba. Tetes-tetes air mengalir ke pipi. Satu kata yang kau tunggu telah diucap olehnya—namun bukan untukmu.

Penantianmu akhirnya telah berakhir, walau tak seperti yang kau impikan.


FIN

Menunggu

Oleh: @rezasyam

Gerimis basahi sore-sepulang-kantor yang muram ini. Ia unik; mampu datang di momen yang tepat. Mampu hiasi bumi ketika kian banyak tangan kotori jubahnya. Aku selalu ingat gerimis sebagai penutup gelisah. Kali ini, ia sandingkan aku denganmu. Iya, dengan kamu.
***
Kita bisa menghabiskan semalam, sepekan, atau sebulan penuh dengan terdiam. Mencari kata yang tepat untuk diucap. Menelisik topik menarik untuk disingkap. Atau sekedar melontar joke untuk hadirkan tawa renyah membahana. Tapi pertemuan privat kita ini pun ternyata sebuah kemewahan. Sebab, meski telah sekian lama berada di bawah atap sekolah yang sama, dua kali kehadiranmu di depanku selalu tersambung bisikan rumus matematika dari kawan sebangkumu. Senyum tertundukmu yang malu-malu selalu disambut rapalan produk glikolisis sahabatmu.
Maka, aku selalu bilang pada diriku sendiri—iya, hanya sebatas kata-kata—untuk segera singkirkan hasrat hadirkan kata penuh wibawa. Sebab, mencari kata yang selalu memikat barangkali adalah salah satu sarana terbaik untuk sia-siakan hidup kita. Kita—kamu, aku, dan mereka yang mengaku penyair itu—tak akan dapat menemukannya.
Kamu dan aku bukan perangkai kata yang indah. Barangkali kamu tahu itu. Maka kamu mafhum dan tetap perhatikan pesanku bahkan saat yang kulakukan di depanmu hanya ucapkan sekumpulan gumam tak jelas. Bahkan saat yang kulakukan di depanmu hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Kamu perhatikan cermat kalimatku, menunggu; sambil luruskan kata-kata yang mengalir dari lidahku yang tiba-tiba kelu.
Iya, mungkin kamu masih ingat, riwayat obrolan kita hanya sebatas itu.
Tapi sebaris pesan mengejutkan datang. Ketika kita berdua tahu bahwa kita nyaris tak pernah saling bicara, kamu putuskan untuk daraskan janji dalam agendamu: bertemu denganku. Secara pribadi..
***
Ketika ingatanku terbang padamu, satu kata yang perlu diucap, mungkin: hormat—aku tak berani tuliskan kata “cinta”. Aku menghargaimu sebab kedewasaanmu. Sebab kata-katamu di depan kelas dahulu yang selalu kukenang, “Aku menghargai mereka yang memenuhi janji pada waktunya. Mereka tunjukkan cinta, bukan hanya komitmen atau pemenuhan kata yang datang tergesa. Mereka hadirkan rasa nyaman, bukan lagi tuntutan yang seringnya melelahkan.
Tapi kini kamu habiskan waktuku hanya untuk menunggumu—bukan lagi untuk merangkai kata penuh pesona. Bergelas-gelas cappuccino, nyaris-delapan-bab Taiko, dan dentang jam yang menggantung di dinding-bata-merah itu adalah satuan waktu yang menunjukkan lama aku ada di situ. Berulang kali kubuka sebaris pesan singkatmu di ponselku, “Maaf, ada yang perlu kusampaikan padamu. Penting. Bisa kita bertemu di Coffee1, jam setengah 2?”
Aku gugup. Itu pesan singkat pertamamu—dan mungkin juga yang terakhir—yang hinggap di ponselku. Tanganku gemetar saat kuketik jawaban buatmu, “Ya. Aku akan datang jam 1. Sendirian?” Buru-buru kutambahkan kata terakhir untuk menata hati.
“Terima kasih. Aku akan datang bersama ayahku,” jawabmu singkat
Ya, habislah sudah. Aku tak bisa lagi menunggu terlalu lama. Entah kenapa, kian hari aku kian tak sabar pada dunia. Mungkin karena dunia makin sesak oleh cecunguk yang kebanjiran hipokrisi di mulutnya—atau mungkin juga karena hal lain. Maka, setelah pesan singkat yang tak kunjung dijawab itu kukirimkan, kutinggalkan kafe depan kampus itu di tengah gerimis yang menderas.
***
Setengah jam berlalu, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk.
“Hanya waktu. Apa yang kuminta terlalu banyak?”
“Mungkin, aku mungkin salah yang ingin jadi sepertimu. Aku terlalu menganggap waktu itu penting.”
“Jangan konyol. Kubawa serta ayahku kemari, kamu pikir untuk apa?”
“Tak tahu. Sudahlah..”
“Sudah? Maksudmu?”
“Toh kau sendiri yang ajariku untuk membenci mereka yang tak tunjukkan cinta. Untuk selalu waspadai mereka yang tak buktikan kata-katanya.”
“Tapi kan hanya waktu..”
“Ironis ya.
Kututup pembicaraan. Kini benci begitu mudah menyelinap. Apa ini karena emosiku telah dominan dengannya—dengan benci?
Aku segera mengusir rasa bersalah—atau apa pun itu namanya—dengan berapologi: bukankah kamu yang membuatku lama menunggu? Lagipula, seandainya kita bertemu, aku selalu tak tahu apa yang harus kukatakan padamu.
***
Setelah enam tahun janji yang tak terlaksana itu, saat ini, di halte bis di bilangan Sudirman ini, kita masih seperti dahulu. Tetap terdiam sambil duduk dan saling menunggu. Kamu mungkin mengharapkan salam dan sapaku—menghangatkan diri dari gerimis yang seperti tak kunjung usai ini, mungkin juga sedang cemas menanti bus yang tak kunjung muncul untuk jurusanmu. Tapi satu yang baru saja kusadari: kita telah—dan sedang—menunggu untuk sesuatu yang benar-benar berbeda.

Tik Tok Tik Tok


Oleh: Tenni Purwanti (@rosepr1ncess)
www.rosepr1ncess.blogspot.com

Seorang perempuan di sudut kafe Bunga :
Tik tok. Tik Tok. Jarum jam tangan terus mengejek dengan suaranya yang jelas terdengar telinga. Kau tak kunjung datang. Sudah dua cangkir cappuccino tak bersisa. Bagiku ini hal langka. Seorang laki-laki yang selalu menghargai waktu, bisa terlambat datang hingga lebih dari dua jam.
Tik tok. Tik tok. Setiap kali ada langkah kaki mendekat, aku langsung melayangkan pandang ke pintu, lalu mataku berkeliling ke sudut kafe. Tak juga muncul sosokmu. Berulang kali aku hubungi ponselmu tapi nadanya selalu sibuk. Dengan siapa kau sedang berbincang? Terlalu lama untuk ukuran perbincangan telepon. Alternatif lain : sms. Tapi tak juga mendapat respon.
Tik Tok. Tik Tok. Lagi-lagi jarum jam tanganku mengejek. Lagi-lagi derap langkah kaki menipu. Kamu tidak juga muncul. Aku beku.

Seorang lelaki di sudut kafe Matahari :
Aku sudah memberi tahu via pesan pendek bahwa aku menunggunya di kafe ini. Tapi ia tak kunjung datang. Berulang kali aku mencoba menghubunginya, tapi ponselnya selalu sibuk. Aku tahu ia sosok wanita karier yang tak pernah lepas dari ponsel maha canggihnya. Tapi menerima telepon selama itu, apa saja yang dibicarakannya dengan klien?
Dua jam aku menunggu. Ia tak juga muncul. Setiap kali ada derap langkah dari sepatu high heels, aku langsung melayangkan pandang pada sumber suara. Aku tahu ia sangat suka mengenakan sepatu berhak sangat tinggi. Tapi malam ini, sepatu-nya tak juga eksis di kafe ini. Kemana pemilik sepatu tinggi itu?

Apartemen sang lelaki :
Baiklah aku menyerah. Aku memilih pulang sebelum diusir. Aku memilih menunggunya di sini. Biasanya kalau kangen, ia akan menemuiku di apartemenku. Dia pasti datang. Aku yakin.

Apartemen sang perempuan :
Aku malu sampai harus diusir pegawai kafe. Memang bukan diusir benar-benar diusir. Tapi dengan mengatakan kafe mau tutup, sesopan apapun, tetap saja artinya bahwa aku harus segera meninggalkan kafe itu. Dasar laki-laki tak tahu diri. Kemana saja sampai lupa pada janji?

Esok harinya, di kantor, keduanya bertemu :
“Aku baru tahu kalau seorang lelaki yang pantang telat setiap janjian, bisa tidak datang sama sekali,” sang perempuan menyindir.
“Aku juga baru tahu, kalau ada wanita karier yang menelepon sampai berjam-jam lamanya. Setiap kali ditelepon nada teleponnya sibuk. Apa saja yang dibicarakan dengan klien?” sang lelaki membalas.
“Aku tidak menelepon atau ditelepon siapa-siapa. Justru ponselmu yang sibuk terus,” sang wanita tak mau kalah.
“Ponselku? Ponselmu yang sibuk terus! Aku sudah berusaha menelepon berkali-kali nadanya selalu sibuk,” sang lelaki menyanggah. “Aku menunggumu di kafe Matahari sampai kafe itu mau tutup. Akhirnya aku pulang saja,”
“Aku menunggumu di kafe Bunga sampai diusir sama pelayannya. Tak ada yang lebih memalukan dari itu sebelumnya,” sang wanita ikut mengeluh.
“Apa?” keduanya terkejut.
Mereka baru sadar kalau kemarin malam mereka menunggu di kafe yang tidak sama. Setelah merunut ulang kronologis cerita masing-masing, mereka berdua baru tahu ini semua terjadi hanya karena sms dari sang lelaki tidak sampai ke ponsel sang perempuan.
Tidak jadi di Kafe Bunga, aku tunggu di Kafe Matahari.
Pesan pendek yang tak pernah sampai itu ditunjukkan kepada sang perempuan. Sang perempuan mengecek kembali ponselnya dan memang sms itu tak pernah sampai. Kalau pada akhirnya ponsel keduanya sibuk terus, itu karena keduanya selalu saling menelepon di waktu yang sama.

Hati yang Menunggu

Oleh: @rofianisa
http://blabbermouthdisease.tumblr.com/





Tidak ada yang harus ditunggu. Aku hanya perlu mengisi kekosongan. Mungkin dengan homestay di luar kota. Atau luar negeri sekalian. Aku akan mengisi kekosongan dengan kebahagiaan menghabiskan kebebasanku yang hanya dijatahi sebulan.



Sebelum akhirnya kita akan bertatap muka. Di tempat biasa. Membicarakan sesuatu yang tertunda. Menunggukah itu namanya?



Aku terlalu terbiasa bersamamu sampai aku lupa menghitung waktu. Tiga tahun? Empat? Semuanya berjalan begitu mengalir sehingga tidak pernah aku memperhitungkan apapun denganmu. Seluruh tubuhku telah (oh akhirnya aku menyebutkannya) mencintaimu, jauh sebelum hatiku tahu.



Jadi sebut saja aku sahabatmu. Selalu. Sejak dulu. Hingga suatu hari kamu bilang cintamu padanya (pacarmu yang manja itu) telah luntur sejak tahun lalu. Lalu beberapa baris setelah pengakuan itu... kamu bilang aku harus menunggu.



Menunggu apa? Apa yang terlewat dari sekian panjang perjalanan kita? Apa yang terlupa dan harus diutarakan setelah satu bulan?



*



Ada satu hal yang aku pelajari dari 21 tahun hidup di dunia ini: jangan terlalu menggantungkan harapan tinggi-tinggi. Bermimpi mungkin lain cerita. Tetapi berharap untuk sesuatu hingga membutakan mata? Tidak. Tidak akan pernah (lagi). Cukup sekali aku diangkat tinggi-tinggi oleh khayalanku sendiri, dan dijatuhkan sekejap mata oleh orang yang selama ini kukira ikut andil menerbangkannya.



Dan satu-satunya solusi adalah menutup diri. Dan bukannya aku penyendiri. Aku masih membuka lebar-lebar tanganku untuk merangkul temanku satu-satu. Menyiapkan telingaku untuk mendengarkan mereka mengeluh. Memoles mulutku untuk menciptakan kata-kata yang membuat mereka luluh. Dan kaki yang senantiasa pergi menuju tempat mereka berada. Bermain, bercanda, berbagi cerita. Tapi hanya itu saja. Jejak mereka hanya akan kudapati di serambi hati, tidak di dalamnya.



Termasuk dirimu. Sahabatku yang satu ini. Yang paling aku kritik dan aku caci, tetapi di sisi lain sangat aku hargai dan sayangi. Jam empat pagi pun aku rela mengangkat telpon dan mendengar keluh-kesahmu tentangnya. Tapi hanya itu saja.



Kukira awalnya hanya itu saja.



*



Tanpa kusadari, diam-diam kau membuka pintu, mengendap masuk ke dalam inti hatiku. Pencuri!



Kau hadir dalam bunga tidurku, kau hadir dalam setiap pejam mataku, kau hadir dalam setiap coretan di buku, kau bahkan hadir dalam jutaan lirikan yang entah kenapa aku lakukan. Lalu kau bilang aku harus menunggu selama sebulan setelah kau memutuskan hubungan cinta dengan kekasihmu. Kau pencuri dan kau penyihir, membuat seluruh nadiku berdesir.



Dan kau membuatku ingin lari. Berpura-pura tidak ada yang ditunggu. Lari, merasakan kebebasan, sendirian. Mencapai dunia-dunia yang tadinya tak terjangkau oleh selingkaran pertemanan.



Iya, sendirian. Sebulan. Karena entah kenapa aku menyanggupi untuk bertemu denganmu di tenggat waktu.



“26? Tempat biasa? Gue jemput ya.”



Kepalaku mengangguk setuju.



*



Sudah sebulan, dan aku masih tidak yakin apakah ini disebut menunggu.



Yang aku tahu kamu menjemputku tepat pukul 7, membawaku ke kafe yang telah berpuluh-puluh kali kita kunjungi, tersenyum ketika aku membuka pintu mobil dengan wajah yang berseri. Ada apa dengan wajahku ini? Tampak bodoh, pasti.



Dan jauh lebih terlihat bodoh ketika kamu mulai berdeham memulai percakapan. Aku hampir lupa sepanjang malam itu kita membicarakan apa, tetapi yang satu ini tidak akan pernah aku lupa.



Kau menatapku dan menjajarkan sebaris kata, “Cuma kamu yang belum tahu seberapa besar cinta ini ingin masuk ke dalam hatimu, dan cuma kamu yang belum sadar bahwa seluruh tubuhmu telah lama mengaku.



“I love you, Sasa, dan tak perlulah aku meminta jawabannya.”



Aku memang tidak akan menjawab. Biar tubuh ini yang melakukannya. Memeluk dan melumat bibirnya yang tersenyum merekah. Hati ini menyerah sudah, sudah menunggu lama, sepertinya.



***

Monolog

Oleh: Candella Sardjito
http://ceritahujancandella.blogspot.com/

Kedai pancake mini bernuansa putih gading dan coklat, tak lupa dengan tekstur dinding unfinished nan eksotis, dan di depanku berdiri lah sebuah vas bunga cantik berwarna ungu tua. Ah yaa, mereka saksinya. Mereka saksinya.

04 : 30 PM
“Mba, ini pancakenya.. sama oreo chocolatenya kan ya mba?”
“Iya Mas, makasih ya...”
Sendirian, makan pancake bertahtakan eskrim dan strawberry yang tampak menggiurkan di atasnya. Kamu kemana ya hey pria berkumis seperti Om-om di kaleng Pringles? Aku belum sedikitpun mendapatkan kabar dari kamu.

04 : 42 PM
Eh, ada SMS..!

Dari : Rizky (0856********)
Hey, kamu masih disana? Saya lewat ah! Sekalian balikin kamera.

Senyum terbit, dan terasa ada sentuhan manis dalam hatiku yang membuat seolah-olah background kehidupanku saat ini – tepat pukul 04 : 42 PM – penuh dengan bunga-bunga dan strawberry yang beterbangan menari kesana kemari. Asiik! Dia dateng! Dia mau lewat sini!

04 : 59 PM
Suara ringtone lagu John Mayer – The Heart of Life mewarnai kesendirianku yang saat ini ditemani si seperempat potong pancake dengan eskrim vanilla yang telah meleleh dan strawberry yang tetap kusimpan utuh untuk menjadi “The Best for Last”.

Dari : Rizky (0856********)
Hey, kita masih bisa ketemu ga ya kira-kira? Serahin alam aja deh, kalo emang harus ketemu, ya
kita pasti ketemu. 

Ah.. dimana pula makhluk sebiji ini hey?

05 : 15 PM
Dan teman-teman tercintaku pun telah meng-SMS, memberi pesan untuk segera menemui mereka di basecamp tercinta, sekarang juga. Tapi sampai detik ini, kamu belum datang juga.
Dan mulailah kembali permainan bodohku : tebak-tebakan! Kalau sampai kamu belum datang juga saat masa penalty yang cuma 15 menit (dan kemudian aku akan beranjak pergi), okey, berarti... berarti.... (berat emang bilangnya) berarti emang kamu bukan jodoh saya, bukan buat saya. Setuju kan hey pria?

05 : 25 PM
Okeee..! Siap..! Dan kamu belum datang. Dan pancake sudah menghilang, hanya tersisa seonggok piring putih kosong dengan sisa lelehan eskrim yang tampak masih manis, dan juga sebuah batang dan daun bekas “topi” sang strawberry. Vas masih setia menemaniku disana, tapi aku yang tak sabar menunggumu disini, wahai pria ajaib!
Dan aku bayar aja deh ke Masnya, minta bill dan.... Oke, aku memang ga jodoh sama kamu. Ga jodoh, ga ditakdirkan untuk ketemu dan ga bisa kalo harus bertatap muka denganmu, sedangkan aku menerka-nerka bahwa kamu bukan jodoh aku! Sialan...

05 : 29 PM
Oke, oke, oke, kamu emang bukan jodoh aku.
Gapapa, aku masih bisa temenan ko sama kamu. Yakin temen?
Gatauu! Aku gatau bisa apa ngga jadi temen aja sama kamu! Ah, udah mau jam setengah enam dan kamu belum datang. Ya udahlah, kalo emang kamu bukan jodoh aku, ya udah lah mau gimana lagi.

Tiba-tiba... itu, seperti suara berisik yang kukenal, itu kan suara vespa. Ehm.. vespa cantik berwarna putih, dengan seorang pria berwajah menyebalkan yang menaikinya, tak lupa dengan jaket parka kesukaannya dan juga docmart warna coklat semu merah marun yang selalu aku suka.

Okee! Sialan itu kamu! Itu kamu!!! Ini jam brapa? Ah, jam 05 : 29?

Oke, belum jam setengah enam sore kan? Aku bertemu kamu? Iya kan?

Dan akhirnya senyum pun terbit dari wajahku, mengingat penantian sejam kurang semenit yang berarti, dan juga mengingat permainan tebak-tebakan kali ini menunjukkan jalan. Ya, aku memang berjodoh sama kamu. :)

111 Kata

Oleh: Adyta Purbaya (@dheaadyta)
www.adytapurbaya.wordpress.com

.......

Kamu masih menunggunya?

Tidak, aku sudah lama berhenti

Kamu jelas masih menunggunya!

Tidak! aku sudah punya yang lain.

Tapi kamu tetap menunggunya kan?

Sudah ku bilang tidak! TIDAK! TIDAK!

Lantas kenapa kamu harus cemburu?

Cemburu? Haha. pada siapa?

Pada gadis yang dia genggam tangannya. Pada hati dimana dia berlabuh.



Kamu cemburu kan? Sudah jujur saja lah..



Kenapa diam?

Aku nggak tau mau ngomong apa.

Bilang saja kamu memang masih menunggunya.

Tapi aku tidak..

Mata mu bilang begitu, sayang. Jangan mengelak lagi.



***

Aku terdiam. Pantulan diriku di dalam cermin itu benar.

Aku memang masih menunggunya.

Aku bahkan mungkin selalu menunggunya.

Dia yang sekarang sudah termiliki orang lain.

Aku cemburu!

Di Ujung Tanduk

Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)

Aku menelan ludah.
Dengan debar yang masih mendentum-dentum di dadaku, aku mengangkat tangan kananku, membiarkannya menyentuh pucuk rambutku yang pastinya basah oleh peluh. Kakiku gemetar, dan nafasku memburu.
Aku yakin orang akan menganggapku seperti orang gila sekarang. Mataku terbelalak, dan jarang sekali mengedip bahkan untuk mengusir rasa sakit yang merayap dan meraung-raung saat bola mataku kering.
Rasa cemasku bagaikan menduplikasi diri, bertambah banyak dan menumpuk seiring dengan berjalannya sang waktu.
Aku merasa galau.
Takut.
Dan cemas.
Aku memejamkan mataku, cukup lama hingga pedasnya rintihan kedua bola mataku melebur menjadi satu dengan kegelapan yang meninggalkan bercak-bercak cahaya dibalik selimut yang kusebut kelopak mata.
Ketika kubuka kembali lembaran kulit yang menutupi kedua bola penglihatanku itu, aku kembali merasakan sensasi mencekam itu. Sekujur tubuhku bagaikan tersapu oleh angin dingin yang membuat bulu kuduk meremang berkali-kali. Aku juga yakin aliran darahku sudah tidak lancar, mengingat sedari tadi aku berdiri dengan kedua kaki yang gemetar.
Suara desisan tertahan lolos dari sela-sela bibirku, yang tanpa sadar kulakukan berkali-kali seolah aku baru saja menggigit cabai. Peluh yang meluncur jatuh dan terselip diantara katupan gigi dan lidahku membuatku mengecap rasa asin, jadi cepat-cepat kuseka keringatku yang sudah mengucur dengan deras tersebut.
Apakah masih lama?
Tidak sabar, kuraih benda apapun yang dapat kujangkau.
Sebuah gantungan kunci yang belum sempat kugunakan. Tapi itu sudah sangat cukup untuk melerai rasa mencekam yang sedari tadi menghantui diriku. Setidaknya, dengan menggenggam benda tersebut erat-erat, meremasnya dan memainkannya diantara sela-sela jemariku yang kurus aku bisa bernafas dengan sedikit lebih tenang.
Tenang. Aku sudah mengalami ini berkali-kali dalam hidupku. Tarik nafas, hembuskan perlahan. Tenangkan pikiran, biarkan kesunyian menjawab semua kegelisahan yang mempermainkan kondisi hati. Lepaskan semua fokus, dan bayangkanlah hal-hal yang menarik dan beragam.
Oke, usahaku barusan gagal. LAGI.
Aku menghentak-hentakan kaki ke lantai, lalu berjalan-jalan dalam pola yang konstan; berputar-putar didalam lintasan berupa lingkaran yang semakin melebar setiap kali aku mengelilinginya, menjadikannya bukti konkret betapa paniknya diriku sekarang.
Genggaman tanganku terhadap si gantungan kunci terlepas karena keringat yang melumasi telapak tanganku. Otomatis benda mungil itu meluncur dan terjatuh di lantai, menimbulkan suara dentingan pelan karena bendanya yang terbuat dari besi.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Namun kali ini aku sadar bahwa aku sudah mencapai batas.
Bergegas, aku mengetuk pintu yang ada di hadapanku, sebuah sekat pemisah yang rasanya ingin kudobrak saja sedari tadi.
“Ayah…toiletnya sudah belum? Aku udah kebelet nih…”

Daniela dan Kabinet Senyum Kita

By: Laurentia Kartika (@Laurentkartika)
www.laurentkartika.tumblr.com

 

Sepertinya malam ini langit cerah. Aku keluar untuk membeli minuman hangat kesayanganku, bandrek susu. Di jalan aku bisa melihat jelas beberapa bintang yang mengerlingkan sinarnya. Ada satu yang paling terang. Sahabat ‘nomentionku’ selalu mengatakan kalau bintang yang paling terang namanya ‘Daniela’. :D
Oh iya, aku menjanjikanmu menyelipkan satu bintang di kotak rinduku kan? Aku selipkan ‘Daniela’ ya. Sinarnya aku jamin tak akan redup. Semoga cinta kita juga.
Waktu kau datang nanti, aku ingin kita bertemu di suatu tempat, lalu mendekap erat rindu, membahas hal yang sama, wacana yang sama, sajak yang sama, dan……. cinta yang sama pastinya.
Aku ingin menceritakan tentang kabinet senyum. Banyak partai-partai koalisi yang turut campur di dalamnya. Konsepnya telah dibangun, tinggal dijalankan saja sesuai aturan main. Kita menikmatinya. Tapi jangan lupa, kita harus hati-hati dalam cinta yang parlementer, banyak intrik politik yang bisa dengan mudah menghancurkannya.
Bagaimana kalau nanti kau kembali, kita susun undang-undang baru? Yang pasti tak memihak, netral. Kita robohkan prinsip hukumnya yang tidak tak memihak. Agar senyum ini tidak hanya kita yang menikmati, tapi semua orang. Lalu kita bisa pastikan jika senyum yang kita bangun ini dinikmati semua orang, malaikat surga akan saling bergandeng tangan, bersenandung merdu, dan lincah menari jika mengetahuinya. Sungguh indah bukan?
Ah maaf, aku menganalogikannya dengan berbagai cerita hukum, karena itu bidangku. Nanti akan ku jelaskan lebih lanjut, sekembalinya kau pastinya. :)
Oh ya, riuh candamu masih ku tunggu. Beri tahu aku juga tentang liburanmu yang penuh cerita. Sepertinya seru!


By: Laurentia Kartika
www.laurentkartika.tumblr.com

Di Sudut Stasiun

Oleh Dilla D. P. (@dilladp)

Aku berlari sekuat tenaga menerobos kerumunan orang di depanku, mencari jalan untuk bisa cepat sampai di stasiun. Kereta Ekonomi AC terakhir menuju Bogor sore ini pukul 15.43 dan baru akan ada lagi dua jam setengah ke depan. Aku tak akan mau membuang waktuku selama itu untuk bisa sampai di rumah, maka aku mengerahkan tenaga untuk berlari menuju stasiun dan mengejar kereta sore ini.
            “Mas, Eko AC Bogor satu!” dengan setengah ngos-ngosan aku menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan pada mas-mas penjual karcis.
            “Maaf Mbak, lagi ada gangguan. Kereta AC berikutnya baru akan ada pukul setengah tujuh,” kata mas-mas penjual karcis dari balik loket yang seketika membuat kakiku lemas. Dengan langkah gontai, aku keluar dari antrean dengan selembar karcis kereta Ekonomi. Mau bagaimana lagi, masa iya aku harus menunggu dua setengah jam untuk naik kereta? Belum lagi setibanya di Stasiun Bogor aku masih harus menyambung naik angkot dua kali untuk sampai di rumah. Dengan setengah hati, aku berjalan menuju peron 1 untuk menunggu kedatangan kereta, meskipun rangkaiannya masih berada di Stasiun Jakarta Kota.
            Aku duduk termangu di bangku stasiun seorang diri. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan di sini selain menunggu, duduk, dan bengong. Jujur, aku sangat membenci kegiatan ini. Waktu yang kupunya seharusnya bisa kulakukan untuk melakukan hal berguna lainnya, tetapi, yah.. hanya ini yang bisa kulakukan saat ini. Tidak lebih.
Ada sesosok ibu betubuh gemuk sambil menggandeng anaknya yang masih berusia PAUD lewat di hadapanku. Ia membawa plastik belanjaan yang cukup berat, ditambah lagi anaknya rewel merengek ingin dibelikan es krim sepertinya membuat ibu itu cukup kewalahan. Ia celingukan di sekitar stasiun sepertinya mencari sebuah tempat untuk istirahat.
            Aku melihat sekitar, bangku di sepanjang peron ini sudah penuh. Akhirnya aku bangkit berdiri, menghampiri ibu tersebut, dan menawarkannya untuk duduk di bangku yang tadi aku tempati. Ibu tersebut tersenyum sambil menyapu peluh di dahinya, tanda ia sangat bersyukur akhirnya mendapatkan tempat duduk.
            Tapi.. akhirnya kini aku yang harus berdiri. Tak apalah. Entah mengapa, saat sudah melakukan sesuatu hal pada orang lain meskipun hal tersebut sepele, aku merasa seolah ada perasaan membucah pada hati ini. Aku tersenyum simpul, teringat bahwa dulu aku pernah mengalami kejadian yang sama seperti ini belasan tahun lalu.
            Dulu, aku dan mama juga pernah seperti mereka. Kala itu aku masih berusia sekolah dasar, dan sehabis pulang sekolah mama mengajakku untuk jalan-jalan ke Tanah Abang untuk membeli baju lebaran. Saking bersemangatnya, aku dan mama memborong segala sesuatu yang ada di sana. Bukan hanya baju, tapi juga kerudung, mainan, makanan untuk berbuka puasa, dan segala macam hal sampai hal yang gak penting. Akibatnya, mama kewalahan menenteng kantong belanjaan sepulang dari sana, apalagi waktu itu papa gak bisa jemput karena masih ada kerjaan. Aku merengek kelelahan, lapar, dan ingin cepat sampai di rumah, sementara mama dengan wajah lelahnya tetap tersenyum menenangkanku meskipun aku baru menyadari bahwa mama pasti lebih capek dibanding aku.
            Saat itulah ada sesosok remaja seusiaku sekarang yang tiba-tiba menghampiri kami dan mempersilakan kami duduk di tempat yang tadi ia duduki. Aku girang bukan main, meninggalkan mama dengan kantung belanjaannya, dan tanpa perasaan langsung duduk di bangku tersebut.
            Ah, betapa indahnya kala itu. Masa kecil yang penuh kepolosan dan tanpa beban, dan juga masa kecil yang indah terukir bersama mama. Aku menerawang sejenak, menengadahkan kepala ke langit, mencari sosoknya di sana. Aku merindukanmu, Ma, aku bergumam dalam hati. Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak kepergian mama, dan tak ada satu hal pun yang bisa menyembuhkan luka ini sampai kapanpun. Juga, tak ada seorang pun yang mampu menggantikan posisinya, baik dalam hati maupun dalam hidupku.
            Aku menepuk pipiku sendiri, mengajak diriku untuk sadar agar tidak terlalu jauh berkhayal. Tuhan, tolong sampaikan pada mama, di manapun ia berada, aku akan baik-baik saja..
            “Mbak, uangnya, Mbak,” tutur seseorang memecah lamunanku. Aku memerhatikan, ternyata suara tersebut berasal dari seorang kakek yang menyodorkan kantong bekas permen ke arahku. Tubuhnya kucel, pakaiannya lusuh, dan yang lebih membuatku miris, kakek itu berjalan dengan menyeret tubuhnya karena kakinya tidak dapat berfungsi dengan baik.
            “Uangnya Mbak, saya belum makan..” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian tanpa peduli dengan pandangan orang di sekitar, aku berjongkok, menyetarakan tinggi badanku dengan kakek tersebut. “Kakek belum makan? Saya beliin ya?” kataku sambil tersenyum. Kakek tersebut sedikit terkejut mendengar tawaranku, dan tanpa persetujuannya aku menghampiri warung nasi padang yang terletak tidak jauh dari tempatku. Aku membelikan kakek itu nasi, telur, dan sepotong ayam untuk dibungkus.
Setelah membayar, aku pun kembali ke tempat semula di mana kakek tersebut masih menungguku dengan pandangan heran. Mungkin baru kali ini selama mengemis ia diberikan makanan langsung, bukan berupa uang.
“Ini Kek, semoga kakek kenyang ya,” kataku sambil menyodorkan sebungkus nasi dan sebotol air minum.
Kakek tersebut menerimanya masih dengan mimik heran, tetapi sejurus kemudian ia pun tersenyum. “Makasih Mbak, makasih banyak! Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak dan melipatgandakan pahala Mbak. Makasih!” katanya sambil menggebu-gebu, kulihat ada setitik kristal terukir di sudut matanya, tanda ia terharu.
“Sama-sama, Pak,” balasku singkat. Kakek tersebut pun berlalu dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk.
Ya Tuhan, betapa aku haru sangat bersyukur atas segala kecukupan yang telah aku dapatkan hingga kini. Hingga aku tidak perlu hidup dari meminta-minta, tidak perlu hidup dari belas kasihan orang lain, dan aku menyadari bahwa betapa aku masih sering merasa kurang, padahal orang lain di sana hidup dari mengais sampah. Semoga kakek itu senantiasa dilindungi oleh Tuhan dan ditambahkan rezekinya, amin.
BRUKK!!
Sesosok wanita menabrakku hingga membuatku limbung, aku mencari pegangan agar tidak sampai jatuh. Ternyata yang menabrakku adalah seorang mbak-mbak kantoran dengan make-up tebal dan pakaian ala sekretaris, menggunakan kemeja dan rok mini. Ia sedang asyik dengan handphone-nya saat sedang berjalan di pinggir stasiun hingga ia menabrakku.
“Aduh, hati-hati dong, Mbak,” kataku setengah jengkel sambil menepuk-nepuk bajuku yang kotor terkena debu.
“Maaf, maaf, saya nggak sengaja,” balasnya dengan nada menyesal. “hah, ELO?” lanjutnya, setelah beberapa saat melihatku dengan mimik setengah tak percaya.
“ARINI?” tanyaku, sama tak percayanya dengan apa yang baru saja kulihat.
“Iya, ini gue! Lo Manda kan?” tanyanya antusias.
Tak percaya rasanya, aku hampir melonjak kegirangan dapat bertemu kembali dengan Arini, sahabatku ketika kami sama-sama masih duduk di bangku SMP. Sayang, sehabis lulus dari SMP, Arini harus pindah ke luar negeri mengikuti ayahnya yang bekerja di KBRI. Setelah hampir lima tahun kini tak bertemu, kami malah dipertemukan kembali pada saat yang tak terduga, dengan diri kami masing-masing yang telah jauh berbeda dengan diri kami yang dulu.
Arini masih sama cantiknya seperti Arini yang dulu, tetapi kini ia sudah jago berdandan sehingga make up di wajahnya justru malah membuatnya terlihat seperti mbak-mbak umur dua puluh tahun menengah. Namun, bagaimanapun juga, aku melihatnya tetap Arini yang sama seperti dirinya lima tahun yang lalu.
“Lo sekarang kuliah di sini, Man?” tanyanya.
Aku tersadar dari lamunanku, masih sulit memercayai bahwa kini aku bertemu lagi dengan sahabatku. “Iya Rin, lo sendiri?”
“Habis lulus SMA di luar gue langsung kerja part-time setahun, dan sekarang sepulangnya gue ke sini pun gue dapet tawaran untuk kerja di perusahaan temen bokap gue,” jawabnya.
“Terus lo kapan pulang ke sini? Jahat banget gak pernah ngabarin gue,” tuturku dengan nada kecewa.
“Baru enam bulan yang lalu, Man. Gue tadinya mau ngehubungin elo, taunya lo ganti nomer, dan gak ada satupun temen se-SMP kita yang tau nomer baru lo. Sepulangnya ke sini, niatnya gue mau ngelanjutin kuliah yang sempet tertunda setahun, tapi ternyata gue dapet tawaran untuk kerja. Kalau dipikir-pikir, lebih enak begini Man, gue ngerasa jadi lebih mandiri dengan kerja sendiri. Meskipun bokap gue bukan berasal dari kalangan ekonomi bawah, tapi dengan hidup seperti ini gue sadar bahwa ternyata nyari uang itu gak gampang. Gue baru sadar ternyata membiayai diri sendiri aja sulit, apalagi nanti kalau gue udah berkeluarga. Sekarang juga gue lagi berusaha untuk nabung, dan semoga tahun depan gue bisa kuliah dengan biaya gue sendiri,” ia bercerita dengan panjang lebar. Tak kusangka bahwa Arini yang ada di hadapanku kini sudah berubah menjadi Arini yang pemikirannya sudah jauh lebih dewasa, sama sekali berbeda dengan Arini yang manja yang kukenal dulu.
Sebenarnya aku tahu bahwa ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang, dan aku tahu Arini menyadari hal itu. Dulu, itu yang menyebabkan ia menjadi manja dan sangat bergantung pada kedua orang tuanya. Tak kusangka lima tahun dapat mengubah seseorang menjadi sangat berbeda.
“Oh iya, lo kuliah di jurusan apa, Man?” tanyanya.
“Psikologi, Rin, “ jawabku.
“Astaga, astaga,” tuturnya. “Mungkin emang ini yang dinamakan takdir ya, Man. Kebetulan perusahaan gue lagi butuh banget seorang part-timer di bagian HRD, dan kalau lo berminat, dengan senang hati,” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik dompetnya. Aku menyambutnya dengan mulut menganga, tak menduga akan mendapat kejutan seperti ini.
“Lo tahu aja gue lagi butuh sambilan, Rin. Makasih banget ya, akan gue pertimbangin,” jawabku, mencoba menguasai diri akan segala kejutan ini.
“Sip, nanti lo hubungi gue aja. Nomer gue sama nomer kantor semuanya tercantum kok di situ,” katanya lagi. “Eh, udah dulu ya! Gue lupa kalau masih ada janji sore ini. See ya next time ya, Man,” tutupnya dengan sebuah cipika-cipiki pada kedua pipiku.
Aku tersenyum sambil memerhatikannya berlalu dari pandanganku. Semua kejadian yang terjadi di sudut stasiun ini sungguh benar-benar membuatku ‘melek’ akan sebuah kehidupan. Hanya dengan berdiri di sini, aku bisa melihat berbagai macam orang berlalu-lalang dengan masing-masing kehidupannya, namun terkadang orang asing seperti mereka justru lebih banyak mengajari kita bagaimana hidup yang sesungguhnya itu. Mereka bisa mengembalikanku pada kenangan lama, mempertemukanku dengan sahabatku, juga mengajariku arti sebuah keikhlasan. Sungguh, hidup berjalan sangat rapi sesuai dengan skenario yang telah dirancang-Nya.
Kereta Ekonomi tujuan Bogor saat ini memasuki stasiun Universitas Indonesia. Bagi penumpang yang ingin naik, harap menunggu di peron satu. Hati-hati, jangan nyebrang dulu,” sebuah pengumuman menandakan bahwa kereta akan segera tiba. Aku melirik arloji, ternyata sudah satu jam berlalu dan tak sedikitpun aku merasakannya. Baru kali ini, menunggu kereta terasa sungguh sangat menyenangkan.