Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 April 2011

Kamis Ini Kamis yang Panjang, Saudara-Saudara!

Oleh: Yudha Patria Yustianto (@jimbrene)
http://yudha25patria.wordpress.com/


Waktu Perang Dunia II pecah, saya belum lahir. Saya lahir kira-kira 40 tahun setelah perang itu selesai, atau sekitar 20 tahun setelah Perang Vietnam di… Vietnam. Dan saya lahir di Indonesia.

Nama saya Tom. Kepanjangannya: Tom Mahaya. Entah sebab apa orangtua saya memberi nama seperti demikian. Mungkin waktu itu mereka sedang keranjingan kartun Tom & Jerry, tapi kenapa harus Tom? Bukan Jerry saja? Lalu apa artinya Mahaya? Saya pernah bertanya, tapi orangtua saya, baik Papa maupun Mama tak pernah menjawabnya secara pasti. Singkatan dari mara bahaya mungkin? Seperti Tom yang melibas resiko apapun demi menangkap si Jerry. Entah mau diapakan sama si Tom kalau Jerry sudah tertangkap. Yang pasti, hidup saya biasa saja. Tidak seperti Tom atau Jerry yang dari film kartun itu.

Saat ini saya berada di mall. Sedang kuliah. Dosen seni rupa saya menyuruh kami –mahasiswa-mahasiswanya, untuk membaca alam sekitar. Beliau bilang, “Segala yang ada di sekitar kalian adalah sumber inspirasi! Bacalah alam sekitar kalian!”. Dan beliau adalah dosen favorit saya. Karena beliau, saya bisa jalan-jalan ke mall.

Tampang saya boleh dibilang ganteng, kalau tidak, boleh dibilang apa saja. Rambut keriting gondrong diikat ke belakang. Kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka, di dalamnya kaos oblong bergambar tengkorak. Celana jeans baru, sendal merk Crocodile. Tangan kiri gelang kayu tasbeh, tangan kanan jam tangan merk Casio. Dapat beli 50-ribuan di pasar kaget. Wajah saya mirip Marilyn Manson, cuma versi tanpa make-up, ditambah pipi tembem, alis tebal dan ada jerawat besar di antara mulut dan hidung, yang membuat saya jadi sama sekali tidak mirip dengan Marilyn Manson. Ya, saya jauh lebih ganteng daripada dia. Dengan kegantengan saya ini, saya jalan di mall. Berdecak dan menjentikkan jari setiap lewat perempuan cantik. Yang tidak cantik, saya berdecak saja dalam hati.

Oh, itu dia! Si cantik dari India. Nadia namanya. Dia bukan orang India, tapi kulitnya hitam, rambutnya bergelombang, hidungnya mancung, tinggi semampai dengan dandanan masa kini yang modis. Aha! “Nadia!”, saya memanggilnya. Dia menoleh pada saya.

“Ayo kita nonton bioskop!”, ajakku padanya. Dia mengiyakan, kami menari di mall. Ada sepuluh orang berdansa mengikuti kami. Sepuluh lainnya menyusul. Ketika kami sampai di loket bioskop, 20 orang yang berdansa tadi hilang. Akhirnya terpaksa saya yang bayar tiket bioskop. Nadia dan saya akan menonton film ini, sebuah film kartun tiga dimensi karangan orang Amerika. Judulnya Avatar. Nadia gembira sekali. Senyum lebarnya menyematkan gigi putih di antara kulitnya yang hitam. Ah, Nadia. Kau mirip orang India. Setelah membeli tiket, kami berjalan ke kursi panjang, tapi tidak sambil menari. Saya takut 20 orang yang menari tadi tiba-tiba muncul kembali.

Kami berdua mengobrol untuk mengeksekusi gantung sang waktu. Nadia bercerita tentang pengalamannya hari ini di kampus. Dia bilang, di kampusnya sedang ada teror bom. Saya takut mendengarnya, kenapa harus kampus yang dibom? Nadia menjawab, “aku juga nggak tau…”. Ah, Nadia. Jadi apa yang kau tahu?

Saya juga akhirnya bercerita tentang pengalaman saya hari ini. Saya bercerita bagaimana saya berjuang menjalankan misi untuk bangun pagi, mandi, sarapan dan pergi kuliah tepat waktu. Namun semua usaha itu jadi sia-sia, karena saya gagal di misi yang pertama.

Nadia tertawa mendengar ceritaku.

“Nadia, tawamu membahana memenuhi seluruh ruangan ini...” bisikku mesra pada Nadia. Dia mengatupkan mulutnya yang tadi menganga karena canda dan tawa. Tepat ketika dia menutup mulutnya, suara bel di bioskop berbunyi. Tandanya, kami harus masuk ruangan.

Beberapa jam berlalu.

Saya dan Nadia keluar dari ruangan bioskop. Kami puas menonton film Amerika yang berjudul Avatar itu. Kami berdiskusi sejenak, dan sepakat untuk pergi ke kamar kecil bersama-sama. Satpam melihat saya, lalu mencegah saya melakukan hal itu. Dia bilang, saya tidak boleh masuk ke kamar kecil perempuan. Saya sedih sekali, tidak bisa melanjutkan kebersamaan dengan Nadia di dalam kamar kecil. Saya-pun pergi ke kamar kecil untuk laki-laki. Saya tidak betah berlama-lama di dalam sini, karena semua orang di ruangan ini adalah laki-laki. Laki-laki itu semuanya gombal! Saya tidak mau digombali oleh laki-laki!

Setelah selesai semuanya, saya kembali bertemu dengan Nadia di depan pintu bioskop. Saya rindu sekali padanya. Saya mendekapnya erat-erat. Tidak ingin saya lepaskan Nadia dari pelukan saya. Tapi Nadia berkehendak lain. Dia segera melepaskan dirinya dari pelukan saya… “tapi Nadia, saya mencintai kamu!” teriakku lantang dengan tangan terulur melepas kepergiannya.

Dia pergi dengan langkah yang cepat, saya harus berlari-lari kecil untuk menyusulnya. Kami akhirnya bersejajar. Saya memegang tangan Nadia si gadis India. Saya melihat matanya dengan tatapan mesra. Dianya tidak bereaksi, cuma senyum-senyum saja.

Saya dan Nadia lalu berjalan-jalan di mall. Masa bodoh dengan teror bom. Selama ada Nadia di samping saya, saya bisa hidup dengan cara seperti apa saja. Ayo 20 orang! Keluarlah sekarang! Kita berdansa lagi untuk hari ini!

Nyanyian Angsa

Oleh: Yuya (@yuyaone)


Tokoh wanita itu berjalan sempoyongan. Seluruh tubuhnya gemetar. Sementara tokoh-tokoh yang lain memandang jijik. Sambil menutup hidungnya mereka mencela.

“Wanita itu pelacur!”

“Lihatlah! Sipilis membakar tubuhnya.”

“Pasti borok di selangkangan juga susunya. Bau! Menjijikkan!”

Masih dalam keadaan sempoyongan tokoh wanita itu berjalan. Dengan suaranya yang bergetar, dia mencoba berbicara, “ Namaku..Maria zaitun. Pelacur yang kalah..pelacur yang terhina..”

Beberapa tokoh yang lain didatanginya satu-persatu. Namun semuanya berlalu. Tokoh dokter hanya memberinya suntikan vitamin C.

“Buat apa obat yang mahal. Toh sebentar lagi wanita ini mati” ucap tokoh dokter pada tokoh perawat.

“kamu tak butuh pastur! Kamu butuh dokter jiwa. Karena kamu sudah gila.” Ucap tokoh pastur.

Tokoh wanita itu terus berjalan tertatih. Hingga akhirnya datang tokoh pria muda yang tampan. Diraihnya tubuh si tokoh wanita, kemudian dicium bibirnya.

“Kamu siapa?” tanya si tokoh wanita, sambil meraba tubuh tokoh lelaki muda itu.

“Mempelaimu..” jawab tokoh pria muda itu.

“Kamu luka di lambung kiri. Kamu luka di kedua telapak tangan. Kamu luka di kedua telapak kaki” wanita itu diam sejenak, “Apakah kamu..”

Tokoh pria muda hanya tersenyum.



“Ibu, apakah laki-laki itu Tuhan” tanya gadis kecilku.

“Eh..Iya..”

Aku terbangun dari lamunanku. Pikiranku kembali berada di tempat ini. Aula sekolah Isabel, gadis kecilku yang tengah beranjak remaja. Kami sedang menikmati sebuah pertunjukan drama dari puisi W.S rendra berjudul Nyanyian Angsa yang dibawakan teman-teman Isabel.

“Sama seperti ibu. Mereka memanggil wanita itu pelacur. Apakah ayahku Tuhan?” kudengar anakku lirih bersuara.

Cuplikan

Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)
the-possibellety.blogspot.com



Kalau saja manusia hidup hanya dari satu indera: aku cukup untuk sekedar melihat tanpa mendengar, atau sekedar mendengar tanpa meraba, mengecap tanpa merupa. Namun sayangnya manusia terbangun dalam mekanisme parsial yang menyatu dalam kompleksitas yang sebenarnya di hari lain, bisa kukatakan “Menakjubkan”. Tapi tidak pada saat ini. Tidak ketika gaung akal manusia yang awalnya kunikmati telah berubah menjadi teror sadisme.


Hari masih terlalu pagi; dingin dan gelap; juga mimpi masih enggan diberhentikan ketika tidur, yang kuyakin baru sekejap, terpotong jeritan yang mengesalkan. Kemudian hening, disisipi oleh desah. Teriakannya berasal dari kamar sebelah. Suara perempuan.. Mungkin si cantik yang semalam berbicara padaku lewat kedipan matanya yang menggairahkan. Tak perlu kutanya mengapa ia bisa hamper setiap malam tiba di rumah kos khusus lelaki ini. Fiesta stroberi yang terselip di saku celana si pria biar yang menjawab arti lenggak si cantik dengan pesonanya yang menari-nari. Ah, yah, juga desah yang menggerhanai sunyi dini hari juga bisa berpartisipasi memberi jawaban.


Aku telah terbiasa berkutat dengan buku sains di hari-hari belakangan ini, bukan tontonan berita kriminal ataupun novel-novel dengan disfungsi kejiwaan sebagai arena permainannya. Jadi yang muncul di kepalaku pasca teriakan tadi bukan imajinasi si perempuan telah diperkosa lalu dimutilasi. Yang kupikirkan sekarang adalah kemungkinan si lelaki sudah kerasukan obat perkasa, atau si perempuan yang berpura ini baru yang pertama. Kedua-duanya mungkin terjadi, namun yang pasti, aku benci setengah mati. Indera-indera manusiawi ini yang enggan berhenti menangkap kerjaan manusia lain, yang sebenarnya hanya memupuk kesal saja di dalam hati.


Benci, bukan karena aku iri, tapi lebih pada kecenderungan diri yang ternyata tidak bisa berhenti. Dengan tembok ini sebagai batas saja, aku sudah membangun nikmat dalam kepalaku sendiri yang tersusun dengan rapi dari sayup-sayup suaranya dalam rintih, juga memori tentang detail menggoda si cantik, bersama dengan imajinasi yang menggelitik. Benar jika kita melihat bukan dengan mata, tapi dengan pikiran. Fantasi itu semacam realita yang tidak sempat diperlihatkan pada diri. Jelas dan jernih. Dan yah, tidak bisa berhenti.


Nah, sekarang siapa yang akan memberiku jawab, karena apa indera manusia bekerja pada kesanggupannya yang tertinggi jika memberi nikmat yang berujung pada dosa?


Aku memaksa diri untuk berpura tidak peduli, sampai akhirnya tenggelam lagi dalam mimpi.


Aku terbangun ketika mentari mulai merangkak ke singgasananya yang tertinggi. Suara si cantik terdengar di depan pintu. Ada sesegukan yang curi-curi menyisip dari sapaannya yang manis, dan menarik aku untuk mendekatkan diri ke jendela, mengintip dan mencuri dengar dari sibak tirai.


“Kamu sendiri ‘kan yang bilang kalau kamu cinta aku. Ya sudah, kita menikah!” Ah, cantik, cantik. Mendengarmu berkata begitu saja aku sampai lupa diri.

“Iya aku cinta, tapi bukan berarti kita bisa menikah,” si lelaki menjawab garang.

Si cantik menatap dengan matanya yang basah. Kalau ada apa-apa, aku bisa saja menghambur keluar lalu meninju si lelaki sombong ini.

“Hey, tunanganku bisa gila kalau aku sampai nikah sama perempuan lain!” Tanpa sadar suara si lelaki meninggi. Tanda-tanda tanya berhamburan di dalam kepala, termasuk pada bagaimana manusia dengan mudah melempar kata cinta untuk menendang komitmen lama yang dulu dimulai dari pengakuan yang juga atas nama cinta. Konsep yang membingungkan.


“Ya terus aku bagaimana?” Si Cantik merintih dalam depresi.

“Bagaimana apanya?”

“Aku! Lantas aku bagaimana???”

“Jadi, atas segala kesediaanmu membuka baju dan menyerahkan tubuhmu sendiri, aku patut bertanggung jawab??”

Sepi yang panjang. Aku menyaksikan dalam diam dan gelisah, sampai menerka-nerka pun tidak bisa.

”Bukan itu yang aku tuntut dari kamu!”

“Lantas apa?!” Si lelaki menyergah dengan geram. Kasar.

“Ini!” Si Cantik menggerakkan telunjuk kanannya.

“Apa?!” Si lelaki menghentikan pandang pada ujung telunjuk Si Cantik. Masih dengan marah, namun seketika berubah menjadi kepanikan. Si Cantik diam, hanya nafasnya saja yang menderu. Si lelaki terduduk lemas dan pucat, bersender ke pintu. “Bukan,” sergahnya, “Itu bukan bayiku.”

“Ya lalu siapa kalau bukan bayimu??”

Mata si lelaki mengelana tanpa arah. Resah yang Nampak tak kunjung terselesaikan. “Mungkin bayi laki-laki lain yang lebih kamu cintai, yang kamu kunjungi di malam-malam lain, yang kamu nikmati di kamar yang bukan kamarku.”

Sudah kutebak, berlanjut dengan tamparan keras di pipi si lelaki.


Lalu, aku bagaimana? Apa pada saat sekarang ini ada keharusan untuk membuka pintu, lalu sekedar menenangkan si perempuan? Tidak, tidak perlu karena tidak akan membantu. Meninju si lelaki lalu memaksanya menikahi Si Cantik? Bagaimana kalau tunangannya adalah gadis baik, yang dalam prinsipnya, hanya pada satu lelaki ia sanggup mencintai? Atau kubenarkan saja ucapan si lelaki, barangkali ada lelaki lain yang dalam pelukannya, Si Cantik juga meluluhkan diri? Mengapa aku bertanya-tanya? Ketika aku membuka pintu dan muncul di antara mereka, keduanya hanya akan melempar tanya, ‘Kamu siapa??”


Aku menahan diri, namun tetap menajamkan indera untuk mencuri dengar dan pandang.

“Aku gak minta banyak, aku cuma minta kamu menjadi suamiku, secara resmi jadi bapak anakku yang juga anakmu!” Si Cantik menarik kerah kaos si lelaki. Si lelaki masih terjebak dalam pandangannya yang melanglang buana.


Pada saat seperti ini aku tak kuasa melempar tanya, kenapa cinta harus ada? Atau pertanyaannya yang harus kuubah, mengapa cinta seringkali terjungkal dalam manifesto akan nafsu? Atau mungkin kita akan berpaling pada pertanyaan tentang kehendak bebas dan akal budi, yang menjadikan manusia seperti ini: kompleks dan membingungkan, dan penuh drama-drama klise yang dibenci, namun tetap dicari-cari. Lalu jika sudah terlanjur begini, apa perlu cinta kita nikmati? Gila, kalau ini channel TV, kucari segera remot televisiku. Bukan karena dramanya membosankan: cerita klise yang mudah sekali kita tebak; tapi ada ironi yang tak sanggup aku saksikan lebih lanjut lagi; yakni tentang pertanyaan dan pernyataan tentang yang benar dan yang salah yang sama-sama terambivalensi satu dan lainnya.


Si lelaki memandang si perempuan dengan kilat tatap mata yang berubah cepat, dari kecewa menjadi amarah. Dengan kasar mendorong si perempuan ke dalam kamar, menyisakan bunyi pintu yang didorong paksa; kedua tangannya menegang di leher Si Cantik.

Hey! Hey!


Aku menanggalkan pertanyaan-pertanyaanku tentang keharusan dan kepentingan untuk turut campur: aku menggapai gagang pintu, berhambur ke kamar sebelah. Si Cantik mengerang kesakitan, selagi si lelaki menjadikannya pekikannya melemah di bawah cekikan tangannya yang perkasa. “Pergi sajalah, kamu berserta bayimu!!”


Aku sudah hampir menggapai lengan si lelaki yang tak sadar aku sudah mencuri masuk dan menjadi saksi sepanjang pertengkaran dramatik keduanya, ketika pandanganku dengan anehnya menggelap. Dalam keringanan sekujur tubuh yang tidak biasa ini, inderaku melemah, dan sisa kemampuan pandangku hanya tampilan-tampilan komposisi psikedelik yang memusingkan, sementara suara keduanya terdengar menjauh. Kusadari kumelayang makin tinggi.


“Bagaimana? Menyukai dramanya?” Sebuah suara berat dan berwibawa menyentak aku dalam kebingungan.

Aku menoleh ke sekelilingku. Ah, aku sudah kembali.

“Gila. Cukup tiga hari aku menjelma jadi manusia. Belum jelas mereka apa dan siapa, tapi sudah banyak mau dan sok tahunya,” jawabku, “Bumi adalah panggung sandiwara, khusus untuk drama yang paling mengerikan!”


Kudengar Ia tertawa. Aku meringis. Dengan cepat Ia menepuk bahuku.

“Sudah, tidak usah ikutan tertawa. Sana, kerjakan tugasmu.”

“Siap, Bos Besar,” jawabku, masih dengan nafas yang menderu, sisa ketegangan yang barusan kulewati, sambil mengepakkan sayapku meluncur kembali ke bumi. Kali ini untuk mengerjakan tugasku yang sesungguhnya: menjemput si perempuan ke alamnya yang baru. Kasihan juga kalau ia harus berlama-lama terjebak dalam drama manusia yang terus menjadikannya hina.

Drama Pria Muda

Oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)

Seorang pria berumur sekitar 35 tahun itu mengepulkan asap putih tak beraturan, lalu kembali menyesap rokoknya yang tinggal setengah. Mata kuyu, penampilan semrawut, dengan tas kecil berwarna biru pudar butut dipangkuannya itulah yang menjadikan ia sesekali dilirik oleh nyonya-nyonya berbadan besar yang duduk jelas mengambil jarak darinya. Ah, mungkin ia dikira gembel nyasar atau sebangsanya. Mungkin lagi dikira akan merampok mereka atau tak punya karcis hingga nanti akhirnya berharap pria ini akan dilempar dari kereta. Atau yang paling tepat mengapa ada orang berpakaian peminta-minta bisa masuk kelas berpendingin udara. Tak usah khawatir, seorang teman dekat memberikan tiket ini padanya siang kemarin, iba selorohnya.
Pria muda itu menjatuhkan rokoknya yang telah menjadi puntung, menginjaknya perlahan, kemudian mengusap wajahnya disertai tarikan napas dalam. “Aku heran mengapa tuhan doyan sekali mempermainkan nasibku.” Hanya terdengar lirih dari bibirnya yang kering dan menghitam itu. Mengubah posisi duduk, menyenderkan tubuh pada kursi yang terbuat dari busa tapi agak keras itu, pandangannya menerawang jauh. Pikirannya penuh. Penuh oleh benang-benang kusut yang tak bisa lagi digulung menjadi satu. Terlalu ruwet untuk dijabarkan dan dipisahkan agar tak menggulung lalu menggunung.
Pria muda itu membuka resleting si tas biru butut, menarik keluar selembar kertas yang sudah jelas pernah diremas hingga lipatan-lipatan terlihat hampir disetiap sudut. Surat gugatan cerai, terpampang besar dibagian atasnya. Pria muda itu merenung, memandangi huruf demi huruf yang tercetak dalam surat yang telah ia baca seribu kali itu. Belum bisa memulihkan hatinya yang masih remuk. Tak sampai pikirannya mengapa bisa Rina mengirimkan surat itu. Mengapa bisa, apa yang salah dengan rumah tangganya, bagaimana hidupnya kelak.
Tangan pria muda itu kembali dimasukan kedalam tas si biru butut, kali ini selembar kertas lain dikeluarkannya dari dalam situ. Ukurannya lebih kecil, dan tulisan cetak yang juga kecil membentuk kata-kata yang sukses membuat napas laki-laki muda itu memburu. Dari Rina juga, isinya tak kurang ialah meminta dirinya mengambil Nita, karena Rina tak bisa membawanya ketika ia menikah dengan suami barunya kelak. Perempuan sundel yang tega menelantarkan anaknya demi seorang engkoh tua yang punya banyak harta. Pria muda ini marah, namun hanya tergambar dari raut mukanya yang susah.
Hidupnya sudah hancur, istri tiada, anak menderita—belum lagi slip gajinya yang ditahan selama tiga bulan. Pria muda itu memasukan kembali tangannya ke dalam tas si biru butut, mengeluarkan sesuatu yang dibungkus potongan kain sarung. Pikirannya kini melayang pada wajah tua ibunya dikampung, kena TBC kabarnya seminggu lalu. Susah diwajahnya semakin bertambah, tentu. Dibukanya lipatan kain sarung itu, selagi pikirannya semakin menjauh, teringat akan biaya operasi kencing batunya yang harusnya sudah terjadi dua hari lalu. Sebuah pisau mengkilat tak lagi terselubung. Pikiran pria muda itu semakin menjauh, goresan ditangan kiri membuat darahnya tak lagi terbendung. Nyonya-nyonya berbadan besar tadi kini berteriak ribut.
**
Tiraipun tertutup, sorak sorai ngeri masih terdengar disana. Pria muda itu bangkit, menghampiri seorang perempuan yang langsung mengelap cairan merah ditangannya.
“Aktingmu sangat bagus.”
Itu hanya tinta.

Semuanya Hanya Drama?

Oleh: Bintang Muhammad (@bintangioustar)

Antara bahagia juga sedih yang kurasa saat ini. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku dengar barusan. Orang yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku dan menjadi anganku kini menyatakan cintanya padaku. Hangat tubuhnya juga desah nafasnya kini kurasakan. Dia begitu dekat dan dekat sekali. Aku tidak ingin semuanya berakhir. Tuhan, jangan biarkan semuanya berakhir!!
Tubuhku gemetar, airmataku tak hentinya meneteskan air mata. Aku sangat bahagia, ya aku sangat bahagia. Aku mencintainya, aku menyayanginya tapi dia telah ada yang puny. Aku merasa berdosa. Aku tidak boleh memiliki perasaan lebih pada dia. Dia memang begitu indah, matanya, senyumnya juga suaranya. Tapi bagaimana dengan perasaan kekasihnya, Ria, jika tahu aku dan Andre saling mencintai. Seketika aku melihat semua mata tertuju padaku. Memandangku dengan berbagai pertanyaan dan cibiran. Mereka semua pasti tak setuju dengan apa yang kulakukan, aku merebut kekasih orang lain.
Aku melepas pelukan Andre. Aku berusaha menjauh darinya. Airmataku terus mengalir deras.
“Mengapa kau menangis?” Tanya Andre.
“Aku…aku tidak bisa menerima cinta kamu”
“Mengapa? Bukannya kau juga mencintaiku?”
“Iya, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi..tapi cinta kita salah. Kau sudah ada yang punya, begitu juga aku” terangku.
“Tidak, cinta tak pernah salah sayang karena kita saling mencintai.”
“Tapi tak kau lihat beribu mata memandang kita? Mencibir aku yang berdosa dan tak mengerti hati sesama perempuan”
“Jangan hiraukan kata mereka, mereka bukan hakim kita sayang. Biarkan kita mengarunginya berdua.”
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu Dre” Air mataku mengalir deras. Aku berlari memeluk Andre. Tak ingin kulepaskan dia kukecup pipinya.
“Aku juga mencintaimu” Andre balas memelukku.
Aku menatap mata Andre dan berusaha menyelaminya. Andre membungkukan wajahnya kemudian mengecup bibirku. Aku memejamkan mata. Merasakan lebih dalam arti kecupan itu.
Semua berdiri dan bertepuk tangan. Tampak kepuasan dari wajah para penonton. Seluruh ruangan riuh dengan sorak-sorai dan siulan penonton. Aku dan Andre terhenyak, lalu melepaskan pelukan. Kami menggenggam tangan masing-masing dan membungkuk untuk memberikan salam hormat kepada seluruh penonton. Andre menatapku lekat. Aku tersenyum padanya. Dia balas tersenyum. Setelah tirai dalam panggung ditutup dan pementasan drama usai kami pun bergegas turun dari panggung.
“Akting kalian sangat luar biasa. Semua penonton sangat menikmati. Mereka nampak terharu .” ucap sang pelatih
“Pertunjukan drama kali ini sungguh memukau, sepertinya kalian punya chemistry yang pas. Aku suka bagian endingnya itu. Itu kan tidak ada dalam scenario!” Ria menambahkan.
Aku hanya menunduk. Memikirkan apa maksud yang Ria ucapkan barusan.
“Bel, kuharap kamu tidak marah soal kecupan tadi. Aku melakukannya tak sengaja dan aku rasa itu Cuma improvisasiku untuk lebih menambah greget.” Ucap Andre
Aku terkejut mendengarnya. Aku kira dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Ternyata itu hanya untuk menambah gereget. Menambah greget?