Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Anonim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anonim. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Agustus 2011

Pada Saatnya, Akan Bernama


Oleh Leanita Winandari.


Ada begitu banyak hari yang kulewatkan menunggu. Menunggu kamu.

Dalam sepi, aku mencoba menerka-nerka siapa kamu sebenarnya.
Membayangkan seperti apa rupamu, lekuk bibirmu, tingginya hidungmu,
warna bola matamu dan semua hal yang ingin kutahu.

Bahkan di dalam keriuhan massa di alun-alun kota dan setiap pusat
keramaian, aku selalu berusaha mencari kamu. Siapa tahu aku bisa
menemukanmu di sana, di antara kerumunan orang-orang itu.

Selalu itu yang kulakukan. Mencari kamu. Menunggu waktu untuk bertemu.

Kamu. Ya, kamu.

Kamu yang membuatku menghabiskan banyak waktu untuk memikirkanmu. Kamu
yang membuatku begitu penasaran tentang siapa dirimu. Kamu yang
membuatku ingin memangkas rentang waktu yang kurasa teramat panjang
untuk segera bertemu dengan kamu. Dan kamu yang seringkali membuatku
bertanya-tanya tentang siapa namamu--namamu saja, itu sudah cukup untuk
sedikit meringankan pencarianku.

Ah, tapi siapa yang tahu namamu tanpa perlu kamu sibuk memperkenalkan
diri dan menyebutkan namamu?

Dan pertanyaan itu mengantarkanku pada sebuah jawaban: hanya Dia yang
tahu. Juga membuatku akhirnya kembali meyakini satu hal bahwa ini
mungkin hanya masalah waktu. Ya, suatu hari nanti aku akan
menemukanmu, bertemu denganmu, juga memiliki kesempatan untuk
mengenalmu. Dan setelah itu, aku tidak akan lagi memanggilmu dengan
sebutan 'Mr. X'. Aku akan memanggilmu dengan namamu sendiri.

Tapi nanti, setelah waktu itu datang. Pada waktu yang dipersiapkan
khusus untuk kita. Waktu yang dijanjikan-Nya. Dan diberkati-Nya.

Cinta Yang Musnah



Oleh Rahmi Afzhi (@Afzhi_)



Klara menatap ke arah ruang kesenian itu sekali lagi. Matanya serasa
menembus jauh ke belakang celah pintu. Melihat seorang pemain drum
yang perawakannya bisa membuat Klara terpikat. Dialah Kevin, drummer
band SMA 32.
“Kevin ganteng, ya?” Siska membuyarkan lamunan Klara.
“Emang ganteng, Nyun. Eh, lo kok nanya kaya gitu? Lo naksir ya ama dia?”.
“Enak aja. Gue kan temen setia. Nggak mungkin gue pake semboyan temen
makan temen. Yuk ah cepetan pulang,” Siska yang digelari si “Manyun”
oleh Klara bersungut.
Setibanya di rumah, Klara segera masuk ke dalam kamarnya yang dihiasi
dengan cat serba pink dan nuansa hello kitty. Segera dibukanya laptop
miliknya. Lalu dikliknya icon connect pada bagian wireless modem.
Setelah arus internetnya telah tersambung, segera dibukanya alamat web
twitter melalui Mozilla fire fox. Hmmm… followersku udah 572 orang
nih. Nambah 4 orang dari kemarin dong. Bagus! Batin Klara kegirangan.
Dia akan selalu bahagia jika followersnya bertambah. Ini siapa ya? Sok
kenal sok dekat banget deh, Klara kembali membatin ketika membaca
sebuah mention dari seseorang yang memakai username @MyNameIsNoName.
Isinya : Hay @Klaragokil! Gimana sekolahnya hari ini? Lancar?
@MyNameIsNoName Maaf, ini siapa ya? Emang kita pernah chatting sebelum
ini? balas Klara.
@Klaragokil nggak pernah sih. Tapi aku liat di bio kamu aja kalo nama
kamu Klara. Dan kamu sering males kalau banyak ulangan di sekolah,
orang yang mendapat mention dari Klara ternyata sedang on juga
@MyNameIsNoName oh gitu…. Gpp kok. BTW, nama kamu siapa n anak mana?
@Klaragokil apa perlu aku sebutin nama aku? Aku dari Jakarta.
Begitulah chatting itu terus berlanjut. Sampai akhirnya Klara tahu
kalau orang yang tidak mau menyebutkan namanya itu juga masih SMA.
@MyNameIsNoName oh ya, sekarang aku mau makan siang dulu. Nice to meet
U, tulis Klara mengakhiri pembicaraannya.
@KlaraGokil OK. Nice to meet you too.
Sambil tersenyum-senyum kecil, Klara menekan icon sign-out di twitter.
Eh, aku lupa baca bio si No Name itu. Huft,,,, kepaksa masuk lagi!
Gerutu Klara. Aku adalah seorang drummer. Hanya itu? Nyebelin banget
deh. Kasih info lebih detail kek, sungut Klara.
Esok harinya, Klara menemukan setangkai bunga mawar di dalam laci
mejanya di sekolah.
“Dari siapa ya? Kok nggak ada namanya?” Siska balik bertanya ketika
Klara menceritakan kejadian yang menimpanya pagi ini.
“Ya elah. Gue nanya, elo nya balik nanya juga. Kasih jawaban dong.”
“Eh, jangan ngomel-ngomel gitu dong. Kalo elo mau jawabannya,
jawabannya adalah gue nggak tau!”
“Sabar buk. Elo kaya nggak tau sifat gue aja. Oh ya kemaren ada
peristiwa aneh bin aneh juga lho!”
“Apa?”
“Gue kemaren chatting!”
“Bujug buneng, kalau itu gue juga udah tau. Elo kan hantunya ngenet
yang pernah absen tiap hari.”
“Tapi ini lain, gue chat sama orang yang nggak mau kasih tau namanya.
Hanya satu yang dia kasih tau ke gue, kalo dia itu sekarang SMA.
Terus, pas gue liat biodatanya, dia bilang kalo dia itu, seorang
drummer!”
“What? Kayanya gue tau deh siapa orangnya.”
“Siapa, Nyun?”
“Masa lo nggak tau sih? Lola banget deh kalo gitu cari aja sendiri.
Bye!” Siska berlalu pergi sambil mencium telapak tangannya dan
menghembuskannya kepada Klara.
“Huft, dasar lo. Gitu amat jadi orang. Ya udah deh. Silahkan sana!”
Semenjak pagi itu, Klara selalu mendapat hadiah tiap pagi dari admire
secretnya itu sampai suatu hari. @MyNameIsNoName thank’s for
unfollowed me! , tulis Klara ketika dia mengetahui tidak bisa lagi
mengirim direct messaage kepada si No Name. Dia kesal. Akhir-akhir ini
si No Name itu jarang chat lagi dengan dirinya setelah si No Name
mengatakan bahwa dia sedang sibuk untuk persiapan untuk pentas seni di
sekolahnya. Lama Klara menunggu. Namun tak kunjung ada balasan. Ya,
sudahlah. Buat apa nunggu orang yang nggak penting kaya dia? geram
Klara dalam hati.
“Klara, ternyata dugaan gue bener,” Siska menyambut kedatangan Klara
pagi itu dengan sebuah pernyataan.
“Dugaan apa?”
“Dugaan kalo yang jadi secret admire elo selama ini adalah Kevin.
“Hah! Beneran?”
“Beneran dong. Gue sengaja datang pagi-pagi ke sekolah demi ngebuktiin
hipotesis gue selama ini. Dan ternyata itu bener.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Klara langsung menuju kelas XI IPA I,
kelasnya Kevin. “Oh jadi, elo ya yang selama ini…” perkataan Klara
segera terhenti karena Kevin segera memotongnya. “Maaf, kalo gue
selama ini gue menghantui lo. Tapi, sebenarnya itu bukan gue. Itu
adalah abang gue anak kelas XII IPS II. Dia minjem akun twitter gue
buat bisa chat sama elo. Dan dia selalu ngirim hadiah-hadiah buat lo
lewat gue. Dan maaf kalo gue kemaren nge-unfollow lo. Itu karena kakak
gue udah meninggal dua hari yang lalu karena sakit kanker hati yang
dideritanya. Sekali lagi maaf.”
Klara terdiam mendengar penuturan Kevin, orang yang disukainya selama
ini. Luluh semua harapannya. Padahal dia baru merasakan senang saat
Siska mengatakan bahwa Kevin adalah secret admire-nya. Dan sekarang,
semuanya telah musnah. Pupus tanpa bekas.

Dear Love


Oleh Novi Sahar (@novi_yy)



Surat kesekian. Masih dengan amplop berwarna. Kali ini warnanya ungu muda. Bibirku tersenyum bergetar. Perlahan aku membukanya.

Dear Love.....
Aku tak lelah memujimu
Pastinya, kau selalu cantik
Mungkin ini surat terakhir dariku
Bukan...., bukan karena aku berhenti
Mengagumimu...
Tapi karena aku mulai mencintaimu.
Aku ingin kau hidup,
Sebab dengan begitu jantungku berdetak.
•Aku•

Beberapa jam yang lalu, aku terbangun dari obat bius yang sengaja disuntikkan kedalam tubuhku.
Operasi cangkok jantung telah berlangsung sukses.

Entah mengapa, aku langsung teringat pada surat terakhir yang aku terima.

Saat itu aku menangis. Aku mencintainya. Meski hanya mengenal dia melalui surat yang rutin ia kirimkan untukku. Aku sungguh kehilangannya.

Kini mendadak aku merasa sangat dekat dengannya. Jantung baruku berdebar. Perasaanku mengatakan jantung ini milik dia.

Sajak Tanpa Nama



oleh: ellena ekarahendy (@yellohelle)



untuk seorang yang tak bernama,
yang meninggalkan sajak jejak rupa :

apakah kita pernah berbincang?
Ya, kita pernah berbincang
pada bila yang mana?
Pada bila yang hanyalah diam

waktu itu bulan putih dan bima sakti hanyalah serpih
ada langkat-langkat aksara yang berterbangan
hinggap pada bahu lalu terbang ke langit langit genting
lalu senyap

kosong jeda panjang pada serbet kusam di beranda ia hinggap
bersisian dengan jeruji-jeruji kelip yang mencakar langit-langit:
selebihnya rebah aspal yang basah,
kau tahu,
hal terbaik yang bisa dilakukan di kota ini adalah kecerobohan
dan sisanya adalah kesendirian

sayang, bulan hilang perak
dan kebohongan sudah lama berpulang dalam pantulan-pantulan di dasar gelas
dan ampas kopi yang berbekas hanyalah lebur khotbah di bukit
yang naik ke kubah katedral para pesakit
lalu tiga kali lonceng gereja berdentang: memanggil pamit menjemput petang

paginya
organ-organ tua memajang partitur usang
gemanya berpantulan
ting dan tang ke atas ubin yang dingin, sampai mati bosan telinga
namun sajak masih tak bernama

ah, setidaknya ketika habis tetes tinta, ia mengantungi cerita
tentang yang ada tanpa pernah ada
, makna yang diseka lantas dijual murah
atau hanya pura-pura
atau hanya anekdot penyair gila,
entah.

tapi di ujung halaman kertasnya bertekuk segitiga pucat
bersampir satu kalimat,
“aku pergi mencuri senja




*
nb: istilah "mencuri senja" penulis pinjam dari seorang kawan yang pernah sekali waktu, di tengah malam, mengirim pesan singkat, "El, kalau gue nyuri senja, Tuhan marah enggak?", yang meminjam dari Seno Gumira Ajidarma dalam Sepotong Senja Untuk Pacarku.

CUKUP RASAKAN SAJA



oleh Noerazhka (@noerazhka)


Mendadak saya terhenyak, langkah saya terhenti sejenak. Saya merasakan sesuatu, lagi, setelah beberapa kali teralami. Ada yang berdesir lembut di dalam dada. Atau entahlah dimana. Lembut. Ya, lembut sekali. Namun cukup membuat saya terperanjat dalam diam. Merasakan jantung yang kemudian berdegup sealun desiran itu ..

Saya memeriksa sekeliling. Keramaian di sekitar saya masih sama saja. Saya terperangkap di dalamnya. Tidak ada siapa-siapa yang saya rasa cukup sanggup membuat desiran lembut di dalam dada saya. Tidak ada seorang pun yang saya kenal. Tidak ada seorang pun yang melakukan hal-hal mencurigakan ..

Semakin mengherankan, karena ini bukan yang pertama atau sekali dua kalinya ..

Sering. Dan muaranya selalu saja seperti ini, buntu, tanpa titik temu. Saya hanya mampu meredam desiran. Menikmatinya baik-baik, sambil sedikit khawatir apakah kali lain desir lembut ini masih mau bertamu di relung dada saya. Meski begitu, saya selalu membungkus tanya tentang bagaimana sepotong hati, nun jauh di reung dada, bisa seperti tersentuh tanpa ada seorang pun yang terlihat hendak menyentuh ..

Setelah memastikan sekali, tidak ada apa-apa atau siapa-siapa, saya melanjutkan langkah, lagi ..

***

Aku mengikutinya. Selisih sekian langkah dari langkahnya ..

Ku hayati sosok indahnya, melenggang elegan, dimana seluruh makhluk tunduk membukakan jalan bagi pesonanya. Ku hirupi aroma parfum khas yang melingkupi raganya, yang tertinggal di setiap udara membeku sesaat setelah dia meninggalkan jejaknya. Ku jelajahi bahu bidangnya, hingga betapa ingin aku mendaratkan seluruh gundah disana. Ku curi-curi tawa bahananya, yang merasuki setiap inchi indera pendengaran dan membuatku tuli seketika. Ku manjai sepotong lara tentang mimpi menjadi kening yang terkecup oleh pagutnya di setiap pagi, dimana embun pun masih malu-malu menjatuhkan diri ..

Ku rasai bahwa aku jatuh cinta ..

***

Lagi. Saya merasakannya lagi ..

Desiran lembut itu. Kini, untuk pertama kali, tak hanya di relung dada, tapi menyebar di seluruh permukaan raga. Saya menggigil penasaran, dibalut butir-butir hujan yang turun dari langit yang tak mendung ..

***                                       

Aku selalu di belakangnya. Menatap punggungnya ..

Atau, sesekali di depan, samping kiri atau kanannya. Menikmati momen singkat, mendapati pesonanya mengerjap seperti mukjizat. Menghentikan waktu saat seluruh auranya terekam hangat dalam ingat ..

Di sela saat-saat berharga itu, aku bungkus satu demi satu isyarat. Kemudian aku kirimkan, tentu saja tanpa nama terang. Kadang aku alirkan lewat air PAM yang mengguyur tubuhnya setiap pagi dan senja. Kadang aku kabarkan bersamaan dengan infotainment tentang keperawanan Arumi, seksinya Ashanty atau pernikahan Krisdayanti. Kadang aku biaskan pada bulan muda yang kupaksa menjadi purnama. Kadang aku jejalkan paksa dalam sesendok gado-gado yang dia santap begitu nikmat ..

Namun kadang aku hanya menyentuhnya lewat doa. Doa singkat yang aku harap dapat mendesirlembutkan dadanya ..

***

Saya berbalik cepat ..

Berharap dapat menangkap basah sosok, yang lama kelamaan saya sebut sebagai penguntit, sekaligus pengirim isyarat. Dan, FUSHHH !! Ada yang seperti mendadak meledak lenyap. Keberadaannya digantikan segumpal asap ..

Saya semakin tidak mengerti ..

***

” Tak perlu tatapkan mata, karena aku akan hilang di bawah pandang .. ”

” Cukup rasakan saja. Rasakan, sebisa mungkin yang bisa kamu rasa. Memang hanya sekejap. Namun coba rasakan lebih lekat. Aku begitu dekat. Tanpa sentuh, tanpa ucap. Rasakan saja, bahwa aku ada. Bahwa aku mencinta .. ”

***

notes :
-          Ditulis dalam rangka mengikuti event Writing Session tema Anonim.
-          Terinspirasi dari lagu Hanya Isyarat by Dewi Lestari.

Unnamed


Oleh Mita (@laksmita)




“Ini kertas ulangan siapa yang tidak diberi nama?” gelegar suara pak guru memecah keheningan kelas. ”Tidak ingin diberi nilai ya? Ya sudah, tidak akan saya beri nilai saja.”
“Punya saya pak itu mungkin! Coba saya lihat,” seorang siswa perempuannyeronong ke depan kelas.
“Hehehe. Bener, Pak. Ini punya saya,” ujarnya cengingisan.
“Kenapa? Lupa tulis nama lagi?” pak guru menghela napas sambil merapikan kertas ulangan kembali. “Besok-besok lupa tulis jawaban ulangan saja ya. Biar impas. Atau kamu lupa bawa hidung sekalian, bisa-bisanya lupa sama nama sendiri.”
“Hahahahha..,” sontak anak-anak SMA dikelas itu langsung tertawa mendengarguyonan guru mereka. Cewek tadi hanya bisa cengengesan karena ditertawai.
 
***
 
Cewek itu berjalan gontai disepanjang trotoar yang mengarah ke rumahnya. Samar-samar terdengar langkah kaki, makin lama makin jelas, orang itu makin mendekat. Sosok cowok SMA menepuk bahunya.
“Oi. Tadi kan udah gua suruh tunggu gua,” ujarnya tersengal-sengal, terik matahari menambah dramatis air muka capeknya.
“Ngapain lo lari-lari?” kata cewek itu santai. “Orang gua aja jalan pelan banget, lo jalan biasa aja pasti bisa nyusul gua pasti.”
“Jiah. Sewot banget sih. Masih bete gara-gara kertas ulangan unnamed tadi ketahuan terlalu cepat? Haha. Gak profesional sih lo. Ngapain juga lo mesti sok lupa kasih nama gitu. Nama elo kan bagus tauk, eksotis, langka, perlu dilestarikan,” goda cowok itu.
 
Tiba-tiba cewek itu menghentikan langkah, menatap muka si cowok dengan tatapan badmood tingkat dewa.
Cthhakk!! Kepala cowok itu dijitak sekeras-kerasnya.
“Duh!”
Cewek itu melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat. Cowok itu tetap mengikutinya sambil ngomel-ngomel sendiri.
“Beli siomay dulu yuk. Kata si abang kita hari ini dapat diskon pelanggan setia.”
Si cewek mengangguk.
 
Perjalanan mereka menuju abang siomay tiba-tiba hening. Entah kenapa si cowok mengunci mulutnya dan memilih menghidupkan mesin ingatannya. Ia teringat tentang surat itu, surat yang ia dapati terselip di buku sekolahnya kemarin. Surat cinta, tapi tak ada identitas pengirim. Benar-benar mengingatkannya dengan cewek yang sedang berjalan disebelahnya ini. Ditolehnya cewek itu, diamati dengan matanya yang hitam teduh: tinggi sedang, rambut hitam sebahu, kulit coklat, hidung mancung, manis. Kemudian ia membuka arsip di otaknya tentang cewek ini: teman dan tetangga sejak kecil, kemana-mana selalu bareng, cukup misterius, kadang bisa konyol, suka minder, tapi dia selalu tulus.
 
Cowok itu terus tenggelam dalam lamunannya. Mengarungi ratusan ingatan bersama cewek ini. Hiruk pikuk jalan sudah tak terasa apa-apanya lagi. Ah, mana mungkin dia pengirimnya, sekalipun dia aneh karena tak suka menulis namanya, terlalu aneh untuk mengirim surat cinta seperti itu, pikirnya. Tapi cowok itu penasaran.
“Urmm. Lo gak nulis surat cinta buat gue kan?”
 
Tiba-tiba atmosfer jadi kikuk, semuanya berjalan seperti slowmotion. Ada sebingkah penyesalan karena kalimat bodoh itu keluar tak terkendali.
Hening selama 3 detik, tiba-tiba cewek itu tersenyum meremehkan kepadanya.
“Haha,” cowok tertawa garing. “Ya jelas bukan elo ya yang ngirim surat itu. Gak mungkin banget lah. Bego deh gue. Hahaha ,” jurus tawa garing keluar lagi.
“Bang, siomay 2!”
 
***
“Hahh..,” cowok itu menghela napas. Merebahkan tubuhnya dikasur, menerawang kosong ke langit-langit. Mulai berpikir hidupnya jadi aneh, tiba-tiba ia sudah dapat surat cinta saja, padahal rasanya baru kemarin ia lulus SD. SD, SMP, SMA, sebentar lagi kuliah, ia juga ingin masuk unversitas favorit, bahkan kalau bisa meneruskan ke luar negeri.
 
Tapi apa mungkin ia bisa kuliah di luar negeri hanya dengan memandangi langit-langit kamar seperti ini, pikirnya. Tangannya menjulur, meraba-raba hendak menarik tas yang juga ada di kasur. Niatnya mau mengurangi pelajaran tadi pagi. Dia ambil buku catatannya yang tadi, sambil terlentang dibukalah buku catatan itu di atas mukanya.
 
Pluk! Malah ada secarik kertas yang jatuh di mukanya. Sambil menghela napas ia mengambil kertas itu, ternyata surat lagi. Matanya mengenali tulisan itu, masih pengirim yang sama. Ia menjingkat, duduk tiba-tiba, kaget setengah mati. Sesuatu di dadanya berdegup kencang. Kali ini dicantumkan nama pengirim. Nama yang selama ini sudah biasa didengar, bahkan harinya akan aneh bila ia tak mendengar nama itu. Terbayang sosoknya, sosok yang selalu ingin ia lihat, mata yang selalu ingin ia pandang. Ia merasa seperti akan meledak, kaget, membuncah. Perlahan dibaca surat itu.

My dearest, Angga.
Gue tau, gue terlalu pengecut untuk bicara langsung di depan sosok elo yang perfect banget. Tapi gue nekat nulis ini lagi karena gue tahu, kita gak akan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan. Akhirnya gue bisa sedikit lega, walopun gak sepenuhnya.
Gue harap, lo bisa maafin gue yang pengecut ini. Elo, Angga, yang selalu nemenin gue dari kecil, terlalu perfect buat gue, dan gue terlalu sayang sama elo. Lo pasti tau gimana mindernya gue ini, bahkan soal nama gue yang konyol ini. Haha..
                                                                                       Yours,
                                                                                       ....

Anak Hilang



Oleh Maula Ali (@maulaali)


Di luar rumah. Seorang bocah memungut sebongkah batu, memegangnya kuat-kuat, lalu sebuah tiang di depannya dipukul-pukulnya. Ting..ting..ting, udara bergetar tak karuan masuk ke lorong telinga. Percakapan di kabel telepon beterbangan sana-sini, sebagian jatuh di dekat kakinya. Ada yang nyangkut di kabel listrik rumah. Berdesis, gosong.
 Di dalam sebuah rumah, bibir-bibir yang menempel di gagang telepon tiba-tiba mingkem. Seorang Ibu, dan polisi di seberang telepon satunya kehilangan suara.
“Maaf, ada berisik apa di situ, bu?
“Loh, bukannya itu dari kantor bapak?”
“Maaf, bukan bu. Itu mungkin anak Ibu?”
“Sudah dibilang, anak saya hilang, dan saya menelepon itu buat melapor!”
“Oh maaf kalau begitu, bu. Bagaimana tadi?”
Suara “ting..ting” di saluran telepon akhirnya berhenti setelah beberapa saat. Oknum polisi dan Ibu membetulkan kuping yang rada bopeng dengan kelingking mereka. Suara yang menyebalkan. Terlihat mimik mereka sekarang menekuk. Bisa jadi, besok si polisi menuntut gagang telepon atau si Ibu melaporkan gagang telepon ke polisi.
...
Bocah yang sedari tadi menumbuki tiang terhenti. Terdiam sejenak dengan matanya yang berisi kerinduan aneh. Segenang benci memenuhi bola matanya. Dia memandangi sebuah kertas poster orang hilang di tiang, yang rusak bagian wajahnya. Batu tadi yang menghantamnya. Di sana, tak ada nama tertulis, atau alamat yang harus dihubungi. Lupa mungkin. Atau dia belum bernama?
“Namaku siapa?”
“Aku mau pulang, bu”
“Aku mau pulang, pak”
Batu di tangannya lepas, jatuh kena kakinya. Air mata sebesar nasi berjatuhan menghapus debu, pada sandal kaki. Kepala menunduk, mengutuki batu. Merutuki nasib.
...



Dua orang di gagang telepon tadi berhenti bicara lagi. Menyimak sepintas suara, lantas bebarengan mereka mengatakan.
“Anakku?!!”
Sirine panjang berbunyi. Waktunya tidur. Bunyi pintu sel tertutup mengakhiri kisah ini. Suami istri meringkuk di penjara, berdua. Mereka membuang nama anaknya, beserta keranjang bayi dari rotan, ke tempat pembuangan akhir.

Malaikat Tanpa Nama



Oleh: Melissa Olivia (@moliviatjia)


Aku terduduk di depan nisan marmer bertuliskan 'Guardian Angel' itu. Tak ada nama, karena aku tak pernah tahu namanya. Air mata tanpa suara terus mengalir deras. Di dalam hati, tak putus aku ucapkan 'maaf' dan 'terima kasih'. Dua kata yang sangat sulit untuk bisa kuucapkan. Orang-orang mulai beranjak dari area pemakaman itu. Seseorang menghampiri dan mengajakku bangkit. Tapi, kaki ini enggan meninggalkan peraduan terakhirnya. Memori itu masih mencengkeram kuat di setiap sel otakku.

Dua tahun yang lalu, tiba-tiba aku tersadar di sebuah kamar rumah sakit. Pandanganku langsung tertuju padanya. Aku berusaha bertanya, tapi suaraku tak bisa keluar. Aku pun merasa sunyi menyergap telinga. Selenting udara tak bisa terdengar. Aku memegang leher dan telingaku dengan panik.

Merasa ada yang tidak beres, wanita itu berlari keluar. Sepertinya memanggil dokter, karena tak lama kemudian, sekelompok pasukan berbaju putih datang dengan tergesa.

Usai memeriksaku, dokter itu berkata sesuatu padanya. Aku sama sekali tak tahu apa yang dikatakan mereka. Dengan raut wajah sedih, ia mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu:

'Aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya padamu... Aku takut kamu akan shock'

Kubalas dengan tulisan dari tangan kananku--yang untungnya tidak cedera seperti yang dialami kembarannya:

'Katakan saja. Aku siap mental mengetahui apapun. Pertama, apa yang terjadi padaku dan di mana orangtuaku?'

Sejurus kemudian, wanita paruh baya itu mulai terisak-isak.

'Lady, aku tahu namamu dari kartu identitasmu. Kau mengalami kecelakaan seminggu yang lalu dan mengalami koma. Saat itu larut malam. Supirku sepertinya mengantuk dan menerjang mobil yang ditumpangi keluargamu hingga menabrak tebing.
Ayahmu, ibumu, dan supirku meninggal seketika. Kau sendiri dalam keadaan kritis dan segera dibawa ke sini.
Tadi... Dokter berkata... Sepertinya benturan keras telah mengganggu saraf wicaramu. Dalam waktu yang tak bisa ditentukan, kau tidak akan bisa mendengar ataupun berbicara...
Aku benar-benar minta maaf dan kejadian ini. Oleh karena itu, ijinkan aku merawatmu dengan baik, sebagai bentuk pertanggungjawabanku terhadap orangtuamu. Aku sungguh minta maaf...'

Tak ada yang mampu menggambarkan betapa terpukulnya aku saat itu. Hanya derasnya air mata yang keluar yang mampu mengungkapkan kesedihanku... Aku bahkan tak sempat melihat orangtuaku untuk terakhir kalinya! Setelah hari itu, aku benar-benar tak punya semangat hidup.

Tapi, wanita itu tetap saja tiada henti berusaha agar aku benar-benar hidup seutuhnya seperti diriku dulu. Walau aku bersikap destruktif, tidak peduli, dan selalu kasar padanya. Hatiku penuh kebencian. Karena supirnya telah merenggut kebahagiaanku.

Aku tahu dia tidak sepenuhnya salah. Hanya, aku tak tahu kepada siapa aku harus melampiaskan kepedihan tak terperi yang menghujam dada.

Ia tak pernah marah padaku. Ia tetap sabar mengasuhku selama 2 tahun ini. Jika kesedihanku timbul, ia akan ikut menangis. Berusaha memelukku, menenangkanku, yang seringnya kuganti dengan dorongan keemohan. Ia juga menyewa jasa perawat untuk menjagaku saat dia harus pergi kerja di pagi hari. Ia menawariku kembali ke sekolah. Kutolak mentah-mentah, karena takkan ada gunanya. Yang ada aku hanya dijadikan bahan olokan. Seorang cacat yang belajar di tempat normal.

Ketika aku memutuskan untuk keluar rumah sendirian, ingin menghirup udara segar. Aku yakin, ia mengikutiku dari belakang. Khawatir aku akan berbuat yang tidak-tidak.

Hingga suatu hari aku membaca sepenggal kalimat yang bunyinya: "Kebahagiaan ada di dalam diri kita, bukan di luar diri kita. Kebahagiaan takkan pernah ditemukan jika dicari, kecuali diciptakan oleh hati, yaitu dengan bersyukur dan menerima apa adanya sesulit apapun peristiwa yang kita alami."

Aku tersadar. Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktuku dengan meratapi nasib, bahkan menyakiti orang yang selama ini telah merawatku layaknya anak kandung sendiri. Aku merasa berdosa. Mungkin memang sudah karmaku harus mengalami ini. Kehilangan orangtua dengan cara yang tragis, tapi aku telah diberikan pengganti orangtua yang sangat baik.

Aku telah mengunci pintu kebahagiaanku sendiri, menutup mata atas segala kebaikan yang harusnya membuatku bahagia. Hatiku terlalu gelap untuk dapat menerima cahaya kasihnya.

Aku berlari pulang. Aku ingin minta maaf atas perbuatan tak tahu terima kasihku dan berterima kasih atas segala perbuatannya terhadapku.

Saking meluapnya perasaan bersalah itu, aku tak melihat mobil yang sedang oleng ketika aku hendak menyeberang. Sinar lampu itu menyorot mataku. Detik itu juga aku berpikir bahwa aku akan menyusul orangtuaku. Hingga sesosok tubuh mendorongku, menggantikan aku yang harus celaka.

Aku melihat tubuh itu membentur kaca, terpelanting ke aspal, dan terguling. Sekejap saja, aspal itu berdarah. Mobil itu berhenti dengan decitan keras. Pengemudinya yang mabuk, keluar dengan terhuyung. Segera saja kuhampiri tubuh yang berbaring telungkup tak bergerak itu.

Kuhampiri dan kubalikkan badannya. Aku syok berat. Dia wanita itu. Ibu pengasuhku! Kepalanya bersimbah darah. Aku tekan erat-erat, berusaha memperlambat pendaran darahnya. Syalku kujadikan perban sementara. Aku menangis keras... Inginku menjerit sekencang-kencangnya. Aku tak ingin dia mati. Aku ingin balas budi padanya! Jangan ambil dia...! Tapi, hanya angin yang keluar dari mulutku.

Dia sempat membuka matanya, meraih wajahku dan tersenyum bahagia... Sesaat kemudian, tangannya terkulai lemas dan ia menutup matanya... Untuk selamanya... Meninggalkan diriku yang masih berhutang budi padanya.

***

Aku sudah kembali ke rumah. Memasuki kamarnya yang dulu enggan kuinjak. Aku menemukan sebuah buku diari di atas meja tulisnya. Di sekitar meja dan ruangan kamar itu banyak foto keluarganya. Ia, suami, dan bayi yang tak pernah kulihat.

Aku membuka lembar demi lembar catatan hariannya. Saat-saat dia bahagia ketika menikah dan punya anak. Kemudian, sampailah aku pada tanggal naas itu. Kutemukan tinta-tinta yang luntur karena buliran air matanya.

'Kenapa aku begitu bodoh? Harusnya aku tak memilih jadwal pesawat malam itu! Harusnya aku menunda kepulanganku. Dalam satu malam, aku kehilangan dua orang yang amat kucintai. Aku bahkan belum sempat melihatnya tumbuh dan mendengar dia menyebutku mama! Aku juga tak bisa menua bersamanya!'

Di lembar berikutnya:
'Jodoh mempertemukan kami dalam kondisi seperti ini. Dia seorang gadis yang cantik dan manis. Dia juga kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya. Aku yakin Tuhan menitipkan anak ini padaku. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik seperti anakku sendiri. Meski aku tak bisa membesarkan darah dagingku, aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk merawatnya. Kumohon, sadarkan dia dari komanya dan biarkan dia hidup'

'Ia sangat terpukul. Aku mengerti peristiwa ini sangat berat untuk gadis seusianya. Aku harus lebih berusaha agar dia bisa hidup layak dan bahagia.'

'Sudah dua minggu berlalu. Hari ini Lady menolak disuapi. Tapi ketika aku hendak mengantar makan sore, kulihat makan siangnya habis. Aku senang :) Semoga pelan-pelan ia bisa kembali ceria dan bahagia.'

'Ia sudah mulai keluar rumah! Ini baik agar dia tak melulu terkurung dalam ruangan. Ia perlu udara segar. Kesehatannya juga mulai pulih. Tapi, aku takut ia tersesat. Aku akan mengikutinya diam-diam.'

'Sudah hampir 2 tahun sejak peristiwa itu. Aku mulai bisa menerima kepahitan ini. Tapi, sepertinya Lady belum bisa. Walau sudah lebih baik, ia masih dingin padaku. Mungkin ia mengira aku adalah penyebab kemalangannya. Ya, dia tidak sepenuhnya salah. Ini hukumanku dan aku akan bertanggungjawab. Sedingin dan sekasar apapun dia padaku, aku akan tetap menyayanginya. Hanya dengan beginilah aku mampu memaafkan diriku sendiri. Semoga, kelak dia juga bisa mengerti dan berdamai dengan kondisinya. Yang bisa kulakukan adalah tetap mendukungnya ke arah yang lebih baik.'

Hatiku terasa sesak saat membacanya. Betapa jahatnya aku padanya... Dia juga kehilangan orang yang sangat dicintainya. Dia juga terluka. Tapi dia masih mau bangkit untukku. Aku tak layak menerima pengorbanannya. Harusnya aku yang tertabrak kemarin. Kenapa Tuhan mengambilnya? Apakah ini hukuman untukku. Air mata yang belum kering sejak pagi tadi, kini berderai kembali. Penyesalan memang selalu datang terlambat dan sia-sia adalah hasilnya.

Kututup buku hariannya dan kudapati secarik grafir di ujung bawah diarinya. "Angel". Itulah namanya. Nama yang sama sekali tak ingin kuketahui dulu. Nama dari seorang wanita yang menjadi malaikat tanpa nama untukku selama dua tahun ini. Ia sudah menjaga dan melindungiku. Oleh karena itu, aku mengukir 'Guardian Angel' di batu nisannya. Besok aku akan minta agar namanya juga terpahat di sana. Angel Sang Guardian Angel.

Sebagai balas budiku, aku berjanji akan hidup layak dan bahagia. Aku tak ingin lagi menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Ayah, ibu, Angel, aku akan hidup bahagia sejak hari ini! Beristirahatlah dengan tenang. Semoga kita berjumpa lagi di kehidupan yang akan datang...

Anonim


Oleh Jenni Laut



Pencipta dan Penguasa segala galanya . . . Anonim
Sumber sejati dari jutaan kelompok makhluk dan milyaran manusia . . . Anonim
Ribuan, jutaan kata untuk sebuah rangkaian nama . . . Anonim
Kesadaran akan sebuah kebenaran sejati . . . Anonim
.
Langit biru menjulang tinggi  dan burung terbang bebas
Bulan yang bercahaya dan bintang yang menyebar keberadaan di malam gelap
Angin yang bertiup dan teriakan yang mengema tinggi
Anonim . . .
.
Mata yang melihat, telinga yang mendengar . . . Anonim
Nafas yang berhembus dan jantung yang berdetak . . . Anonim
Kancing yang terlepas, kaki yang terseok kelelahan . . . Anonim
Tidur panjang yang nyenyak dan senyum yang merekah di bibir . . . Anonim
.
Kebenaran yang bersyair di langit langit kehidupan
Kasih sayang dan cinta yang berhembus di setiap sukma
Keindahan yang mengelora dalam detak jantung keberadaan
Anonim . . .
.
Senyum di wajah dan kasih sayang yang menyebar lembut . . . Anonim
Kehangatan yang membuat air mata menetes dan hati menlembut . . . Anonim
Kegembiraan yang membuat dada bergemuruh dan tawa mengaung . . . Anonim
Cinta yang membunuh Romeo dan Juliet . . . Anonim
.
Teka teki dalam misteri kelahiran, kehidupan dan kematian
Sujud yang mencari pertobatan dari jejak langkah sang Pencipta
Gema yang membangunkan semua orang dari pagi dan mimpi
Anonim . . .

Anonim . . . Anonimnya kehidupan.

Perasaan Anonim

 Oleh Lilly Melinda (@melillynda)


Aku tidak tahu kenapa orang-orang yang sedang jatuh cinta itu mengatakan ada kupu-kupu di perut mereka. Bagiku bukan kupu-kupu. Tapi lebah. Menyengat kesana kemari. Isi perutku rasanya perih semua, sampai terkadang membuat mual dan ingin muntah.

Teman-temanku bilang, aku sedang jatuh cinta. Pada senior yang akhir-akhir ini menjadi teman sekelasku di Semester Pendek. Mereka sendiri yang menyimpulkan padahal aku tidak pernah mengatakan hal-hal yang berbau cinta tentang senior itu. Senior yang lucu. Selalu membuat tertawa seisi kelas tanpa berusaha menjadi badut. Tatapan matanya seperti pohon rindang di hari yang terik. Membuatmu ingin lama-lama berada di bawah pohon itu. Dengan kata lain, ingin lama-lama ditatap mata itu.

Tapi... Melihatnya dari jauh saja sudah membuatku tersenyum. Dan saat aku tersenyum, temanku akan menyenggolku dengan sikutnya. Menganggu! Sehingga dengan seketika senyum di wajahku berhenti, diganti dengan senyuman menggoda yang membuat lebah di perutku kembali menyengat isi perutku. Ah kalau mau muntah sebaiknya sekarang saja, di wajah temanku yang sedang tersenyum menggodaku. Eh, jangan! Jangan sekarang! Nanti senior akan melihatku dengan jijik kalau aku muntah. Sial! Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum pahit untuk membalas senyuman menggoda temanku. Pahit karena menahan perih sengatan lebah dalam perut. Ouch.

Aku pikir aku bukan sedang jatuh cinta. Sebab bukan kupu-kupu cantik yang ada dalam perutku. Tapi lebah. Yang menyengat setiap teman-temanku menggodaku. Yang menyengat setiap mataku bertemu dengan matanya walau hanya sepersekian detik. Yang menyengat setiap mendengar namanya dipanggil oleh dosen. 
Yang menyengat setiap melihat senior itu mengobrol akrab dengan senior cewek yang lain. Itu bukan jatuh cinta. Yang menyengat setiap melihat senior itu mengobrol akrab dengan senior cewek yang lain. Sebab jatuh cinta harusnya tidak seperih ini. Tidak semual ini.

Aku sudah berusaha mencari tahu perasaan apa yang aku punya ini. Berharap Google akan memberitahuku perasaan apa yang aku punya sampai-sampai perutku didiami lebah. Dan hasilnya tidak bisa aku amin-i. Yah, aku rasa Google bukan alat pembaca perasaan seseorang... Tapi aku harus mengetahui, atau setidaknya, memberi nama terhadap perasaan ini. Siapa tahu kalau aku sudah tahu perasaan apa ini, aku bisa mencari cara untuk mengusir lebah di dalam perutku ini.  Perasaan yang tanpa nama ini. Perasaan anonim.

Kamar kuning, 22:10 WIB