Oleh: Yulia R Liman (@yulialiman)
Kau tahu aku tak mau jatuh cinta
Aku takut jatuh cinta
Aku tak mau
Kau tahu
Cinta tak pernah salah ?
Kau tak salah?
Aku tak salah?
Siapa yang salah?
Marilah kita salahkan waktu !
Waktu kau menyapaku
Waktu kusapa dirimu
Mari kita salahkan waktu!
Baiklah...!
Kita akhiri saja
Kita tak mungkin bersatu
Baiklah...!
Cinta tak pernah salah !
Aku yang salah
Jatuh cinta
Padamu itu salah !
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Freestyle II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Freestyle II. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 14 Mei 2011
Ufuk
Oleh: Fadilla D.P. (@dilladp)
fadilladp.tumblr.com
Matahari berseru girang di saat waktunya telah tiba. Ia malu-malu
bergerak di ufuk timur, menampakkan pusara gemilang cahayanya. Kudekap
hangatnya ditemani aroma rerumputan basah yang saling bergesek pelan.
“Selamat pagi,” kusapa ia dari balik tirai dedaunan yang menjuntai
lembut menyentuh tanah.
“Pagi,” jawabnya, tanpa memalingkan bola matanya sedikit pun dari
lukisan alam yang tergores di hadapan.
Aku ikut bersender pada batang pohon besar yang memayungi kami berdua.
Sang burung terbangun dari tidur lelapnya dan berucap salam dari ujung
ranting. Awan berarak pelan mendatar, berkumpul di tempat seharusnya
ia berada. Di kesunyian pagi ini alam telah bernyanyi menyambut cerita
baru, sementara hanya ada dua insan yang ikut melagu. Ya. Aku dan dia.
“Indah ya,” kataku.
“Iya,” jawabnya. Gerak-gerik matanya terbius oleh potret di
hadapannya, seakan tak ingin kehilangan sedetik momen pun.
Sunyi. Kami berdua terperangkap dalam diam. Ia tenggelam dalam
kekaguman, dan aku tenggelam dalam angan. Kutapaki setapak jalan
terjal yang harus kulalui untuk dapai mencapai ke sini. Sebuah ujung
bukit yang langsung menghadap puncak pegunungan, tempat sang raja
siang terbangun dari tidur panjangnya. Di sinilah tempat terbaik
menyaksikan fenomena tersebut. Fenomena yang sangat ia cintai setiap
pagi. Fenomena yang juga ku… cintai. Ah, namun tak sebesar cinta yang
kumiliki untuknya. Ia adalah satu-satunya alasan mengapa aku berada di
sini.
“Kamu tahu, kenapa aku suka melihat sunrise?” Tanyanya setelah
matahari berdiri tegak dengan sempurna. Aku tersentak.
“Tidak.”
“Karena aku suka awal. Menurutku, sesuatu yang baru saja dimulai pasti
sangat terasa indah.”
Alisku bertaut. “Contohnya?”
“Ya, seperti matahari terbit ini. Sunrise, kelahiran, perjumpaan
pertama, perkenalan pertama… Semua pasti terasa indah…" ia terdiam
sejenak. "Hanya di awal saja,” lanjutnya dengan nada sarkatis.
“Apa itu berarti kamu tidak suka sunset?”
“Nggak begitu suka… Karena aku takut akan sebuah akhir. Kehilangan.
Kematian. Perpisahan. Itu semua aku gak suka.”
“Tapi kamu hidup. Setiap ada awal pasti ada akhir.”
“Karena itu, aku tidak mau memulai.”
“Hidup kamu telah dimulai.”
Ia terdiam.
“Apa itu berarti kamu tidak mau memulai selamanya?” aku melanjutkan.
“Tidak.”
“Lantas, mengapa kamu begitu menikmati sunrise ini? Katamu kamu tidak
mau memulai?”
“Ya. Aku memang bilang, aku tidak mau memulai. Tetapi aku tidak bilang
bahwa aku tidak menikmatinya. Aku hanya mencintai awal, bukan berarti
aku mau mengawali sesuatu.”
Kuembuskan napas keras, tak habis pikir dengan teori konyolnya yang
baru saja kudengar.
“Lalu apa selamanya kamu akan begini? Terlalu takut dengan apa yang
jauh di depan, toh pada akhirnya kamu tak tahu akan berujung bahagia
atau tidak.”
“Dengar, hidup ini adalah pilihan. Apa yang menjadi keyakinanmu,
jalanilah. Dan aku memilih untuk seperti ini, karena aku tahu akhirku
takkan pernah indah. Lebih baik aku memutuskan untuk tidak memulai.”
“Konyol.”
“Apapun.”
Kami menatap dini yang telah berubah pagi dalam diam. Kuurungkan
niatku untuk mengucapkan sebuah kata yang sedari tadi tertinggal di
ujung lidah. Keteguhan hatinya takkan mungkin dapat kutembus, sekuat
apapun aku memaksa.
Sebuah kata yang tertinggal di ujung lidah,
Cinta.
fadilladp.tumblr.com
Matahari berseru girang di saat waktunya telah tiba. Ia malu-malu
bergerak di ufuk timur, menampakkan pusara gemilang cahayanya. Kudekap
hangatnya ditemani aroma rerumputan basah yang saling bergesek pelan.
“Selamat pagi,” kusapa ia dari balik tirai dedaunan yang menjuntai
lembut menyentuh tanah.
“Pagi,” jawabnya, tanpa memalingkan bola matanya sedikit pun dari
lukisan alam yang tergores di hadapan.
Aku ikut bersender pada batang pohon besar yang memayungi kami berdua.
Sang burung terbangun dari tidur lelapnya dan berucap salam dari ujung
ranting. Awan berarak pelan mendatar, berkumpul di tempat seharusnya
ia berada. Di kesunyian pagi ini alam telah bernyanyi menyambut cerita
baru, sementara hanya ada dua insan yang ikut melagu. Ya. Aku dan dia.
“Indah ya,” kataku.
“Iya,” jawabnya. Gerak-gerik matanya terbius oleh potret di
hadapannya, seakan tak ingin kehilangan sedetik momen pun.
Sunyi. Kami berdua terperangkap dalam diam. Ia tenggelam dalam
kekaguman, dan aku tenggelam dalam angan. Kutapaki setapak jalan
terjal yang harus kulalui untuk dapai mencapai ke sini. Sebuah ujung
bukit yang langsung menghadap puncak pegunungan, tempat sang raja
siang terbangun dari tidur panjangnya. Di sinilah tempat terbaik
menyaksikan fenomena tersebut. Fenomena yang sangat ia cintai setiap
pagi. Fenomena yang juga ku… cintai. Ah, namun tak sebesar cinta yang
kumiliki untuknya. Ia adalah satu-satunya alasan mengapa aku berada di
sini.
“Kamu tahu, kenapa aku suka melihat sunrise?” Tanyanya setelah
matahari berdiri tegak dengan sempurna. Aku tersentak.
“Tidak.”
“Karena aku suka awal. Menurutku, sesuatu yang baru saja dimulai pasti
sangat terasa indah.”
Alisku bertaut. “Contohnya?”
“Ya, seperti matahari terbit ini. Sunrise, kelahiran, perjumpaan
pertama, perkenalan pertama… Semua pasti terasa indah…" ia terdiam
sejenak. "Hanya di awal saja,” lanjutnya dengan nada sarkatis.
“Apa itu berarti kamu tidak suka sunset?”
“Nggak begitu suka… Karena aku takut akan sebuah akhir. Kehilangan.
Kematian. Perpisahan. Itu semua aku gak suka.”
“Tapi kamu hidup. Setiap ada awal pasti ada akhir.”
“Karena itu, aku tidak mau memulai.”
“Hidup kamu telah dimulai.”
Ia terdiam.
“Apa itu berarti kamu tidak mau memulai selamanya?” aku melanjutkan.
“Tidak.”
“Lantas, mengapa kamu begitu menikmati sunrise ini? Katamu kamu tidak
mau memulai?”
“Ya. Aku memang bilang, aku tidak mau memulai. Tetapi aku tidak bilang
bahwa aku tidak menikmatinya. Aku hanya mencintai awal, bukan berarti
aku mau mengawali sesuatu.”
Kuembuskan napas keras, tak habis pikir dengan teori konyolnya yang
baru saja kudengar.
“Lalu apa selamanya kamu akan begini? Terlalu takut dengan apa yang
jauh di depan, toh pada akhirnya kamu tak tahu akan berujung bahagia
atau tidak.”
“Dengar, hidup ini adalah pilihan. Apa yang menjadi keyakinanmu,
jalanilah. Dan aku memilih untuk seperti ini, karena aku tahu akhirku
takkan pernah indah. Lebih baik aku memutuskan untuk tidak memulai.”
“Konyol.”
“Apapun.”
Kami menatap dini yang telah berubah pagi dalam diam. Kuurungkan
niatku untuk mengucapkan sebuah kata yang sedari tadi tertinggal di
ujung lidah. Keteguhan hatinya takkan mungkin dapat kutembus, sekuat
apapun aku memaksa.
Sebuah kata yang tertinggal di ujung lidah,
Cinta.
Harmoni Untuk Stefanie
Oleh: Jesslyn Chandra (@jesslynchandra)
http://crazydiaryboom.blogspot.com/
Denting piano yang terpatah-patah terdengar di ruang musik sekolah. Di depannya duduk seorang gadis berseragam putih abu-abu di kursi piano dengan dahi berkernyit sambil menatap rentetan not balok yang masih tertatih-tatih dibacanya. Sesekali ditekannya tuts piano, namun tak sedikit pun membentuk serangkai melodi yang sempurna.
Jglek!
Tiba-tiba pintu ruang musik terbuka, membuat gadis itu sontak berbalik. Jantungnya seakan hendak melompat keluar saking terkejutnya. Di depannya, berdiri seorang lelaki berambut kecoklatan yang basah oleh keringat, tampak baru saja bermain basket.
“Main piano itu bukan begitu caranya...”
Masih belum luntur keterkejutannya, tiba-tiba lelaki yang berbalut seragam sama sepertinya itu mendekat. “Jadi, namamu Stefanie Ibrahim?” Cowok itu mengangkat sebelah alisnya.
Gadis yang bernama Stefanie itu terlonjak. “Da-dari mana kamu tahu namaku?”
“Dari seragammu.” Ia tertawa kecil, lantas mengulurkan tangan kanannya. “Jaste Emeraldo.”
Stefanie mendongak, menatap lelaki itu dari atas hingga bawah. Wajahnya familiar, namun ia belum mengenalnya. Sepertinya ia juga murid kelas XII. Takut-takut, gadis itu menjabat tangan lelaki itu. Dingin, basah oleh keringat. Jantungnya berdesir dua kali lipat lebih kencang.
“Tenang, nggak perlu gugup gitu. Tadi aku nggak sengaja dengar bunyi piano dari sini, makanya aku penasaran dan masuk.” Jaste tersenyum, perlahan-lahan turut menerbitkan senyum Stefanie di wajahnya.
“Aku lagi latihan untuk ujian praktek besok, sejak pulang sekolah dua jam lalu.” Stefanie meringis. “Aku tahu, permainan pianoku jelek sekali, ya?”
“Iya,” jawab Jaste lugas, menambahkan sepenggal tawa geli melihat ekspresi gadis itu yang berubah. “Tapi, aku nggak keberatan kok kalau kamu minta aku untuk mengajarimu.”
Bola mata Stefanie membulat. Ia tak lagi peduli jika lelaki ini baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu. Gadis itu mengangguk sumringah, lantas menggeser posisi duduknya untuk Jaste.
“Main pianonya jangan kaku gitu,” ucap Jaste tepat setelah jemari Stefanie menempel di tuts piano. “Santai aja, karena semua melodi itu harus datang dari hati...”
Jaste mengusap tangan gadis itu perlahan, lalu meletakkannya kembali pada tuts-tuts piano. Mata mereka berdua tak sengaja bertemu. Sebuah gejolak yang entah apa namanya menyeruak dalam kalbu.
***
Pintu putih ruang musik perlahan-lahan terbuka. Seorang gadis berseragam SMA muncul di baliknya dengan sekujur tubuh yang bergetar. Matanya tak berhenti berkedip menatap sosok lelaki jangkung berambut kecoklatan yang berdiri di depannya.
“Kok kamu bisa ada di—”
“Iya, Stef, tadi aku buru-buru ke sini karena mau lihat kamu.” Lelaki dengan nama Jaste Emeraldo di seragamnya itu tersenyum kecil. “Jadi gimana?”
Stefanie menarik nafas panjang, seakan mengambil ancang-ancang untuk mengungkapkan sesuatu yang besar. “Aku berhasil, Jaste! Aku berhasil!” Tanpa sadar, digenggamnya tangan lelaki itu erat-erat, lantas tersenyum tulus. “Makasih, ya. Karena kamu, ujian praktek tadi jadi berjalan lancar.”
“Sama-sama.” Jaste tersenyum lebar, menepuk ringan pundak Stefanie. “Kalau lain kali butuh bantuan lagi, kamu tinggal sebut namaku tiga kali dan aku akan datang. Oke?” selorohnya.
Stefanie tertawa kecil. Kedua pipinya terasa hangat. “Makasih lagi ya, Jaste.” Ia menunduk, tak ingin lelaki itu mendapati rona di wajahnya. “Aku mau ke kelas dulu.”
Seorang gadis jangkung berambut panjang tiba-tiba melompat dari balik tembok begitu Stefanie meninggalkan Jaste menuju kelas. “Pipinya sampai merah gitu, Stef?” Gadis itu tersenyum penuh arti.
“Clara!” Stefanie membekap mulut sahabatnya itu, lantas buru-buru menyeretnya ke kelas. Ia tahu, ia harus segera menumpahkan perasaannya pada seseorang sebelum dadanya meledak.
***
Waktu terbang secepat hembusan angin, mengombang-ambingkan hidup hingga terkadang manusia sendiri tak menyadari betapa jauhnya hari telah terlewat. Rangkaian ujian telah usai, penghujung masa SMA telah berlalu.
“Kok diam aja, sih?” Jaste mengamati wajah gadis di sampingnya perlahan. Guratan yang entah apa namanya muncul di wajah gadis itu.
Stefanie hanya menjawab dalam bisu, tersenyum kecil. Dipandangnya penjuru Bandara Juanda sore itu, kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Kenyataan yang entah mengapa terasa getir menghantam dadanya. Dalam hitungan tak sampai satu jam, lelaki itu akan terbang ke Melbourne untuk kuliah. Untuk meraih impiannya, menjadi seorang pianis terkenal.
“Lucu banget, ya.”
Stefanie mengangkat kepalanya, mengernyitkan dahi. “Hah?”
“Yah, rasanya lucu aja bagaimana waktu bisa berjalan secepat ini dan mengubah segalanya secepat kilat.” Jaste mengangkat alisnya, menatap Stefanie dalam-dalam. “Kamu ingat nggak, gimana pertama kali kita bisa kenalan?”
Gimana aku bisa lupa? Batin Stefanie. Ia hanya menerawang, kembali tersenyum kecil. Memori demi memori yang dilaluinya beberapa bulan terakhir berkelebat dalam pikiran. “Bertemu dengan pahlawan yang menjelma jadi cowok bau keringat di ruang musik saat itu adalah salah satu memori yang nggak mungkin aku lupakan, tahu. Yah, siapa sangka seorang lelaki tinggi-besar sepertimu rupanya bisa selihai itu bermain piano?”
Jaste tergelak. “Mendapati seorang gadis yang melongo menatap partitur sore itu juga adalah salah satu saat paling berharga dalam hidupku.”
Mereka berdua terbahak, namun sejurus kemudian diam tercekik bisu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jaste meremas ujung kausnya, sesekali menatap gadis di sebelahnya itu resah seakan hendak mengungkapkan sesuatu.
“Jaste?” Stefanie mengerutkan alisnya, balas menatap lelaki itu. “Kenapa dari tadi liatin aku terus? Ada yang salah, ya?”
“Nggak. Yang salah adalah kalau aku nggak mengungkapkan hal yang sebenarnya.” Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya yang meliar. Perlahan-lahan dirogohnya sesuatu dari dalam ransel, mengeluarkan setangkai bunga mawar merah.
“Bunga mawar ini buat kamu.” Jaste menarik tangan Stefanie lembut, lantas memberikannya pada gadis itu. “Anggap saja sebagai ucapan selamat dari aku.”
Stefanie menatap setangkai mawar yang kini digenggamnya erat-erat dengan tatapan yang tak mampu diartikan. “Selamat?”
“Ya.” Sekali lagi Jaste menarik nafas, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia tak dapat mundur lagi sekarang. “Selamat untuk nilai delapan di ujian praktek musikmu, dan selamat karena... Telah merebut hatiku.”
Jantung Stefanie berhenti berdetak selama beberapa detik. Rasa seakan menyengat ujung-ujung jemarinya. Perlahan ia mengangkat kepalanya, menatap dalam kedua bola mata lelaki itu sambil mengeratkan genggaman pada bunga mawarnya.
“Jaste...” Ia mengusap tangan lelaki itu lembut. “Pesawatmu bentar lagi lepas landas, tuh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini.”
Lelaki itu tersenyum, berat. Tanpa kata, ia mengusap lembut mawar di tangan Stefanie, lantas menatap gadis itu dalam. Perlahan-lahan ia membalikkan badan, berjalan menjauh sebelum untuk terakhir kalinya kembali menoleh pada Stefanie.
Clara yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya dari kejauhan tiba-tiba muncul menepuk pundak Stefanie. “Kenapa tadi kamu nggak langsung jawab aja, sih?”
Stefanie menatap punggung Jaste yang perlahan-lahan menghilang ditelan kerumunan orang dengan pandangan mengabur. “Aku cuma ingin dia mengejar impiannya dulu,” bisiknya. “Dan kalau semua yang dia katakan tadi memang benar, dia pasti kembali... Menemui aku, yang akan selalu menunggu.”
***
Lima tahun kemudian...
Ruangan megah itu mendadak sunyi tepat setelah denting piano pertama terdengar. Seorang pianis muda yang duduk di hadapannya menekan tuts-tuts piano dengan lihainya, seakan menghipnotis seluruh penonton tanpa terkecuali.
Begitu ia selesai menekan nada terakhirnya, kesunyian ruangan itu berubah menjadi gemuruh tepuk tangan. Pianis itu membungkukkan badannya, tersenyum.
“Tepuk tangan yang sangat meriah untuk sang pianis muda, Jaste Emeraldo!” Dean, sang pembawa acara menghampiri pianis itu. “Sekali lagi, luar biasa brilian. Kalau tidak salah, lagu barusan adalah ciptaanmu sendiri? Anda persembahkan untuk siapa itu, Jaste?”
“Benar. Judul lagu barusan adalah Harmoni Untuk Stefanie.” Ia tersenyum. “Dan sebelum menjawab pertanyaan Anda, ijinkan saya memberikan mawar ini untuk inspirasi saya terlebih dahulu, Dean.” Jaste mengangkat sebuket mawar merah di tangan kanannya, lantas turun dari panggung.
Lelaki itu langsung berjalan lurus ke arah perempuan yang sejak tadi memperhatikan permainan pianonya dengan mata berkaca-kaca. Jaste mengangkat lembut tangan perempuan itu, memberikan buket mawar padanya.
“Stefanie Ibrahim, terima kasih telah menungguku sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan selamat, sekali lagi selamat untukmu... Karena telah merebut hatiku sejak dulu, sekarang, dan selamanya.”
http://crazydiaryboom.blogspot.com/
Denting piano yang terpatah-patah terdengar di ruang musik sekolah. Di depannya duduk seorang gadis berseragam putih abu-abu di kursi piano dengan dahi berkernyit sambil menatap rentetan not balok yang masih tertatih-tatih dibacanya. Sesekali ditekannya tuts piano, namun tak sedikit pun membentuk serangkai melodi yang sempurna.
Jglek!
Tiba-tiba pintu ruang musik terbuka, membuat gadis itu sontak berbalik. Jantungnya seakan hendak melompat keluar saking terkejutnya. Di depannya, berdiri seorang lelaki berambut kecoklatan yang basah oleh keringat, tampak baru saja bermain basket.
“Main piano itu bukan begitu caranya...”
Masih belum luntur keterkejutannya, tiba-tiba lelaki yang berbalut seragam sama sepertinya itu mendekat. “Jadi, namamu Stefanie Ibrahim?” Cowok itu mengangkat sebelah alisnya.
Gadis yang bernama Stefanie itu terlonjak. “Da-dari mana kamu tahu namaku?”
“Dari seragammu.” Ia tertawa kecil, lantas mengulurkan tangan kanannya. “Jaste Emeraldo.”
Stefanie mendongak, menatap lelaki itu dari atas hingga bawah. Wajahnya familiar, namun ia belum mengenalnya. Sepertinya ia juga murid kelas XII. Takut-takut, gadis itu menjabat tangan lelaki itu. Dingin, basah oleh keringat. Jantungnya berdesir dua kali lipat lebih kencang.
“Tenang, nggak perlu gugup gitu. Tadi aku nggak sengaja dengar bunyi piano dari sini, makanya aku penasaran dan masuk.” Jaste tersenyum, perlahan-lahan turut menerbitkan senyum Stefanie di wajahnya.
“Aku lagi latihan untuk ujian praktek besok, sejak pulang sekolah dua jam lalu.” Stefanie meringis. “Aku tahu, permainan pianoku jelek sekali, ya?”
“Iya,” jawab Jaste lugas, menambahkan sepenggal tawa geli melihat ekspresi gadis itu yang berubah. “Tapi, aku nggak keberatan kok kalau kamu minta aku untuk mengajarimu.”
Bola mata Stefanie membulat. Ia tak lagi peduli jika lelaki ini baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu. Gadis itu mengangguk sumringah, lantas menggeser posisi duduknya untuk Jaste.
“Main pianonya jangan kaku gitu,” ucap Jaste tepat setelah jemari Stefanie menempel di tuts piano. “Santai aja, karena semua melodi itu harus datang dari hati...”
Jaste mengusap tangan gadis itu perlahan, lalu meletakkannya kembali pada tuts-tuts piano. Mata mereka berdua tak sengaja bertemu. Sebuah gejolak yang entah apa namanya menyeruak dalam kalbu.
***
Pintu putih ruang musik perlahan-lahan terbuka. Seorang gadis berseragam SMA muncul di baliknya dengan sekujur tubuh yang bergetar. Matanya tak berhenti berkedip menatap sosok lelaki jangkung berambut kecoklatan yang berdiri di depannya.
“Kok kamu bisa ada di—”
“Iya, Stef, tadi aku buru-buru ke sini karena mau lihat kamu.” Lelaki dengan nama Jaste Emeraldo di seragamnya itu tersenyum kecil. “Jadi gimana?”
Stefanie menarik nafas panjang, seakan mengambil ancang-ancang untuk mengungkapkan sesuatu yang besar. “Aku berhasil, Jaste! Aku berhasil!” Tanpa sadar, digenggamnya tangan lelaki itu erat-erat, lantas tersenyum tulus. “Makasih, ya. Karena kamu, ujian praktek tadi jadi berjalan lancar.”
“Sama-sama.” Jaste tersenyum lebar, menepuk ringan pundak Stefanie. “Kalau lain kali butuh bantuan lagi, kamu tinggal sebut namaku tiga kali dan aku akan datang. Oke?” selorohnya.
Stefanie tertawa kecil. Kedua pipinya terasa hangat. “Makasih lagi ya, Jaste.” Ia menunduk, tak ingin lelaki itu mendapati rona di wajahnya. “Aku mau ke kelas dulu.”
Seorang gadis jangkung berambut panjang tiba-tiba melompat dari balik tembok begitu Stefanie meninggalkan Jaste menuju kelas. “Pipinya sampai merah gitu, Stef?” Gadis itu tersenyum penuh arti.
“Clara!” Stefanie membekap mulut sahabatnya itu, lantas buru-buru menyeretnya ke kelas. Ia tahu, ia harus segera menumpahkan perasaannya pada seseorang sebelum dadanya meledak.
***
Waktu terbang secepat hembusan angin, mengombang-ambingkan hidup hingga terkadang manusia sendiri tak menyadari betapa jauhnya hari telah terlewat. Rangkaian ujian telah usai, penghujung masa SMA telah berlalu.
“Kok diam aja, sih?” Jaste mengamati wajah gadis di sampingnya perlahan. Guratan yang entah apa namanya muncul di wajah gadis itu.
Stefanie hanya menjawab dalam bisu, tersenyum kecil. Dipandangnya penjuru Bandara Juanda sore itu, kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Kenyataan yang entah mengapa terasa getir menghantam dadanya. Dalam hitungan tak sampai satu jam, lelaki itu akan terbang ke Melbourne untuk kuliah. Untuk meraih impiannya, menjadi seorang pianis terkenal.
“Lucu banget, ya.”
Stefanie mengangkat kepalanya, mengernyitkan dahi. “Hah?”
“Yah, rasanya lucu aja bagaimana waktu bisa berjalan secepat ini dan mengubah segalanya secepat kilat.” Jaste mengangkat alisnya, menatap Stefanie dalam-dalam. “Kamu ingat nggak, gimana pertama kali kita bisa kenalan?”
Gimana aku bisa lupa? Batin Stefanie. Ia hanya menerawang, kembali tersenyum kecil. Memori demi memori yang dilaluinya beberapa bulan terakhir berkelebat dalam pikiran. “Bertemu dengan pahlawan yang menjelma jadi cowok bau keringat di ruang musik saat itu adalah salah satu memori yang nggak mungkin aku lupakan, tahu. Yah, siapa sangka seorang lelaki tinggi-besar sepertimu rupanya bisa selihai itu bermain piano?”
Jaste tergelak. “Mendapati seorang gadis yang melongo menatap partitur sore itu juga adalah salah satu saat paling berharga dalam hidupku.”
Mereka berdua terbahak, namun sejurus kemudian diam tercekik bisu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jaste meremas ujung kausnya, sesekali menatap gadis di sebelahnya itu resah seakan hendak mengungkapkan sesuatu.
“Jaste?” Stefanie mengerutkan alisnya, balas menatap lelaki itu. “Kenapa dari tadi liatin aku terus? Ada yang salah, ya?”
“Nggak. Yang salah adalah kalau aku nggak mengungkapkan hal yang sebenarnya.” Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya yang meliar. Perlahan-lahan dirogohnya sesuatu dari dalam ransel, mengeluarkan setangkai bunga mawar merah.
“Bunga mawar ini buat kamu.” Jaste menarik tangan Stefanie lembut, lantas memberikannya pada gadis itu. “Anggap saja sebagai ucapan selamat dari aku.”
Stefanie menatap setangkai mawar yang kini digenggamnya erat-erat dengan tatapan yang tak mampu diartikan. “Selamat?”
“Ya.” Sekali lagi Jaste menarik nafas, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia tak dapat mundur lagi sekarang. “Selamat untuk nilai delapan di ujian praktek musikmu, dan selamat karena... Telah merebut hatiku.”
Jantung Stefanie berhenti berdetak selama beberapa detik. Rasa seakan menyengat ujung-ujung jemarinya. Perlahan ia mengangkat kepalanya, menatap dalam kedua bola mata lelaki itu sambil mengeratkan genggaman pada bunga mawarnya.
“Jaste...” Ia mengusap tangan lelaki itu lembut. “Pesawatmu bentar lagi lepas landas, tuh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini.”
Lelaki itu tersenyum, berat. Tanpa kata, ia mengusap lembut mawar di tangan Stefanie, lantas menatap gadis itu dalam. Perlahan-lahan ia membalikkan badan, berjalan menjauh sebelum untuk terakhir kalinya kembali menoleh pada Stefanie.
Clara yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya dari kejauhan tiba-tiba muncul menepuk pundak Stefanie. “Kenapa tadi kamu nggak langsung jawab aja, sih?”
Stefanie menatap punggung Jaste yang perlahan-lahan menghilang ditelan kerumunan orang dengan pandangan mengabur. “Aku cuma ingin dia mengejar impiannya dulu,” bisiknya. “Dan kalau semua yang dia katakan tadi memang benar, dia pasti kembali... Menemui aku, yang akan selalu menunggu.”
***
Lima tahun kemudian...
Ruangan megah itu mendadak sunyi tepat setelah denting piano pertama terdengar. Seorang pianis muda yang duduk di hadapannya menekan tuts-tuts piano dengan lihainya, seakan menghipnotis seluruh penonton tanpa terkecuali.
Begitu ia selesai menekan nada terakhirnya, kesunyian ruangan itu berubah menjadi gemuruh tepuk tangan. Pianis itu membungkukkan badannya, tersenyum.
“Tepuk tangan yang sangat meriah untuk sang pianis muda, Jaste Emeraldo!” Dean, sang pembawa acara menghampiri pianis itu. “Sekali lagi, luar biasa brilian. Kalau tidak salah, lagu barusan adalah ciptaanmu sendiri? Anda persembahkan untuk siapa itu, Jaste?”
“Benar. Judul lagu barusan adalah Harmoni Untuk Stefanie.” Ia tersenyum. “Dan sebelum menjawab pertanyaan Anda, ijinkan saya memberikan mawar ini untuk inspirasi saya terlebih dahulu, Dean.” Jaste mengangkat sebuket mawar merah di tangan kanannya, lantas turun dari panggung.
Lelaki itu langsung berjalan lurus ke arah perempuan yang sejak tadi memperhatikan permainan pianonya dengan mata berkaca-kaca. Jaste mengangkat lembut tangan perempuan itu, memberikan buket mawar padanya.
“Stefanie Ibrahim, terima kasih telah menungguku sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan selamat, sekali lagi selamat untukmu... Karena telah merebut hatiku sejak dulu, sekarang, dan selamanya.”
1000 Day’s
Oleh: @danissyamra
Kantin sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang berhamburan menuju tempat jajanan kesukaan mereka masing-masing. Di antara sesaknya kantin, terdapat sepasang sahabat di sudut kantin, mereka terlihat asik memakan makanan mereka sambil terus bercengkerama.
“Ron, lo mau nunggu apa lagi?” tanya Marwan, mulutnya masih mengunyah potongan baso.
“Gue nggak tau, Wan. Gue masih ngerasa waktunya belum tepat.”
“Come on Bro. Sampai kapan? Lo itu udah ngejar-ngejar si Dewi dari awal kelas 1 dulu. Dan sekarang kita udah kelas 3.” ujar Marwan. Kini ia menghentikan makannya, “3 tahun Ron? 3 tahun… mau nunggu momen yang kayak gimana lagi?”
Terlihat Roni kehilangan nafsu makan. Dia hanya diam tak menghiraukan mie ayam yang ada dihadapannya. Sekilas dia memalingkan wajahnya ke arah sahabatnya sejak SMP. Marwan benar. Roni terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Selama hampir 3 tahun dirinya hanya mampu dekat dengan Dewi. Hanya dekat. Tidak berani lebih.
“Payah lo, Ron… ngungkapin suka sama De–” ucapan Marwan terputus saat orang yang sedang dibicarakan lewat dihadapan mereka.
“Hai, Ron, Wan. Aku numpang makan disini yah. Gak apa-apa kan?” tanya Dewi seraya merapatkan bangku ke arah meja.
“Iya gak apa-apa kok, Dew.” ucap Marwan. “Iya kan, Ron?” Lelaki berambut cepak itu menyikut lengan Roni.
Roni hanya mengangguk kecil dan tersenyum, lalu ia mengambil teh botol miliknya dan menenggaknya habis.
Selama ini hubungan Roni dan Dewi terlalu dekat bila hanya sekedar teman. Terlalu dekat dan terlalu tidak biasa. Tapi mereka hanya teman. Hanya ada diam dan bungkam saat mereka ditanyai mengenai status hubungan mereka berdua dan hanya berkilah. Hanya teman.
“Dew, weekend besok ada waktu nggak? Ada film bagus nih.” Roni memulai obrolan saat Marwan sudah pergi ke kelas lebih dulu.
“Boleh, emang film apa, Ron?”
“Tron. Mau nonton?”
“Di bayarin nggak nih? Haha… aku becanda kok. Yaudah, kayak biasa yah, Ron. Kamu jemput aku.” ucap Dewi.
“Yaudah nanti kayak biasa sekitar jam 11 aku jemput kamu dirumah.”
Bel berbunyi, perlahan murid-murid kembali ke kelas masing-masing. Namun Roni masih menunggu Dewi menyelesaikan makannya. Suatu hal yang selalu dilakukannya saat Dewi menghabiskan waktu istirahat bersamanya.
*
Roni berdiri di depan pintu rumah Dewi. Rumah berdesain minimalis dengan warna putih mendominasi dinding-dinding rumahnya dan dekorasi batuan hitam bertengger menghiasai beranda rumah yang disulap menjadi seperti taman mini.
Roni memencet bel yang ada di samping pintu sekali lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang keluar dari dalam rumah.
“Eh, Roni. Silahkan masuk.” Wanita tinggi semampai dengan rambut hitam lurus sebahu mempersilahkan Roni masuk.
“Makasih kak Dian.” ucap Roni kepada Dian–kakaknya Dewi–saat duduk di sofa bewarna hitam yang ada di ruang tamu. “Dewinya masih lama yah kak?” tanya Roni.
“Biasalah perempuan, dandannya lama. Hehe…” ucap Dian. “Oh iya, mau kakak bikinin minuman?” tanya Dian berbasa-basi.
“Eh? Makasih kak. Nggak usah repot-repot, tuh Dewi-nya juga udah siap.” Tunjuk Roni saat melihat Dewi keluar dari kamarnya yang terletak di lantai atas.
“Maaf ya, Ron, agak lama. Hehe…” ucap Dewi seraya tertawa renyah. “Kita berangkat sekarang?”
Roni melirik arloji yang melingkar ditangan kanannya, “hmm, oke kita berangkat sekarang.” Lelaki itu beranjak dari sofa. “Kita berangkat dulu ya kak Dian.” Pamit Roni kepada Dian.
*
Tak terasa hari sudah sore dan senja akan datang. Langit sudah mengguratkan garis-garis kemerahan. Tak lama lagi gelap akan muncul dan bulan akan menggantikan matahari.
“Gimana menurut kamu filmnya bagus nggak?” tanya Roni kepada Dewi yang berjalan disampingnya.
“Bagus kok, aku suka banget lagi. Keren.” jawab Dewi antusias. Matanya membulat ceria. Sebuah ekspresi yang dikeluarkan Dewi saat dirinya benar-benar menyukai sesuatu.
Lalu sejenak diam menguasai mereka.
“Ron, kita kesana yuk.” Tiba-tiba Dewi menarik lengan kemeja Roni dan menunjuk ke arah sebuah studio foto box. “Ayo, Ron. Mau yah… yah…” rujuk Dewi.
“Eh? Foto?” Ekspresi wajahnya menyiratkan keengganan. Namun setelah dia melihat wajah Dewi yang terlihat menginginkan berfoto ria, dirinya menyanggupi permintaan perempuan yang sejak 3 tahun lalu dekat dengannya. Terlalu dekat. Hingga dirinya mengetahui semua yang diinginkan oleh perempuan ini.
Di dalam kotak yang berukuran 2x2 meter itu Roni dan Dewi mulai memasang pose unik. Foto pertama, Dewi berpose mengacak pinggang dan Roni mengangkat kedua ibu jari tangannya dan tersenyum. Foto kedua, Roni berdiri di belakang Dewi dan tangannya melingkari leher Dewi dan Dewi tersenyum kecil. Foto ketiga, Dewi mengangkat kedua tangannya dan membentuk hati, sementara Roni juga melakukan hal yang sama. Lalu di foto terakhir, Rama dan Dewi duduk berdampingan dan sesaat sebelum kamera memotret secara otomatis, tiba-tiba Dewi mengecup pipi Roni dan Roni memasang mimik terkejut saat kamera sudah memotret otomatis. Lelaki itu tidak menyangka Dewi akan mencium pipinya. Terlalu dekat. Terlalu pekat.
Setelah Roni mengurus biaya foto dan mengambilnya dari meja kasir, lelaki itu membuka amplop berisi foto-foto mereka. Sekali lagi dia melihat foto keempat saat Dewi mencium pipinya, dia masih tidak mempercayai hal itu nyata.
“Maaf ya Ron, kalau kamu nggak suka.” ucap Dewi merasa bersalah.
Roni tersenyum. “Nggak apa-apa kok, Dew. Aku juga seneng kok” ucapnya seraya tersenyum kembali.
Mereka kembali berjalan di dalam mall, hanya berjalan tanpa tujuan. Mereka hanya berjalan mengelilingi mall yang jalannya berbentuk spiral itu.
“Dew, kamu inget nggak kapan pertama kali kita jalan berdua?” Seketika keheningan di antara mereka pergi.
“Aku lupa tanggalnya, tapi kalau nggak salah pas kita kelas 1 dulu kan yah? Bener nggak, Ron?”
“Percaya nggak klo saat itu 1000 hari yang lalu?” tanya Roni.
“Eh? Serius?”
“Iya aku serius, Dew.” ucap Roni. “Pertama kita jalan itu 1000 hari yang lalu. Nih buktinya.” Rama mengeluarkan isi dompetnya saat mereka sudah duduk di bangku yang ada di pinggir lorong mall yang telah di sediakan manajemen mall.
“Loh, ini kan potongan tiket pertama kita nonton?” ucap Dewi sedikit terkejut saat melihat isi perut dompet Roni. “Dan ini… ini kan foto box pertama kita pas kita jalan kedua.”
Dewi masih terus membuka isi dompet Roni, matanya terlihat kembali membulat ceria, seperti menemukan mainan baru yang menyenangkan hatinya.
Roni hanya tersenyum memperhatikan tingkah Dewi. Lalu dia melihat Rani membuka kertas lusuh yang ada di dalam selipan dompetnya.
“Ron? Ini puisi kamu buat aku?”
“Iya, Dew, aku harap kamu suka dan mau.” ucap Roni tenang. Seketika suasana menjadi hening, bukan hening yang dingin. Tapi hening yang menggambarkan suasana romantis yang diciptakan Roni. Mata lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Dewi. Terlalu dekat. Terlalu lekat.
Keduanya terdiam. Mulut tak berbicara. Namun mata mereka seolah menceritakan isi hati keduanya.
“Would you be my half soul?”
Dewi mengangguk, tangannya menggenggam erat kertas lusuh berisi puisi yang dituliskan oleh Roni sejak 1000 hari yang lalu itu. Matanya terpejam. Seketika Roni mencium lembut bibir Dewi dan mengecupnya pelan. Logika mereka telah melayang jauh, hanya ada cinta.
Aku melayang terbang jauh dari nyata
Hadirmu menghilangkan logika
Kau dengan sejuta pesona
Inginku memelukmu sebentar saja
Merpati terbang kembali kesarang
Bingung mendapati sarangnya kosong
Kembali terbang dan terbang
Kesepian, itu kata yang tepat
Sepi selalu menemani merpati itu tak merapat
Sampai dia temukan sarang baru
Yang mendapati dirinya kembali ceria
Aku merpati itu
Dan kamu sarangnya itu…
Bersamamu aku merasa kembali pulang
Kamu… Dewi Sarastika
Mau kah kamu melengkapiku
Kantin sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang berhamburan menuju tempat jajanan kesukaan mereka masing-masing. Di antara sesaknya kantin, terdapat sepasang sahabat di sudut kantin, mereka terlihat asik memakan makanan mereka sambil terus bercengkerama.
“Ron, lo mau nunggu apa lagi?” tanya Marwan, mulutnya masih mengunyah potongan baso.
“Gue nggak tau, Wan. Gue masih ngerasa waktunya belum tepat.”
“Come on Bro. Sampai kapan? Lo itu udah ngejar-ngejar si Dewi dari awal kelas 1 dulu. Dan sekarang kita udah kelas 3.” ujar Marwan. Kini ia menghentikan makannya, “3 tahun Ron? 3 tahun… mau nunggu momen yang kayak gimana lagi?”
Terlihat Roni kehilangan nafsu makan. Dia hanya diam tak menghiraukan mie ayam yang ada dihadapannya. Sekilas dia memalingkan wajahnya ke arah sahabatnya sejak SMP. Marwan benar. Roni terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Selama hampir 3 tahun dirinya hanya mampu dekat dengan Dewi. Hanya dekat. Tidak berani lebih.
“Payah lo, Ron… ngungkapin suka sama De–” ucapan Marwan terputus saat orang yang sedang dibicarakan lewat dihadapan mereka.
“Hai, Ron, Wan. Aku numpang makan disini yah. Gak apa-apa kan?” tanya Dewi seraya merapatkan bangku ke arah meja.
“Iya gak apa-apa kok, Dew.” ucap Marwan. “Iya kan, Ron?” Lelaki berambut cepak itu menyikut lengan Roni.
Roni hanya mengangguk kecil dan tersenyum, lalu ia mengambil teh botol miliknya dan menenggaknya habis.
Selama ini hubungan Roni dan Dewi terlalu dekat bila hanya sekedar teman. Terlalu dekat dan terlalu tidak biasa. Tapi mereka hanya teman. Hanya ada diam dan bungkam saat mereka ditanyai mengenai status hubungan mereka berdua dan hanya berkilah. Hanya teman.
“Dew, weekend besok ada waktu nggak? Ada film bagus nih.” Roni memulai obrolan saat Marwan sudah pergi ke kelas lebih dulu.
“Boleh, emang film apa, Ron?”
“Tron. Mau nonton?”
“Di bayarin nggak nih? Haha… aku becanda kok. Yaudah, kayak biasa yah, Ron. Kamu jemput aku.” ucap Dewi.
“Yaudah nanti kayak biasa sekitar jam 11 aku jemput kamu dirumah.”
Bel berbunyi, perlahan murid-murid kembali ke kelas masing-masing. Namun Roni masih menunggu Dewi menyelesaikan makannya. Suatu hal yang selalu dilakukannya saat Dewi menghabiskan waktu istirahat bersamanya.
*
Roni berdiri di depan pintu rumah Dewi. Rumah berdesain minimalis dengan warna putih mendominasi dinding-dinding rumahnya dan dekorasi batuan hitam bertengger menghiasai beranda rumah yang disulap menjadi seperti taman mini.
Roni memencet bel yang ada di samping pintu sekali lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang keluar dari dalam rumah.
“Eh, Roni. Silahkan masuk.” Wanita tinggi semampai dengan rambut hitam lurus sebahu mempersilahkan Roni masuk.
“Makasih kak Dian.” ucap Roni kepada Dian–kakaknya Dewi–saat duduk di sofa bewarna hitam yang ada di ruang tamu. “Dewinya masih lama yah kak?” tanya Roni.
“Biasalah perempuan, dandannya lama. Hehe…” ucap Dian. “Oh iya, mau kakak bikinin minuman?” tanya Dian berbasa-basi.
“Eh? Makasih kak. Nggak usah repot-repot, tuh Dewi-nya juga udah siap.” Tunjuk Roni saat melihat Dewi keluar dari kamarnya yang terletak di lantai atas.
“Maaf ya, Ron, agak lama. Hehe…” ucap Dewi seraya tertawa renyah. “Kita berangkat sekarang?”
Roni melirik arloji yang melingkar ditangan kanannya, “hmm, oke kita berangkat sekarang.” Lelaki itu beranjak dari sofa. “Kita berangkat dulu ya kak Dian.” Pamit Roni kepada Dian.
*
Tak terasa hari sudah sore dan senja akan datang. Langit sudah mengguratkan garis-garis kemerahan. Tak lama lagi gelap akan muncul dan bulan akan menggantikan matahari.
“Gimana menurut kamu filmnya bagus nggak?” tanya Roni kepada Dewi yang berjalan disampingnya.
“Bagus kok, aku suka banget lagi. Keren.” jawab Dewi antusias. Matanya membulat ceria. Sebuah ekspresi yang dikeluarkan Dewi saat dirinya benar-benar menyukai sesuatu.
Lalu sejenak diam menguasai mereka.
“Ron, kita kesana yuk.” Tiba-tiba Dewi menarik lengan kemeja Roni dan menunjuk ke arah sebuah studio foto box. “Ayo, Ron. Mau yah… yah…” rujuk Dewi.
“Eh? Foto?” Ekspresi wajahnya menyiratkan keengganan. Namun setelah dia melihat wajah Dewi yang terlihat menginginkan berfoto ria, dirinya menyanggupi permintaan perempuan yang sejak 3 tahun lalu dekat dengannya. Terlalu dekat. Hingga dirinya mengetahui semua yang diinginkan oleh perempuan ini.
Di dalam kotak yang berukuran 2x2 meter itu Roni dan Dewi mulai memasang pose unik. Foto pertama, Dewi berpose mengacak pinggang dan Roni mengangkat kedua ibu jari tangannya dan tersenyum. Foto kedua, Roni berdiri di belakang Dewi dan tangannya melingkari leher Dewi dan Dewi tersenyum kecil. Foto ketiga, Dewi mengangkat kedua tangannya dan membentuk hati, sementara Roni juga melakukan hal yang sama. Lalu di foto terakhir, Rama dan Dewi duduk berdampingan dan sesaat sebelum kamera memotret secara otomatis, tiba-tiba Dewi mengecup pipi Roni dan Roni memasang mimik terkejut saat kamera sudah memotret otomatis. Lelaki itu tidak menyangka Dewi akan mencium pipinya. Terlalu dekat. Terlalu pekat.
Setelah Roni mengurus biaya foto dan mengambilnya dari meja kasir, lelaki itu membuka amplop berisi foto-foto mereka. Sekali lagi dia melihat foto keempat saat Dewi mencium pipinya, dia masih tidak mempercayai hal itu nyata.
“Maaf ya Ron, kalau kamu nggak suka.” ucap Dewi merasa bersalah.
Roni tersenyum. “Nggak apa-apa kok, Dew. Aku juga seneng kok” ucapnya seraya tersenyum kembali.
Mereka kembali berjalan di dalam mall, hanya berjalan tanpa tujuan. Mereka hanya berjalan mengelilingi mall yang jalannya berbentuk spiral itu.
“Dew, kamu inget nggak kapan pertama kali kita jalan berdua?” Seketika keheningan di antara mereka pergi.
“Aku lupa tanggalnya, tapi kalau nggak salah pas kita kelas 1 dulu kan yah? Bener nggak, Ron?”
“Percaya nggak klo saat itu 1000 hari yang lalu?” tanya Roni.
“Eh? Serius?”
“Iya aku serius, Dew.” ucap Roni. “Pertama kita jalan itu 1000 hari yang lalu. Nih buktinya.” Rama mengeluarkan isi dompetnya saat mereka sudah duduk di bangku yang ada di pinggir lorong mall yang telah di sediakan manajemen mall.
“Loh, ini kan potongan tiket pertama kita nonton?” ucap Dewi sedikit terkejut saat melihat isi perut dompet Roni. “Dan ini… ini kan foto box pertama kita pas kita jalan kedua.”
Dewi masih terus membuka isi dompet Roni, matanya terlihat kembali membulat ceria, seperti menemukan mainan baru yang menyenangkan hatinya.
Roni hanya tersenyum memperhatikan tingkah Dewi. Lalu dia melihat Rani membuka kertas lusuh yang ada di dalam selipan dompetnya.
“Ron? Ini puisi kamu buat aku?”
“Iya, Dew, aku harap kamu suka dan mau.” ucap Roni tenang. Seketika suasana menjadi hening, bukan hening yang dingin. Tapi hening yang menggambarkan suasana romantis yang diciptakan Roni. Mata lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Dewi. Terlalu dekat. Terlalu lekat.
Keduanya terdiam. Mulut tak berbicara. Namun mata mereka seolah menceritakan isi hati keduanya.
“Would you be my half soul?”
Dewi mengangguk, tangannya menggenggam erat kertas lusuh berisi puisi yang dituliskan oleh Roni sejak 1000 hari yang lalu itu. Matanya terpejam. Seketika Roni mencium lembut bibir Dewi dan mengecupnya pelan. Logika mereka telah melayang jauh, hanya ada cinta.
Aku melayang terbang jauh dari nyata
Hadirmu menghilangkan logika
Kau dengan sejuta pesona
Inginku memelukmu sebentar saja
Merpati terbang kembali kesarang
Bingung mendapati sarangnya kosong
Kembali terbang dan terbang
Kesepian, itu kata yang tepat
Sepi selalu menemani merpati itu tak merapat
Sampai dia temukan sarang baru
Yang mendapati dirinya kembali ceria
Aku merpati itu
Dan kamu sarangnya itu…
Bersamamu aku merasa kembali pulang
Kamu… Dewi Sarastika
Mau kah kamu melengkapiku
Tampil Cantik
Oleh: Ifnur Hikmah (@iiphche)
www.ifnurhikmahofficial.blogspot.com
"Cuaca sore ini bagus ya."
"Bagus apanya?"
"Ya bagus. Kamu lihat itu langit cerah. Awan biru putih berjejer berselang seling. Dan itu, matahari. Bersinar oranye cerah. Indah. Belum lagi anginnya. Hmmmm, kamu rasa kan? Sejuk."
"Iya, tapi gara-gara matahari yang terik itu aku jadi keringetan. Kamu lihat ini pipiku berminyak. Mana aku nggak bawa kertas minyak lagi. Lengket. Sama sekali nggak enak tahu. Belum lagi make up ku. Pasti acak adut."
"Ah, itu bukan masalah."
"Apanya yang nggak masalah? Kamu laki-laki mas, wajar kamu cuek. Aku perempuan, mana bisa aku nggak memperhatikan penampilan?"
"Kamu tetap cantik kok."
"Gombal kamu. Kamu ngomong kayak gitu biar aku nggak ngambek tho?"
"Ah sudahlah, nggak usah diperpanjang. Ngapain kita bertengkar gara-gara hal sepele ini. Mending kita menikmati hembusan angin saja."
"Ckk, apanya yang bisa dinikmati? Kamu nggak lihat rambutku berterbangan gini? Bikin kusut aja."
"Kan tinggal di ikat?"
"Ya ampun mas, kamu itu ya. Apa kamu nggak tahu kalau aku butuh waktu dua jam untuk bikin ikal-ikal ini?"
"Lagian, udah tahu punya rambut lurus, ngapain di ikal-ikalin segala?"
"Kamu ngerti mode nggak sih mas?"
"Aku tahu, tapi bukan berarti kamu harus diperbudak mode tho?"
"Siapa yang diperbudak?"
"Kamu. Rambut lurus di ikalin, belum lagi aksesoris macam-macam yang kamu pakai. Terus muka kamu penuh make up dan kamu selalu ribut masalah make up. Belum lagu baju yang kamu pake, selalu disesuain sama apa yang ada di majalah."
"Kamu tahu kan kalau setiap perempuan ingin terlihat cantik? Kaum kamu yang menuntut kita, perempuan untuk selalu tampil cantik."
"Iya, tapi aku lebih suka kamu apa adanya."
"Basi. Kalau memang kamu suka aku apa adanya, kenapa kamu masih aja ngelirik perempuan lain yang lebih cantik?"
"Siapa yang ngelirik perempuan lain?"
"Jangan pikir aku nggak tahu ya. Setiap ada perempuan yang lewat depan kamu, kamu pasti ngelirik dia."
"Ah, berlebihan kamu. Nggak mungkinlah aku kayak gitu. Aku kan milik kamu. Aku sayangnya kan cuma sama kamu."
"Gombal kamu."
"Aku serius."
"Ah, sudahlah. Aku capek berdebat sama kamu. Dasar pengacara, nggak pernah mau kalah."
"Hahahaha. Ini yang aku suka dari kamu. Menggemaskan."
"Yeeee....."
"Kamu lapar nggak? Atau haus? Kita cari tempat makan yuk?"
"Nanti dulu. Aku masih mau duduk disini."
"Katanya kamu nggak suka disini. Banyak angin."
"Iya, tapi aku capek dari jalan terus. Kaki aku pegal. Kamu sih nggak pernah ngerasain pakai sepatu hak tinggi."
"Kamu juga sih. Kan aku udah bilang mau ngajak kamu jalan-jalan ke taman, kenapa pakai sepatu hak tinggi? Tadi aku juga udah suruh kamu ganti pake sandal aja, tapi kamunya bandel, nggak mau dibilangin."
"Namanya juga perempuan mas, sepatu hak tinggi itu item wajib untuk menunjang penampilan."
"Tapi kamunya tersiksa kan?"
"Kamu pernah denger 'beauty is pain' nggak? Sakit segini mah belum seberapa mas."
"Dek, kamu denger ya. Aku sayang kamu itu apa adanya kamu. Kamu nggak perlu berusaha apapun juga, kamu itu udah cantik. Cuma kamu kurang bersyukur aja."
"Ya aku berusaha kan demi kamu mas. Kalau aku cantik kan kamu juga yang bangga."
"Iya aku ngerti dan aku makasih banget. Tapi kamu harus lebih banyak bersyukur dan menerima keadaan kamu, apa adanya kamu. Justru itu yang bikin kamu terlihat lebih cantik. Kamu tahu nggak apa yang aku lihat setiap kali bareng kamu?"
"Nggak."
"Setiap jalan sama kamu, aku lihat kamu mikiiiiirrr terus. Dan yang kamu pikirin cuma penampilan kamu. Coba deh sekali-kali kamu santai dan tampil apa adanya. Kamu tetap cantik."
"......."
"Setidaknya cantik di mata aku. Lagian, kalau kamu kelewat cantik nanti banyak yang ngelirik kamu. Aku jadi dapat saingan tho?"
"Dasar. Gombal kamu mas."
"Nah, gitu dong. Ketawa. Dari tadi cemberut terus. Yuk, kita cari makan. Perutku keroncongan nih."
"......."
"Aku sayang kamu dek."
"Iya aku tahu. Aku juga sayang kamu mas."
www.ifnurhikmahofficial.blogspot.com
"Cuaca sore ini bagus ya."
"Bagus apanya?"
"Ya bagus. Kamu lihat itu langit cerah. Awan biru putih berjejer berselang seling. Dan itu, matahari. Bersinar oranye cerah. Indah. Belum lagi anginnya. Hmmmm, kamu rasa kan? Sejuk."
"Iya, tapi gara-gara matahari yang terik itu aku jadi keringetan. Kamu lihat ini pipiku berminyak. Mana aku nggak bawa kertas minyak lagi. Lengket. Sama sekali nggak enak tahu. Belum lagi make up ku. Pasti acak adut."
"Ah, itu bukan masalah."
"Apanya yang nggak masalah? Kamu laki-laki mas, wajar kamu cuek. Aku perempuan, mana bisa aku nggak memperhatikan penampilan?"
"Kamu tetap cantik kok."
"Gombal kamu. Kamu ngomong kayak gitu biar aku nggak ngambek tho?"
"Ah sudahlah, nggak usah diperpanjang. Ngapain kita bertengkar gara-gara hal sepele ini. Mending kita menikmati hembusan angin saja."
"Ckk, apanya yang bisa dinikmati? Kamu nggak lihat rambutku berterbangan gini? Bikin kusut aja."
"Kan tinggal di ikat?"
"Ya ampun mas, kamu itu ya. Apa kamu nggak tahu kalau aku butuh waktu dua jam untuk bikin ikal-ikal ini?"
"Lagian, udah tahu punya rambut lurus, ngapain di ikal-ikalin segala?"
"Kamu ngerti mode nggak sih mas?"
"Aku tahu, tapi bukan berarti kamu harus diperbudak mode tho?"
"Siapa yang diperbudak?"
"Kamu. Rambut lurus di ikalin, belum lagi aksesoris macam-macam yang kamu pakai. Terus muka kamu penuh make up dan kamu selalu ribut masalah make up. Belum lagu baju yang kamu pake, selalu disesuain sama apa yang ada di majalah."
"Kamu tahu kan kalau setiap perempuan ingin terlihat cantik? Kaum kamu yang menuntut kita, perempuan untuk selalu tampil cantik."
"Iya, tapi aku lebih suka kamu apa adanya."
"Basi. Kalau memang kamu suka aku apa adanya, kenapa kamu masih aja ngelirik perempuan lain yang lebih cantik?"
"Siapa yang ngelirik perempuan lain?"
"Jangan pikir aku nggak tahu ya. Setiap ada perempuan yang lewat depan kamu, kamu pasti ngelirik dia."
"Ah, berlebihan kamu. Nggak mungkinlah aku kayak gitu. Aku kan milik kamu. Aku sayangnya kan cuma sama kamu."
"Gombal kamu."
"Aku serius."
"Ah, sudahlah. Aku capek berdebat sama kamu. Dasar pengacara, nggak pernah mau kalah."
"Hahahaha. Ini yang aku suka dari kamu. Menggemaskan."
"Yeeee....."
"Kamu lapar nggak? Atau haus? Kita cari tempat makan yuk?"
"Nanti dulu. Aku masih mau duduk disini."
"Katanya kamu nggak suka disini. Banyak angin."
"Iya, tapi aku capek dari jalan terus. Kaki aku pegal. Kamu sih nggak pernah ngerasain pakai sepatu hak tinggi."
"Kamu juga sih. Kan aku udah bilang mau ngajak kamu jalan-jalan ke taman, kenapa pakai sepatu hak tinggi? Tadi aku juga udah suruh kamu ganti pake sandal aja, tapi kamunya bandel, nggak mau dibilangin."
"Namanya juga perempuan mas, sepatu hak tinggi itu item wajib untuk menunjang penampilan."
"Tapi kamunya tersiksa kan?"
"Kamu pernah denger 'beauty is pain' nggak? Sakit segini mah belum seberapa mas."
"Dek, kamu denger ya. Aku sayang kamu itu apa adanya kamu. Kamu nggak perlu berusaha apapun juga, kamu itu udah cantik. Cuma kamu kurang bersyukur aja."
"Ya aku berusaha kan demi kamu mas. Kalau aku cantik kan kamu juga yang bangga."
"Iya aku ngerti dan aku makasih banget. Tapi kamu harus lebih banyak bersyukur dan menerima keadaan kamu, apa adanya kamu. Justru itu yang bikin kamu terlihat lebih cantik. Kamu tahu nggak apa yang aku lihat setiap kali bareng kamu?"
"Nggak."
"Setiap jalan sama kamu, aku lihat kamu mikiiiiirrr terus. Dan yang kamu pikirin cuma penampilan kamu. Coba deh sekali-kali kamu santai dan tampil apa adanya. Kamu tetap cantik."
"......."
"Setidaknya cantik di mata aku. Lagian, kalau kamu kelewat cantik nanti banyak yang ngelirik kamu. Aku jadi dapat saingan tho?"
"Dasar. Gombal kamu mas."
"Nah, gitu dong. Ketawa. Dari tadi cemberut terus. Yuk, kita cari makan. Perutku keroncongan nih."
"......."
"Aku sayang kamu dek."
"Iya aku tahu. Aku juga sayang kamu mas."
Kenyataan - Kenyataan
Oleh: Lili Sumanti
Masihkah kau menyimpannya di sudut-sudut gelap hatimu?
Bidadari berambut hitam panjang
berkulit putih gading dan berhidung bangir...
yang hanya padanya, kau rela menembus dingin perjalanan untuk sekedar mengungkapkan rasa..
yang hanya karenanya, kau menghabiskan berlembar-lembar kertas bertuliskan sajak pengakuan...
masihkah bidadari itu mimpi indahmu?
Masihkah kau menyimpannya di sudut-sudut gelap hatimu?
Bidadari berambut hitam panjang
berkulit putih gading dan berhidung bangir...
yang hanya padanya, kau rela menembus dingin perjalanan untuk sekedar mengungkapkan rasa..
yang hanya karenanya, kau menghabiskan berlembar-lembar kertas bertuliskan sajak pengakuan...
masihkah bidadari itu mimpi indahmu?
14 : 14 THAT’S HER!
Oleh: Nadya Permadi
Tidak bosan-bosannya aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Kemana gadis itu? Dia seharusnya sudah berada disini sejak satu jam lalu. Namun... mengapa belum muncul juga? 14 : 14 angka digital pada arloji ku pun terus berubah.
“Maaf telat. Maaf maaf...” seorang gadis tiba-tiba datang dengan tergesa dan menempati kursi kosong di hadapanku. “Maaf ya. Tadi macet banget.”
Aku menatapnya dengan mulut terkunci. Entah mengapa aku tidak pernah bisa marah pada gadis di hadapanku ini. Tidak peduli betapa manjanya dia dan kesalahan apapun yang diperbuatnya, aku akan selalu memaafkannya. Selalu.
“Gi, jangan marah dong. Maaf banget. Itu tadi macetnya beneran. Macet banget!” jelas gadis itu lagi.
Tidak tahan melihat wajah bersalahnya, aku pun tersenyum lembut dan berusaha menenangkannya.
“Iya, aku percaya kok Nin. Haha. Wajah kamu lucu banget ya kalau lagi merasa bersalah. Sering-sering aja. Aku jadi terhibur,” ucapku sambil berusaha menahan tawa.
“Algi, iseng deh! Aku kira kamu marah beneran tadi. Payah ah!”
“Haha.. Maaf deh. Terus kenapa kamu tadi mau ketemu aku disini?” tanya ku teringat dengan telepon Nindi pagi tadi yang terdengar sangat penting hingga harus bertemu siang ini.
“Aku.. itu... aku mau ngasih tau sesuatu,” balas Nindi tiba-tiba terlihat gugup.
“Apa?”
“Itu.. aku.. minggu depan aku pindah ke Surabaya dan akan ngelanjutin kuliah disana. Kamu tau kan kemarin aku mendaftar di salah satu kampus negeri disana? Ternyata aku diterima dan harus segera mengurus berkas dan lain-lainnya.”
“Kamu serius???”
“Serius, minggu lalu aku baru lihat hasilnya,” ucapnya terlihat agak takut mengetahui reaksiku.
“Kenapa kamu baru...?”
“Memberitahu kamu? Maaf, aku takut kamu marah,” jawab Nindi tertunduk.
“Untuk apa marah? Itu.. itu semua hidup kamu. Terserah kamu,” balasku agak ketus. “Aku udah harus balik ke kampus sekarang. Kalau udah nggak ada yang penting, aku pergi.”
****
Sepanjang perjalanan aku masih terus memikirkan ucapan Nindi. Tidak menyangka semua rencana tentang kuliahnya ke Surabaya akan benar-benar nyata terjadi. Aku tidak pernah berpikir akan berpisah dengan dia. Nindi, gadis yang ku sayangi, adik kecilku. Apa mungkin ini saatnya untukku melepaskannya pergi?
****
Hari-hari berlanjut seiring dengan perasaanku yang makin memburuk. Memikirkan perpisahan dengan Nindi benar-benar sukses mengacaukan segalanya. Pikiranku tidak lagi jernih. Yang ada hanya kata-kata perpisahan. Ya. Sepertinya aku memang tidak bisa merelakannya untuk pergi.
Lusa aku berangkat ke Surabaya. Mungkin kalau masih ada kesempatan untuk bertemu, aku akan dengan senang hati menemui mu di bandara sebelum keberangkatanku. Pesawat ku take off jam 11 siang. Sekali lagi, maaf Algi. Maaf.
Pukul 14:14 ponsel-ku berdering dan tulisan-tulisan itulah yang muncul begitu aku membuka pesan yang masuk. Ya dia akan segera pergi. 14 : 14 N? Nindi. Ya dia. Gadis yang sangat ku sayangi. Haruskah aku menemuinya? Melihatnya untuk yang terakhir kali? Tidak. Aku harap ini bukan yang terakhir.
****
Aku memandangi gadis di hadapanku dengan tatapan sendu. Mencoba menyimpan detil-detil memori tentangnya. Nindi. Tidak lama lagi dia akan pergi. Berpisah denganku. Adik kecilku yang selama ini selalu meminta bantuanku, selalu bermanja-manja denganku, saat ini dia sudah memiliki jalannya sendiri dan mungkin tidak akan membutuhkanku lagi.
“Gi, jangan sedih gitu dong. Aku kan cuma ke Surabaya dan aku pasti akan balik lagi. Kamu juga bisa main-main kesana kalau ada waktu,” ucap Nindi berusaha tersenyum walaupun aku tau dia juga merasakan kesedihan dalam dirinya.
“Aku cuma nggak nyangka aja akan berpisah dengan kamu. Adik kecilku. Yang biasanya selalu bikin aku susah dan repot. Sekarang kamu akan jauh di Surabaya dan pasti nggak butuh aku lagi. Ya kan?”
“Hei, aku masih akan jadi adik kecilmu yang menyusahkanmu kok dan sampai kapanpun aku nggak akan pernah melupakan kamu, kakak,” balas Nindi lembut.
“Nindi, sebenarnya aku..” ucapanku terpotong oleh sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa pesawat yang ditumpangi oleh gadis di hadapanku ini akan segera take off.
“Aku harus pergi sekarang. Maaf Gi,” ucap Nindi terburu-buru. “Satu hal yang perlu kamu ingat, suatu saat nanti jika kamu melihat ke arah jam dan itu menunjukkan angka 14 : 14, kamu tau aku akan ada disana menemuimu. Percayalah, kak Algi.”
Aku masih terus memandangnya. Terus hingga gadis itu perlahan melangkah menjauh dan menghilang ditelan oleh kerumunan. 14:14 Nindi. Ya. Aku akan mengingat itu. Saat angka itu muncul aku akan segera menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada adik kecilku itu.
****
2 Tahun kemudian..
Motorku membelah jalanan dengan sangat lambat siang itu. Entahlah. Hari ini lagi-lagi pikiranku dipenuhi oleh Nindi. Sudah dua tahun dia pergi ke Surabaya dan aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya lagi sejak perpisahan di bandara waktu itu. Aku merindukannya. Sangat.
Aku masih mengingat semua pesannya tentang 14:14, namun aku belum pernah mengalami deja vu itu lagi sejak kepergian Nindi. Mungkin takdir memang belum mengizinkan ku untuk bertemu dengannya atau 14:14 itu mungkin tidak pernah akan bisa terjadi padaku. Yah pikirkan saja, dari 24 jam lamanya waktu berjalan, hanya pukul 14:14 yang bisa membuat Nindi datang. Tidak masuk akal memang, namun entah mengapa aku mempercayai ucapan gadis itu.
Setelah memarkir motorku di halaman rumah, dengan langkah lunglai aku segera masuk dan menjatuhkan diri di salah satu sofa yang ada di ruang tamu. Refleks aku melihat ke arloji di pergelangan tanganku. Pukul 14:14. Tunggu dulu! 14:14? N? Nindi? Ini.. ini saatnya. Mungkinkah adik kecilku itu..? Tidak. Hal tentang angka kembar itu hanya mitos. Tidak akan mungkin Nindi tiba-tiba muncul menemuiku.
Ponselku berdering, kembali membawaku ke alam nyata. Aku memandangi gadget kecil itu sebentar. Private number? Aneh.
“Halo?” ucapku dengan malas.
“Nggak tertarik untuk melihat sebentar siapa yang berdiri di depan rumah kakak saat ini?” sebuah suara yang sudah sangat ku kenali menyambutku dengan hangat.
“Nindi?”
Dengan segera aku berlari menuju ke halaman depan dan terlihatlah disana satu sosok gadis yang telah memenuhi pikiranku selama dua tahun belakangan ini. Nindi. Adik kecilku.
Tanpa menunggu lebih lama aku langsung menarik gadis itu ke dalam pelukanku. Ya. Aku merindukannya. Sangat. Aku merindukan aroma tubuhnya, senyum usilnya, rambut ikalnya, dan tawa ringannya. Semua tentang gadis ini... aku merindukannya.
“Halo kakakku! Miss me?” tanya Nindi begitu aku melepaskan pelukanku.
“Do you really need to ask? I miss you so much, lil’ sist!” balasku sambil kembali memeluknya.
“Aku juga. Kangen banget sama kamu, kak.”
“Aku.. aku sayang kamu, Nindi,” ucapku lembut.
****
Satu hal yang perlu kakak ingat, 14:14 dan aku akan berada disisi mu. Tepat seperti saat ini. Kakak tau mengapa hal ini bisa terjadi? Ini karena aku begitu menyayangi kakak dan takdir pun begitu. Mungkin lain kali akan ada 01:01 dan kakak akan muncul disisi ku?! Who knows kan?!
THE END
Dandelion
Oleh: Gabriella Santoso (@myturtlylife)
Untuk setiap kuncup yang takut mekar, dan semua cinta yang tak terbalas.
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku? Aku, kuncup kecil yang tak pernah diperhatikan oleh siapapun.
Di ladang ini banyak kuncup sepertiku, namun entah mengapa semuanya terlihat lebih indah bila dibandingkan dengan diriku. Di kejauhan sana, di tempat yang lebih tinggi, terlihat serumpun mawar. Angkuh, tak tersentuh karena duri-duri tajam, namun menawan semua hati yang melihatnya. Sampai mereka rela tergores, terluka demi mendapatkan kuntum itu. Sampai mereka tak sadar, bahwa dalam perjalanan mereka ke sana, mereka menginjak-injakku. Aku, kuncup kecil yang tak pernah dilihat oleh manusia sang empunya ladang. Ladang, dunia kecil miliknya.
Aku bukan mawar. Dan ada saat-saat di mana aku berpikir, lebih baik jika aku tak usah mekar saja. Aku merasa sakit. Aku remuk. Aku lelah.
Namun, waktu terus berjalan. Aku pun sadar, aku akan mati kalau terus menolak untuk mekar. Aku, si kuncup kecil yang tak diperhatikan oleh siapapun. Tapi, aku tetap ingin tahu apa rasanya mekar. Aku ingin berbunga. Hanya karena aku hidup. Karena aku ada. Dan saat aku mekar, aku akan mekar dengan indah… walaupun mungkin tetap tak akan ada yang memperhatikan.
Wahai cinta, apakah kau pernah melihatku? Aku, bunga kuning kecil yang baru mulai mekar.
Dalam diam kutunggu embun pagi turun dengan lembut dari langit, membasuh hatiku yang sepi. Aku ingin mereguk semua kekuatan yang bisa kudapatkan. Dan aku akan berusaha untuk tumbuh lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi, semakin dekat lagi ke matahari. Aku akan tumbuh seindah yang kubisa, karena mungkin hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk mekar.
Aku, bunga kuning kecil yang baru mekar. Pernahkah kau melihatku? Mungkin tidak.
Tapi sesuatu terjadi. Ke duniaku yang kecil dan sepi, datanglah lebah. Datanglah kupu-kupu. Dalam pengembaraan mereka yang panjang dan jauh, tiba-tiba mereka sadar bahwa aku ada di sana. Walau letih dan pedih hatiku, kutawarkan mereka tempat bernaung, tempat bersandar. Saat itu kuingatkan diriku. Kalau aku mau mekar dengan indah, aku harus kuat. Dan untuk diperhatikan, aku harus memperhatikan. Mungkin suatu saat, saat aku sudah cukup mencintai, aku pun akan dicintai. Mungkin, hanya mungkin.
“Bunga kecil,” kata mereka kepadaku, “sungguh baik perjuanganmu ini. Mekarlah dengan indah…”
Dalam sekejap mereka merombak susunan hatiku. Aku merasa, inilah waktuku. Sudah tiba saatnya. Aku akan mekar dengan indah. Dengan anggun aku biarkan diriku menari ditiup angin, berubah, berubah, dan berubah… Sampai kutemukan diriku terbalut dalam gaun putih, seputih bulan terang dalam malam-malam sepiku.
Kini aku adalah bunga bulat berwarna putih. Aku semakin tak terlihat, namun percayalah aku masih ada di ladang, tumbuh lebih indah setiap harinya.
Akan ada saatnya angin berhembus dan semua bagian hatiku, semua harapanku, semua kesedihanku, semua kesepianku, akan ditiup. Dan ceritaku akan terbang mengarungi dunia ini, ke tempat-tempat yang mungkin tak kuketahui sebelumnya.
Lalu akan ada puluhan kuncup baru milikku. Mereka mengerti kesedihan, mereka mengerti harapan. Mereka lebih kuat. Lebih baik. Dan pada saatnya mereka pun akan mekar dengan indah. Lalu mereka akan menyebarkan lebih banyak lagi serpihan diriku. Lalu akan ada ratusan kuncup baru milikku. Ribuan. Jutaan…
Pernahkah kau melihat diriku? Mungkin tidak. Tak apa. Aku sudah merasakan kesepian dan kepedihan yang begitu rupa, sehingga tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi yang kupertaruhkan. Aku mulai bahagia, hidup dan berkembang menjadi bunga kecil yang terindah, seindah yang aku bisa. Dan aku akan terus menghias ladang manusia, membuatnya bahagia tanpa ia sadar mengapa. Tak apa.
Karena aku pun ada di ladang. Aku hidup. Dan aku hanya ingin diriku tahu kalau aku ini indah. Aku, si kuncup kecil itu, bisa mekar dengan indah. Bukan untuk dilihat dan dikagumi orang, tapi karena aku bisa. Dunia ini pun akan penuh oleh bunga-bunga dari serpihan hatiku…
Mungkin akan ada yang sadar kalau aku ada di sini. Mungkin akan ada yang menganggapku indah, dan menginginkanku untuk dirinya sendiri.
Mungkin akan ada yang mencintaiku selamanya... Atau mungkin aku akan tetap di sini, melewati malam menatap bulan putih, menunggu embun pagi menetes. Aku akan tetap mekar. Apapun yang terjadi.
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku? Aku, bunga putih kecil yang hampir tak kasat mata. Membawa harapan dan impian, bunga ini. pun tumbuh di ladang. Dan ia akan mekar dengan indah walaupun ia sadar bahwa mungkin tak akan ada yang peduli.
Apakah kau mengerti keindahan tarian dari serpihan-serpihan bunga dandelion kecil? Perlahan mengendarai angin, diterangi sinar lembayung senja… berusaha untuk hidup. Meski untuk sejenak, kau sedang menikmati pertunjukan terindah di panggung dunia ini.
Akankah datang saatnya, di mana sepasang mata penuh cinta akan tertuju kepadaku? Aku tak tahu. Namun pasti, jika saatnya tiba, aku tak akan lagi berbisik penuh duka dan harap…
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku?
Untuk setiap kuncup yang takut mekar, dan semua cinta yang tak terbalas.
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku? Aku, kuncup kecil yang tak pernah diperhatikan oleh siapapun.
Di ladang ini banyak kuncup sepertiku, namun entah mengapa semuanya terlihat lebih indah bila dibandingkan dengan diriku. Di kejauhan sana, di tempat yang lebih tinggi, terlihat serumpun mawar. Angkuh, tak tersentuh karena duri-duri tajam, namun menawan semua hati yang melihatnya. Sampai mereka rela tergores, terluka demi mendapatkan kuntum itu. Sampai mereka tak sadar, bahwa dalam perjalanan mereka ke sana, mereka menginjak-injakku. Aku, kuncup kecil yang tak pernah dilihat oleh manusia sang empunya ladang. Ladang, dunia kecil miliknya.
Aku bukan mawar. Dan ada saat-saat di mana aku berpikir, lebih baik jika aku tak usah mekar saja. Aku merasa sakit. Aku remuk. Aku lelah.
Namun, waktu terus berjalan. Aku pun sadar, aku akan mati kalau terus menolak untuk mekar. Aku, si kuncup kecil yang tak diperhatikan oleh siapapun. Tapi, aku tetap ingin tahu apa rasanya mekar. Aku ingin berbunga. Hanya karena aku hidup. Karena aku ada. Dan saat aku mekar, aku akan mekar dengan indah… walaupun mungkin tetap tak akan ada yang memperhatikan.
Wahai cinta, apakah kau pernah melihatku? Aku, bunga kuning kecil yang baru mulai mekar.
Dalam diam kutunggu embun pagi turun dengan lembut dari langit, membasuh hatiku yang sepi. Aku ingin mereguk semua kekuatan yang bisa kudapatkan. Dan aku akan berusaha untuk tumbuh lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi, semakin dekat lagi ke matahari. Aku akan tumbuh seindah yang kubisa, karena mungkin hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk mekar.
Aku, bunga kuning kecil yang baru mekar. Pernahkah kau melihatku? Mungkin tidak.
Tapi sesuatu terjadi. Ke duniaku yang kecil dan sepi, datanglah lebah. Datanglah kupu-kupu. Dalam pengembaraan mereka yang panjang dan jauh, tiba-tiba mereka sadar bahwa aku ada di sana. Walau letih dan pedih hatiku, kutawarkan mereka tempat bernaung, tempat bersandar. Saat itu kuingatkan diriku. Kalau aku mau mekar dengan indah, aku harus kuat. Dan untuk diperhatikan, aku harus memperhatikan. Mungkin suatu saat, saat aku sudah cukup mencintai, aku pun akan dicintai. Mungkin, hanya mungkin.
“Bunga kecil,” kata mereka kepadaku, “sungguh baik perjuanganmu ini. Mekarlah dengan indah…”
Dalam sekejap mereka merombak susunan hatiku. Aku merasa, inilah waktuku. Sudah tiba saatnya. Aku akan mekar dengan indah. Dengan anggun aku biarkan diriku menari ditiup angin, berubah, berubah, dan berubah… Sampai kutemukan diriku terbalut dalam gaun putih, seputih bulan terang dalam malam-malam sepiku.
Kini aku adalah bunga bulat berwarna putih. Aku semakin tak terlihat, namun percayalah aku masih ada di ladang, tumbuh lebih indah setiap harinya.
Akan ada saatnya angin berhembus dan semua bagian hatiku, semua harapanku, semua kesedihanku, semua kesepianku, akan ditiup. Dan ceritaku akan terbang mengarungi dunia ini, ke tempat-tempat yang mungkin tak kuketahui sebelumnya.
Lalu akan ada puluhan kuncup baru milikku. Mereka mengerti kesedihan, mereka mengerti harapan. Mereka lebih kuat. Lebih baik. Dan pada saatnya mereka pun akan mekar dengan indah. Lalu mereka akan menyebarkan lebih banyak lagi serpihan diriku. Lalu akan ada ratusan kuncup baru milikku. Ribuan. Jutaan…
Pernahkah kau melihat diriku? Mungkin tidak. Tak apa. Aku sudah merasakan kesepian dan kepedihan yang begitu rupa, sehingga tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi yang kupertaruhkan. Aku mulai bahagia, hidup dan berkembang menjadi bunga kecil yang terindah, seindah yang aku bisa. Dan aku akan terus menghias ladang manusia, membuatnya bahagia tanpa ia sadar mengapa. Tak apa.
Karena aku pun ada di ladang. Aku hidup. Dan aku hanya ingin diriku tahu kalau aku ini indah. Aku, si kuncup kecil itu, bisa mekar dengan indah. Bukan untuk dilihat dan dikagumi orang, tapi karena aku bisa. Dunia ini pun akan penuh oleh bunga-bunga dari serpihan hatiku…
Mungkin akan ada yang sadar kalau aku ada di sini. Mungkin akan ada yang menganggapku indah, dan menginginkanku untuk dirinya sendiri.
Mungkin akan ada yang mencintaiku selamanya... Atau mungkin aku akan tetap di sini, melewati malam menatap bulan putih, menunggu embun pagi menetes. Aku akan tetap mekar. Apapun yang terjadi.
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku? Aku, bunga putih kecil yang hampir tak kasat mata. Membawa harapan dan impian, bunga ini. pun tumbuh di ladang. Dan ia akan mekar dengan indah walaupun ia sadar bahwa mungkin tak akan ada yang peduli.
Apakah kau mengerti keindahan tarian dari serpihan-serpihan bunga dandelion kecil? Perlahan mengendarai angin, diterangi sinar lembayung senja… berusaha untuk hidup. Meski untuk sejenak, kau sedang menikmati pertunjukan terindah di panggung dunia ini.
Akankah datang saatnya, di mana sepasang mata penuh cinta akan tertuju kepadaku? Aku tak tahu. Namun pasti, jika saatnya tiba, aku tak akan lagi berbisik penuh duka dan harap…
Wahai cinta, pernahkah kau melihatku?
Bara
Oleh: @ichacingcut
Aku tidak ingat bagaimana caranya aku sudah ada di sini, di sebuah restoran kesukaanku dan Karinta, di daerah atas Kota Kembang, Bandung. Saking seringnya datang ke sini aku dan Rini—panggilan Karinta—sudah mengenal semua pelayan di sini. Pun dengan pemiliknya, Om Sandro.
Aku duduk di kursi favoritku, dekat jendela yang menghadap ke taman belakang dengan atap yang tertitip kaca bening. Dari sini langit bisa terlihat jelas, dan saat cuaca cerah seperti ini, menonton bintang bisa dilakukan dengan Cuma-Cuma, hanya perlu menengadahkan kepala.
Hari Jumat adalah hari yang selalu aku nantikan, karena hari itulah aku selalu menginggalkan hiruk-pikuk ibukota dan kembali ke kota kembang tercinta, bertemu orang-orang terkasih. Malam ini, aku dan Ririn sepakat untuk bertemu di sini. Andai dia sudah tiba, pasti ini akan terasa lebih sempurna. Rencananya, Jumat ini akan menjadi Jumat yang sedikit berbeda. Ada sesuatu yang kusiapkan untuk Ririn. Tanganku merogoh saku jaket kiri, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua. Begitu dibuka, sebuah cincin emas putih bermata satu bertengger cantik di dalamnya.
Ingatanku mendadak melayang ke tiga tahun lalu, saat kami pertama kali bertemu. Hari itu aku yang sedang tak ada kerjaan di akhir pekan memilih untuk mendatangi toko buku di sebuah mall sendirian. Kala itu aku sudah lama tidak menyentuh buku. Kesibukan menyeretku pada ritme hidup yang sesunggahnya tak kusuka. Maka saat kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Aku sengaja pergi sendiri, tak mengajak siapa-siapa, menikmati me time diantara tumpukan buku beraroma kertas baru. Hmmm,, wangiii…
Lalu saat sedang menyusuri rak-rak rapi novel terjemahan, mataku tersangkut pada sebuah buku berjudul ‘Stargaze’. Aku tak tahu siapa penulisnya, hanya saja cover buku itu menarik. Warnanya bagus, dengan visualisasi seorang gadis kecil menatap langit keunguan bertabur bintang. Kesannya indah, tapi sekaligus terasa hampa. Hey, siapa bilang ‘don’t judge a book by its cover?’ itu hanya pepatah. Kenyataannya, people DO judge a book by its cover, baik eksplisit, atau implisit.
Merasa ingin membaca back cover buku itu, tanganku menjulur ingin mengambilnya dari rak. Saat itulah takdir membawa wanita baru ke hadapanku. Tangan kami mendarat di saat yang sama di buku yang sama, tapi lalu keduanya juga menarik tangannya masing-masing dengan tergesa, bersama-sama.
“Eh, maaf..Silakan, duluan.” Perempuan itu yang pertama kali bicara.
“Eh, nggak-papa. Silakan mbak duluan aja.”
“Serius loh, duluan aja. Tadi mas-nya duluan yang mau ngambil.”
“Beneran nggak papa kok, mbak duluan aja.”
“Ya udah deh. Thanks ya!” Lalu perempuan itu mengambil buku ‘Stargaze’ dari rak di hadapan kami, tersenyum sekilas ke arahku dan berlalu. Ada sesuatu yang memancar dari matanya, seperti menembus mataku dan merosot ke rongga dada di sebelah kiri. Tiba-tiba darah memompa lebih cepat di sana.
Hari itu, pencarianku berubah arah, tak lagi mencari buku tapi mencari tahu nama perempuan tadi, sekaligus nomor teleponnya, atau nomor sepatunya, atau nomor celananya, atau nomor be—ah sudahlah, berhenti ngawur!
Saat aku melihat dia sedang asik membaca sambil duduk lesehan di salah satu pojokan yang memang diperuntukkan bagi pembaca, aku mulai acara akting. Seolah-olah memang aku akan membaca juga dan tak sengaja bertemu dia lagi.
“Eh, mbak yang tadi. Ketemu lagi kita…”
Perempuan itu tersenyum lebar, “Eh, iya..” Dia lalu membaca buku di tangannya lagi, sebuah novel berbahasa asing. Sementara itu aku duduk di sampingnya, tanpa bisa benar-benar berkonsentrasi.
Sebuah suara nada dering terdenyar. Rupanya handphone perempuan itu berbunyi. Ia mberanjak berdiri dan mengangkat blackberrynya itu menjauh dari tempat duduk kami.
Tunggu! Blackberry? Aha! Berarti aku bisa minta pin Bbnya saja. Tapi bagaimana caranya? Bahkan sekarang dia menghilang.
Aku mencari sosoknya pelan-pelan, berusaha tak terlihat terlalu mencurigakan. Tak sampai lima menit sosoknya tertangkap pandangan mata. Dia sedang berdiri di depan kasir. Ada dua orang yang mengantri di belakangnya. Jika diestimasikan, waktuku untuk mengetahui nama dan pin Bbnya hanya kurang dari lima menit. Maka aku bergegas ikut mengantri tanpa peduli buku apa yang kubeli. Satu-satunya buku yang ada di tanganku adalah novel ‘Stargaze’ tadi.
Dia selesai dengan buku-bukunya dan beranjak pergi dari kasir tanpa melihatku. Lima belas langkah lagi dia akan tiba di bibir toko buku dan pergi. Artinya kesempatanku tinggal lima belas langkah lagi, sementara dua orang yang mengantri kasir di depanku mengeluarkan buku-buku di kantong belanjaannya seperti sibuk sedang mabuk laut. Lelet bukan main!
Mataku tetap mengekor ke arah perempuan itu. Dia merogoh tas selempangnya, seperti kerepotan dengan plastik di tangannya. Saat aku bingung bagaimana terlihat natural menghampiri dia, pertolongan Tuhan datang. Uang yang dia selipkan di saku celana jeansnya sembari berjalan keluar, jatuh tanpa dia sadari. Tak pakai pikir panjang, aku keluar dari antrian kasir dan menyumpan novel di tanganku sembarangan. Kuambil yang sepuluhribuan dan beberapa lembar seribuan itu dari lantai, lalu berjalan cepat berusaha menjajari perempuan tadi.
“Hey, mbak! Uangnya jatoh.” Aku menepuk pundaknya. Dia menoleh dan berhenti berjalan. Melihat wajahku dia tersenyum, “Oh, ya ampun. Makasih ya, Mas—mmm siapa?”
Ah yes! Bahkan ujung-ujungnya bukan aku yang mengajaknya berkenalan!
“Bara. Nggak pake Mas.” Aku menjulurkan tangan.
Dia memindahkan plastik belanjaan bukunya ke tangan kiri, lalu menyambut uluran tanganku.
“Karinta. Panggil aja Ririn, nggak pake Mbak.”
Kami tertawa.
Sebuah panggilan halus menyadarkanku dari lamunan itu.
“Bara…” suara erat berwibawa terdnegar lagi. Ternyata Om Sandro sudah duduk di depanku, hanya terhalang meja.
“Eh, Om Bara. Apa kabar Om?”
“Baik, Bara. Kamu yang apa kabar? Udah lama nggak kesini ya? Sibuk, Bar, di Jakarta?”
“Lumayan, Om.” Aku nyengir lebar.
“Nggak sama Ririn?”
“Ini saya lagi nungguin dia, Om.”
“Selarut ini?” Om Sandro melirik jam yang ,elingkar di pergelangan kirinya, “hampir jam dua belas loh ini.”
“Hah? Jam dua belas? Perasaan tadi baru jam tujuh Om.”
Om Sandro mengangkat bahu, “Kita udah mau tutup loh, Bar.” Yang dimaksud adalah restoran miliknya ini. Aku memandang sekeliling. Ternyata benar sudah sepi. Hanya ada satu-dua pelayan sedang mengelap meja-meja.
“Mobil kamu dimana?” Om Sandro bertanya.
“Nggak tau, Om.”
Aku memang tak ingat dimana mobilku, bagaimana aku bisa sampai ke sini. Aneh, seperti ada yang hilang dari memoriku, kecuali tentang Karinta.
“Mau bareng? Om antar pulang.”
“Boleh, Om. Maaf ngerepotin.”
“Kayak ke siapa aja kamu, Bar! Yuk!” Aku dan Om Sandro beranjak menuju pelataran parkir. Sepanjang perjalanan pulang, Om Sandro beberapa kali bertanya tanpa bisa kujawab.
“Ke Bandung pake travel kali kamu, Bar.”
“Mungkin, Om.”
“Kejedot dimana sih kok bisa nggak inget gitu?”
“Nggak tau juga, Om.”
“Tapi ke resto pake apa ya? Pake taksi gitu?” Om Sandro mengerutkan kening. Memang tak ada angkutan umum yang melintas ke restoran itu. Hanya bisa dijangkau kendaraan pribadi.
“Saya nggak inget, Om. Yang jelas harusnya malam ini saya janjian sama Ririn di resto Om.”
“Kenapa Ririn nggak dateng?”
“Nggak tau, Om.”
“Nggak kamu telfon? SMS? Atau bbm gitu?”
Aku baru merasa bodoh. Iya juga ya?
Aku merogoh balckberru dalam tasku, tapi lalu memasukkannya lagi, “Biarin deh, Om. Besok aja.”
Om Sandro mengangguk. Kendaraannya membawa kami menembus kota Bandung yang mulai lengang di tengah malam. Kami larut dalam diam. Hanya suara lagu dari CD player mengisi telinga. Om Sandro ini sudah seperti keluargaku sendiri. Sudah lebih dari lima tahun aku mengenalnya. Rumahnya lebih jauh ke arah tenggara dibandingkan rumahku dan Ririn. Terkadang pulang bersama seperti ini tak jadi masalah untuk Om Sandro. Toh kami searah.
Tiba-tiba aku merasa sangat ingin bertemu Ririn.
“Om, anternya ke rumah Ririn aja deh!”
“Loh, ngapain?”
“Nggak papa. Pengen aja.”
“Nani dari sana pulang pake apa kamu, Bar?”
“Gampang lah Om. Bisa pake taksi, ojek, atau jalan kaki juga nggak bakal sampe sejam. Gampang kok, jangan kuatir. Saya kan laki-laki.”
Om Sandro mengangguk-angguk.
Sesampainya di depan rumah Ririn, aku melompat dari mobil Om Sandro, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
“Thanks ya, Om!”
“No problem. Eh, Bar, kamu yakin, nggak lagi sakit?”
Aku menggeleng.
“Ya sudah. Hati-hati.” Lalu Terrano silver itu melaju, berbelok di ujung jalan dan tak terlihat lagi.
Aku menatap rumah Ririn yang tampak sepi. Kuambil handphone dari tas dan menelepon handphone Ririn. Tak tersambung. Kutelepon rumahnya, tak ada nada sambung. Kukirim pesan singkat, tak terkirim. Di ‘PING!!!’ di bbm pun tak terkirim
Kenapa sih ini provider telfon?! Lagi butuh gini malah error!
Rin, udah tidur ya?
Aku merogoh lagi kotak beludru di saku jaketku.
Coba kamu tadi dateng, pasti cincin ini udah ada di jari kamu, Rin.
Setengah jam kemudian kuputuskan untuk pulang saja. Jarak rumahku dan Ririn yang tak terpaut jauh, membuatku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula sejak tadi tak ada angkutan umum yang melintas. Pun tak ada taksi atau ojek. Sepertinya memang alam berkonspirasi supaya aku berjalan kaki.
Sambil menendang-nendang sebuah kaleng softdrink kosong, aku berjalan, membayangkan bagaimana reaksi Ririn besok saat aku menunjukkan cincin itu.
Pasti mangap tuh anak!
Aku terkekeh sendiri.
Lalu tawaku terhenti seketika saat dari ujung jalan ke arah rumahku, tampak halaman rumahku ramai oleh orang-orang. Beberapa sanak saudara tampak duduk di teras, sambil menekuk muka. Sebuah ambulance terparkir di depan rumah. Aku tiba-tiba teringat Papa. Akhir-akhir ini kesehatannya memang memburuk. Beberapa kali darah tingginya kumat. Terakhir aku mendapat kabar hari Rabu lalu papa check up rutin ke rumah sakit.
Tuhan, jangan bilang papa kenapa-kenapa…….
Setengah berlari aku menghampiri rumah, tanpa peduli orang-orang di sekitar. Aku masuk ke ruang tamu dan mendapati ruangan itu terisi penuh orang yang melingkar membaca ayat suci, sementara di tengah-tengah terbaring seseorang berbalut kain batik rapi. Mama menangis di pojok ruangan bersama Ririn yang tak melepaskan pelukannya barang sedetikpun pada Mama. Lutut kakiku melemas, dan ambruk saat itu juga.
Kenapa tak ada yang mengabariku?
Papa…
Aku merangkak mendekati wajah dari tubuh yang terbujur kaku di tengah ruangan. Kubuka penutup wajahnya, berniat mencium papa untuk terakhir kali, namun urung. Tubuhku menjauh seketika dan terjatuh tak jauh dari sana. Aku kembali merangkak mendekat ke jasad tak bernyawa itu, dan kembali menjauh tak sanggup melihat wajahnya.
Sejurus kemudian Papa muncul dari balik ruang tengah, menghampiri Mama dan Ririn di pojok ruangan, “Sabar, sayang…kita ikhlaskan Bara...ikhlaskan Bara...” dari matanya, mengalir air yang juga entah kapan akan mengering.
Mataku tak bisa berhenti berhujan. Kini nafasku tersengal tak terkendali, lalu berhenti.
<<>>
Headline Pikiran Rakyat (29/2).
Sebuah kecelakaan terjadi semalan, di sebuah ruas jalan tol Cipularang. Sebuah CRV hitam menghantam truk yang mengerem mendadak di depannya, lalu melompat melewati pembatas jalan dan berguling terseret ratusan meter di jalur berlawanan. Pengemudi kehilangan banyak darah dan tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.
Aku tidak ingat bagaimana caranya aku sudah ada di sini, di sebuah restoran kesukaanku dan Karinta, di daerah atas Kota Kembang, Bandung. Saking seringnya datang ke sini aku dan Rini—panggilan Karinta—sudah mengenal semua pelayan di sini. Pun dengan pemiliknya, Om Sandro.
Aku duduk di kursi favoritku, dekat jendela yang menghadap ke taman belakang dengan atap yang tertitip kaca bening. Dari sini langit bisa terlihat jelas, dan saat cuaca cerah seperti ini, menonton bintang bisa dilakukan dengan Cuma-Cuma, hanya perlu menengadahkan kepala.
Hari Jumat adalah hari yang selalu aku nantikan, karena hari itulah aku selalu menginggalkan hiruk-pikuk ibukota dan kembali ke kota kembang tercinta, bertemu orang-orang terkasih. Malam ini, aku dan Ririn sepakat untuk bertemu di sini. Andai dia sudah tiba, pasti ini akan terasa lebih sempurna. Rencananya, Jumat ini akan menjadi Jumat yang sedikit berbeda. Ada sesuatu yang kusiapkan untuk Ririn. Tanganku merogoh saku jaket kiri, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua. Begitu dibuka, sebuah cincin emas putih bermata satu bertengger cantik di dalamnya.
Ingatanku mendadak melayang ke tiga tahun lalu, saat kami pertama kali bertemu. Hari itu aku yang sedang tak ada kerjaan di akhir pekan memilih untuk mendatangi toko buku di sebuah mall sendirian. Kala itu aku sudah lama tidak menyentuh buku. Kesibukan menyeretku pada ritme hidup yang sesunggahnya tak kusuka. Maka saat kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Aku sengaja pergi sendiri, tak mengajak siapa-siapa, menikmati me time diantara tumpukan buku beraroma kertas baru. Hmmm,, wangiii…
Lalu saat sedang menyusuri rak-rak rapi novel terjemahan, mataku tersangkut pada sebuah buku berjudul ‘Stargaze’. Aku tak tahu siapa penulisnya, hanya saja cover buku itu menarik. Warnanya bagus, dengan visualisasi seorang gadis kecil menatap langit keunguan bertabur bintang. Kesannya indah, tapi sekaligus terasa hampa. Hey, siapa bilang ‘don’t judge a book by its cover?’ itu hanya pepatah. Kenyataannya, people DO judge a book by its cover, baik eksplisit, atau implisit.
Merasa ingin membaca back cover buku itu, tanganku menjulur ingin mengambilnya dari rak. Saat itulah takdir membawa wanita baru ke hadapanku. Tangan kami mendarat di saat yang sama di buku yang sama, tapi lalu keduanya juga menarik tangannya masing-masing dengan tergesa, bersama-sama.
“Eh, maaf..Silakan, duluan.” Perempuan itu yang pertama kali bicara.
“Eh, nggak-papa. Silakan mbak duluan aja.”
“Serius loh, duluan aja. Tadi mas-nya duluan yang mau ngambil.”
“Beneran nggak papa kok, mbak duluan aja.”
“Ya udah deh. Thanks ya!” Lalu perempuan itu mengambil buku ‘Stargaze’ dari rak di hadapan kami, tersenyum sekilas ke arahku dan berlalu. Ada sesuatu yang memancar dari matanya, seperti menembus mataku dan merosot ke rongga dada di sebelah kiri. Tiba-tiba darah memompa lebih cepat di sana.
Hari itu, pencarianku berubah arah, tak lagi mencari buku tapi mencari tahu nama perempuan tadi, sekaligus nomor teleponnya, atau nomor sepatunya, atau nomor celananya, atau nomor be—ah sudahlah, berhenti ngawur!
Saat aku melihat dia sedang asik membaca sambil duduk lesehan di salah satu pojokan yang memang diperuntukkan bagi pembaca, aku mulai acara akting. Seolah-olah memang aku akan membaca juga dan tak sengaja bertemu dia lagi.
“Eh, mbak yang tadi. Ketemu lagi kita…”
Perempuan itu tersenyum lebar, “Eh, iya..” Dia lalu membaca buku di tangannya lagi, sebuah novel berbahasa asing. Sementara itu aku duduk di sampingnya, tanpa bisa benar-benar berkonsentrasi.
Sebuah suara nada dering terdenyar. Rupanya handphone perempuan itu berbunyi. Ia mberanjak berdiri dan mengangkat blackberrynya itu menjauh dari tempat duduk kami.
Tunggu! Blackberry? Aha! Berarti aku bisa minta pin Bbnya saja. Tapi bagaimana caranya? Bahkan sekarang dia menghilang.
Aku mencari sosoknya pelan-pelan, berusaha tak terlihat terlalu mencurigakan. Tak sampai lima menit sosoknya tertangkap pandangan mata. Dia sedang berdiri di depan kasir. Ada dua orang yang mengantri di belakangnya. Jika diestimasikan, waktuku untuk mengetahui nama dan pin Bbnya hanya kurang dari lima menit. Maka aku bergegas ikut mengantri tanpa peduli buku apa yang kubeli. Satu-satunya buku yang ada di tanganku adalah novel ‘Stargaze’ tadi.
Dia selesai dengan buku-bukunya dan beranjak pergi dari kasir tanpa melihatku. Lima belas langkah lagi dia akan tiba di bibir toko buku dan pergi. Artinya kesempatanku tinggal lima belas langkah lagi, sementara dua orang yang mengantri kasir di depanku mengeluarkan buku-buku di kantong belanjaannya seperti sibuk sedang mabuk laut. Lelet bukan main!
Mataku tetap mengekor ke arah perempuan itu. Dia merogoh tas selempangnya, seperti kerepotan dengan plastik di tangannya. Saat aku bingung bagaimana terlihat natural menghampiri dia, pertolongan Tuhan datang. Uang yang dia selipkan di saku celana jeansnya sembari berjalan keluar, jatuh tanpa dia sadari. Tak pakai pikir panjang, aku keluar dari antrian kasir dan menyumpan novel di tanganku sembarangan. Kuambil yang sepuluhribuan dan beberapa lembar seribuan itu dari lantai, lalu berjalan cepat berusaha menjajari perempuan tadi.
“Hey, mbak! Uangnya jatoh.” Aku menepuk pundaknya. Dia menoleh dan berhenti berjalan. Melihat wajahku dia tersenyum, “Oh, ya ampun. Makasih ya, Mas—mmm siapa?”
Ah yes! Bahkan ujung-ujungnya bukan aku yang mengajaknya berkenalan!
“Bara. Nggak pake Mas.” Aku menjulurkan tangan.
Dia memindahkan plastik belanjaan bukunya ke tangan kiri, lalu menyambut uluran tanganku.
“Karinta. Panggil aja Ririn, nggak pake Mbak.”
Kami tertawa.
Sebuah panggilan halus menyadarkanku dari lamunan itu.
“Bara…” suara erat berwibawa terdnegar lagi. Ternyata Om Sandro sudah duduk di depanku, hanya terhalang meja.
“Eh, Om Bara. Apa kabar Om?”
“Baik, Bara. Kamu yang apa kabar? Udah lama nggak kesini ya? Sibuk, Bar, di Jakarta?”
“Lumayan, Om.” Aku nyengir lebar.
“Nggak sama Ririn?”
“Ini saya lagi nungguin dia, Om.”
“Selarut ini?” Om Sandro melirik jam yang ,elingkar di pergelangan kirinya, “hampir jam dua belas loh ini.”
“Hah? Jam dua belas? Perasaan tadi baru jam tujuh Om.”
Om Sandro mengangkat bahu, “Kita udah mau tutup loh, Bar.” Yang dimaksud adalah restoran miliknya ini. Aku memandang sekeliling. Ternyata benar sudah sepi. Hanya ada satu-dua pelayan sedang mengelap meja-meja.
“Mobil kamu dimana?” Om Sandro bertanya.
“Nggak tau, Om.”
Aku memang tak ingat dimana mobilku, bagaimana aku bisa sampai ke sini. Aneh, seperti ada yang hilang dari memoriku, kecuali tentang Karinta.
“Mau bareng? Om antar pulang.”
“Boleh, Om. Maaf ngerepotin.”
“Kayak ke siapa aja kamu, Bar! Yuk!” Aku dan Om Sandro beranjak menuju pelataran parkir. Sepanjang perjalanan pulang, Om Sandro beberapa kali bertanya tanpa bisa kujawab.
“Ke Bandung pake travel kali kamu, Bar.”
“Mungkin, Om.”
“Kejedot dimana sih kok bisa nggak inget gitu?”
“Nggak tau juga, Om.”
“Tapi ke resto pake apa ya? Pake taksi gitu?” Om Sandro mengerutkan kening. Memang tak ada angkutan umum yang melintas ke restoran itu. Hanya bisa dijangkau kendaraan pribadi.
“Saya nggak inget, Om. Yang jelas harusnya malam ini saya janjian sama Ririn di resto Om.”
“Kenapa Ririn nggak dateng?”
“Nggak tau, Om.”
“Nggak kamu telfon? SMS? Atau bbm gitu?”
Aku baru merasa bodoh. Iya juga ya?
Aku merogoh balckberru dalam tasku, tapi lalu memasukkannya lagi, “Biarin deh, Om. Besok aja.”
Om Sandro mengangguk. Kendaraannya membawa kami menembus kota Bandung yang mulai lengang di tengah malam. Kami larut dalam diam. Hanya suara lagu dari CD player mengisi telinga. Om Sandro ini sudah seperti keluargaku sendiri. Sudah lebih dari lima tahun aku mengenalnya. Rumahnya lebih jauh ke arah tenggara dibandingkan rumahku dan Ririn. Terkadang pulang bersama seperti ini tak jadi masalah untuk Om Sandro. Toh kami searah.
Tiba-tiba aku merasa sangat ingin bertemu Ririn.
“Om, anternya ke rumah Ririn aja deh!”
“Loh, ngapain?”
“Nggak papa. Pengen aja.”
“Nani dari sana pulang pake apa kamu, Bar?”
“Gampang lah Om. Bisa pake taksi, ojek, atau jalan kaki juga nggak bakal sampe sejam. Gampang kok, jangan kuatir. Saya kan laki-laki.”
Om Sandro mengangguk-angguk.
Sesampainya di depan rumah Ririn, aku melompat dari mobil Om Sandro, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
“Thanks ya, Om!”
“No problem. Eh, Bar, kamu yakin, nggak lagi sakit?”
Aku menggeleng.
“Ya sudah. Hati-hati.” Lalu Terrano silver itu melaju, berbelok di ujung jalan dan tak terlihat lagi.
Aku menatap rumah Ririn yang tampak sepi. Kuambil handphone dari tas dan menelepon handphone Ririn. Tak tersambung. Kutelepon rumahnya, tak ada nada sambung. Kukirim pesan singkat, tak terkirim. Di ‘PING!!!’ di bbm pun tak terkirim
Kenapa sih ini provider telfon?! Lagi butuh gini malah error!
Rin, udah tidur ya?
Aku merogoh lagi kotak beludru di saku jaketku.
Coba kamu tadi dateng, pasti cincin ini udah ada di jari kamu, Rin.
Setengah jam kemudian kuputuskan untuk pulang saja. Jarak rumahku dan Ririn yang tak terpaut jauh, membuatku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula sejak tadi tak ada angkutan umum yang melintas. Pun tak ada taksi atau ojek. Sepertinya memang alam berkonspirasi supaya aku berjalan kaki.
Sambil menendang-nendang sebuah kaleng softdrink kosong, aku berjalan, membayangkan bagaimana reaksi Ririn besok saat aku menunjukkan cincin itu.
Pasti mangap tuh anak!
Aku terkekeh sendiri.
Lalu tawaku terhenti seketika saat dari ujung jalan ke arah rumahku, tampak halaman rumahku ramai oleh orang-orang. Beberapa sanak saudara tampak duduk di teras, sambil menekuk muka. Sebuah ambulance terparkir di depan rumah. Aku tiba-tiba teringat Papa. Akhir-akhir ini kesehatannya memang memburuk. Beberapa kali darah tingginya kumat. Terakhir aku mendapat kabar hari Rabu lalu papa check up rutin ke rumah sakit.
Tuhan, jangan bilang papa kenapa-kenapa…….
Setengah berlari aku menghampiri rumah, tanpa peduli orang-orang di sekitar. Aku masuk ke ruang tamu dan mendapati ruangan itu terisi penuh orang yang melingkar membaca ayat suci, sementara di tengah-tengah terbaring seseorang berbalut kain batik rapi. Mama menangis di pojok ruangan bersama Ririn yang tak melepaskan pelukannya barang sedetikpun pada Mama. Lutut kakiku melemas, dan ambruk saat itu juga.
Kenapa tak ada yang mengabariku?
Papa…
Aku merangkak mendekati wajah dari tubuh yang terbujur kaku di tengah ruangan. Kubuka penutup wajahnya, berniat mencium papa untuk terakhir kali, namun urung. Tubuhku menjauh seketika dan terjatuh tak jauh dari sana. Aku kembali merangkak mendekat ke jasad tak bernyawa itu, dan kembali menjauh tak sanggup melihat wajahnya.
Sejurus kemudian Papa muncul dari balik ruang tengah, menghampiri Mama dan Ririn di pojok ruangan, “Sabar, sayang…kita ikhlaskan Bara...ikhlaskan Bara...” dari matanya, mengalir air yang juga entah kapan akan mengering.
Mataku tak bisa berhenti berhujan. Kini nafasku tersengal tak terkendali, lalu berhenti.
<<>>
Headline Pikiran Rakyat (29/2).
Sebuah kecelakaan terjadi semalan, di sebuah ruas jalan tol Cipularang. Sebuah CRV hitam menghantam truk yang mengerem mendadak di depannya, lalu melompat melewati pembatas jalan dan berguling terseret ratusan meter di jalur berlawanan. Pengemudi kehilangan banyak darah dan tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.
Pendekar Malam
Oleh: Nadia Pratiwi (@naddhiiia)
Sepi mengawali kisah ini, dan dinginnya sudah tak bisa dibayangkan
lagi. Malam itu kami berkumpul di rumah tua yang sangat reot. Bahkan
sebuah pintunya pun tidak bisa dikatakan sebuah pintu. Tiba-tiba
tercium aroma melati menyengat, dan benar-benar nyata, karena kami
semua merasakannya.
"Dam, bagaimana nih, malam ini kita cuma bertiga?" tanya Tari.
Seharusnya kami berlima, namun dikarenakan dua teman kami berhalangan
hadir, apa boleh buat. Rencana ini sudah mencapai klimaks di
ubun-ubun, menunggu direalisasi.
Godam ialah salah satu sahabat kami yang bertubuh paling besar dan
selalu dapat diandalkan dalam pelaksanaan ritual ini. Sedangkan
Dirgantari, satu-satunya perempuan di perkumpulan orang-orang sinting
ini... Mau-maunya tuh wanita sableng! Aku sendiri Drei, aku yang
mencuatkan kegilaan ini hingga sampai ke permukaan otak
sahabat-sahabatku sendiri. Aku si mahasiswa rantau di kota seribu
pintu yang punya penyakit gangguan tidur akut.
"Drei, ngelamun aja sih, gimana nih nasib kita?" Tanya Tari sambil
menjitak kepalaku. "Aduh, sialan, kamu cewek bukan sih? Tenaganya
gedean situ daripada Godam." protesku sembari mengelus kepala.
"Udah-udah, ribut aja nih berdua." Bentak Godam dengan wajah asem.
Udara malam padahal sudah sering kami lalui, tapi malam ini berbeda.
Entahlah, seperti ada sesuatu hal aneh yang akan terjadi. Yah aku
sendiri berharap ini semua hanya firasat semata, tapi rasanya juga
bukan hanya aku yang merasakan hal itu, Godam dan Tari pun berharap
akan hal yang sama.
Semilir angin lembut yang menghembuskan aroma melati bercampur
kamboja, sampai juga di indera penciuman kami. Aku, Tari, dan Godam
berjalan makin merapat. Masing-masing-masing membawa senter dan
mengarahkan ke berbagai sudut rumah ini. Jendelanya hanya terdiri dari
kusen usang dan secuil kaca kecil di bagian pinggir, sekedar
menunjukkan eksistensinya di masa lampau. Perabotannya pun sama ausnya
dengan rumah ini. Sebuah meja kayu berpelitur dan berukiran khas
jepara terlihat melintangi sebuah pintu yang menghubungkan dengan
ruangan lain. Suasana mistis dan ngeri menyeruak dan membuat langkah
kami sedikit gontai. Sementara udara semakin dingin dan menusuk-nusuk
tulang kami. Bahkan si Godam pun sempat menggigil beberapa kali.
"Ayo berpencar !" Seru Godam diantara gemeletuk rahangnya. ”Tari, kamu
ke arah kiri, Drei...” Godam melirikku sekilas, terlihat seperti
sedang berpikir, ”terserah deh mau kemana asal nggak searah ama kita,”
“Oke,” Aku memilih berjalan terus menuju suatu ruangan dibalik pintu
reot yang berukiran lebih indah dari pintu-pintu yang lain.
Samar-samar-samar aku dengar Godam berbisik, “Hati-hati ya,”
Aku membuka pintu itu pelan-pelan-pelan dan menyadari aroma melati
bercampur kamboja, ditambah sekarang kenanga, ternyata berasal dari
ruangan ini. Ada sebuah tempat tidur besar beralas kain beludru merah
usang yang sudah berlubang di beberapa tempat, seperangkat meja rias
dengan kaca yang tidak lagi utuh, dan jendela yang renggang dan
sesekali bersinggungan dengan tembok terkena semilir angin.
Aku menggigil. Mendadak perasaanku jadi tidak enak.Dan kemudian aku
melihat sesosok wanita muda sangat cantik bersanggul melati berkebaya
hijau melintas di depanku. Aku cuma bisa mematung...
Sepi mengawali kisah ini, dan dinginnya sudah tak bisa dibayangkan
lagi. Malam itu kami berkumpul di rumah tua yang sangat reot. Bahkan
sebuah pintunya pun tidak bisa dikatakan sebuah pintu. Tiba-tiba
tercium aroma melati menyengat, dan benar-benar nyata, karena kami
semua merasakannya.
"Dam, bagaimana nih, malam ini kita cuma bertiga?" tanya Tari.
Seharusnya kami berlima, namun dikarenakan dua teman kami berhalangan
hadir, apa boleh buat. Rencana ini sudah mencapai klimaks di
ubun-ubun, menunggu direalisasi.
Godam ialah salah satu sahabat kami yang bertubuh paling besar dan
selalu dapat diandalkan dalam pelaksanaan ritual ini. Sedangkan
Dirgantari, satu-satunya perempuan di perkumpulan orang-orang sinting
ini... Mau-maunya tuh wanita sableng! Aku sendiri Drei, aku yang
mencuatkan kegilaan ini hingga sampai ke permukaan otak
sahabat-sahabatku sendiri. Aku si mahasiswa rantau di kota seribu
pintu yang punya penyakit gangguan tidur akut.
"Drei, ngelamun aja sih, gimana nih nasib kita?" Tanya Tari sambil
menjitak kepalaku. "Aduh, sialan, kamu cewek bukan sih? Tenaganya
gedean situ daripada Godam." protesku sembari mengelus kepala.
"Udah-udah, ribut aja nih berdua." Bentak Godam dengan wajah asem.
Udara malam padahal sudah sering kami lalui, tapi malam ini berbeda.
Entahlah, seperti ada sesuatu hal aneh yang akan terjadi. Yah aku
sendiri berharap ini semua hanya firasat semata, tapi rasanya juga
bukan hanya aku yang merasakan hal itu, Godam dan Tari pun berharap
akan hal yang sama.
Semilir angin lembut yang menghembuskan aroma melati bercampur
kamboja, sampai juga di indera penciuman kami. Aku, Tari, dan Godam
berjalan makin merapat. Masing-masing-masing membawa senter dan
mengarahkan ke berbagai sudut rumah ini. Jendelanya hanya terdiri dari
kusen usang dan secuil kaca kecil di bagian pinggir, sekedar
menunjukkan eksistensinya di masa lampau. Perabotannya pun sama ausnya
dengan rumah ini. Sebuah meja kayu berpelitur dan berukiran khas
jepara terlihat melintangi sebuah pintu yang menghubungkan dengan
ruangan lain. Suasana mistis dan ngeri menyeruak dan membuat langkah
kami sedikit gontai. Sementara udara semakin dingin dan menusuk-nusuk
tulang kami. Bahkan si Godam pun sempat menggigil beberapa kali.
"Ayo berpencar !" Seru Godam diantara gemeletuk rahangnya. ”Tari, kamu
ke arah kiri, Drei...” Godam melirikku sekilas, terlihat seperti
sedang berpikir, ”terserah deh mau kemana asal nggak searah ama kita,”
“Oke,” Aku memilih berjalan terus menuju suatu ruangan dibalik pintu
reot yang berukiran lebih indah dari pintu-pintu yang lain.
Samar-samar-samar aku dengar Godam berbisik, “Hati-hati ya,”
Aku membuka pintu itu pelan-pelan-pelan dan menyadari aroma melati
bercampur kamboja, ditambah sekarang kenanga, ternyata berasal dari
ruangan ini. Ada sebuah tempat tidur besar beralas kain beludru merah
usang yang sudah berlubang di beberapa tempat, seperangkat meja rias
dengan kaca yang tidak lagi utuh, dan jendela yang renggang dan
sesekali bersinggungan dengan tembok terkena semilir angin.
Aku menggigil. Mendadak perasaanku jadi tidak enak.Dan kemudian aku
melihat sesosok wanita muda sangat cantik bersanggul melati berkebaya
hijau melintas di depanku. Aku cuma bisa mematung...
Halusinasi
Oleh: @MikaylaFernanda
“Maafkan aku, semesta. Kali ini aku menyerah.”
Aku menatap langit yang menghitam di atasku. Kilat-kilat berseliweran bagaikan lampu blitz yang menyambar. Sebenarnya tidak ada hujan, tapi entah kenapa gumpalan hitam itu seolah terfokus ke gedung ini. Batinku bertanya-tanya, inikah pertanda pintu neraka yang terbuka untukku?
“One, two, three… Here we go….”
Gumaman lemah mengiringi langkahku. Perlahan demi perlahan mendekati selasar pembatas. Dinding setinggi pinggang kini berada tepat di hadapanku. Kuulurkan tanganku dan mengusap percikan air yang membulat di sana. Ini bukan hujan, ujarku dalam hati. Namun titik itu jatuh lagi, makin lama makin deras. Kuusap pipiku yang basah oleh air mata. Bukankah tadi tekadmu sudah mantap? Apa lagi yang kau tunggu? Kau ingin suara dari langit menggelegar dan menyuruhmu lompat??
Dari puncak gedung Sudirman, aku menatap nanar ke arah jalan. Ke arah pohon melambai dipermainkan angin, ke arah mobil-mobil yang berderet oleh kemacetan. Entah halusinasi, aku merasakan bisikan itu datang. Makin lama, makin kuat.
“Sabrina… Sabrina….”
Aku tergeragap. Kudukku berdiri. Pohon itu… Pohon-pohon itu bersuara. Mendesis di sela gemuruh badai yang menggema. Mereka melambaikan tangan, memanggilku datang. Melompatlah, demikian kata mereka. Jangan takut. Kami akan menunggumu di bawah.
Ini halusinasi. Fatamorgana semu!
“Sabrina… Sabrina…”
Apa yang kalian inginkan dariku??
Aku memekik sambil menangkupkan kedua tangan di telinga. Mencengkeram rambutku kuat-kuat hingga pedih. Dunia fana sudah cukup menyiksaku. Kalian jangan ikut-ikutan! Dengung itu terus menerus mendesis, bergaung di rongga kepalaku. Seolah menghajar tempurung otakku dari dalam.
“Mereka bilang kau gila, Sabrina…”
A-aku tidak gila, desisku gentar. Hujan mulai turun, membasahi seluruh tubuhku. Kunaikkan kerah bajuku hingga menutupi leher, sambil berharap dinginnya udara bisa berkurang.
“Mereka bilang kau hilang ingatan!”
Bohong! Aku baik-baik saja!!
“Mereka bilang kau pembunuh! PEMBUNUH!!” Suara itu berteriak makin keras. Terpantul-pantul dari pori-pori udara. “Kau pembunuh Tiza! Kau membunuhnya! Kau MENIKAMNYA!!”
Tidaak!!!
Aku mulai menangis. Tubuhku melorot ke lantai beton seperti seonggok kain. Kepalaku terkulai lemah, bersandar pada tembok pembatas. Seketika itu kulihat kilat memecah, menyinari tempat kutersungkur. Secercah pantulan terbias dari tangan kananku yang bersimbah darah.
Kupandangi pantulan wajahku lewat permukaan pisau. Mengamati setiap lekuk yang tercermin di sana, kemudian tertawa terbahak-bahak.
***
Guman
Oleh: @upiqkeripiq
Bla. Bla. Bla....
Aku tak ingin mendengarkan semua omong kosongnya. Segala pertimbangan tentang baik dan buruk sesuatu. Resiko dari apa yang tidak dan telah aku lakukan. Kadang aku rasa dia terlalu berlebihan. Kalau kamu begini nanti begitu. Kalau kamu begitu nanti begini. Kadang dia membuatku terlalu mendewakan kepentingan dan kenyamanan orang lain.
Kadang kami berdebat tentang sesuatu yang tidak penting sampai larut malam. Satu pernyataan ku disanggahnya dengan kalimat sepanjanjang dan serumit essay seorang profesor astronomi. Padahal kita tidak sedang membahas tentang kemungkinan kiamat dikarenakan ada asteroid seukuran rumah mewah seorang koruptor yang sekedar lewat menyapa bumi.
Hah! Entahlah?! Aku ingin lepas darinya. Tapi kami sudah sangat dekat. Harus aku akui diam – diam aku mengagumi kejeniusannya merancang sebuah algoritma untuk menyelesaikan sebuah masalah yang dihadiahkan oleh dosen Pemrograman Terstruktur kami. Kadang aku sendiri tidak tau kenapa dia bisa berpikir seruntut itu.
Tapi malam ini aku tidak kuat lagi. Aku sudah memutuskan. Aku ingin berdamai dengannya. Berdamai dengan .....
Pikiranku sendiri.
Bla. Bla. Bla....
Aku tak ingin mendengarkan semua omong kosongnya. Segala pertimbangan tentang baik dan buruk sesuatu. Resiko dari apa yang tidak dan telah aku lakukan. Kadang aku rasa dia terlalu berlebihan. Kalau kamu begini nanti begitu. Kalau kamu begitu nanti begini. Kadang dia membuatku terlalu mendewakan kepentingan dan kenyamanan orang lain.
Kadang kami berdebat tentang sesuatu yang tidak penting sampai larut malam. Satu pernyataan ku disanggahnya dengan kalimat sepanjanjang dan serumit essay seorang profesor astronomi. Padahal kita tidak sedang membahas tentang kemungkinan kiamat dikarenakan ada asteroid seukuran rumah mewah seorang koruptor yang sekedar lewat menyapa bumi.
Hah! Entahlah?! Aku ingin lepas darinya. Tapi kami sudah sangat dekat. Harus aku akui diam – diam aku mengagumi kejeniusannya merancang sebuah algoritma untuk menyelesaikan sebuah masalah yang dihadiahkan oleh dosen Pemrograman Terstruktur kami. Kadang aku sendiri tidak tau kenapa dia bisa berpikir seruntut itu.
Tapi malam ini aku tidak kuat lagi. Aku sudah memutuskan. Aku ingin berdamai dengannya. Berdamai dengan .....
Pikiranku sendiri.
Friday The Thirteenth
Oleh: Lidya Christina (@lid_yang)
lcy-thoughts.blogspot.com
I flung myself onto my bed. As my body reached the soft and comfy mattress, my head landed on something which gave the exact opposite feeling. It hit the head of my bed. That piece of wood that I had not noticed caused such a blow to my already hurting head that I yelled responsively.
I stared at the wood as my right hand rubbed my throbbing head. It swelled a bit. I bit my lips as I tried my hardest to hold back my tears that were rolling uncontrollably in my eyes. Thoughts of what happened today came to my mind.
I woke up as usual and prepared myself for school. I did not notice anything different except for the note on the calendar that hung on the kitchen wall.
“BEWARE! IT’A FRIDAY THE THIRTEENTH! THE BLACK FRIDAY!”
It was my younger brother’s handwriting. I laughed at both the writing and my brother. It was silly! At least that was what I had in mind at that time. Then, just before I finished my breakfast, I accidentally toppled the jug of water on the table. The good thing was that the jug was almost empty. The bad thing, well, the jug fell off the table and broke into pieces. I was lucky it was not my mother’s favourite jug.
“See? Don’t joke about Friday the thirteenth. That’s what you get. And that’s just a start,” My brother said before he left the dining room.
I did not think much about that warning of my brother’s. I went to school as usual and everything went perfectly fine, until after the first recess period. When we rushed into the class, someone stepped on my shining-white shoes. He looked at me, mumbled an apology and dashed to his seat. I was just about to yell at him when I was startled by another yell.
“Why are you standing here?” The teacher was already behind me. That explained the dashing of that stupid classmate of mine.
I went back to my seat and as I walked, I stared at him for as long as I could. He gestured another apology. I turned my head around and, guess what? My leg knocked into a desk! MY OWN DESK! The whole class roared with laughter as I took my seat.
The rest of the day at school went quite well. But just before we went home, my friend’s chair landed right on my toe. I knew she had the habit of playing with her chair but to think that I would be the target. The pain was unbearable and tears started rolling down my cheeks. I was glad that the two of us were the only ones left in the classroom.
On my way home, I noticed the dark clouds covering the sky. I prayed hard so that I could get home safely and dry. But just a few steps before reaching the door, rain poured from the sky. Yes, it poured. I was drenched.
“Tracy!” My mother’s voice pulled me back to reality. “Come here!” She sounded annoyed and angry. Was it because of my dirty shoes? Or my wet uniform?
I forced myself up from my bed and opened the door. I saw her standing with her arms on her hips. Yep, she’s angry. I told myself. As I stood in front of her, she smiled. I
was astonished. Then, the lights went out and my family appeared from the kitchen, my father holding a birthday cake.
It was my birthday! It was truly a surprise. Perhaps Friday the thirteenth was not so bad after all.
We were eating the delicious cake when my brother suddenly said, “Hey, did you guys smell something burning?”
We looked at one another and then at the kitchen, where smoke was emerging from.
lcy-thoughts.blogspot.com
I flung myself onto my bed. As my body reached the soft and comfy mattress, my head landed on something which gave the exact opposite feeling. It hit the head of my bed. That piece of wood that I had not noticed caused such a blow to my already hurting head that I yelled responsively.
I stared at the wood as my right hand rubbed my throbbing head. It swelled a bit. I bit my lips as I tried my hardest to hold back my tears that were rolling uncontrollably in my eyes. Thoughts of what happened today came to my mind.
I woke up as usual and prepared myself for school. I did not notice anything different except for the note on the calendar that hung on the kitchen wall.
“BEWARE! IT’A FRIDAY THE THIRTEENTH! THE BLACK FRIDAY!”
It was my younger brother’s handwriting. I laughed at both the writing and my brother. It was silly! At least that was what I had in mind at that time. Then, just before I finished my breakfast, I accidentally toppled the jug of water on the table. The good thing was that the jug was almost empty. The bad thing, well, the jug fell off the table and broke into pieces. I was lucky it was not my mother’s favourite jug.
“See? Don’t joke about Friday the thirteenth. That’s what you get. And that’s just a start,” My brother said before he left the dining room.
I did not think much about that warning of my brother’s. I went to school as usual and everything went perfectly fine, until after the first recess period. When we rushed into the class, someone stepped on my shining-white shoes. He looked at me, mumbled an apology and dashed to his seat. I was just about to yell at him when I was startled by another yell.
“Why are you standing here?” The teacher was already behind me. That explained the dashing of that stupid classmate of mine.
I went back to my seat and as I walked, I stared at him for as long as I could. He gestured another apology. I turned my head around and, guess what? My leg knocked into a desk! MY OWN DESK! The whole class roared with laughter as I took my seat.
The rest of the day at school went quite well. But just before we went home, my friend’s chair landed right on my toe. I knew she had the habit of playing with her chair but to think that I would be the target. The pain was unbearable and tears started rolling down my cheeks. I was glad that the two of us were the only ones left in the classroom.
On my way home, I noticed the dark clouds covering the sky. I prayed hard so that I could get home safely and dry. But just a few steps before reaching the door, rain poured from the sky. Yes, it poured. I was drenched.
“Tracy!” My mother’s voice pulled me back to reality. “Come here!” She sounded annoyed and angry. Was it because of my dirty shoes? Or my wet uniform?
I forced myself up from my bed and opened the door. I saw her standing with her arms on her hips. Yep, she’s angry. I told myself. As I stood in front of her, she smiled. I
was astonished. Then, the lights went out and my family appeared from the kitchen, my father holding a birthday cake.
It was my birthday! It was truly a surprise. Perhaps Friday the thirteenth was not so bad after all.
We were eating the delicious cake when my brother suddenly said, “Hey, did you guys smell something burning?”
We looked at one another and then at the kitchen, where smoke was emerging from.
Kamu
Oleh: @RyanJepank
Bel berbunyi nyaring sekali “kriiiiiiiiiiiing”. Bunyinya buatku menutup kuping. Aku selalu enggan mendengar bel itu, tapi aku selalu ingin bel itu lekas berbunyi bahkan sebelum pelajaran terakhir di sekolah benar-benar terhenti.
Temaran senja mulai membungkus kota. Aku berdiri tepat dibawah naungannya. Kami berempat waktu itu, ada Nissa, Martha, Zaskiah dan aku Nurlela. Kami adalah sekelompok wanita-wanita cantik. Tak percaya? Lihatlah kala kita melangkah keluar kelas, keluar gerbang sekolah semua mata melirik pada kami. Aku tak yakin dengan kata kami. Kenapa?. Diantara kami jelaslah Martha yang paling cantik. Kulitnya bening merona, rambut coklat ikal sebahu, hidung mancung khas orang Eropa, alisnya hitam pekat bak semut-semut hitam tengah baris berbaris. Tercantik kedua menurutku ialah Zaskia. Tak usah aku deskripsikan yang jelas cantiknya serupa Asmiranda. Ah, Zaskia semakin membuatku iri saja. Ketiga ialah Nissa. Ia wanita yang tampil sederhana tapi itu tak mengurungkan niat para pria untuk menggaetnya. Sementara aku berada diurutan aling buncit. Tak apalah memang sahabat-sahabatku cantik-cantik dan aku tak kalah cantik pastinya walau harus menduduki posisi keempat menurut versiku.
Seperti biasa sehabis pulang sekolah kami selalu menunggu jemputan kami yaitu angkutan umum di halte Perintis Kemerdekaan. Seketika halte itu berubah menjadi sekolahan, karena semua anak sekolah berkumpul disitu untuk mencari tumpangan agar mereka bisa pulang. Sementara aku dan ketiga sahabatku masih setia menunggu. “Tak apalah kita menunggu daripada harus rebut-rebutan seperti itu” ucap Martha enteng. Sembari menunggu kami mendapat ide brilian. Sebenarnya aku tak ingin menyebut ini brilian Karena menurutku ini sedikit narsis dan gila. Tapi tak apa pikirku. “Memangnya kita mau main apa dulu?” tanya Nissa pada Martha. “Kita main model-modelan saja, kita ibaratkan halte ini ruang pertunjukan catwalk” jawab Martha diiringi senyum. “OK” jawab Zaskia. Boleh ku bilang ketiga temanku ini memang kadang-kadang ada saja idenya.
Martha sang penggagas tak lupa memilih seseorang untuk menilai kami. Dipilihlah hendro. “Astaga Hendro adalah orang yang aku taksir secara diam-diam” ucapku dalam hati. Hendro mau tak mau menanggapai tawaran Martha. Mungkin tak apa pikirnya dalam hati. Martha sebagai sang penggagas acara yang sedkit gila ini memulai lenggak-lenggoknya. Kaki-kaki mulusnya mulai melangkah perlahan namun pasti. Persis seperti seorang model betulan. Lalu Zaskia mengiringinya dibelakang dengan lenggak-lenggok yang tak kalah ciamik. Kini giliran Nissa mempertunjukan kebolehan leiuk-liukkan pinggulnya di halte perintis kemerdekaan. Semuanya tampil mengagumkan seperti para model sungguhan. Kini giliran aku tiba. Jujur aku tak biasa berjalan seperti itu. Kau tahu kenapa? Karena aku sedikit tomboy dibanding mereka bertiga. Alhasil berjalan aku seperti sediakalanya cenderung seperti pemain sepakbola kalau ku boleh menilai tak ada liukan pinggul-pinggul yang membuat juri kagum, tapi inilah aku dengan ketomboianku dengan kecuekanku.
Kini tiba waktu juri untuk mementukan pilihan. Dari raut wajah Hendro dapat aku tangkap bawa ia pun kebingungan. Padahal ini adalah acara catwalk jalanan cenderung asal-asalan malah. Kini wajah Hendro mulai dibanjiri butir-butir peluh yang mulai becucuran. Nampak sekali ada kebimbangan saat ia harus mementukan pilihan. Martha terus mendesak namapak ia sangat yakin bahwa dirinya yang akan menang, lalu Nissa dan Zaskia pun ikut mendesak agar Hendro cepat menentukan pilihan. Akhirnya Hendro mulai mengangkat tangannya, mencoba mengarahkan kepada sicalon pemenang. Telunjuknya tak henti-henti berkeliling dari Martha, Nissa, Zaskia, dan aku. Seketika telunjuknya berhenti tepat dihadapanku. “OMG kamu yakin dia pemenangnya?” tanya Martha. “Ya” jawab Hendro. “Kenapa aku” aku mencoba bertanya. “Karena kamu….” Hendro Nampak tidak meneruskan ucapannya. “Karena apa?” tanya kami serempak. Lagi Hendro masih menunjukkan jari telunjuknya tepat diwajahku. “Karena kamu….karena aku suka kamu dari dulu”. OMG aku seperti tersambar petir senja itu. Aku ditaksir oleh pria yang bisa aku bilang paling tampan disekolahku. Semenjak itu aku selalu suka dengan kata “KAMU”. “Kamu telah buat aku jatuh cinta saat melihat dirimu, kesederhanaanmu, kecuekanmu” ucap Hendro meyakinkan.
“Aku Kamu” ucapku kegeeran. Lalu aku diantarnya pulang. Sementara sahabat-sahabatku nampak tetap riang karena sahabatnya kini telah memiliki pasangan.
Dibibirmu, ku temui sejuta aksara yang tak mampu aku merangkainya.
Bel berbunyi nyaring sekali “kriiiiiiiiiiiing”. Bunyinya buatku menutup kuping. Aku selalu enggan mendengar bel itu, tapi aku selalu ingin bel itu lekas berbunyi bahkan sebelum pelajaran terakhir di sekolah benar-benar terhenti.
Temaran senja mulai membungkus kota. Aku berdiri tepat dibawah naungannya. Kami berempat waktu itu, ada Nissa, Martha, Zaskiah dan aku Nurlela. Kami adalah sekelompok wanita-wanita cantik. Tak percaya? Lihatlah kala kita melangkah keluar kelas, keluar gerbang sekolah semua mata melirik pada kami. Aku tak yakin dengan kata kami. Kenapa?. Diantara kami jelaslah Martha yang paling cantik. Kulitnya bening merona, rambut coklat ikal sebahu, hidung mancung khas orang Eropa, alisnya hitam pekat bak semut-semut hitam tengah baris berbaris. Tercantik kedua menurutku ialah Zaskia. Tak usah aku deskripsikan yang jelas cantiknya serupa Asmiranda. Ah, Zaskia semakin membuatku iri saja. Ketiga ialah Nissa. Ia wanita yang tampil sederhana tapi itu tak mengurungkan niat para pria untuk menggaetnya. Sementara aku berada diurutan aling buncit. Tak apalah memang sahabat-sahabatku cantik-cantik dan aku tak kalah cantik pastinya walau harus menduduki posisi keempat menurut versiku.
Seperti biasa sehabis pulang sekolah kami selalu menunggu jemputan kami yaitu angkutan umum di halte Perintis Kemerdekaan. Seketika halte itu berubah menjadi sekolahan, karena semua anak sekolah berkumpul disitu untuk mencari tumpangan agar mereka bisa pulang. Sementara aku dan ketiga sahabatku masih setia menunggu. “Tak apalah kita menunggu daripada harus rebut-rebutan seperti itu” ucap Martha enteng. Sembari menunggu kami mendapat ide brilian. Sebenarnya aku tak ingin menyebut ini brilian Karena menurutku ini sedikit narsis dan gila. Tapi tak apa pikirku. “Memangnya kita mau main apa dulu?” tanya Nissa pada Martha. “Kita main model-modelan saja, kita ibaratkan halte ini ruang pertunjukan catwalk” jawab Martha diiringi senyum. “OK” jawab Zaskia. Boleh ku bilang ketiga temanku ini memang kadang-kadang ada saja idenya.
Martha sang penggagas tak lupa memilih seseorang untuk menilai kami. Dipilihlah hendro. “Astaga Hendro adalah orang yang aku taksir secara diam-diam” ucapku dalam hati. Hendro mau tak mau menanggapai tawaran Martha. Mungkin tak apa pikirnya dalam hati. Martha sebagai sang penggagas acara yang sedkit gila ini memulai lenggak-lenggoknya. Kaki-kaki mulusnya mulai melangkah perlahan namun pasti. Persis seperti seorang model betulan. Lalu Zaskia mengiringinya dibelakang dengan lenggak-lenggok yang tak kalah ciamik. Kini giliran Nissa mempertunjukan kebolehan leiuk-liukkan pinggulnya di halte perintis kemerdekaan. Semuanya tampil mengagumkan seperti para model sungguhan. Kini giliran aku tiba. Jujur aku tak biasa berjalan seperti itu. Kau tahu kenapa? Karena aku sedikit tomboy dibanding mereka bertiga. Alhasil berjalan aku seperti sediakalanya cenderung seperti pemain sepakbola kalau ku boleh menilai tak ada liukan pinggul-pinggul yang membuat juri kagum, tapi inilah aku dengan ketomboianku dengan kecuekanku.
Kini tiba waktu juri untuk mementukan pilihan. Dari raut wajah Hendro dapat aku tangkap bawa ia pun kebingungan. Padahal ini adalah acara catwalk jalanan cenderung asal-asalan malah. Kini wajah Hendro mulai dibanjiri butir-butir peluh yang mulai becucuran. Nampak sekali ada kebimbangan saat ia harus mementukan pilihan. Martha terus mendesak namapak ia sangat yakin bahwa dirinya yang akan menang, lalu Nissa dan Zaskia pun ikut mendesak agar Hendro cepat menentukan pilihan. Akhirnya Hendro mulai mengangkat tangannya, mencoba mengarahkan kepada sicalon pemenang. Telunjuknya tak henti-henti berkeliling dari Martha, Nissa, Zaskia, dan aku. Seketika telunjuknya berhenti tepat dihadapanku. “OMG kamu yakin dia pemenangnya?” tanya Martha. “Ya” jawab Hendro. “Kenapa aku” aku mencoba bertanya. “Karena kamu….” Hendro Nampak tidak meneruskan ucapannya. “Karena apa?” tanya kami serempak. Lagi Hendro masih menunjukkan jari telunjuknya tepat diwajahku. “Karena kamu….karena aku suka kamu dari dulu”. OMG aku seperti tersambar petir senja itu. Aku ditaksir oleh pria yang bisa aku bilang paling tampan disekolahku. Semenjak itu aku selalu suka dengan kata “KAMU”. “Kamu telah buat aku jatuh cinta saat melihat dirimu, kesederhanaanmu, kecuekanmu” ucap Hendro meyakinkan.
“Aku Kamu” ucapku kegeeran. Lalu aku diantarnya pulang. Sementara sahabat-sahabatku nampak tetap riang karena sahabatnya kini telah memiliki pasangan.
Dibibirmu, ku temui sejuta aksara yang tak mampu aku merangkainya.
Langganan:
Postingan (Atom)