Oleh:(millaty ismail)
Aku berdiri di depan kaca.
Bingung untuk mencari watak.
Peran apakah yang harus aku mainkan untuk audisi menjadi bintang sinetron?
Poster-poster telah tertempel di sekitar rumah kos, menggodaku untuk mengikuti audisi pemain sinetron ini, siapa tahu aku yang terpilih… Terkenal… Kaya Raya …
Aku berusaha mengingat-ingat, cerita-cerita di sinetron yang merajalela di jam tayang primadona yang terkenal dengan sebutan “Prime Time”. Tapi yang aku ingat hanya peran istri muda yang licik dan berkhianat terhadap suaminya yang jauh lebih tua dan kaya raya.
Atau peran wanita muslim yang pasrah dimadu. Hmm peran apa lagi yah? Oh iya peran tante yang ingin membunuh keponakannya karena keponakannya memiliki tabungan yang bisa menghidupinya tujuh turunan. Atau peran pembantu yang latah yang berusaha melucu tapi tidak lucu. Atau peran wanita dalam sangkar emas, yang disiksa oleh suaminya yang kaya raya. Atau juga peran remaja yang tertukar, yang kaya jadi miskin, yang miskin jadi kaya.
Aku tidak ingin peran itu. Peran itu tidak membuat aku bangga, kalau istilah kerennya tidak membuat aktingku total. Aku ingin ikut audisi menjadi zombie dalam film seperti Walking Dead. Atau aku ingin ikut audisi penjadi pembunuh bayaran berdarah dingin yang menghabisi para koruptor. Dan peran-peran lain yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang akan terjadi bukan peran yang diulur-ulur dengan tidak jelas.
Tapi mungkinkah? Mungkin belum pada saat ini, jadi kuputuskan untuk menunggu yah menunggu, entah sampai kapan sinetron di negara ini akan membuat aku tergerak untuk mengikuti audisinya…
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Audisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Audisi. Tampilkan semua postingan
Senin, 14 November 2011
Dua Teman Terpilih
Oleh: (@TengkuAR)
“Selamat Ulang Tahun ke 7, Jagoanku yang manis! Maaf Ayah belum bisa memberikanmu yang terbaik atau bahkan membuatkanmu sebuah pesta ulang tahun. Semoga kamu mengerti dan menjadi anak yang penurut dan sayang dengan Ayahmu. Kado apa yang kamu mau, Nak?”, ucapku seraya menyemangatinya.
“Aku mau hewan peliharaan, Yah.”, mulut kecilnya menjelaskan.
“Hewan apa?”
“Belum tau Yah. Ayo sekarang kita ke toko hewan aja.”, dia bergegas menarik tanganku untuk mengajak ke toko hewan.
“Ayo!”
Dan kami pun sudah berada di dalam perut taksi menuju kawasan di daerah Jakarta Selatan yang terkenal menjual banyak hewan peliharaan.
***
Di tempat penjualan hewan.
“Kamu mau yang mana Nak?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang mungil dan melihat-lihat keadaan sekitarnya.
“Sebentar ya Yah. Aku masih bingung.”, jawabnya disertai senyuman khas yang dihiasi lesung pipi.
“Oh, baiklah, Ayah akan menunggu. Tapi bagaimana kalau kamu pelihara ini?”, aku menawarkan seekor kucing kecil berwarna abu-abu yang sedang tidur telentang dalam kandangnya.
“Iya itu lucu, tapi aku nggak mau kucing. Nanti pipisnya sembarangan. Terus kalo aku lagi main keluar rumah siapa yang kasih makan?”, cerocosnya.
“Loh dia kan nanti bisa makan sendiri. Kamu tinggal taruh makanannya di tempat makannya dia dan pipisnya diajarin, kalau kamu sabar nanti dia bakal nurut kok.”
“Ah aku nggak mau, Yah.”
“Ya sudah. Kalau ini bagaimana?”, aku menunjuk hewan tanpa bulu yang sedang melingkar dan terdapat sisa kulit di sebelahnya, menurut pedagangnya memang baru berganti kulit tadi pagi.
“Itu seram Ayah! Dia itu nakal, sukanya makan daging!”, nadanya meninggi karena ketakutan akibat apa yang pernah ditontonnya di televise.
“Baiklah. Maafin Ayah. Yang ini aja ya Nak? Mau nggak?”, kali ini dengan rasa mulai menyerah, aku tetap mencoba untuk menawarkan seekor burung kecil berparuh bengkok berwarna hijau dan memakan biji-bijian.
“Hmm…tapi kalo aku peliharanya satu nanti dia kasian nggak punya teman. Itu aja dia rame-rame dikandangnya. Ayah…biarin aku pilih sendiri ya. Aku juga lagi audisi siapa yang bakal jadi hewan peliharaanku di hari aku ulang tahun ini.”, anakku pun terlihat mulai tidak mau dicampuri urusan kado yang akan kuberikan padanya hari ini.
Lalu kami melanjutkan mendatangi setiap toko yang menjual peliharaan di area tersebut.
Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit.
“Ayah, aku udah nemu apa yang aku mau. Aku mau ini.”, dengan suara semangat dan bola mata yang membundar karena akhirnya anakku menemukan hewan pilihannya.
Dia menunjukkan seekor hewan dengan bulu halus dan aktif mirip seperti tikus namun ukurannya lebih kecil, orang-orang biasa menyebutnya Hamster. Dia menjatuhkan pilihannya pada hewan kecil itu. Hewan yang menurutnya tidak akan terlalu merepotkan bila dipelihara. Dia ingin membeli sepasang dan berjanji untuk merawat hewan-hewan itu. Aku pun mengiyakan pilihannya.
Kandang. Makanan. Dua teman terpilih yang mungil. Kemudian kami pun pulang kembali ke rumah.
***
“Selamat Ulang Tahun ke 7, Jagoanku yang manis! Maaf Ayah belum bisa memberikanmu yang terbaik atau bahkan membuatkanmu sebuah pesta ulang tahun. Semoga kamu mengerti dan menjadi anak yang penurut dan sayang dengan Ayahmu. Kado apa yang kamu mau, Nak?”, ucapku seraya menyemangatinya.
“Aku mau hewan peliharaan, Yah.”, mulut kecilnya menjelaskan.
“Hewan apa?”
“Belum tau Yah. Ayo sekarang kita ke toko hewan aja.”, dia bergegas menarik tanganku untuk mengajak ke toko hewan.
“Ayo!”
Dan kami pun sudah berada di dalam perut taksi menuju kawasan di daerah Jakarta Selatan yang terkenal menjual banyak hewan peliharaan.
***
Di tempat penjualan hewan.
“Kamu mau yang mana Nak?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang mungil dan melihat-lihat keadaan sekitarnya.
“Sebentar ya Yah. Aku masih bingung.”, jawabnya disertai senyuman khas yang dihiasi lesung pipi.
“Oh, baiklah, Ayah akan menunggu. Tapi bagaimana kalau kamu pelihara ini?”, aku menawarkan seekor kucing kecil berwarna abu-abu yang sedang tidur telentang dalam kandangnya.
“Iya itu lucu, tapi aku nggak mau kucing. Nanti pipisnya sembarangan. Terus kalo aku lagi main keluar rumah siapa yang kasih makan?”, cerocosnya.
“Loh dia kan nanti bisa makan sendiri. Kamu tinggal taruh makanannya di tempat makannya dia dan pipisnya diajarin, kalau kamu sabar nanti dia bakal nurut kok.”
“Ah aku nggak mau, Yah.”
“Ya sudah. Kalau ini bagaimana?”, aku menunjuk hewan tanpa bulu yang sedang melingkar dan terdapat sisa kulit di sebelahnya, menurut pedagangnya memang baru berganti kulit tadi pagi.
“Itu seram Ayah! Dia itu nakal, sukanya makan daging!”, nadanya meninggi karena ketakutan akibat apa yang pernah ditontonnya di televise.
“Baiklah. Maafin Ayah. Yang ini aja ya Nak? Mau nggak?”, kali ini dengan rasa mulai menyerah, aku tetap mencoba untuk menawarkan seekor burung kecil berparuh bengkok berwarna hijau dan memakan biji-bijian.
“Hmm…tapi kalo aku peliharanya satu nanti dia kasian nggak punya teman. Itu aja dia rame-rame dikandangnya. Ayah…biarin aku pilih sendiri ya. Aku juga lagi audisi siapa yang bakal jadi hewan peliharaanku di hari aku ulang tahun ini.”, anakku pun terlihat mulai tidak mau dicampuri urusan kado yang akan kuberikan padanya hari ini.
Lalu kami melanjutkan mendatangi setiap toko yang menjual peliharaan di area tersebut.
Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit.
“Ayah, aku udah nemu apa yang aku mau. Aku mau ini.”, dengan suara semangat dan bola mata yang membundar karena akhirnya anakku menemukan hewan pilihannya.
Dia menunjukkan seekor hewan dengan bulu halus dan aktif mirip seperti tikus namun ukurannya lebih kecil, orang-orang biasa menyebutnya Hamster. Dia menjatuhkan pilihannya pada hewan kecil itu. Hewan yang menurutnya tidak akan terlalu merepotkan bila dipelihara. Dia ingin membeli sepasang dan berjanji untuk merawat hewan-hewan itu. Aku pun mengiyakan pilihannya.
Kandang. Makanan. Dua teman terpilih yang mungil. Kemudian kami pun pulang kembali ke rumah.
***
Langganan:
Postingan (Atom)