Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 30 September 2011

Jatuh

Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)




Jatuh...
Dia merasakan dirinya terjatuh, bagaikan dilempar dari gedung pencakar langit. Perutnya terasa ngilu, tertekan oleh daya gravitasi yang melawan pertahanan udara, membuat dirinya setengah melayang untuk sementara, kemudian terjatuh tanpa melambat.
Ya, dirinya jatuh.
Dia tidak ingat apa yang menyebabkannya jatuh. Dia juga tidak ingat dia jatuh dari gedung apa, di jalan apa, dan lantai berapa. Dia tidak ingat lagi akan namanya sendiri, identitas dirinya, masa lalunya, sahabatnya, keluarganya, semuanya. Kepalanya serasa kosong, benar-benar kosong seiring dengan jatuhnya raga menuju kehampaan abadi. Siapakah dirinya? Di manakah ia? Mengapa dia terjatuh?
Untuk sesaat, bulu kuduknya merinding. Apakah dia akan mati? Wajarnya seorang manusia akan mati bila terjatuh dari gedung yang tinggi. Tapi sudah berapa lamakah dia terjatuh? Satu detik? Satu menit? Sepuluh menit? Dia tidak tahu. Yang diketahuinya hanyalah satu: dia sedang jatuh.
Jatuh, menuju kehampaan, menuju ruang yang hanya berisikan udara. Dirinya merasa terpelanting, terbang, melayang, namun terjatuh. Merasakan aliran udara yang membumbung menembus pakaiannya, menerpa dan membelai lembut permukaan kulitnya seraya ia terjatuh. Ya... terjatuh. Kalau ditanya bagaimana perasaan dirinya saat itu, dia tidak akan bisa menjawab hanya dengan satu kata.
Dia merasa bebas, karena dirinya serasa terbang di langit luas. Dia juga merasa resah, karena semakin lama dia terbang melayang, semakin pasti dia mati ketika menyentuh tanah. Dia merasakan kepasrahan, mengingat dirinya tidak bisa berbuat banyak dalam keadaan terlepas di udara. Dia merasakan setitik penyesalan: 'mengapa dirinya bisa terjatuh?' Dan dia juga merasakan... kematian... yang berjalan mendekat.
Mungkin terdengar aneh bila dia mengatakan 'kematian berjalan mendekat', sebab 'kematian' adalah sesuatu yang tidak memiliki bentuk, dan jelasnya tidak memiliki kaki. Tapi memang, persis seperti itulah yang dirasakannya. Dia merasakan kematian tersebut berjalan perlahan, merayap mendekati dirinya yang terikat oleh seutas tali, tidak bisa melarikan diri maupun bergerak ke mana-mana. Kematian tersebut akan berjalan, semakin lambat seiring dengan setiap langkah, namun pasti. Kematian tersebut akan tersenyum tipis ke arahnya, melambaikan sensasi kengerian yang merayap dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan akhirnya...
Dan akhirnya 'kematian' akan melepaskan dirinya dari tali yang mengikat.
Ketika dirinya terjatuh, dia merasakan berbagai macam emosi yang meluap-luap dari dalam dirinya, jiwanya. Berbagai pertanyaan filosofi seperi 'mengapa dia hidup' dan 'apa yang akan terjadi kalau dia mati' melintas di kepalanya, membuat dirinya merinding berkali-kali tanpa henti. Bagaikan berada di ujung dan perbatasan dua sisi, yang satu menjerat dirinya dan tak ingin melepaskan, sementara yang satunya lagi mengundang dan berusaha melepaskan dirinya dari jeratan.
Ya, seperti itulah yang dia rasakan. Dia tidak merasakan takut. Dia tidak bisa mengingat apa-apa. Oleh karena itu, dia juga tidak bisa memikirkan apa-apa tentang dunianya sebelum dia terjatuh.
Rasa penasaran kini menghampirinya. Apakah dia mempunyai keluarga ataupun teman dekat? Lalu, apakah yang akan mereka lakukan dengan jenazahnya? Bagaimana kalau keluarganya tidak mengetahui kematian dirinya? Bagaimana kalau jenazahnya hanya akan dibuang dan dijadikan pupuk tanaman dimasa yang akan datang?
Dia tidak tahu. Terlebih dari itu, dia tidak ingat sama sekali tentang apa yang ada di kehidupannya, meninggalkan kekosongan yang janggal di dalam benaknya. Rasanya sedikit gatal, seperti ketika kau salah mengoleskan obat tanpa tahu bahwa kau alergi. Rasanya juga kesal, seperti ketika kau berusaha semampumu hanya untuk mendapati bahwa kau gagal, dan orang yang menghina dan seharusnya dibawahmu malah lebih berhasil. Kekosongan didalam benaknya tersebut akhirnya menimbulkan... perasaan resah.
Tidak, jangan salah sangka. Dia tidak 'takut' akan kematian itu sendiri. Bagi dirinyanya, ke manapun dia akan pergi setelah dirinya mati bukanlah masalah. Baginya, kematian hanyalah seperti sebuah jembatan yang sempit, yang dulunya tertutup namun kini telah dibukakan untuknya. Atau, seperti analogi ciptaan dirinya di atas, kematian baginya adalah seperti 'dijemput' oleh sesuatu, untuk membebaskannya dari jeratan dan lilitan kehidupan.
Tidak, bukan 'takut' yang dia rasakan, melainkan 'resah'. Gelisah, khawatir, dan cemas. 'Takut' membuat hatimu dikejar-kejar, terengah-engah sampai dirimu terjatuh, kemudian menerkam dan menghabisimu tanpa ampun. 'Resah' lebih mengerikan daripada itu. Dia akan mengintai, mengikutimu dari belakang tanpa kau sadari. Kemudian di saat kau paling tidak menduga... dia akan menyergapmu, menghabisimu pelan-pelan, sehingga kau dapat merasakan kesakitan dan kengeriannya setiap detik, hingga kau tak mampu merasakan apa-apa lagi.
Gelisah... resah. Dirinya merasa 'resah' akan ingatannya yang tak dapat dipanggil. Bagaimanakah kehidupannya dulu? Apakah dia orang yang baik-baik? Apakah dia menjalankan semua peraturan yang ada?  Kalau dia memiliki keluarga, apakah dia merawat keluarganya dengan kasih sayang? Apakah dia memiliki pekerjaan yang layak? Apakah dia sering menyumbang fakir miskin juga bagi yang membutuhkan? Apakah dia disenangi oleh teman-temannya? Apakah dia terkenal? Apakah dia cukup dewasa dalam bertindak?
Dia pun semakin bertanya-tanya: apakah ada yang akan menangisinya, mengenang riwayatnya, dan memperingati kematiannya setiap tahun? Apakah ada yang cukup dekat dan sayang kepadanya untuk setidaknya mengingat dirinya kelak? Apakah ada yang mau mengenang dirinya?
Dia kembali berpikir, berpikir, dan melarutkan pikirannya didalam pemikiran yang lain. Saat itulah dia tersadar, mengapa dia belum juga mencapai tanah??? Sedari tadi, yang ada di sekelilingnya adalah pemandangan gedung bertingkat, dengan permukaan tanah masih terlalu jauh di bawahnya. Bahkan setelah dia berpikir dan berkontemplasi, dia tidak merasakan adanya perubahan dengan keadaan di sekelilingnya. Kalau dia memang benar sedang 'jatuh', bukankah seharusnya jarak antara dirinya dengan tanah semakin menipis seiring dengan berjalannya waktu? Namun, satu hal yang pasti, dia yakin bahwa dirinya sedang terjatuh, sebab sensasi yang dirasakannya begitu nyata; angin yang membelai, perutnya yang tergelitik, dan tekanan udara yang memainkan posisi tubuhnya di udara.
Saat itulah perasaan resah yang ada di hatinya mulai digantikan dengan perasaan 'takut'. Apakah dia benar-benar sedang jatuh? Apakah dia hanya sedang bermimpi? Apakah dia masih... hidup?
Seketika itu juga, dirinya tersentak. Ada keanehan pada ini semua, dia tidak mengingat apa-apa, termasuk kejadian persis sebelum dirinya terjatuh. Begitu dia sadar, dia mendapati dirinya sedang terjatuh, namun mengapa dia bisa begitu saja menerimanya? Bukankah orang normal akan langsung panik? Mengapa dia tetap tidak takut meskipun dirinya tidak bisa mengingat apa-apa, terjatuh dan setengah mengambang di udara dari ketinggian sekian ratus meter? Dan mengapa dia bisa langsung menerima begitu saja bahwa dirinya akan..... mati?
Apakah sebelum dirinya terjatuh, dia memang sudah memikirkan untuk mati? Dan perasaan tersebut ikut terbawa, meskipun dirinya lupa ingatan karena suatu sebab?
Terpikir olehnya yang lebih ekstrim sehingga menimbulkan gelombang 'resah' berikutnya, apakah dia justru sudah mati?
Mati... sebagai manusia. Bagaikan seekor ulat yang sudah menetas dari kepompongnya, meninggalkan fase krisalis beku tak bergerak dalam wujud kepompong kehidupan, dan akhirnya membentangkan sayap sebagai kupu untuk menjelajahi dunia baru? Ataukah bagai seekor katak, yang telah menemukan alasan untuk hidup di daratan, setelah sebelumnya menetap dan berdiam di dalam lindungan air?
Ya... dirinya pasti sudah mati. Entah mengapa dia yakin akan hal tersebut. Semenjak awal, dia sudah mati. Dan bayangan dirinya terjatuh ini hanyalah visualisasi dari apa yang terakhir dilakukannya. Mungkin dia bunuh diri dengan melompat dari gedung, atau mungkin dia dibunuh dengan cara didorong dari atas gedung. Tak heran dia tidak bisa mengingat apapun, tak heran dia tidak bisa mengingat masa lalunya, keluarganya, sahabat dan teman-temannya. Tak heran dia tidak merasakan... 'takut'.
Karena dia sudah.... mati...
...
...
...
...tapi tunggu dulu...
...Hipotesisnya tidak sepenuhnya benar.
...Kalau dia sudah mati, maka sangatlah wajar bahwa dia tidak merasakan ketakutan lagi. Mungkin 'resah' adalah konteks yang berbeda, mungkin orang mati masih bisa merasakan 'resah', dan itulah sebabnya mengapa ada yang disebut hantu, karena mereka 'resah' dan ingin menyelesaikan urusan mereka yang belum sempat tertuntaskan. Tapi berbeda dengan dirinya, saat dia merasakan keanehan dengan posisinya di udara, saat dia tidak tahu mengapa dirinya belum menyentuh tanah... Dia, walaupun hanya sesaat, merasakan 'takut'.
… yang berarti...
...
...
...??!!
BRUKK!!
Dan segalanya menjadi gelap.












...pernah dimuat di buku writers4indonesia yang ke-7, terbitan nulisbuku.com...

Saat Kamu Jatuh

Oleh: Tyas We ( @deboratyaswe )



Saat kamu jatuh, itulah saatnya kamu belajar.

Kata orang, hidup nggak selamanya diatas. Oke, gue setuju dengan pendapat itu.

Kenapa? Karena gue pernah mengalami fase dimana gue jatuh, mungkin ke titik paling rendah di hidup gue.

Okay, let me tell you.

Waktu itu gue masih kelas dua SMA. Di sekolah, gue masuk ke deretan the ‘it’ girls. Gue berada di lingkaran pertemanan cewek-cewek cantik, tajir, dan populer. Tapi jangan kira otak gue kosong, gini-gini juga gue selalu masuk lima besar di kelas.

Awalnya sulit buat gue untuk masuk ke pergaulan orang-orang eksis di sekolah gue. Ya, gue akui emang sulit. Makannya saat itu gue berteman dulu dengan orang-orang dari kalangan ‘biasa’ untuk jadi batu pijakan gue supaya gue bisa berteman dengan orang-orang yang ‘lebih’. Kedengerannya jahat sih, tapi gue nggak peduli.

Banyak orang bilang, hidup gue perfect banget! Wajah yang cantik, anak orang kaya, populer di sekolah, pintar. Siapa sih yang nggak mau? Siapa sih yang nggak sirik? Bohong besar kalo lo bilang nggak sirik dengan hidup gue. Oh iya, satu lagi yang membuat gue semakin terlihat sempurna di mata orang-orang. Pacar yang ganteng dan tajir. Yaaa, pacar gue anak konglomerat di kota ini.

Banyak yang kagum dengan gue. Tapi nggak sedikit orang bilang gue sombong. Tapi gue masa bodoh dengan pendapat orang-orang. Sombong selama gue mampu, kenapa enggak? Daripada sombong padahal nggak punya apa-apa. Selain sombong, banyak orang bilang gue arogan, ambisius, dan blablabla sebagainya. Sekali lagi gue nggak peduli, anjing menggonggong, orang keren berlalu.

Saat itu, gue merasa ada di puncak. Nggak ada satupun yang bisa dan boleh mengambilnya. Tapi sayangnya gue nggak sadar kalo dibalik semuanya ada kekuatan yang sangat besar yang bisa mengambil semuanya dari gue hanya dengan waktu kurang dari satu detik. Gue lupa akan kuasa Tuhan.

Dan benar! Mungkin Tuhan nggak mau umatnya berlama-lama menjadi orang sombong. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang gue perlukan untuk jatuh? Cuma beberapa detik. Ya, beberapa detik.

Pangkalnya adalah kecelakaan itu.

Malem itu gue, nyokap, bokap, dan kedua adik gue pulang ke Jakarta. Gue inget, waktu itu kejadiannya di jalan tol. Bokap gue nyetir dengan kecepatan standar, saat itu nyokap dan bokap gue lagi ngomongin masalah pernikahan tante gue di Bandung. Gue dan kedua adik gue tidur-tidur ayam. Tiba-tiba ada mobil yang nyalip dari bahu jalan. Gila ya? Bokap yang kaget langsung banting setir ke kanan, lalu mobil yang kita tumpangi terguling. Gue denger bokap teriak “Anak-anak ada yang luka?” dan serempak dijawab “Nggak ada, Yah”. Semua masih baik-baik aja sampai mobil kita ditabrak truk gandeng. Bam! Cuma itu yang gue denger, selanjutnya gue nggak lihat dan nggak denger apa-apa lagi.

Saat gue bangun, gue mencium bau yang menyengat. Disana ada nyokap dan dua orang ibu-ibu berpakaian suster. Mereka bilang gue koma dua hari. Gimana gue nggak kaget? Lalu gue tanya.

“Bu, ayah mana?”

Nyokap gue cuma menggeleng pelan dengan raut wajah yang kelihatan sedih banget. Oke, gue udah tahu jawabannya. Saat itu gue ingin berdiri dan meluk nyokap. Tapi kaki gue sakit dan ngilu banget waktu digerakkin. Gue lumpuh.

Nggak sampai disitu, ternyata perusahaan bokap gue yang udah terancam bangkrut, benar-benar ditutup. Gue bukan anak orang kaya lagi.

Dua bulan gue nggak bisa jalan. Setiap hari gue harus terapi, bahkan untuk jalan dua meter aja gue udah mau pingsan.

Akhirnya gue mulai bisa jalan walau dibantu tongkat. Hari pertama gue masuk sekolah, semua mata tertuju pad ague. Kali ini mereka bukan memandang gue dengan tatapan kagum, tapi dengan tatapan kasihan. Mungkin mereka semua udah baca berita di koran tentang musibah yang menimpa keluarga gue.

Dan asal lo tahu aja, ketika gue bener-bener butuh dukungan orang-orang terdekat seperti pacar dan sahabat, mereka malah pergi ninggalin gue. Saat pertama tahu gue nggak bisa jalan, pacar gue ninggalin gue gitu aja. Dia bilang, dia nggak mau punya pacar lumpuh. Lalu mereka yang mengaku sahabat gue sebelumnya, juga pergi ketika tahu gue bukan anak orang kaya lagi. Saat gue berada dibawah, mereka semua nggak ada. Miris.

Saat itu gue tersadar, tiba-tiba gue teringat omongan salah seorang temen gue yang gue tinggalkan demi berteman dengan orang-orang yang ‘lebih’.

“Hidup lo nggak akan selamanya diatas, suatu saat lo pasti bakal ngerasain gimana rasanya dibawah. Gimana rasanya jadi orang yang terbuang.”

Saat gue jatuh ke titik terendah hidup gue, gue ngerasa bersalah banget sama diri gue sendiri dan sama orang-orang yang pernah gue sakitin hatinya. Mungkin ini pembelajaran dari Tuhan, supaya gue nggak sombong ketika gue berada diatas.

Dan gue bener-bener belajar dari pengalaman itu.

Foto yang Terjatuh...

Oleh: @TengkuAR

PAGI
“Pagi Non.”, sapa Mbok Nah pagi itu dengan ramah dan sambil menyiapkan piring-piring di meja makan.
“Pagi Mbok! Hari ini masak apa?”, tanyaku.
“Nasi goreng aja Non atau Non Ovi mau dibuatin sesuatu? Roti?”, Mbok Nah balik bertanya.
Dan Mbok Nah selalu bisa buat pagiku ceria dengan logat kental Jawanya.
“Nggak usah Mbok. Ini aja udah cukup. Terima kasih ya Mbok.”
“Iya, sama-sama, Non. Mbok Nah balik ke dapur dulu ya. Silahkan sarapannya dihabiskan.”
Mbok Nah adalah pembantuku yang sudah ikut puluhan tahun dengan orang tuaku. Dia selalu ada buatku. Bahkan sudah kuanggap sebagai orang tua kedua karena sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan orang tuaku sendiri. Menyedihkan memang. Namun orang tuaku adalah orang-orang yang lebih mementingkan karirnya masing-masing dan aku di rumah ini hanyalah anak tunggal.
“Ini ada yang kelupaan Non.”
“Apa Mbok?”
“Ini susunya Non Ovi tadi lupa Mbok taruh di meja. Ini dibuatnya pake cinta loh, cinta yang dari hati lebih dari hari biasanya.”
“Si Mbok ini. Maksudnya apa sih?”
“Selamat Ulang Tahun ya Non Ovi! Semoga sehat selalu dan diberikan rezeki yang berlimpah, selalu nurut sama orang tua dan makin sayang Mbok.”
Aku kaget karena aku tidak menyangka bahwa orang rumah pertama yang mengucapkan ulang tahun adalah Mbok Nah bukan orang tuaku sendiri. Tapi tak mengapa. Aku cukup senang. Apa lagi Mbok Nah mengucapkan ulang tahunku dengan gayanya yang jenaka. Dan kami berdua pun tertawa.
“Makasih ya Mbok. Dan doanya aku aminkan!”, balasku sambil mencium tangan Mbok Nah dan mencium pipi kiri dan kanannya.
“Sama-sama Non. Mbok ke dapur lagi deh. Oh iya, ibu dan bapak tadi sudah jalan pagi-pagi. Tadi titip pesan, ulang tahun Non Ovi mau dirayain dimana? Di rumah atau mau makan di restoran saja?”
“Aku… nanti deh Mbok. Aku belum kepikiran untuk ngerayain dimana.”
“Loh kok? Yoweslah Mbok ke dapur aja. Tapi nanti Non Ovi sendiri yang bilang ke ibu dan bapak ya.”
“Iya Mbok. Sekali lagi makasih ya.”
Dan hari ini pun seakan bergerak lambat. Kutatap jam di dekat ruang makan seolah jarum panjangnya tak bergerak. Diam dan tanpa nyawa. Pikiranku tak karuan. Di ulang tahunku, orang tuaku dan aku.
Doaku hari ini adalah aku hanya ingin merayakan ulang tahun di rumah dengan orang-orang terdekatku.
***

SIANG
KRIIIIING!!
“Halo?”
“Halo sayang, ini Mama. Selamat ulang tahun ya sayang. Nanti malam kamu mau rayain dimana?”
“Hmm…”
“Hari ini Mama sibuk banget nih. Mudah-mudahan Mama bisa pulang cepat dang ngerayain ulang tahun kamu ya Nak. Ngomong-ngomong kamu mau kado apa dari Papa atau Mama?”
Belum sempat ku menjawab tapi Mama sudah menjelaskan tentang kegiatannya hari ini. Dan aku pun makin putus asa. Aku hanya bisa terdiam.
“Ya udah, Mama lanjutin dulu ya kerjanya. Mama sekarang juga lagi sama Papa nih Nak. Nanti Mama salamin sekalian ke Papa.”
***

SORE
TIT_TIT!!
Ada pesan masuk di telepon selulerku. Kupikir mungkin temanku yang mengucapkan ulang tahun tapi ternyata pesan itu dari Papa.
“Nak, Papa belum bisa pulang sore ini. Kemungkinan agak malam bareng sama Mama. Tapi tadi Papa dan Mama udah siapin kado kok buat kamu. Belinya setelah makan siang tadi.”
Aku tidak membalas pesan itu. Keputusasaanku makin menjadi. Doaku sia-sia. Di ekor mataku pun keluar air mata yang tak dapat kutahan. Aku hanya ingin orang tuaku di hari ulang tahun kali ini.
***

MALAM
PRAAAANG!!
Aku terkejut ketika melewati ruang tamu menuju kamar Mbok Nah dan kulihat foto keluargaku di salah satu sudut tiba-tiba terjatuh dan berantakan. Lalu aku langsung memanggil Mbok Nah untuk segera membereskannya.
“Ada apa Non? Oalaaah loh kok ya bisa jatuh toh Non?”, Mbok Nah ikut terkejut melihat kondisi foto dan lantai yang sudah dipenuhi pecahan-pecahan kaca.
“Aku nggak tau Mbok. Aku cuma lewat terus… begitu aja terjadi. Tolong beresin ya Mbok.”
“Iya Non. Hati-hati jalannya ya Non.”
Aku yang gelisah dan tak tahu harus bercerita dengan siapa akhirnya hanya bisa berdiam diri dan bengong di tempat duduk di ruang makan.
“Loh kok Non ini malah bengong. Ada masalah apa toh?”, Mbok Nah bertanya sambil membereskan pecahan –pecahan kaca.
“Eh.. Hmm.. Nggak apa-apa Mbok. Aku cuma mikirin Mama sama Papa yang nggak pernah mikirin aku.”, aku tersadar oleh suara Mbok Nah dan sedikit gagap karena ketahuan sedang bengong
“Husssh! Ndak boleh ngomong gitu. Bapak sama Ibu sayang kok sama Non. Asal Non tau ya, setiap malam, sehabis sampe rumah, Bapak sama Ibu selalu pergi ke kamar Non terus ya abis itu mereka cium Non dan mereka juga sering kok nanya-nanya sama Mbok tentang Non sehari-hari bagaimana. Bapak sama Ibu kan emang sibuk makanya ndak punya waktu buat Non. Eh maksudnya waktu bersama Non itu kurang.”
Aku tak tahu harus berkata apa mendengar cerita Mbok Nah dan lalu…
KRIIIIING!
“Biar aku aja yang angkat teleponnya Mbok.”
“Iya Non.”
“Halo? Iya benar ini dengan Ovi. Ini dari mana? Rumah sakit? A... ap... apa?!”
Suaraku tiba-tiba parau dan mulai gagap. Gagang telepon yang kupegang pun terjatuh dari tanganku mendengar suara di ujung telepon mengatakan bahwa orang tuaku kecelakaan dan keduanya tidak dapat diselamatkan.
Jatuhnya foto kedua orang tuaku dan berita kecelakaan yang kuterima melengkapi semuanya saat itu. Aku, ulang tahunku dan orang tuaku.

"Aku Jatuh, Padamu."

oleh : @meiizt


untuk : Alya.
Akulah bulir hujan,
yang jatuh di pipimu. Yang beku di hari Minggumu.
Tak tega kulihat kau tergugu di bawah payung berkembang biru.
Kubisik awan untuk hanyutkan payungmu,
dan saat itulah aku berjumpa denganmu.
Engkau gadis bermata kelabu.
Pipimu sedingin mayat-mayat di tanah dulu.
Hatimu telah mati pada hari itu.
Darah pekatmu masih tercecer dari sembilu yang dibawa Badai temanku.
Badai temanku.
Yang mencuri hatimu.
Mencungkil cinta darimu.
Menadah serpihan rindu dari kalbumu.
Mungkin aku harus meminta maafmu dahulu.
Tak bisa kucegah dia, tak bisa kucegah kau jatuh cinta padanya.
Tak bisa kuingatkan dia, tak bisa kuingatkan kau tentang bahayanya.
Tak bisa kutahan dia, tak bisa kutahan kau tak mendekatinya.
Dia adalah Badai temanku,
dan kau adalah kekasih sahabatku.
Maafkan aku, gadis bermata kelabu.
Aku tahu hatimu tak pernah terluka sampai membatu.
Telah beribu kali hatiku jatuh padamu.
Telah berjuta kali hatiku patah karenamu.
Tapi aku disini, tergugu bersamamu.
Bulirmu adalah kepergiannya,
dan bulirku adalah kematianmu.
Kematian hatimu.
Maafkan aku yang telah jatuh padamu.
Rifan.


Kubaca lagi, kubaca berulang-ulang geletak surat lusuh itu. Surat yang dibilang orang-orang adalah surat terakhirmu. Surat yang dibilang orang-orang adalah bukti bahwa aku penyebab kau bunuh diri. Aku tak bisa menyalahkanmu bila akhirnya orang-orang menyalahkanku. Aku hanya bisa menyesali satu hal, satu hal yang tak pernah bisa kukatakan sebelum hari di Minggu kelabu itu. Hari ketika aku memutuskan pertunanganku dengan Badai. Bukan Badai yang meninggalkanku, Rifan! Tapi akulah yang meninggalkannya, akulah yang mematahkan hatinya, akulah yang menusukkan sembilu ke hatinya. Bulir-bulir bening di pipiku saat itu hanyalah ketakutanku karena aku tak tahu dengan alasan apa menghadap keluargaku. Perjodohanku dengan Badai hanyalah kedok semata, agar keluarga kami lolos dari jeratan hutang keluarganya. Tak lebih! Tapi aku sudah pasrah, apapun akan kulakukan asalkan keluargaku hidup bahagia. Tapi semua berubah sejak kau diperkenalkan, tak lagi aku bisa pasrah! Aku jatuh padamu. Tak pernah sebelumnya, seumur hidupku aku hanya jatuh padamu.
Kau tahu, Rifan, hatiku belum mati pada Minggu itu. Hatiku hidup, hidup, karena aku telah memilihmu.
Tapi kau benar, hatiku mati, mati, setelah mendengar kau telah mati....
Aku tergugu menatap bulir deras yang turun dari langit tanpa ampun. Mungkin itu airmatamu, Rifan, atas dosaku yang telah mematahkan hatimu, hati Badai, dan juga hatiku sendiri.

Perjuangan

Oleh : @Kaka_Rich
http://diaryofplayboy.blogspot.com/

Hampir ku melihatnya
Impianku di atas awan
Hampir ku meraih
Ku masih melompat
Tuk meraihnya

Namun,
Sesuatu menjatuhkanku
Sesuatu berkata
‘Kau takkan meraihnya’

Langkah ku ambil
Dan ku rasakan
Lompatanku tak tinggi
Keyakinan meraih
Mulai goyah
Ku takut akan jatuh

Tapi ku berusaha
Agar berlian itu tak hilang
Berusaha meraihnya
Sebelum jatuh ke tanah

Banyak impianku yang tergantung di langit
Yang ingin kuambil dan kupeluk
Ingin ku melompat tinggi tuk meraihnya
Ini kan jadi perjuangan berat
Terkadang kau harus kehilangannya

Ini bukan tentang
Seberapa tinggi kau melompat
Bukan tentang kenikmatan yang di belakangnya
Tapi tentang perjuanganmu
Tentang lompatanmu tuk meraihnya
Impianmu...

Haruskah Kubuang Mawar Itu

Oleh: Kania Praminda


Bandung, 28 september 2011

Ini bukan main-main..
angin sudah berpindah dan aku bukanlah aku..lalu salah siapa

Jaring hitam pekat pada tembok hati telah usang lalu hilang

Dulu birunya langit membuatku tertawa
jemari menguntai bagai puisi cinta Ali baba

Kerumunan datang dan aku menghilang

Jatuh bukan pilihan lalu kau datang mendendang
menjahit barisan luka yang dia tinggalkan

Siapa bilang dia temanku?
kami bersahabat menusuk tanpa berbicara

Harusnya kurebut angin dari wajah manisnya

Dan mereka akan berteriak melempari lumpur tanda peperangan
hanya saja aku mampu

Mawar putih dan Lili suci yang kau tawarkan layu terasamkan luka

Coba saja putar waktu bisa kita jelajahi hutan penuh rintang

Lalu aku pilih diam
menunduk memilin hati

Hanya aku jelas hanya aku

Tak ada angin tak pula ada kau
menghilang bekas jejak di rumput hati

Andai masih aku mengandai
jika perang telah meredam

Haruskah ku buang mawar itu?

Biarkan Aku Jatuh. Dan Menikmatinya


Oleh: Lilly Melinda (@melillynda) | www.anakdewasa.tumblr.com




Biarkan aku jatuh. Dan menikmatinya.
Pemandangan saat jatuh memang buruk, tapi tidak seburuk itu. Air mata memang membuat benda-benda atau orang-orang menjadi buram dan suram. Ah, setidaknya aku akan menjadi lebih menghargai semua yang kulihat saat aku berhenti menangis nanti.
Biarkan aku jatuh. Dan menikmatinya.
Perasaan saat jatuh memang buruk, tapi tidak seburuk itu. Sakit dan patah hati memang membuat perhatian-perhatian sahabat menjadi bertumpuk dan mengganggu. Ah, setidaknya aku tahu mereka tetap ada disampingku walau aku jatuh.
Biarkan aku jatuh. Dan menikmatinya.
Pemandangan dan perasaan saat jatuh memang buruk, tapi sungguh! Tidak seburuk itu. Membuat otakku memiliki hati dan hatiku memiliki otak. Ah, setidaknya kedua bagian tubuhku yang selalu bertengkar itu menjadi berdamai dalam proses aku bangkit nanti.
Biarkan aku jatuh. Dan menikmatinya.
Tanpa harus diburu-buru untuk bangkit dan kuat. Karena ada saatnya aku hanya ingin lemah.
Tanpa harus dipaksa segera mengobati luka di dalam tubuh. Karena luka di dalam tubuh tidak bisa ditempel plester.
Tanpa harus diberi ceramah dan nasihat tentang kebangkitan. Karena telingaku kadang tidak ingin mendengar.
Tanpa harus diminta untuk tidak menangis. Karena ada kalanya aku tidak bisa tersenyum.
Biarkan aku jatuh. Dan menikmatinya.
Sehingga nanti aku bangkit, aku bisa lebih menikmati kebangkitanku.

Kamar Kuning, 21:24 WIB


Kamis, 29 September 2011

Best of the Night 27 September 2011

Sebenarnya karena freestyle writing, apa saja bisa kamu tuliskan. Sebetulnya berat untuk menulis Best of the Night. Tapi baiklah :) Inilah dia Best of The Night tema freestyle writing.


Kenapa?

1. Kata pembukanya menarik, membuat ingin terus membaca. Apa yang betul? Puisi apa? Dan dilanjutkan dengan manis dengan kata-kata "Ini adalah ceritaku yang terakhir". Skor: 4.

2. Twist tidak ada, tapi ending dibangun dengan rapi dari awal cerita. Sehingga ketika ada gong di akhir, rasanya ikut lega. Skor: 3.

3. Karena ini puisi, bentuknya lebih bebas, dan tanda baca "normal"nya sendiri sudah baik. Skor: 4.

4. Tidak ada tema khusus jadi bagian ini tidak usah diisi.

5. Meski bukan cerita dengan ide paling baru, cara penyampaiannya sangat cerkas dan menyenangkan. Ada penjelasan konflik-konflik di tengah yang tidak didramatisir tapi terasa normal. Mungkin karena surat nyata? (tebak-tebakan :p) Skor: 3.

6. Diksi bisa jadi penuh permainan kata ketika diperlukan. Misalnya "Waktu itu tanggal tiga puluh satu.
Di Oktober yang mengejutkan selalu.
Si Edwin duduk di bus termangu,
duduk di depan, bengong melulu,
seperti benalu di sebatang kayu,
diam tak bermutu." Bagus! Skor: 3.

Selamat ya! Semoga terus menulis! Yang lain juga keren-keren. Untuk komentar lengkap, ayo saling mengomentari ya! Selamat pagi!

Rabu, 28 September 2011

I'm through with you

Oleh: @suavenigma

At first, i was nothing
Just a filthly creature
Who love staring at the star
Observing you

But it suffers me
Nauseous me
Be a devotee
While you don't even know me

Therefore i decide
I've got to be another star
Just like you
So you will glance at me even for a moment

What i feel for you
It just like the star itself
Full with zest, dazzling, and constantly flare up
And i try to keep my star shining

But still, like any other glowing star
It has their own time
Once the source on longer well maintain
It starts to dim

Like how i feel for you
Now

It's degradating
Sooth away
And shrink
It turn into a death star

A heap of crammed memories

And now i realize
I'm through with you
It's over,
...over

DIA, AKU.

Oleh: @Mailida
ihavesandwich.blogspot.com

Wanita berwajah lugu itu datang lagi. Dia berdiri tepat di depan ku. Sudah lama sekali kami tak bertemu. Sekarang di keningnya bertengger rambut poni yang hampir menutupi alis. Tak biasanya dia mengenakan asesoris. Rambutnya yang panjang dipangkas tinggal sebahu. Mungkin penampilan baru. Aku tak lagi melihat kaos lusuhnya. Kini dia mengenakan turtle neck berwarna ungu yang dipadukan dengan renda Chantilly Lace pink yang membuatnya makin terlihat anggun. Sepertinya baju mahal. Bibir merah nya merekah tersenyum kepada ku. Aku pun membalas senyuman nya. Rasanya seperti pertemuan teman lama.
Hari ini apa lagi yang akan dia ceritakan kepada ku? Terakhir bertemu dengan nya, wajahnya begitu merah merona, mata nya berbinar, senyum nya merekah mempesona. Berkali kali dia mengatakan ‘aku jatuh cinta…aku bahagia…aku jatuh cinta…aku bahagia’. Aku masih ingat bagaimana dia selalu menari dan bernyanyi menyenandungkan lagu cinta. Tersipu malu ketika menyadari bahwa dia telah melakukan hal hal konyol di depan ku.
Aku tahu lelaki itu, dia pernah memperlihatkan foto nya kepada ku. Lelaki sederhana yang membuat hidup nya terasa sempurna. Dia terus-terusan memuji nya di depan ku. Tak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata sumbang tentang dirinya. Sesempurna itukah dia?
Dia lah satu-satu nya lelaki yang dapat memberikan sensasi bercinta hanya dari cubitan nya yang manis dan usapan tangan nya yang lembut di kepala ku. Lelaki magis yang dapat menyihir kupu-kupu berada di dalam perutnya. Hanya dengan satu senti senyumannya, dia dapat membuat wanita di depan ku merasa nyaman bagaikan tertidur siang di balik awan. Dia adalah rasa manis di dalam secangkir teh lemon pahit. Lelaki ini yang selalu membuatnya merasa rindu walaupun mereka sangat berdekatan. Dia menawarkan kebahagiaan yang sederhana hanya di dalam genggamannya yang kuat.
Ini bukanlah sekedar cinta superficial dangkal yang hanya muncul karena hasrat dua insan yang semu semata. Ada sesuatu yang lebih mendalam.
Mereka seperti dua yang bersatu.
Hingga saat ini indra pendengar ku belum memberikan peringatan jemu atas cerita tentang lelakinya.
Namun, hari ini ini ada yang berbeda.
Lekat. Dia terus-terusan menatap ku. Tak pernah sekalipun melirik objek lain. Matanya selalu berpapasan dengan mata ku. Dia belum mengatakan apa-apa, namun sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
Mata itu tak bisa bohong dari ku. Raut cinta itu telah sirna. Diganti dengan sinar ketakutan yang terpancar sangat jelas. Hanya aku yang bisa melihatnya. Hanya aku yang bisa merasakannya. Ada apa dengan mu?
Tak butuh waktu lama hingga wanita itu menangis di depan ku. Mata ku mengeluarkan sebuah tetesan air secara otomatis bersamaan dengan nya. Wanita itu terdiam sejenak, seakan-akan menyesali setiap tetes air mata yang dikeluarkannya, dia langsung menegakkan badan dan menghapus air mata nya.
“ Kau tak berhak mendapatkan air mata ku!”
Teriak nya dengan lantang. Mukanya yang lembut, seketika memperlihatkan raut kebencian. Dia terus-terusan menangis sambil mengungkapkan kekesalannya yang telah terakumulasi sejak dulu. Memendam sesuatu memang seperti bom waktu. Kita hanya tinggal menunggu waktu nya berubah menjadi 00:00 dan lihat saja, pasti meledak.
Dia kembali menyalahkan kepolosan ku. Dia geram dengan sikap ku yang tak memiliki pendirian. Dia bilang, aku hanyalah wanita bodoh yang tak berdaya. Dia terus saja menghardik ku sembari mengatakan kata-kata kasar yang tak pantas diucapkan oleh wanita secantik itu. Ya, aku. Selalu aku yang dipersalahkan.
Aku pikir pertahanan yang dia miliki sudah mulai terkikis oleh rasa letih, putus asa, dan sakit hati yang berkepanjangan. Kini dia tak lagi bisa melakukan tipu daya terhadap batin nya sendiri.
Kaum wanita memakai make up untuk menutupi kekurangan wajah nya. Kaum wanita dapat mengaplikasikan teori ‘bibir tersenyum hati menangis’ dengan sempurna. Wanita memang sudah terbiasa menyembunyikan sesuatu. Termasuk perasaannya.
Kini dia memohon pertolongan sambil meraung-raung dan berlutut di depan ku. Dia selalu ingin bertukar tempat dengan ku. Memohon kepada ku agar keluar dan tidak bersembunyi. Tak ada lagi teriakan dan kata-kata kasar, dia menangis di depan ku. Inilah dia yang sebenarnya. Lemah, sendu, tak berdaya.
***
Dari jauh kulihat sesosok lelaki bertubuh tegap yang mengenakan kemeja biru. Datang menemui ibu nya sembari memberikan sesuatu. Sekejap, hadiah tersebut sudah bertengger di leher, jemari, dan lengan tangan ibu nya. Sungguh berkilauan. Ibu terlihat sangat senang. Apakah lelaki ini yang membuatnya selalu datang kepada ku sambil menangis?
Lelaki ini pun tak kalah memiliki magis. Dia menyulap gubuk tua menjadi rumah mewah. Membungkam mulut seluruh anggota keluarga dengan uang. Menyihir wanita lugu ini agar diam dan hidup bersamanya. Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan diri jika tak ada lagi pintu keluar yang tersisa?
Kini air mata yang mengalir sudah bukan lagi symbol kesedihan. Air mata itu telah berubah fungsi menjadi tanda tak berdaya, kepasrahan, dan rasa takut. Tak ada lagi cinta sederhana. Selamat tinggal kekasih lama.
Sekarang dia pergi dari hadapan ku. Menemui lelaki yang membuat ibu nya bahagia. Aku pun menghilang. Keberadaan ku hanya akan muncul ketika dia menemui ku kembali. Nanti.
Kami memiliki jarak dan tinggi yang sama. Tak ada yang berbeda. Kecuali, dia nyata dan aku maya. Aku adalah belokan arah dari garis tempuhan. Aku hanyalah pantulan yang akan dia temui ketika dia ingin sendiri. Ketika dia ingin merefleksikan ketakutan dan perasaan nya. Ketika tak ada yang mendengarkannya kecuali aku. Ketika dia tak memiliki keberanian hanya untuk sekedar bercerita pada orang lain. Aku hanyalah bayangan nya yang berada di dalam cermin datar.
Maaf, aku tak bisa menolong mu.

Moving On

Oleh: @TengkuAR

Beruntung aku jadi perempuan pas-pasan, pas tingginya karena masih ngelewatin 155 cm, pas mukanya karena tertolong dengan kulit wajah yang putih, pas berat badannya karena meskipun berat badanku saat ini 55 kg, aku gak termasuk obesitas, tapi gemuk atau bahasa yang lebih menyenangkan adalah molek. Itulah aku; diriku; kebahagiaanku. Keberuntunganku mungkin tidak sebahagia pengalamanku hingga pada akhirnya aku mempunyai prinsip mulai detik ini yaitu "Jangan pernah menyukai seseorang duluan.".

Empat tahun yang lalu aku menyukai seorang pria yang jarak umurnya 14 tahun di atas aku. Jangan tanya kenapa bisa? Karena sampai detik ini aku gak tau jawabannya. AL namanya, dia adalah tetangga tanteku. Menurut pandanganku saat itu, dia menarik, pintar, dan gak banyak bicara kalau tidak terlalu penting.

Ya, memang aku yang memulai pendekatan dengan dia, karena aku penasaranngeliat sifat coolnya, gemes banget kalau ngobrol karena dia yang irit bicara. Satu bulan aku mungkin hanya dianggap anak kecil yang centil, karena sering menghubungi dia duluan. Tapi lama kelamaan dia inisiatif dengan sms dan telepon aku duluan.

Sasaran mencair, aku pun berhasil!! Dan akhirnya kami pacaran.

Di awal pacaran, hubungan kami jauh dari kata mulus, karena 'Sang Mantan' masih saja menganggu dan mengahrapkan aku, tapi aku gak berniat balik sama dia. Aku sudah tutup buku 'Sang Mantan', aku butuh sesuatu yang fresh, hubungan yang baru. Pacarku punya perasaan sensitif, dia tau kalau aku pusing dengan kelakuan 'mantan'ku. Oleh karena itu, bukannya pergi, dia malah gencar memenuhi hari-hariku dengan kehadirannya. Agak sedikit membantu sih, karena aku juga gak punya waktu buat bimbang atau kasihan terhadap 'mantan'ku.

Hari kebebasanku datang juga akhirnya, 'Sang Mantan' menyerah dan memilih menikah dengan perempuan lain. Sejak saat itu, aku konsen sama hubunganku dengan AL. Kita pasangan yang tak terpisahlan, karena AL tetap menemaniku setiap hari kalau dia sedang tidak bekerja.

Seiring berjalannya waktu semua yang indah di awal, koq jadi begini ya? AL tidak peduli dengan marah-marahku, mau karena jealous, telat atau karena dia tidak menepati janji, judulnya adalah CUEK. Gak jarang aku nangis sendirian, karena dia gak pernah minta maaf lagi atas kesalahan-kesalahannya. Aku jadi berpikir mungkin dia ngerasa sudah memiliki diriku seutuhnya. Dia gak takut kehilangan aku, karena aku lah yang bergantung sama dia. Dia berasil membuat peremouan mandiri ini menjadi perempuan manja, bodoh, dan cengeng.

Bingung aku mulai dari mana, tapi aku harus kembali menjadi diriku yang dulu. Karena sikap dia terhadapku, nyaris membuat aku menjadi perempuan yang gak berfungsi dan mati rasa terhadap lingkungan sekitar.

Aku HARUS LEBIH BISA BAHAGIA.
Aku HARUS LEBIH FOKUS TERHADAP DIRI SENDIRI.
Dan Aku PASTI BISA!!

***

Aku dan pembelajaran di dalam kebingunganku. I love you, but i love me MORE!!

------------------------

Sebuah catatan kecil dari seorang sahabat yang terinspirasi dari kehidupan percintaan pribadinya....

Bicara (ke)hilang(an).

Oleh : Martesia Klarissa (@heyechi)

Bagaimana kalau esok tidak ada?
Buat aku.
Buat kamu.
Atau buat siapapun.

Apa semua masih akan sama? Apa akan tetap ada tawa yang lepas? Apa air mata akan mengalir?

Kita kehilangan.

Kamu siap kalau harus bertemu dengan hilang? Kalau aku tanya pada diriku sendiri, jawabku adalah tidak. Aku tidak mau sok tegar. Juga tidak mau sombong dengan bilang "kapanpun hilang datang. Aku pasti bisa menghadapinya."

Hilang itu bukan perkara yang ada jadi tidak ada. Juga bukan soal nanti juga ada gantinya. Atau, tenang saja aku sudah siapkan cadangannya. Tapi ini tentang kenapa tidak dijaga supaya tidak hilang.

Misalnya saja, buku kesayanganmu. Yang kamu beli dengan susah payah menyisihkan uang sedikit-sedikit setiap hari. Bisa saja untuk beli yang baru kan? Tapi tetap saja kamu akan marah-marah karena kehilangannya.

Belum lagi menghadapi sedih dan trauma. Apa tidak kelimpungan kamu dibuatnya? Berurai air mata sampai semuanya mengering. Ketakutan. Luka. Perih.

Semua orang bilang, ikhlaskan, relakan. Padahal kalau mereka alami sendiri. Apa mudah melakukannya?

Katanya, kalau memang masih ditakdirkan bersatu pasti akan kembali. Tapi menunggu itu juga menyakitkan. Menunggu itu sama dengan hilang. Hanya tidak mau percaya bahwa sudah berpapasan dengan hilang. Dan memungkiri kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi.

Kamu mau lakukan apa kalau di tengah jalan hilang menegurmu? Lari? Dan menganggap pertemuanmu tadi hanya ilusi? Atau berjabatan tangan dengannya? Berkenalan. Mengakrabkan diri. Dan menjadikan sahabat.

Jangan-jangan selama ini kita semua bermusuhan dengan hilang. Tidak mau ada urusan, dan mengucilkannya.

Padahal hilang itu ada di sekitar kita. Kita mengalaminya terus. Setiap saat. Sadar ataupun tidak. Seperti uang 100 rupiah yang terloncat dari saku lalu masuk ke dalam selokan. Tapi karena buatmu itu tak penting, kamu mengabaikannya. Katamu, "biarin deh, cuma 100 rupiah aja." Karena buat kamu 100 rupiah hanya benda kecil, bernilai (sangat) kecil di matamu.

Seharusnya kita berdamai saja dengan hilang. Hilang itu pasti. Tidak ada yang abadi bukan di dunia?

.27september2011.kamardelusional.

Passionata - Hadiahku Kepadanya‏

Oleh: @theflyinghand
http://byignatiusedwin.co.cc


Dan menjadi betul,
Puisiku masih belum selesai.
Ini adalah ceritaku yang terakhir.
Mungkin.
Hanya untuk hari ini saja.
Besok,
siapa tahu?
Mungkin aku sudah terbawa ombak.
Mungkin aku sudah berada di tempat nan jauh dimana orang tak dapat menjangkauku.
Mungkin aku mati.
Mungkin aku, mungkin, diam saja di tempat dan menulis lagi.
siapa tahu?
Dia,
yang akan kusebutkan,
mungkin pergi jauh.
mungkin menikah dengan orang lain.
mungkin menghidupinya dirinya sendiri.
mungkin menjadi suster.
mungkin hidup sendiri sebagai pendoa, dan mati di usia tua.
mungkin, dan masih mungkin dia menatap pada puisi ini dan diam saja sama sepertiku.
siapa tahu?

Sepanjang hari aku ingat dengannya.
Tidak peduli waktunya kapan,
baik saat itu aku berumur belasan, atau waktu aku latihan.
bahkan saat piano kuhentakkan,
tetap saja dia ada,
bahkan sempat saat ku kesal karena sesuatu,
dia tetap ada,
menggetarkan hati nuraniku yang kosong,
mencoba menggoyahkan isi pikiranku.
walau ku tetap teguh,
dia seperti sisi lain dariku,
tapi mempunyai fisik dan sewaktu-waktu dapat menghanyutkan.

Saat puisi ini kutulis,
waktu ini,
aku beranjak dewasa.
bersekolah, menjalani kehidupan seperti biasa.
melawan tantangan setiap harinya.
Puisi ini terburai dari pikiranku terhadapnya.
Aku mau menceritakan,
lihatlah, dan telitilah,
apakah memang ini kenyataan atau khayalanku saja?
Mendekati ambang kegilaan,
dalam satu menit mungkin kuhentakkan piano dalam tempo 150 beats per minute tanpa henti.

Tetap, subjeknya perempuan.
Kalau bicara keras, dan nadanya suka memaksa.
Kalau aku setinggi tiang, dia hanya beberapa sentimeter di bawahku.
Matanya lebar.
Suka menggunakan sepatu olahraga.
Sangat bersemangat.
Kemanapun dia pergi.
Dulu sering bertemu,
kemudian jadi saling membenci,
lalu sekarang tidak tahu.
siapa yang tahu?
hanya kami berdua yang tahu.
sebab tidak ada yang akan tahu,
lagian juga tidak ada yang mau tahu.
terus kenapa dibicarakan?
just an intermezzo, I will say

Perempuan itu matanya lebar.
Dulu dibilang gagah seperti lelaki,
suka diisengi jangan-jangan suster salah menulis kelaminnya,
seharusnya Male tapi malah ditulis Female.
Astaga, kupikir itu terlalu kurang ajar.
Eh, tapi malah dia yang marah-marah kepadaku.
Dikiranya akulah pembuat masalah.
Aku diam saja.
Sebab bukan aku yang membuatnya.
Sempat kupikir anak perempuan ini gila juga.
Tapi dari kegilaannya itu malah kami berteman.

Dulu situasinya sedemikian sulit.
Nilaiku anjlok gara-gara sering tidak memperhatikan pelajaran.
Kupikir aku harus mempertimbangkan sesuatu.
Sebab anak perempuan itu ternyata sangat pintar dibanding denganku.
Kupikir lagi.
Tidak.
Kupikir lagi.
Ya.
Kupikir lagi.
my mind, just shut up.
this is not a game, but a serious problem.

Akhirnya lelaki itu menjawab tantangan.
Kelihatan bersama dengannya,
padahal sebenarnya benci.
Berkali-kali kugarukkan kepala,
apakah benar harus begini?
apakah benar metodenya begini?

Semuanya terakumulasi ketika aku naik kelas.
Tiba-tiba kebencian menghampiri hubungan kami,
semuanya jadi serba salah karena saling menyalahkan.
Aku tetap diam.
Walaupun dia mencoba mengubah sifatku,
aku tetap diam,
silence is gold,
itulah sifatku yang tidak dapat kuubah,
lebih baik tidak saling menyalahkan dan mengumbar nafsu berbicara sembarangan,
aku menghindar daripadanya.
kupikir lebih lanjut,
aku menghindar harus selamanya.

ternyata tidak.
aku masih berperasaan,
aku mencoba kembali mencarinya.
aku gugup.
aku sebenarnya tidak mau.
tapi ternyata dia juga mengetahui dimana aku.
tentu,
orang masih tidak akan mau tahu.

haha.
masih kuat membacanya?
lanjutannya adalah kegilaan.
masih mau membaca?

Waktu itu ada latihan,
Latihan sebuah pementasan,
untuk menyentuh dalamnya pikiran.

Datanglah seorang teman,
berasal dari awal halaman,
namanya diawali dengan A dan diakhiri dengan n,
dia mempertanyakan,
"Edwin,
jangan sia-siakan kesempatan."
Aku balik mempertanyakan,
"Tak kutemukan siapapun."
Dia tidak mau diremehkan,
"Coba kau lihat lagi dengan tekun."

Kulihat ke depan.
Mataku tertuju pada seorang perempuan.
"Dia yang kau inginkan?"
kata Austin.
Dia tahu apa yang di dalam pikiran seorang Edwin.
"Ya," kata Edwin.
"Minta nomor telepon,"
katanya pada Edwin.
Mataku melayang di sekeliling perempuan yang kutunjukkan.
Kemudian niatku ku urungkan.
"Tidak diperlukan,"
kataku tegas pada Austin,
"Tidakkan kuraih, terjadi pun tidak."

Empat bulan kutinggalkan.
Empat bulan kulupakan.
Empat bulan menunggu di pikiran.
Empat bulan tidak dapat berlari ke depan.
Bulan kedelapan,
terusiklah pikiran.
kutanya hal yang sama dengan yang Austin katakan.
nomor telepon.

tanpa diragukan,
Austin tidak ragu memberikan.
kuajak bicara perempuan dari halaman kedelapan,
hanya bertahan delapan hari ke depan,
lalu kuputuskan hubungan.
terusiklah lagi pikiran.
harus kubuat keputusan.

ternyata perempuan itu muncul lagi.
ingatan akan masa lalu menghantuiku.
dia mulai menelponku,
memberikanku pesan singkat setiap hari,
benar-benar pikiranku terusik.

ini kenyataannya.
aku tidak dapat akan perempuan yang baru saja kutemui.
walaupun kecantikan kelihatan, perempuan masa lalu itu tetap menutupi pikiranku.

aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu kapan
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu siapapun
aku ingin kau tahu saja sekarang, tanpa menunggu apapun
aku ingin kau tahu saja sekarang tanpa kebohongan,

aku sudah muak.
aku muak akan segala masalah pada diriku sendiri.
terlalu banyak orang yang mungkin kujumpai.
kau masih mau mengubah sifatku?
silakan,
tetap saja aku tidak dapat berubah.
aku mendekati ambang kegilaan.

sekarang aku hanya dapat mengatakan,
kau akan tetap ada,
selalu ada,
karena pikiranku tampaknya terlalu resistant denganmu.
ucapan, segalanya tentang dirimu, masih kuingat dengan sangat jelas.

Kejujuran ini kunyatakan dengan ikhlas.
Kegundahan ini kulepaskan secara indah.
Kesepian ini akhirnya kutanggung sendiri.
Cuma itu yang tersisa dariku.
Yang kau mau lihat dariku.
Hampa sudah berada di hatiku yang keras, sekeras batu bataan,
Matahari sudah turun,
Naiklah bulan,
motor dan mobil berlalu-lalang,
orang makan di pinggiran jalan,
yang lain sedang memperjuangkan ideologi negaranya,
yang lain sedang berperang,
diantara itu semua,
akhirnya puisiku ini selesai untuk hari ini.
puisi ini mungkin telah terselesaikan,
sebab saat matahari akan naik ke tempatnya untuk kesekian,
orang-orang bangun dari tempat tidurnya,
dan para pekerja bekerja keras menambang emas di tempat yang jauh,
mungkin aku punya cerita lain untuk diceritakan
tapi masa laluku sudah tuntas kuceritakan,
terimalah hadiahku ini dengan lapang dada.

for just a moment, euphoria that I felt...

Waktu itu tanggal tiga puluh satu.
Di Oktober yang mengejutkan selalu.
Si Edwin duduk di bus termangu,
duduk di depan, bengong melulu,
seperti benalu di sebatang kayu,
diam tak bermutu.

Pukul delapan malam.
Di tengah-tengah tol yang kelam,
menuju gelapnya malam,
Edwin tidak bisa berdiam,
mukanya muram,
penjelasannya masih di dalam sekam,
menunggu saat yang tepat di langit hitam.

sporadic explanation...

Kenapa? Kapan? Mengapa?
Pertanyaan di kepalanya,
menunggu penjelasanku padanya,
mengapa aku menulis semua,
walaupun telah kujelaskan semua,
dia belum mengerti sepenuhnya.

Setengah jam menuju jam setan,
kata teman akrabku, Austin.
tiba-tiba muncul penjelasan,
Apakah ini perbuatan setan?
Tidak, bukan.
Apakah ini hanya bohongan?
Tidak, bukan.
Apakah ini yang kuinginkan?
Ya, ini bukan kebohongan,
bahkan,
nyatanya dari awal bulan,
kacaulah pikiran,
memilih tepat pilihan,
sekarang saatnya kujawab pelan-pelan.

And you only need to say the word, Edwin.
The magic word?
Yes, it is.
Di saat aku mau menjawab,
ini benar atau tidak?
Di dalam bus napasku kuhembus lama,
kutarik cepat-cepat tidak beraturan.
Apa harus ditentukan sekarang?
Ya,
atau tidak sama sekali?
Pilihan di depan matamu, Edwin.

Four letters started with L

Lama kami berbincang; enam tahun,
lihat satu sama lain; tidak tentu,
agak lalai, tapi sangat cerdik.
perbedaan telah menyatukan kami,
dan ternyata kutemukan empat huruf itu,
it is the magic word.

The magic word

Lily, the pure flower
Orchid, strikingly colourful
Velvet, blooms brightly
Edelweiss, the flower of happiness
Will you accept me...to love you?



2.10.10

Pengharapan

Oleh : @Kaka_Rich
http://diaryofplayboy.blogspot.com/


Kau tlah bersamanya
Ku bahagia untukmu
Meski sedikit menyakitkan

Dan yang paling menyakitkan
Kau bersama temanku
Sungguh, ku tak menyangka

Bagaimana ini terjadi padaku?
Mungkin ini karena aku hanya mencintaimu
Secara diam-diam

Andaikan aku lebih peduli padamu
Mungkin kau tak akan bersamanya
Mungkin kau bersamaku

Tapi semuanya sia-sia
Ku hanya bisa menyesal
Sangat menyesal

Setelah semua itu
Seseorang datang menutupi
Lubang-lubang pada dinding hatiku

Mungkin ku menyukainya
Tapi terkadang
Aku berharap dia adalah dirimu

Aku senang dia di sampingku
Menemaniku dan melihatku saat ku melihatnya
Tapi saat ku mengingat dirimu
Rasa perih itu masih muncul
Bagai pisau pengiris hatiku

Ku bohong
Jika ku bilang ku tak mencintaimu
Karena ku tak sanggup melupakan
Rasa yang tumbuh dalam hatiku

Di hati mungil ini
Ku harap kau bisa melihatku
Melihat kasihku padamu
Meski itu sangat kecil

"K"

Oleh: oleh @ydiwidya
widyarifianti.tumblr.com

Beberapa orang yang memenuhi dashboard,timeline, dan segala macam
media aktualisasi diri menuliskan kata kamu. Menumpahruahkan segenap
perasaannya akan kamu. Kamu yang menyenangkan, kamu yang menyebalkan,
kamu yang bikin penasaran, kamu yang diagung-agungkan, kamu yang
digaung-gaungkan, kamu yang dicaci, kamu yang dicintai..

Apakah orang yang mereka sebut dengan kamu itu adalah kamu yang sama
dengan kamu yang kukenal?

Kalau iya, saya ucapkan selamat. Kamu hebat.

Kamu berhasil menggantikan hapalan-hapalan penting kuliah,
ingatan-ingatan penting, dan seluas ruangan dalam benak mereka dengan
bayang-bayang kamu.

Kamu…bahkan berhasil membuat mereka hampir lupa akan Siapa yang
menciptakan kamu. akan Siapa yang menciptakan cinta, kata ganti yang
seringkali mereka gunakan untuk menyebut kamu.

Dan…ternyata kamu tidak sekadar hebat, tapi juga kuat. Demi yang satu
ini saya rela mengacungkan empat jempol, bahkan seluruh jari saya demi
kuatnya kamu.

Kamu kuat, kamu berhasil berlari tanpa lelah dalam pikiran mereka.
Padahal mereka tak mengharap kamu berlari, kamu diam di sisi mereka
pun sudah cukup. Apalagi berjalan di samping mereka.

Oke, setelah menjabarkan semua ini…saya tahu kamu pasti akan menjawab,
“Ini bukan salahku…”

Ya, benar ini memang bukan salahmu karena mereka menjadi selupa diri
itu bukan karena salahmu. Sama sekali bukan.

Kalau sudah begitu, kamu tahu bagaimana kamu harus berlaku ke depannya kan?

Bukannya mau menggurui, saya hanya menyampaikan pesan. Tolong bimbing
mereka lagi ke tempat awal mereka berpijak. Biarkanlah mereka menjejak
dengan rasa aman setelah kamu terbangkan angannya tinggi-tinggi.
Biarkan mereka tersungkur tanpa rasa sakit setelah kamu jatuhkan.

Bukan salah mereka jika jatuh pada kamu yang tidak mau menangkap. Dan
bukan salahmu juga jika kamu tidak mau menangkap.

Ini hanya masalah ekspektasi yang tidak bertemu pada satu titik.

Jadi tolong, kembalikan mereka pada titik asalnya, sebelum kamu
simpangkan mereka sedemikian jauhnya.

Saya tahu itu susah.

Tapi kamu hebat. Kamu kuat. Saya percaya kamu bisa.

Oke?


Untuk kamu.

Untuk siapapun yang merasa berinisial K dan diikuti oleh kata ‘amu’

Untuk siapapun yang tidak berinisial K, tapi merasa dijadikan
‘kamu’-nya seseorang


Dari saya.

Bagian dari mereka.

Aku Lupa

Oleh: Olga Leodirista
@Olga_imoet
http://olgaimoet.blogspot.com

Aku lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Ah, cinta membuatku amnesia.

Aku lupa aku jatuh cinta ~ aku lupa, aku merindu.
Ah, rindu membuatku mati gaya.

Aku lupa aku merindu ~ aku lupa, aku melangkah maju.
Ah, langkahku sia-sia.

Aku lupa aku melangkah ~ aku lupa, aku bermimpi.
Ah, mimpi membuatku tak berdaya.

Aku lupa aku bermimpi ~ aku lupa, aku terhempaskan.
Ah, hempasan membuatku terluka.

Dan aku selalu lupa aku terluka ~ aku lupa, aku jatuh cinta.
Aku lupa cinta itu telah mati.
Aku lupa, kumakamkan kau dalam hati.

Senin, 26 September 2011

Best of the Night 25 September 2011

Best of the night untuk tema 'API' adalah...*drumrolls*

Oleh: Aditia Yudis (@adit_adit)

Oke *phew* mari kita bahas :)

1. Kalimat pertama menarik. Tidak membuat pembaca langsung ilfil, dan jelas menggelitik sedikit rasa penasaran. Tidak banyak, juga tidak sedikit. Takarannya pas untuk membuat pembaca bertahan membaca ceritanya. Skor 3.

2. Twist rasanya tidak ada. Segalanya tampak hanya sebagai pemaparan perasaan galau si wanita terhadap...'api' yang diciptakannya. Namun jelas twist bukan merupakan poin utama dari cerita ini. Skor 2.

3. Tanda baca sempurna! Skor 4.

4. Tulisan sesuai dengan tema 'API' yang diberikan. Skor 4.

5. Meski bukan cerita yang paling fresh dan menarik, namun cerita ini memiliki daya tariknya sendiri. Skor 3 untuk daya pikatnya yang cukup luar biasa.

6. Diksi puitis dan mengena, tidak perlu penyusunan kalimat kompleks untuk menawan hati pembaca. Skor 4.


Selamat ya! :D

Redupnya Api Harapan

Oleh: Rizka Hany (@hotarukika)


Api semangat penuh harapan berkobar ketika aku melangkah pasti ke arah tujuan hidup bahagiaku. Bahagia bersamamu.

Begitulah aku jika dideskripsikan. Melakukan banyak hal, belajar banyak hal, menjadi aku yang lebih baik.

Kamu, sosok sederhana yang mampu mengobarkan api semangat dan harapanku untuk memiliki hidup lebih bahagia. Menjalani sulitnya hidup pun tetap membuatku bersemangat dan penuh senyuman. Aku menitipkan harapanku agar aman padamu, begitu pun dengan kamu. Berbekal kepercayaan, aku dan kamu menjalani hidup di dunia yang berbeda. Namun dengan tujuan satu. Bersatu.

Indahnya…

Perlahan kamu mengirimkan awan dan tetiba hujan mematikan kobaran harapan milikku. Kobaran semangat dan harapanku tampak masih berjuang untuk menyala, hingga akhirnya kelelahan dan perlahan meredup dengan sendu.

Kamu, meminta harapan yang sempat dititipkan padaku kembali. Namun kamu mungkin lupa mengembalikan harapan milikku, hingga aku tidak memiliki satu. Dan masih selalu berharap bahwa harapan itu tetap kamu.

Aku yang penuh semangat dengan tujuan hidup sebagai kamu, kini hilang arah. Sebutlah aku bodoh. Yang sulit untuk bangkit ketika api semangat berbalik membakar hatiku. Hingga membiru. Sebutlah aku dungu. Yang berjalan ke depan dengan cara mundur masih ingin menatapmu.

Tapi, aku yakin akan waktu. Yang mampu mengobarkan kembali api harapanku yang sempat redup. Harapan padamu atau bukan padamu. Apapun itu, pasti aku dan waktu mampu. Walau membutuhkan lama untuk mewujud bahagia. Walau kuhabiskan seluruh hidupku yang berharga.

Kamu…
Lihatlah aku. Dari sisi lain yang bisa kamu tatap. Perhatikan aku tidak hanya dengan pikiran milikmu, tapi juga hatimu. Aku adalah sosok kuat yang pernah berjuang untukmu. Aku adalah sosok sabar yang pernah begitu lama menunggumu dengan setia. Aku yang tidak pernah mengeluh pada siapapun tapi berani tampak rapuh di hadapmu. Karena hanya kamu yang aku percaya untuk melihat lemahnya aku.

Aku bukan baja yang tahan api. Aku hanya kayu yang bisa terbakar. Tapi aku adalah kayu yang kokoh untuk menyanggamu jika kamu bersedia menjadi atap, memayungiku, melindungiku. Saling membantu.

Aku tidak butuh kamu dengan sosok sempurna tak tergapai. Aku hanya mau kamu yang sederhana seperti dulu yang menitipkan harapannya padaku untuk berjalan bersama. Pelan-pelan.

Sebutlah aku bermimpi. Bermimpi api harapan bisa berkobar lagi pada sosok yang sama.

Ramalan Api

Oleh: @TengkuAR


“Baiklah, saya akan membacakan karakter anda sesuai dengan tanggal dan tahun lahir yang sudah anda tuliskan.”, kata seorang peramal dengan perawakan muka yang ayu, kulit sawo matang, tangan dan lehernya berhiaskan gelang dan kalung serta memakai penutup di kepalanya.

Awalnya Ardi tidak ingin di ramal, namun teman-temannya memaksa untuk di ramal dengan alasan seru-seruan saja.

“Seandainya waktu bisa gw putar, harusnya tadi gw nolak ajakan mereka ke Bandung ini.”, sesalnya dalam hati.

Di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter ini, hanya ada Ardi dan Si Peramal saja, sedangkan teman-temannya menunggu di luar dan yakin mereka sedang menebak-nebak apa yang dikatakan peramal dengan gaya guyonan mereka masing-masing.

Nasi sudah menjadi bubur. Lalu kemudian…

“Anda ini adalah seorang yang cepat mengambil keputusan dan percaya pada diri sendiri, dapat bersikap sembrono dan menyebabkan kerusakan yang besar bila gagal mengontrol dan mengarahkan energi dengan tepat.”, dengan suaranya yang datar dan tanpa ekspresi Si Peramal itu tiba-tiba menyadarkan lamunannya.

“Saran saya, bila Anda jika selalu ingin menjadi pemenang utama, cobalah menghargai pandangan dan mendengarkan pendapat orang lain sebelum melakukan suatu tindakan, kembangkan sifat sebagai pendengar yang baik karena hal ini dapat mengendalikan kecenderungan untuk bersikap impulsif. Banyak dari orang-orang berunsur api seperti Anda juga cenderung untuk terlalu berani dalam mengemukakan pendapatnya. Maka, Anda harus mampu mengendalikan emosi, karena ambisi dan niat yang menggebu-gebu dapat memperbesar sifat egois Anda sehingga bersikap sembrono dan tidak sabaran bila keinginan tidak terwujud”, lanjut Si Peramal menjelaskan tentang pribadinya.

“Terus, kira-kira jodoh saya bagaimana?”, Ardi penasaran karena sifat yang dijelaskan menurut ramalan tersebut tidak terlalu baik.

“Cari yang berunsur Air. Dia akan mengimabangi kehidupan dan kepribadian Anda.”, Si Peramal pun menutup pembicaraan.

“Ah! Dasar peramal sok tau. Mana mungkin unsur pribadi gw Api.”, cacinya dalam hati dan sambil berlalu menuju tempat teman-temannya berkumpul.

Sesuai dengan prediksinya di dalam ruangan peramal tadi, kini Ardi menjadi bahan olok-olokan teman-temannya bahkan sampai perjalanan menuju rumahnya.
***

“Unsur Api dengan Unsur Air? Api dengan Air? Api-Air?”, kata-kata peramal waktu itu berputar-putar terus di otaknya.

“Kenapa gw jadi bego mikirin hal yang nggak penting kayak gitu ya?”, lawan kata hatinya.

“Udah lah pasrahin aja, gak baik juga mikirin hal-hal kayak gitu. Lagian itu kan cuma ramalan. Dan ramalan ini udah seminggu lalu.”, Ardi coba untuk menguatkan bahwa pikirannya adalah salah dan kata hati selalu benar.
***

Sebulan berlalu, namun Ardi tetap tidak bisa mengenyahkan kata-kata Si Peramal waktu itu. Ardi malah makin penasaran dengan yang di maksud unsur Air oleh Si Peramal.

Akhirnya dia sore ini meniatkan diri untuk pergi ke toko buku setelah pulang kerja nanti.
***

“Mba, dari tadi saya cari buku tentang ramalan kepribadian dengan unsur-unsur api atau air, pokoknya semacam itulah, tapi nggak nemu. Bisa tolong bantu saya, kalau Mba nggak keberatan?”, Ardi bertanya kepada seorang wanita seumurannya yang sedang berdiri di dekatnya sambil melempar senyum terhangat yang dia punya.

“Suka baca tentang ramalan kepribadian juga, Mas?”, dengan ramah wanita itu bertanya kepada Ardi dan tangannya tetap mencari-cari buku yang dimaksudkan.

“Nah! Ini dia, Mas. Silahkan di baca ya!”, belum sempat Ardi bertanya, ternyata wanita itu sudah menemukan buku yang Ardi cari.

“Oh, iya. Terima kasih, Mba! Tapi ngomong-ngomong, Mba juga suka baca buku sejenis ini?”, Ardi mencoba untuk membuka pembicaraan dan kali ini dia tertarik dengan kecepatan wanita itu saat mencari buku.

“Banyak lagian pengetahuan yang bisa diambil dari buku jenis ramalan ini. Bukan maksud untuk jadi dukun ya. Tapi kadang buku-buku jenis ini bisa bikin saya untuk cepat tahu kepribadian seseorang. Kayak Mas ini, saya bisa prediksi kalau unsur Mas adalah Api. Iya bukan? Semoga saya nggak salah ya. Dan saya di stand buku ini memang juga sedang mencari buku-buku tentang ramalan.”, wanita itu menjelaskan dengan panjang lebar dan menebak dengan benar unsur kepribadiannya disertai dengan tawanya yang renyah saat menjelaskan.

“Saya… Ardi, panggil saja seperti itu. Pantes Mba hafal letak buku yang saya cari. Dan mengenai tebakan Mba tadi, how come u know that? Satu lagi, boleh tau nama Mba?”, Ardi menjawab sambil terbata-bata karena kaget dengan tebakan wanita itu.

“Saya, Ira. Saya hanya tau begitu saja mungkin berkat buku-buku yang saya baca atau yang sedang Mas Ardi mau baca sekarang ini.”, balasnya dengan wajah yang terlihat sumringah karena telah menjawab benar.

“Dan Mba Ira sendiri unsurnya apa kalau boleh tau?”

“Saya, Air.”

Dan pembicaraan pun berlanjut makin hangat dan di warnai canda-tawa.
***

Hari ini, sejak pertemuan di toko buku empat tahun lalu. Ardi dan Ira pun mengikat janji sehidup semati. Pikiran dan kata hati Ardi pun tidak lagi bertentangan dengan ramalan apa yang dikatakan Si Peramal dan semua karena Ardi telah menemukan jawabannya, dia adalah Ira.
***

Bocah Penggembala Api

Oleh: @meiizt


Aku mengenang api,
pada senja yang menggeliat di pelupuk matamu.
Menghujam selapis demi selapis jingga,
ingatku betapa panasnya.
Merona semburat demi burat merah, ingatku begitu nyalanya.
Terpanggang benih-benih khianat dalam hembusmu.
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari.
Aku mengenang api, pada sajak kematian yang kau cermati.
Lalu berduri, apimu menumbuh onak jemari.
Perih, kugenggam saja dendam sudah bersemi.
Kupu-kupu kertas mengabu dalam jalannya ke akhirat.
Apa kau juga yang mengobral nyawa kekasihku pada iblis api?
Kau lumat rumahku lamat-lamat dalam asap yang menyengat.
Mataku terburai pandangan tulang-tulang berderak serak.
Menganga pada jiwa-jiwa menyerpih mengurai bara sepi.
Kekasihku terbakar sembilu dan aku tergugu.
Kau!
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari!

Keharmonisan Dalam Piciknya Perapian

Oleh: @anojumisa


Pagi ini dunia terasa indah ketika mentari seolah datang tersenyum menyambut awal kehidupan di akhir pekan. Ya, hari ini adalah hari terakhir dalam minggu ini sebelum memulai kembali hari penuh rutinitas keesokan harinya. Genangan air dengan segarnya mengguyur muka ini. Alhasil, imajinasi penjelajahan benua kehidupan hari ini seolah tergambarkan dengan penuh warna kesegaran.

Ditemani dengan sebuah laptop, hari ini pun dimulai. Klik demi klik-an tersentuh dengan sendirinya menemani penjelajahan di dunia maya. Situs jejaring sosial menjadi tujuan pertama untuk melihat perkembangan terkini orang-orang di lingkungan sekitar.

Setelah beberapa saat, kemudian terpikir sejenak untuk melihat keadaan di luar gubuk ini. Sambil menghirup udara segar di pagi hari terlihat di jalanan banyak orang-orang menikmati hari bebasnya dengan berolahraga seperti bersepeda, lari pagi, atau hanya sekedar berbelanja di sebuah pusat keramaian. Namun rasanya udara segar yang menjadi tujuan awal tadi sepertinya hanyalah sebuah angan-angan dikarenakan kondisi alam yang sudah tidak perawan lagi, dicumbui oleh asap-asap knalpot, tak bergairah karena alamnya yang sudah gersang ibarat mesin yang karatan. Tinggal menunggu malaikat israil menjemput jiwanya.

Setelah puas bercinta dengan keindahan pagi yang tak alami lagi, akupun kembali ke gubuk untuk mengistirahatkan sejenak tubuh setelah berjalan cukup jauh. Pikirku pun tak jauh dari laptop tua nan setia menemani hariku. Kunyalakan kembali seperangkat alat elektronik itu, kemudian ku jelajahi dunia hanya dengan meng-klik tombol mouse yang berkedip-kedip.

Tiba-tiba aku terkejut membaca seuntai kalimat. Kalimat-kalimat berikutnya pun muncul dengan maksud yang sama. Huh??? Ada bom bunuh diri di solo! Tak pikir panjang langsung aku cari berita selengkapnya mengenai hal itu. Ternyata memang benar. Ada sebuah bom bunuh diri yang meledak di kota solo, tepatnya di sebuah gereja. Sesaat setelah jemaah gereja tersebut menunakan ibadahnya.

Terpikir olehku sejenak, “Ada apa lagi sebenarnya dengan negeri ini?. Apa tidak cukup melihat penderitaan saudara-saudaraku yang sudah lelah meratapi nasibnya di tengah kesederhanaan hidup?.”

Ditengah kedamaian negeri ini masih saja ada orang-orang yang memiliki niat buruk dengan membawa tetesan darah saudaranya demi kepentingan yang tidak tahu maksud dan tujuannya. Mereka saudara kita kawan, lahir dari leluhur yang sama. Walau kita berbeda satu sama lain, tapi hal itu hanyalah masalah keyakinan dan prinsip hidup yang dimiliki manusia sebagai kaum yang diberi akal oleh sang Kuasa.

Lantas, apakah dengan berbeda kita harus selalu memaksakan kehendak kita agar semua yang ada di dunia ini selaras dengan apa yang menurut akal kita paling benar? Ingat, Tuhan saja menciptakan hamba-hambanya saling berpasangan, berbeda satu sama lainnya. Jadi, jika hal itu terjadi bukankah kita telah mendahului apa yang telah tuhan kita tetapkan sebelumnya?

Damai itu indah, kawan! Seuntai kata-kata yang sering kali terdengar namun susah untuk diaplikasikan. Sebenarnya inti permasalahannya bukan pada kesulitannya melainkan pada hati dari setiap kita yang saling berbeda. Banyak orang yang menjadi kayak arena hatinya juga kaya, tapi juga

banyak yang hatinya miskin namun kaya harta. Begitu juga sebaliknya, banyak orang yang miskin hartanya tapi kaya hatinya, juga ada yang miskin harta tapi juga miskin hatinya. Tuhan menciptakan kaumnya selalu pada titik kehidupan yang ia ciptakan sendiri. Ia hanya akan mendampingimu menjalani hidup ini di jalan yang telah engkau pilih.

Kembali api itu membakar hati seluruh negeri. Berkali-kali api itu jugalah yang menjadi sumber perpecahan negeri. Spekulasi negatif yang muncul tak luput dari serpihan-serpihan tangisan yang menderai seolah mencari akar dari asap kelam yang membumbung tinggi menghalangi terangnya cahaya nurani. Ia kembali membuat negeri ini dirundung masalah. Apa kata dunia, kawan? Ketika saya, anda, dan mereka tak mampu lagi menjadi serdadu pertahanan benteng negeri ini, yang ada adalah peperangan di dalam benteng sendiri. Miris melihatnya.

Akhir cerita ini akan selalu ditutup dengan untaian kalimat bijak yang nantinya diharap mampu meredakan kecamuk api perpecahan dalam lubuk kebohongan. Kita ini hidup di tanah yang sama, di bawah lindungan langit yang sama, di lembar siang dan malam yang sama, bahkan didalam satu naungan kemunafikan jiwa yang sama. Bukankah kesamaan itu pantasnya menjadi sebuah alunan keharmonisan lagu kehidupan di negeri yang diberkahi jutaan intan dan berlian di setiap pelosok lembah surgawi ini? Memang terkadang terasa terlalu memaksakan ketika harus menyamaratakan kehidupan jutaan makhluk itu dalam sebuah gardu nyawa yang selaras, tapi bukankah hal itu memang harus dilakukan agar tercipta keindahan alami dari sebuah kata yang dinamakan HIDUP?

Ano Jumisa

Jatinangor, 25 September 2011

23.03 WIB

Api

Oleh: Aditia Yudis (@adit_adit)



Setengah kota sudah lenyap dimakan kabut. Gelapnya malam tampak makin kelam dan sunyi. Namun langit memerah, membara penuh amarah.

Aku terpaku beku di tengah terpaan angin yang ditunggangi hawa dingin. Seharusnya tiupan udara bergerak itu bergelung menggigilkan tubuh, tapi tidak untuk malam ini. Tidak untukku yang berdiri di depan jilatan si jago merah sedang mengamuk.

Kupeluk diriku sendiri, sengatan rasa panas tak terhindarkan. Satu-satu peluh meleleh di pelipis dan punggungku, tapi aku tak berniat beranjak dari situ. Diam dan menikmati sosok kemerahan itu melahap rakus bagian diriku—hartaku yang kukumpulkan bertahun-tahun, kenangan, dan kamu.

Kepulan asap mengular liar, mencabik-cabik kabut yang ada di sekitar. Napasku terasa sesak, sesak oleh jelaga dan rasa kehilangan yang begitu dalam.

Kamu, masih di sana. Di dalam sana. Aku tak bisa sejengkal pun bergerak, cuma diam dan ketakutan.

Paru-paruku kupenuhi dengan udara panas bercampur debu kebakaran, kukeluarkan sisa napasku itu pelan-pelan. Berharap bisa melegakan sedikit saja benakku yang terasa sempit sekarang. Kobaran api itu mengirim semuanya ke udara kosong, begitu saja, tanpa bisa kucegah. Tanpa perasaan dan dalam waktu sekejap semua musnah. Nanti, setelah si api lelah tinggalah abu dan arang kehitaman. Tak akan ada yang bersisa, tak terkecuali kamu.

Dan kubiarkan bulir-bulir air menjatuhkan dirinya ke pipiku. Bisa kurasakan geraknya di tengah jalaran hawa menyengat. Rasa kehilangan dan penyesalan mendorong aliran air dari sudut mataku itu untuk terus beranak pinak di wajahku. Segalanya masih terasa seperti bunga tidur. Sore tadi, aku masih membereskan foto-foto kenangan kita—mengumpulkannya dalam satu album, melabelinya, dan menyusun rapi di rak. Aku pun baru saja menyiapkan malam malam istimewa dengan masakan favoritmu, opor ayam. Selain itu, aku juga sudah mengisi bak mandi dengan air hangat agar kamu langsung bisa membersihkan diri seusai kerja. Dalam hitungan jam, tak ada lagi yang tersisa dari semua itu.

Hari ini kan hari ulang tahun pernikahan kita. Api ini terlalu besar dari pada api lilin yang kusiapkan di atas strawberry shortcake. Api ini terlalu kencang untuk kutiup sendirian.

Kutundukkan kepalaku, gelanyut perasaan memberatiku. Dalam ingatanku, masih jelas bentuk rupamu. Pesta pernikahan kita yang meriah dan penuh suka cita dengan warna putih tergelar di penjuru ruangan. Tak bisa kulupakan bulan madu kita di pantai berpasir merah muda di Komodo dan tanganmu yang terus menaut jari-jemariku. Lalu perayaan-perayaan pesta ulang tahun pernikahan kita, pertama, kedua... dan sekarang tahun kelima.

Perayaan besar.

Tak ada lagi yang kumiliki, aku sendirian, pun dirimu di sana. Kubalikkan tubuhku dan memaksakan diri menggerakkan kakiku dengan berat. Aku harus mengikhlaskan semuanya, mau tak mau. Padahal aku masih ingin di situ, melihat akhirnya kamu ditemukan dan diselamatkan. Akan tetapi jelaga mempermainkan paru-paruku dan asap seakan menonjok mataku hingga aku tak henti menangis. Aku harus segera pergi dari tempat ini jika tidak ingin jatuh pingsan.

Berat hatiku meninggalkamu, tapi aku tak punya pilihan lain. Kamu juga tak memiliki pilihan lain, karena aku tidak meninggalkan pilihan apa-apa ketika mulai membakar rumah kita saat kamu menikmati air hangatmu. Itu lebih baik dari pada kamu memilih bersama selingkuhanmu. Tahukah kamu jika dia tidak lebih baik dari pada aku?

Ah, sekali lagi, selamat perayaan ulang tahun pernikahan kelima kita. Kuhadiahkan api sebagai hadiah terindah untukmu.



Sukanagara, 16 Juli 2011



Sebelumnya pernah dimuat di http://aditiayudis.wordpress.com/2011/07/16/api/

Sabtu, 24 September 2011

Best of the Night 23 September 2011

BOTN untuk tema PURA-PURA adalah . . . .

Kepura-Puraan yang Pura-Pura
oleh (@hotarukika)

Kenapa?

1. Kalimat pertamanya sangat menggugah dan membuat pembaca berpikir. Hal ini juga yang menarik perhatian pembaca untuk terus lanjut membaca tulisan tersebut. Skor,4.

2. Twist ada dan mengejutkan. Kini ada kaitannya dengan judul tulisan. Skor, 4.

3. Tanda baca sudah rapi dan baik. Skor, 4.

4. Tulisan sesuai dengan tema yaitu Pura-pura. Skor, 4.

5. Hal yang dibahas dalam tulisan ini bukanlah hal baru, yaitu perseturan dalam sebuah hubungan antar manusia. Tapi sang penulis mengungkapkannya dengan cara yang tidak biasa dan membuat pembaca berpikir dalam kepura-puraan tersebut. Skor, 4.

6. Diksi cukup unik dan ada beberapa kata menarik yang berima. Skor, 4.

Terus menulis yaaaa. Sekian dan selamat malam :D

Aku Makan Pura-pura

Oleh: (@nadiaakarima)




Aku tidak makan nasi. Aku makan kepura-puraan.

Saking seringnya aku berpura-pura, bahkan mendustai hatiku sendiri, hingga aku menyebut diriku pemakan kepura-puraan. Bukannya kebohongan, karena esensinya berbeda. Yang pertama disebut itu esensinya positif, sedangkan yang kedua lebih jelek. Kesan yang ditimbulkan itu penting, buatku. Entah buatmu.

Aku lihai berpura-pura semenjak tiga tahun yang lalu, bahkan sekarang aku sudah cukup mahir membolak-balikkan fakta dan menghindari pertanyaan-pertanyaan esensial. Aku bahkan mampu membuat hatiku sendiri percaya pada kepura-puraan yang kubentuk sendiri. Nampaknya otak dan hatiku belumlah penuh berkolaborasi sehingga bahkan ia masih dapat dibohongi oleh otak.

Otakku membohongi hatiku.


***


"Cha, kamu mau sarapan apa hari ini? Aku traktir!"

"Ah, kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun, Sayaaaang."

Aku tersenyum seraya melambaikan senyum itu terus-terusan ke arah sahabat perempuanku. Tidak, kami bukan jenis penyimpangan sosial yang ada di buku pelajaran Sosiologi kami. Persahabatan kami memang sudah terlalu dekat, layaknya saudara saja.

"Terima kasih, Cantik. Kamu mau makan nggak?"

Dengan senyum masih terpajang, aku menggeleng.

"Aku sudah makan. Kamu makan dulu saja."

Satu.


***


"Jadi percepatan gravitasi itu..."

Kelas. Guru di depan. Hening. Fisika.

Mataku berat, namun kupaksa bertahan demi nilai indah yang menari-nari di raporku nanti. Biarlah agak lelah, nanti toh pulang sekolah aku masih sempat tidur di dalam bus.

"Jadi, sudah mengerti?"

Aku mengangguk-angguk.

Dua.


***


"Cha, kamu nanti bisa temenin aku nggak? Aku harus cari kado nih."

"Hm, buat siapa?"

"Pacar aku."

Sapuan rona di wajahnya cukup menjawab juga buatku.

"Cieee, anniversary ya?"

"Iya, hehehe..."

"Maaf, aku nggak bisa. Nanti sore ada les."

Tiga.


***


"Alin, sana lu! Ganggu orang pacaran aja!"

Suara itu membuat Alin bersungut-sungut seperti semut. Dia segera menyingkir dari pasangan yang berbahagia itu. Yang laki-laki berlutut di depan perempuan yang sudah cukup lama disukainya, dan sekarang mereka berdua jadi bahan tontonan di lapangan sekolah yang terhitung sempit.

Aku tersenyum dan tertawa. Banyak sekali.

"Mungkin kamu udah tahu aku suka sama kamu," mulai sang lelaki, membuat suitan menggoda bertebaran dimana-mana. "Aku hanya ingin menegaskannya."

Krek.

Putri itu diam saja, namun rona terpeta di wajahnya yang cerah.

"Aku menyukaimu."

Bruk.

"Apa kau mau menjadi gadisku?"

Dug.

Putri itu mengangguk, malu-malu. Wajah kedua pasangan itu berseri. Akhirnya mereka bisa bersama setelah memendam rasa suka satu sama lain cukup lama.

Tuk.

Lalu pasangan yang mabuk gara-gara ulah dewi Asmara itu diarak ramai-ramai menuju kantin, dalam rangka acara penodongan terselubung untuk mereka mentraktir oknum-oknum yang turut berjasa bagi hubungan mereka. Sudah menjadi tradisi yang sangat sulit dihilangkan. Aku, tak ayal, turut tertawa dan tersenyum serta menyelamati pasangan baru yang berbahagia tersebut.

Empat.


***


Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Sudah genap empat kepura-puraanku hari ini. Hanya untuk hari ini. Bahkan hatiku sendiri nyaris percaya pada kepura-puraan yang dibentuk oleh otakku, jika nuraniku tidak berteriak-teriak nyaring. Aku terpaksa melakukannya. Bukan bohong, karena bohong artinya memutarbalikkan fakta. Aku hanya memutarbalikkan hatiku sendiri. Entah di mana letak perbedaannya, aku sendiri tidak tahu.

Aku terlalu banyak pura-pura, karenanya aku terlalu banyak makan pura-pura. Aku lebih banyak makan pura-pura daripada nasi.

Lima.


***


Aku berpura-pura menulis cerita ini.

Pura-pura Tidak Tahu

Oleh: (@shelly_fw)



Aku melihat sosokmu dari kejauhan; kau pura-pura tidak melihatku Aku mengamati caramu menjurai rambut panjangmu dengan anggun; kau pura-pura tidak tahu. Bahkan, ketika aku menyempatkan diri untuk melambaikan tangan padamu, idem. Kau masih pura-pura tidak melihatku. Mata coklatmu—dingin dan begitu apatis, membeku begitu lama di hadapanku kemudian mencair dihadapan orang lain. Kau selalu begitu.



Masih segar di ingatanku ketika aku memberi ucapan selamat tahun padamu dalam beberapa versi—pesan singkat, pesan suara, lukisan wajah elokmu sebagai wujud afeksi terdalamku, hasil edit-an fotomu yang memakan waktu berjam-jam (karena aku memakai cara ekstrem untuk hal ini), sweater merah marun bersablon nama panggilanmu, sampai lagu selamat ulang tahun khusus untukmu—itu semua hasil tangan berpadu kreatifitasku sendiri. Pragmatis dan begitu sukarela. Aku rela melakukan apa saja.



Tidak ada respon ataupun ucapan terima kasih? Aku maklumi itu. Hari kedua kau menginjak usia tujuh belas tahun, dan kau masih tidak berbicara meskipun kita berjumpa? Aku juga memaklumi itu. Hari ketiga, kau tidak memakai sweater itu? Aku mencoba bersabar. Hari keempat, kelima, dan seterusnya kau malah menunjukkan kado-kado lain dari orang yang sebagian kukenal? Oke. Aku sudah tidak tahu titik kesabaranku nampak dimana.



Yang jelas, semua orang tahu. Kau terkenal sebagai kapten pemandu sorak dengan tingkat harga diri yang menurutku lazim untuk remaja seusiamu—kau tidak merokok, tidak juga mem-bully adik-adik kelasmu, tidak juga pilih-pilih dalam berteman dan bahkan kau selalu memakai stocking setiap kali rok mini membalut pahamu. Itu wajar. Pantas saja semua orang menyukaimu.



Kemudian lihat aku. Aku terkenal sebagai kapten basket—atau setidaknya selevel dengan dirimu karena aku tidak mau terlihat terlalu sok pada siapapun—hingga beberapa orang bilang sebaiknya kita berpacaran saja namun telingamu masih menolak mencerna. Kau masih yang dulu. Selalu begitu. Pura-pura tidak mendengar. Tidak melihat. Tidak tahu-menahu apa yang kulakukan ataupun usaha yang kutunjukkan pada hatimu—keras. Oh, mungkin lebih pantas disebut kaku.



Jadi, kuputuskan untuk memberanikan diri; menghampiri sosokmu yang begitu fokus dengan buku-buku perpustakaan kesayanganmu sebagai pergantian dari reaksi kehadiranku. Tanpa tedeng aling-aling, aku berkata, “jangan biarkan hubungan semenda membuat kita seperti bukan siapa-siapa. Lupakan kado-kado itu. Aku tetaplah kakak sepupumu.”



Dan aku tidak peduli, atau dengan kata lain berpura-pura tidak melihat reaksi dari tubuhmu yang membeku.