Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label kunci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kunci. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Desember 2010

Mulut yang Terkunci

Oleh: Naz Farawla
@ninafahmi

Ayahku bercerita, dulu ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, hasil ujian PPKn yang diterima ayahku membuat seluruh anggota keluargaku tergelak. Dan setiap tahun setelah kejadian itu, ayah pasti bercerita lagi kepadaku di hari aku berulang tahun. Dan lucunya, setiap ayah menceritakan hal yang sama setiap tahun, ia masih saja tergelak. Sementara aku yang sudah kuliah ini merasa sangat bosan dan bereaksi datar-datar saja. Tak jarang aku memintanya berhenti mengulang-ngulang cerita itu.
                Salah satu soal pertanyaan essay itu  adalah: Siapakah Presiden Republik Indonesia?
                Kala itu pemimpin bangsa kami masih Soeharto. Dan hal yang membuat ayahku tergelak adalah, aku menjawabnya: Ayah.
                Entah kenapa aku menulis jawaban itu. Mungkin kala itu aku memang belum tau siapa presiden Indonesia dan aku pun menulis ayah karena aku tidak punya pilihan lain.
                Aku tau ayah gemas terhadapku, karena menurutnya itu hal yang lucu. Dan satu lagi, ayah merasa bangga. Mungkin hanya aku satu-satunya di dunia ini yang menganggap ayah adalah seorang presiden. Presiden RI. Suatu gelar yang terhormat. Dulu.
*
                Aku sudah menikah dan ayah sempat menceritakan hal itu pada suamiku ketika kami masih pengantin baru. Sekarang ayah tidak pernah bercerita lagi, meski di hari ulang tahunku sekalipun. Bukan, bukan karena aku sudah tidak lagi tinggal bersama ayah. Tetapi karena ayah sudah tidak bisa lagi bicara. Ayah stroke.
                Aku ingat dulu aku selalu memaksanya untuk berhenti mengulang cerita itu karena bagaimana pun aku sudah dewasa, dan cerita itu sudah basi. Tetapi sekarang keadaan sudah berbeda dan aku terus memaksanya menceritakan hal itu. Aku terus memohon kepada Tuhan supaya ayah dapat bercerita lagi.
                Kini, aku selalu ingin berada di samping ayah dan giliranku untuk menceritakan hal tersebut berulang-ulang setiap hari. Ya, setiap hari. Karena aku merindukan gelakan tawa ayahku. Aku ingin melihat itu sekali lagi.
                Ayah tak pernah tertawa, atau sekedar tersenyum bahkan ketika ia pergi. Ia pergi untuk selama-lamanya.
*
                Bagiku, selamanya ayah adalah Presiden RI. Tetapi cerita itu tak pernah terdengar lagi dari mulut siapapun. Mulut seketika terkunci hanya untuk cerita itu.

Psychedelic

Oleh: Azka Shabrina
“Barangnya udah ada di gue. Nanti malem, ya.”
Aku mengangguk, merasa bersemangat meski tidak yakin hal ini membuatku senang. Sayangnya, hanya hal ini yang bisa membebaskanku dari pikiran-pikiran menyedihkan. Dari fakta bahwa kuliahku berantakan, bahwa aku adalah laki-laki yang baru diselingkuhi oleh kekasihnya.
“Dimana?” tanyaku.
“Kontrakan gue. Rame kok anak-anak. Be there.”
Lagi, aku mengangguk. Tentu saja, aku akan berada disana.

*

“Nih, bakar.”
Kuambil gulungan tersebut dari tangan Arsya, kemudian kuselipkan di bibir. Korek api di tangan kanan.
Terdengar bunyi api menyentuh kertas dan dedaunan kering yang begitu akrab di telingaku. Asap berhamburan dari pertemuan mereka berdua. Masuk kedalam mulutku, tenggorokanku, kemudian otakku.
“Puterin dong, puterin,” pinta Dimas. Aku memberi isyarat ‘tunggu sebentar’ dengan tangan kiri. Kuisap lagi gulungan terbakar tersebut, kali ini dari hidung.
Satu gulung.
Dua gulung.
Tiga gulung...
Satu jam.
Satu jam yang terdistorsi. Rasanya seperti satu hari penuh.
Biar kujelaskan. Mariyuana memang ilegal. Banyak alasannya; merusak otak, membuat orang terdorong untuk melakukan hal-hal kriminal. Pada diri sendiri, maupun pada orang lain. Jangan, jangan pernah menyentuhnya. Jangan merantai diri sendiri.
Dan lihatlah kami sekarang. Tertawa. Mentertawakan apa, kami sendiri tidak tahu. Barangkali mentertawakan diri sendiri yang terkunci dalam fantasi masing-masing. Terkunci pada waktu yang seperti berdetak seratus kali lebih lambat dan pada warna yang berpendar lebih cerah. Pada suara-suara yang seperti bermil-mil jauhnya. Pada konsentrasi yang mendadak buyar dan tidak terkontrol.
Aku tidak lagi memikirkan IPK. Tidak juga memikirkan Nadja yang barangkali sedang bersama laki-laki lain. Tidak ada apa-apa di kepalaku kecuali Oasis si britpop band.

Hold up... hold on... don't be scared
You'll never change what's been and gone
May your smile... Shine on... Don't be scared
Your destiny may keep you warm.

Aku terbebas dari segala hal yang menyakitkan, setidaknya untuk empat jam. Sekaligus terkunci dalam kebohongan, setidaknya untuk empat jam.
Terkunci, dan kuncinya sudah melebur didalam sel otakku.
Tidak ada yang bisa membukanya. Tidak ada yang cukup kuat untuk menggedornya.
Menyedihkan? Ya. Berdosa? Ya. Bodoh? Ya, ya, ya. Tapi aku tertawa.
Terkunci. Aku terkunci!

Cos all of the stars are fading away
Just try not to worry you'll see them some day
Take what you need and be on your way
And stop crying your heart out...

Empat Kunci

Oleh : 17thstarlight
Blog : http://firglobe@wordpress.com
Tema : Kunci

Kunci adalah alat yang kau perlukan untuk membuka jalan menuju ruang nyaman yg kau inginkan.

Kunci rumah, Kunci pekerjaan, Kunci hati.

Rumah, satu kata yang menjalarkan kehangatan, dengan kunci paling sederhana : garis darah. Gunakan kunci dalam dirimu untuk membukanya, dan kasih sayang tak berbatas, tanpa pamrih, akan selalu menyambutmu disana.

Dunia kerja seperti jaring laba-laba, saling terkait dengan jalinan samar namun kompleks..temukan orang yang menjadi kunci masuknya, dan kau akan jadi bagian yang menyatu di dalamnya.

Hati seperti ruang misterius berpintu dengan seribu pilihan kunci. Menemukan kunci yang tepat, tak bergantung pada sang waktu. Jodoh, mereka bilang. Itu faktor X-nya.

Kunci terakhir, tak berbentuk jelas. Warnanya pun berbeda pada tiap mata yang melihatnya. Seringkali berseteru meyakinkan mata lain atas apa yang ia lihat..bagaimana bila bukan warna atau bentuk, esensinya? Ini kunci surga... ah, tak mengapa kan bila kita ada di surga yang berbeda?

Kunci

Oleh: Mei Uchiha

Bocah perempuan itu memainkan kunci emas di tangannya sambil memandang matahari yang perlahan-lahan mati. Mati di matanya.
"sayang, itu berbahaya," seorang wanita dewasa memegang pundaknya dan mencoba mengambil kunci itu dari tangannya.
"kunci itu beracun, meracuni duniamu.."
Tapi si bocah tak jua melepas kunci itu. Ia terus menggenggamnya dengan erat, bahkan ia tak berpaling pada sang wanita.
"manis, kau harus ke dalam. Langitnya sudah mulai merah," bujuk sang wanita. Bocah itu akhirnya mendongak.
"kenapa langitnya saja yang merah? Apakah tanahnya juga bisa berubah jadi merah?"
sang wanita tersenyum samar mendengar perkataan si bocah.
"ah, ya, tanah ini juga bisa jadi merah. Tapi belum waktumu untuk melihat tanah yang merah.."
bocah perempuan itu cerdas. Ia bisa menangkap apa yang dimaksud sang wanita, meski ia tak mengakuinya terang-terangan.
Dengan wajah polos, si bocah menurut saja ketika sang wanita menuntunnya masuk ke dalam rumah. Melalui pintu besi yang berderit kelam dan memberi tanda bahwa ia tak akan pernah bisa keluar lagi.

Tinggal selangkah saja menuju kedalaman bangunan besar itu, ketika sebuah suara memecah kebisuan senja. Suara peluru yg lepas dari kandangnya dan menembus daging, mencipratkan darah ke permukaan tanah yang cokelat.
Yang sekarang berubah jadi merah.
Sepasang tangan lain langsung menarik si bocah ke dalam rumah tanpa memberi kesempatan padanya untuk menoleh, tapi ia cukup mengira-ngira apa yang telah terjadi.
"bahwa tanah telah berubah jadi merah," si bocah menggumam sendiri.

##

...Kunci ini beracun. Meracuni duniaku...

Si bocah perempuan menggenggam kunci emas di tangannya. Satu tahun sudah berlalu sejak kejadian tanah yang menjadi merah.
Berarti, sudah satu tahun pula ia tak melihat dunia luar. Tak berinteraksi dengan apa-apa kecuali segala apa yang ada di dalam bangunan rumah ini.
Si bocah tersenyum miris. Ia bahkan tak mempunyai kesempatan untuk memakamkan jenasah ibunya.
Ibunya yang tertembus peluru ketika tanah yang berubah menjadi merah.
"Peluru itu milik musuh," begitu kata kakak ibunya sambil menutupkan selimut ketika akan tidur.
Bocah itu kecil, tapi cerdas.
Peluru itu sebenarnya terlepas dari tangan pamannya, adik ayahnya yang sampai kini masih menangisi takdir yang membuatnya membunuh kakak iparnya.

...demi kunci emas yang kini ada dalam genggamanku...

Sebenarnya apa yang mereka cari?

...aku tahu...

Sehari sebelum peristiwa tanah yang berubah jadi merah, si bocah perempuan kehilangan kakeknya. Ayah dari ayahnya yang selama ini merawat ia dan ibunya.
Sang kakek begitu baik hati. Kaya raya.
Tapi dalam masa lalunya ia menyimpan kelicikan dan menyembunyikannya dengan lihai.

...egoiskah kakek??...

Sang kakek tak ingin orang lain yang menghabisi nyawanya. Sehingga ia memutuskan sendiri waktu kematiannya.
Sebelum itu, ia mewariskan semua kekayaannya pada cucu satu-satunya, kesayangannya.

...dan semua malapetaka berawal dari kunci emas ini...

Kunci emas itu adalah kunci dari segalanya. Segalanya yang kini diperebutkan banyak orang, dari pihak ayah dan ibunya.
Bahkan orang2 yang mengaku2 saudaranya meski jauh.
Kini si bocah perempuan ada di pihak keluarga sang ibu, wanita yang telah berkorban demi kunci emas itu. Hanya sang kakek, si bocah, dan Tuhan yang tahu kata kunci untuk menjadikan kunci itu berguna.
Tapi, si bocah sekarang tak mau bicara. Ia tak mau berbuat apa-apa.
Benar kata ibunya dulu, kunci itu telah meracuni dunianya.

##

Sekarang, sudah sepuluh tahun lewat sejak peristiwa tanah yang berubah jadi merah. Si bocah perempuan sekarang menjadi seorang gadis cantik yang rapuh.
Sudah sepuluh tahun ia tak melihat dunia luar. Tak jua berinteraksi dengan apa-apa selain segala apa yang ada di dalam bangunan rumah ini.

...aku lelah, kunci ini terlalu beracun bagi duniaku...

Kemudian sebersit kenangan melintas dalam benaknya.

...egoiskah aku?...

Sang gadis memilih untuk memutuskan sendiri akhir detak jantungnya.

##

Kunci emas itu berlumuran darah. Darah amis pekat yang menggenang di permukaan marmer putih. Sebilah pisau menancap menembus sebuah jantung, jantung yang telah koyak. Dan tak lagi berdentum memberi tanda kehidupan.
Penghuni rumah ini baru menyadarinya sehari kemudian.
Pekik histeris memecah kunci kebekuan dalam ruangan itu.

Tapi yang pertama terpikir oleh mereka adalah kunci emas yang bersimbah darah, tergenggam dalam tangan pucat seorang gadis.

...ah, egoiskah aku?...

##