Oleh: Aditya
“ pelayan...!!! sambal apa ini..??? ”
“i..i..itu sambal ciri khas rumah makan kami mas.. sambel lombok ijo”
“BUANG SEMUA SAMBAL INI DARI MEJAKU PELAYAN...!!!”
“ta..ta..tapi ini enak lho mas.. rasanya gak kalah pedas dari sambal-sambal lain lho mas”
“BUANG SEKARANG...!!!!”
“ba..baik mas sebentar saya ambil gantinya”
“Pyarrrr...!!!” ... ”tidak usah ini uang untuk bayar makanan, dan ganti rugi dengan piring yang saya pecahkan”
pemuda kurus berwajah oriental itu segera menaruh beberapa lembar uang lima puluh ribuan di atas meja makan. matanya masih terlihat merah, bukan karena dia kepedasan oleh sambal tadi, tapi karena dia masih menahan gejolak amarah yang dia rasakan, tentang sambal yang di sajikan di restoran ini, sambal hijau tadi. pemuda itu dengan kasar membuka pintu restoran dengan membanting daun pintunya sangat keras “BRAKKKK...”
“orang yang aneh, mentang-mentang orang kaya main buang makanan sembarangan aja, tidak tahu apa..?? sekarang ini harga lombok lebih mahal dari daging, jaman sekarang kita bisa beli motor dengan sekarung lombok... HUH... orang aneh”
pemuda tadi terus berjalan di sepanjang jalan trotoar, Lingkar namanya pemuda berumur 14 tahu, dia adalah anak seorang pedagang cabai, yang kaya mendadak karena akhir-akhir ini harga jual cabai melonjak melebihi harga daging, kehidupan ekonominya semakin membaik sejak kenaikan harga cabai di pasaran, apa pun yang di inginkan sekarang semuanya bisa di peroleh dengan mudah. hp, laptop,mobil atau rumah sekalipun sekarang dengan sangat mudah dia dapatkan, kecuali satu, kasih sayang ayahnya yang memudar seiring waktu. kesibukanya dengan berdagang cabai telah mengalahkan segalanya bahkan tentang anaknya pun dia lupa, ayahnya hanya berpesan pada anaknya
“lingkar.. kapan lagi kalau tidak sekarang...!!! ayah harus menjual cabai-cabai ini, harga cabai sedang naik lingkar, kita bisa kaya mendadak”
dia terus berjalan sambil terus mengingat kata-kata ayahnya, ia seperti mengunakan headset yang tak terlihat di kepalanya... kata-kata itu terus berputar di kepalanya. dan dia hanya terus berjalan dan terus berjalan hingga sampai di sebuah pasar malam yang hiruk-pikuk, penuh dengan pedagang pasar yang sedang berteransaksi dengan penjualnya.
“pak has, saya minta cabai rawit merah sekilo, INGGAT pak yang merah ya..!”
“iyo, emang arep mbok go opo tuku lombok sekilo mben wengi...?? “
“bukan buat apa-apa kok pak, bapak santai aja... berapa pak.?? ”
“yo wis, 80 ewu wae”
“ini pak..., ambil aja kembalianya” sambil memberikan 2 lembar uang 50 ribuan
“yo maturnuwun le, tapi ojo lali... ojo nambahi bapakmu sedih”
“iya pak saya tahu... maturnuwun pak”
pemuda itu terus berjalan semakin meninggalkan pasar malam, yang mulai kembali ramai lagi dengan aktifitas mereka masing-masing.
“bocah,kok banget malang nasib e...”
sampailah dia di rumahnya, rumah yang cukup besar untuk ukuran anak seorang pedagang cabai. namun lampu disekitar rumah itu hampir seluruhnya mati hanya beberapa yang menyala di samping rumahnya. satu pikiran seseorang kalau sedang melewati rumah ini “sepi” ya karena memang susananya yang sepi, pemuda itu langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam, dan sekarang susananya benar-benar lebih gelap dan lebih dingin, cat tembok yang berwarna kuning gelap menambahkan susana yang lembab, selain itu kamar pemuda itu hanya bersumberkan cahaya di sudut kamarnya. lampu kuning 5 watt yg hanya mampu menerangi kamarnya yang kurang dari radius 1 meter dari sumber cahaya.
pemuda itu mulai membuka bungkusan cabai rawit yang di belinya di pasar tadi dan menaruhnya di meja sudut kamarnya, cahaya sedikit agak terang ketika pemuda itu menyalakan TV di kamarnya, dia mulai memainkan tanganya kanannya untuk mencari chanel TV yang menarik dari no 1 hingga 9 dan terus di ulang-ulangnya, sedangkan tangan kirinya mulai asik mengambil cabai-cabai dari seberang meja dan mulai memakan cabai-cabai itu layaknya sebuah makanan kecil. matanya merah tapi dia tidak begitu peduli soal itu, yang dia tahu masih banyak cabai yang harus di makannya malam ini.
“krusss...krussss...krusss...krusss..”
“hahahahaha... kucing bodoh, sama kucing aja kalah”
di sebelah kanan TV samar-samar terlihat sebuah potongan koran yang menggantung dengan selotip hitam di ujungnya
solopos, 12 maret 2010
“SEORANG PEDAGANG CABAI, MATI DI MASA PEMBELI”
pagi ini (red, 11 maret) seorang pedagang cabai mati di masa oleh para pembeli, karena kedapatan memalsukan cabai rawit. modus kejahatan korban terungkap ketika salah seorang pembeli memergoki korban sedang merubah warna cabai hijau dengan pewarna merah pakaian........
dan di sampingnya lagi terdapat sebuah artikel
“....Satu penelitian menunjukkan bahwa cabai dapat menghilangkan nyeri yang disebabkan oleh migran. Zat Kapsaisin yang terkandung dalam cabai dan membuat cabai terasa pedas, dikenal sebagai zat yang berfungsi sebagai penghambat neuropeptide dan Substance P, yang merupakan sumber penyebab rasa sakit di otak...”
“krusss...krussss...krusss...krusss..”
“cabai itu harus warna MERAH, tidak ada cabai warna HIJAU.... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau... aku benci warna hijau...”
“AKU BENCI CABAI!!!...ARGGGHHHHRRRRR...!!!”
“krusss...krussss...krusss...krusss..”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Balada Cabai Mahal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Balada Cabai Mahal. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Januari 2011
Merah Darahku, Mulai Luntur
Oleh: @qalbinur
Si merah, lentik mengkilap, kaulah pujaan hati .
Mendarah daging dalam diri. tapi mengapa jadi tak bisa kugapai kini.
Batak terkenal garangnya pun, kau mudah patahkan hingga menjadi banci.
Apalagi Padang, dengan gertak sambelmu, kau buat dia menyediri seperti kerupuk basi.
Ya, kau meninggi.
Menimbulkan tangis dalam hati.
Aku sendiri tidak mendengar jeritan mereka .
Karena aku sendiri sibuk teriakan agar menggema.
Ya, jangan tanya kemana arah suaraku pergi.
Mungkin ke langit. Mungkin juga berlabuh ke penguasa hati ini.
Kamu benar telah pergi, pergi dari kesederhanaan yang juga meninggalkan luka di hati.
Dan datangnya kamu, hanya orang yang terpilih kini.
Jangan pergi dulu, kaulah nyawa dalam hidupku ini.
Jika tak percaya, Sudi aku membelek urat nadi ini.
Agar kau merasakan pedas, sampai ke otakmu nanti.
Ya, ini hanya untukmu.
Terkadang dalam malam sepi, saatnya ngobrol asyik dengan penciptaku.
Ketika sedih itu mengiris dan membangunkan peri peri mimpiku.
Atas nama tuhan, Aku sumpahi biar mereka mati berdiri yang berbuat aku begini.
Biar saja, lebih baik aku hancur lebur, daripada merah darahku luntur nanti.
Aku tidak hanya sedang bicara cabai, bung . . .
Aku sedang bicara Nasionalisme.
Si merah, lentik mengkilap, kaulah pujaan hati .
Mendarah daging dalam diri. tapi mengapa jadi tak bisa kugapai kini.
Batak terkenal garangnya pun, kau mudah patahkan hingga menjadi banci.
Apalagi Padang, dengan gertak sambelmu, kau buat dia menyediri seperti kerupuk basi.
Ya, kau meninggi.
Menimbulkan tangis dalam hati.
Aku sendiri tidak mendengar jeritan mereka .
Karena aku sendiri sibuk teriakan agar menggema.
Ya, jangan tanya kemana arah suaraku pergi.
Mungkin ke langit. Mungkin juga berlabuh ke penguasa hati ini.
Kamu benar telah pergi, pergi dari kesederhanaan yang juga meninggalkan luka di hati.
Dan datangnya kamu, hanya orang yang terpilih kini.
Jangan pergi dulu, kaulah nyawa dalam hidupku ini.
Jika tak percaya, Sudi aku membelek urat nadi ini.
Agar kau merasakan pedas, sampai ke otakmu nanti.
Ya, ini hanya untukmu.
Terkadang dalam malam sepi, saatnya ngobrol asyik dengan penciptaku.
Ketika sedih itu mengiris dan membangunkan peri peri mimpiku.
Atas nama tuhan, Aku sumpahi biar mereka mati berdiri yang berbuat aku begini.
Biar saja, lebih baik aku hancur lebur, daripada merah darahku luntur nanti.
Aku tidak hanya sedang bicara cabai, bung . . .
Aku sedang bicara Nasionalisme.
Komparisasi Antara Cabe dan Emosi
Oleh: @diway360
"Bu, cabe sekilo berapa? " Tanya ibu ibu muda sambil memilih cabe kecil merah, "85rb " jawab sipenjual sekenanya sambil meladeni pembeli lainnya. "Ehm,kalo setengah?" Tanya si ibu lagi. Dengan enggan si ibu penjual menjawab " yaa 42 ribu atuh bu" berusaha mikir nih ibu ibu ngajakin lomba cerdas cermat kali, sedikit banyak mulai kesal. Tanpa menghiraukan muka si ibu pedagang, "kalo seperempat??" Kali ini matanya menatap harap ke si ibu penjual, berharap harga cabe masih masuk akal dalam kalkulasi itung-itungan daftar belanjaannya pagi ini. Sekali lagi ibu mendesah " duapuluhsatu ribu ,bu" jawab si ibu memberengut kesal, pagi ini niatnya berjualan dengan ikhlas dan sabar tapi kalau ngadepin pembeli kayak si ibu satu ini kayaknya kesabarannya mesti pangkat dua. Si pembeli pun mendesah beberapa kali akhirnya pasrah, "bu, beli dua ribu aja deh" akhirnya. Preeekkk kertas pembungkus bumbu dapur itupun robek. "Gustiii Nu Agung, batin nya dalam hati, nih orang ngajakin berantem kali ya" sabar sabar jeritnya dalam hati. Tak urung diladeninya juga. Cabe Bidding-nya berakhir tragis. Ternyata harga cabe belakangan ini berbanding terbalik dengan tingkat emosi si penjual cabe. (Bener ga ya rumus nya? )
"Bu, cabe sekilo berapa? " Tanya ibu ibu muda sambil memilih cabe kecil merah, "85rb " jawab sipenjual sekenanya sambil meladeni pembeli lainnya. "Ehm,kalo setengah?" Tanya si ibu lagi. Dengan enggan si ibu penjual menjawab " yaa 42 ribu atuh bu" berusaha mikir nih ibu ibu ngajakin lomba cerdas cermat kali, sedikit banyak mulai kesal. Tanpa menghiraukan muka si ibu pedagang, "kalo seperempat??" Kali ini matanya menatap harap ke si ibu penjual, berharap harga cabe masih masuk akal dalam kalkulasi itung-itungan daftar belanjaannya pagi ini. Sekali lagi ibu mendesah " duapuluhsatu ribu ,bu" jawab si ibu memberengut kesal, pagi ini niatnya berjualan dengan ikhlas dan sabar tapi kalau ngadepin pembeli kayak si ibu satu ini kayaknya kesabarannya mesti pangkat dua. Si pembeli pun mendesah beberapa kali akhirnya pasrah, "bu, beli dua ribu aja deh" akhirnya. Preeekkk kertas pembungkus bumbu dapur itupun robek. "Gustiii Nu Agung, batin nya dalam hati, nih orang ngajakin berantem kali ya" sabar sabar jeritnya dalam hati. Tak urung diladeninya juga. Cabe Bidding-nya berakhir tragis. Ternyata harga cabe belakangan ini berbanding terbalik dengan tingkat emosi si penjual cabe. (Bener ga ya rumus nya? )
Dimakan Sayang
Oleh: Septy Aprilliandary (@aprsept)
http://cetakankuesaya.blogspot.com/ Duhai kamu...
Ya, kamu yang bersembunyi di sudut sana
Bisakah bermurah hati sedikit padaku?
Aku membutuhkanmu, dalam setiap rasa di lidahku
Tak lengkap rasanya tanpa kamu
Tak semua menganggap kamu penting, aku tahu
Tapi bukan begini caranya
Bukan dengan melengos begitu saja
Seolah harga dirimu lebih tinggi dari apapun
Aku rindu semu merahmu juga hijau segar sosokmu
Sekarang nasi gorengku hambar tanpa sentuhanmu
Belum sampai aku menyentuhmu
Ibuku muntab
“Jangan tambah cabe lagi! Kamu tahu kan cabe lagi mahal!”
Batalkan Saja!
Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
http://kamukayakuya.tumblr.com/
Gadis itu bernama Rasuna, ya, diambil dari nama pahlawan HR Rasuna Said. Bukan karena orang tuanya mengagumi pahlawan wanita yang satu itu, tapi karena Rasuna terlahir di rumah sakit yang bertengger di jalan utama daerah Kuningan, Jakarta Selatan tersebut—Jalan HR Rasuna Said. Kini ia berusia 24 tahun, dan siap menikah. Segera menikah, justru, tanggal 23 Januari 2011.
Sebulan yang lalu, hatinya begitu mantap akan menikah, dengan lelaki pujaan hatinya yang berasal dari daerah yang sama dengannya. Namanya Adi, atau Adiansyah Nurfazlan untuk lengkapnya. Sebulan yang lalu, semua terasa begitu lancar dan perhitungan seakan mulus semua. Mulai dari persiapan undangan, baju pernikahan, dan menu-menu sajian nikahnnya nanti, yang akan diadakan dengan konsep pesta kebun yang tidak mengundang banyak orang, hanya 200 orang—maksimal. Konsep pernikahan ini tentusaja datang dari Rasuna, ia ingin pernikahan yang bernuansa putih hijau itu akan terasa sakral dan hangat, di tengah kesejukan Bukittinggi, kampung halamannya, lengkap dengan sajian yang sangat ‘masakan rumah’, meskipun Rasuna memang sudah tumbuh besar dan bekerja di Ibukota, di tempat ia bertemu dengan Adi.
Tapi kini tengah malam buta—hatinya malah bimbang. Sungguh bimbang.. dan berpikir suatu kekhawatiran yang teramat sangat. Ia menggenggam HP-nya dengan erat. Ia menimbang-nimbang, perlukah ia mengakui hal ini kepada Adi?
Ia tiba-tiba ragu untuk menikahi Adi dalam waktu dekat ini. Bukan,bukan karena ia tidak mencintai Adi. Sungguh, langit boleh terbelah menjadi tujuh, tapi ia tidak pernah bebrbohong kalau hatinya hanya untuk Adi. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba mengganjal pada hati dan pikirannya sekarang. Sebenarnya ia pasti akan terlalu bodoh kalau ia mundur, daripernikahan ini—toh undangan sudah disebar. Biaya akomodasi undangan sudah disebar pula. Pas sekali dengan budget, semuanya sempurna. Ya, karena Rasuna adalah orang yang sangat teliti perhitungan—tapi bukan pelit.
Rasuna resah, namun akhirnya ia langsung memberanikan diri untuk menelepon calon suaminya itu. “Halo, Bang Adi?”
“Rasuna.. ada apa telepon tengah malam begini, Dek?” Adek, adalah panggilan sayang Adi terhadap Rasuna.
“Bang, aku tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini…” Rasuna menguatkan diri untuk mengatakannya, pada akhirnya. Matanya menutup sebentar dan kemudian menyusuri meja di samping tempat tidurnya. Ada sebuah buku kecil berwarna pink di sana. Ia membukanya pelan sambil mendengar suara ‘HAAAAPAAAH?’ keras dari seberang telepon.
“Kenapa, Dek?? Abang lagi mimpi kan ini??”
“Ssh… Abang gak lagi mimpi kok. Dengar dulu Bang.” Rasuna berusaha menjaga grip abangnya yang kaget.
“Terus kenapa? Kok tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini? Undangan dah disebar, Dek. Jangan kecewakan semua orang. Atau Adek udah indak sayang lagi sama Abang??” Adi begitu panik dan emosi di sana, Rasuna jadi semakin serba salah. Ia membaca tulisan kecil berisi angka di buku kecil itu. ternyata itu wedding planner miliknya. Semua pernak-pernik perencanaan pernikahannya ia tulis di sana.
“Bukan gitu, Bang. Masalah sayang gak usah ditanya lagi deh, Bang. Malaikat juga tahu.” Rasuna memijit-mijit pelipisnya. “Adek ragu, Bang. Baru beberapa hari ini, kayanya Adek tahu ada sesuatu hal yang gak sesuai dengan rencana kita…”
Adi menghela napas panjang, ini lagi kan, muncul sifat perfeksionis kekasihnya itu. “Gara-gara itu? kenapa? Kamu takut pernikahan kita jadi gak seperti harapan kita? Memang apa yang gak sesuai rencana, Sayang?”
“Bang, budget kita kan buat pernikahan ini 100 juta rupiah, dan hampir setengahnya buat akomodasi keluarga kita yang ada di Jakarta… yang lainnya, gedung, undangan, souvenir, dan pakaian pernikahan habis sekitar 45 juta dan sisanya buat cattering… 20 juta Bang.” Rasuna menjelaskan sambil membaca apa yang ada di buku kecil itu.
“Terus? Abang gak dengar ada masalah dari semua itu. cattering katanya mau minta cattering-nya Mama dan tante kamu yang masakin…” Adi masih terdengar bingung, dan khawatir juga apa masalh sebenarnya.
“ITU MASALAHNYA BANG! 20 juta ini gak cukup!”
“Gak cukup? Dek, yang kita undang itu total 200 orang mentok. Gak mungkin gak cukup, kan waktu itu kita udah hitung bareng. Kamu ini gimana sih…” Adi yang masih mengantuk akhirnya meotot juga.
“Bang, kita hitung 20 juta ini waktu itu, bukan sekarang Bang! Sekarang ini, gak cukup. Kalau sampai sajiannya kurang, Bang, kita bisa malu.” Rasuna ngotot. “Pokoknya aku mau pernikahan kita ditunda Bang! Kita harus hitung ulang dulu budget-nya!”
“Budget buat apa sih, Dek? Masakan kita kan cuma masakan rumahan biasa kan? Rendang, Balado—..masakan yang modal santen sama cabe doank—bukan cordon bleu, steak, atau nachos!”
“Justru itu Bang! Abang, kita nih butuh tambahan budget 10 juta lagi! Apa Abang gak tahu waktu dulu kita rencanain budget ini waktu cabe Rp 30.000,- sekilo dan sekarang cabe itu harganya Rp 70.000,- Bang! Budget kita kurang! Aku mau pernikahan ini dibatalin aja, Bang! Batalin aja!”
Lalu Rasuna memutuskan sambungan teleponnya. Ia benar-benar bingung, sedih, dan kecewa. Rasuna menghela napas saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 00.12. Lewat tengah malam. Semua yang ia rencanakan dengan sempurna, kini berantakan sudah. Cuma gara-gara cabe.
***
From: Abang Adi (+628997956675)
05.30AM 10.01.11
Pagi Dek, abang kira kamu kenapa tadi malam. Besok Abang transfer kurangnya. Pokoknya tanggal 23 nanti kita tetep nikah, mau cabe harganya sejuta juga. kamu ni bikin abang jantungan aja! =))
***
http://kamukayakuya.tumblr.com/
Gadis itu bernama Rasuna, ya, diambil dari nama pahlawan HR Rasuna Said. Bukan karena orang tuanya mengagumi pahlawan wanita yang satu itu, tapi karena Rasuna terlahir di rumah sakit yang bertengger di jalan utama daerah Kuningan, Jakarta Selatan tersebut—Jalan HR Rasuna Said. Kini ia berusia 24 tahun, dan siap menikah. Segera menikah, justru, tanggal 23 Januari 2011.
Sebulan yang lalu, hatinya begitu mantap akan menikah, dengan lelaki pujaan hatinya yang berasal dari daerah yang sama dengannya. Namanya Adi, atau Adiansyah Nurfazlan untuk lengkapnya. Sebulan yang lalu, semua terasa begitu lancar dan perhitungan seakan mulus semua. Mulai dari persiapan undangan, baju pernikahan, dan menu-menu sajian nikahnnya nanti, yang akan diadakan dengan konsep pesta kebun yang tidak mengundang banyak orang, hanya 200 orang—maksimal. Konsep pernikahan ini tentusaja datang dari Rasuna, ia ingin pernikahan yang bernuansa putih hijau itu akan terasa sakral dan hangat, di tengah kesejukan Bukittinggi, kampung halamannya, lengkap dengan sajian yang sangat ‘masakan rumah’, meskipun Rasuna memang sudah tumbuh besar dan bekerja di Ibukota, di tempat ia bertemu dengan Adi.
Tapi kini tengah malam buta—hatinya malah bimbang. Sungguh bimbang.. dan berpikir suatu kekhawatiran yang teramat sangat. Ia menggenggam HP-nya dengan erat. Ia menimbang-nimbang, perlukah ia mengakui hal ini kepada Adi?
Ia tiba-tiba ragu untuk menikahi Adi dalam waktu dekat ini. Bukan,bukan karena ia tidak mencintai Adi. Sungguh, langit boleh terbelah menjadi tujuh, tapi ia tidak pernah bebrbohong kalau hatinya hanya untuk Adi. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba mengganjal pada hati dan pikirannya sekarang. Sebenarnya ia pasti akan terlalu bodoh kalau ia mundur, daripernikahan ini—toh undangan sudah disebar. Biaya akomodasi undangan sudah disebar pula. Pas sekali dengan budget, semuanya sempurna. Ya, karena Rasuna adalah orang yang sangat teliti perhitungan—tapi bukan pelit.
Rasuna resah, namun akhirnya ia langsung memberanikan diri untuk menelepon calon suaminya itu. “Halo, Bang Adi?”
“Rasuna.. ada apa telepon tengah malam begini, Dek?” Adek, adalah panggilan sayang Adi terhadap Rasuna.
“Bang, aku tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini…” Rasuna menguatkan diri untuk mengatakannya, pada akhirnya. Matanya menutup sebentar dan kemudian menyusuri meja di samping tempat tidurnya. Ada sebuah buku kecil berwarna pink di sana. Ia membukanya pelan sambil mendengar suara ‘HAAAAPAAAH?’ keras dari seberang telepon.
“Kenapa, Dek?? Abang lagi mimpi kan ini??”
“Ssh… Abang gak lagi mimpi kok. Dengar dulu Bang.” Rasuna berusaha menjaga grip abangnya yang kaget.
“Terus kenapa? Kok tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini? Undangan dah disebar, Dek. Jangan kecewakan semua orang. Atau Adek udah indak sayang lagi sama Abang??” Adi begitu panik dan emosi di sana, Rasuna jadi semakin serba salah. Ia membaca tulisan kecil berisi angka di buku kecil itu. ternyata itu wedding planner miliknya. Semua pernak-pernik perencanaan pernikahannya ia tulis di sana.
“Bukan gitu, Bang. Masalah sayang gak usah ditanya lagi deh, Bang. Malaikat juga tahu.” Rasuna memijit-mijit pelipisnya. “Adek ragu, Bang. Baru beberapa hari ini, kayanya Adek tahu ada sesuatu hal yang gak sesuai dengan rencana kita…”
Adi menghela napas panjang, ini lagi kan, muncul sifat perfeksionis kekasihnya itu. “Gara-gara itu? kenapa? Kamu takut pernikahan kita jadi gak seperti harapan kita? Memang apa yang gak sesuai rencana, Sayang?”
“Bang, budget kita kan buat pernikahan ini 100 juta rupiah, dan hampir setengahnya buat akomodasi keluarga kita yang ada di Jakarta… yang lainnya, gedung, undangan, souvenir, dan pakaian pernikahan habis sekitar 45 juta dan sisanya buat cattering… 20 juta Bang.” Rasuna menjelaskan sambil membaca apa yang ada di buku kecil itu.
“Terus? Abang gak dengar ada masalah dari semua itu. cattering katanya mau minta cattering-nya Mama dan tante kamu yang masakin…” Adi masih terdengar bingung, dan khawatir juga apa masalh sebenarnya.
“ITU MASALAHNYA BANG! 20 juta ini gak cukup!”
“Gak cukup? Dek, yang kita undang itu total 200 orang mentok. Gak mungkin gak cukup, kan waktu itu kita udah hitung bareng. Kamu ini gimana sih…” Adi yang masih mengantuk akhirnya meotot juga.
“Bang, kita hitung 20 juta ini waktu itu, bukan sekarang Bang! Sekarang ini, gak cukup. Kalau sampai sajiannya kurang, Bang, kita bisa malu.” Rasuna ngotot. “Pokoknya aku mau pernikahan kita ditunda Bang! Kita harus hitung ulang dulu budget-nya!”
“Budget buat apa sih, Dek? Masakan kita kan cuma masakan rumahan biasa kan? Rendang, Balado—..masakan yang modal santen sama cabe doank—bukan cordon bleu, steak, atau nachos!”
“Justru itu Bang! Abang, kita nih butuh tambahan budget 10 juta lagi! Apa Abang gak tahu waktu dulu kita rencanain budget ini waktu cabe Rp 30.000,- sekilo dan sekarang cabe itu harganya Rp 70.000,- Bang! Budget kita kurang! Aku mau pernikahan ini dibatalin aja, Bang! Batalin aja!”
Lalu Rasuna memutuskan sambungan teleponnya. Ia benar-benar bingung, sedih, dan kecewa. Rasuna menghela napas saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 00.12. Lewat tengah malam. Semua yang ia rencanakan dengan sempurna, kini berantakan sudah. Cuma gara-gara cabe.
***
From: Abang Adi (+628997956675)
05.30AM 10.01.11
Pagi Dek, abang kira kamu kenapa tadi malam. Besok Abang transfer kurangnya. Pokoknya tanggal 23 nanti kita tetep nikah, mau cabe harganya sejuta juga. kamu ni bikin abang jantungan aja! =))
***
Sarapan Pagi Tiara
Oleh: Citra Lestary Y (@citralestariy)
Akhirnya hari yang aku takutkan terjadi. Aku harus menghadapi pagi ini seorang diri, tanpa dia yang biasanya selalu menemaniku. Dia yang mulai menghilang beberapa minggu terakhir ini, dia yang sangat sulit aku temui, dia yang sudah jarang muncul di hadapanku. Padahal kehadiran kami selalu dinanti oleh Tiara, gadis mungil berumur 6 tahun.
Aku dan dia memang sudah bersahabat sejak lama. Dulu, kami tidak bisa dipisahkan. Dulu, kami selalu melengkapi satu sama lain. Dulu, orang selalu menyatukan kami. Dan dulu, kami bisa hidup dalam kesederhanaan.
Tapi sekarang kenyataan berkata lain. Mungkin bisa dikatakan bahwa sekarang dia ‘naik kasta’, karena saat ini dia tidak bisa lagi hidup di dalam keluarga yang sederhana. Memang bukan keinginannya untuk ‘naik kasta’, tapi apa mau dikata, memang itulah yang terjadi. Hanya di saat-saat tertentu saja aku bisa bertemu dengannya.
Mungkin hal itu dirasakan juga oleh Tiara yang sudah akrab dengannya selama beberapa bulan terakhir ini. Pagi itu Tiara merajuk kepada ibuya karena Tiara tahu bahwa dia tidak ada. Tiara tidak mau makan dan hanya diam saja di depan makanannya. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa terdiam melihat Tiara yang cemberut menatapku.
“Tiara ngga suka nasi goreng yang ini. Mau yang ada cabainya kayak kemarin biar pedes, jangan cuma pakai bawang aja, Bu.” rengeknya kepada ibunya.
Obrolan Miris Cabai Mengiris
Oleh:@maharaniezy
http://maharaniezy.tumblr.com/
Jeritan kokok si jantan bergerigi
memekik perih, lirih dalam runtuhan air
curahan isi hati
memeluk pagi, tapi tetap sembunyi
Bapak kurang tidur menjaga kebun cabai nak !
aroma ketiak-nya semerbak merebak
selangkangan-nya tersibak
sampai oral beriak
hati-nya tetap tegak
Karena harga Cabai mencekik pak !
hati, bengal jadi bidak
dalam kebun yang sepetak
kotak, kotak lalu kotak dan lagi kotak
Sungguh tiada rasional di otak
pilah-pilih dahulu
sana-sini ragu jangan malu-malu !
atau hitam tutupi kalbu
Apakah itu memang mau mu ?
Sunyi kemudian memaras..
Ah, aku malu..
hingga bulan bertamu
kau pun jemu
kemudian, kau adalah abu
lalu menjadi abu-abu
Terik tawarkan seikat cabai Berlamur di kulit kendur berkarat
Tangan berurat, lidah terlipat..
Hati mulai menggeliat,
aku lihat dosa-dosa disunat, peluh-peluh disulap..
Lalu, mata mengabur, berharap mabrur
Kaki menggayuti pedal reot, kuku-kuku mencuat, lutut memeot..
Sendal putus, rantai mengurus, kaki jauh dari mulus..
Tiga tetes air jatuh,
Dari liur,
Dari dahi,
Dari mata..
Rebut mengucur, hati sedikit hancur..
Lihat cabai teronggok dan berjamur........
Ya Tuhaannnnn !!!!
http://maharaniezy.tumblr.com/
Jeritan kokok si jantan bergerigi
memekik perih, lirih dalam runtuhan air
curahan isi hati
memeluk pagi, tapi tetap sembunyi
Bapak kurang tidur menjaga kebun cabai nak !
aroma ketiak-nya semerbak merebak
selangkangan-nya tersibak
sampai oral beriak
hati-nya tetap tegak
Karena harga Cabai mencekik pak !
hati, bengal jadi bidak
dalam kebun yang sepetak
kotak, kotak lalu kotak dan lagi kotak
Sungguh tiada rasional di otak
pilah-pilih dahulu
sana-sini ragu jangan malu-malu !
atau hitam tutupi kalbu
Apakah itu memang mau mu ?
Sunyi kemudian memaras..
Ah, aku malu..
hingga bulan bertamu
kau pun jemu
kemudian, kau adalah abu
lalu menjadi abu-abu
Terik tawarkan seikat cabai Berlamur di kulit kendur berkarat
Tangan berurat, lidah terlipat..
Hati mulai menggeliat,
aku lihat dosa-dosa disunat, peluh-peluh disulap..
Lalu, mata mengabur, berharap mabrur
Kaki menggayuti pedal reot, kuku-kuku mencuat, lutut memeot..
Sendal putus, rantai mengurus, kaki jauh dari mulus..
Tiga tetes air jatuh,
Dari liur,
Dari dahi,
Dari mata..
Rebut mengucur, hati sedikit hancur..
Lihat cabai teronggok dan berjamur........
Ya Tuhaannnnn !!!!
Nasihat Pedas
Oleh M. B. W (@bangkitholmes)
Dulu ayahku selalu mengagung-agungkan idealisme. Betapa nilai seseorang ditentukan dari seleranya. Pandangannya ini tertancap sudah cukup lama di kepalanya. Baginya idealisme merupakan harta yang tak ternilai. Nilai kehidupan itu sendiri tergantung dari seberapa kuat dia mempertahankan pandangan idealisnya itu.
“Idealisme tidak bisa dibeli nak, dengan dollar manapun tidak akan bisa.” Nasihat itu sudah dikatakannya berulang-ulang kepadaku.
Aku tidak akan mempermasalahkan sifatnya itu kalau saja tidak mengganggu orang lain. Bayangkan saja, ia sering berebut channel tv denganku, padahal dia sendiri punya televisi di kamarnya.
“Janganlah kau tonton band-band komersil itu, dengarlah yang lebih berkelas!”
Itu baru soal musik, soal tanaman ia lebih vokal lagi. Pernah suatu hari aku pulang membawa batang kembang sepatu dan berniat menancapkannya di taman depan rumah. Ketika memasang ancang-ancang hendak menancapkan batang ini ke tanah. Ayah tiba-tiba bertepuk-tepuk memanggilku dari pintu. Terpaksa kutunda dan menghampirinya.
“Hei nak, jangan kau kotori tamanku dengan tanaman murahan itu. Coba cari tanaman yang lebih unik, lebih eksklusif!”
Unik? Eksklusif? Sampai sekarang masih belum kumengerti makna dua kata tersebut dalam kamus ayah. Taman ini memang hijau dan lumayan luas, harta paling berharga bagi ayah selama ini. Potongan rumput yang bulat-bulat, bunga-bunga kecil-kecil yang tak kuketahui namanya. Memang indah, aku sudah cuku mengerti definisi kata “indah”, tapi bagaimana dengan unik, ekslusif? Apalah pengaruhnya kalau kutambahkan kembang sepatu? Bukannya akan tambah indah?
Soal makanan ia juga cukup kritis. Ibuku sering diceramahi soal makanan yang menurut versinya “kurang ini” atau “kurang itu”. Tapi kalo soal pedas baginya tidak ada kata “kepedasan”. Jangan sekali-kali melakukan “Huh-hah” ketika makan di depannya. Kalau itu terjadi maka nasihatnya akan berbunyi seperti ini,” Janganlah kau mengaku laki-laki, menangis cuma gara-gara cabe!”
Keadaan berubah beberapa minggu yang lalu ketika ayahku sedang menyaksikan acara berita “berkelas”nya.
“Harga cabe menembus angka seratus ribu rupiah per kilonya, pemerintah menghimbau agar…”
Mendengar berita itu ayah kebingungan, hari-hari terpaksa dilewatinya tanpa kehadiran sambel korek kesukaannya di atas meja makan. Aku senyum-senyum saja melihat tingkahnya di meja makan, matanya seperti mencari-cari sesuatu yang hilang.
Keesokan harinya, ketika aku baru pulang dari kampus kudapati keanehan yang sangat tidak biasa. Ayah telah membabat habis semua tanaman kesayangannya di taman kebanggaannya.
“Kenapa ayah membabat taman ini?”
“Kau tahu nak, untuk menuju tingkatan idealisme yang lebih tinggi, kau haruslah mengorbankan idealisme yang lain”
“Jadi untuk apa ayah, membabat semua tanaman ini?”
Seakan tidak rela ditariknya nafas panjang-panjang, ia menjawab,” untuk menanam cabe…”
Mana berani aku tertawa di depannya, Sejak hari itu aku menyimpulkan kalau idealisme memang tidak bisa dibeli dengan dollar, tapi bisa ditukar dengan cabe.
Dulu ayahku selalu mengagung-agungkan idealisme. Betapa nilai seseorang ditentukan dari seleranya. Pandangannya ini tertancap sudah cukup lama di kepalanya. Baginya idealisme merupakan harta yang tak ternilai. Nilai kehidupan itu sendiri tergantung dari seberapa kuat dia mempertahankan pandangan idealisnya itu.
“Idealisme tidak bisa dibeli nak, dengan dollar manapun tidak akan bisa.” Nasihat itu sudah dikatakannya berulang-ulang kepadaku.
Aku tidak akan mempermasalahkan sifatnya itu kalau saja tidak mengganggu orang lain. Bayangkan saja, ia sering berebut channel tv denganku, padahal dia sendiri punya televisi di kamarnya.
“Janganlah kau tonton band-band komersil itu, dengarlah yang lebih berkelas!”
Itu baru soal musik, soal tanaman ia lebih vokal lagi. Pernah suatu hari aku pulang membawa batang kembang sepatu dan berniat menancapkannya di taman depan rumah. Ketika memasang ancang-ancang hendak menancapkan batang ini ke tanah. Ayah tiba-tiba bertepuk-tepuk memanggilku dari pintu. Terpaksa kutunda dan menghampirinya.
“Hei nak, jangan kau kotori tamanku dengan tanaman murahan itu. Coba cari tanaman yang lebih unik, lebih eksklusif!”
Unik? Eksklusif? Sampai sekarang masih belum kumengerti makna dua kata tersebut dalam kamus ayah. Taman ini memang hijau dan lumayan luas, harta paling berharga bagi ayah selama ini. Potongan rumput yang bulat-bulat, bunga-bunga kecil-kecil yang tak kuketahui namanya. Memang indah, aku sudah cuku mengerti definisi kata “indah”, tapi bagaimana dengan unik, ekslusif? Apalah pengaruhnya kalau kutambahkan kembang sepatu? Bukannya akan tambah indah?
Soal makanan ia juga cukup kritis. Ibuku sering diceramahi soal makanan yang menurut versinya “kurang ini” atau “kurang itu”. Tapi kalo soal pedas baginya tidak ada kata “kepedasan”. Jangan sekali-kali melakukan “Huh-hah” ketika makan di depannya. Kalau itu terjadi maka nasihatnya akan berbunyi seperti ini,” Janganlah kau mengaku laki-laki, menangis cuma gara-gara cabe!”
Keadaan berubah beberapa minggu yang lalu ketika ayahku sedang menyaksikan acara berita “berkelas”nya.
“Harga cabe menembus angka seratus ribu rupiah per kilonya, pemerintah menghimbau agar…”
Mendengar berita itu ayah kebingungan, hari-hari terpaksa dilewatinya tanpa kehadiran sambel korek kesukaannya di atas meja makan. Aku senyum-senyum saja melihat tingkahnya di meja makan, matanya seperti mencari-cari sesuatu yang hilang.
Keesokan harinya, ketika aku baru pulang dari kampus kudapati keanehan yang sangat tidak biasa. Ayah telah membabat habis semua tanaman kesayangannya di taman kebanggaannya.
“Kenapa ayah membabat taman ini?”
“Kau tahu nak, untuk menuju tingkatan idealisme yang lebih tinggi, kau haruslah mengorbankan idealisme yang lain”
“Jadi untuk apa ayah, membabat semua tanaman ini?”
Seakan tidak rela ditariknya nafas panjang-panjang, ia menjawab,” untuk menanam cabe…”
Mana berani aku tertawa di depannya, Sejak hari itu aku menyimpulkan kalau idealisme memang tidak bisa dibeli dengan dollar, tapi bisa ditukar dengan cabe.
Curahan Hati Mbok Galak
Oleh: Faizal Egi (@faizalegi)
http://itsjustsomething.tumblr.com/
Mengolahmu adalah keahlianku, bahkan aku mendapatkan “nama”-ku karenamu. Iya! Aku disebut “Mbok Galak” bukan karena mulutku bringasan atau tatapan mataku yang membuat orang yang memandangnya langsung mengkerut, bukan...bukan...! Aku bahkan jauh dari kesan itu, karena aku adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Namun aku dijuluki “Mbok Galak” oleh para pelangganku karena mereka beranggapan aku dapat mengeksplor ke-“galak”-an sekaligus kenikmatanmu dengan baik. Tentu itu suatu pujian bagiku.
Aku hidup darimu, 2 anakku berhasil kubiayai hingga mereka bisa hidup mandiri. Meskipun hanya bisa menyekolahkan mereka hingga tingkat sekolah menengah, namun aku bangga dengan semua itu.
Kau mempunyai andil besar bagiku dan bagi suamiku dalam membangun keluarga bahagia ini. Dulunya, kami hanyalah sepasang pekerja serabutan yang nasibnya tak tentu diombang – ambingkan nasib dan keberuntungan. Namun, sejak aku memutuskan untuk menjadikanmu sandaran hidup kami, kami merasa hidup kami menjadi semakin baik. Sebegitu besarlah artimu untukku dan keluargaku.
Kini, entah kau marah kepada siapa. Kau tidak lagi bermurah hati memberikan hasil terbaikmu. Jangankan untuk mengolahmu, untuk sekedar membelaimu pun susah.
Ohh cabai, kembalilah seperti dulu. Tersenyum ceria menunjukkan rona merahmu kepada kami yang mengagumimu...
http://itsjustsomething.tumblr.com/
Mengolahmu adalah keahlianku, bahkan aku mendapatkan “nama”-ku karenamu. Iya! Aku disebut “Mbok Galak” bukan karena mulutku bringasan atau tatapan mataku yang membuat orang yang memandangnya langsung mengkerut, bukan...bukan...! Aku bahkan jauh dari kesan itu, karena aku adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Namun aku dijuluki “Mbok Galak” oleh para pelangganku karena mereka beranggapan aku dapat mengeksplor ke-“galak”-an sekaligus kenikmatanmu dengan baik. Tentu itu suatu pujian bagiku.
Aku hidup darimu, 2 anakku berhasil kubiayai hingga mereka bisa hidup mandiri. Meskipun hanya bisa menyekolahkan mereka hingga tingkat sekolah menengah, namun aku bangga dengan semua itu.
Kau mempunyai andil besar bagiku dan bagi suamiku dalam membangun keluarga bahagia ini. Dulunya, kami hanyalah sepasang pekerja serabutan yang nasibnya tak tentu diombang – ambingkan nasib dan keberuntungan. Namun, sejak aku memutuskan untuk menjadikanmu sandaran hidup kami, kami merasa hidup kami menjadi semakin baik. Sebegitu besarlah artimu untukku dan keluargaku.
Kini, entah kau marah kepada siapa. Kau tidak lagi bermurah hati memberikan hasil terbaikmu. Jangankan untuk mengolahmu, untuk sekedar membelaimu pun susah.
Ohh cabai, kembalilah seperti dulu. Tersenyum ceria menunjukkan rona merahmu kepada kami yang mengagumimu...
Tanpamu Hidupku Galau
Oleh: Danis Syamra (@danissyamra)
Hadirmu warnai duniaku dan membuat tubuhku bergetar dan berkeringat saat menikmatimu
Ribuan kecewa saat kau tak lagi ku jangkau
Dirimu terbang melangit dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berada
Kau bagai candu bagiku
Berhari-hari tanpamu membuatku gelisah dan galau
Hadirmu seperti oksigen yang selalu kubutuhkan
Cepatlah membumi sayangku, agar aku dapat menjangkaumu kembali
Agar aku dapat menikmatimu lagi
Denganmu hidup ini begitu nikmat
Tanpamu hidupku menjadi galau, wahai Cabaiku..
Hadirmu warnai duniaku dan membuat tubuhku bergetar dan berkeringat saat menikmatimu
Ribuan kecewa saat kau tak lagi ku jangkau
Dirimu terbang melangit dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berada
Kau bagai candu bagiku
Berhari-hari tanpamu membuatku gelisah dan galau
Hadirmu seperti oksigen yang selalu kubutuhkan
Cepatlah membumi sayangku, agar aku dapat menjangkaumu kembali
Agar aku dapat menikmatimu lagi
Denganmu hidup ini begitu nikmat
Tanpamu hidupku menjadi galau, wahai Cabaiku..
Langganan:
Postingan (Atom)