Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 22 Desember 2011

NAK, KAMI PULANG

Bety Oktarina
Twitter @I_am_BOA

Kuikuti dia dari belakang, langkahnya semakin cepat. Aku sampai harus melayang untuk menandinginya. “Ibu, ibu!” nafasku terengah. Ia tidak menoleh. Untuk kali ini ia mengabaikanku. Matanya nyalang tertuju pada persimpangan di ujung jalan. Ah, selalu tempat itu, pikirku. Selalu, selama hampir 40 hari ini istriku menghabiskan waktu di sana. Dan kembali ke rumah menjelang kumandang adzan Maghrib. Setelah memakan waktu yang lama bagi aku untuk membujuknya. “Pulanglah, kami sudah menyiapkan peraduan yang indah untukmu,” pintaku. “Nanti saja,” gumamnya pelan. “Biarkan kutenangkan hatiku dulu,” selalu itu jawabnya. Dan selang tiga puluh menit kemudian, ketika semburat ungu bercampur jingga di langit semakin pudar, ia akan pulang dengan langkah gontai. Diiringi diriku di belakang menjaga tubuhnya agar tidak terjerembab ke tanah. Namun hari ini, sulit sekali bagiku untuk bisa membaca raut wajahnya. Istriku yang biasanya lembut nampak sekali berbeda. Campuran ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan harapan bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di benaknya.


Istriku menjadi budak bagi keluarga semenjak ia menyerahkan sisa hidup pada dua lelaki yang dititipkan Tuhan padanya. Sebenarnya meski wanita desa, ia bisa menjadi apa saja. Tapi ia memilih aku, dan anak lelaki kecil kami. “Akan kupastikan kau hidup dengan cukup layak,” aku menjamin. Kami bahagia, sampai si lelaki kecil mendekati masa dewasa. Si lelaki kecil telah menolak segala latar belakangnya. Ambisinya yang begitu besar telah membutakan. Meski ia meyakini kami sebagai istriku sebagai ibu terhebat di kampungnya, namun ia mengimani bahwa ibu kota adalah kebahagiaan sejatinya. Saat si lelaki kecil membuatkan tekadnya untuk pergi, prahara itu tak terelakkan. “Aku punya hak untuk keluar!” teriaknya. Dan peristiwa menghilangnya si lelaki kecil tetap menjadi misteri semenjak dua puluh tahun lalu. Istriku tetap meyakini, suatu hari tanpa terduga lelaki kecil akan kembali. Tapi tidak. Dia tidak pernah kembali, dan bagiku ia telah kuanggap mati. Semenjak itu hampir setiap hari istriku menangis. “Apa salahku? Apa aku tak cukup baik menjadi ibu?” Lelaki kecil itu adalah hidup, harapan, kebahagiaan, dan mimpi indahnya. Bagi istriku, ia adalah mahluk tercantik di bumi Tuhan. Namun, dalam diri anakku ia adalah kawat berduri yang menghalangi kebebasannya.

Kembali rutinitas itu terulang lagi. Hal yang baru aku ketahui dalam empat puluh hari ini. "Oh, di mana anak kita, Pak?” ia kembali bertanya lirih. Aku menatapnya nanar. “Apakah ia masih marah padaku? Aku selalu memikirkan dan memimpikannya,” ia menitikkan air mata. Dengan hati-hati aku memberitahu perasaanku pada istriku. “Tidak. Ia telah gila di dunianya sendiri. Sudahlah.” Namun seketika binar kemarahan bercampur kesedihan mencuat keluar dari matanya. Ia tetap tak terima mahluk terindahnya diabaikan. Oh, aku bisa tahan terhadap apa pun kecuali melihat ia marah atau sedih.


Karena ekspresi marahnya itu, kembali aku merasakan ketakutan timbul perlahan. Perasaan getir bahwa mungkin saja istriku kembali menolak ajakanku untuk pulang. Ternyata bayangan berbahaya anakku masih menari-nari di sudut dunianya yang sesak. Ini kesempatan terakhirnya. Apakah hari ini tetap bernasib sama dengan hari kemarin? Aku sungguh tak tahan melihat tubuh ringkihnya. Persimpangan itu, dan kenangan masa lalu yang menyakitkan, adalah satu-satunya yang menjadi tembok pemisah antara kami berdua.


Aku mulai mencuri pandang ke wajah istriku, mengumpulkan kebulatan hati. Akhirnya aku berhasil bicara. “Bu, Ibu masih punya aku. Kita akan mulai kembali seperti dulu di tempat yang baru. Saat hanya ada kita berdua, dan harapan.” “Mengapa? Apakah kau takut tinggal sendiri? Bukankah akan lebih sempurna jika kita bertiga?” rintihnya. “Aku harus bertemu dia. Apakah dia bahagia? Siapa yang merawatnya? Aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang sampai aku tahu. Lelaki kecilku.”


Aku menyentuh pipinya. Sesuatu yang sudah lama tak bisa aku lakukan. “Sudahlah, Bu. Ini sudah senja. Kita tak bisa di sini lagi. Jangan menunggu apa yang tidak mungkin terjadi. Marilah ikut denganku. Kita pulang,“ bujukku dengan harap yang membuncah. Pada saat ini, aku melihat tembok pertahanannya runtuh. Ia menoleh dengan tatapan sendu. Air matanya telah kering. Saat ini, keriput di wajahnya yang ayu tampak semakin mempesona. “Tanganmu, Pak,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengulurkan tangan dan menggenggamnya. Sore itu, jalanan dipenuhi oleh aroma wewangian dari tubuh kami yang perlahan melayang. Ketika istriku memutuskan ikut

Ternyata Dia.....

Oleh: Hana Arintya

Kuikuti dia dari belakang langkahnya makin cepat. Kenapa dia sepertinya buru-buru sekali ya? Ada apa gerangan dengannya?
“Marya!” seru seorang teman dekatku. “Hey! Dirimu tuh ya dicariin. Ayo pulang!”
Ya sudahlah ya mungkin aku harus menyerah akan sosok itu. Pangeran yang menjadi pujaanku.
“Iya ayo.”
XXXXX
Sesosok cowok keren dengan headset ada gambar apelnya terpasang di telinganya dan sebuah apel di tangan kanannya berjalan di hadapanku dengan posisi agak jauh. Tarik napas dalam-dalam hembuskan secara perlahan sumpahlah udah kayak instruktur senam pernapasan. Nggak tau kenapa gayanya asyik aja diliat dimata aku. Disaat ada juga yg lain ditangan tuh bertengger puntung rokok lha ini malah apel kayaknya dia cocok buat jadi duta buah.
Hal lain yang menyita perhatianku istirahat siang pun pilihan makanannya (lagi-lagi) apel. H mm ada berapa banyak sih persediaan apelnya. Apa kenyang gitu ya apelnya? Apa dia lagi diet? Mungkin dia vegetarian? Tapi nggak berarti segitunya juga Cuma mengkonsumsi apel kan ya? Benar-benar membingungkan.
“Pasti ngeliatin pangeran pujaanmu itu. Si Mr Apple.”
“Kok tau?”
“Gimana mau nggak tau kalo kamu segitu kebacanya.”
“Dasar jahat.
XXXXX
Bisa ga sih sehat tanpa pake acara minum obat. Jujur aja sebenarnya aku udah jenuh dengan rutinitas minum obat yang harus aku jalanin. Tapi kalau aku membandel nggak minum obat dan berdiam diri di rumah sakit lebih nggak asyik lagi. Heran padahal obat sudah kuminum tapi aku rasakan diri ini melemas. Ya Tuhan padahal kan aku belum mengenalnya lebih dekat sosok pangeran apelku.
Dari kejauhan ku rasakan derap langkah suara sesuatu. Apakah itu manusia biasa? Tapi terasa tampaknya bukan demikian. Dan ketika sosok itu mendekatiku kurasakan Sesosok makhluk yang secara sekilas ku kenali sebagai sosok pangeran apel idolaku wajah itu mengayunkan sebuah sabit besar yang terrantai ditangan kirinya detik terakhir sebelum kesadaranku lumpuh total kudengar suaranya menikmati apel.

Minggu, 18 Desember 2011

Pemberontak

oleh: Michan

Pemberontak

Beberapa orang mengakhiri kisahnya dengan tanda titik. Sisanya memilih tanda yang mereka inginkan sendiri atau bahkan tidak tahu harus mengakhiri dengan apa. Beberapa orang pula mengawali kisah mereka dengan huruf kapital. Sisanya memilih dengan sesuatu yang mereka inginkan sendiri atau bahkan tidak tahu harus memulai dengan apa.

Apakah hidup seperti cerita yang di tumpahkan dalam huruf-huruf alphabet? Seperti yang biasa mereka lakukan. Memulai dengan huruf kapital dan mengakhiri dengan tanda titik atau tanda tanya atau tanda seru. Seperti yang biasa mereka lakukan? Menggiring tiap ide cerita dari Tuhan untuk dicetak dalam bentuk paragraf. Apakah hidup harus terperinci, runtut, dan menarik? Seperti yang biasa mereka pikirkan.

Sekarang banyak orang yang mengaku mereka tak biasa. Jika definisi biasa itu adalah seperti kebanyakan orang, maka jadilah tak biasa itu biasa dan biasa itu tak biasa. Sayangnya kebanyakan biasa dan tak biasa itu masih takut akan nilai dari kebanyakan orang. Tetapi juga ada orang yang tak peduli dengan kata biasa, mereka hanya melaju dengan kecepatan dan arah seperti yang mereka inginkan, benar-benar tidak mengikuti arus. Itulah ketidakbiasaan sesungguhnya.

Terkadang orang-orang yang tidak peduli dengan nilai orang lain itu disebut pemberontak. Dan mereka benar-benar tidak peduli dengan sebutan itu. Mereka memang melawan arus, tetapi mereka masih berada di jalan yang benar. Mereka hanya memilih untuk mengawali, mengakhiri, dan memilih alur mereka tidak dengan huruf kapital, tanda titik, tanda seru dan apapun yang biasa dilakukan orang kebanyakan. Selama para pemberontak itu masih di jalan yang benar, kisah hidup yang mereka tuliskan dengan cara yang mereka inginkan itu masih sempurna.

Titik Bagi Aku dan Kamu

Oleh: Astari Indahingtyas (@astarindah)
astarindah.tumblr.com


Beberapa orang mengakhiri kisahnya dengan tanda titik.
Kemudian berharap akan sebuah awal yang cantik.



Benarkah semudah itu semua berakhir?
Apakah aku dan kamu hanya dua buah kalimat?
Kalimat tunggal yang utuh dan sendiri pun sudah bermakna?



Andaikan kita memang sebuah kalimat tunggal,
Tak pernahkah kamu berharap kelak kita menjadi kalimat majemuk sekali lagi?



Satu per satu kata kurangkai,
Tak jarang kuulang,
Agar kalimatku terbaca indah olehmu.



Saat pertama aku membaca kamu,
Aku menangkap makna tersirat.
Yang cukup membuatku terjerat
Karena ada secercah harap untuk kisah baru tentang kamu dan aku.



Tak sedikit penulis yang berhenti di tengah
Berpikir mengenai kelanjutan kisahnya
Dimana pasti selalu ada konflik,
Namun ia tak pernah menyerah.



Tapi sepertinya itu bukan kamu.
Kamu memilih untuk menyudahi kalimat demi kalimat yang sudah kita tulis bersama
Hanya karena satu kata, yaitu AGAMA.
Bagimu penyelesaiannya hanyalah sebuah tanda titik pada hubungan kita.



Sakit kurasa saat semua ini berakhir,
Aku berharap kita bersama dapat menulis sebuah cerita.
Cerita dengan akhir bahagia
Sampai maut yang memisahkan kita.



Namun aku tak akan berhenti pada titik
Karena aku tahu, aku selalu bisa menulis kalimat baru.
Walau tanpa kamu.

Titik.

Oleh @nadiaakarima
http://www.essenceofaheart.wordpress.com





Beberapa orang mengakhiri kisahnya dengan tanda titik.

Tetapi dia bukan bagian dari beberapa orang.

~”~

Sore itu bukan selayaknya mega senja biasa. Lembayung belum lagi turun meyapa cakrawala ketika pasukan kelabu datang menyerbu, berdesakan menangis bersama. Dengan begitu, sudahlah barang pasti anak-anak bintang tidak akan keluar dan bermain bersama sang ratu malam, apa lagi jika dihitung-hitung malam ini seharusnya bulan sudah purnama sempurna. Seharusnya malam ini bulan bersinar cerah, dengan semu yang hidup.
Sesosok entitas duduk di teras, memeluk kedua lututnya sendiri. Mungkin gadis itu kedinginan. Mungkin dia kesepian. Atau dia hanya sedang melamun. Nampak pandangan matanya yang nanar tanpa tujuan yang terfokus, sebuah tanda mutlak bahwa ia sedang melamun. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam kepalanya.
Angin dingin berhembus lagi, membuat amukan hujan badai di luar semakin hebat saja. Namun perempuan itu tetap bergeming di tempatnya. Tidak memperdulikan pakaiannya yang ala kadarnya dengan kaus putih tipis dan celana selutut yang tak kalah tipisnya, tentu saja tidak bisa melindungi tubuh nan rapuh itu dari sengatan dingin. Berkali-kali angin membawa butir hujan ke pipinya, menampar kulit pualam itu dengan gencar. Tapi tetap saja tak terlihat bergeming gadis itu. Justru tambah erat kuncian lengannya pada kedua lututnya sendiri.bahunya yang mungil tampak seolah boneka, kaku. Inelastisitas dari gestur serta mimik wajah sosok perempuan di teras itu membuatnya nampak nyaris serupa boneka pajangan.
Secangkir teh hadir di hadapannya semenjak lama, namun tak seujung jaripun ia sentuh. Tak lama hangatnya pun sirna dikejar angin, digantikan oleh dingin yang menyelusup hingga ke dasar cangkir porselen itu.
Mungkin hangat itu telah lama sirna, dia tidak tahu.
Sepasang lensa sempurna mengamati setiap kebekuan perempuan di teras yang beku sore itu. Meskipun tidak ada sepasang mata yang menatap balik kepadanya, pemuda itu tidak peduli. Lensanya terus menerus merekam detik-detik beku yang berjalan lambat, seolah enggan berjalan.
Pemuda itu menahan nafasnya. Hampir waktunya.
“Suatu hari nanti…aku ingin mengakhiri semuanya dengan tanda titik.”
Saatnya.
Tubuh rapuh yang mulanya kaku itu limbung, dipapah oleh figur kokoh kursi berlengan favorit gadis itu. Bersamaan dengan sirnanya sinar kehidupan di matanya yang, walaupun lemah namun berpijar, secangkir teh di hadapannya juga sempurna kehilangan hangatnya. Baik cangkir porselen itu maupun selongsong jiwa kosong yang berbentuk tubuh perempuan di hadapannya telah kehilangan jiwanya masing-masing.
Tapi pemuda itu bergeming pula di tempatnya. Menyaksikan akhir dari gadis yang beku itu sudah ia perkirakan jauh sebelumnya. Beruntai kalimat mengenai peristiwa yang ia tahu akan datang kepadanya disampaikan sebaik-baik kalimat oleh gadis itu. Percuma membantah gadis itu.

~”~

Beberapa orang mengakhiri kisahnya dengan tanda titik.
Beberapa lainnya mengakhiri kehidupannya dengan tanda titik.

Di Balik Tanda Baca.

Oleh: Amariys (@amari_ys)


Beberapa orang mengakhiri kisahnya dengan tanda titik. Entah mengapa. Mungkin karena tanda titik memang menunjukan akhir dari suatu kalimat. Akhir dari apapun. Tanda titik berarti kita harus berhenti. Kemudian, melanjutkan membaca ke bagian kedua atau berikutnya. Lucu, menurutku. Kalau seandainya kita masih dapat melanjutkan kisah dengan membaca bagian berikutnya, bukankah berarti tanda titik tidak diperlukan? Mengapa mereka tidak menggunakan tanda elipsis (...) saja, untuk menunjukkan bahwa, hey, cerita ini masih berlanjut!
Mungkin karena elipsis jarang digunakan atau justru karena tanda baca ini sering digunakan untuk menunjukkan kebingungan. Mana mungkin ada pengisah yang mau mengakhiri ceritanya dengan tanda yang seolah menunjukkan bahwa mereka tak bisa menemukan akhir yang tepat untuk kisah mereka sendiri, ‘kan?
Hm. Coba lihat di sana! Paragraf sebelumnya diakhiri dengan menggunakan tanda tanya dan bukannya titik! Suatu kemajuan. Mungkin ini berarti akan ada lebih banyak kisah-kisah yang diakhiri tidak dengan tanda titik. Karena, sungguh, menurutku pribadi, tanda titik itu membosankan. Ia menjemukan. Maksudku, jika kau bertemu tanda titik, kau sudah tak dapat melakukan apa-apa lagi. Tanda itu seolah menjadi konklusi mutlak. Saklek. Begitulah seharusnya dan tak boleh lagi ada kemungkinan-kemungkinan lain yang muncul selain apa yang diberikan oleh sang dalang cerita. Menjemukan sekali. Lebih baik menggunakan tanda tanya. Dengan begitu, para pembaca akan tergugah untuk memikirkan ribuan kemungkinan yang dapat menjadi akhir dari suatu cerita. Bukankah akan lebih menarik seperti itu? Tapi ... lagi-lagi, mungkin memang tidak ada pengisah yang ingin terlihat bodoh. Terlihat seolah mereka tak dapat mengikat seluruh benang-benang kejadian yang mereka sendiri jalin dan pilin dengan hati-hati, sehingga mereka hampir selalu—untuk tidak menyebutkan selalu, karena tak ada orang yang mungkin bisa membaca semua buku yang ada di dunia untuk membuktikan teori ini—menyelesaikan kisah mereka dengan tanda titik.
Jadi, jika elipsis dan tanda tanya tak dapat digunakan karena akan menunjukkan kebodohan pengisah yang pongah, bagaimana jika menggunakan tanda seru? Ya, tanda seru! Bukankah tanda itu juga bisa digunakan sebagai tanda berhenti? Lagipula, tanda seru jauh lebih menarik dari tanda titik! Coba saja! Setiap kali kau melihat tanda seru, pasti di dalam hatimu timbul suatu sentakan, suatu keinginan untuk meninggikan suaramu saat membaca. Ya, tanda seru memiliki energi yang lebih besar daripada tanda titik! Tanda seru menunjukkan suatu perintah, suatu epiphany—saat di mana seseorang menyadari sesuatu dan, seolah, mendapatkan pencerahan. Bukankah tanda seru jauh lebih mengagumkan daripada tanda titik yang membosankan? Kenapa tak juga ia dapat menyaingi popularitas tanda titik sebagai Tanda-Baca-Yang-Paling-Banyak-Digunakan-Di-Akhir-Cerita? Sungguh, kebanyakan pengarang hanyalah orang-orang kaku yang mencoba untuk menjadi kreatif.
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya membahas hal ini lagi. Toh, tak akan ada yang berubah. Sebagian besar penulis kisah akan tetap setia kepada si tanda titik yang menjemukan. Tak pernah mencoba memanfaatkan tanda baca lainnya yang, sebetulnya, mengantri menunggu giliran mereka digunakan. Terkadang, aku bertanya-tanya, apa mungkin para penulis kisah mengakhiri rangkaian kata mereka dengan tanda titik hanya karena penggunaannyalah yang paling mudah untuk dipahami? Semua orang tahu bahwa tanda titik mutlak diletakkan di akhir kalimat. Penutup. Karena itu mereka terbuai oleh kebiasaan dan tak mencoba melakukan hal yang baru. Mereka hanya menjadi pengikut, seperti domba-domba tak berotak yang hanya bergerak ke mana sang penggembala membawa mereka.
Ya, seperti penciptaku. Ia juga selalu mengakhiri kisah-kisahnya dengan tanda titik. Rasanya, tak ada satu pun dari kakak-kakakku yang memiliki tanda baca lain di akhir halaman mereka. Penciptaku itu memang kaku. Orang bodoh yang mencoba pintar—atau terlihat pintar—dengan merangkai kata-kata sulit. Ha! Padahal, sejatinya, ia tak memiliki kreativitas yang besar. Jika ada satu hal yang bisa dibanggakan darinya, mungkin hanyalah kebodohannya yang tak menyadari betapa bodohnya ia. Karena itu ia terus dan terus menulis. Melahirkan aku dan saudara-saudaraku. Tak memedulikan kenyataan bahwa tak ada satu orang pun yang bahkan rela meninggalkan sekadar pemberitahuan bahwa mereka telah membaca tulisan-tulisannya.
Kali ini pun tak berbeda. Ia mencoba menciptakan—menulis—aku. Menggunakan kata-kata terbatas karena ia tak memiliki pengetahuan luas mengenai diksi. Tanpa suatu plot kuat yang dapat menghisap pembaca masuk ke dunianya. Miris rasanya menyadari bahwa aku pun hanya akan berakhir seperti kakak-kakakku, tersimpan di dalam folder document-nya dan tak pernah ditunjukkan kepada siapa pun yang mungkin akan bisa menghargai kami.
Dasar pencipta tak berguna! Sayang sekali aku tak bisa memprotes penciptaku yang bodoh dan kaku itu.
Mau bertaruh kalau ia akan mengakhiri kisahku dengan tanda titik yang membosankan lagi?

Jumat, 16 Desember 2011

Sekelam Pagi Meracik Fantasi


Oleh: Dini Afiandri

            “Lihat dengan jelas dengan kedua matamu sendiri, barulah engkau bisa percaya itulah jalan yang harus kau susuri. Bukan dengan mata batinmu, Dini, apalagi dengan imajinasi ataupun mimpi. Before realizing somebody, you have to knew it!”

            Rahasia tersembunyi kerap kali mencabik pikiran dengan kelebatan kata yang tak jelas, namun kali ini, kata-kata Guru Sepuhku itu menamparku dengan keras hingga terjaga di jam segini. Kutolehkan kepalaku yang bersimbah peluh dengan ketakutan. Jam bahkan belum menunjukkan setengah lima. Kata orang, mimpi pagi-pagi buta adalah peringatan.

           Peringatan apa?  Jantungku berkecamuk ketika dengan gemetar aku menuangkan krim ke dalam teh hangat pertamaku pagi itu. Sungguh tak keruan rasanya ulu hatiku. Semoga secangkir teh kental ini bisa menenangkan lambungku. Untunglah Darjeeling masih ada, dan terutama, Earl Grey di persediaanku juga sudah dihabiskan Wisnu kemarin petang. Saat begini, kok aku malah menguatirkan aroma serta jenis tehku, sih? Payah. Pelan-pelan kuseruput cangkirku. Kehangatan menguar, menguatkan jemariku, dan dengan perlahan juga, kurasakan sarafku melonggar. Aku menarik nafas lega.
            “Boleh minta krim susu di tanganmu?”
            Terkesiap, aku menyenggol cangkirku hingga nyaris jatuh dan pecah. Tanggung, kucoba menangkapnya. Tangan yang tidak terlihat menangkap cangkirku beserta alasnya, membuat cangkir hijau favoritku itu kini melayang di udara, beberapa inchi dari lantai. Geram, aku menukas : “Cerewet! Ambil saja sendiri!”
            “Baiklah, aku ambil sendiri,” jawab suara itu enteng.
            Cangkirku berderak mendarat di lantai, dan sembari tersenyum kecut kupungut dan kukembalikan ke atas meja. Kaleng susu berlabel beruang itu sudah berpindah tangan pada Fowlinne, penjaga rumahku yang paling tua. Ia dengan santainya meneguk susu itu.             Kebiasaan santun para peri, ujarku dalam hati, adalah mereka tak pernah basa-basi kecuali untuk urusan susu. Fowlinne, yang mengenakan rompi kulit hijau toscanya pagi itu, menghapus kumis susu yang menempel di misainya, lalu menatapku lembut seolah bertanya ada apa. Aku menggerung, rasanya keriput di dahiku bertambah. Detik itu, aku yakin rambutkulah yang kusut masai dan lembap oleh entah apa. Tanpa harus kujelaskan pun, aku yakin gadis itu sudah tahu. Rasanya aku ingin menjerit pilu di balik bantal, tapi kutahu itu tidak mungkin. Lagipula, bukan sifatku untuk jadi cengeng di rumah sebesar ini. Rumah warisan buyutku yang tidak sendiri kutempati.
            Kuletakkan daguku beralaskan siku di atas meja, dan mendesah. Lama. Lambat laun kudengar Fowl meneguk isi kaleng itu hingga licin tandas. Aku hapal kebiasaannya menjilati segala sesuatu, kecuali mulut kaleng. “Aku lebih suka yang ini. Wangi sekali. Kok tak pernah bilang ada varian baru di toko tempatmu belanja?” tanyanya. Aku tak menjawab. Bagaimana bisa bilang kalau aku baru saja dapat mimpi terburuk sejagat raya... Batinku lagi.
            “Sudah, jangan dipikir berpanjang-panjang. Bukankah selama ini pengalaman mengajarkanmu untuk waspada tanpa tekanan? Apalagi takut pada alam maya yang belum jelas asal-muasalnya.” Aku mengangkat mukaku. Aku tadi lupa kalau Fowlinne bisa membaca pikiran. Pantas saja.
            “Hei, mungkin bagimu itu lumrah, tapi bersimpatilah padaku sedikit. Kau lihat sendiri, aku masih manusia. Menua, pula.”
            “Dalam 25 tahun ini, maksudmu? Jangan bercanda. Itu bahkan tak ada seperempatnya dari masa aku menunggui rumah ini. Ayolah...” Lengannya menggamit tanganku. “Semangatlah, kamu pasti bisa melaluinya.”
            Sentuhan ajaib Fowlinne menarikan ilusi hijau rumput di mataku, membuat kerlip lampu seakan tak lagi suram, membuaiku dengan keheningan magis yang melenakan. Rasanya aku sanggup tak perlu tidur lagi, entah sampai kapan. Mendadak, rasa percaya diriku timbul dan resahku hilang terbang entah ke mana. Aku merasa nyaman di antara anyaman lumut hijau panjang yang ada di halaman belakang. Benakku memberiku sebuah pertanyaan. Akhirnya, aku menukas :
            “Dari mana datangnya semua kekuatanmu, Linne? Aku tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melepaskan atau berjuang lebih keras—meski sia-sia. Mana yang harus kupilih?”
            Fowlinne tersenyum di sampingku. Mata coklat daun Ek-nya berkilau menerawang. “Dari mana datangnya cinta, kalau bukan dari hati? Kamu pemilik cinta terbesar yang pernah ada di dunia. Jawabannya, hanya kamu sendiri yang tahu. Dengarkan ketika kamu harus menghormati pembicaramu. Diamlah dan dengarkan Tuhanmu. Resapi dan syukuri apa yang ada sebelum bertindak tanpa pikir panjang. Hanya itu, Dini.”
            Bagian tengah dadaku terasa tercubit, melepaskan setitik isak, tanpa air mata. Cara pandangku seketika berubah. Tak kasat mata, namun sarat akan makna. Kuhela napas panjang sekali lagi, penuh kelegaan, juga kesyukuran. Nikmat ini pasti takkan kulupa. Bila aku lupa pun, selalu ada seribu satu jalan dari Sang Pemilik Harapan. Senyumku mengembang.
            “Terima kasih, Fowlinne.”
            Kubuka mata, dan menemukan diriku masih di sana. Dapur tua rumahku, di bibir jendela. Hanya ada cangkir kesayangan dan sekaleng susu beraroma Teh Putih di meja. Matahari baru saja mengangkasa, menyuguhkan beraneka warna. Biru, keemasan, juga jingga. Fowlinne sudah tak ada, barangkali begitu juga dengan yang lainnya. Di pagi tanpa teman ini, tanpa beban aku memutuskan. Sudah saatnya aku melangkah ke depan tanpa penyesalan.

Ketika angan menjadi satu-satunya jalan

Oleh Pramesti Laksmi Haksari (@estipilami)

Ini entah sudah kali yang ke berapa
Entah harus memulai dengan cara apa
Entah harus bicara dengan nada yang bagaimana

Haruskah aku menjelma menjadi pelangi,
Yang bias sinarnya mampu menyilaukan
Dan mencuri sedikit perhatian
Atau mungkin lirikan matamu dengan sejenak saja bisa kau alihkan

Aku
Telah cukup lama berdiri dan menunggu
Mengubah detik menjadi waktu yang semakin berlalu
Kamu
Entah mengindahkannya atau tidak 
Sekecil senyum daripada wajahmu pun tak nampak

Jika suatu malam nanti ada bintang jatuh
Biarkan aku berharap suatu saat nanti hatimu akan luluh
Suatu masa yang entah kapan, kamu akan butuh

 

Biar raga kita tak lagi berhadapan, ada yang tidak bisa aku lupakan

Oleh Pramesti Laksmi Haksari (@estipilami)


Aku merasakan dekapan hangat dari arah belakang. Kedua tangannya perlahan meraba bagian pinggang, kemudian memeluk erat sebagian ragaku. Wangi parfumnya... aku merindukan itu.
"Garry.." Kedua mata yang terpejam menikmati, seketika terbuka secara tiba-tiba. Pelukan itu merenggang. Aku tercengang. Tanpa menoleh, aku berlari sekencang-kencangnya, hingga angin saja tak mampu mendahului.

Nafasku terengah-engah. Aku telah sampai.
Disini namanya berdiri tegak, layaknya sajak-sajak tanpa lelah saling bergenggaman.
"Ini sudah hampir tahun yang ketiga, dan aku masih belum bisa." Suaraku tenggelam dalam isak tangis.
Ku raba nisan itu perlahan, halus, dengan janji tidak akan menyakitkan.
Garry Bintoro, 15 April 1991- 17 April 2009.





Judul: 

When you want to die.


 
 
Oleh Deela (@deeladiladhila)

 
Gue mau mati.

Gue ulangin sekali lagi: Gue. Mau. Mati.

Iya, mati. Kenapa? Tidak tahu. Tiba-tiba saja ide gila itu muncul di kepala gue kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Sederhana, kan?

Kalau di tanya lebih lanjut tentang alasan kenapa gue mau mati—selain kata lebay dan emang itu ide kepikir begitu aja—adalah mungkin karena gue enggak tahu mau hidup kayak gimana lagi. Pertama, gue seorang cowok yang berumur dua puluh lima tahun tepat tanggal sepuluh Agustus kemarin yang punya pacar, tapi long distance relationship dan sering banget bertengkar. Kedua  gue yatim piatu, sudah hampir satu tahun Bokap gue berpulang pada-Nya karena penyakit yang dia derita, menyusul Nyokap gue yang lebih dulu dipanggil karena perjuangan melahirkan adik gue. Mereka meninggalkan gue begitu saja di bumi ini dengan adik-adik gue, tiga adik—satu kandung, dua tiri—dengan hutang piutang segudang. Ketiga, seperti apa yang gue bilang pada point dua barusan, bokap gue meninggal dan sebagai anak, gue harus membayar hutang piutang beliau. Tapi untuk seorang anak laki-laki yang masih bau kencur, sekali pun orang bilang hutang itu enggak seberapa, buat gue justru itu luar biasa.

Dua puluh lima tahun, tanpa orang tua, punya tiga adik sebagai tanggungan, dan hutang yang harus dibayar, serta pacar yang terus marah-marah karena jarang ketemu—sedih banget ga sih hidup gue? Setiap kali gue bangun tidur , hal pertama yang gue lakuin bukanlah apa yang sering gue nyanyiin dulu: “bangun tidurku terus mandi” tapi “bangun tidurku terus ngaca”. Hahaha. Kagak, gue kagak ada niat buat narsis di pagi buta, atau berlagak seperti sang ratu dalam cerita putri salju yang terus bertanya siapa-wanita-tercantik-di-muka-bumi-ini setiap menitnya. Boro-boro mikir kayak gitu, yang ada setiap kali gue ngeliat bayangan gue di cermin, rasanya justru pengen gue tonjok sampai ancur.

Sebal. Sekaligus marah.

Tapi karena gue sayang sama adik-adik dan juga pacar gue, niat ajaib gue barusan gue pendam sendirian dan tetap memasang wajah santai seperti biasa—kalau kata temen gue, gue itu denial, alias pakai topeng. Cuma ya, yang namanya lama-lama mendem perasaan itu enggak enak. Biasanya, 70% dari survey yang gue perhatiin di sekeliling gue, dengan tingkat sok tau yang tinggi luar biasa, orang-orang yang mendem perasaan pasti ujung-ujungnya berakhir buruk. Misal, temen gue ada yang pacaran, mereka sok-sokan ga mau nyakitin perasaan pacarnya jadi segala keluh-kesah mereka di pendem, begitu sekalinya bertengkar, semuanya keluar dan yaah, putus deh. Terus misalnya lagi—apa ya, banyak deh pokoknya. Dan salah satunya ya kasus gue sekarang.
Mungkin ini udah masuk limit dari takaran sabar gue. Gue percaya kok kalau yang namanya manusia itu punya batas kesabaran—ya kali dikira Dewa apa bisa sabar sampai tua—dan sekarang rasanya gue udah ga bisa sabar lagi dengan apa yang gue jalanin, akhirnya—BOOM!!! Meledak deh. Dalam satu hari bahkan kalau mau lebay di bilang dalam satu waktu, semuanya makin berantakan. Hutang piutang yang gue tanggung makin banyak, adik gue kena kasus remaja yang paling fenomenal: nikah di usia muda karena ‘kecelakaan’, lalu masalah pendidikkan adik-adik gue yang lain, dan putus dengan pacar karena keluhannya yang udah gak bisa gue tahan.

Gue marah, gue teriak, gue maki-maki. Tapi enggak ada yang ngerti gue—enggak tau kenapa.

Ada sih yang ngerti gue—Tuhan. Kakek gue sering cerita, kalau yang namanya masalah itu, kalau lo ga dapet pemecahannya, minta sama Tuhan. Tapi enggak cuma sekedar minta alias kudu ada usaha. Gue udah sering banget curhat sama Tuhan sambil pelan-pelan gue berusaha buat nyelesain masalah gue, tapi mungkin karena gue bukan orang yang sabaran, atau emang gue terlalu naif, jadinya sampai sekarang semuanya tetap sama, enggak ada yang berubah.

Jadinya gue berpikir buat mati aja. Biar semuanya selesai.

Done.
 

oOo


 
Gue mau mati.

Iya, mati.

Kenapa? Tidak tahu. Tiba-tiba saja ide gila itu muncul di kepala gue kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Apa ini disebut lebay? Yah, enggak tahu juga sih ya tapi menurut gue yang namanya lebay itu emang udah jadi bagian hidup orang. Dan yah, karena gue adalah orang jadi wajar kalau gue lebay.
 
Salam sayang :

 
Matheo.

Wanita Terindah



oleh Salita (@salromarin)


                Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Menunggunya terbangun. Menatapnya terbaring lemah di atas ranjang putih rumah sakit. Tidak bisa berhenti aku menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpanya. Dan satu hal yang tidak pernah aku sadari selama ini. Aku telah jatuh cinta kepadanya sejak lama. Tetapi aku tidak pernah mau mengakuinya.
----

                Hari itu di bulan November yang mendung. Aku pulang ke apartemenku seperti biasa setelah bekerja seharian. Ada yang tidak biasa hari itu. Sepertinya aku punya tetangga baru. Seseorang telah mengisi kamar sebelah apartemenku yang sudah lama kosong, karena kudengar ada kegiatan di dalam kamar itu sekarang. Ah, tapi aku sudah terlalu lelah untuk menyapa tetangga baruku. Mungkin lain hari saja.

---

                “Silakan masuk, Ran… Aku sedang tidak sibuk.”
                Wanita itu mempersilakanku masuk. Tangannya meraba-raba rak makanan, mencari tempat gula sepertinya. Ya, dia buta.
                “Mau aku bantu, Sel?” Tanyaku hendak beranjak dari tempatku.
                “Tidak, tidak perlu. Aku bisa kok.” Kemudian ia menemukan apa yang dia cari. Lalu membuatkanku secangkir teh hangat. Belakangan ini aku sering mengunjunginya. Kami menghabiskan waktu mengobrol berjam-jam. Ya, ini menjadi semacam rutinitas baru untukku melepas lelah. Wanita ini Selma namanya. Dia mengajar di sekolah anak-anak penyandang cacat di sekitar apartemenku. Seorang wanita muda, lebih muda beberapa tahun dariku,  dengan rambut hitam legam sebahu yang selalu rapi tergerai. Parasnya cantik, dengan hidung mancung, dan garis wajah lembut. Ia buta sejak lahir. Tetapi yang paling aku suka adalah betapa inteleknya dia. Meski dengan segala keterbatasannya, bagiku ia wanita paling cerdas yang pernah kutemui.
                “Ini tehmu. Silakan.”
                “Terima kasih.”
                “Jadi bagaimana harimu?”
                “Yah, cukup menyenangkan. Hanya saja tadi ada sedikit ribut dengan rekan sekantorku. Biasalah, rebutan order…” Aku menyeruput teh itu. Pas rasanya, seperti biasa. Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal. Hingga waktu menunjukkan pukul 12 malam, aku berpamitan kembali ke kamarku.
---

                “Selma, tidak pernahkah sekali saja kamu ingin melihat bagaimana indahnya air terjun Niagara atau Tembok China, atau mungkin Menara Eiffel?” Hari itu hari Minggu yang cerah, aku bersama Selma berencana berjalan-jalan untuk refreshing.
                “Ah, tentu aku pernah ingin melihat keindahan tempat-tempat tersebut. Pernah, dulu sekali.” Ia menjawab sambil tersenyum.
                “Lalu, apakah saat ini kamu masih ingin melihatnya?”
                “Tidak. Aku sudah tidak peduli.”
                “Bagaimana dengan pria yang akan menikahimu nanti? Bagaimana dengan rumah yang akan kamu tempati bersamanya?”
                “Jujur saja. Aku juga tidak peduli. Hahahahahaha!”
                “Mengapa begitu?”
                “Karena bagiku, menginginkan lebih malah akan menyakitkan. Aku sudah melihat gelap, aku sudah melihat terang. Aku sudah cukup tahu apa yang aku butuhkan, dan aku tidak ingin mengejar apa yang mustahil bagiku.”
                “Ah, melihat pun tidak selalu indah kok. Setidaknya kamu tidak perlu melihat darah, kekerasan, kejahatan. Betapa mengerikannya hal-hal tersebut.”
                “Ya, mungkin Tuhan memang tidak menginginkanku melihat hal-hal seperti itu.”
                Aku tersenyum mendengar kata-katanya.
---

                Bulan Juli datang dengan cepat. Aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita. Ia adalah rekan kerjaku. Tingkahnya yang lucu dan parasnya yang jenaka. Sayang wanita itu belum tahu. Tetapi suatu saat ia akan tahu. Dan aku ingin dia tahu. Setiap hari aku bercerita pada Selma betapa menyenangkannya perasaan seperti ini. Selma selalu mendengarkan setiap ceritaku dengan antusias. Ah, Selma memang sahabat terbaikku.
---

                “Sel, hari ini aku berhasil mengajaknya makan siang bersama. Bukankah itu sebuah kemajuan?” Seperti biasa aku mengunjungi kamar Selma.
                “Uh, Randy. Maaf. Hari ini aku sedang tidak enak badan. Kamu boleh cerita besok. Tak apa kan?” Belakangan ini sepertinya Selma selalu menghindariku. Aku tidak mengerti, alasannya selalu sama, kalau tidak sibuk dia bilang sakit.
                “Sel, ada apa?”
                “Tidak ada apa-apa.”
                “Jangan berbohong, Sel. Kamu berbeda akhir-akhir ini.”
                “Terus itu jadi urusanmu begitu?”
                “Lho, jangan marah, Sel…”
                “Aku tidak marah! Aku hanya jengah. Mendengar kamu terus cerita tentang wanita itu. Aku…”
                “Kamu apa?”
                “Sudah, lupakan.”
                “Jangan mengelak terus! Ada apa? Cerita padaku.”
                “Sudah, lupakan, aku bilang!”
                “Selma! Apa salahku?” Aku bingung dengan semua ini.
                “Ah, sudah! Aku mau ke luar dulu. Kembalilah ke kamarmu!” Selma pergi berlalu begitu saja meninggalkanku.
---

                Di sinilah aku. Terduduk diam di sebelah Selma. Tubuhnya terbaring lemah di atas ranjang putih rumah sakit. Dia dirampok sekawanan lelaki dan berusaha melawan, di malam saat kami bertengkar. Sudah tiga hari dia terbaring seperti ini. Luka-luka yang dideritanya cukup parah. Wanita ini… Aku baru sadar aku begitu kehilangan canda tawanya, obrolan-obrolan kami, perhatiannya padaku. Mungkinkah selama ini dia memendam perasaan kepadaku? Bodohnya aku! Tidak bisa kubohongi diriku bahwa aku sangat gelisah semenjak kejadian itu. Sesuatu yang sangat nyata di hadapanku dan aku tidak pernah menyadarinya, atau mungkin hanya menolaknya. Aku malah sibuk mengejar bayangan selama ini. Dan aku baru menyadari bahwa aku sangat mencintai wanita ini.
                “Selma, maafkan aku. Aku hanya tidak mengerti. Tapi aku mengerti sekarang. Aku juga, mencintaimu. Bangunlah... Bangunlah, Selma. Aku membutuhkanmu.” Tubuh itu tetap kaku. Mulut itu tetap terdiam.
                Aku menungguinya hingga tengah malam itu. Keajaiban terjadi. Ia akhirnya terbangun.
                “Selma…”
                “Hai… Apa yang kamu lakukan di sini, Randy?” Suaranya parau. Tapi aku senang bisa mendengarnya berbicara lagi.
                “Kamuuu... Jangan banyak bicara dulu…”
                “Randy, aku ingin tahu. Apakah aku wanita yang cantik? Setidaknya menurutmu.”
                “Bagiku, kamu adalah yang terindah di dunia ini, Selma. Sekarang istirahatlah. Ya?”
                “Baiklah. Kamu tidak akan mendengar apa-apa lagi dariku…”

---

                Hari itu bulan November yang mendung. Ada yang berbeda hari itu. Setahun yang lalu aku masih ingat ketika kamar itu hidup lagi setelah sekian lama kosong. Setahun yang lalu aku ingat aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat berharga. Wanita terindah yang pernah bersamaku. Sekarang ia sudah ada di surga, tersenyum karena dapat melihat keindahan dunia dari sana. Ya, Selma meninggal tidak lama setelah terakhir kalinya ia berbicara kepadaku. Tubuhnya tidak kuat menanggung seluruh luka yang dideritanya.

Hari itu di Bulan November, aku berkabung bersama awan.
Wahai wanitaku, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakanmu.
Biarlah seluruh dunia rusak.
Karena semua kerusakan itu menjadi baik bila aku bersamamu.
Kaulah wanita terindah.
Aku harap kamu tenang di sana.
Aku mencintaimu.

Monolog Orang Gila dan Kucing, yang kelaparan.


 
Oleh Rika Kurniawati (@chiqux)



“..Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Tak juga kudengar lembut gemerisik hadirnya. Hujan mengancam dalam gelap, aromanya tajam. Aku cuma mau dia pulang malam ini. Dia benci air, hujan hanya membuat bulu-bulunya lepek, wanita sempurna itu tak boleh lepek, begitu gumamnya selalu saat ku tawari air.”
***
Siang ini panas, aku jadi pengen sekali bernyanyi. Maka aku bernyanyi. Orang-orang menyebut aku orang gila. Yeah, aku tak peduli. Kutelusuri jalanan lurus ini, dengan beraneka kendaraan yang terbang-terbang di sisi sebelah kananku. Sinting. Yang seperti ini dinamakan jalan raya? Apakah ada sesuatu yang berkaitan dengan hari raya? Lebaran? Ketupat. Perutku semakin berkeruyuk. Laparnyaaaa. Mereka yang mengataiku orang gila justru sepertinya yang gila. Siapa yang gila?
Ah, lapar. Apakah tuhan marah padaku? Hari ini aku tak menemukan apapun yang bisa masuk ke dalam perut.  Tak sampai hati aku mengumpat. Mungkin aku belum rajin menelusuri. Aku makin bergegas melaju. Kaki ku tau kemana harus berhenti.
Ku hampiri orang-orang yang ramai mengantri di rumah besar sebelah kiri. Mereka keluar masuk dengan tergesa. Beberapa yang keluar menjinjing bungkusan plastik. Hidungku menerka kalau itu sesuatu yang bisa dikunyah. Makanan.
Kulihat dengan malu-malu mereka yang berjajar duduk di dalam. Mereka pun dengan sengaja menatap malu-malu mengindari pandanganku. Ah, perut. Kuelus dan kudendangkan lagu asal  saja tentang kesabaran. Samar kudengar  bisik-bisik mereka mencela laguku, “orang gila” begitu katanya. Kulebarkan cengiranku dengan gagah. Aku merasa tampan dilihat dengan begitu rupa. Ehehehe.
Aku masuk dengan tiba-tiba. Banyak yang terlihat tak suka. Lapar membuatku tak peduli. Aku cuma mau minta makanan seperti mereka-mereka yang antri. Ku garuk-garuk rambutku, kuku-kuku jariku tersesat didalamnya.  Makin banyak tatapan tak suka, tapi aku suka.
Lalu dia datang. Entah siapa. Yang jelas mukanya neraka. Aku didorong keluar dan dicaci. Padahal belum sempat ku pinta, tapi aku sama-sekali tak diberi. Heii~ apa-apaan orang berwajah neraka ini.  Tak suka tinggal bilang kan? Aku menggerutu sambil tertatih jalan lagi. Dorongan si muka neraka tadi membuat kakiku jatuh terkilir saking kerasnya. Dasar muka neraka, sungutku keras-keras. Orang-orang makin keras pula berucap, “orang gila”.
Aduh. Sakit di dua tempat. Kaki dan perut. Rasanya aku tak kuat jalan lagi. Aku duduk di dekat gundukan tak jauh dari rumah besar tadi. Mungkin diantaranya ada makanan yang bisa ku kunyah. Aku mengisut mendekatinya.
Lalu ku lihat dia. Yang sedang mengunyah sebungkus makanan dengan malas. Aku merangkak makin cepat mendekati. Sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Aku makin bersemangat. Perutku sebentar lagi terisi, Tuhan terimakasih karena tidak marah padaku hari ini.
Tapi dia yang marah. Dia tak suka kemalasannya makan di ganggu. Aku tau. Tapi tak urung tanganku ikut menggapai-gapai makanan yang di hadapinya. Bungkusan tak berbentuk yang dia congkel-congkel dengan kukunya yang tajam.
Ku kunyah saja dengan semangat. Semua yang berhasil aku ambil dari hadapannya. Dia menggeram, diacungkannya kuku-kuku tajam ke arahku dengan sikap mengancam. Aku balas menggeram, dengan mulut penuh tentu saja. Aku sendiri juga tak tahu, apakah aku membalas atau justru menggodanya. Mulutnya terlihat seksi saat menggeram padaku. Aih, Tuhan dadaku berdesir-desir sembari kukunyah makananku dengan lahap.
Perutku terisi, ingin ku ucapkan terimakasih padanya yang telah sudi berbagi. Tapi tanganku bergerak menjauhi apa yang ingin dikatakan mulutku. Kucoba mencubit tengkuknya. Dan dia meledak. Sebaris cakaran memberi tanda pada punggung jemariku. Ohoho~ manisnya.
***
Dan saat-saat selanjutnya, tak kurasa lagi lapar di perutku. Aku cuma butuh jalan-jalan sebentar, mengomel tentang orang-orang, sedikit menyanyi untuk mereka yang butuh hiburan, dan lalu aku pulang. Pulang. Kata yang indah. Aku tau aku cerdas, kutemukan kata pulang ketika aku bertemu dengannya. Wanita berbulu kelabu yang selalu galak padaku. Makanan selalu tersedia di moncongnya saat ku hampiri. Bukankah itu romantis, Tuhan?
Orang-orang yang melihat kami masih saja berbisik usil. Gila. Aku di bilang gila. Bukankah ini gila? Ahaha. Aku suka. Seperti kata pulang, gila terdengar indah saat mereka berbisik melihat aku dan wanitaku berbagi.
Dia memang pemarah. Kadang aku sengaja membawakan bunga-bunga rumput dari jalan yang kulalui, tapi ia hanya mendengus. Menguap sebentar, meregangkan tubuh lembutnya lalu berbalik memunggungiku sambil menjilati bulunya. Cantik.
Dia pemarah tapi tak pendendam. Kadang sengaja dia memperbolehkanku menggodanya. Ku elus bulu-bulu lembutnya, ku garuk belakang telinganya dan dia menggeram kesenangan. Seksi sungguh. Suaranya mendayu-dayu. Lalu biasanya aku jadi ingin bernyanyi tiba-tiba.
Beginilah ku lalui hari-hari selanjutnya. Aku sejujurnya tak tau, apa itu hari. Dulu yang ku sebut hari adalah ketika aku sudah berjalan-jalan, menyanyi, lalu di usir oleh pemilik rumah besar yang bermuka neraka ketika lapar. Itu yang namanya hari.
Ah, aku tau aku cerdas. Ini bukan hari. Ini adalah pagi. Aku cukup berjalan-jalan, mengomel dan menyanyi lalu pulang. Namanya pagi. Baunya segar. Sesegar nyanyiannya ketika aku hampir dekat ke tempat kami pulang. Kami. Aku dan dia.
***
Tadi pagi wanitaku pergi. Sampai hari ini. Eh kalian tau maksudnya kan? Dia pergi saat pagi, tapi sekarang sudah hari. Benar-benar hari. Aku kembali, jalan-jalan-mengomel-bernyanyi-lapar-dan diusir si muka neraka, sama sekali bukan pagi. Aku bergelung seperti posisinya yang biasa, pura-pura gila supaya bisa bilang pulang. Ini tempat yang sama, tapi tanpa dia, aku tak bisa bilang pulang bukan?
Rasanya lamaaa sekali, laparku memadat jadi keruyukan abadi, sengaja kucakar-cakar punggung tanganku sesekali, dan aku sudah terkilir gara-gara si muka neraka berulang kali. Mataku mengeluarkan ingus seperti ketika hidungku mampet, banyak sekali.
Rasanya aku tiba-tiba ingin menyanyi. Sedih mungkin seperti ini. Iringan bunyi perutku memperjelasnya. Sekilas aku ingat pernah melihatnya tiduran di tengah jalan raya. Dengan sepotong tahu bocel di moncongnya, dan gumpalan warna merah di sekitar perut dan kakinya. Aku tak suka. Bulu-bulunya jadi kotor, kenapa dia tidak menjilatinya hingga bersih? Dia malah tidur dengan santai ketika kupanggil-panggil dari pinggir. Mungkin dia marah.
Dan aku meninggalkannya begitu saja. Kupikir dia pulang. Seperti aku yang mau pulang.
Tapi nyatanya begini. Aku masih bergulung, entah sudah jalan berapa hari seperti ini. Dan aku belum menemukan kata pulang lagi. Dengan dia yang tak ada disini. Wanita ku.
***
“Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Tak juga kudengar lembut gemerisik hadirnya. Hujan mengancam dalam gelap, aromanya tajam. Aku cuma mau dia pulang malam ini. Dia benci air, hujan hanya membuat bulu-bulunya lepek, wanita sempurna itu tak boleh lepek, begitu gumamnya selalu saat ku tawari air.”

Selamat tinggal, Malaikatku.


Oleh Wahyu Antari (@wahyu_antari)

Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam.
Malaikatku.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Bahkan hingga hitungan kelima, dia tidak juga muncul. Aku mendesah. Pasrah. Udara pagi mulai muncul menggantikan dinginnya angin malam, membuat tubuhku bergidik pelan. Kurapatkan kembali jaket yang membungkus tubuh, mencoba menghangatkan diri sendiri agar tidak menggigil kedinginan. Dan yang lebih penting, aku tidak boleh ketiduran. Kereta pertama akan datang satu jam lagi, tepat pukul enam.
Aku kembali menoleh kiri dan kanan, berharap kemunculan seseorang yang sejak semalam memenuhi seluruh isi kepalaku akan datang.
Asap putih berhembus dari kedua lubang hidung saat aku menghela napas. Berapa lagi aku harus menunggu? Apakah dia lupa? Tidak, aku menepis kemungkinan itu. Dia tidak mungkin lupa. Dia sudah berjanji akan datang. Kata orang, cinta membutuhkan kepercayaan. Maka akan kulakukan itu untuknya. Karena aku mencintainya.
Kunyalakan rokok menthol kesukaanku. Kuhirup dalam-dalam, mencoba mengatur irama jantungku yang tak karuan. Biasanya cara ini berhasil. Saat ujian, saat interview, bahkan saat aku pertama kali melihatnya. Aku masih ingat jelas hari pertama pertemuan kami. Dia, duduk sendiri di sebuah kursi taman sembari membaca buku, tampak tak terpengaruh orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Dia, memakai syal cokelat yang membingkai leher jenjangnya. Dia, tersenyum begitu menyadari kehadiranku, menyapa lewat suaranya yang merdu bagai nyanyian surga.
“Angela,” katanya memperkenalkan diri.
Angel. Malaikat, bisik hati kecilku yang pada hari pertama sudah mengagumi setiap detail wajahnya. Dia memang seperti malaikat. Cantik, mempesona, memikat.
"Aku percaya malaikat ada di dunia ini,” katanya saat kami menghabiskan waktu di suatu rumah makan, hari sabtu malam. Malam minggu pertama sebagai pasangan.
“Contohnya?” tanyaku enggan. Aku sebetulnya tak peduli topik ini, hanya saja aku suka mendengarnya bicara.
“Malaikat itu ada di dunia dalam berbagai wujud, hanya saja manusia suka nggak sadar karena terlalu sibuk memikirkan diri sendiri.”
“Buatku satu-satunya malaikat yang nyata ya cuma kamu.”
Dia tersipu malu. Tertawa pelan sembari mengecup cepat pipiku. Aku masih ingat deru napasnya yang hangat. Aku masih ingat bau parfumnya yang segar. Aku masih ingat getaran suaranya. Aku tidak pernah lupa bagaimana tubuhnya terasa begitu pas dalam dekapanku. Aku akan selalu mengingat lembut bibirnya saat kulumat. Aku masih ingat desahan suaranya menyebut namaku ketika kami bercumbu. Aku ingat semuanya. Semua.
Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam.
Hanya untuk mendengar suara dari mulutnya walau untuk terakhir kali. Aku mempertaruhkan semuanya demi dia. Demi wanita yang sangat kucintai.
“Kalau kamu mencintaiku, datanglah ke stasiun besok malam. Aku naik kereta pertama. Paling pagi. Aku menunggumu.”
Aku menunggunya sejak malam mulai menyapa kota. Hingga tengah malam saat sebagian penduduk kota sudah terlelap. Bahkan saat subuh mulai menyapa, hingga terdengar suara dari pengeras suara sebuah mesjid. Aku tetap menunggunya, bahkan ketika kereta tujuanku mulai muncul dari kejauhan.
Aku berdiri. Ternyata sudah lima batang rokok yang kuhabiskan sejak tengah malam tadi. Abunya berserakan di sekitar tempatku duduk. Sudahlah, aku tak peduli. Aku meregangkan sedikit tubuh yang penat, berdiri menyambut kereta itu. Angela tidak pernah muncul. Malaikatku tidak pernah datang bahkan untuk mengucapkan salam perpisahan.
Para penumpang lain mulai masuk ke dalam gerbong kereta. Aku menarik napas. Sudah saatnya, bisik hati kecilku. Sebelum melangkah, kuletakkan surat undangan yang sejak tadi tergenggam di tanganku. Kubiarkan undangan bernuansa putih itu tergeletak begitu saja. Agar siapapun yang melihat dapat membaca nama Angela tercetak di sana.
Katanya cinta itu tidak harus memiliki. Mungkin itu yang terjadi padaku saat ini. Mencintainya bukan berarti aku harus merelakannya. Mencintainya juga berarti merelakan dia dengan orang lain yang akan membuatnya bahagia. Mencintainya berarti harus siap melepasnya.
"Hubungan kita nggak akan berhasil!" Angela setengah berteriak ketika aku memintanya membatalkan pernikahan itu. "Sejak awal kita tahu kalau hubungan ini harus berakhir."
"Tapi aku mencintaimu."
"Cinta nggak bisa jadi jaminan untuk kita bersama."
"Jadi kamu menyerah? Kamu nggak mau berjuang?"
Angela menggeleng lemas. "Karena nggak ada yang pantas diperjuangkan," isaknya tertahan. "Aku akan menikah dengannya. Dengan laki-laki pilihan ibuku. Dia akan membahagiakanku."
"Aku juga bisa membahagiakanmu!" Aku tak percaya Angela meragukan kemampuanku membuatnya bahagia. Tidakkah dia ingat selama ini kami selalu tertawa bahagia saat bersama?
Angela terdiam. Lalu sedetik berikutnya dia kembali menatapku. "Maaf."
Detik itu juga aku tahu, cinta yang pernah mengisi hari-hari kami telah usai. Ternyata benar, cinta itu tidak abadi. Tidak kekal seperti yang banyak diobral. Tidak permanen.
Kereta mulai bergerak perlahan. Aku menghela napas panjang. Berat. Semua sudah berakhir. Aku harus melupakan wanita itu. Lalu ponselku bergetar. Satu pesan masuk. Dengan satu gerakan, SMS itu terbuka. Angela.
Selamat tinggal, Malaikatku. Selamat tinggal, Arini.