Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Peluk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peluk. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Februari 2011

... Sedikit Lagi Saja

Oleh Kartika Rizky, raeky@live.com, @kikyoong

Aku tidak menyangka, kepergianmu begitu cepat. Tidak juga menyangka, ketika kamu pergi, rasanya akan sesakit ini. Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu benak, menuntut jawaban yang tidak pernah ada. Kenapa kamu pergi secepat ini? Padahal aku masih membutuhkan kamu di sini, sekarang.
Taukah kamu? Ini hari ulang tahunmu. Hari yang selalu aku tunggu dari tahun ke tahun meski aku tau tidak pernah akan ada gunanya lagi. Aku memegang sebuah piring berisi kue-kue kecil dan lilin menyala, menanti datangnya pukul 12 tepat di tengah malam. Aku tidak tau, apa masih ada gunanya merayakan hari ini.
Hitungan mundur detik-detik terakhir menuju jam 12 pun dimulai.
Aku tidak pernah tau kamu sekarang berada di mana, dengan siapa, sedang melakukan hal apa, apa kamu tersenyum bahagia atau menangis menderita. Yang aku tau, aku merasa sakit yang luar biasa menatap tetesan lilin yang menyala ini jatuh tepat di atas coklat bertuliskan namamu.
Tiga detik lagi.
Aku juga tidak tau apakah usiamu sama dengan angka-angka yang kuhitung bersama pedih dari tahun ke tahun. Tapi aku menaruh angka 22 di atas kue ini, kue kesukaanmu, tiramisu.
Dua detik lagi.
Hey, apakah kamu merayakan ulang tahunmu juga, sama seperti aku?
Aku meniup liiln, menangis terisak, hingga lelah membawaku tertidur lelap.

...

“Dian...”
Sebuah suara memanggil namaku, suara yang sepertinya kukenal. Aku membuka mata perlahan. Ah, rasanya berat sekali, aku masih ingin bersenang-senang di alam bawah sadar, kenapa suara itu mengganggu sekali?
Silau.
Ada yang berdiri di dekat pintu kamarku, dari balik tubuhnya berkilauan sinar, entah dari mana, seingatku ini belum lagi waktu untuk terbit matahari.
“Dian,” panggilnya lagi. Aku berdiri, mengerjapkan mataku, berusaha melihat siapa yang berdiri seenaknya di pintu kamarku, mengganggu tidurku. Seseorang yang... Kukenal...
“Arya?” bisikku perlahan.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku berdiri, mendekati dia perlahan. Dia pun berjalan mendekatiku. “Arya, iya kamu beneran Arya,” kataku tidak percaya. Arya tersenyum manis sekali. Dia memelukku erat, pelukan yang kuhafal, tidak pernah aku lupakan. Aku memberontak kaget, berusaha melepaskan apa yang dia berikan. “Jangan dipelas dulu,” bisiknya di telingaku. Astaga, bisikannya menusuk sekali. Aku terdiam. Dia tetap memelukku, mengelus rambutku, menghirup apapun yang berasal dari tubuhku. “Aku rindu,” katanya kali ini tidak dalam bisikan. Masih tetap memelukku. “Jangan kuatir, aku tidak pernah pergi dari kamu. Jauhpun tidak. Aku ada di tempat yang tak terjangkau mata, di sudut yang tak tergapai indera.”
Aku menarik tubuhku dari peluknya.
“Jangan sedih. Aku tidak pernah mau orang mengenangku dalam air mata. Jangan menangis lagi.”
Arya memegang kue-kue milikku, dengan lilin angka 22 yang berpendar terang, entah dia dapatkan dari mana.
“Terima kasih kuenya,” katanya lirih, menatap apa yang ia pegang. Tak lama, ia meniup habis lilin yang menyala-nyala itu.
Aku hanya bisa terdiam. “Sama-sama,” ucapku kemudian.
Arya menjatuhkan apa yang ia pegang dan kembali memelukku, dalam tangis. Aku merasa dingin kali ini, sakit, pilu. Arya terisak, tak mau melegakan pelukan. “Aku rindu, aku rindu,” ucapnya berulang-ulang. Akupun tak sanggup lagi hanya berdiam, aku mendekap tubuhnya dalam-dalam, “Bukan cuma kamu yang rindu, akupun begitu!” protesku.
Aku merasa dekapannya melemah. Dia melepaskan pelukannya, dia menatapku, katanya, “Sudah habis waktunya, aku harus pergi lagi sekarang.” Aku tidak tau harus bersikap seperti apa.
Dari balik punggungnya aku melihat cahaya terang lagi, seperti apa yang kulihat di awal bangun tidurku. Arya berjalan mundur perlahan sembari menghapus air matanya. “Selamat tinggal, Dian.”
“TUNGGU!” teriakku. Tidak ada gunanya, Arya tetap berjalan.
“Tunggu, Arya, tunggu, aku belum puas menghabiskan waktuku bersama kamu! Tunggu!”
Tapi Arya tetap berjalan, tetap tersenyum sambil berair mata.
“Satu hal lagi, please, Arya...”

...

Aku terbangun.
Sesegera mungkin aku berlari menuju pintu kamarku, berbisik perlahan, “Arya?” Sepi, tak ada siapa-siapa.
Aku tidak pernah bermaksud untuk meneteskan air mata, ia mengalir begitu saja. Aku juga tidak pernah bermaksud untuk merasa sakit seperti ini, sakitnya datang begitu saja.

Tak ada siapa-siapa.
Aku berbalik menuju kamarku dan menutup pintu.

“Selamat ulang tahun,” bisikku pelan, bercampur isak.

Memeluk Dunia Maya


Oleh: @rofianisa
Blabbermouthdisease.tumblr.com


Jangan sentuh aku! Aku telah kotor sejak lama. Sentuhanmu hanya akan membawamu ikut bersamaku ke alam neraka. Jangan sentuh aku, aku berbahaya....

*

Ada seorang wanita yang menarik perhatianku sejak pertama kali bekerja sambilan sebagai asisten lab di kampus ini. Namanya Maya, ia supervisorku. Wajahnya tirus, dilihat dari dekat ia manis juga. Tapi yang lebih membuat mataku selalu tertarik adalah magnet yang ia hadirkan dari auranya yang misterius. Sendu. Kelam. Seperti tak bernafsu menikmati hidup. Seperti ingin kabur dari kejamnya dunia.

Dan sejak kami saling bertukar alamat instant messenger, kami menjadi akrab. Aku mulai menyelami diriku ke dalam dunianya, di dunia maya.

Reza: Aku ingin mengenalmu lebih dekat
Maya: Bukankah yang seperti ini sudah dekat
Reza: Tapi ini kan hanya sebatas chatting. Aku mau kita akrab juga di dunia nyata. Aku mau... peluk kamu.
Maya: Kamu ingin ‘mengakrabkan diri’ dengan bosmu? Bilang apa nanti kawan-kawanmu. Begini saja sampai tiba saatnya. :)

Begitu selama tiga bulan berlalu. Akrab dalam percakapan dunia maya, mendengarkan ceritanya tentang dunianya. Dunia Maya. haha, lucu ya? Aku mendengar kisahnya, ia mendengar kisahku, dan kami sama-sama menuangkan keluh kesah hati kita, tanpa seseorang di dunia nyata pun tahu.

Dan asal kalian tahu, dunianya gelap sekali. Seakan derita tidak henti-hentinya mendera hidupnya. Dan setiap aku mendengar keluhnya, ingin sekali rasanya pergi ke tempatnya, memeluknya, menghangatkan dunianya yang seakan kelabu, dingin.

Maka suatu hari ketika jamuan makan malam bersama teman-teman di laboratorium, hasratku tak terbendung lagi. Ingin rasanya mengungkapkan seluruh isi hati, memintanya menjadi pasanganku, dan memeluk tubuhnya lebur jiwa ini ke dalam dunianya. Aku sudah siap menyerahkan diriku pada pesonanya di dunia nyata.

Aku mengikutinya ketika ia izin ke toilet, menunggunya sampai ia keluar. Ia tampak kaget, melihatku bersandar di dinding seberang pintu.

“Reza?”

“Aku sayang kamu, Maya.”

Tanpa babibu aku memeluknya. Berharap jiwanya menyatu bersama jiwaku dalam hasrat peluk yang menggebu-gebu.

Dan ya, jiwaku melebur. Pandanganku gelap. Hal terakhir yang kuingat adalah matanya yang abu-abu dan tawanya yang melengking ganjil. Juga kata-katanya tempo hari yang kukira bercanda.

“Aku ini lahir di neraka. Siapapun yang menyentuhku akan masuk ke dalamnya...”

*

Sudah ku bilang, jangan sentuh. Apalagi peluk. Kamu, sih, nggak percaya....

Bukan Pelukan Terakhir

Oleh: Ninda Syahfi
@nindasyahfi
Tema: Peluk


Dor! Aaaaargh..!

Dengan penuh keringat dan nafas yang tersengal - sengal, Lara terbangun dari mimpi buruk. Mimpi buruk yang sama untuk kesekian kalinya. Mimpi yang akan ia simpan sendiri; tidak akan dibagi pada siapapun, apapun, dan kapanpun. Pagi ini Lara merasa ada sesuatu yang tidak beres: dirinya dan sekitar. Ada yang janggal. Terasa hening, dingin, dan kaku. Ia menggigil. Seketika ia menangis. Teringat sosok pria yang sudah lama menjadi pelindungnya. Lara ingin sekali bertemu pria tersebut, sekarang.

Lara berjalan keluar. Semua orang berkumpul, memakai baju hitam. Memberikan pandangan kosong pada dirinya. Ada apa disana? Sekumpulan orang berbaju putih. Siapa pria itu? Mengapa semua orang memeluknya? Seperti sedang merayakan sesuatu. Lara mendekat. Ia mengenali sang pria. Astaga! Papah? Kenapa beliau pucat sekali? Siapa orang - orang ini? Seingat Lara Papah belum pernah mengenalkan mereka padanya. Mereka berjalan pelan ke arah Lara. Ia mundur, mundur, tersungkur dan semua gelap.

Masih dengan penuh keringat dan nafas yang tersengal - sengal, Lara terbangun lagi dari mimpi buruk. Mimpi buruk yang masih sama untuk kesekian kalinya. Mimpi yang kali ini tidak akan ia simpan sendiri. Pagi itu, Papah menyelamatkan Lara dari sebuah tembakan, dalam pelukannya. Bara sang pelaku; kakak kandung Lara. Lara dipaksa memegang pistol dengan tangan kosong setelah kejadian tersebut. Sidik jarinya tertinggal disana. Bara melarikan diri. Papah tewas. Hanya Lara saksi hidup sekaligus tersangka. Ia tidak bisa mengelak. Semua tuduhan jatuh padanya.

Pagi yang cerah. Lara tidak lagi bermimpi buruk. Ia merasa sangat segar dan tenang. Kali ini tidak ada yang janggal. Tidak lagi hening, dingin, dan kaku. Tidak lagi menggigil. Ada Papah disampingnya. Papah tersenyum dan memeluknya. Hangat, nyaman, dan tentram. Terasa terlindungi. Pelukan yang tidak akan Lara lepaskan hingga..

“Bangun!”, teriak sipir penjara.

Lara terjaga dari mimpi indahnya. Pagi ini ia terbangun dari mimpi panjang dan tidak lagi sedang bermimpi. Ini penjara. Benar - benar hening, dingin, dan kaku. Tapi ia tidak merasa menggigil. Sipir menjelaskan bahwa tersangka asli telah ditemukan, Bara Killy, kakak Lara. Lara bebas hari ini. Ia lega dan akan memeluk pusara Papah secepatnya.

Minggu, 06 Februari 2011

Bisu

Oleh Ellena Ekarahendy  (@yellohelle) 
the-possibellety.blogspot.com

Mungkin memang benar kalau manusia terlahir dalam bilik-bilik kehidupan tak kasat mata dan tak bisa dipilih. Salah satunya bilik luka, dan kamu nampak hidup di dalamnya. Kulihat malam ini pun kamu menjerit pilu di dalam hati. Sambil mendekap bantal yang lebih pantas kusebut ampas berkain, kamu meredam tangismu dengan mengigit bibir. Tidak perlu kamu eja, aku tahu perihnya.
Kamu menyeka air matamu sendiri dengan tangan yang gemetar, kemudian bersimpuh di samping pintu. Satu detik, dua detik, telingamu menempel ke pintu, kemudian tangismu pecah lagi. Teriakan-teriakan penuh amarah berbalas-balasan dari ruang tamu. Memang malammu sudah tidak lagi kenal hening. Matamu berkaca-kaca. Kali ini, kamu datang menyentuh aku, merentangkan tangan, kemudian sambil mengerang kamu memeluk aku dengan lemah.
Kudengar mereka berkata bahwa manusia yang terbiasa dengan luka akan menjadi mati rasa. Air matamu, yang kuresapi setiap malam, berkata bahwa mereka hanya mengungkap dusta. Luka tetap luka. Sini, kutadah butir-butir perihmu. Tidak apa-apa, biar cepat bias saja rasa sakitmu; tidak ada yang ingin menghentikan tangismu.
Teriakan keras membahana dari balik pintu, sebelumnya bunyi tamparan keras, diikuti suara keramik pecah. Pasti porselin murahan yang ada di samping televisi. Kuharap itu ayah ibumu tidak dekat-dekat dengan pajangan sepeda-sepedaan kesukaanmu di samping akuarium. Suara pecah lagi. Ohlala. Derusan air tumpah mengikuti. Akuarium pecah. Biarkan sajalah. Mungkin malam ini adalah kulminasi amarah. Tidak apa-apa, besok pasti reda; dan kuharap tak berlanjut besok malam. Kamu tenanglah, jangan melepaskan pelukanmu.

Aduh, pilu aku pilu melihatmu sesegukan seperti itu. Dekapanmu bergejolak, tidak akan aku lepaskan. Aku hanya bisa diam di dalam jangkauan rentang tanganmu, berharap kamu tidak kehabisan nafas dalam kepahitan. Ketika aku dalam usaha terbesarku untuk membisikkan, “Tidak apa-apa, ada aku di sini,” ibumu menyeruak dari balik pintu kamarmu, menatap nyalang ke arah kita yang masih berdekapan. Oh, jangan takut. Kuyakin ibumu hanya menyimpan amarah pada ayahmu, bukan kamu.
Dalam tatapan singkat, kulihat darah dari perut ibumu. Tidak apa kalau kamu segera melepaskan pelukanmu. Kutatap ibumu, ia balas menatap. Tak kuat aku, Kasihan, padahal usianya belum juga empat puluh. Memar-memar kebiruan yang tersaru di kulitnya menambah kesan tua yang dibawa utas-utas rambut putih dan keriput di keningnya. Harus kukatakan berapa kali, human being is heart breaking; atau jika bukan umat manusia, bisa kita sandangkan saja pada ayahmu.
Ingin rasanya aku bergabung dengan kalian, ikut berpelukan. Tapi kali ini, biar kalian nikmati saja dekapan kalian. Jangan lepaskan pelukan ibumu. Biar ia rasakan kehangatan yang entah sudah berapa lama tak lagi ia kenal. Dalam sentuhan-sentuhan yang tercipta, kutahu akan ada asa yang termunculkan, mesti sebenarnya adalah semu, sebab kubilang: luka tetaplah luka. Dan darah makin mengalir dari perut ibumu. Kamu menatapnya dengan panik, menjerit-jerit kesetan.

Setan yang sesungguhnya baru muncul dari pintu kamar yang masih membentang. Nafasnya tersengal-sengal, matanya legam bertingkap kekejaman. Kamu menjerit makin kencang ketika ayahmu tiba-tiba mengangkat pisau dapur dengan tangan kanannya, masih berlumur darah yang cepat kau sadari kalau itu berasal dari perut ibumu.
Kakimu lemah, dan memilih untuk tetap memeluk ibumu. Kalian berdua di depanmu, mendekat, lalu menempelkan diri ke tubuhku. Aku hanya bisa menatap ketakutan. Dekapan kalian semakin erat. Jangan, jangan lepaskan dekapan ibumu. Tangan tuanya tiba-tiba menyentuh aku, ingin kubalas dengan genggaman, ingin kusampaikan kasih yang tak mungkin aku sendiri gambarkan. Namun kurasakan hanya kulit yang mendingin, kemudian mendadak kaku. Ibumu! Tidak! Jangan mati! Tapi kamu tidak peduli, ketakutan yang bercampur dengan amarah dan kekecewaan melumpuhkan kakimu untuk berdiri, atau bahkan menyadari ibumu yang mendekat ke ajal.

Ibumu masih mendekap kamu erat, bisa kujalari kengeriannya. Maaf, Ibu, aku tidak bisa berbuat apa-apa; jangan tatap aku nanar begitu. Pun kamu sendiri bilang, akan ada tempat yang lebih baik jika kamu berserah.

Ayahmu berteriak-teriak kesetan sambil mengangkat-angkat pisau, sementara dekapan ibumu melemah, lalu segera ia tersungkur ke arahku. Dalam tenaga-tenaga terakhirnya ia mendekap. Kubalas pelukannya. Aku nyaris mati dalam ketakutan menatap biru wajahnya. Bibirmu bergetar, dan gigi-gigimu beradu. Dengan cepat kamu mengusap pipimu yang basah, kemudian tak sangka kamu berdiri menerjang ke sosok tinggi besar ayahmu, mendorongnya kea rah pintu. Tidak ingin kusaksikan. Ngeri. Kumohon, kamu pergilah saja memanggil tetangga, daripada bermain api dengan ayahmu yang masih mengacung-acungkan pisau.
Histeria yang mengerikan mengisi seluruh ruang kamarmu. Biar aku menutup telinga saja, aku tidak berani. Sesekali aku melihat sosok ibumu yang terkapar di depanku, mungkin sudah tak lagi berdenyut nadinya, karena dekapannya hanya sekedar sentuhan lemah dan tak mengungkap apa-apa. Aku tidak berani menerjang kenyataan, Yang kupikirkan sekarang, hanya kamu. Kumohon, berhentilah, atau setidaknya cari pertolongan.

“BIADAB KAMU! SETAN! SETAN! SETAAAAAAAN!!!!!!”
Lolongan mengerikan keluar dari mulutmu. Aku terisak mendengarnya. Kali ini aku benar-benar menutup mata ketakutan. Biar saja yang kutatap hanya gelap. Lalu kesunyian panjang nan ganjil menggantikan kengerian yang membanjiri tadi. Aku masih tidak berani membuka mata.
Tapi kemudian erangan kesakitan memaksa aku membuka mata. Ada ayahmu, tersungkur di lantai, menatap minta tolong ke arahku. Dada dan perutnya basah dan merah. Tangannya yang penuh darah berusaha menggapai-gapai aku. Aku menatapmu, sekedar meminta ijin kalau-kalau setan yang ternyata bisa tak berdaya ini boleh dapat dekapanku juga, tapi yang kulihat adalah sosokmu berdiri dengan mata nyalang. Darah segar menetes dari pisau yang kau genggam dengan kedua tanganmu.
Dalam kekagetan nafasku berhenti.
Apa
yang
kamu
lakukan?


Kamu tidak menjawab pertanyaanku, hanya berlari ke arahku lagi, membentang tangan, lalu mendekap sambil terus terisak. Tidak akan ada hening untuk malam ini, sama sekali. Kembali kudengar isakan-isakan yang sama seperti malam-malam sebelumnya selagi kamu memelukku dengan erat. Dari balik punggungmu kusaksikan ayahmu, menjelang mautnya, menggamit tangan ibu. Kamu tidak peduli, hanya tetap memelukku erat.
Sayup-sayup kudengar kamu merintih, “Tidak, bukan salahku. Bukan salahku. Aku tidak melakukan itu ke ayah. Bukan. Bukan aku. Bukan.” Entah apa lagi yang kamu gumamkan, yang kudengar hanya isakan. Tubuhmu terguncang hebat, kulitnya bergesekan denganmu yang hanya bisa menatapmu kosong, enggan memungut label benar atau salah untuk kusematkan padamu. Sayang.
Sesekali kamu kesal, kemudian memukul-mukul aku penuh penyesalan. Tidak apa-apa, tenanglah. Toh aku juga tidak akan berkata apa-apa.
Mungkin besok polisi datang dan mencari saksi, tapi mereka tidak akan mendengar apa-apa dariku. Tidak akan mungkin mereka mau menghabiskan waktu menginterogasi susunan tembok bata bisu yang sekarang mendekapmu dengan muram. Tidak apa-apa, teruskan saja tangismu. Dalam kebisuanku dan tangismu, biar saja kita berpura tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku, Kamu, dan Mereka

Oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)

Kamukayakuya.tumblr.com



“Vin, sebaiknya kita sudahi semua ini sampai sini saja.”

Saat itu pukul 23.24 malam, kita baru saja sampai di depan pekarangan tempat kostku, dan itu kalimat pertama yang terlontar dari bibirmu saat aku hendak mengembalikan helm kepadamu.

“Apa?” Aku membelalak tidak percaya. “Aku gak salah denger?”

Kamu mengangguk pelan, tatapan matamu kosong ke arahku. “Jangan kita teruskan lagi hubungan kita ini, Vin.”

Aku menganga mendengarnya. “Maksud kamu apa? Rega, kita gak sedang bertengkar—kita bahkan gak punya masalah apa-apa! Kenapa kamu tiba-tiba minta kita sudahi semuanya?” nadaku sedikit meninggi, meskipun volume suaraku keluar serendah mungkin, mengingat ini malam hari.

Apa sih maumu, Reg? kita bahkan baru saja pulang dari makan malam bersama, nonton berdua, jalan-jalan keliling Bandung dengan motor vesap biru tuamu…

“Karena aku mencintaimu, Vin.”

Aku mendelik, rasanya otakku kelu. Apa salahnya dengan mencintaiku? Wajarkan? Cinta itu tidak salah kan?

“Apa ada yang salah dengan itu, Ga? Aku tahu kamu mencintaiku sejak dulu, dan itulah kenapa kita bersama!” aku masih ngotot, nada sewotku keluar untuk menjadi kamuflaseku menahan tangisan yang sebentar lagi meledak. “Perasaan kita sekarang… sama!”

“Nah karena itulah, Vin… bedanya, sekarang aku semakin mencintaimu, dan itu tidak boleh.” Jawabmu dengan tenang, sejak tadi kamu berusaha untuk tidak menatap mataku. Kamu memain-mainkan kunci yang sedang kamu pegang sejak tadi, lalu sesekali menerawang ke langit malam yang anehnya—tak berbintang.

“Karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?” aku mengusap air mataku yang akhirnya jatuh ke pipi juga. “Bullsh*t!” aku menjatuhkan helm yang sejak tadi kupegang, dan menggunakan kedua tanganku untuk menahan air mata yang terus bergulir keluar dari kelopak mataku. Tubuhku terasa limbung, aku rubuh berlutut di tanah, membelakangimu.

“Vin… jangan menangis..” ujarmu lembut. “Aku tahu kamu sangat mencintaiku, dan semua yang kuinginkan dari seorang perempuan ada padamu.. tapi aku tidak boleh mencintaimu sampai seperti ini.” Kamu turun dari motor dan mendekatiku. “Jangan sedih…”

“Orang gila mana yang tidak sedih karena harus menyudahi suatu hubungan yang dibinanya dengan sangat hati-hati?!” aku menjawab sambil sesegukan. Aku melihatmu berpikir sebentar, lalu kamu berjalan ke hadapanku dan ikut berlutut di depanku. Kamu lalu meraih pundakku dan mulai memelukku erat. Wajahku terbenam di antara pundakmu, aku masih terisak.

Pelukanmu.

Hangat. Membuat pikiranku terbius, terutama aromamu yang khas, memenuhi seluruh syarafku. Wangi parfum bercampur tembakau—yang kubenci—yang selalu kurindukan.

Beberapa saat, tanpa bibir yang bicara, namun semua maksud tertuang dipelukan itu. Semuanya. Sampai akhirnya tangisanku mulai reda.

Aku lalu mulai melepaskan diri dari pelukanmu, pelan-pelan sambil menghapus sisa-sisa air mata cengengku.

“Sudah tenang?” tanyamu. Aku mengangguk. “Kita sudahi sampai di sini ya? Mulai saat ini, yang ada hanya aku dan kamu. Tidak ada kita lagi,”

Walaupun masih sedih, aku menganggukk sekali lagi, dan kali ini sangat pelan. “Aku sayang kamu, Ga,”

“Aku juga sangat menyayangi kamu, Vin.” Kamu lalu mengecup keningku, lama. Sampai akhirnya HP-ku bergetar, ada seseorang meneleponku. “Dari siapa?”

Aku melihat ke arah layar HP-ku, tertera sebuah nama yang sangat familiar di sana. “ Harsya,” jawabku singkat. Rega memijit-mijit keningnya, kemudian ia menghela napas panjang. Memalingkan mukanya, lalu berusaha tersenyum, walaupun kelihatan miris.

“Oke,” sahutnya. “Selamat telepon-teleponan, sampaikan salamku padanya.”

Aku memeluk Rega sekali lagi, erat—namun hanya beberapa detik. Aku lalu menatap matanya beberapa saat setelahnya. “Kamu mau kemana sekarang?”

“Jemput Lia dari kampus, katanya dia beres mengerjakan tugas sekitar jam 12 malam,” Jawabnya sambil kembali ke motornya.

Lia, aku tahu benar siapa gadis itu.

“Sampaikan salamku juga padanya ya,” kamu mengangguk-angguk sambil tersenyum, dan akhirnya tangisku pun benar-benar reda.

Bunyi knalpot motor mulai menderu, lalu kamu berlalu dari hadapanku sambil melambaikan tangan, tentu saja aku membalasnya. Salam perpisahan, salam terakhir setelah satu pelukan hangat.

Aku lalu masuk ke teras kostanku sambil menerima telepon dari Harsya, “Halo, sayang? Apa kabar kamu di Tokyo hari ini? Aku kangeeen!”

***

Rindu Pelukanmu

oleh Laurentia Kartika (@Laurentkartika)www.laurentkartika.tumblr.com

  
Semakin merancu saja rinduku ini, sayang. Rindu yang menggumpal-gumpal di seluruh permukaan otakku, membuat aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Lama-lama aku kecanduan rindu.
Seharian aku hanya berkutak di kamar, memeluk boneka barney yang sehari-harinya tanpa bosan mendengar cercauan rinduku. Mungkin kalau dia bisa berbicara, dia akan bilang, “Ah, sedikit-sedikit rindu, apa tak bosan merindu terus?”
Aku mungkin terlahir sebagai manusia yang tanpa bosan. Tak pernah bosan mencintaimu, juga merindukanmu. Tuhan menciptanya dengan menimbang rasa terlebih dahulu.
Aku terpenjara disini. Tak bisa lari kemana-mana untuk mencarimu di alam bebas. Hanya bisa merindumu dan sungkan untuk mengucapnya. Mungkin tak cukup nyaliku menerima kalau-kalau kau tak punya rasa yang sama.
Aku teringat saat kau pernah memelukku erat dalam hujan. Hangat. Rasanya seperti kau mendekapku penuh sayang. Luka-lukaku seolah terlucuti perlahan. Sepertinya malam ini aku sangat merindukan pelukanmu, saat aku tak sengaja menikammu waktu itu. Salahku memang, aku sendiri yang membuat diriku tak bisa lagi memelukmu. Salahku juga menuntutmu untuk lebih cepat berlari mendatangi sang Esa.
Maafkan aku, sekarang aku hanya bisa menikmati rindu.

Pelukan Untuk Melodi

@gitanofieka

Orang-orang melihat kami sebagai pasangan yang sangat serasi. Katanya, kami memiliki chemistry yang sangat kuat, sangat cocok. Bagiku, dia adalah racun. Racun yang membuat aku begitu sangat ingin terus untuk berada di sampingnya, menghabiskan waktu bersamanya. Namun, itu semua hanya harapan. Mimpiku, dan mungkin tidak pernah jadi nyata.

Semua penonton yang melihat kami di atas panggung saat ini, pasti sudah sangat iri. Ya, aku dan dia adalah pasangan duet sejak setahun yang lalu, dan saat ini ada di atas panggung nan megah untuk berkolaborasi memainkan alat musik, aku di piano, dan dia di saxophone. Itulah mengapa semua orang menganggap kami pasangan yang sangat serasi. Namun, dibalik itu semua, hanya aku yang tau, bagaimana sedih dan menderitanya aku.

Doa-doa yang terucap dari banyak orang justru membuatku rapuh tak berdaya. Aku dan dia nyatanya bukan pasangan yang cocok. Tak jarang air mataku keluar karena terlalu banyak memendam. Walaupun dia racun bagiku, tapi nyatanya aku bukan racun baginya. Kata sayang tidak pernah terlontar lagi darinya sejak dia menyatakan cinta untuk pertama kalinya padaku.

Benarkah kami pasangan kekasih? Aku pun tak mengerti.

Bertanya tentang hal yang sama sudah kulakukan berjuta kali. Jawabannya tetap sama : diam dan menatapku tajam. Dari tatapannya, aku tau dia tidak main-main menyatakan cinta padaku setengah tahun yang lalu. Mata tidak pernah berbohong bukan? Ya setidaknya aku masih bisa bertahan untuk menjadi pacarnya dengan modal percaya bahwa mata tidak pernah berbohong, dan tetap memegang teguh kata-kata love is to give.

Mata tidak pernah berbohong.
Mata tidak pernah berbohong.
Dia cinta aku.
Dia cinta aku.

Air mataku keluar lagi untuknya, hanya untuknya, entah berapa banyak lagi. Aku lelah.

Tepat sebelum kami tampil ke hadapan penonton, akhirnya kuucapkan semua kata yang belom sempat terucap dengan menahan tangis.
"Kamu sebenernya mau aku gimana?"
Dia pun hanya diam, dan seperti biasa, menatapku tajam.
"Berhentilah untuk menatapku seperti itu!" teriakku.
Dan dia tetap diam, satu huruf pun tak keluar dari mulutnya padahal jelas-jelas dia bukan orang bisu.
"Hey, aku cape ngadepin kamu. Cape banget. Kamu bayangin aja, kita ngobrol pun jarang, pergi berdua gak pernah, sms pun seadanya, aku gak tau sebenernya kamu itu maunya apa? Kalau memang ga sayang sama aku yaudah kenapa harus dengan diem aja sih? Aku sama sekali gak ngerti mau kamu itu apa. Yang jelas aku uda bener-bener nunjukkin rasa sayang aku ke kamu sebisa aku tapi kamu gak respon apa-apa."
Air mataku aku tahan sekuat tenaga agar tidak keluar, karena sebentar lagi waktunya kami tampil. Oke profesionalisme. Aku harus tetap tampil apapun kondisiku. Seperti biasa penampilan kami membuat orang lain terpana, dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah.

Sangat mengejutkan, setelah tepukan penonton mulai hilang, ternyata dia mengambil mike dan...

MEMELUKKU.

Pelukan pertama dari seorang pria untukku.

Air mata yang sempat tertahan kini keluar. Entah terharu atau memang masih sisa perih yang tadi.

Lalu dia melepas pelukannya, diganti dengan memegang tanganku erat, dan berkata, "Maaf hadirin yang terhormat, saya sedikit mengganggu acara konser amal ini. Namun, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan."

Semua penonton yang tadinya sepi mendadak ramai berdiskusi.

Dia melanjutkan perkataannya. "Tolong berhenti mengelu-elukan saya dan Melodi, karena itu semua, hanya menambah beban kami berdua."
Suasana mendadak hening kembali, sepertinya penonton memang sangat penasaran dengan apa yang akan dia katakan.
"Saya dan Melodi, bukanlah pasangan kekasih yang sewajarnya."
"Hmm, mungkin semua orang mengira hubungan kami sangat romantis, dan sangat sempurna, tapi nyatanya jauh dari sempurna."
"Saya hanya seorang pria bodoh yang sangat takut untuk mengeluarkan kata-kata sedikitpun di hadapannya. Di hadapan orang yang sangat saya cintai. Yaitu Melodi."

Dadaku mendadak berdetak super kencang. Ya Tuhan, ini penantian yang aku tunggu tunggu.

"Saya pernah disakiti oleh cinta. Dulu saya memberikan segalanya untuk perempuan yang saya cintai, namun nyatanya dia malah meninggalkan saya. Dan semenjak itu, saya sangat takut untuk bertindak. Takut salah memilih langkah. Sangat sering saya bergelut dengan pikiran saya sendiri, harus bagaimana saya terhadap Melodi. Terlalu banyak berpikir sehingga saya tidak pernah menunjukkan sedikitpun rasa sayang saya terhadap dia selama, 6 bulan. Waktu yang sangat lama untuk berpikir memang saya tau itu."

Mendadak suasana mencekam. Semua hening, tidak ada sedikitpun suara yang muncul.

"Selama ini Melodi tidak tahu betapa senangnya saya mendapatkan kartu ucapan setiap perayaan tanggal jadian kami, betapa senangnya saya ketika bertemu dengannya. Dia sama sekali tidak tahu, karena saya tidak pernah menunjukkannya."

"Karena terlalu banyak memikirkan apa yang harus saya lakukan dan terlalu banyak rasa takut, saya membuat sedih orang yang saya cintai. Saya berjanji, mulai saat ini, doakan saya untuk bisa menunjukkan perasaan saya seperti dulu tanpa memikirkan luka lama dan mencoba berpikir seperti Melodi yang selalu berpikir bahwa love is to give.. Terima kasih. Mohon dukungannya."

Tiba-tiba dia menyeretku ke belakang panggung, memelukku, dan berkata, "Pelukan ini hanya untuk kamu seorang, Melodi sayang. Maafin aku, aku terlalu banyak mikir, terlalu banyak takut, sampe ngomong sama kamu pun harus banyak mikir saking sayangnya. Saking gamau kamu pergi. Aku bener-bener takut sikap aku yang sebenernya bikin kamu pergi, makanya aku milih diam,"

Aku hanya bisa menangis, tapi aku yakin, ini tangisan haru, bukan sedih. Aku bahagia.

"Kamu mau kan maafin aku? Makasih ya, udah mau tahan sama aku selama ini."

Aku mengangguk yakin dalam pelukannya. "Kita mulai semua dari awal ya. Dasar odong."

Pelukannya, membuat aku bisa merasakan cintanya, merasakan perlindungannya, merasakan ketulusannya, dan merasakan kejujurannya. Tuhan, dengarkan doaku ya. Aku ingin terus berada dalam pelukannya. Seperti sekarang ini.

Goodnight

Oleh: @winterfireworks


Jika sudah berada di pelukannya seperti ini, tidak ada hal buruk yang bisa terjadi.

Ia mendekapku, erat. Melingkarkan lengan mungilnya yang kurasa teksturnya bahkan jauh lebih lembut daripada tekstur sutra manapun ke sekeliling tubuhnya. Aku direngkuh. Aku ditarik, mendekat agar tidak ada lagi jarak di antara aku dan dia. Erat,  kuat kurasakan lengan kecilnya menarikku, agar aku tidak bisa pergi lagi. Agar aku bisa disana, menjaganya di kala ia tak berdaya.

Ia membenamkan wajahnya ke dadaku, matanya terpejam dan sebuah senyum kecil bermain di bibirnya yang mungil dan merah muda. Wajah manisnya damai. Bulu matanya seakan menyentuh pipinya di kala helai – helai yang mencuat ke atas itu merunduk dan kelopak itu menutup, memblokir semua wujud dan rupa dunia dari tatapan mata coklatnya. Pelukannya padaku semakin erat, seiring mulai perginya kesadarannya.

Malaikat itu pun tertidur.

Bahkan gemeretak berisik dari tetes – tetes air hujan yang menghujam atap tidak mengganggunya sama sekali. Hampir tidak ada pencahayaan di tempat ini, lampu kamar sudah dimatikan beberapa menit yang lalu. Hanya sesekali kilatan petir membuat ruangan persegi ini terang benderang sebelum kembali ditelan kegelapan dan suasana makin menyeramkan. Di luar sana angin pasti berhembus beku. Tapi untungnya, temperatur disini hangat. Dan lebih hangat lagi karena aku ada di pelukannya.

Ini surga. Setidaknya bagiku. Setidaknya sekarang.

Aku tahu aku bukan satu – satunya di hatinya. Bukan hanya aku saja yang pernah merasakan rasa hangat yang menguar dari tubuhnya saat ia memberikan pelukannya. Bukan pada dadaku saja paras manis itu membenamkan diri, mencari rasa aman sebelum ia menyerah pada kantuk. Jangan kira aku tak tahu, jangan kira aku tak sadar. Ia punya banyak, kau tahu, banyak sekali. Mungkin hampir setiap hari ia memilih teman tidur yang berbeda. Sementara aku, diabaikan. Ia biarkan aku disana, memandangnya memeluk yang lain, tanpa bisa berbuat apa – apa. Protes dilakukan tanpa suara dan tanpa tanggapan. Bergerak seinci pun tidak kulakukan.

Aku benci. Sungguh. Tapi tidak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyayanginya.

Maka aku tetap disana, menunggu. Berharap ia akan merasa bosan dan meninggalkannya. Dan mencariku untuk dipeluk. Dan aku akan menyerahkan diriku, pasrah. Membiarkan ia memelukku dan menerima hangat tubuhnya dengan senang hati.

Karena kali terakhir ia memelukku seperti ini adalah tiga hari lalu.

Aku rindu. Padanya. Dan cemburu. Kepada mereka yang merasakan pelukannya selama jangka waktu aku diabaikan olehnya. Mereka, yang mencuri kasih sayangnya dariku.

“Hmmmh.”

Gawat. Ia bergerak. Mengigau? Mimpi buruk? Oh, syukurlah. Hanya gerakan dalam tidur yang lazim dan sama sekali normal. Tampak merasa tidak lagi nyaman dengan posisi tidur miring ke kanan—favoritnya, aku tahu itu. Maka ia membalik tubuhnya, bergerak beberapa puluh sentimeter dari tempatnya semula dalam prosesnya dan—ARGH.

Sakit.

Dingin.

Tanganku menggapai. Tak sampai. Dingin. Pelukannya hilang. Hangatnya hilang. Tuhan, aku ingin kembali ke sana. Ke pelukannya. Ia pasti kedinginan. Ia pasti takut, jika ia tidak menemukanku di sampingnya saat ia membuka matanya besok pagi. Aku panik, dalam kebisuan. Ingin aku menjerit, memanggil namanya agar segera ia merengkuhku lagi dan memelukku erat agar aku tak bisa jauh lagi.

Tapi aku tetap membisu. Diam.

“Hngh?” Matanya membuka. Oh, syukurlah, ia melihatku! “Kamu ngapain di bawah sana?”

Aku terjatuh, sayang. Gara – gara gerakmu saat tertidur tadi.

Tangannya terentang, menarik lenganku yang empuk ke atas, ke arahnya. Tubuhku terangkat, dan detik berikutnya kembali hangat.

Surga. Lagi.

Ia tersenyum, manis sekali. Tangannya yang mungil mengelus bulu – bulu coklat di tubuhku. Ia memelukku lebih erat, hingga plastik yang membentuk hidungku menempel di pipinya seakan aku sedang menciumnya.

“Goodnight, Teddy Bear.”

Melepas Cinta

by @riztarizta


Dia duduk lesehan di sudut ruangan. Aku, masih berkacak pinggang, berdiri satu meter didepannya. Kami berdua saling membuang muka, saling menghindari tatapan mata. Jam dinding terus berdetak menggulirkan emosi kami. Matahari sudah menggelinding, bosan dengan kami yang terus-terusan menuruti emosi.



Sudah dua jam pertengkaran ini terjadi. Ada masalah yang membuncah amarah. Ada kata-kata yang akhirnya melarung semua cinta. Kata-kata akhirnya tidak lagi berguna ketika cinta kami berubah jadi benci dan maki-maki. Tangan ini beralih fungsi, dari saling membelai hingga saling menunjuk-nunjuk. Mata teduhnya yang dulu merayu kini membara. Aku juga tak henti berurai air mata. Lupakan kasih sayang yang berderak karena mulut kami kini saling berteriak.



Perih itu terasa begitu sempurna ketika dia memutuskan menyerah dalam hubungan yang kami titi berdua. Dia tidak siap dengan komitmen, katanya. Buat dia itu keputusan. Aku pikir itu suatu kebodohan. Jujur, aku curiga ada yang menggeser posisiku di hatinya. Tapi dia bilang itu hanya pikiran buruk semata. Dia bilang, dia hanya merasa tidak cukup dewasa. Kesimpulannya, mungkin dia tidak bahagia.



Lama kami berdiri, teguh dengan keputusan kami masing-masing. Dia yang ingin berpisah. Aku yang selalu ingin bersama. Aku diam memikirkan pilihan dia dan apa yang sudah dijalani selama ini. Dia juga diam, entah apa yang ada di kepalanya.



Satu jam kami saling berdiam diri. Akhirnya kugenggam tangannya, membantunya berdiri. Kupeluk erat laki-laki yang selama ini menggenggam hatiku. Hari ini dia ingin melepasnya.



“Aku terlalu sayang kamu. Tidak mungkin rasanya aku membatasi keinginan kamu. Janggal rasanya jika aku menghalangi kamu untuk lebih bahagia.” Tiga kalimat itu terucap sempurna dari bibirku.



Dia merengkuh tubuhku erat. Aku melekat dadanya ketat.



Satu pelukan terakhir sebagai tanda kami melepas cinta.

Pelukan Semu


Oleh Khoirunnisa Aulia Noor Haryopranoto (@ullylulelo)
Hotcoldchocolate.blogspot.com


Pernahkah kau fikirkan tentang aku?
Adakah kau sebut namaku, saat kau sendiri terdiam dalam gelap dan sunyi?
Pernahkah kau tanyakan apa kabarku?
Apakah masih kau mencariku dalam keramaian sekolah pagi ini?
Atau masihkah kau menatap handphone-mu berharap dapatkan sms dari ku?
Itu yang kulakukan, itu yang kukerjakan
Bahkan setelah sebulan dari putusnya hubungan kita
Aku masih bisa merasakan rangkulan tanganmu di pundakku
Aku masih sanggup merasakan pelukan hangat dirimu saat hujan membasahi tubuhku
Aku masih berhasil menyentuh pinggangmu dengan kedua tanganku
Namun aku salah, ini hanya bayangmu. Bukan dirimu
Apa artinya mencintai bayangmu?
Untuk memeluk bayangmu?