Oleh: Mhd. Nuruddin Zein
@didinzein
Blog : d2nokbanget.blogspot.com
seperti orangtua yang sudah berabad - abad hidup
aku lah orang yang paling lama hidup di dunia ini
dulu aku masih melihat pohon - pohon yang indah
tanah - tanah yang luas dan bunga - bunga yang harum
sekarang, sari - sari ku dari tahun ke tahun mulai hilang
aku bagaikan wanita panggilan yang habis manis sepah dibuang
aku bagaikan onggokkan sampah yang tak ada gunanya lagi
aku bagaikan anak tiri yang tak dipedulikan orang tua ku lagi
taukah kalian?
aku ini sudah renta, sudah tua bangka, dan tak sebugar dulu dalam menjaga kalian
sedikit - demi sedikit kecantikan alami ku pudar
semua di gantikan dengan teknologi - teknologi palsu yang sangat meresahkanku
apakah kalian sadar?
kalau aku ini ingin di perhatikan dan juga di rawat
seperti orang tua - orang tua lainnya
ingin di beri kasih sayang yang sepenuhnya dari kalian semua
tapi... semua itu sudah terlambat
sedikit demi sedikit sakit ku mulai kambuh
Hentikan! menyalahkan diriku
Karena aku sudah tua renta
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label sudut pandang alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sudut pandang alam. Tampilkan semua postingan
Jumat, 12 November 2010
Kau dan Hujan
Oleh: @anumao
Sore ini aku terdiam di tepi kolam, langit biru tertutup awan berwarna abu. Entah, tapi warna seperti ini selalu membuatku sendu. Biasanya tak lama dari ini hujan akan kembali berjatuhan, membasahi dedaunan, membasuhi rerumputan, dan mungkin harus lagi kubiarkan mengkuyupkanku perlahan.
Hujanpun entah memiliki kekuatan apa, karena seringkali berulangkali ia jatuh membuatku merasa ada bagian dariku yang tersakiti berkali-kali. Entah mengapa. Aku juga tak yakin apakah aku rela. Baiklah, untuk kali ini saja aku akan berbicara pada hujan, namun entah untuk apa aku belum tau.
Ah lihat, ia mulai turun, lagi, perlahan dan semakin menderas, seperti biasanya.
*****
“Hei, apa kabar, hujan? kau datang lagi sore ini. Sering aku memperhatikanmu berjatuhan di waktu-waktu yang tak tentu, bahkan kurasa hampir selalu, apa memang ini adalah hobimu?”
Andai saja hobi adalah sebuah kesenangan, tapi aku tak setiap waktu merasa senang dengan ini. Aku hanya terjatuh mungkin karena gravitasi.
“Jadi sebenarnya kau tak ingin jatuh, begitu?”
Entahlah, kadang aku merasa senang jatuh tinggi berkali-kali, aku merasa bebas tanpa kekangan. Tiap terjatuh aku melayang di udara dan dapat meneriakkan isi hatiku lepas keras-keras dan legalah semua yang terkungkung di dalamnya. Kau pasti mengerti bagaimana rasanya.
“Jadi itu yang menyebabkanmu ingin terus jatuh? Lalu yang membuatmu tidak setiap waktu merasa senang, apa?”
Saat aku harus menghempas tanah atau bebatuan. Kau bayangkan saja bagaimana rasanya jatuh dari langit yang begitu tinggi dan akhirnya harus terhempas begitu keras. Menyakitkan saat aku harus rela terpecah terberai.
“Lalu bila memang sebegitu menyakitkan, mengapa kau masih saja terjatuh? Bukankah lebih baik kau tak lagi jatuh hingga tak perlu merasa sakit seperti itu?”
Memang sangat menyakitkan, tapi setiap kali aku terjatuh aku memiliki waktu yang lebih lama untuk melayang di udara dibanding waktuku saat harus terhempas daratan. Jadi kupikir aku harus mensyukuri tiap jatuhku.
“Ah, iya. Bila kuperhatikan seringkali kau dikaitkan oleh para pejatuhcinta dalam larik puisi cinta mereka untuk menggambarkan bagaimana cinta seharusnya. Cinta yang jatuh berulangkali, yang tak jera jatuh menghempas tanah bebatuan dan mungkin merasa sakit berkali-kali, atau sebagian lain yang menganggap walau kau jatuh berkali-kali tapi tak pernah sekalipun merasakan sakit, seperti juga cinta seharusnya. Menurutmu?”
Mungkin cinta memang begitu, kadang aku memang merasa sakit, namun kadang juga aku tak acuhkan rasa sakit itu hingga tak lagi kurasa. Seperti yang kubilang sebelumnya.
“Baiklah, mungkin ini terakhir kalinya aku bertanya, aku tak akan bertanya lebih banyak. Kau tadi memintaku membayangkan bagaimana rasanya jatuh jauh tinggi dari langit dan harus terhempas tanah bebatuan begitu keras. Sekarang aku bertanya padamu, pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya jadi tanah bebatuan yang dengan begitu keras dihempas dijatuhimu? tidakkah mereka juga akan merasakan sakit yang sama, atau lebih, hingga mungkin suatu saat akan terpecah juga? dan mereka tidak memiliki waktu menyenangkan di udara, sepertimu.”
..……..
(Lama kutunggu jawabnya namun hujan berdiam, ia membisu, tak menjawab pertanyaanku. Perlahan hujanpun mereda diam-diam meninggalkanku. Entah mengapa, mungkin ada yang salah dengan pertanyaanku.)
*****
Sejak perbincanganku dengannya itu, sepertinya hujan memutuskan untuk tak lagi berjatuhan seperti biasanya, hingga saat ini. Tak seperti biasa karena kini hujan menahan dirinya untuk tak lagi terjatuh menghempas tanah bebatuan. Tiap kali ia harus jatuh tinggi dari langit maka sejengkal sebelum menghempas tanah bebatuan ia berusaha untuk melawan gravitasi dan berjuang keras kembali terbang jauh tinggi masuk ke balik awan.
Aku yakin, pasti baginya sangat menyulitkan.
Entah bodoh, entah bagaimana, aku tak tau seperti apa harus menilai pilihannya.
Namun sejak hujan turun seperti itu entah mengapa rasa sakit yang sebelumnya sering terjadi padaku berkali-kali saat ia seringkali berjatuhan berulangkali tidak lagi aku rasa.
Padamu, hujan. Entah apa yang harus kurasakan akanmu dengan sikapmu sekarang itu. Namun bagaimanapun, terimakasih untukmu, hujan.
Dari aku, batu.
Jumat, 05 November 2010
Lotus
A short story by @kikiavicenna
This young lady often asked me about myself. About the lonely blue speckle at the edge of seemingly infinite universe.
When she was younger, she used to meet me by the shores of a murky bay, where the weird smell of trash hid the fragrance of the sea winds. She used to stare at the sky of gold and blue through the windows of high buildings, or near a crowded airport when no one seemed to care too much about how time flies.
Then she flew to a land where all the people gathered, searching for diamonds and hoping to be rich and famous. There, she used to meet me in the rain, on the balcony of the class or through the square glass windows.
On sunny days she would stand as the breeze blew through, or sip her coffee and read under a big mango tree.
She could see that I've changed, and I could see how she's changed too.
She's grown up now, but her questions seem not to stop, not even decrease in frequency.
And here she stands in front of me, on the vast green plains near the swamp filled with pink and white water lilies, as the gentle wind begins to blow.
"Dear Nature, I had seen what's going on over there. In the land where I once lived, where all the people gathered; in a town which no one here seems to care about; and on the island where the seas are beautiful. One of your favorite places in this blue speckle. What happened?"
I just can't give her an answer. Humans say it's a sign of The Last Day*, or consequence of people living in islands**, or it is purely for my anger.
I can be angry too. But that isn't really what I meant.
"Is it beyond seismic and vulcanic phenomenon? And the distant land -- is it because of we humans*** too?"
I still can't give her an exact answer.
"Alright," she walks away in sadness as golden sunlight rays showers down, "I can't speculate. But I'll wait for the answer to come."
Ah, Lotus, I can't give you an answer, because humans may say anything about what happens in me, there across the seas from where you live. Even humans use it as a chance for certain intentions, I think you've known it.
I know you believe in God, Lotus. And this is my only answer:
"I follow God's will. There must be a reason behind why everything happens in me, bringing suffering and damage on humans like you. But as we're both only creatures of God, the answer remain a mystery. Only God Himself knows the exact reason."
So upon hearing my answer, Lotus turns back to me with her sad smile before she finally leaves me and goes back home.
# # #
Notes:
* Rumors spread about the date 26 as a disastrous date and many people try to link it with a Holy Qur'an verse, also numbered 26 (but I forgot on which chapter) which tells about disasters
** This refers to a statement by a member of Indonesian House of Representatives after the Mentawai tsunami
*** The flash flood at Wasior is probably caused by illegal logging too
Kamis, 04 November 2010
Walau Tidak Harus Minta Maaf
Oleh: Farida Susanty, @faridasusanty
Orang itu bilang dia mengerti saya. Ribuan orang lain, dari mata mereka, terlihat mencintai saya. Mereka tahu saya sakit, tapi mereka tetap tinggal di samping saya.
Jika saya mau memilih, saya tidak ingin mereka ada di sekitar saya. Apa mereka tahu saya kadang sakit? Apa mereka tahu ketika saya bersin dulu tahun 1994, 27 orang bergelimpangan kehilangan nyawa? Saya harap mereka akan mengerti ketika saya sakit. Mereka pasti melihatnya kan? Dari mulut saya sering keluar asap tiap 300 hari setahun. Itu menakutkan kah?
Kenapa mereka tidak takut?
Stratovolcano, katanya.
Kalau mau memilih, apa saya ingin sakit? Tidak. Tapi saya akan sakit sekali setiap beberapa tahun. Beberapa gunung katanya sudah sembuh dan tidak akan kambuh lagi, tapi orang-orang yang menelusuri tubuh saya, mengaduk-aduk saya, dan mengukur saya tahu bahwa penyakit saya masih bisa kambuh. Saya sering merasa mual dan akhirnya, ketika saya tidak bisa menahannya, saya muntah.
Sungguh, itu tidak enak.
Saya berhasil tidur dan tinggal bersama mereka dengan tenang setelah bersin terakhir saya selama beberapa tahun. Tapi saya tahu hari dimana penyakit saya kambuh akan datang lagi.
Akhir-akhir ini, saya mulai merasa tidak enak badan lagi. Saya terbatuk-batuk terus. Saya terkadang muntah. Saya bersin, menyelubungi segalanya dengan bersin saya. Orang-orang di bawah sana mulai berteriak. Orang-orang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya menggiring orang-orang untuk pergi menjauhi saya. Beberapa orang dari mereka tetap tinggal, tapi ketika saya terbatuk lagi, beberapa saat kemudian mereka bergelimpangan.
Saya yakin manusia mengerti ini: tidak ada yang suka menyakiti orang-orang yang menyayangi kita. Orang yang telah tidur di samping kita selama bertahun-tahun.
Tapi saya terus terbatuk, terus mual, terus muntah, dan mereka akan menyelamatkan orang-orang itu dari saya.
Apa mereka akan kembali nanti?
Reuni Alam
Oleh: Naz Farawla
twitter @NinaFahmi
Sayup-sayup suara lonceng berbunyi di telingaku. Aku pergi ke tempat sumber suara. Ranting jatuh melukai benda mati. Biarkan saja. Bagaimana dengan benda hidup di dalamnya? Sudah bukan tugasku. Kutinggalkan tempat itu. Heh, kirain apa.
Aku terbang menuju Wasior. Kuhela nafasku ketika dia bilang Aku masih ingin main-main sebentar lagi. Seperti anak kecil saja. Tapi memang dia masih kecil. Makhluk air selalu tampak seperti anak kecil olehku. Aku tertawa mengingat bagaimana manusia sering mengatakan anak kecil suka main air. Bagaimana pun anak kecil memang selalu senang bermain dengan sesamanya.
Tapi sebentar. Tugasku bukan hanya memantaumu, bocah cilik. Bagaimana dengan para manusia? Aku melihat tubuh-tubuh makhluk sempurna itu tergeletak lemas. Beberapa puluh terbawa arus. Hey! Aku mulai menghitung. Satu…dua…lima puluh sembilan…sembilan puluh tujuh…seratus empat…seratus delapan! Apa yang kau lakukan? Eh..apa yang kulakukan? Katanya panik. Melihat raut wajahku berubah, ia bersiap-siap seakan ingin menangis. E..e..! stop-stop-stop. Jangan kau lakukan itu. Cukup. Aku tak marah, tapi sekarang juga hentikan permainanmu. Aku pun pergi meninggalkannya yang sedang berusaha keras menahan tangis. Kabar selanjutnya yang kudapat, jumlah manusia mati menjadi seratus tiga puluh empat. Memang susah berbicara dengan anak kecil.
Suara lonceng kali ini terdengar keras. Bersahut-sahutan. Ternyata dua lonceng. Sama-sama keras. Aku bergetar. Mengapa hal ini harus berlangsung begitu cepat dan berdekatan? Manusia takkan siap. Mentawai dimakan tsunami. Tsunami? Lagi? Oh…mengapa harus yang susah diurus?
Angin. Angin selalu tampak berwibawa. Ia selalu ada, menemaniku terbang di atas awan. Tapi angin panas ini tak membuatku nyaman. Bahkan manusia yang sakti itu dilahapnya. Aku tak ingin dekat-dekat. Ini diluar kuasaku. Tuhan kali ini memberiku tugas yang berat. Aku tak sanggup. Aku pun naik.
“Tuhan, tugasmu kali ini begitu berat untukku. Apalagi dengan penduduk dunia ini, para manusia itu. Mereka akan binasa.”
Atasanku itu tertawa. Dengan suara menggelegar bagai menyingkapkan tabir Dia berkata tegas. “AKU TAKKAN MEMBERI MANUSIA SUATU COBAAN YANG TAK BISA MEREKA SELESAIKAN.”
“Lalu, apa alasan Engkau memberi cobaan itu?”
“Alam. Mereka datang kepadaku dengan sebuah proposal perizinan.”
“Izin untuk membawa bencana?”
“Bukan. Izin untuk mengadakan reuni.”
Langganan:
Postingan (Atom)